BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNGJAWAB, … filekesadaran manusia akan tingkah laku atau...

28
22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNGJAWAB, INFORMASI, MASYARAKAT KONSUMEN, DAN PT. PLN (PERSERO) AREA BALI SELATAN 2.1 TanggungJawab 2.1.1 Pengertian tanggungjawab. Secara umum tanggungjawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Sehingga bertanggungjawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. 1 Tanggungjawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Menurut Frans Magnis Suseno, tanggungjawab merupakan kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada), demikian tegas Emmanuel Levinas. Adapun uraiannya sebagai berikut: kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan berprilaku. Oleh karena itu, manusia wajib bertanggungjawab atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral baru akan mempunyai arti apabila manusia tersebut mampu dan/atau mau bertanggungjawab atas pilihan yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dikatakan, bahwa 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 1006.

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNGJAWAB, … filekesadaran manusia akan tingkah laku atau...

22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNGJAWAB, INFORMASI,

MASYARAKAT KONSUMEN, DAN PT. PLN (PERSERO) AREA BALI

SELATAN

2.1 TanggungJawab

2.1.1 Pengertian tanggungjawab.

Secara umum tanggungjawab berarti keadaan wajib menanggung segala

sesuatunya.Sehingga bertanggungjawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya atau

memberikan jawab dan menanggung akibatnya.1 Tanggungjawab adalah

kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun

yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan

kesadaran akan kewajibannya.

Menurut Frans Magnis Suseno, tanggungjawab merupakan kesediaan

dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Respondeo ergo

sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada), demikian tegas Emmanuel Levinas.

Adapun uraiannya sebagai berikut: kebebasan memberikan pilihan bagi manusia

untuk bersikap dan berprilaku. Oleh karena itu, manusia wajib bertanggungjawab

atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral baru akan mempunyai arti

apabila manusia tersebut mampu dan/atau mau bertanggungjawab atas pilihan

yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dikatakan, bahwa

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 1006.

23

pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditunjukan bagi orang

yang dapat dan/atau mau bertanggungjawab.2

Dalam kaitan uraian diatas, setiap orang harus bertanggungjawab

(aanspraklijk) atas perbuatannya. Oleh karena itu, bertanggungjawab dalam

pengertian hukum berarti keterkaitan. Tanggungjawab hukum (legal

responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan

hukum.3

Menurut Ridwan Halim, tanggungjawab hukum adalah suatu akibat lanjutan

dari pelakasanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan/atau kewajiban

dan/atau kekuasaan. Secara umum tanggungjawab hukum diartikan sebagai

kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu yang

tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.4

Purbacaraka berpendapat bahwa tanggungjawab hukum bersumber atau lahir

atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk

menggunakan hak dan/atau melaksanankan kewajibannya. Lebih lanjut

ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak, baik yang

dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada

dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan

pelaksanaan kekuasaan.5

2 Frans Magnis Suseno, 2000, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, hal. 87.

3 Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi, 2014, Tanggung Jawab Yuridis Media Penyiar Iklan,

Udayana University Press, Denpasar, hal. 143.

4Khairunnisa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, tanpa penerbit,

Medan, hal. 4.

5Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 37.

24

2.1.2 Prinsip - prinsip tanggungjawab.

Secara umum prinsip-prinsip tanggungjawab dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (liability based on fault)

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on

fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum perdata,

khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPer, prinsip ini di pegang secara

teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung

jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal

1365 KUHPer, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan

hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :

1. adanya perbuatan;

2. adanya unsur kesalahan;

3. adanya kerugian yang diderita; dan

4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.6

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab,

sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada

pada si penggugat. Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian

adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat

membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum

praduga tidak bersalah (presumption of innocemence) yang lazim dikenal

6 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hal. 59.

25

dalam hukum positif Indonesia. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen

akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang

berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang

digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak

bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati

mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk

digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si

tergugat.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip untuk selalu bertanggung

jawab.Prinsip untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability

principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat

terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat

dibenarkan.

d. Prinsip tanggungjawab mutlak

Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan

prinsip tanggungjawab absolute (absolute liability).Kendati demikian ada pula

para ahli yang membedakan kedua terminilogi di atas.Ada pendapat yang

mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.Namun, ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab,

misalnya keadaan force majeur.Sebaliknya, absolute liabilitya dalah prinsip

tanggungjawab tanpa kesahalan dan tidak ada pengecualian.

26

e. Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian

cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang

atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka konsumen hanya dibatasi

ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.7

2.2. Informasi

2.2.1. Pengertian informasi.

Istilah informasi sering disebut dalam lingkup teknologi, seperti istilah

teknologi informasi yang umumdiketahui, namuninformasi memiliki pengertian

yang sangat luas bukan hanya ada dalam teknologi.

Secara etimologi, kata informasi ini berasal dari kata bahasa Perancis kuno

informacion, kata ini berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu informationem yang

berarti konsep, ide atau garis besar.Informasi ini merupakan kata benda dari

informare yang berarti ‘pengetahuan yang dikomunikasikan’.8Menurut KBBI,

informasi didefinisikan sebagai “penerangan;pemberitahuan; kabar atau berita

tentang sesuatu; dan lingkungan keseluruhan makna yang menunjang amanat yang

terlihat dalam bagian-bagian amanat itu”.9

7Ibid, h. 64.

8Wikipedia, 2005, “Definisi Informasi”, http://wikipedia.com., diakses pada tanggal 18 Desember

2015.

9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h.1007

27

Sedangkan menurut pendapat para sarjana, yakni: Abdul Kadir, et. al.,

informasi didefinisikan sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga

meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut.Azhar

Susanto menyatakan bahwa informasi adalah hasil pengolahan data yang

memberikan arti dan manfaat, dan Burch dan Strater menyatakan bahwa informasi

adalah pengumpulan atau pengolahan data untuk memberikan pengetahuan atau

keterangan.10

Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa informasi adalah

sekumpulan fakta-fakta yang telah diolah menjadi bentuk data, sehingga dapat

menjadi lebih berguna dan dapat digunakan oleh siapa saja yang membutuhkan

data-data tersebut sebagai pengetahuan ataupun dapat digunakan dalam

pengambilan keputusan.

2.2.2. Pengaturan informasi.

Secara legal formal perihal informasi di Indonesia diatur dalam beberapa

peraturan perundang-undangan terkait. Dalam konteks ini, secara konstitusional

perihal informasi diatur dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 yang menyatakan

bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Syahdan,

regulasi dalam hirarki yang lebih rendah yang mengatur perihal informasi adalah

10

Jogianto, 2004, Analisis dan Desain Sistem Informasi, Jakarta, Sinar Grafika, h.8.

28

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,

Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksaaan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Menteri

Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-08/MBU/2014 tentang Pedoman

Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di LingkunganKementerian Badan

Usaha Milik Negara, serta PeraturanKomisi InformasiNomor1Tahun 2010

tentangStandar Layanan Informasi Publik.

2.2.3. Jenis-jenis informasi.

Secara umum, jenis-jenis informasi dapat dibedakan dalam beberapa

kategori, diantaranya:

a. Informasi berdasarkan fungsi dan kegunaan, adalah informasi berdasarkan

materi dan kegunaan informasi tersebut. Informasi jenis ini diantaranya

meliputi: (1) Informasi yang menambah pengetahuan, misalnya: peristiwa-

peristiwa, pendidikan, kegiatan selebritis; (2) Informasi yang mengajari

pembaca (informasi edukatif), misalnya makalah yang berisi tentang

caraberternak itik, artikel tentang cara membina persahabatan, dan lain-lain;

dan (3) Informasi berdasarkan format penyajian, yaitu informasi yang

dibedakan berdasarkan bentuk penyajian informasinya. Misalnya: informasi

dalam bentuk tulisan (berita, artikel, esai, resensi, kolom, tajuk rencana, dll).

b. Informasi berdasarkan lokasi peristiwa, yaitu informasi dari dalam negeri dan

informasi dari luar negeri.

29

c. Informasi berdasarkan bidang kehidupan, misalnya pendidikan, olahraga,

musik, sastra, budaya, dan iptek.

d. Informasi berdasar penyampaian, yang terdiri dari:

1. Informasi yang disediakan secara berkala;

2. Informasi yang disediakan secara tiba-tiba;

3. Informasi yang disediakan setiap saat;

4. Informasi yang dikecualikan; dan

5. Informasi yang diperoleh berdasarkan permintaan.11

2.3. Konsumen

2.3.1. Pengertian konsumen.

Pengertian konsumen dalam tataran yuridis dapat ditemukan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 1 angka 15 undang-undang ini

disebutkan bahwa“konsumen sebagai setiap pemakai dan/atau penggunaan barang

dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak

lain. Sedangkan UUPK sendiri juga memberikan rumusan pengertian konsumen

yang lebih komprehensif. Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, “konsumen

adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

11

Ibid., h.19-35.

30

Syahdan, secara etimologi dalam hal ini merujuk pada KBBI, konsumen

diartikan sebagai pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dsb),

penerima pesan iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).12

Sedangkan menurut

pandangan para sarjana, semisal Janus Sidabalok, konsumen diartikan sebagai

“semua orang yang membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan

hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta

bendanya”.13

Menurut Munir Fuady, “konsumen adalah pengguna akhir (end user)

dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.14

Menurut Hornby,

konsumen (consumer) adalah “seseorang yang membeli barang atau

menggunakan jasa, seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang

tertentu atau menggunakan jasa tertentu, sesuatu atau seseorang yang

menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.15

2.3.2. Pengaturan konsumen.

Pengaturan konsumen di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan, diantaranya:

1. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 300.

13

Janus Sidabalok, op. cit., h. 17.

14

Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 227

15

Anonim, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”, http://hukbis.files.wordpress.com/

2008/02/hukum-bisnis-akuntansi-3-5-edit-2007.ppt., diakses pada tanggal 25 September 2015.

31

2. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat;

3. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif

Penyelesian Sengketa;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan

dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;

5. Surat Edaran Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Nomor

235/DJPDN/VII/2001 tentang Penangan Pengaduan Konsumen yang

Ditujukan kepada Seluruh Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi/Kabupaten/Kota; dan

6. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor

795//DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

2.3.3. Jenis - jenis konsumen.

Dalam khazanah teoritis, jenis-jenis konsumen yang dikenal secara luas

meliputi 2 jenis, yakni:

a. Konsumen akhir; dan

b. Konsumen antara.

Konsumen akhir adalah suatu istilah yang dikenal luas dalam tataran ilmu

hukum. Hal ini merujuk pada pengertian konsumen sebagaimana disebutkan

dalam UUPK tahun 1999 diatas, dimana pada hakikatnya merujuk pada jenis

konsumen akhir. Dalam hal ini, pengertian konsumen tersebut mengarah pada

kedudukan konsumen sebagai penggunaan atau pemanfaat akhir dari suatu

32

produk. Hal ini tercermin dari beberapa unsur yang terkandung dalam definisi

konsumen tersebut, diantaranya:

1. Setiap orang (natuurlijke persoon) atau pribadi kodrati dan bukan berbentuk

badan hukum (recht persoon);

2. Pemakai yang dalam hal ini ditekankan pada pemakai akhir;

3. Barang dan/atau jasa;

4. Tersedia dalam masyarakat;

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

lain; dan

6. Barang dan/ atau jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan.16

Jenis konsumen lainnya adalah konsumen antara. Konsumen antara adalah

setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan

tujuan membuat barang/atau jasa lain untuk diperdagangkan kembali. Bagi jenis

konsumen ini, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa kapital, berupa

bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan

diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang

setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara

ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu dari pasar industri atau pasar produsen.

Pada hakikatnya konsumen antara ini adalah merupakan sebutan lain dari pelaku

usaha sebagaimana dikenal dalam UUPK, namun terminologi konsumen antara ini

lebih dikenal dalam khazanah ilmu ekonomi.17

16

Celina Tri SiwiKristyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. hal. 87

17

Az. Nasution, 1994, Hukum dan Konsumen Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti,

Jakarta, hal. 9. (selanjutnya disebut Az. Nasution I).

33

Merujuk pengertian diatas terlihat bahwa ada perbedaan antara kedua jenis

konsumen tersebut. Tujuan pemanfaatan dari produk barang dan/atau jasa yang

diperolehnya adalah pembeda utama. Dalam konsumen akhir, tujuan pemanfaatan

barang dan/atau jasa yang diperolehnya adalah untuk kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan,

sedangkan pada konsumen antara, tujuan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperolehnya adalah untuk mendapatkan barang dan/atau jasa lainnya dan/atau

untuk diperdagangkan kembali (tujuan komersil).

2.3.4. Hak dan kewajiban konsumen.

Konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat memiliki hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Secara umum

dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose); dan

4. Hak untuk didengar (the right to heard).

Empat hak dasar ini diakui secara Internasional, dalam perkembangannya

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan beberapa hak, seperti

hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak

mendapatkan lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat.18

Dalam UUPK, disebutkan bahwa hak konsumen adalah :

18

Shidarta, op. cit., h. 20.

34

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang

digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya; dan

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam hukum perlindungan konsumen. Beragamnya

pilihan barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat memungkinkan

35

konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya

serta memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan. Untuk dapat melaksanakan haknya tersebut, konsumen

berhak mendapatkan informasi yang akurat tentang barang dan/atau jasa yang

digunakannya. Selanjutnya, apabila terjadi sengketa, konsumen berhak untuk

mendapatkan bantuan hukum, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

konsumen secara patut, sehingga hak-hak konsumen sebagai pemakai barang

dan/atau jasa dapat ditegakkan.19

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, secara keseluruhan pada

dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan.

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin

keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau

jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian

(fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi.

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi

yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu

bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat

karena informasi yang tidak memadai.Hak atas informasi yang jelas dan

benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar

tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat

19

Shidarta, loc.cit.

36

memilih produk yang diinginkan atau sesuai dengan kebutuhannya serta

terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

3. Hak untuk memilih.

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada

konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan

kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk

memilih ini, konsumen berhak memutuskan untuk mengonsumsi atau tidak

mengonsumsi terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk

memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

4. Hak untuk didengar.

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan

lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat

berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-

produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut

kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah

dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan atau

pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan

kepentingan konsumen.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk

hidup.Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh

kebutuhan dasar (barang dan/atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya

secara layak.Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang,

37

papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan,

kesehatan dan lain-lain.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian.

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang

telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau

jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen.Hak ini sangat terkait dengan

penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik berupa kerugian

materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan

kematian) konsumen.Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui

prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan)

maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar

konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan

agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan

pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan

teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap

konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan

sehat diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.

38

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat

permainan harga secara tidak wajar.Karena dalam keadaan tertentu konsumen

dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada

kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/jasa yang diperolehnya.

10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.

Hak ini tentu saja dimaksud untuk memulihkan keadaan konsumen yang

telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.20

Syahdan terkait kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK,

disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Bertindak baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Adaya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi

dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Adapun

pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan

peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca

peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini,

memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggungjawab jika konsumen

20

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 41.

39

yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban

tersebut.Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa.Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi

konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat

melakukan transaksi dengan pelaku usaha.Berbeda dengan pelaku usaha,

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang

atau diproduksi oleh pelaku usaha atau produsen.21

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya

demikian.Kewajiban yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah

kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut.Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,

sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban

secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana

tersangka atau terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian

dan/atau kejaksaan.Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap

tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk

mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak ini akanmenjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya

penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak

21

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 47-48.

40

cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari

pihak pelaku usaha.22

2.4. PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan

2.4.1. Profil PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan.

Sebelum Perang Dunia II pada zaman penjajahan Belanda perusahaan

listrik di Denpasar bernama N.V Electriciteit Bali Lombok (N.V Ebalom

Denpasar) yang dibangun pada tahun 1927 dan dioperasikan pada tahun 1928.

Ketika Perang Dunia II berlangsung, Jepang menang atas Sekutu (salah satunya

Belanda) sehingga Jepang mengambil alih daerah kekuasaan Sekutu, termasuk

Indonesia. Menjelang datangnya tentara Jepang ke Indonesia, orang-orang

Belanda yang ada di Denpasar saat itu mengungsi ke luar Indonesia, termasuk

pemimpin N.V Ebalom Denpasar, L de Yong, yang mengungsi ke Australia. Saat

itu Belanda menyerahkan kepengurusan N.V Ebalom Denpasar kepada B.O.W.

(sekarang disebut dengan Dinas Pekerjaan Umum) dan selanjutnya dipimpin oleh

I Ketut Mandra (pimpinan B.O.W ketika itu).

Jepang masuk ke Bali pada Desember 1942 dan mengambil alih

perusahaan listrik N.V Ebalom Denpasar dan mengganti namanya menjadi Nipon

Hatsudeng yang dikepalai oleh Kawaguci. Akan tetapi di akhir Perang Dunia II

tahun 1945, Jepang kalah perang atas Sekutu dan selanjutnya Jepang

meninggalkan Indonesia termasuk Denpasar dan menyerahkan perusahaan listrik

22

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 49-50.

41

Nipon Hatsudeng kepada Dinas Pekerjaan Umum yang saat itu dikepalai oleh I

Ketut Mandra.

Usai Perang Dunia II sekitar tahun1946, Tentara Sekutu yang diwakili

Inggris masuk ke Bali disusul pula dengan pendaratan Tentara Gajah Merah

Belanda dipantai Sanur pada tanggal 2 Maret 1946. Beberapa hari kemudian

perusahaan listrik dikuasai kembali oleh Belanda serta dijaga oleh Tentara

Belanda. L de Yong yang didatangkan dari Australia ke Denpasar, kembali

memimpin perusahaan yang diganti namanya kembali menjadi N.V Ebalom.

Setelah penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada

Pemerintah Republik Indonesia pada Desember 1949, N.V Ebalom masih

dikuasai oleh Belanda sampai saat terakhir penguasaan oleh Belanda, N.V Ebalom

Denpasar dipimpin oleh antara lain L de Yong, J.de Hart, Kwee The Tjong,

Renould, J.J.Welters, Shoerincha, dan lain-lain.

Sekitar tahun 1956 – 1957 N.V Ebalom Denpasar dinasionalisasi oleh

Pemerintah Republik Indonesia. Namanyapun diganti menjadi Perusahaan Listrik

Negara (PLN) Eksploitasi IX Cabang Denpasar dan ditempatkan di bawah

pengawasan/pembinaan Kantor Besar PLN Surabaya, yang kemudian kantor

Besar Surabaya berganti sebutan menjadi Kantor PLN Exploitasi X Surabaya.

Kemudian dalam perkembangannya, semenjak tanggal 4 Mei 1965 di

Denpasar diresmikan berdirinya Kantor PLN Exploitasi VIII – Nusra yang

membawahi semua unit-unit atau cabang PLN yang ada diseluruh Nusa Tenggara

termasuk yang ada di Bali, termasuk Perusahaan Listrik Negara Eksploitasi IX

Cabang Denpasar yang sebelumnya berada di bawah Kantor PLN Exploitasi X

42

Surabaya, dimana semenjak saat itu Kantor PLN Exploitasi IX Cabang Denpasar

berlokasi di Jl. P.B. Sudirman-Lingkungan Br. Gemeh, Denpasar, hingga kini.

Perusahaan Listrik Negara Exploitasi IX Cabang Denpasar inilah yang

menjadi cikal bakal dari PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan sebagaimana yang

dikenal sekarang. Semenjak restrukturisasi PLN tahun 1994 melalui Surat

Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 32.K/010/DIR/2001, PT PLN

(Persero) Eksploitasi IX Cabang Denpasar berganti nama menjadi PT. PLN

(Persero) Area Bali Selatan. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa berdasarkan

Surat Keputusan Direksi Nomor: 119.K/010/DIR/2002 tentang perubahan

keputusan Direksi PLN (Persero) Nomor : 089.K/010/DIR/2002 maka PT. PLN

(Persero) Area Bali Selatan ditetapkan untuk membawahi PT. PLN (Persero)

Rayon Denpasar, PT. PLN (Persero) Rayon Kuta, PT. PLN (Persero) Rayon

Mengwi, dan PT. PLN (Persero) Rayon Tabanan.23

2.4.2. Wilayah Usaha PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan.

Menurut Retno Aji Wulandari selaku Supervisor Pelayanan Pelanggan PT.

PLN (Persero) Area Bali Selatan, disebutkan bahwa wilayah usaha PT. PLN

(Persero) Area Bali Selatan selaku pelaku usaha penyedia tenaga listrik yang

melingkupi sejumlah wilayah di area Bali Selatan dalam keberlakuannya

membawahi beberapa rayon PT. PLN (Persero). Dalam artian bahwa PT. PLN

(Persero) Area Bali Selatan adalah “atasan” dalam suatu susunan hirarki dari PT.

23

PT. PLN (Persero), 2011, “Profil PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan”,

http://www.pln.co.id/blog/ profil-perusahaan, diakses pada tanggal 18 Desember 2015.

43

PLN (Persero) Rayon Denpasar, PT. PLN (Persero) Rayon Kuta, PT. PLN

(Persero) Rayon Mengwi dan PT. PLN (Persero) Rayon Tabanan.

Rayon – rayon sebagaimana dimaksud diatas diantaranya meliputi beberapa

kecamatan, yakni : Rayon Denpasar (Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar

Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Utara), Rayon Kuta (Kecamatan Kuta

Selatan, Kuta Utara dan Kuta), Rayon Mengwi (Kecamatan Abiansemal, Mengwi

dan Petang), dan Rayon Tabanan (Kecamatan Baturiti, Kediri, Kerambitan,

Marga, Penebel, Selemadeg, Selemadeg Barat, Selemadeg Timur, dan Tabanan).

Disini, pembagian keempat rayon tersebut didasarkan pada luas wilayah usaha

dan kuantitas sebaran penduduk, misalnya dalam hal Rayon Kuta dan Rayon

Mengwi. Kuta dan Mengwi pada dasarnya terletak dalam satu kabupaten,

Kabupaten Badung, namun wilayah usahanya dibedakan karena luas geografis

wilayah yang dilingkupinya dan jumlah penduduk selaku konsumen listrik yang

berbeda. Dalam hal ini, Rayon Kuta dilihat dari kacamata luas wilayah dan jumlah

sebaran penduduk tentu lebih tinggi dibandingkan dengan Rayon Mengwi. Disisi

lain, eksistensi sejumlah PT. PLN (Persero) Rayon sebagaimana dimaksud diatas

tidaklah bersifat saling berhadap-hadapan dengan PT. PLN (Persero) Area Bali

Selatan, namun hubungan yang tercipta diantaranya adalah bersifat kordinasi dan

supervisi, dalam artian bahwa ketika ada suatu persoalan tetang kegiatan usaha

PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan yang tidak dapat diselesaikan sendiri maka

hal tersebut akan dilimpahkan kepada PT. PLN (Persero) Rayon yang

bersangkutan dengan tetap sepengawasan dari PT. PLN (Persero) Area Bali

Selatan. (Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Februari 2016).

44

2.4.3. Bentuk dan Tujuan PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan.

Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “cabang-cabang

produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat orang banyak dikuasai

oleh Negara”. Rumusan Pasal ini secara konstitusional mengamanatkan bahwa

Negara melalui pemerintah memiliki hak menguasai atas cabang-cabang produksi

sebagaimana tersebut meliputi bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang

terkandung didalamnya, dimana peruntukan atas hal ini adalah demi kemakmuran

rakyat yang sebesar-besarnya.

Dalam kaitan ini, bila ditelaah lebih lanjut maka ruang lingkup dari cabang-

cabang produksi sebagaimana dimaksud yang meliputi bumi, air, dan kekayaan

alam lainnya begitu luas. Sektor agraria, sektor sumber daya strategis, sektor

energi, dll adalah sebagian kecil contoh cabang-cabang produksi yang dikuasai

oleh Negara. Merujuk pada uraian diatas, salah satu cabang produksi yang

menarik perhatian adalah pada sektor energi, khususnya pada bidang

ketenagalistrikan, mengapa? Karena pada bidang ini, Negara memiliki hak

menguasai secara mutlak yang direpresentasikan melalui peranan PT. PLN

(Persero) dalam “memainkan peran tunggal” selaku penyedia tenaga listrik di

Indonesia. Hal ini tentu berbeda bila dikomporasikan dengan sektor-sektor lainnya

sebagaimana termaksud sebagaimana eksistensi pihak swasta yang masih

“bermain” di dalamnya, sehingga hak menguasai oleh Negara tidak seluruhnya

mutlak.

45

PT. PLN (Persero) sebagaimana telah diuraikan diatas adalah “pemain

tunggal” penyedia tenaga listrik di Indonesia. Dalam hal ini, kedudukan PT. PLN

(Persero) sebagai “perpanjangan tangan” Negara selaku “aktor” yang menguasai

sektor ketenagalistrikan di Indonesia. PT. PLN (Persero) secara hirarki terusun

dalam berbagai bentuk tingkatan mulai dari pusat hingga yang terkecil adalah

rayon. Disini, PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah cabang perusahaan dari

PT. PLN (Persero) Pusat yang berkedudukan di Jakarta, dimana sebagai satu

kesatuan hirarki maka PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan haruslah seiring

sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh PT. PLN (Persero) Pusat.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa PT. PLN (Persero)

Pusat maupun PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah satu kesatuan hirarki,

maka dapatlah diketahui bentuk usaha yang dijlankan adalah perusahaan

perseroan berbentuk perseroan terbatas. Kemudian daripada itu, sebagaimana

“nama” yang diusungnya, PT. PLN (Persero) merupakan suatu BUMNdengan

badan hukum berbentuk persero yang secara spesifikmemiliki maksud dan tujuan

untuk menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum

dalam jumlah dan mutu yang memadai, sertamemupuk keuntungan dan

melaksanakan penugasan pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka

menunjang pembangunan denganmenerapkan prinsip-prinsip perseroan

terbatas.Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN),

Persero atau perusahaan perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan

terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%

46

(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang

tujuan utamanya mengejar keuntungan. Persero atau perusahaan perseroan dalam

badan BUMN pada prinsipnya sama dengan perseroan terbatas sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPT 2007, yang secara eksplisit menyatakan

bahwa “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,

melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta

peraturan pelaksanaannya”.Lebih lanjut akan hal ini, dalam Pasal 2 ayat (1) huruf

b dan Pasal 12 UU BUMN ditegaskan bahwa PT. PLN (Persero) sebagai BUMN

yang berbentuk persero bertujuan untuk mengejar keuntungan. Hal ini sesuai

dengan hakikat perseroan menurut UUPT 2007 juga untuk mengejar keuntungan

(profit oriented)mengingat persero pada dasarnya merupakan perseroan terbatas,

semua ketentuan UUPT 2007 termasuk pula segala peraturan pelaksanaannya

berlaku pula bagi persero.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT. PLN

(Persero) baik PT. PLN (Persero) Pusat maupun PT. PLN (Persero) Area Bali

Selatan tunduk dengan ketentuan-ketentuanUUPT 2007.24

Sehubungan dengan uraian diatas, usaha penyediaan tenaga listrik oleh PT.

PLN (Persero) Area Bali Selatan dapat dijabarkan dalam beberapa bidang, yakni :

1. Pengoperasian dan pemeliharaan distribusi;

2. Pelaksanaan penertiban pemakaian tenaga listrik;

24

Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia

Indonesia, Bogor, h. 168.

47

3. Pengelolaan alat pembatas dan alat pengukur dan pengelolaan tata usaha

langganan di area Bali Selatan, yang meliputi:

a. Fungsi pelayanan pelanggan;

b. Fungsi pembacaan meter;

c. Fungsi pembuatan rekening listrik;

d. Fungsi pembukuan pelanggan;

e. Fungsi penagihan; dan

f. Fungsi pengawasan kredit.25

Kemudian dalam kaitan dengan tujuan usaha PLN (Persero) Area Bali

Selatan, maka sesuai dengan uraian diatas bahwa tujuan utama dari suatu

perseroan terbatas adalah profit oriented. Oleh karena itu dapatlah dikatakan

bahwa PLN (Persero) Area Bali Selatan dalam menyelenggarakan kegiatan

usahanya lebih ditujuan untuk kepentingan bisnis/usahanya dengan orientasi

utama yang dikejar adalah profit/laba yang sebesar-besarnya. Selanjutnya, sebagai

bagian dari PT. PLN (Persero) Pusat, maka tujuan usaha lainnya dari PT. PLN

(Persero) Area Bali Selatan adalah sama dengan tujuan usaha PLN (Persero)

Pusat, yang dalam hal ini diejawantahkan lebih lanjut dalam misi perusahaan,

diantaranya:

1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi

kepada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan, dan pemegang saham;

2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas

kehidupan masyarakat;

25

Mahmud Ismadi, 2011, “Gilang Gemilang PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan”

http://202.162.216.68:4321/klienjaser/ssm.php, diakses pada tanggal 21 Februari 2016.

48

3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan-kegiatan

ekonomi; dan

4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.26

26Ibid.

24