BAB II TINJAUAN PUSTAKA.doc
-
Upload
hirsanhusairi -
Category
Documents
-
view
9 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA.doc
8
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. KONSEP ANAK USIA PRASEKOLAH
1. Pengertian
Anak usia prasekolah adalah peralihan antar suai
toddler dan sekolah yaitu usia tiga sampai enam tahun
yang merupakan periode kanak-kanak awal (Wong, 2002).
Pada usia prasekolah, perkembangan fisik lebih lambat
dan relatif tetap. Keterampilan motorik seperti
berjalan, melari , melompat menjadi semakin luwes
tetapi otot dan tulang belum sempurna.
Anak merupakan individu yang berada dalam satu
rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi
hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia
bermain/toodler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5
tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11-
18 tahun). Namun, topik yang ingin kita bahas tentang
anak usia prasekolah.
Menurut Marjorie mengatakan bahwa anak prasekolah
merupakan masa antusiasme, bertenaga, aktivitas,
kreativitas, otonomi, sosial tinggi dan idenpenden.
Anak dari usia 1 sampai 5 atau 6 tahun menguatkan rasa
identitas jender dan mulai membedakan perilaku sesuai
jenis kelamin yang didefinisikan secara sosial serta
8
9
mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk menirukan
tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan
mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang
didasarkan pada umpan balik orang tua. (Potter &
Perry, 2005)
2. Teori Perkembangan Psikososial
a. Perkembangan psikososial menurut Freud, usia
prasekolah yaitu tiga sampai enam tahun disebut
fase falik. Selama fase ini genitalia menjadi cara
yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak
mulai belajar adanya perbedaan jenis kelamin.
Selain itu untuk memahami identitas gender, anak
sering meniru ibu atau bapaknya misalnya dengan
menggunakan pakai ibu atau bapaknya, Freud juga
mengatakan bahwa membentuk suatu hubungan dengan
orang tua
b. Perkembangan psikososial menurut Erikson, usia
prasekolah yaitu 3 sampai 6 tahun disebut inisiatif
versus rasa bersalah. Perkembangan inisiatif
diperoleh dengan cara mengkaji lingkungan dengan
kemampuan indranya. Anak mengembangkan keinginannya
dengan cara eksplorasi terhadap pada yang ada
disekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai
prestasinya. Perasaan bersalah akan timbul pada
anak jika tidak mampu untuk berprestasi sehingga
10
merasa tidak puas atas perkembangan yang telah
dicapai.
Pada pertumbuhan masa pra sekolah pada
pertumbuhan khususnya berat badan mengalami kenaikan
rata-rata pertahunnya adalah 2 kg, kelihatan kurus
akan tetapi aktivitas motorik tinggi, di mana sistem
tubuh sudah mencapai kematangan seperti berjalan,
melompat dan lain-lain. Karena pengalaman belajar dan
harapan orang dewasa yang serupa, biasanya di antara
semua anak dalam kebudayaan tertentu ditemukan
beberapa keterampilan motorik yang bersifat umum.
Sebagai contoh, dalam kebudayaan kita semua anak
diharapkan mempelajari keterampilan untuk makan,
berpakaian sendiri, menulis dan memainkan permainan
yang disetujui oleh kelompok sosial.
Diperkirakan bahwa rata-rata anak yang berusia 3
tahun sampai 4 tahun menggunakan 15.000 kata setiap
hari atau dalam setahunnya menggunakan kira-kira 5
setengah juta kata. Setiap tahun, sejalan dengan
bertambah besar mereka, anak-anak berbicara lebih
banyak dan menggunakan kata-kata yang lebih berbeda.
Jauh sebelum anak mampu membaca dan sebelum mereka
mampu mengerti arti setiap kata kecuali yang
sederhana, mereka ingin dibacakan.
11
3. Profil Prasekolah
a. Berat badan hanya sedikit naik rata-rata hanya 2,25
kg/tahun
b. Tinggi badan pertambahan minimal rata-rata hanya 5-
6,5, anak berubah cepat menjadi kurus, lebih tinggi
dibandingkan masa sebelumnya
c. Gigi-geligi, umumnya gigi susu mencapai 20, tidak
ada pertumbuhan gigi baru pada masa ini
B. KONSEP DUKUNGAN KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Freidman (1992) mendefinisikan keluarga sebagai
dua atau lebih individu yang bekerja sama dengan
ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan keluarga
adalah unit yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
mereka dan memperlihatkan pembagian kerja menurut
jenis kelamin (Potter & Perry, 2005).
Menurut UU No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera,
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri dari suami-istri atau suami-istri dan anak-
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat
dekat hubungannya dengan seseorang. Keluarga lebih
dekat hubungannya dengan anak dibandingkan dengan
masyarakat luas (Notosoedirjo & Latipun, 2005).
12
Keluarga juga didefinisikan sebagai suatu ikatan
atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara
orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama
atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang
sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya
sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah
tangga (Sayekti, 1994 dalam Suprajitno, 2004).
2. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga didefinisikan sebagai informasi
verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau
tingkah laku yang diberikan oleh orang- orang yang
akrab dengan subjek di dalam lingkungannya atau yang
berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku
penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa
memperoleh dukungan secara emosional merasa lega
karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang
menyenangkan pada dirinya (Gottlieb, 1983 dalam Smet,
1994).
Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa
orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
Dukungan keluarga adalah suatu proses hubungan
antara keluarga dan lingkungan sosialnya (Kane, 1988
13
dalam Friedman, 1998). Dukungan keluarga adalah proses
yang terjadi sepanjang hidup, dimana sumber dan jenis
dukungan keluarga berpengaruh terhadap tahap lingkaran
kehidupan keluarga. Menurut Stuart dan Sundeen (1995),
ada tiga dimensi interaksi dalam dukungan keluarga
yaitu timbal balik (kebiasaan dan frekuensi hubungan
timbal balik), nasihat/umpan balik (kuantitas/kualitas
komunikasi) dan keterlibatan emosional (meningkatkan
intimasi dan kepercayaan) didalam hubungan sosial.
3. Fungsi Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses
yang terjadi sepanjang masa kehidupan, sifat dan jenis
dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-
tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua
tahap siklus kehidupan, dukungan sosial keluarga
membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai
kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini
meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga (Akhmadi,
2010).
Wills (1985) dalam Friedman (1998) menyimpulkan
bahwa baik efek-efek penyangga (dukungan sosial
menahan efek-efek negatif dari stres terhadap
kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara
langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan)
pun ditemukan. Sesungguhnya efek-efek penyangga dan
14
utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan
kesejahteraan boleh jadi berfungsi bersamaan.
Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial
yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya
mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit dan
dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan
kesehatan emosi (Akhmadi, 2010).
Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan
bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan
yaitu:
a. Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
diseminator (penyebar) informasi tentang dunia.
Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti,
informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu
masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat
menekan munculnya suatu stressor karena informasi
yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti
yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam
dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran,
petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dukungan penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan
umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan
masalah, sebagai sumber dan validator identitas
15
anggota keluarga diantaranya memberikan support,
penghargaan, perhatian.
c. Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan
praktis dan konkrit, diantaranya : kesehatan
penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat, terhindarnya penderita dan kelelahan.
d. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai
untuk istirahat dan pemulihan serta membantu
penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari
dukungan emosional meliputi dukungan yang
diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan,
perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
4. Sumber dukungan keluarga
Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan
sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu
yang dapat diadakan untuk keluarga, tetapi anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung
selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika
diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan
sosial keluarga internal, seperti dukungan dari
suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau
dukungan sosial keluarga eksternal (Akhmadi, 2010).
16
5. Komponen dukungan keluarga
Cara untuk meningkatkan efektivitas keberadaan
atau sumber potensial terdapatnya dukungan dari
keluarga yang menjadi prioritas penelitian.
Komponen-komponen dukungan keluarga menurut
Friedman (1998) dan House (1984, dalam Sarafino,
1994), terdiri dari :
a. Dukungan pengharapan
Dukungan pengharapan meliputi pertolongan pada
individu untuk memahami kejadian depresi dengan
baik dan juga sumber depresi dan strategi koping
yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor.
Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi
bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap
individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat
diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi
melalui ekspresi pengharapan positif individu
kepada individu lain, penyemangat, persetujuan
terhadap ide-ide atau perasaan seseorang dan
perbandingan positif seseorang dengan orang lain,
misalnya orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga
dapat membantu meningkatkan strategi koping
individu dengan strategi-strategi alternatif
berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-
aspek yang positif.
17
b. Dukungan nyata
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan
jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dan
material berupa bantuan nyata (instrumental support
material support), suatu kondisi dimana benda atau
jasa akan membantu memecahkan masalah praktis,
termasuk di dalamnya bantuan langsung, seperti saat
seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu
pekerjaan sehari-hari, menyampaikan pesan,
menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat
sakit ataupun mengalami depresi yang dapat membantu
memecahkan masalah. Dukungan nyata paling efektif
bila dihargai oleh individu dan mengurangi depresi
individu. Pada dukungan nyata keluarga sebagai
sumber untuk mencapai tujuan praktis dan tujuan
nyata.
c. Dukungan informasi
Jenis dukungan ini meliputi jaringan
komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk di
dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan
nasihat, pengarahan, saran, atau umpan balik
tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga
dapat menyediakan informasi dengan menyarankan
tentang dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan
tindakan spesifik bagi individu untuk melawan
stressor. Individu yang mengalami depresi dapat
18
keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya
dengan dukungan dari keluarga dengan menyediakan
feed back (Sheiley, 1995). Pada dukungan informasi
ini keluarga sebagai penghimpun informasi dan
pemberi informasi.
d. Dukungan emosional
Selama depresi berlangsung, individu sering
menderita secara emosional, sedih, cemas, dan
kehilangan harga diri. Jika depresi mengurangi
perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai.
Dukungan emosional memberikan individu perasaan
nyaman, merasa dicintai saat mengalami depresi,
bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa
percaya, perhatian sehingga individu yang
menerimanya merasa berharga. Pada dukungan
emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat
dan memberikan semangat.
6. Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Feiring dan Lewis (1984) dalam Friedman
(1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil
secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman
perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga
yang besar. Selain itu, dukungan yang diberikan orang
tua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
19
Menurut Friedman (1998), ibu yang masih muda
cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau
mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris
dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua. Faktor-faktor
yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah
kelas ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini
meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua
dan tingkat pendidikan.
Menurut Feiring dan Lewis (1984 dalam Friedman
1998), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil
secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman
perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga
kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-
anak dari keluarga yang besar. Selain itu, dukungan
yang diberikan orang tua (khususnya ibu) juga
dipengaruhi oleh usia (Akhmadi, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga
lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas
sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan,
pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam
keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih
adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas
bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau
autokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial
menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan
20
keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua
dengan kelas sosial rendah (Akhmadi, 2010).
Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan
yang lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara
dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih
otoritas atau autokrasi. Selain itu orang tua dengan
kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan,
afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada
orang tua dengan kelas sosial bawah.
7. Dukungan keluarga pada anak usia prasekolah yang
sedang menjalani hospitalisasi
Kebutuhan terbesar anak selama perkembangannya
adalah rasa aman yang timbul dari kesadaran bahwa ia
diinginkan dan disayang oleh orang dewasa tempatnya
bergantung. Lingkungan anak yang mula-mula terbatas
sifatnya dan pandangan dunia serta tempatnya sendiri
di dalamnya akan terbentuk terutama oleh hubungannya
dengan keluarga (Mcghie, 2007).
Sebagian besar orang tua menganggap awal masa
prasekolah sebagai usia yang mengundang masalah atau
usia sulit. Sering kali, anak yang lebih muda bersikap
bandel, keras kepala, tidak menurut negativities, dan
melawan. Terkadang marah tanpa alasan. Pada malam hari
terganggu oleh mimpi buruk dan pada siang hari ada
rasa takut yang tidak rasional, dan merasa cemburu.
Perilaku ribut, berlagak, kejemuan dan tidak tenteram
21
pada anak-anak yang cemas cenderung berusaha
meyakinkan diri mereka dan orang lain tentang
kemampuan mereka. Anak-anak menghindarkan diri dari
situasi yang mengancam dengan cara pergi tidur
meskipun tidak lelah, dengan membuat diri mereka sibuk
sehingga tidak mempunyai waktu untuk berpikir, atau
mengundurkan diri ke dunia khayal.
Dampak hospitalisasi pada masa prasekolah yaitu
sering menolak makan, sering bertanya, menangis
perlahan, tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan,
anak sering merasa cemas, ketakutan, tidak yakin,
kurang percaya diri, atau merasa tidak cukup
terlindungi dan merasa tidak aman. Tingkat rasa aman
pada setiap anak berbeda. Beberapa anak lebih pemalu
dan cepat cemas dibanding anak lain (June, 2003).
Hospitalisasi dapat dianggap sebagai pengalaman yang
mengancam dan menjadi stressor sehingga dapat
menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga. Bagi anak,
hal ini mungkin terjadi karena anak tidak memahami
mengapa ia dirawat/terluka, stres dengan adanya
perubahan akan status kesehatan, lingkungan, kebiasaan
sehari-hari dan keterbatasan mekanisme koping. Pada
anak yang dirawat akan muncul tantangan-tantangan yang
harus dihadapinya seperti mengatasi suatu perpisahan,
penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya,
penyesuaian dengan banyak orang yang merawatnya, dan
22
kerap kali harus berhubungan atau bergaul dengan anak-
anak yang sakit serta pengalaman mengikuti terapi yang
menyakitkan bagi anak-anak. Secara psikologis, membaca
atau bercerita merupakan salah satu bentuk bermain
yang paling sehat (Muscari 2005, dalam Lubis 2007).
Dalam hal ini keluarga harus memberikan dukungan
pada anak. Memberikan semangat, empati, rasa percaya
dan perhatian adalah hal yang dibutuhkan pada saat
prosedur ini dilakukan sehingga anak merasa tenang,
nyaman dan percaya bahwa hospitalisasi adalah terapi
yang baik bagi dirinya.
C. KONSEP CEMAS
1. Pengertian cemas
Konsep kecemasan memegang peranan yang sangat
mendasar dalam teori-teori tentang stres dan
penyesuaian diri. Menurut Post (1978, dalam Trismiati,
2004), kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak
menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan
subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran
dan juga ditandai dengan aktifnya sistem saraf pusat.
Setiap orang pasti pernah mengalami atau
merasakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan dalam
dirinya. Bentuk perasaan yang tidak menyenangkan ini
sering disebut dengan cemas. Cemas adalah suatu respon
emosional dari rasa takut, tertekan, dan khawatir yang
secara subjektif dialami oleh seseorang dengan objek
23
tidak spesifik atau tidak jelas, terutama oleh adanya
pengalaman baru termasuk pada pasien yang akan
mengalami tindakan invasi seperti pembedahan atau
operasi yang berpengaruh terhadap perannya dalam
hidup, integritas tubuh atau bahkan kehidupannya
sendiri (Atree & Merchant, 1996).
Cemas merupakan suatu perasaan yang diikuti oleh
reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak
jantung dan pernapasan (Purba, 2008). Cemas dapat
menjadi reaksi emosional yang normal di beberapa
situasi lainnya (Nevid, 2005).
Kecemasan adalah suatu kondisi emosi yang kurang
menyenangkan. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III (1995)
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan
yang kurang dan dirasakan oleh individu yang
bersangkutan sebagai perasaan terancam.
Atkinson (1996) juga menjelaskan bahwa kecemasan
merupakan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai
dengan gejala seperti kekhawatiran dan perasaan takut.
Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan
organisme dapat menumbuhkan kecemasan, konflik
merupakan salah satu sumber munculnya rasa cemas.
Adanya ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri,
serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di
luar kemampuan juga menumbuhkan kecemasan.
24
2. Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Menurut Townsend (1996), bahwa ada empat tingkat
kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
a. Kecemasan ringan.
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan
seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat
ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi
meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,
motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
b. Kecemasan sedang.
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain
sehingga seseorang mengalami perhatian yang
selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini
yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung
dan pernapasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan
persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun
tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun,
perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan
25
yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung,
tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.
c. Kecemasan berat.
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik,
serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang
tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi
yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh
pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur
(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan
persepsi menyempit, tidak mau belajar secara
efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan
keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi,
perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
d. Panik.
Panik berhubungan dengan terperangah,
ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan
kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda
dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah
susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat,
diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat
berespon terhadap perintah yang sederhana,
26
berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan
delusi.
3. Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya
memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam
beberapa fase, yaitu :
a. Fase 1
Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi
peringatan, maka tubuh mempersiapkan diri untuk
fight (berjuang), atau flight (lari secepat-
cepatnya). Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak
sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon
adrenalin dan non-adrenalin. Oleh karena itu, maka
gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di
otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada,
leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk
berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku
dan akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di
otot dada, leher dan punggung. Ketegangan dari
kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan
tremor dan gemetar yang dengan mudah dapat dilihat
pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985). Pada fase ini
kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari
sistem syaraf yang mengingatkan kita bahwa sistem
syaraf fungsinya mulai gagal mengolah informasi
yang ada secara benar (Asdie, 1988).
27
b. Fase 2
Disamping gejala klinis seperti pada fase
satu, seperti gelisah, Ketegangan otot gangguan
tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak
bisa mengontrol emosinya dan tidak ada motivasi
diri (Wilkie, 1985). Labilitas emosi dapat
bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang
beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah
menangis yang berkaitan dengan stres mudah
diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara
tertawa yang agak keras dapat menunjukkan tanda
adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 1988).
Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan
seperti seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah,
kemudian ia berdiam diri saja beberapa lama dengan
hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat
sesuatu (Asdie, 1988).
c. Fase 3.
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak
teratasi sedangkan stressor tetap saja berlanjut,
penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga.
Berbeda dengan gejala-gejala yang terlihat pada
fase satu dan dua yang mudah di identifikasi
kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase
tiga umumnya berupa perubahan dalam tingkah laku
dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya dengan
28
stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala
seperti : intoleransi dengan rangsang sensoris,
kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu
yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan
reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat
sebagai gangguan kepribadian.
Menurut Hawari (2001), menjelaskan gejala
kecemasan secara klinis dikelompokkan menjadi empat
macam, yakni :
1) Gangguan cemas menyeluruh
Selain gejala cemas yang bias disertai
dengan kecemasan yang menyeluruh dan menetap
(paling sedikit berlangsung selama satu bulan)
dengan manifestasi 3 sampai 4 kataegori gejala
berikut :
a) Ketegangan motorik
b) Gemetar
c) Tegang
d) Nyeri otot
e) Letih
f) Tidak dapat santai
g) Kelopak mata bergetar
h) Kening mengkerut
i) Muka tegang
j) Gelisah
k) Tidak dapat diam
29
l) Mudah kaget
2) Hiperaktivitas saraf Autonom
(simpatis/parasimpatis)
a) Berkeringat berlebih
b) Jantung berdebar-debar
c) Rasa dingin
d) Telapak tangan/kaki basah
e) Mulut kering
f) Pusing
g) Kepala terasa ringan
h) Kesemutan
i) Rasa mual
j) Rasa aliran panas dingin
k) Diare
l) Rasa tidak enak di ulu hati
m) Muka merah atau pucat
n) Denyut nadi dan nafas cepat
o) Rasa khawatir berlebih tentang hal-hal yang
akan datang :
Cemas, khawatir, takut
Berpikir berulang
Membayangkan akan datangnya kemalangan
terhadap dirinya atau orang lain.
3) Kewaspadaan berlebih
a) Mengamati lingkungan secara berlebih sehingga
mengakibatkan perhatian mudah terlatih.
30
b) Sukar konsentrasi
c) Sukar tidur
d) Merasa ngeri
e) Mudah tersinggung
f) Tidak sabaran.
4) Gangguan panik
Gejala klinis gangguan panik yaitu
kecemasan yang datangnya mendadak oleh perasaan
takut mati, disebut juga sebagai serangan panic.
Gajala-gejala yang muncul pada setiap orang :
a) Sesak nafas
b) Jantung berdebar-debar
c) Nyeri atau tidak enak badan
d) Rasa tercekik atau sesak
e) Pusing, penglihatan berputar-putar, perasaan
melayang
f) Perasaan seakan-akan diri atau lingkungan
tidak realistik
g) Kesemutan
h) Berkeringat banyak
i) Rasa akan pingsan
j) Menggigil atau gemetar
k) Merasa takut mati, takut menjadi gila atau
khawatir akan melakukan sesuatu tindakan
secara tidak terkendali selama berlangsung
serangan panik.
31
5) Gangguan phobik]
Gangguan phobic adalah salah satu bentuk
kecemasan yang didominasi oleh alam pikir phobia.
Phobia adalah ketakutan yang menetap dan
tidak rasional terhadap suatu obyek, yang
menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk
menghindarinya.
6) Gangguan obsesif-konfilsif
Obsesi merupakan suatu bentuk kecemasan
yang didominasi oleh pikiran yang terpaku
(persisten) kompulsi adalah perbuatan yang
dilakukan berulang-ulang sebagai konsekuensi dari
pikiran yang bercorak obsesif tadi.
4. Teori-teori tentang kecemasan
Kecemasan merupakan suatu respon terhadap
situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat
didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap
suatu harapan yang mencetuskan cemas. Hasilnya adalah
bekerja untuk melegakan tingkah laku (Rawlins, at al,
1993). Stres dapat berbentuk psikologis, sosial atau
fisik. Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap
kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan
kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Teori Psikodinamika
32
Freud (1993) mengungkapkan bahwa kecemasan
merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak
disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego
untuk mengambil aksi penurunan cemas. Ketika
mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa
aman datang lagi. Namun bila konflik terus
berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat
tinggi. Mekanisme pertahanan diri dialami sebagai
simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku
ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini
juga menerangkan bahwa kecemasan timbul pertama
dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar
yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih
lemah, sehingga belum mampu memberikan respon
terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah
kecemasan pertama.
Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu
keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari
ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego,
maka terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan
Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego
lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik
tersebut ditekan dalam alam bawah sadar, dengan
potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu,
sering tidak realistik dan dibesar-besarkan.
Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga
33
peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun,
desakan Id meningkat dan adanya stres psikososial,
maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya
(Prawirohusodo, 2002).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari
suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta),
waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon
kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan
tersebut merupakan hasil frustrasi, sehingga akan
mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan
yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari
ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga
menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak
berharga.
d. Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan
timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam
keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan
suatu perhatian terhadap proses fisiologis (Hall,
1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit
fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik
34
emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan
sekunder (Stuart & sundeens, 1998).
5. Factor-faktor yang mencetuskan terjadinya cemas
Faktor yang menjadi pencetus seseorang merasa
cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor
internal) maupun dari luar (faktor eksternal).
a. Faktor internal
1) Pengalaman
Menurut Horney dalam Trismiati (2006),
sumber-sumber ancaman yang dapat menimbulkan
kecemasan tersebut bersifat lebih umum. Penyebab
kecemasan menurut Horney, dapat berasal dari
berbagai kejadian di dalam kehidupan atau dapat
terletak di dalam diri seseorang, misalnya
seseorang yang memiliki pengalaman dalam
menjalani suatu tindakan maka dalam dirinya akan
lebih mampu beradaptasi atau kecemasan yang
timbul tidak terlalu besar.
2) Respon Terhadap Stimulus
Menurut Trismiati (2006), kemampuan
seseorang menelaah rangsangan atau besarnya
rangsangan yang diterima akan mempengaruhi
kecemasan yang timbul.
3) Usia
Pada usia yang semakin tua maka seseorang
semakin banyak pengalamannya sehingga
35
pengetahuannya semakin bertambah (Notoatmodjo,
2003). Karena pengetahuannya banyak maka
seseorang akan lebih siap dalam menghadapi
sesuatu.
4) Gender
Berkaitan dengan kecemasan pada pria dan
wanita, Myers (1983) (dalam Trismiati 2006)
mengatakan bahwa perempuan lebih cemas akan
ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki,
laki-laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan
perempuan lebih sensitif. Penelitian lain
menunjukkan bahwa laki-laki lebih rileks
dibanding perempuan.
b. Faktor eksternal
1. Dukungan keluarga
Kasdu (2002), Adanya dukungan keluarga akan
menyebabkan seorang lebih siap dalam menghadapi
permasalahan.
2. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan sekitar ibu dapat
menyebabkan seseorang menjadi lebih kuat dalam
menghadapi permasalahan, misalnya lingkungan
pekerjaan atau lingkungan bergaul yang tidak
memberikan cerita negatif tentang efek negatif
suatu permasalahan menyebabkan seseorang lebih
kuat dalam menghadapi permasalahan (Baso, 2000).
36
6. Respon Pasien terhadap Kecemasan
a. Respon Fisiologis terhadap Kecemasan
Pada kardiovaskuler terjadi peningkatan
tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut
nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan
lain-lain. Pada pernapasan terjadi napas cepat dan
dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
Pada kulit terjadi perasaan panas atau dingin pada
kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa
terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat,
gatal-gatal. Pada gastrointestinal akan mengalami
anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa
terbakar di epigastrium, nausea, diare. Sedangkan
pada neuromuskuler akan terjadi refleks meningkat,
reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kejang, , wajah tegang, gerakan lambat.
b. Respon Psikologis terhadap Kecemasan
1) Respon perilaku akan terjadi perasaan gelisah,
tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada
koordinasi, menarik diri, menghindar.
2) Respon kognitif akan mengalami gangguan
perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah
tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi
menurun, kesadaran diri yang berlebihan, khawatir
yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut
kecelakaan, takut mati dan lain-lain.
37
3) Respon afektif akan mengalami perasaan tidak
sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar
biasa, sangat gelisah dan lain-lain.
7. Kecemasan anak yang dirawat di Rumah Sakit
Kecemasan anak yang dirawat di Rumah Sakit
terkadang membuat orang tua menjadi cemas untuk
meninggalkan anaknya dan membuat orang tua khawatir
dengan efek dari tindakan medis yang akan dilakukan
pada anaknya. Namun, ketika perawat memberikan
informed consent pada tindakan yang dilakukan maka
kecemasan itu akan berangsur-angsur hilang. Walaupun
mungkin sulit orang tua dan anak mampu menerima
hospitalisasi. Perawat dan dokter yang menangani anak
yang di hospitalisasi harus mampu membina rasa saling
percaya akan terapi yang akan diberikan. Reaksi anak
dan keluarganya terhadap sakit dan ke rumah sakit baik
untuk rawat inap maupun rawat jalan adalah dalam
bentuk kecemasan, stres dan perubahan perilaku. Bentuk
dari kecemasan, dapat berupa kecemasan berpisah,
kehilangan kontrol, cedera tubuh dan nyeri. Tiga fase
dari kecemasan berpisah adalah fase protes, despair
dan detachment/denial, yang masing-masing memberikan
perubahan perilaku tertentu. Untuk mengatasi hal
tersebut diusahakan untuk memodifikasi lingkungan
rumah sakit sehingga menyerupai lingkungan di rumah,
memberikan kesempatan anak sakit mendapatkan kontrol
38
yang dapat diterima, membantu untuk rencana dan jadwal
pelayanan dan perawatan, dan dapat berinteraksi dengan
keluarga dan dengan anak sakit yang lain.
Permainan adalah satu dari aspek yang paling
penting dalam kehidupan seorang anak, dan merupakan
salah satu dari aspek yang paling penting dalam
kehidupan seorang anak, dan merupakan salah satu cara
yang paling efektif untuk menghadapi dan mengatasi
stres. Permainan adalah pekerjaan anak, dan dalam
lingkup rumah sakit, permainan akan memberikan peluang
untuk meningkatkan ekspresi emosional anak, termasuk
pelepasan yang aman dari rasa marah dan benci.
Bercerita sebagai suatu permainan yang pasif
memberikan kesempatan anak untuk menambah wawasan
dalam berpikir dan sangat terapeutik sebagai permainan
penyembuh (therapeutic play). Mengekspresikan
perasaannya dengan bercerita, berarti memberikan pada
anak suatu cara untuk mendidik dan berkomunikasi
dengan pesan yang disampaikan di dalam sebuah cerita.
Penyuluhan kesehatan dalam kondisi dan situasi rumah
sakit untuk anak sakit, tentunya berbeda dengan orang
dewasa. Pada keadaan kecemasan dan stres serta
penyuluhan kesehatan lebih ditujukan sebagai terapi
kognitif, dimana pada kondisi ini, kognitifnya tidak
akurat dan negatif. Penyuluhan untuk mengidentifikasi
39
dan meningkatkan kognitifnya dapat memberikan
perbaikan gejala secara bermakna.
8. Penilaian tingkat kecemasan
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran
tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang
disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala
HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan
pada munculnya symptom pada individu yang mengalami
kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 symptoms
yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan.
Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor
antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe). Skala
HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah
menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama
pada penelitian trial clinic. Skala HARS telah
dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup
tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada
penelitian trial clinic yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi
ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan
menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid
dan reliable.
Skala HARS Menurut Hamilton Anxiety Rating
Scale (HARS) yang dikutip Nursalam (2003) penilaian
kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi:
40
a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran
sendiri, mudah tersinggung.
b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah
terganggu dan lesu.
c. Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang
asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang
besar.
d. Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada
malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah
lupa dan sulit konsentrasi.
f. Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya
kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak
menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku,
gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk,
penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta
merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada,
denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang
sekejap.
j. Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan
tercekik sering menarik napas panjang dan merasa
napas pendek.
41
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi,
berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung
sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.
l. Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat
menahan kencing, aminorea, ereksi lemah atau
impotensi.
m. Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat,
muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit
kepala.
n. Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari
gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang,
tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
Cara Penilaian kecemasan adalah dengan
memberikan nilai dengan kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
3 = Berat/lebih dari ½ gejala yang ada
4 = Sangat berat semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah
nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
Penilaian derajat kecemasan, skor :
14 – 20 : Kecemasan Ringan
21 – 27 : Kecemasan Sedang
28 – 41 : Kecemasan Berat
42 – 56 : Panik (Hawari, 2001)
42
E. KONSEP HOSPITALISASI
1. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam
bagi individu karena stressor yang dihadapi dapat
menimbulkan perasaan tidak aman, seperti : lingkungan
asing, berpisah dengan orang yang berarti, kurang
informasi, kehilangan kebebasan dan kemandirian,
pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan,
semakin sering berhubungan dengan rumah sakit, maka
bentuk kecemasan semakin kecil atau sebaliknya,
perilaku petugas rumah sakit.
2. Perubahan Yang Terjadi Akibat Hospitalisasi
Perubahan yang terjadi akibat hospitalisasi adalah :
a. Perubahan konsep diri ; akibat penyakit yang di
derita atau tindakan seperti pembedahan, pengaruh
citra tubuh, perubahan citra tubuh dapat
menyebabkan perubahan peran, ideal diri, harga diri
dan identitasnya.
b. Regresi ; klien mengalami kemunduran ke tingkat
perkembangan sebelumnya atau lebih rendah dalam
fungsi fisik, mental, prilaku dan intelektual.
c. Dependensi ; klien merasa tidak berdaya dan
tergantung pada orang lain.
d. Dipersonalisasi ; peran sakit yang dialami klien
menyebabkan perubahan kepribadian, tidak realistis,
tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan,
43
perubahan identitas dan sulit bekerja sama
mengatasi masalahnya.
e. Takut dan ansietas ; perasaan takut dan ansietas
timbul karena persepsi yang salah terhadap
penyakitnya.
f. Kehilangan dan Perpisahan ; selama klien dirawat
muncul karena lingkungan yang asing dan jauh dari
suasana kekeluargaan, kehilangan kebebasan,
berpisah dengan pasangan dan terasing dari orang
yang dicintai.
Hospitalisasi bagi keluarga dan anak dapat
dianggap pengalaman yang mengancam dan stressor.
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi
dipengaruhi tingkat perkembangan usia, pengalaman
sebelumnya, sistem pendukung dalam keluarga,
keterampilan koping, dan berat ringannya penyakit.
3. Dampak Hospitalisasi
Anak akan cenderung lebih manja, minta perhatian
lebih pada orang tua serta bersikap cuek pada perawat
yang akan merawatnya karena anak belum dapat
beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Stres yang
umumnya terjadi berhubungan dengan hospitalisasi
adalah takut akan unfamiliarity, lingkungan rumah
sakit yang menakutkan, rutinitas rumah sakit, prosedur
yang menyakitkan, dan takut akan kematian. Reaksi
emosional pada anak sering ditunjukkan dengan
44
menangis, marah dan berduka sebagai bentuk yang sehat
dalam mengatasi stres karena hospitalisasi. Anak
sering menganggap sakit merupakan hukuman untuk
perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih
mempunyai keterbatasan tentang dunia di sekitar
mereka. Anak juga mempunyai kesulitan dalam pemahaman
mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan
temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga
membuat mereka harus pergi ke rumah sakit dan harus
mengalami hospitalisasi. Reaksi anak tentang hukuman
yang diterimanya dapat bersifat pasif, kooperatif,
membantu atau anak mencoba menghindar dari orang tua,
anak menjadi marah. Dampak hospitalisasi membuat anak
takut dan cemas berpisah dengan orang tua dan anak
sering mimpi buruk. Sehingga anak kehilangan fungsi
dan kontrol sehubungan terganggunya fungsi motorik
yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak
sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai dapat
terhambat. Hal ini membuat anak menjadi regresi;
ngompol lagi, suka menghisap jari dan menolak untuk
makan. Anak cenderung mengalami pengekangan yang dapat
menimbulkan kecemasan pada anak sehingga anak merasa
tidak nyaman akan perubahan yang terjadi pada dirinya
45
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reaksi Anak Terhadap
Sakit Dan Rawat Inap Di Rumah Sakit
a. Perkembangan usia
Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai
tingkat perkembangan anak (Supartini, 2000). Pada
anak usia prasekolah reaksi perpisahan adalah
kecemasan karena berpisah dengan orang tua dan
kelompok sosialnya. Pasien anak usia prasekolah
umumnya takut pada dokter dan perawat (Ngastiyah,
2005)
b. Pola asuh keluarga
Pola asuh keluarga yang terlalu protektif dan
selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi
reaksi takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit.
Beda dengan keluarga yang suka memandirikan anak
untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih
kooperatif bila di rumah sakit.
c. Keluarga
Keluarga yang terlalu khawatir atau stres anaknya
yang dirawat di rumah sakit akan menyebabkan anak
menjadi semakin stres dan takut.
d. Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya
Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak
menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan
menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya
apabila anak dirawat di rumah sakit mendapatkan
46
perawatan yang baik dan menyenangkan anak akan
lebih kooperatif pada perawat dan dokter
(Supartini, 2004)
e. Sistem pendukung yang tersedia
Anak mencari dukungan yang ada dari orang lain
untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang
dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan
kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua
atau saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai
dengan permintaan anak untuk ditunggui selama
dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan
treatment padanya, minta dipeluk saat merasa takut
dan cemas bahkan saat merasa kesakitan.
f. Keterampilan koping dalam menangani stressor
Apabila mekanisme koping anak baik dalam
menerima dia harus dirawat di rumah sakit akan
lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani
perawatan di rumah sakit.
5. Reaksi Anak
Proses perawatan yang sering kali membutuhkan
waktu lama akhirnya menjadikan anak berusaha
mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi
penyakit yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah
satu cara yang dikembangkan anak untuk beradaptasi
terhadap penyakitnya. Beberapa perilaku itu antara
lain:
47
a. Penolakan (avoidence)
Perilaku dimana anak berusaha menghindari dari
situasi yang membuatnya rasa tertekan. Anak
berusaha menolak treatment yang diberikan, seperti
tidak mau suntik, tidak mau dipasang infus, menolak
minum obat, bersikap tidak kooperatif kepada
petugas medis
b. Mengalihkan perhatian (distraction)
Anak berusaha mengalihkan perhatian dari
pikiran atau sumber yang membuatnya tertekan.
Perilaku yang dilakukan anak misalnya: membacakan
buku cerita saat di rumah sakit, menonton televisi
saat dipasang infus, atau bermain mainan yang
disukai.
c. Berupaya aktif (active)
Anak berusaha mencari jalan keluar dengan
melakukan sesuatu secara aktif. Perilaku yang
sering dilakukan misalnya: menanyakan tentang
kondisi sakitnya kepada tenaga medis atau orang
tuanya, bersikap kooperatif terhadap petugas medis,
minum obat secara teratur, beristirahat sesuai
dengan peraturan yang diberikan.
d. Mencari dukungan (support seeking)
Anak mencari dukungan dari orang lain untuk
melepaskan tekanan akibat penyakitnya yang
dideritanya. Anak biasanya akan meminta dukungan
48
orang dekat dengannya, misalkan orang tua atau
saudaranya. Perilaku ini biasanya ditandai dengan
permintaan anak untuk ditemani selama dirawat di
rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment
padanya, minta dipeluk saat merasa kesakitan.
49
F. KERANGKA KONSEP
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Bagan 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah
1. Dukungan pengharapan
2. Dukungan nyata3. Dukungan informasi4. Dukungan emosional
Tingkat kecemasan akibat hospitalisasi:1. Ringan 2. Sedang 3. Berat 4. Panik
Anak usia prasekolah (3-6 tahun)
Hospitalisasi
Faktor yang mempengaruhi kecemasn Faktor Intrinsik:1. Faktor umur 2. Pengalaman 3. Penyakit
Faktor ekstrinsik :1. Kondisi
lingkungan
Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga:1. pendapatan atau
pekerjaan orang tua 2. tingkat pendidikan
orang tua .3. Status Sosial
Keluarga
Kelaurga 2. Dukungan keluarga
50
G. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai
terbukti melalui data yang dikumpulkan (Arikunto, 2002).
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat
Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia
Prasekolah di Ruang Anak RSUD Sumbawa .
Ho : Tidak ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak
Usia Prasekolah di Ruang Anak RSUD Sumbawa.