tanggungjawab pegendara dalam laulintas
-
Author
syam-hadijanto -
Category
Documents
-
view
57 -
download
2
Embed Size (px)
description
Transcript of tanggungjawab pegendara dalam laulintas

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah negara yang berkembang, Indonesia secara terus menerus
berusaha meningkatkan pembangunan di segala bidang sesuai dengan arah
pembangunan nasional menuju negara maju. Hal ini senada dengan rencana
pembangunan nasional yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang menyatakan bahwa:
“Pembangunan Nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945”.1
Pembangunan dalam berbagai bidang tentunya harus didukung dengan
infrasturktur yang memadai, salah satu yang terpenting ialah sarana dan
prasarana perhubungan, seperti membangun jalan penghubung antara daerah
satu dengan daerah yang lainya, serta memperbaiki dan memelihara jalan di
kota sampai pada jalan di pelosok desa atau daerah terpencil. Maraknya
pembangunan jalan penghubung tersebut berbanding lurus dengan semakin
banyaknya jumlah pengguna jalan. Hal ini dapat dilihat secara kasat mata di
mana jumlah kendaraan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan
ini jelas memerlukan perhatian dari pemerintah sebagai penyelenggara
1 http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013
1

2
negara, untuk itu dalam rangka mengatasi permasalahan yang diperkirakan
akan timbul sehubungan dengan segala aspek mengenai lalu lintas ini,
pemerintah sejak lama telah memikirkan dan melakukan upaya guna
mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu
lintas. Maka dari itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dengan kehadiran regulasi yang secara umum mengatur tentang sistem
transportasi nasional, dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan,
keselamatan, ketertiban, kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan,2 maka
penegak hukum khususnya polisi lalu lintas harus dapat berfungsi untuk
menegakkan keadilan di jalan raya demi keselamatan bersama sesama para
pengguna jalan. Dalam penggunaan jalan sebagai sebuah sarana transpotasi,
setiap pengguna jalan dituntut untuk dapat berprilaku tertib dan mencegah
hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan
lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan,3
sehingga seluruh pengguna jalan atau dalam hal ini pengemudi kendaraan
bermotor wajib untuk memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan di
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, yakni memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) sesuai dengan
jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan, yang diperoleh dengan
memenuhi persyaratan usia, administrasi, kesehatan, dan lulus ujian.
2 Lihat konsideran menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahu 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
3 Lihat pasal 105 huruf (a) dan huruf (b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

3
Persyaratan yang terdapat dalam regulasi ini bertujuan untuk dapat
memenuhi standar kriteria keselamatan pengguna jalan, namun fenomena
yang kemudian muncul di masyarakat (das sein) justru cenderung
bertentangan dengan apa yang terdapat dalam regulasi yang mengatur, yakni
terkait dengan persyaratan usia bagi pengemudi kendaraan bermotor, di mana
masih sering kita jumpai para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak
memiliki SIM dan tidak sedikit juga para pengemudi tersebut masih berada
dibawah umur, yang notabanenya belum memenuhi kriteria umur untuk
memperoleh SIM.4 Hampir di setiap jalan besar maupun jalan kecil, pada saat
sedang mengemudikan kendaraan bermotor, sering ditemui anak di bawah
umur yang mengemudikan kendaraan bermotor, anak yang mengendarai
kendaraan bermotor ini, tak jarang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas. Salah
satu contoh yang masih segar dalam ingatan kita, ialah kecelakaan yang
terjadi di Jalan Tol Jagorawi yang mengakibatkan meninggalnya 6 orang dan
belasan lainnya mengalami luka berat, yang di sebabkan mobil Mitsubishi
Lancer yang dikendarai oleh anak di bawah umur yang melaju dari arah
Bogor ke Jakarta kehilangan kendali, dan kemudian menabrak pembatas tol
hingga mobil yang dekendarainya menyeberang ke jalur yang berlawanan.5
Hal ini disebabkan karena kondisi pengemudi yang masih labil dan
secara psikologis masih belum mampu untuk menguasai emosi, yang
akhirnya dapat membahayakan keselamatan pengemudi lain ketika anak
4 Persyaratan usia yang ditentukan di dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ialah: 17 Tahun untuk SIM C, 20 Tahun untuk SIM B I, dan 21 Tahun untuk SIM B II
5 http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013

4
tersebut mengendarai kendaraaan bermotor seorang diri tanpa pengawasan
dari orang tua. Fenomena anak di bawah umur yang mengendarai kendaraan
bermotor ini tidaklah munculnya dengan sendirinya, namun hal ini
diakibatkan adanya sebuah kebiasaan orang tua yang membelikan anaknya
sebuah kendaraan bermotor sebagai sebuah wujud kasih sayang, dan sebagian
orang tua lainnya beralasan untuk mempermudah pergi ke sekolah atau
supaya sang anak lebih patuh kepada orang tuanya.6
Dalam kaca mata hukum seorang anak yang masih berada di bawah umur
merupakan tanggung jawab orang tua untuk memberikan perlindungan
sebagai pemenuhan terhadap hak anak sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Anak,7 dan ketika seorang anak melakukan tindak pidana maka terdapat
perlindungan khusus dalam sistem peradilan, hal ini dilakukan guna
mempertimbangkan kepentingan anak dan masa depannya yang masih sangat
panjang,8 namun ketika kita melihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di mana seseorang yang
dengan sengaja mengemudikan kendaraaan bermotor dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dan mengakibatkan
kematian, dapat dikenakan pidana penjara,9 dengan demikian maka dalam
regulasi ini akan menimbulkan sebuah pertentangan di mana di satu sisi
6 http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013
7 Dalam pasal ini menyebutkan bahwa: Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga Dan Orang Tua Berkewajiban Dan Bertanggung Jawab Terhadap Penyelenggaraan Perlindungan Anak
8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta, 2010), hlm. 949 Lihat Pasal 311 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan

5
seorang anak mendapatkan sebuah keistimewaan, namun disisi lain akibat
perbuatan seorang anak yang berkendara tanpa memperhatikan persyaratan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, dan menimbulkan kematian bagi pengendara lain,
tentunya hal ini akan mempengaruhi rasa keadilan bagi korban.
Fenomena kecelakaan lalu lintas yang terjadi diakibatkan oleh seorang
anak bawah umur, hal ini tentunya akan menimbulkan sebuah bentuk
pertanggungjawaban hukum yang berbeda, dengan kecelakaan lalu lintas
yang dilakukan oleh orang dewasa, namun jika kita mencoba melihat
persoalan ini dalam prespektif kriminologi, yang oleh Bonger,10 didefinisikan
sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala
kejahatan seluas-luasnya, maka akan memunculkan faktor kriminogen yang
salah satunya dapat diakibatkan oleh orang tua sang anak, di mana dalam hal
ini orang tua sangat berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu
lintas yang melibatkan anak di bawah umur walaupun secara tidak langsung,
terlebih jika kita meninjau Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, di mana dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai
kewajiban orang tua untuk melaporkan anaknya yang kecanduan narkotika,
dan apabila orang tua tersebut dengan sengaja tidak melaporkan, maka dapat
dikenakan pidana kurungan paling lama 6 bulan,11 maka dengan hal ini dalam
upaya menghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
10 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa, Kriminologi (Jakarta, 2001), hlm. 911 Lihat Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

6
yang menyebabkan kematian, sangatlah dibutuhkan peran serta dari orang tua
dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap anak.
Beranjak dari pemaparan mengenai fenomena tindak pidana lalu lintas
yang dilakukan oleh anak di bawah umur tersebut, penulis merasa perlu untuk
melakukan sebuah kajian mengenai pertanggungjawaban pidana oleh orang
tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang mengakibatkan
kematian, dengan menggunakan perspektif kriminologi, hal ini dilakukan
guna mampu menekan tingginya jumlah tindak pidana lalu lintas yang
dilakukan oleh anak, sehingga mampu memberikan jaminan perlindungan
bagi seorang anak. Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk
mengangkat permasalahan tersebut dengan judul “Analisis Yuridis
Terhadap Pertanggung jawaban Orang Tua Dalam Kejahatan Lalu
Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Suatu Kajian Terhadap Kecelakaan
Lalu Lintas Yang Menyebabkan Kematian)
B. Perumusan Masalah
Bertolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam
penelitian ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, yang
kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh orang tua dalam
kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan
kematian ?

7
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak
dicapai di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui secara mendalam dan komprehensif mengenai
formulasi kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak di Indonesia.
b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana oleh orang tua
dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan
menyebabkan kematian.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan nilai dan guna kepada
semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
1) Diharapkan dari penelitian dapat bermanfaat untuk memberikan
sebuah kontribusi pemikiran dan sumbangsih secara ilmiah dalam
upaya mencegah terjadinya tindak pidana lalu lintas yang
dilakukan oleh anak.
2) Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah
formulasi pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana yang
dilakuka oleh anak, kepada orang tua.

8
b. Kegunaan Praktis
1) Bagi Masyarakat
a) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai parameter dalam
melakukan pengawasan terhadap anak agar tidak
menggunakan kendaraan bermotor sebelum memenuhi
persyaratan dalam undang-undang.
b) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan bagi
pihak yang tertarik meneliti pada persoalan yang sama dalam
tahap selanjutnya.
2) Bagi Pemerintah
a) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan referensi
untuk melakukan evaluasi terhadap tingginya pelanggaran
lalu lintas, serta sebagai sebuah upaya preventif untuk
mencegah terjadina tindak pidana lalu lintas yang dilakukan
oleh anak.
3) Bagi Universitas
a) Hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangsih
dalam bidang akademik guna pengembangan kajian keilmuan
terkait dengan pertanggungjawaban pidana kejahatan lalu
lintas yang di lakukan oleh anak.

9
D. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Tentang Anak
Secara umum telah berkembang mengenai definisi tentang anak secara
variatif, seperti dalam kamus besar bahasa Indonesia yang memberikan
definisi anak sebagai manusia yang masih kecil.12 Anak merupakan seseorang
yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita, dalam hukum
positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang
yang dibawah umur/keadaan dibawah umur atau biasa disebut juga sebagai
anak yang berada dibawah pengawasan wali.
Menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seseorang yang masih ada di
bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin,13 apabila mengacu
pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase
perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri
tertentu. Untuk menentukan criteria seorang anak selain dapat dilihat dari
pertumbuhannya, hal ini juga dapat dilihat dari perkembangan jiwa yang
dialaminya.14
Menurut Soedjono Dirdjosisworo di dalam hukum adat, anak diartikan
sebagai seseorang yang belum terdapat tanda-tanda fisik yang konkret bahwa
mereka telah dewasa.15 Kemudian dalam sisi regulasi juga telah memberikan
pengertian tentang anak, di mana Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009
12 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 1985), hlm. 73513 Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis
(Bandung, 1983), hlm. 2514 Zakiah Daradjad, Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan
Generasi Muda (Bandung, 1985), hlm. 38-3915 Kartono, Kartini, Gangguan-Gangguan Psikis, (Bandung, 1981), hlm. 187

10
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, anak diartikan sebagai seseorang
yang masih berusia di bawah 17 tahun,16 kemudian Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang
anak ialah “setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya”.17 Kedua pengertian sebelumnya pun
hampir sama dengan pengertian anak yang terkandung dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di mana yang
dimaksud dengan anak ialah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan”.18
Dengan demikian, nampak jelas bahwa yang dapat dikategorikan sebagai
anak tidaklah hanya dapat dilihat dari usia, namun dapat juga dipandang dari
sisi yang lain, seperti kedewasaan, perkembangan kejiawaan. Melihat
banyaknya definisi terkait anak tersebut, maka untuk dapat memberikan
batasan dalam pengertian anak, dan dapat digunakan sebagai pijakan teori
dalam skripsi ini, yang dimaksud dengan anak ialah seseorang yang belum
berumur 18 tahun dan belum menikah.
2. Sekilas Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan
16 Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
17 Lihat Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
18 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

11
dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri, namun biasanya tindak
pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata
delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:
“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana”.19
Kemudian Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang,
memberikan definisi terkait dengan tindak pidana ialah sebagai berikut :
“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum.”20
Berdasarkan rumusan yang ada maka tindak pidana (strafbaarfeit)
memuat beberapa syarat pokok yakni, suatu perbuatan manusia, perbuatan itu
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, perbuatan itu
dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.21
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
setelah kita mengetahui mengenai definisi tentang tindak pidana, maka
terkait dengan unsur-unsur tindak pidana, ialah sebagai berikut:
1) Ada Perbuatan
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, perbuatan manusia (actus
reus) terdiri atas, commision/act yang dapat diartikan sebagai melakukan
19 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima (Jakarta, 2007), hlm 92 20 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1997), hlm. 18221 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm 48

12
perbuatan tertentu yang dilarang oleh undang-undang atau sebagain pakar
juga menyebutnya sebagai perbuatan (aktif/positif), kemudian ommision, yang
dapat diartikan sebagai tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan
oleh undang-undang atau sebagian pakar juga menyebutnya perbuatan
(pasif/negatif).
Pada dasarnya bukan hanya berbuat (commision/act), orang dapat
diancam pidana melainkan (ommision) juga dapat diancam pidana, karena
commision/act maupun ommision merupakan perbuatan yang melanggar
hukum. Untuk lebih jelasnya baik commision/act maupun ommision akan
penulis perlihatkan perbedaannya, hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang
terkait yang terdapat dalam KUHP, anatara lain sebagai berikut:
Ommision/act, yang sebagian pakar menyebutnya sebagai perbuatan aktif
atau perbuatan positif, contohnya terdapat pada Pasal 362 KUHP yang
rumusannya antara lain:
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh rupiah”22
Ommision, yang sebagian pakar sebut sebagai perbuatan pasif atau
perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan yang
contohnya terdapat pada Pasal 165 KUHP yang rumusannya antara lain:
“Barang siapa yang mengetahui ada orang yang bermaksud hendak
melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal
22 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Yogyakarta , 2008), hlm 128

13
itu dengan sepatutnya dan waktunya baik kepada yang terancam, jika
kejadian itu benar terjadi dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan
atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah” 23
2) Ada Sifat Melawan Hukum
Penyebutan “sifat melawan hukum” dalam pasal-pasal tertentu
menimbulkan tiga pandapat tentang arti dari “melawan hukum” ini yaitu
diartikan,24 bertentangan dengan hukum (objektif), bertentangan dengan hak
(subjektif) orang lain, Tanpa hak.
Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut:
“Menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan
hanya dapat dipandang sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan
tersebut memenuhi semua unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik
menurut undang-undang. Adapun menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti
meteriil, apakah suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai
Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus ditinjau dari ketentuan
hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut asas-asas hukum
umum dari hukum tidak tertulis.”25
Melihat uraian defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa sifat perbuatan
melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam yakni: Sifat melawan
hukum formil (formale wederrechtelijk) yang merupakan, perbuatan yang
memenuhi rumusan undang-undang, kecuali diadakan pengecualian-
pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, bagi pendapat ini
23 Ibid, hlm 6224 Wirjono Prodjodikoro, Tindak Pidana Tertentu Indonesia (Bandung, 2010), hlm. 2 25 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 194

14
melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah
undang-undang,26 kemudian yang kedua ialah sifat melawan hukum materill
(materiel wedderrchtelijk) yang di mana, hukum itu bukan hanya undang-
undang saja (hukum yang tertulis), tatapi juga meliputi hukum yang tertulis,
yakni kaidah-kaidah atau kenyataan yang berlaku di masyarakat.27
Untuk menjatuhkan pidana, harus dipenuhi unsur-unsur tindak pidana
yang terdapat dalam suatu pasal. Salah satu unsur dalam suatu pasal adalah
sifat melawan hukum (wederrechtelijk) baik secara eksplisit maupun emplisit
ada dalam suatu pasal. Meskipun adanya sifat melawan hukum yang eksplisit
maupun emplisit dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak
dapat disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang ada atau
mutlak dalam suatu tindak pidana agar si pelaku atau si terdakawa dapat
dilakukan penuntututan dan pembuktian didepan pengadilan.28
Adanya sifat melawan hukum yang dicantumkan dalam ketentuan
perundang-undangan, hal ini disebabkan karena perbuatan yang tercantum
sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu
dicantumkan secara eksplisit, misalnya pada Pasal 338 KUHP tidak
mengandung kata melawan hukum, namun setiap orang normal memandang
bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah melawan hukum,
bertentangan tidak saja dengan hukum, tetapi semua kaidah-kaidah sosial dan
agama.29
26 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Yogyakarta, 2012), hlm. 53 27 Ibid.28 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 6929 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Jakarta, 2007), hlm.240

15
3) Tidak Ada Alasan Pembenar
(a) Daya Paksa Absolute
Sathochid Kartanegara mendefinisikan daya paksa Absolutte sebagai
berikut: 30
“Daya paksa absolute adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan
dengan kekuasaan tenaga manusia oleh orang lain.”
Daya paksa (overmacht), telah diatur oleh pembentuk undang-undang di
dalam pasal 48 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:31
“Tidaklah dapat dihukum barang siapa telah melakukan suatu perbuatan
dibawah pengaruh dari suatu keadaan yang memaksa”
Daya paksa (Overmacht), dapat terjadi pada peristiwa-peristiwa berikut:
(1) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik;
(2) Peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara psikis;
(3) Peristiwa-peristiwa dimana terdapat suatu keadaan yang biasanya
disebut Nothstand, Noodtoestand atau sebagai etat de necessite,
yaitu suatu keadaan di mana terdapat:32
a) Suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan
kewajiban hukum yang lain.
b) Suatu pertentangan antara suatu kewajiban hukum dengan suatu
kepentingan hukum.
30 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh (Jakarta, 2012), hlm. 55
31 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 2332 P.A.F Lamintang, Op.Cit., hlm. 428

16
c) Suatu pertentangan antara kepentingan hukum yang satu dengan
kepentingan hukum yang lain.
(b) Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa (noodwear) dirumuskan di dalam KUHP Pasal 49
Ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:33
“Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukanya, untuk
mempertahankan dirinya atau orang lain, mempertahankan kehormatan atau
harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan
hak atau mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh
dihukum”.
(c) Menjalankan Ketentuan Undang-Undang
Pasal 50 KUHP menyatakan bahwa:34
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan
Perundang-undangan, tidak dipidana.”
(d) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah
Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:35
“Tiada boleh dihukum barang siapa yang melakukan perbuatan untuk
menjalankan perintah jabatan yang sah, yang diberikan oleh pembesar
(penguasa), yang berhak untuk itu”
c. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
33 Moeljatno, Loc.Cit.34 Ibid., hlm. 2435 Ibid.

17
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaarheid atau criminal responsbility yang mejurus kepada
pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang terdakwa
atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana meliputi beberapa unsur yang
diuraikan sebagai berikut:
1) Mampu Bertanggung jawab
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diseluruh dunia pada
umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur
yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab, seperti isi Pasal 44 KUHP antara
lain berbunyi sebagai berikut: 36
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
2) Kesalahan
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tidak tertulis dalam
hukum positif indonesia yang menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan”,
yang artinya, untuk dapat dipidananya seseorang diharuskan adanya
kesalahan yang melekat pada diri seorang pembuat kesalahan untuk dapat
diminta pertanggungjawaban atasnya.37
36 Ibid., hlm. 2137 Teguh Prasetyo, Op.Cit., 226 & 227

18
Ilmu hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu
kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa, yang diuraikan lebih jelas
sebagai berikut:
a) Kesengajaan (Opzet)
Menurut Criminal Wetboek Nederland tahun 1809 Pasal 11, sengaja
(Opzet) itu adalah maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat
sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.38
Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri
atas 3 (tiga) bentuk, yakni: 39 Kesengajaan Sebagai Maksud (oogmerk) yang
merupakan perbuatan pelaku yang memang dikehendaki dan ia juga
menghendaki (atau membayangkan) akibatnya yang dilarang. Kalau yang
dikehendaki atau yang dibayangkan ini tidak ada, ia tidak akan melakukan
berbuat,40 selanjutnya kesengajaan dengan Insaf Pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn) yang di mana apabila si pelaku dengan perbuatnnya,
tidak bertujuan untuk mencapai akibat dasar dari delict, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat tersebut pasti akan mengikuti perbuatan itu.41 selanjutnya yang
terakhir ialah kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus
eventualis) jika seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk
menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa
mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh
undang-undang.42
38 Zainal Abidin Farid, Op.Cit., hlm. 22639 Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 940 Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 9841 Amir Ilyas, Op.Cit., hlm. 8042 Laden Marpaung, Op.Cit., hlm. 18

19
b) Kealpaan (Culpa)
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang disebabkan kurangnya sikap
hati-hati karena kurang melihat kedepan, kealpaan ini sendiri di pandang
lebih ringan daripada kesengajaan. Kealpaan terdiri atas 2 (dua) bentuk,
yakni:43 Kealpaan Dengan Kesadaran (bewuste schuld/culpa lata) yang dalam
hal ini si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu
akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, nyatanya timbul juga
akibat tersebut, kemudian kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld/culpa
levis), di mana si pelaku tidak membayang atau menduga akan timbulnya
suatu akibat yang dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang,
sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
3) Tidak Ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsground ini manyangkut
pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah
dilakukannya atau criminal responbility, alasan pemaaf ini menghapuskan
kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Alasan ini
dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan dalam keadaan,
daya paksa relatif, pembelaaan terpaksa melampaui batas, perintah jabatan
yang tidak sah.
3. Pengertian Tindak Pidana Anak
Suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana, apabila perbuatan
tersebut melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh pidana dan
43 Ibid.

20
pelakunya diancam oleh pidana. Dalam KUHP di Indonesia, jelas terkandung
makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-
unsur yakni antara lain, adanya perbuatan manusia, perbuatan tersebut harus
sesuai dengan ketentuan hukum, adanya kesalahan, orang yang berbuat harus
dapat dipertanggung jawabkan.44
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu Status Offence yang merupakan perilaku kenakalan
anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah,
kemudian Juvenile Deliquency yang merupakan perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum. 45
Namun terlalu extrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak
disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis,
agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak
mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai
kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi
psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas
tindakan yang telah dilakukannya.
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya
kejahatan anak, yaitu faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial, faktor
44 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak (Bandung, 2006), hal.1245 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia (Indonesia, 2003), hal. 2

21
psikologis.46 Sementara dalam KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang
bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang
menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-
anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud
merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan
kejahatan yang tercantum dalam KUHP dimana pelaku harus menyadari
akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu bertanggung jawab terhadap
perbuatannya tersebut.
4. Sekilas Tentang Kejahatan Lalu Lintas Yang di Lakukan Oleh Anak
dan Pertanggung Jawaban Oleh Orang Tuan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa disamping delik commissionis
yang merupakan pelanggaran terhadap suatu undang-undang, sedangkan delik
omissionis merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan-
keharusan menurut undang-undang,47 juga terdapat sebuah delik lain yakni,
delik Commissionis Per Omissionem Commisa yang merupakan pelanggaran
terhadap larangan, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Dalam
tindak pidana lalu lintas terdapat sebuah persyaratan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, mengenai persyaratan umur untuk memperoleh surat izin mengemudi
(SIM), yakni sebagai berikut :48
46 A.Syamsudin Meliala & E.Sumaryono, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum (Yogyakarta, 1985), hlm. 31
47 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 21348 Lihat Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan

22
Tabel I :
Persyaratan Usia Untuk Memperoleh SIM
No Usia minimal SIM yang dapat digunakan
1 17 tahun
- SIM A
- SIM C
- SIM D2 20 tahun - SIM B13 21 tahun - SIM B2
Dalam fakta yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari, kita semua
sering menyaksikan bahwa seorang anak yang notabanenya berada di bawah
umur sebagaimana yang ditentukan oleh dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hal ini tentulah
merupakan sebuah sisi gelap dalam penggunaan sarana lalu lintas di
Indonesia, di mana masih segar dalam ingatan mengenai kasus kecelakaan
maut yang diakibatkan oleh putra Ahmad Dhani, yakni Abdul Qodir
Jaelani di Jalan Tol Jagorawi, di sinilah kita perlu melihat sebuah upaya
preventif dari orang tua yang secara limitatif diberikan oleh undang-undang
untuk mengawasi seorang anak, dengan adanya pembiaran yang di lakukan
oleh orang tua, maka di sini jika kita lihat dalam perspektif kriminologi, maka
hal ini merupakan salah satu faktor kriminogen dari terjadinya tindak pidana
yang dilakukan oleh anak, apa lagi dalam hukum pidana berlaku asas fiktif, di
mana semua orang dianggap mengetahui hukum. Dengan demikian maka
terbukalah sebuah peluang dalam tindak pidana lalu lintas yang dilakukan
oleh anak, dapat dipertanggung jawabkan oleh orang tua karena kelalaiannya

23
dalam menjaga dan melindungi anak, hal ini sejalan dengan prinsip yang
terdapat di dalam Pasal 128 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, di mana dalam regulasi tersebut memuat sebuah ketentuan tentang
pertanggung jawabn oleh orang tua yang dengan sengaja tidak melaporkan
anaknya yang kecanduan narkotika, dengan demikian demi sebuah
perlindungan terhadap anak, dan juga mengedepankan faktor-faktor
kriminogen yang ada, maka pertanggungjawaban oleh orang tua dalam
kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak merupakan sebuah
keniscayaan yang tak terbendung.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis
dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten,
Kemudian metodologi berasal dari dari kata “metode” yang artinya tepat
melakukan sesuatu dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan, dengan
demikian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.49
Dalam skripsi ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
yuridis normatif, Penelitian yuridis normatif ini dimaksud untuk
menginventarisasi hukum dengan pengunaan konsepsi legisme yang
49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Normatif (Jakarta; 1985), hal .42-43

24
positivistis yang berpendapat bahwa hukum identik dengan norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat Negara yang
berwenang,50 selain itu penelitian yuridis normatif ini dimaksudkan agar dapat
mengetahui mengenai formulasi tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh
anak di Indonesia dan untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban orang
tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak dan menimbulkan
kematian.
Penelitian hukum normatif merupakan sebuah penelitian yang
mendasarkan pada bahan hukum baik primer maupun sekunder.51 Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah statute approach
(pendekatan undang-undang), yaitu suatu metode pendekatan dengan
menelaah semua undang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti,
sehingga akan kelihatan konsistensi antara undang-undang yang satu dengan
undang-undang lainnya,52 dan pendekatan consep approach yang didasarkan
pada beberapa konsep yang telah ada dan dibangun oleh para ahli hukum
serta pendekatan historical approach dan comaparative approach dalam
rangka melakukan pengkajian terhadap hukum-hukum yang pernah
digunakan.
2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
50 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta; 1990), hlm.13-14.
51 Ibid, Hlm 1552 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, edisi 1 Cet. Ke- 1, (Jakarta; 2006), hlm. 93

25
Sumber bahan hukum yang diambil dalam melakukan penelitian ini
adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier, dan juga Penulis menggunakan bahan kajian pustaka antara lain:
a. Bahan hukum primer yaitu, sumber bahan yang berupa peraturan
hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dianut berupa:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Ham,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari buku,
makalah, artikel, jurnal ilmiah, dan laporan penelitian yang berkaitan
dengan masalah.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Bahasa inggris,
Kamus Bahasa Indonesia, kamus Hukum, dan lain-lain.53
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
53 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; 1997), hlm. 20

26
Untuk mengunakan bahan-bahan hukum di maksud di atas, maka di
gunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mencari mencatat,
menginventarisasi dan mempelajari bahan-bahan hukum berupa bahan-bahan
pustaka.
4. Metode Analisis Bahan Hukum
Setelah terkumpulnya bahan yakni, bahan primer dan sekunder,
kemudian dianalisis, sehingga bisa ditemukan dasar yang kuat dan tepat untuk
membahas permasalahan yang diangkat oleh peneliti, kemudian dilanjutkan
dengan memberikan gambaran permasalahan yang merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang terkait, serta memperhatikan teori-teori hukum
yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
F. Jadwal dan Sistematika Penulisan
1. Jadwal Penelitian
Penulisan hukum ini direncanakan akan berlangsung selama 3 (tiga) bulan,
dengan jadwal sebagai berikut :

27
No KegiatanWaktu Pelaksanaan (Bulan ke)
I II III Dst
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Persiapan
Pengajuan Usulan
Seminar Proposal
Revisi Usulan
Pengurusan Izin
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penyusunan Laporan
Ujian
Revisi Laporan
(jika ada revisi)
xx
xx
x
x
xx
xx
xx
xx
x
x
2. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini, agar dapat disajikan
secara sistematis, maka terdapat suatu sistematika guna mencapai tujuan
tersebut, adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini ialah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai Latar belakang,
Perumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penulisan, Tinjauan
pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : HASIL PENELITIAN
Dalam Bab ini akan Menguraikan mengenai hasil penelitian yang
terdiri dari bahan hukum tentang, formulasi tindak pidana lalu
lintas yang dilakukan oleh anak dan bahan hukum tentang,

28
pertanggungjawaban orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang
dilakukan oleh anak dan menimbulkan kematian.
BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini yang pertama akan dibahas adalah mengenai
analisis hasil terhadap, formulasi tindak pidana lalu lintas yang
dilakukan oleh anak dan analisis terhadap, pertanggungjawaban
orang tua dalam kejahatan lalu lintas yang dilakukan oleh anak
dan menimbulkan kematian.
BAB IV : PENUTUP
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran
yang relevan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:

29
Atmasasmita, Romli. 1983. Problem Kenakalan Anak Yuridis, Sosiologis, Kriminologis, Bandung; Armico
Daradjad, Zakiah. 1985. Faktor-Faktor Yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda. Bandung; Bina Cipta
Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua. Jakarta; Sinar Grafika
Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta; Rangkang Education dan Pukap Indonesia
Kartono, Kartini. 1981. Gangguan-Gangguan Psikis. Bandung; Sinar Baru
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung; PT. Citra Aditya Bakti
Marpaung, Leden. 2012. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh. Jakarta; Sinar Grafika
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Predana Media Group
Meliala, A.Syamsudin dan Sumaryono E. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta; Liberty
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Yogyakarta; Bumi Aksara
Poerwadarminto, W.J.S. 1985. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka
Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak Pidana Tertentu Indonesia. Bandung; Refika Aditama
Purnianti, Supatmi, Mamik Sri, dan Tinduk, Ni Made Martini. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, Indonesia; UNICEF
Santoso, Topo & Zulfa, Eva Achjani. 2001. Kriminologi. Jakarta; Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Penelitian Normatif, Jakarta: UI Press

30
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia
Soetodjo, Wagiati. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung; Refika Aditama
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima. Jakarta; Rineka Cipta
Sunggono, Bambang. 2012. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press
WEBSITE:
http//www.beritaindonesia.com//rencana pembangunan Indonesia kedepan, diakses tanggal 19 Nopember 2013
http//www.detik.com//Anak Ahmad Dhani terlibat kecelakaan Mmaut di Tol Jagorawi, diakses tanggal 18 Nopember 2013
http//www.kajianhukum.com.//Analisis Kasus Abdul Qodir Jaelani, diakses tanggal 18 Nopember 2013
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika