tanggungjawab pegendara dalam laulintas

46
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang berkembang, Indonesia secara terus menerus berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang sesuai dengan arah pembangunan nasional menuju negara maju. Hal ini senada dengan rencana pembangunan nasional yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang menyatakan bahwa: “Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945”. 1 Pembangunan dalam berbagai bidang tentunya harus didukung dengan infrasturktur yang memadai, salah satu yang terpenting ialah sarana dan prasarana 1 http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013 1

description

dalam undang-undang no 22 tahun 2009 menjelaskan bahwa pengdara

Transcript of tanggungjawab pegendara dalam laulintas

Page 1: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara yang berkembang, Indonesia secara terus menerus

berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang sesuai dengan arah

pembangunan nasional menuju negara maju. Hal ini senada dengan rencana

pembangunan nasional yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang menyatakan bahwa:

“Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional

sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945”.1

Pembangunan dalam berbagai bidang tentunya harus didukung dengan

infrasturktur yang memadai, salah satu yang terpenting ialah sarana dan

prasarana perhubungan, seperti membangun jalan penghubung antara daerah

satu dengan daerah yang lainya, serta memperbaiki dan memelihara jalan di

kota sampai pada jalan di pelosok desa atau daerah terpencil. Maraknya

pembangunan jalan penghubung tersebut berbanding lurus dengan semakin

banyaknya jumlah pengguna jalan. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata di

mana jumlah kendaraan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan

ini jelas memerlukan perhatian dari pemerintah sebagai penyelenggara

1 http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013

1

Page 2: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

2

negara, untuk itu dalam rangka mengatasi permasalahan yang diperkirakan

akan timbul sehubungan dengan segala aspek mengenai lalu lintas ini,

pemerintah sejak lama telah memikirkan dan melakukan upaya guna

mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu

lintas. Maka dari itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Dengan kehadiran regulasi yang secara umum mengatur tentang sistem

transportasi nasional, dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan,

keselamatan, ketertiban, kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan,2 maka

penegak hukum khususnya polisi lalu lintas harus dapat berfungsi untuk

menegakkan keadilan di jalan raya demi keselamatan bersama sesama para

pengguna jalan. Dalam penggunaan jalan sebagai sebuah sarana transpotasi,

setiap pengguna jalan dituntut untuk dapat berprilaku tertib dan mencegah

hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan

lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan,3

sehingga seluruh pengguna jalan atau dalam hal ini pengemudi kendaraan

bermotor wajib untuk memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan di

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yakni memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan

jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan, yang diperoleh dengan

memenuhi persyaratan usia, administrasi, kesehatan, dan lulus ujian.

2 Lihat konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahu 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

3 Lihat pasal 105 huruf (a) dan huruf (b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Page 3: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

3

Persyaratan yang terdapat dalam regulasi ini bertujuan untuk dapat

memenuhi standar kriteria keselamatan pengguna jalan, namun fenomena

yang kemudian muncul di masyarakat (das sein) justru cenderung

bertentangan dengan apa yang terdapat dalam regulasi yang mengatur, yakni

terkait dengan persyaratan usia bagi pengemudi kendaraan bermotor, di mana

masih sering kita jumpai para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak

memiliki SIM dan tidak sedikit juga para pengemudi tersebut masih berada

dibawah umur, yang notabanenya belum memenuhi kriteria umur untuk

memperoleh SIM.4 Hampir di setiap jalan besar maupun jalan kecil, pada saat

sedang mengemudikan kendaraan bermotor, sering ditemui anak di bawah

umur yang mengemudikan kendaraan bermotor, anak yang mengendarai

kendaraan bermotor ini, tak jarang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Salah

satu contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ialah kecelakaan yang

terjadi di Jalan Tol Jagorawi yang mengakibatkan meninggalnya 6 orang dan

belasan lainnya mengalami luka berat, yang di sebabkan mobil Mitsubishi

Lancer yang dikendarai oleh anak di bawah umur yang melaju dari arah

Bogor ke Jakarta kehilangan kendali, dan kemudian menabrak pembatas tol

hingga mobil yang dekendarainya menyeberang ke jalur yang berlawanan.5

Hal ini disebabkan karena kondisi pengemudi yang masih labil dan

secara psikologis masih belum mampu untuk menguasai emosi, yang

akhirnya dapat membahayakan keselamatan pengemudi lain ketika anak

4 Persyaratan usia yang ditentukan di dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ialah: 17 Tahun untuk SIM C, 20 Tahun untuk SIM B I, dan 21 Tahun untuk SIM B II

5 http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013

Page 4: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

4

tersebut mengendarai kendaraaan bermotor seorang diri tanpa pengawasan

dari orang tua. Fenomena anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan

bermotor ini tidaklah munculnya dengan sendirinya, namun hal ini

diakibatkan adanya sebuah kebiasaan orang tua yang membelikan anaknya

sebuah kendaraan bermotor sebagai sebuah wujud kasih sayang, dan sebagian

orang tua lainnya beralasan untuk mempermudah pergi ke sekolah atau

supaya sang anak lebih patuh kepada orang tuanya.6

Dalam kaca mata hukum seorang anak yang masih berada di bawah umur

merupakan tanggung jawab orang tua untuk memberikan perlindungan

sebagai pemenuhan terhadap hak anak sebagaimana yang terdapat dalam

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan

Anak,7 dan ketika seorang anak melakukan tindak pidana maka terdapat

perlindungan khusus dalam sistem peradilan, hal ini dilakukan guna

mempertimbangkan kepentingan anak dan masa depannya yang masih sangat

panjang,8 namun ketika kita melihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di mana seseorang yang

dengan sengaja mengemudikan kendaraaan bermotor dengan cara atau

keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dan mengakibatkan

kematian, dapat dikenakan pidana penjara,9 dengan demikian maka dalam

regulasi ini akan menimbulkan sebuah pertentangan di mana di satu sisi

6 http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013

7 Dalam pasal ini menyebutkan bahwa: Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga Dan Orang Tua Berkewajiban Dan Bertanggung Jawab Terhadap Penyelenggaraan Perlindungan Anak

8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta, 2010), hlm. 949 Lihat Pasal 311 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan

Page 5: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

5

seorang anak mendapatkan sebuah keistimewaan, namun disisi lain akibat

perbuatan seorang anak yang berkendara tanpa memperhatikan persyaratan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan, dan menimbulkan kematian bagi pengendara lain,

tentunya hal ini akan mempengaruhi rasa keadilan bagi korban.

Fenomena kecelakaan lalu lintas yang terjadi diakibatkan oleh seorang

anak bawah umur, hal ini tentunya akan menimbulkan sebuah bentuk

pertanggungjawaban hukum yang berbeda, dengan kecelakaan lalu lintas

yang dilakukan oleh orang dewasa, namun jika kita mencoba melihat

persoalan ini dalam prespektif kriminologi, yang oleh Bonger,10 didefinisikan

sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala

kejahatan seluas-luasnya, maka akan memunculkan faktor kriminogen yang

salah satunya dapat diakibatkan oleh orang tua sang anak, di mana dalam hal

ini orang tua sangat berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu

lintas yang melibatkan anak di bawah umur walaupun secara tidak langsung,

terlebih jika kita meninjau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, di mana dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai

kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang kecanduan narkotika,

dan apabila orang tua tersebut dengan sengaja tidak melaporkan, maka dapat

dikenakan pidana kurungan paling lama 6 bulan,11 maka dengan hal ini dalam

upaya menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak

10 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi (Jakarta, 2001), hlm. 911 Lihat Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Page 6: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

6

yang menyebabkan kematian, sangatlah dibutuhkan peran serta dari orang tua

dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap anak.

Beranjak dari pemaparan mengenai fenomena tindak pidana lalu lintas

yang dilakukan oleh anak di bawah umur tersebut, penulis merasa perlu untuk

melakukan sebuah kajian mengenai pertanggungjawaban pidana oleh orang

tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang mengakibatkan

kematian, dengan menggunakan perspektif kriminologi, hal ini dilakukan

guna mampu menekan tingginya jumlah tindak pidana lalu lintas yang

dilakukan oleh anak, sehingga mampu memberikan jaminan perlindungan

bagi seorang anak. Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk

mengangkat permasalahan tersebut dengan judul “Analisis Yuridis

Terhadap Pertanggung jawaban Orang Tua Dalam Kejahatan Lalu

Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Suatu Kajian Terhadap Kecelakaan

Lalu Lintas Yang Menyebabkan Kematian)

B. Perumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam

penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang

kemudian dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak

di Indonesia ?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh orang tua dalam

kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan

kematian ?

Page 7: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak

dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui secara mendalam dan komprehensif mengenai

formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Indonesia.

b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana oleh orang tua

dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan

menyebabkan kematian.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada

semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

1) Diharapkan dari penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan

sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangsih secara ilmiah dalam

upaya mencegah terjadinya tindak pidana lalu lintas yang

dilakukan oleh anak.

2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah

formulasi pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana yang

dilakuka oleh anak, kepada orang tua.

Page 8: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

8

b. Kegunaan Praktis

1) Bagi Masyarakat

a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter dalam

melakukan pengawasan terhadap anak agar tidak

menggunakan kendaraan bermotor sebelum memenuhi

persyaratan dalam undang-undang.

b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi

pihak yang tertarik meneliti pada persoalan yang sama dalam

tahap selanjutnya.

2) Bagi Pemerintah

a) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi

untuk melakukan evaluasi terhadap tingginya pelanggaran

lalu lintas, serta sebagai sebuah upaya preventif untuk

mencegah terjadina tindak pidana lalu lintas yang dilakukan

oleh anak.

3) Bagi Universitas

a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih

dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan

terkait dengan pertanggungjawaban pidana kejahatan lalu

lintas yang di lakukan oleh anak.

Page 9: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

9

D. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Tentang Anak

Secara umum telah berkembang mengenai definisi tentang anak secara

variatif, seperti dalam kamus besar bahasa Indonesia yang memberikan

definisi anak sebagai manusia yang masih kecil.12 Anak merupakan seseorang

yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita, dalam hukum

positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang

yang dibawah umur/keadaan dibawah umur atau biasa disebut juga sebagai

anak yang berada dibawah pengawasan wali.

Menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seseorang yang masih ada di

bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin,13 apabila mengacu

pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase

perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri

tertentu. Untuk menentukan criteria seorang anak selain dapat dilihat dari

pertumbuhannya, hal ini juga dapat dilihat dari perkembangan jiwa yang

dialaminya.14

Menurut Soedjono Dirdjosisworo di dalam hukum adat, anak diartikan

sebagai seseorang yang belum terdapat tanda-tanda fisik yang konkret bahwa

mereka telah dewasa.15 Kemudian dalam sisi regulasi juga telah memberikan

pengertian tentang anak, di mana Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009

12 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 1985), hlm. 73513 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis

(Bandung, 1983), hlm. 2514 Zakiah Daradjad, Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan

Generasi Muda (Bandung, 1985), hlm. 38-3915 Kartono, Kartini, Gangguan-Gangguan Psikis, (Bandung, 1981), hlm. 187

Page 10: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

10

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, anak diartikan sebagai seseorang

yang masih berusia di bawah 17 tahun,16 kemudian Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang

anak ialah “setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun

dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya”.17 Kedua pengertian sebelumnya pun

hampir sama dengan pengertian anak yang terkandung dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di mana yang

dimaksud dengan anak ialah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan”.18

Dengan demikian, nampak jelas bahwa yang dapat dikategorikan sebagai

anak tidaklah hanya dapat dilihat dari usia, namun dapat juga dipandang dari

sisi yang lain, seperti kedewasaan, perkembangan kejiawaan. Melihat

banyaknya definisi terkait anak tersebut, maka untuk dapat memberikan

batasan dalam pengertian anak, dan dapat digunakan sebagai pijakan teori

dalam skripsi ini, yang dimaksud dengan anak ialah seseorang yang belum

berumur 18 tahun dan belum menikah.

2. Sekilas Tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan

16 Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

17 Lihat Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

18 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Page 11: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

11

dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri, namun biasanya tindak

pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana”.19

Kemudian Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang,

memberikan definisi terkait dengan tindak pidana ialah sebagai berikut :

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang

dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum.”20

Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaarfeit)

memuat beberapa syarat pokok yakni, suatu perbuatan manusia, perbuatan itu

dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, perbuatan itu

dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.21

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

setelah kita mengetahui mengenai definisi tentang tindak pidana, maka

terkait dengan unsur-unsur tindak pidana, ialah sebagai berikut:

1) Ada Perbuatan

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus

reus) terdiri atas, commision/act yang dapat diartikan sebagai melakukan

19 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima (Jakarta, 2007), hlm 92 20 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1997), hlm. 18221 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm 48

Page 12: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

12

perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagain pakar

juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif), kemudian ommision, yang

dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan

oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan

(pasif/negatif).

Pada dasarnya bukan hanya berbuat (commision/act), orang dapat

diancam pidana melainkan (ommision) juga dapat diancam pidana, karena

commision/act maupun ommision merupakan perbuatan yang melanggar

hukum. Untuk lebih jelasnya baik commision/act maupun ommision akan

penulis perlihatkan perbedaannya, hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang

terkait yang terdapat dalam KUHP, anatara lain sebagai berikut:

Ommision/act, yang sebagian pakar menyebutnya sebagai perbuatan aktif

atau perbuatan positif, contohnya terdapat pada Pasal 362 KUHP yang

rumusannya antara lain:

“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara

melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling

lama lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah”22

Ommision, yang sebagian pakar sebut sebagai perbuatan pasif atau

perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan yang

contohnya terdapat pada Pasal 165 KUHP yang rumusannya antara lain:

“Barang siapa yang mengetahui ada orang yang bermaksud hendak

melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal

22 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Yogyakarta , 2008), hlm 128

Page 13: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

13

itu dengan sepatutnya dan waktunya baik kepada yang terancam, jika

kejadian itu benar terjadi dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan

atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah” 23

2) Ada Sifat Melawan Hukum

Penyebutan “sifat melawan hukum” dalam pasal-pasal tertentu

menimbulkan tiga pandapat tentang arti dari “melawan hukum” ini yaitu

diartikan,24 bertentangan dengan hukum (objektif), bertentangan dengan hak

(subjektif) orang lain, Tanpa hak.

Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut:

“Menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan

hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan

tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik

menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti

meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai

Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus ditinjau dari ketentuan

hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum

umum dari hukum tidak tertulis.”25

Melihat uraian defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sifat perbuatan

melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam yakni: Sifat melawan

hukum formil (formale wederrechtelijk) yang merupakan, perbuatan yang

memenuhi rumusan undang-undang, kecuali diadakan pengecualian-

pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, bagi pendapat ini

23 Ibid, hlm 6224 Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Indonesia (Bandung, 2010), hlm. 2 25 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 194

Page 14: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

14

melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah

undang-undang,26 kemudian yang kedua ialah sifat melawan hukum materill

(materiel wedderrchtelijk) yang di mana, hukum itu bukan hanya undang-

undang saja (hukum yang tertulis), tatapi juga meliputi hukum yang tertulis,

yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di masyarakat.27

Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana

yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah

sifat melawan hukum (wederrechtelijk) baik secara eksplisit maupun emplisit

ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang eksplisit

maupun emplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak

dapat disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang ada atau

mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau si terdakawa dapat

dilakukan penuntututan dan pembuktian didepan pengadilan.28

Adanya sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam ketentuan

perundang-undangan, hal ini disebabkan karena perbuatan yang tercantum

sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu

dicantumkan secara eksplisit, misalnya pada Pasal 338 KUHP tidak

mengandung kata melawan hukum, namun setiap orang normal memandang

bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah melawan hukum,

bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua kaidah-kaidah sosial dan

agama.29

26 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta, 2012), hlm. 53 27 Ibid.28 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 6929 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Jakarta, 2007), hlm.240

Page 15: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

15

3) Tidak Ada Alasan Pembenar

(a) Daya Paksa Absolute

Sathochid Kartanegara mendefinisikan daya paksa Absolutte sebagai

berikut: 30

“Daya paksa absolute adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan

dengan kekuasaan tenaga manusia oleh orang lain.”

Daya paksa (overmacht), telah diatur oleh pembentuk undang-undang di

dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:31

“Tidaklah dapat dihukum barang siapa telah melakukan suatu perbuatan

dibawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa”

Daya paksa (Overmacht), dapat terjadi pada peristiwa-peristiwa berikut:

(1) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik;

(2) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara psikis;

(3) Peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang biasanya

disebut Nothstand, Noodtoestand atau sebagai etat de necessite,

yaitu suatu keadaan di mana terdapat:32

a) Suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan

kewajiban hukum yang lain.

b) Suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu

kepentingan hukum.

30 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh (Jakarta, 2012), hlm. 55

31 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 2332 P.A.F Lamintang, Op.Cit., hlm. 428

Page 16: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

16

c) Suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan

kepentingan hukum yang lain.

(b) Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa (noodwear) dirumuskan di dalam KUHP Pasal 49

Ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:33

“Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya, untuk

mempertahankan dirinya atau orang lain, mempertahankan kehormatan atau

harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan

hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh

dihukum”.

(c) Menjalankan Ketentuan Undang-Undang

Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa:34

“Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan

Perundang-undangan, tidak dipidana.”

(d) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah

Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai

berikut:35

“Tiada boleh dihukum barang siapa yang melakukan perbuatan untuk

menjalankan perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar

(penguasa), yang berhak untuk itu”

c. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

33 Moeljatno, Loc.Cit.34 Ibid., hlm. 2435 Ibid.

Page 17: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

17

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan

teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa

atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang

terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang

diuraikan sebagai berikut:

1) Mampu Bertanggung jawab

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada

umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur

yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara

lain berbunyi sebagai berikut: 36

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

2) Kesalahan

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam

hukum positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”,

yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya

kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat

diminta pertanggungjawaban atasnya.37

36 Ibid., hlm. 2137 Teguh Prasetyo, Op.Cit., 226 & 227

Page 18: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

18

Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu

kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas

sebagai berikut:

a) Kesengajaan (Opzet)

Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja

(Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat

sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.38

Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri

atas 3 (tiga) bentuk, yakni: 39 Kesengajaan Sebagai Maksud (oogmerk) yang

merupakan perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga

menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang

dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan

berbuat,40 selanjutnya kesengajaan dengan Insaf Pasti (opzet als

zekerheidsbewustzijn) yang di mana apabila si pelaku dengan perbuatnnya,

tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delict, tetapi ia tahu benar

bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.41 selanjutnya yang

terakhir ialah kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

eventualis) jika seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk

menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa

mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh

undang-undang.42

38 Zainal Abidin Farid, Op.Cit., hlm. 22639 Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 940 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 9841 Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 8042 Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 18

Page 19: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

19

b) Kealpaan (Culpa)

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap

hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang

lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk,

yakni:43 Kealpaan Dengan Kesadaran (bewuste schuld/culpa lata) yang dalam

hal ini si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu

akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga

akibat tersebut, kemudian kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa

levis), di mana si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya

suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang,

sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

3) Tidak Ada Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut

pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah

dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan

kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan ini

dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan,

daya paksa relatif, pembelaaan terpaksa melampaui batas, perintah jabatan

yang tidak sah.

3. Pengertian Tindak Pidana Anak

Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan

tersebut melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh pidana dan

43 Ibid.

Page 20: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

20

pelakunya diancam oleh pidana. Dalam KUHP di Indonesia, jelas terkandung

makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-

unsur yakni antara lain, adanya perbuatan manusia, perbuatan tersebut harus

sesuai dengan ketentuan hukum, adanya kesalahan, orang yang berbuat harus

dapat dipertanggung jawabkan.44

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan

dengan hukum, yaitu Status Offence yang merupakan perilaku kenakalan

anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai

kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah,

kemudian Juvenile Deliquency yang merupakan perilaku kenakalan anak

yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau

pelanggaran hukum. 45

Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak

disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi

kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis,

agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak

mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai

kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi

psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas

tindakan yang telah dilakukannya.

Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya

kejahatan anak, yaitu faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial, faktor

44 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung, 2006), hal.1245 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem

Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia (Indonesia, 2003), hal. 2

Page 21: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

21

psikologis.46 Sementara dalam KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat

dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang

bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang

menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-

anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud

merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan

kejahatan yang tercantum dalam KUHP dimana pelaku harus menyadari

akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap

perbuatannya tersebut.

4. Sekilas Tentang Kejahatan Lalu Lintas Yang di Lakukan Oleh Anak

dan Pertanggung Jawaban Oleh Orang Tuan

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa disamping delik commissionis

yang merupakan pelanggaran terhadap suatu undang-undang, sedangkan delik

omissionis merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan-

keharusan menurut undang-undang,47 juga terdapat sebuah delik lain yakni,

delik Commissionis Per Omissionem Commisa yang merupakan pelanggaran

terhadap larangan, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Dalam

tindak pidana lalu lintas terdapat sebuah persyaratan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, mengenai persyaratan umur untuk memperoleh surat izin mengemudi

(SIM), yakni sebagai berikut :48

46 A.Syamsudin Meliala & E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum (Yogyakarta, 1985), hlm. 31

47 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 21348 Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

Page 22: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

22

Tabel I :

Persyaratan Usia Untuk Memperoleh SIM

No Usia minimal SIM yang dapat digunakan

1 17 tahun

- SIM A

- SIM C

- SIM D2 20 tahun - SIM B13 21 tahun - SIM B2

Dalam fakta yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, kita semua

sering menyaksikan bahwa seorang anak yang notabanenya berada di bawah

umur sebagaimana yang ditentukan oleh dalam Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal ini tentulah

merupakan sebuah sisi gelap dalam penggunaan sarana lalu lintas di

Indonesia, di mana masih segar dalam ingatan mengenai kasus kecelakaan

maut yang diakibatkan oleh putra Ahmad Dhani, yakni Abdul Qodir

Jaelani di Jalan Tol Jagorawi, di sinilah kita perlu melihat sebuah upaya

preventif dari orang tua yang secara limitatif diberikan oleh undang-undang

untuk mengawasi seorang anak, dengan adanya pembiaran yang di lakukan

oleh orang tua, maka di sini jika kita lihat dalam perspektif kriminologi, maka

hal ini merupakan salah satu faktor kriminogen dari terjadinya tindak pidana

yang dilakukan oleh anak, apa lagi dalam hukum pidana berlaku asas fiktif, di

mana semua orang dianggap mengetahui hukum. Dengan demikian maka

terbukalah sebuah peluang dalam tindak pidana lalu lintas yang dilakukan

oleh anak, dapat dipertanggung jawabkan oleh orang tua karena kelalaiannya

Page 23: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

23

dalam menjaga dan melindungi anak, hal ini sejalan dengan prinsip yang

terdapat di dalam Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, di mana dalam regulasi tersebut memuat sebuah ketentuan tentang

pertanggung jawabn oleh orang tua yang dengan sengaja tidak melaporkan

anaknya yang kecanduan narkotika, dengan demikian demi sebuah

perlindungan terhadap anak, dan juga mengedepankan faktor-faktor

kriminogen yang ada, maka pertanggungjawaban oleh orang tua dalam

kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak merupakan sebuah

keniscayaan yang tak terbendung.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis

dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten,

Kemudian metodologi berasal dari dari kata “metode” yang artinya tepat

melakukan sesuatu dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan, dengan

demikian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisanya.49

Dalam skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian

yuridis normatif, Penelitian yuridis normatif ini dimaksud untuk

menginventarisasi hukum dengan pengunaan konsepsi legisme yang

49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Normatif (Jakarta; 1985), hal .42-43

Page 24: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

24

positivistis yang berpendapat bahwa hukum identik dengan norma-norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat Negara yang

berwenang,50 selain itu penelitian yuridis normatif ini dimaksudkan agar dapat

mengetahui mengenai formulasi tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh

anak di Indonesia dan untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban orang

tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menimbulkan

kematian.

Penelitian hukum normatif merupakan sebuah penelitian yang

mendasarkan pada bahan hukum baik primer maupun sekunder.51 Adapun

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah statute approach

(pendekatan undang-undang), yaitu suatu metode pendekatan dengan

menelaah semua undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti,

sehingga akan kelihatan konsistensi antara undang-undang yang satu dengan

undang-undang lainnya,52 dan pendekatan consep approach yang didasarkan

pada beberapa konsep yang telah ada dan dibangun oleh para ahli hukum

serta pendekatan historical approach dan comaparative approach dalam

rangka melakukan pengkajian terhadap hukum-hukum yang pernah

digunakan.

2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

50 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta; 1990), hlm.13-14.

51 Ibid, Hlm 1552 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, edisi 1 Cet. Ke- 1, (Jakarta; 2006), hlm. 93

Page 25: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

25

Sumber bahan hukum yang diambil dalam melakukan penelitian ini

adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier, dan juga Penulis menggunakan bahan kajian pustaka antara lain:

a. Bahan hukum primer yaitu, sumber bahan yang berupa peraturan

hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dianut berupa:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Ham,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari buku,

makalah, artikel, jurnal ilmiah, dan laporan penelitian yang berkaitan

dengan masalah.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Bahasa inggris,

Kamus Bahasa Indonesia, kamus Hukum, dan lain-lain.53

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

53 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; 1997), hlm. 20

Page 26: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

26

Untuk mengunakan bahan-bahan hukum di maksud di atas, maka di

gunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mencari mencatat,

menginventarisasi dan mempelajari bahan-bahan hukum berupa bahan-bahan

pustaka.

4. Metode Analisis Bahan Hukum

Setelah terkumpulnya bahan yakni, bahan primer dan sekunder,

kemudian dianalisis, sehingga bisa ditemukan dasar yang kuat dan tepat untuk

membahas permasalahan yang diangkat oleh peneliti, kemudian dilanjutkan

dengan memberikan gambaran permasalahan yang merujuk pada peraturan

perundang-undangan yang terkait, serta memperhatikan teori-teori hukum

yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.

F. Jadwal dan Sistematika Penulisan

1. Jadwal Penelitian

Penulisan hukum ini direncanakan akan berlangsung selama 3 (tiga) bulan,

dengan jadwal sebagai berikut :

Page 27: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

27

No KegiatanWaktu Pelaksanaan (Bulan ke)

I II III Dst

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Persiapan

Pengajuan Usulan

Seminar Proposal

Revisi Usulan

Pengurusan Izin

Pengumpulan Data

Analisis Data

Penyusunan Laporan

Ujian

Revisi Laporan

(jika ada revisi)

xx

xx

x

x

xx

xx

xx

xx

x

x

2. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini, agar dapat disajikan

secara sistematis, maka terdapat suatu sistematika guna mencapai tujuan

tersebut, adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai Latar belakang,

Perumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penulisan, Tinjauan

pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : HASIL PENELITIAN

Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai hasil penelitian yang

terdiri dari bahan hukum tentang, formulasi tindak pidana lalu

lintas yang dilakukan oleh anak dan bahan hukum tentang,

Page 28: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

28

pertanggungjawaban orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang

dilakukan oleh anak dan menimbulkan kematian.

BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini yang pertama akan dibahas adalah mengenai

analisis hasil terhadap, formulasi tindak pidana lalu lintas yang

dilakukan oleh anak dan analisis terhadap, pertanggungjawaban

orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak

dan menimbulkan kematian.

BAB IV : PENUTUP

Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran

yang relevan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Page 29: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

29

Atmasasmita, Romli. 1983. Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis, Bandung; Armico

Daradjad, Zakiah. 1985. Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda. Bandung; Bina Cipta

Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua. Jakarta; Sinar Grafika

Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta; Rangkang Education dan Pukap Indonesia

Kartono, Kartini. 1981. Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung; Sinar Baru

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung; PT. Citra Aditya Bakti

Marpaung, Leden. 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh. Jakarta; Sinar Grafika

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Predana Media Group

Meliala, A.Syamsudin dan Sumaryono E. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta; Liberty

Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta; Bumi Aksara

Poerwadarminto, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka

Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada

Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak Pidana Tertentu Indonesia. Bandung; Refika Aditama

Purnianti, Supatmi, Mamik Sri, dan Tinduk, Ni Made Martini. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, Indonesia; UNICEF

Santoso, Topo & Zulfa, Eva Achjani. 2001. Kriminologi. Jakarta; Rajawali Pers

Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Penelitian Normatif, Jakarta: UI Press

Page 30: tanggungjawab pegendara dalam laulintas

30

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia

Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung; Refika Aditama

Sudarsono. 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima. Jakarta; Rineka Cipta

Sunggono, Bambang. 2012. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press

WEBSITE:

http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013

http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013

http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika