BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG … II.pdf2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum ... elemen pokok negara...

29
31 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH, PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1 Perlindungan Hukum 2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan hukum.Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban). 20 Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 21 Selain itu, Muchsin berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 22 20 Soeroso, 2006, Pengahantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 49. 21 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53. 22 Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG … II.pdf2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum ... elemen pokok negara...

31

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH,

PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI

2.1 Perlindungan Hukum

2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau

perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan

hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di

Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan

hukum.Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki

relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).20

Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk

memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak

yang diberikan oleh hukum.21

Selain itu, Muchsin berpendapat bahwa perlindungan

hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya

dengan suatu sanksi.22

20

Soeroso, 2006, Pengahantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.

49.

21

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53.

22

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14

32

Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai segala daya upaya yang

dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang

bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan

hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum

tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan

negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945

diantaranya menyatakan prinsip "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas

hukum (rechtstaaf) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum

dasar)", elemen pokok negara hukum adalah pengakuan & perlindungan terhadap

"fundamental rights".

Hubungan hukum tersebut dilakukan antara subyek hukum, baik

manusia (naiurlijke person), badan hukum (Recht Persoon) maupun jabatan (ambt)

merupakan bentuk dari perbuatan hukum, yang mana masing- masing subyek

hukum merupakan pemikul hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan

hukum berdasarkan atas kemampuan dan kewenangan.

Hubungan hukum yang terjadi akibat interaksi antar subyek hukum

tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan adanya relevansi

serta adanya akibat-akibat hukum. Sehingga nantinya agar suatu hubungan hukum

tersebut dapat berjalan dengan seimbang serta adil dalam arti setiap subyek hukum

mendapatkan apa yang menjadi haknya serta dapat menjalankan kewajiban yang

dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main yang mengatur,

melindungi serta menjaga hubungan tersebut.

33

Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral

konstitusionalme, yaitu menjamin kebebasan/hak warga, maka menaati hukum dan

konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi

maknawi di dalamnya imperatif hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan

ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga

ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk

mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Begitu banyaknya

hak-hak kita sebagai manusia dan begitu maraknya pelanggaran-pelanggaran serta

tindakan-tindakan yang dalam hal ini mengancam hak-hak asasi kita maka

pemerintah mengadakan perlindungan hukum dimana itu semua sangat

memerlukan perhatian yang tidak biasa karena menyangkut hak-hak kita sebagai

manusia.

2.1.2 Jenis – Jenis Perlindungan Hukum

Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas

dua, yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. 23

a. Perlindungan Hukum Preventif

Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan

(inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang

definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan

untuk mencegah terjadinya sengketa.

23

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,

Surabaya, h. 3.

34

Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak

pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya

perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati

hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M. Hadjon preventif

merupakan keputusan keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah

yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan.24

Jika dibandingkan dengan teori perlindungan hukum yang represif, teori

perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,

namun akhir-akhir ini disadari pentingnya teori perlindungan hukum preventif

terutama dikaitkan dengan asas freies ermesen (discretionaire bevoegdheid). Asas

freies ermesen, yaitu kebebasan bertindak untuk memecahkan masalah yang

aturannya belum ada, sedangkan masalah itu harus diatasi dengan segera.25

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi

sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan hukum represif ini

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.26

24

Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesian Administrative Law), cetakan kedelapan, Gajah Mada University, Yogyakarta, h. 3.

25

Ibid.

26

Muchsin, Op.cit, h. 20.

35

2.2 Nasabah

2.2.1 Pengertian Nasabah

Nasabah pada dasarnya lebih dikenal sebagai pengguna jasa dalam bidang

Perbankan. Pengertian nasabah dalam kamus besar Bahasa Indonesia menjelaskan

bahwa “Nasabah adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi

pelanggan bank (Dalam hal keuangan), dapat juga diartikan sebagai orang yang

menjadi tanggungan asuransi, perbandingam pertalian”.27

Dalam peraturan Bank Indonesia No. 7/7/ PBI 2005 jo No. 10/10 PBI/2008

tentang penyelesaian pengaduan nasabah pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan

nasabah atau mitra adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang

tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi

keuangan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10

tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”. Dalam Pasal 1

angka 17 dan angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang –

Undang Perbankan) dimuat mengenai jenis-jenis nasabah.

Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa “Nasabah penyimpan adalah nasabah

yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan bedasarkan perjanjian

bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Dalam Pasal 1 angka 18 Undang –

27

Dinas Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, h. 775.

36

Undang Perbankan disebutkan “Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh

fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang

dipersamakan dengan itu berdsarkan perjanjian bank dengan nasabah yang

bersangkutan.”

Berdasarkan pendapat para ahli yang mengemukakan mengenai pengertian

nasabah, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Djaslim Saladin dalam

bukunya ̋Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank ̋ yang dikutip dari ̋Kamus

Perbankan ̋ yang menyatakan bahwa “Nasabah atau mitra adalah orang atau badan

yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank ̋.28

Komaruddin dalam “Kamus Perbankan” menyatakan bahwa “Nasabah adalah

seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau

tabungan serupa lainnya pada sebuah bank ̋.29

Sedangkan menurut

Muhammad Djumhana menyebutkan bahwa “nasabah merupakan konsumen dari

pelayanan jasa perbankan”.30

Apabila dilihat dari segi ilmu ekonomi, nasabah merupakan orang yang

menggunakan jasa pelayanan pada perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Nasabah

adalah orang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses produksi selesai,

karena mereka adalah pengguna produk.

28

Saladin Djaslim, 1994, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Bank, CV Rajawali, Jakarta, h. 84.

29

Komarudin, 1994, Kamus Perbankan, CV Rajawali, Jakarta, h. 102

30

Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 40-41.

37

Terdapat beberapa pendapat dari ahli yang mengemukakan mengenai nasabah

sebagai pengguna jasa pada perusahaan. Menurut Webster’s “Nasabah adalah

seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu

barang atau peralatan”.31

Menurut Irawan bahwa “Nasabah adalah orang yang paling penting dalam

perusahaan”.32

Sedangkan menurut Rangkuti disebutkan “Nasabah adalah orang yang

mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. Seseorang bisa disebut nasabah

tanpa perlu membeli produk atau jasa, melainkan cukup hanya mengkonsumsi atau

menggunakan produk atau jasa tersebut”.33

Nasabah dari segi ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Nasabah internal

Nasabah internal atau konsumen internal adalah orang-orang yang terlibat

dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,

penciptaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran dan penjualan dan

pengadministrasian.

Mereka itu antara lain adalah jajaran direksi, manajer, pimpinan bagian, pimpinan

seksi, penyelia, dan para pegawai organisasi komersial (perusahaan), pengurus dan

pegawai organisasi non komersial (nirlaba), pegawai pada instansi pemerintah

2. Nasabah eksternal

31

Lupiyoadi Rambat, 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, Cetakan Pertama, Edisi Kedua,

Salemba Empat, Jakarta, h. 143.

32

Irawan Handi, 2004, 10 Prinsip Kepuasan Nasabah, Cetakan Kelima, Elex Media Komputindo,

Jakarta, h. 1.

33

Lupiyoadi, Op.cit, h. 318.

38

Nasabah eksternal atau konsumen eksternal adalah semua orang yang berada

di luar organisasi komersil atau organisasi non komersil, yang menerima layanan

penyerahan barang atau jasa dari organisasi (perusahaan). Apabila ditinjau dari sisi

kegiatan komersil dan non komersil, nasabah eksternal tersebut dapat dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu :

a) Kelompok nasabah dalam kegiatan komersil Penerima layanan yang

termasuk kelompok nasabah dalam kegiatan komersil.

b) Kelompok nasabah dalam kegiatan non-komersil Penerima layanan yang

termasuk kelompok nasabah kegiatan non-komersil adalah mereka yang

menerima layanan dari penyedia layanan non-komersil yang sifat

layanannya cuma-cuma atau dengan mengeluarkan pembayaran yang

sepadan dengan manfaat yang diperolehnya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah adalah seorang yang secara kontinu

dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya

dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk

atau jasa tersebut

Dari pengertian nasabah yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa

pengertian nasabah dari segi ilmu ekonomi dirasa lebih tepat digunakan dalam karya

ilmiah ini, dimana pada karya tulis ini membahas mengenai suatu perusahaan yaitu

PT. Victory International Futures yang merupakan perusahan yang bergerak di

bidang investasi. Jadi pengertian nasabah dari segi ekonomi inilah yang dirasa lebih

39

tepat digunakan dibandingkan dengan pengertian nasabah dalam segi ilmu hukum

yang lebih menjurus ke dalam ranah hukum perbankan.

2.3 Perjanjian Baku (Standar)

2.3.1 Pengertian Perjanjian Baku (Standar)

Perjanjian Standar dikenal dengan istilah dalam bahasa inggris yakni standar

contract. Dalam bahasa belanda perjanjian standar yaitu standard voorwarden.

Perjanjian ini dikenal juga dengan istiah “take it or leave it contract”. Mariam Darus

Badrulzaman mendifinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan

dan dituangkan dalam bentuk formulir.34

Hondinius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis,

yang disusun tanpa membicarakan izin dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian

yang sifatnya tertentu.35

Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang

hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain

pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta

perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang

menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang

34

Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (Selanjutnya disebut dengan

Mariam Darus Badrulzaman I), Alumni, Bandung, h. 48.

35

Ibid.

40

spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan

formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.36

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang – Undang

Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau

ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh kon4sumen”.37

Dari pengertian

diatas dapat dilihat bahwa perjanjian baku memiliki korelasi dengan konsumen.

Dengan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjian tersebut, maka posisi

konsumen akan menjadi lemah dibandingkan dengan pelaku usaha yang telah

menentukan isi atau klausul-klausul di dalam perjanjian itu secara sepihak. Lemahnya

posisi konsumen tersebut dikarenakan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjin

baku yang dapat menghilangkan hak konsumen sebagaimana seharusnya di dapatkan

atau diterima oleh konsumen, serta menghilangkan tanggungjawab dari pelaku usaha.

Sedikit mengenai konsumen, pengertian konsumen berdasarkan pada Pasal 1

huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa

36

Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam

Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta.

37

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

41

“konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk

kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.38

Beberapa ahli juga mendefinisikan mengenai konsumen, seperti Inosentius

Samsul menyebutkan “konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk,

baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah,

dan undangan”.39

Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen

dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan Belanda,

yaitu: “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.40

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa: konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal

istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau

pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen

yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.

Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari

38

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat, Pasal 1.

39

Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.

40

Mariam Darus Badrulzaman, 1981 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II),

Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, h. 48.

42

keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.

Seperti pengertian yang telah disampaikan diatas, konsumen umumnya diartikan

sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha41

, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.

Namun dalam hal ini PT. Victory International Futures yang merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang investasi dengan fokus produk investasi di forex,

index futures, dan precious metal ini menggunakan istilah nasabah bagi sesorang

yang menggunakan produk atau jasa pada perusahaan. Apabila dikaitkan dengan

konsumen dan nasabah, maka pengertian nasabah yang ada di dalam hal ini

merupakan pengguna produk/jasa pada perusahaan dapat dikatakan sebagai

konsumen. Hal tersebut disebabkan karena pengertian mengenai konsumen tersebut

meskipun secara umum dikatakan sebagai pengguna produk/jasa akhir namun

nasabah juga merupakan seseorang yang menggunakan produk/jasa yang ditawarkan

oleh perusahaan tersebut.

2.3.2 Bentuk dan Karakteristik Perjanjian Baku (Standar)

Rumusan mengenai pengertian perjanjian baku seperti yang telah

dikemukakan di atas, dimana sebelum perjanjian baku tersebut ditawarkan kepada

konsumen (yang dalam hal ini adalah nasabah), para pelaku usaha (yang dalam hal ini

41

Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi

Standar Kontrak (Baku), Binacipta, Jakarta, H. 57.

43

adalah perusahaan) terlebih dahulu menentukan mengenai isi dan ketentuan-

ketentuan yang berlaku terhadap perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut tidak dibuat

berdasarkan kesepakatan para pihak, melainkan hanya pihak pelaku usaha saja yang

membuat perjanjian tersebut dengan adanya klausula baku dalam perjanjian.

Dengan melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, Mariam Daruz

Badrulzaman membedakan bentuk-bentuk perjanjian baku berdasarkan perbedaan

pihak-pihak yang menyusun perjanjian baku tersebut atas 4 (empat) bentuk, yaitu42

:

1. Perjanjian baku sepihak

Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh

satu pihak yang mempunyai kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut.

Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditor/ pelaku usaha dibandingkan dengan

pihak debitor. Dalam perjanjian yang sepihak ini, kondisi atau ketentuan-ketentuan

perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor, tanpa melalui proses tawar-

menawar terlebih dahulu kepada pihak konsumen, sedangkan pihak debitor hanya

bersifat menerima atau menolak isi perjanjian. Perjanjian baku bentuk ini dalam

bahasa Prancis disebut dengan Contract d’adhesion. Artinya perjanjian baku yang

dengan sengaja dipersiapkan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi keinginan

ataupun kebutuhan masyarakat selaku konsumen.

2. Perjanjian baku timbal balik

42

Mariam Darus Badrulzaman, 1980 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman III),

Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 77

44

Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya terlebih

dahulu ditentukan oleh kedua belah pihak yang isinya dituangkan dalam suatu

perjanjian tertulis dalam bentuk formulir yang digunakan oleh anggotanya. Perjanjian

baku jenis ini umumnya digunakan dalam bidang organisasi. Secara formal debitor

ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tersebut, tetapi secara material debitor

hanya mengikatkan diri sebagai anggota dari perkumpulan tersebut. Perjanjian baku

yang timbal balik ini adalah bersifat relatif, karena apabila perkataan timbal balik

diartikan secara absolut atau murni, maka seolah-olah isi perjanjian tersebut

ditetapkan dan disepakati oleh kehendak bebas dari para pihak yang terkait dalam

perjanjian. Apabila diartikan secara umum, maka salah satu sifat perjanjian baku

yaitu tidak terdapat kehendak bebas dari para pihak dalam menentukan isi perjanjian,

dimana perjanjian hanya ditetapkan berdasarkan kehendak bebas pihak yang

posisinya kuat dalam perjanjian tersebut.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah

Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku yang

isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan tertentu.

Keterlibatan pemerintah dalam perjanjian baku ini adalah hanya sebagai undang-

undang atau peraturan-peraturan terhadap warga negara yang menyangkut

kepentingan umum.

4. Perjanjian baku yang isi perjanjiannya ditetapkan oleh pihak ketiga yang

bertindak sebagai orang yang ahli

45

Perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga ini, biasanya paling

banyak ditemui dalam lingkungan advokad dan notaris, yaitu perjanjian yang pertama

konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari masyarakat yang

meminta bantuan notaris atau advokad yang bersangkutan Misalnya seorang notaris

yang menyediakan berbagai jenis formulir perjanjian yang dapat dipakai para pihak

yang ingin menggunakan jasa mereka. Perjanjian baku tidak hanya ada pada

lingkungan advokad atau notaris saja tetapi dalam semua lingkungan profesi yaitu

dokter, akuntan swasta, dan lain-lain.

Bentuk-bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat

terdiri atas43

:

a. Dalam Bentuk Dokumen

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-syarat khusus

yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-

kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan

tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan

atau pada wadah produk bersangkutan.

Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar kertas tertentu,

tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia berbentuk tulisan dengan

kalimat-kalimat antara lain: “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”

(biasanya termuat pada bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau

43

Az. Nasution, 2007 (Selanjutnya disingkat Az. Nasution I), Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h. 109-111.

46

kedai), “ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman” (pada bon atau kuitansi dari

perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang), “ganti rugi dalam bentuk

penggantian satu rol film baru” (biasanya pada toko pencuci dan pembuat foto atau

foto-foto studio), “barang-barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di

luar tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir kendaraan

bermotor), “barang-barang yang dicuci tidak dijamin apabila terjadi hal-hal tertentu”

(biasanya pada toko/perusahaan pencuci pakaian atau laundry), “barang-barang yang

dijamin sesuai dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”,

dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus, sehingga sulit

diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang persoalannya.

b. Dalam Bentuk Perjanjian

Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian yang konsep

atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya

penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di samping memuat aturan-aturan yang

umumnya biasa tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-

persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-

hal tertentu dan/atau berakhirnya perjanjian itu.

Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu

perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-syarat)

tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat ketentuan tentang syarat

berlakunya kontrak baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko

tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain

47

yang pada umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan

dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau

ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan

jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk.

Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain perjanjian

perusahaan pialang, perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian

pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan sebagainya.

Seiring berkembangnya perjanjian baku mengikuti kebutuhan dan tuntutan

masyarakat, maka berkembang pula ciri-ciri perjanjian baku dalam kehidupan

masyarakat mengikuti perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat tersebut.

Hal utama yang sangat menonjol terhadap perkembangan ciri-ciri ini yaitu

mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan

pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin

karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha.

Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan

perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis

penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.

Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan ciri-ciri perjanjian baku secara

lebih rinci, yang mana perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut44

:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)

kuat;

44

Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, h. 11

48

2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan

isi perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Dari ciri-ciri yang telah disebutkan diatas, berikut penjelasan dari kelima ciri,

sebagai berikut45

:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat

Dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang

posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-

syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara

sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian

itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan

pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat

diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju,

maka di tanda tangani perjanjian tersebut.

2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian

Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat

dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat

45

Op.cit, h. 12-14

49

kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur

tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian

diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut

serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian

baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha

berupa:

a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga

b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau

blanko yang siap diisi dan ditandatangani

c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya

d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu.

Sebagi pihak yang mempunyai posisi yang lemah maka konsumen tidak dapat

mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Apabila,

konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang diberikan kepadanya,

maka konsumen tersebut menandatangani perjanjian yang diberikan kepadanya.

Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia menerima beban

tanggung jawab walaupun kemungkinan pihak konsumen tidak bersalah dan pihak

konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Apabila konsumen tidak

50

menyetujui dengan syarat-syarat perjanjian yang diberikan tersebut, pihak konsumen

tidak dapat menolak substansi dari perjanjian tersebut.46

4. Bentuk tertulis

Suatu perjanjian standar/baku pada umumnya dibuat secara tertulis dengan

tujuan untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum. Bentuk tertulis dari perjanjian

baku tersebut memudahkan pengusaha untuk membuktikan persetujuan dari

konsumen. Melalui bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan

dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini

dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Perjanjian yang dibuat

secara tertulis memiliki arti bahwa perjanjian tersebut memuat syarat-syarat baku itu

menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Apabila huruf

yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu

singkat. Hal seperti inilah yang umumnya merugikan konsumen, kesalahan membaca

syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang

merugikan konsumen di masa mendatang.

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif

Pada umumnya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang

dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor,

perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan

secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar umunya juga digunakan

46

Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet.

1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7.

51

oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format

ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga

tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model

perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang

dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang

memuat syarat- syarat baku.

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya telah ditetapkan oleh salah

satu pihak (dalam hal ini pelaku usaha/perusahaan) tanpa membicarakannya terlebih

dahulu dengan pihak lain (dalam hal ini konsumen/nasabah) yang memiliki

keterkaitan dengan perjanjian tersebut. Isi dari perjanjian tersebut dapat berupa

syarat-syarat maupun ketentuan-ketentuan tertentu yang seluruhnya dibuat secara

sepihak oleh pelaku usaha.

Syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha di dalam perjanjian itulah yang disebut dengan klausula

baku. Klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian

tersebut bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen yang telah menyetujui

perjanjian tersebut. Orang atau pihak lain itu, dan umumnya mereka adalah

konsumen, dapat menerimanya atau tidak menerimanya sebagai suatu perjanjian (take

it or leave it).47

Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut:48

47

Az. Nasution I, op.cit, h. 109

48

Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.

52

1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih

kuat dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor

kebutuhan.

Perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga saat ini

pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara49

:

1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan

terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha,

produsen, distributor, atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak

jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat

elektronik, dan lain sebagainya.

2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel,

bon, kuitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima

barang. Seperti lembaran bon, kuitansi, atau tanda terima barang dari

toko, kedai, supermarket.

3. Pencantuman klausula baku dalam bentuk pengumuman tentang

berlakunya syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir,

49

Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,

h. 97, dikutip dari Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h. 76.

53

hotel, dan penginapan dengan meletakkan atau menempelkan

pengumuman klausula baku.

2.4 Klausula Eksonerasi

2.4.1 Pengertian Klausula Eksonerasi

Perjanjian baku disebut juga sebagai perjanjian standar, dalam bahasa Inggris

disebut standard contract atau kontrak persetujuan. Mariam Darus Badrulzaman

mendefinisikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan

dituangkan dalam bentuk formulir.50

Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang

dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan

hubungan hukum dengan pengusaha. Dalam perjanjian baku, hal yang dibakukan

dalam perjanjian tersebut meliputi model, rumusan, dan ukuran.

Perjanjian baku diadakan untuk melayani permintaan para konsumen yang

berfrekuensi tinggi. Format perjanjian tersebut telah dibakukan artinya sudah

ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau

dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan

perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul – klasulnya

dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki

peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum

dibakukan hanya beberapa hal misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,

warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan.

50

Mariam Darus Badrulzaman I, Op.cit, h. 48

54

Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan

klausul – klausulnya. 51

Rijken memberikan pendapat bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang

dicantumkan dalam perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk

memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi

karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.52

Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa istilah klausul

eksonerasi adalah sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggunjawaban dari

kreditur, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.53

Shidarta mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang

mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab

yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/ penyalur produk (penjual). 54

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula

tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam

perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang merugikan konsumen

yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan

51

Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam

Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta

52

Mariam Daruz Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h. 47

53

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-3, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 141

54

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 120

55

produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya

klausula tersbeut menjadi beban konsumen.55

2.4.2 Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar)

Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh

produsen yang mengandung ketentuan yang berlaku umum, sehingga pihak

konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu menyetujui atau menolaknya. Adanya

pilihan tersebut dikatakan bahwa tidak melanggar asas kebebasan berkontrak

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata yang berarti

bahwa bagaimana pihak konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui (take it)

atau menolak (leave it).

Persyaratan yang terdapat dalam sutau perjanjian tidak boleh bertentangan

dengan undang – undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian standar

yang mengandung klasula eksonerasi pada umumnya dikhawatirkan oleh masyarakat

karena dapat membatasi bahkan menghapus tanggungjawab yang seharusnya

dibebankan kepada produsen.

Klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi antara produsen

dan konsumen. Terciptanya keseimbangan antara produsen dan konsumen dengan

cara membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dengan

adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan

pemerintah terlihat dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan

55

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press,

Jakarta. h.114

56

Pasal 4 Undang – Undang Perlindungan Konsumen ditentukan secara prinsipnya

terdapat hak konsumen terdapat:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Undang – Undang Perlindungan Konsumen tidak mencamkan istilah klausula

eksonerasi melainkan klasula baku. Dalam Pasal 1 Undang – Undang Perlidungan

Konsumen disebutkan “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat

– syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajin dipenuhi oleh konsumen.” Secara sederhana, klausula baku

mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh

pelaku usaha, yang posisi relatif lebih kuat dibandingkan konsumen;

57

b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi dari

klausula baktu tersebut;

c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat missal;

d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena di dorong oleh

kebutuhan.

Dalam melindungi hak konsumen dari lemahnya kedudukan konsumen, Pasal

18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku

usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian apabila:

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen;

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan secara tindaka

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

58

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya;

8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen

menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu dimana larangan

ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku

usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Berlakunya Pasal 18 ayat (1)

Undang – Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan

menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam suatu

perjanjain dengan pelaku usaha, sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha

dengan konsumen. Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen

membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada

klausula eksonerasi.

Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Perlidungan Konsumen diatur

secara prinsipnya bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya

59

sulit dimengerti. Letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku berkaitan dengan

Pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur pada prinsipnya

bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan

usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan

pemeliharaan.

Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan

“Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana diaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dinyatakan batal demi hukum.” Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan

Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar

antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersbut tercantum

mengenai klausula eksonerasi. Dalam Pasal 1266 jo. 1267 KUHPerdata disebutkan

secara prinsipnya bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan

memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim. Akibat dari batal demi hukum suatu

perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang memiliki arti bahwa

pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Dari penjelasan tersebut maka ketika

perjanjian baku memuat klausula eksonerasi dan diajukan gugatan ke pengadilan,

hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian

menjadi batal seluruhnya.