BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG … II.pdf2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum ... elemen pokok negara...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG … II.pdf2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum ... elemen pokok negara...
31
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, NASABAH,
PERJANJIAN BAKU (STANDAR) DAN KLAUSULA EKSONERASI
2.1 Perlindungan Hukum
2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum diartikan sebagai suatu bentuk tindakan atau
perbuatan hukum pemerintah yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan
hak dan kewajibannya yang dilaksanakan berdasarkan hukum positif di
Indonesia. Perlindungan hukum timbul karena adanya suatu hubungan
hukum.Hubungan hukum adalah interaksi antara subjek hukum yang memiliki
relevansi hukum atau mempunyai akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).20
Menurut Satjipto Raharjo perlindungan hukum adalah upaya untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak
yang diberikan oleh hukum.21
Selain itu, Muchsin berpendapat bahwa perlindungan
hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi.22
20
Soeroso, 2006, Pengahantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.
49.
21
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cet.V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53.
22
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14
32
Perlindungan hukum juga dapat diartikan sebagai segala daya upaya yang
dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang
bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan
hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum
tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan
negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945
diantaranya menyatakan prinsip "Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtstaaf) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum
dasar)", elemen pokok negara hukum adalah pengakuan & perlindungan terhadap
"fundamental rights".
Hubungan hukum tersebut dilakukan antara subyek hukum, baik
manusia (naiurlijke person), badan hukum (Recht Persoon) maupun jabatan (ambt)
merupakan bentuk dari perbuatan hukum, yang mana masing- masing subyek
hukum merupakan pemikul hak dan kewajiban dalam melakukan tindakan
hukum berdasarkan atas kemampuan dan kewenangan.
Hubungan hukum yang terjadi akibat interaksi antar subyek hukum
tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan adanya relevansi
serta adanya akibat-akibat hukum. Sehingga nantinya agar suatu hubungan hukum
tersebut dapat berjalan dengan seimbang serta adil dalam arti setiap subyek hukum
mendapatkan apa yang menjadi haknya serta dapat menjalankan kewajiban yang
dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main yang mengatur,
melindungi serta menjaga hubungan tersebut.
33
Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral
konstitusionalme, yaitu menjamin kebebasan/hak warga, maka menaati hukum dan
konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi
maknawi di dalamnya imperatif hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan
ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga
ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk
mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Begitu banyaknya
hak-hak kita sebagai manusia dan begitu maraknya pelanggaran-pelanggaran serta
tindakan-tindakan yang dalam hal ini mengancam hak-hak asasi kita maka
pemerintah mengadakan perlindungan hukum dimana itu semua sangat
memerlukan perhatian yang tidak biasa karena menyangkut hak-hak kita sebagai
manusia.
2.1.2 Jenis – Jenis Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas
dua, yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. 23
a. Perlindungan Hukum Preventif
Preventif artinya rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan
(inspraak) atau pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitive. Dalam hal ini artinya perlindungan hukum yang preventif ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa.
23
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, h. 3.
34
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati
hati dalam mengambil keputusan. Menurut Philipus M. Hadjon preventif
merupakan keputusan keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah
yang dilakukan sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan.24
Jika dibandingkan dengan teori perlindungan hukum yang represif, teori
perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,
namun akhir-akhir ini disadari pentingnya teori perlindungan hukum preventif
terutama dikaitkan dengan asas freies ermesen (discretionaire bevoegdheid). Asas
freies ermesen, yaitu kebebasan bertindak untuk memecahkan masalah yang
aturannya belum ada, sedangkan masalah itu harus diatasi dengan segera.25
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Perlindungan hukum represif ini
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.26
24
Philipus M. Hadjon, dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administrative Law), cetakan kedelapan, Gajah Mada University, Yogyakarta, h. 3.
25
Ibid.
26
Muchsin, Op.cit, h. 20.
35
2.2 Nasabah
2.2.1 Pengertian Nasabah
Nasabah pada dasarnya lebih dikenal sebagai pengguna jasa dalam bidang
Perbankan. Pengertian nasabah dalam kamus besar Bahasa Indonesia menjelaskan
bahwa “Nasabah adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi
pelanggan bank (Dalam hal keuangan), dapat juga diartikan sebagai orang yang
menjadi tanggungan asuransi, perbandingam pertalian”.27
Dalam peraturan Bank Indonesia No. 7/7/ PBI 2005 jo No. 10/10 PBI/2008
tentang penyelesaian pengaduan nasabah pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan
nasabah atau mitra adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang
tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi
keuangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan “Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”. Dalam Pasal 1
angka 17 dan angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang –
Undang Perbankan) dimuat mengenai jenis-jenis nasabah.
Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa “Nasabah penyimpan adalah nasabah
yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan bedasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan.” Dalam Pasal 1 angka 18 Undang –
27
Dinas Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, h. 775.
36
Undang Perbankan disebutkan “Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang
dipersamakan dengan itu berdsarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.”
Berdasarkan pendapat para ahli yang mengemukakan mengenai pengertian
nasabah, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Djaslim Saladin dalam
bukunya ̋Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank ̋ yang dikutip dari ̋Kamus
Perbankan ̋ yang menyatakan bahwa “Nasabah atau mitra adalah orang atau badan
yang mempunyai rekening simpanan atau pinjaman pada bank ̋.28
Komaruddin dalam “Kamus Perbankan” menyatakan bahwa “Nasabah adalah
seseorang atau suatu perusahaan yang mempunyai rekening koran atau deposito atau
tabungan serupa lainnya pada sebuah bank ̋.29
Sedangkan menurut
Muhammad Djumhana menyebutkan bahwa “nasabah merupakan konsumen dari
pelayanan jasa perbankan”.30
Apabila dilihat dari segi ilmu ekonomi, nasabah merupakan orang yang
menggunakan jasa pelayanan pada perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Nasabah
adalah orang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses produksi selesai,
karena mereka adalah pengguna produk.
28
Saladin Djaslim, 1994, Dasar-dasar Manajemen Pemasaran Bank, CV Rajawali, Jakarta, h. 84.
29
Komarudin, 1994, Kamus Perbankan, CV Rajawali, Jakarta, h. 102
30
Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 40-41.
37
Terdapat beberapa pendapat dari ahli yang mengemukakan mengenai nasabah
sebagai pengguna jasa pada perusahaan. Menurut Webster’s “Nasabah adalah
seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu
barang atau peralatan”.31
Menurut Irawan bahwa “Nasabah adalah orang yang paling penting dalam
perusahaan”.32
Sedangkan menurut Rangkuti disebutkan “Nasabah adalah orang yang
mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa. Seseorang bisa disebut nasabah
tanpa perlu membeli produk atau jasa, melainkan cukup hanya mengkonsumsi atau
menggunakan produk atau jasa tersebut”.33
Nasabah dari segi ekonomi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Nasabah internal
Nasabah internal atau konsumen internal adalah orang-orang yang terlibat
dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,
penciptaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran dan penjualan dan
pengadministrasian.
Mereka itu antara lain adalah jajaran direksi, manajer, pimpinan bagian, pimpinan
seksi, penyelia, dan para pegawai organisasi komersial (perusahaan), pengurus dan
pegawai organisasi non komersial (nirlaba), pegawai pada instansi pemerintah
2. Nasabah eksternal
31
Lupiyoadi Rambat, 2006, Manajemen Pemasaran Jasa, Cetakan Pertama, Edisi Kedua,
Salemba Empat, Jakarta, h. 143.
32
Irawan Handi, 2004, 10 Prinsip Kepuasan Nasabah, Cetakan Kelima, Elex Media Komputindo,
Jakarta, h. 1.
33
Lupiyoadi, Op.cit, h. 318.
38
Nasabah eksternal atau konsumen eksternal adalah semua orang yang berada
di luar organisasi komersil atau organisasi non komersil, yang menerima layanan
penyerahan barang atau jasa dari organisasi (perusahaan). Apabila ditinjau dari sisi
kegiatan komersil dan non komersil, nasabah eksternal tersebut dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu :
a) Kelompok nasabah dalam kegiatan komersil Penerima layanan yang
termasuk kelompok nasabah dalam kegiatan komersil.
b) Kelompok nasabah dalam kegiatan non-komersil Penerima layanan yang
termasuk kelompok nasabah kegiatan non-komersil adalah mereka yang
menerima layanan dari penyedia layanan non-komersil yang sifat
layanannya cuma-cuma atau dengan mengeluarkan pembayaran yang
sepadan dengan manfaat yang diperolehnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa nasabah adalah seorang yang secara kontinu
dan berulang kali datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keinginannya
dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk
atau jasa tersebut
Dari pengertian nasabah yang telah dipaparkan diatas dapat dilihat bahwa
pengertian nasabah dari segi ilmu ekonomi dirasa lebih tepat digunakan dalam karya
ilmiah ini, dimana pada karya tulis ini membahas mengenai suatu perusahaan yaitu
PT. Victory International Futures yang merupakan perusahan yang bergerak di
bidang investasi. Jadi pengertian nasabah dari segi ekonomi inilah yang dirasa lebih
39
tepat digunakan dibandingkan dengan pengertian nasabah dalam segi ilmu hukum
yang lebih menjurus ke dalam ranah hukum perbankan.
2.3 Perjanjian Baku (Standar)
2.3.1 Pengertian Perjanjian Baku (Standar)
Perjanjian Standar dikenal dengan istilah dalam bahasa inggris yakni standar
contract. Dalam bahasa belanda perjanjian standar yaitu standard voorwarden.
Perjanjian ini dikenal juga dengan istiah “take it or leave it contract”. Mariam Darus
Badrulzaman mendifinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan
dan dituangkan dalam bentuk formulir.34
Hondinius merumuskan perjanjian baku sebagai konsep janji-janji tertulis,
yang disusun tanpa membicarakan izin dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian
yang sifatnya tertentu.35
Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang
hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang
menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang
34
Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (Selanjutnya disebut dengan
Mariam Darus Badrulzaman I), Alumni, Bandung, h. 48.
35
Ibid.
40
spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan
formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.36
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang – Undang
Perlindungan Konsumen) disebutkan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh kon4sumen”.37
Dari pengertian
diatas dapat dilihat bahwa perjanjian baku memiliki korelasi dengan konsumen.
Dengan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjian tersebut, maka posisi
konsumen akan menjadi lemah dibandingkan dengan pelaku usaha yang telah
menentukan isi atau klausul-klausul di dalam perjanjian itu secara sepihak. Lemahnya
posisi konsumen tersebut dikarenakan adanya klausul-klausul baku dalam perjanjin
baku yang dapat menghilangkan hak konsumen sebagaimana seharusnya di dapatkan
atau diterima oleh konsumen, serta menghilangkan tanggungjawab dari pelaku usaha.
Sedikit mengenai konsumen, pengertian konsumen berdasarkan pada Pasal 1
huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa
36
Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam
Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta.
37
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
41
“konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.38
Beberapa ahli juga mendefinisikan mengenai konsumen, seperti Inosentius
Samsul menyebutkan “konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk,
baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah,
dan undangan”.39
Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen
dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan Belanda,
yaitu: “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil”.40
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa: konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal
istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen
yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya.
Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari
38
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Pasal 1.
39
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.
40
Mariam Darus Badrulzaman, 1981 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II),
Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, h. 48.
42
keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.
Seperti pengertian yang telah disampaikan diatas, konsumen umumnya diartikan
sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh
pengusaha41
, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak
untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.
Namun dalam hal ini PT. Victory International Futures yang merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang investasi dengan fokus produk investasi di forex,
index futures, dan precious metal ini menggunakan istilah nasabah bagi sesorang
yang menggunakan produk atau jasa pada perusahaan. Apabila dikaitkan dengan
konsumen dan nasabah, maka pengertian nasabah yang ada di dalam hal ini
merupakan pengguna produk/jasa pada perusahaan dapat dikatakan sebagai
konsumen. Hal tersebut disebabkan karena pengertian mengenai konsumen tersebut
meskipun secara umum dikatakan sebagai pengguna produk/jasa akhir namun
nasabah juga merupakan seseorang yang menggunakan produk/jasa yang ditawarkan
oleh perusahaan tersebut.
2.3.2 Bentuk dan Karakteristik Perjanjian Baku (Standar)
Rumusan mengenai pengertian perjanjian baku seperti yang telah
dikemukakan di atas, dimana sebelum perjanjian baku tersebut ditawarkan kepada
konsumen (yang dalam hal ini adalah nasabah), para pelaku usaha (yang dalam hal ini
41
Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi
Standar Kontrak (Baku), Binacipta, Jakarta, H. 57.
43
adalah perusahaan) terlebih dahulu menentukan mengenai isi dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku terhadap perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut tidak dibuat
berdasarkan kesepakatan para pihak, melainkan hanya pihak pelaku usaha saja yang
membuat perjanjian tersebut dengan adanya klausula baku dalam perjanjian.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, Mariam Daruz
Badrulzaman membedakan bentuk-bentuk perjanjian baku berdasarkan perbedaan
pihak-pihak yang menyusun perjanjian baku tersebut atas 4 (empat) bentuk, yaitu42
:
1. Perjanjian baku sepihak
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh
satu pihak yang mempunyai kedudukannya paling kuat dalam perjanjian tersebut.
Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditor/ pelaku usaha dibandingkan dengan
pihak debitor. Dalam perjanjian yang sepihak ini, kondisi atau ketentuan-ketentuan
perjanjian ditetapkan secara sepihak oleh pihak kreditor, tanpa melalui proses tawar-
menawar terlebih dahulu kepada pihak konsumen, sedangkan pihak debitor hanya
bersifat menerima atau menolak isi perjanjian. Perjanjian baku bentuk ini dalam
bahasa Prancis disebut dengan Contract d’adhesion. Artinya perjanjian baku yang
dengan sengaja dipersiapkan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi keinginan
ataupun kebutuhan masyarakat selaku konsumen.
2. Perjanjian baku timbal balik
42
Mariam Darus Badrulzaman, 1980 (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman III),
Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 77
44
Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya terlebih
dahulu ditentukan oleh kedua belah pihak yang isinya dituangkan dalam suatu
perjanjian tertulis dalam bentuk formulir yang digunakan oleh anggotanya. Perjanjian
baku jenis ini umumnya digunakan dalam bidang organisasi. Secara formal debitor
ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tersebut, tetapi secara material debitor
hanya mengikatkan diri sebagai anggota dari perkumpulan tersebut. Perjanjian baku
yang timbal balik ini adalah bersifat relatif, karena apabila perkataan timbal balik
diartikan secara absolut atau murni, maka seolah-olah isi perjanjian tersebut
ditetapkan dan disepakati oleh kehendak bebas dari para pihak yang terkait dalam
perjanjian. Apabila diartikan secara umum, maka salah satu sifat perjanjian baku
yaitu tidak terdapat kehendak bebas dari para pihak dalam menentukan isi perjanjian,
dimana perjanjian hanya ditetapkan berdasarkan kehendak bebas pihak yang
posisinya kuat dalam perjanjian tersebut.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu perjanjian baku yang
isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan tertentu.
Keterlibatan pemerintah dalam perjanjian baku ini adalah hanya sebagai undang-
undang atau peraturan-peraturan terhadap warga negara yang menyangkut
kepentingan umum.
4. Perjanjian baku yang isi perjanjiannya ditetapkan oleh pihak ketiga yang
bertindak sebagai orang yang ahli
45
Perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga ini, biasanya paling
banyak ditemui dalam lingkungan advokad dan notaris, yaitu perjanjian yang pertama
konsepnya sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari masyarakat yang
meminta bantuan notaris atau advokad yang bersangkutan Misalnya seorang notaris
yang menyediakan berbagai jenis formulir perjanjian yang dapat dipakai para pihak
yang ingin menggunakan jasa mereka. Perjanjian baku tidak hanya ada pada
lingkungan advokad atau notaris saja tetapi dalam semua lingkungan profesi yaitu
dokter, akuntan swasta, dan lain-lain.
Bentuk-bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat
terdiri atas43
:
a. Dalam Bentuk Dokumen
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-syarat khusus
yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-
kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan
tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan
atau pada wadah produk bersangkutan.
Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar kertas tertentu,
tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia berbentuk tulisan dengan
kalimat-kalimat antara lain: “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”
(biasanya termuat pada bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau
43
Az. Nasution, 2007 (Selanjutnya disingkat Az. Nasution I), Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, h. 109-111.
46
kedai), “ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman” (pada bon atau kuitansi dari
perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang), “ganti rugi dalam bentuk
penggantian satu rol film baru” (biasanya pada toko pencuci dan pembuat foto atau
foto-foto studio), “barang-barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di
luar tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir kendaraan
bermotor), “barang-barang yang dicuci tidak dijamin apabila terjadi hal-hal tertentu”
(biasanya pada toko/perusahaan pencuci pakaian atau laundry), “barang-barang yang
dijamin sesuai dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”,
dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus, sehingga sulit
diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang persoalannya.
b. Dalam Bentuk Perjanjian
Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian yang konsep
atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya
penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di samping memuat aturan-aturan yang
umumnya biasa tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-
persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-
hal tertentu dan/atau berakhirnya perjanjian itu.
Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu
perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-syarat)
tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat ketentuan tentang syarat
berlakunya kontrak baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko
tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain
47
yang pada umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan
dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau
ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan
jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk.
Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain perjanjian
perusahaan pialang, perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian
pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan sebagainya.
Seiring berkembangnya perjanjian baku mengikuti kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, maka berkembang pula ciri-ciri perjanjian baku dalam kehidupan
masyarakat mengikuti perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat tersebut.
Hal utama yang sangat menonjol terhadap perkembangan ciri-ciri ini yaitu
mencerminkan dan mengutamakan prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Dengan
pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin
karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pengusaha.
Sedangkan dari ciri kepastian hukum, ketika terdapat konflik dalam pelaksanaan
perjanjian, pihak yang posisinya lebih kuat dapat terlebih dahulu menentukan jenis
penyelesaian sengketa manakah yang akan digunakan.
Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan ciri-ciri perjanjian baku secara
lebih rinci, yang mana perjanjian baku memiliki ciri-ciri sebagai berikut44
:
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat;
44
Mariam Darus Badrulzaman III, op.cit, h. 11
48
2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan
isi perjanjian;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuk tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan diatas, berikut penjelasan dari kelima ciri,
sebagai berikut45
:
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat
Dalam suatu perjanjian baku, khususnya dalam perdagangan, pihak yang
posisinya lebih kuat adalah pihak pengusaha. Dalam suatu perjanjian baku syarat-
syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak ditentukan sendiri secara
sepihak oleh pengusaha atau organisasi pengusaha. Karena syarat-syarat perjanjian
itu dimonopoli oleh pengusaha, maka sifatnya cenderung lebih menguntungkan
pengusaha dari pada konsumen. Penentuan secara sepihak oleh pengusaha dapat
diketahui melalui format perjanjian yang sudah siap pakai, jika konsumen setuju,
maka di tanda tangani perjanjian tersebut.
2. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian
Saat ini untuk menjamin kepastian hukum trend pembuatan perjanjian dibuat
dalam bentuk tertulis. Hal inilah yang mendorong pengusaha lebih kuat
45
Op.cit, h. 12-14
49
kedudukannya untuk merumuskan perjanjian tertulis tanpa ada masukan atau campur
tangan dari konsumen. Dalam hal ini syarat kesepakatan sebagai syarat perjanjian
diwujudkan dalam bentuk tanda tangan dari konsumen walaupun konsumen tidak ikut
serta menetukan isi perjanjian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian
baku yang dirancang secara sepihak oleh pengusaha akan menguntungkan pengusaha
berupa:
a. Efisiensi biaya, waktu dan tenaga
b. Praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau
blanko yang siap diisi dan ditandatangani
c. Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui dan/atau
menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya
d. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
Sebagi pihak yang mempunyai posisi yang lemah maka konsumen tidak dapat
mengajukan tawaran dan perubahan terhadap isi perjanjian baku tersebut. Apabila,
konsumen bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang diberikan kepadanya,
maka konsumen tersebut menandatangani perjanjian yang diberikan kepadanya.
Penandatanganan tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia menerima beban
tanggung jawab walaupun kemungkinan pihak konsumen tidak bersalah dan pihak
konsumen tidak terlibat untuk merumuskan perjanjian itu. Apabila konsumen tidak
50
menyetujui dengan syarat-syarat perjanjian yang diberikan tersebut, pihak konsumen
tidak dapat menolak substansi dari perjanjian tersebut.46
4. Bentuk tertulis
Suatu perjanjian standar/baku pada umumnya dibuat secara tertulis dengan
tujuan untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum. Bentuk tertulis dari perjanjian
baku tersebut memudahkan pengusaha untuk membuktikan persetujuan dari
konsumen. Melalui bentuk tertulis kesepakatan konsumen hanya perlu dibuktikan
dari tanda tangan dalam perjanjian sdtandar tersebut. Perjanjian secara tertulis ini
dapat berbentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan. Perjanjian yang dibuat
secara tertulis memiliki arti bahwa perjanjian tersebut memuat syarat-syarat baku itu
menggunakan katakata atau susunan kalimat yang teratur dan rapi. Apabila huruf
yang dipakai kecil-kecil, kelihatan isinya sangat padat dan sulit dibaca dalam waktu
singkat. Hal seperti inilah yang umumnya merugikan konsumen, kesalahan membaca
syarat perjanjian baku yang ditulis kecil-kecil akhirnya menjadi sumber konflik yang
merugikan konsumen di masa mendatang.
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif
Pada umumnya perjanjian standar digunakan dalam perbuatan hukum yang
dilakukan oleh banyak orang. Seperti contohnya jual-beli kendaraan bermotor,
perjanjian kredit pada bank dan lain-lain. Karena alasan ini seringkali dipersiapkan
secara massal dalam jumlah yang besar. Perjanjian standar umunya juga digunakan
46
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Cet.
1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7.
51
oleh perusahaan dibidang perdagangan dan dibuat dalam bentuk yang sama. Format
ini dibakukan artinya sudah ditentukan model, rumusan dan ukurannya, sehingga
tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Model
perjanjian dapat berupa naskah perjanjian lengkap, atau blanko formulir yang
dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang
memuat syarat- syarat baku.
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang isinya telah ditetapkan oleh salah
satu pihak (dalam hal ini pelaku usaha/perusahaan) tanpa membicarakannya terlebih
dahulu dengan pihak lain (dalam hal ini konsumen/nasabah) yang memiliki
keterkaitan dengan perjanjian tersebut. Isi dari perjanjian tersebut dapat berupa
syarat-syarat maupun ketentuan-ketentuan tertentu yang seluruhnya dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha.
Syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha di dalam perjanjian itulah yang disebut dengan klausula
baku. Klausula baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
tersebut bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen yang telah menyetujui
perjanjian tersebut. Orang atau pihak lain itu, dan umumnya mereka adalah
konsumen, dapat menerimanya atau tidak menerimanya sebagai suatu perjanjian (take
it or leave it).47
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut:48
47
Az. Nasution I, op.cit, h. 109
48
Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.
52
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih
kuat dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor
kebutuhan.
Perjanjian dengan klausula baku terjadi dengan beberapa cara, hingga saat ini
pemberlakuan perjanjian baku tersebut antara lain dengan cara-cara49
:
1. Pencantuman butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan
terlebih dahulu oleh salah satu pihak, biasanya oleh kalangan pengusaha,
produsen, distributor, atau pedagang produk tersebut. Perhatikan kontrak
jual beli atau sewa beli kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat
elektronik, dan lain sebagainya.
2. Pencantuman klausula baku dalam lembaran kertas yang berupa tabel,
bon, kuitansi, tanda terima, atau lembaran dalam bentuk serah terima
barang. Seperti lembaran bon, kuitansi, atau tanda terima barang dari
toko, kedai, supermarket.
3. Pencantuman klausula baku dalam bentuk pengumuman tentang
berlakunya syarat-syarat baku di tempat tertentu, seperti di area parkir,
49
Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
h. 97, dikutip dari Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 76.
53
hotel, dan penginapan dengan meletakkan atau menempelkan
pengumuman klausula baku.
2.4 Klausula Eksonerasi
2.4.1 Pengertian Klausula Eksonerasi
Perjanjian baku disebut juga sebagai perjanjian standar, dalam bahasa Inggris
disebut standard contract atau kontrak persetujuan. Mariam Darus Badrulzaman
mendefinisikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan
dituangkan dalam bentuk formulir.50
Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang
dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan
hubungan hukum dengan pengusaha. Dalam perjanjian baku, hal yang dibakukan
dalam perjanjian tersebut meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Perjanjian baku diadakan untuk melayani permintaan para konsumen yang
berfrekuensi tinggi. Format perjanjian tersebut telah dibakukan artinya sudah
ditentukan model, rumusan, dan ukurannya, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau
dibuat dengan cara lain karena sudah dicetak. Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan
perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul – klasulnya
dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki
peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum
dibakukan hanya beberapa hal misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,
warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan.
50
Mariam Darus Badrulzaman I, Op.cit, h. 48
54
Sjahdeni menekankan yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan
klausul – klausulnya. 51
Rijken memberikan pendapat bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang
dicantumkan dalam perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk
memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi
karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.52
Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa istilah klausul
eksonerasi adalah sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggunjawaban dari
kreditur, terhadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya.53
Shidarta mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab
yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/ penyalur produk (penjual). 54
Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula
tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam
perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang merugikan konsumen
yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan
51
Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, h. 66 dalam
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta
52
Mariam Daruz Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, h. 47
53
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan ke-3, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 141
54
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 120
55
produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya
klausula tersbeut menjadi beban konsumen.55
2.4.2 Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku (Standar)
Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh
produsen yang mengandung ketentuan yang berlaku umum, sehingga pihak
konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu menyetujui atau menolaknya. Adanya
pilihan tersebut dikatakan bahwa tidak melanggar asas kebebasan berkontrak
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata yang berarti
bahwa bagaimana pihak konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui (take it)
atau menolak (leave it).
Persyaratan yang terdapat dalam sutau perjanjian tidak boleh bertentangan
dengan undang – undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Suatu perjanjian standar
yang mengandung klasula eksonerasi pada umumnya dikhawatirkan oleh masyarakat
karena dapat membatasi bahkan menghapus tanggungjawab yang seharusnya
dibebankan kepada produsen.
Klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi antara produsen
dan konsumen. Terciptanya keseimbangan antara produsen dan konsumen dengan
cara membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dengan
adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan
pemerintah terlihat dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan
55
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Press,
Jakarta. h.114
56
Pasal 4 Undang – Undang Perlindungan Konsumen ditentukan secara prinsipnya
terdapat hak konsumen terdapat:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Undang – Undang Perlindungan Konsumen tidak mencamkan istilah klausula
eksonerasi melainkan klasula baku. Dalam Pasal 1 Undang – Undang Perlidungan
Konsumen disebutkan “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat
– syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajin dipenuhi oleh konsumen.” Secara sederhana, klausula baku
mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh
pelaku usaha, yang posisi relatif lebih kuat dibandingkan konsumen;
57
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi dari
klausula baktu tersebut;
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan bersifat missal;
d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena di dorong oleh
kebutuhan.
Dalam melindungi hak konsumen dari lemahnya kedudukan konsumen, Pasal
18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan secara tindaka
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
58
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen
menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu dimana larangan
ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku
usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Berlakunya Pasal 18 ayat (1)
Undang – Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan
menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam suatu
perjanjain dengan pelaku usaha, sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha
dengan konsumen. Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen
membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada
klausula eksonerasi.
Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang – Undang Perlidungan Konsumen diatur
secara prinsipnya bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya
59
sulit dimengerti. Letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku berkaitan dengan
Pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur pada prinsipnya
bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan
pemeliharaan.
Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan Konsumen disebutkan
“Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana diaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.” Pasal 18 ayat (3) Undang – Undang Perlindungan
Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar
antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersbut tercantum
mengenai klausula eksonerasi. Dalam Pasal 1266 jo. 1267 KUHPerdata disebutkan
secara prinsipnya bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan
memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim. Akibat dari batal demi hukum suatu
perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang memiliki arti bahwa
pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Dari penjelasan tersebut maka ketika
perjanjian baku memuat klausula eksonerasi dan diajukan gugatan ke pengadilan,
hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian
menjadi batal seluruhnya.