BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · pelayanan dengan SPO, ... permasalahan yang...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdf · pelayanan dengan SPO, ... permasalahan yang...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus yang masuk
ke dalam alat indera manusia (Sugihartono, et al. 2007). Sementara menurut Walgito
(2004), persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian dan interpretasi terhadap
suatu stimulus yang diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan
merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Sehingga dapat diartikan
bahwa persespi adalah cara individu memaknai atau menginterpretasikan sensasi yang
diterima berdasarkan stimulus yang ditangkap melalui alat indera.
Persepsi petugas medis maupun non medis di rumah sakit sebagai salah satu
komponen dalam pelaksanaan sistem INA CBG’s ini tentunya sangat beragam, sebab
makna dari proses persepsi tersebut akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu
yang bersangkutan (Miswar, 2011). Adapun hal – hal yang dapat mempengaruhi suatu
persepsi seseorang menurut Hamidiyah (2013) diantaranya :
1. Pelaku persepsi (perceiver)
Suatu penafsiran individu pada suatu target sangat dipengaruhi oleh karakteristik
pribadi dari pelaku persepsi individual itu.
2. Objek yang dipersepsikan
Karakteristik – karakteristik dalam target yang akan diamati dapat mempengaruhi
apa yang dipersepsikan oleh individu.
9
3. Situasi
Situasi merupakan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi persepsi individu
dimana situasi ini mencakup waktu, keadaan lingkungan, dan juga keadaan sosial.
2.2 Pelaksanaan kebijakan
Pelaksanaan kebijakan pada prinsipnya merupakan suatu upaya agar kebijakan
tersebut dapat mencapai tujuan. Menurut Grindle (1980), implementasi merupakan
sebuah jembatan yang menghubungkan antara tujuan kebijakan publik dengan realitas
yang diinginkan. Sementara Nakamura, et al. (1980) berpendapat bahwa implementasi
adalah suatu kegiatan untuk menyempurnakan apa yang dikehendaki pembuat
kebijakan, yang artinya menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh pembuat
kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan menunjuk pada aktivitas menjalankan
kebijakan, baik yang dilakukan pemerintah maupun pihak – pihak yang telah
ditentukan dalam kebijakan (Bardah, 2012). Pelaksanaan kebijakan merupakan tahap
yang penting dimana tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah benar – benar dapat diterapkan di lapangan dan berhasil menghasilkan
output dan outcome seperti yang direncanakan (Indiahono, 2009).
Berdasarkan pendapat diatas, pelaksanaan kebijakan dapat diartikan sebagai
suatu cara untuk melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan dalam bentuk
peraturan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya demi mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan tersebut
diharapkan dapat memberikan suatu hasil yang dapat diukur dengan segera dan juga
dampak akhir dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Pelaksanaan kebijakan dapat
dibedakan kedalam dua model (Buse, 2012) yaitu diantaranyya :
10
1. Teori Implementasi Top-Down
Teori ini mengedepankan pembagian yang jelas antara formulasi kebijakan dan
implementasi, proses implementasi yang rasional dan linier dimana tingkat –
tingkat dibawahnya melaksanakan praktek berdasarkan apa yang diarahkan oleh
pihak yang tingkatannya lebih tinggi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori Implementasi Bottom-Up
Teori implementasi Bottom-Up mengakui dimana tingkatan yang lebih rendah
dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam proses implementasi, selain itu
juga memiliki keleluasaan untuk merubah kebijakan dalam sistem. Dengan
demikian tujuan kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang dikehendaki ataupun
dengan jalan yang tidak dibayangkan oleh pihak atas.
2.3 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Hak untuk hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan
keluarganya merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh segenap bangsa – bangsa
di dunia termasuk Indonesia. Untuk mewujudkan komitmen global tersebut, maka
pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perseorangan.
Sesungguhnya usaha pemerintah dalam mewujudkan universal health coverage telah
dirintis dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial bidang kesehatan
melalui PT.Askes (Persero) dan PT.Jamsostek (Persero) yang melayani pegawai sipil,
penerima pension, veteran, dan pegawai swasta. Sementara untuk masyarakat yang
tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), namun terjadi
permasalahan tidak terkendalinya biaya kesehatan dan mutu pelayanan.
11
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme
asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib atau mandatory berdasarkan undang –
undang no.40 tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan masyarakat yang layak untuk diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Adapun manfaat jaminan
kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan
bahan medis habis pakai yang diperlukan.
Pada dasarnya penyelenggaraan JKN berpedoman pada prinsip kendali mutu
dan kendali biaya dimana efektifitas dan efisiensi dari suatu pelayanan sangat
diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut maka dalam penyelenggaraannya lebih
ditekankan agar sesuai dengan standar yang ada, seperti misalnya menyesuaikan
pelayanan dengan SPO, melakukan pengadaan obat dan alkes yang sesuai dengan
standar dan kebutuhan rumah sakit. Maka, untuk mengantisipasi tingginya harga obat
diberlakukanlah kewajiban penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah (Kemenkes RI, 2010) dengan mengacu pada formularium nasional untuk
pengadaannya.
Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri dari BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (Kementerian Hukum dan HAM, 2011). Untuk
Jaminan Kesehatan Nasional, diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dimulai pada
tanggal 1 Januari 2014 dengan mengelola 149 juta peserta (50,1 juta masih dikelola
badan lain), dengan peserta PBI 96,4 juta dan non PBI 2,5 juta peserta (Mukti,2012) .
Meskipun Undang – Undang yang mengatur tentang JKN pada SJSN telah disahkan
12
pada tahun 2004, namun disebabkan karena adanya berbagai hambatan dan persiapan
yang cukup panjang maka usaha untuk mencapai universal health coverage melalui
JKN ini baru dapat dilaksanakan sepuluh tahun kemudian pada awal tahun 2014.
Jaminan Kesehatan Nasional merupakan suatu reformasi pelayanan kesehatan,
dimana melalui JKN diupayakan untuk mengurangi pembiayaan kesehatan dari
kantong sendiri (fee for service) dan lebih diarahkan untuk melakukan pembiayaan
kesehatan dengan sistem pembayaran pra upaya (prospective payment system). Hal ini
bertujuan untuk menghindari pengeluaran biaya pelayanan kesehatan dalam jumlah
yang besar dan cenderung sulit diprediksi. Dengan menerapkan sistem pembayaran
pra upaya yang mewajibkan peserta untuk membayar premi dengan besaran yang
tetap, mengakibatkan pembiayaan kesehatan dapat ditanggung bersama secara gotong
royong sehingga tidak memberatkan secara perorangan.
Kepesertaan BPJS Kesehatan terdiri dari penerima bantuan iuran (PBI) JKN
dan bukan PBI JKN. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah bagi pekerja penerima upah atau sesuai nominal
tertentu bagi bukan penerima upah dan peserta PBI. Sementara untuk sistem
pembayaran iuran bagi peserta PBI dibayarkan oleh pemerintah. Jumlah penerima
bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional tahun 2016 yang telah ditetapkan yaitu
sebanyak 94.400.000 peserta di seluruh daerah di Indonesia (Kemensos RI, 2015).
BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan program JKN bekerjasama
dengan pemberi pelayanan kesehatan yang kemudian dibedakan menjadi dua yaitu
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjutan (FKRTL). Untuk FKTP, BPJS Kesehatan akan membayar pelayanan yang
diberikan kepada peserta dengan sistem kapitasi, sementara untuk FKRTL klaim
13
pelayanan kesehatan yang diberikan akan dibayarkan dengan sistem paket INA
CBG’s. Dalam pelaksanaan program JKN, tentunya tidak lepas dari berbagai
permasalahan yang muncul seperti salah satunya yaitu terjadinya tindakan – tindakan
fraud.
2.3.1 Fraud pada JKN
Adanya fraud dalam pelaksanaan sistem jaminan kesehatan tentunya
memberikan dampak yang tidak baik. Kerugian yang dapat ditimbulkan dari terjadinya
fraud pada sistem kesehatan ini cukuplah besar. Seperti yang terjadi di USA pada
tahun 2006 diketahui kerugian yang terjadi akibat adanya fraud mencapai 20% dari
volume industri kesehatan USA yang bernilai US $ 2 triliun per tahun (Hendrartini,
2013).
Fraud dalam sektor kesehatan biasanya mengambil salah satu ataupun
gabungan dari tipe fraud berikut ini (Busch, 2012) :
1. Pernyataan atau klaim palsu (false statements or claims)
2. Pengelabuan yang direncanakan (elaborate schemes)
3. Menyembunyikan fakta atau kebenaran (cover-up strategies)
4. Kekeliruan atas suatu nilai (misrepresentations of value)
5. Kekeliruan dalam memberikan pelayanan (misrepresentations of service)
Fraud dalam pelaksanaan JKN merupakan suatu perbuatan curang yang
dilakukan secara sengaja dan menyalahi aturan yang ada dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan JKN dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Dalam peraturan menteri kesehatan no.36 tahun 2015 disebutkan
bahwa tindak kecurangan (fraud) JKN dapat dilakukan oleh peserta, petugas BPJS
Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, dan atau penyedia obat dan alat kesehatan.
14
Beberapa contoh fraud yang dilakukan oleh peserta BPJS yaitu memalsukan
status kepesertaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan, memanfaatkan haknya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak perlu dengan memalsukan kondisi
kesehatan, atau memanipulasi penghasilan agar tidak perlu membayar iuran terlalu
besar. Tindakan kecurangan yang dilakukan oleh petugas BPJS Kesehatan diantaranya
yaitu melakukan kerjasama dengan peserta atau fasilitas kesehatan untuk mengajukan
klaim palsu, membayarkan dana kapitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, dan
memanipulasi manfaat yang seharusnya tidak dijamin agar dapat dijamin.
Adapun tindakan fraud yang dilakukan oleh penyedia obat dan alat kesehatan
dapat berupa melakukan kerjasama dengan pihak lain untuk mengubah obat atau alat
kesehatan yang tercantum dalam e-catalogue dengan harga yang tidak sesuai dengan
e-catalogue ataupun tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang – undangan
dalam memenuhi kebutuhan obat atau alat kesehatan. Sementara fraud yang dilakukan
oleh pemberi pelayanan kesehatan dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat
pertama (FKTP) atau fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).
Fraud yang dilakukan pada FKTP meliputi tindakan pemanfaatan dana
kapitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan,
memanipulasi klaim pada pelayanan yang dibayar secara non kapitasi, ataupun
menerima komisi atas rujukan ke FKRTL. Sementara, fraud yang dapat dilakukan
pada FKRTL cukuplah banyak.
Beberapa diantaranya yaitu melakukan upcoding (penulisan kode diagnosis
yang berlebihan), melakukan klaim palsu (phantom billing), penjiplakan klaim dari
pasien lain (cloning), penggelembungan tagihan obat dan alkes, memanipulasi kelas
perawatan, memperpanjang lama perawatan, tidak melakukan tindakan yang sesuai
15
dengan prosedur, dan lain sebagainya. Beberapa dari tindakan fraud yang dapat
dilakukan oleh pihak FKRTL ini sangat erat kaitannya dengan SPO atau clinical
pathway. Adapun yang dimaksud dengan clinical pathway adalah alur yang
menunjukkan secara rinci mengenai tahap – tahap penting dari pelayanan kesehatan
termasuk hasil yang diharapkan (Pahriyani, 2014), sehingga untuk menghindari
timbulnya fraud ini hendaknya pelayanan yang diberikan disesuaikan dengan clinical
pathway yang telah dibuat.
Fenomena fraud menjadi sesuatu hal yang lumrah di rumah sakit, hal ini
disebabkan karena belum memadainya instrumen organisasi untuk menciptakan
pengelolaan yang baik dan belum terbangunnya komitmen yang tinggi dari para
pengelola rumah sakit (Purwitasari, 2013).
Rumah sakit yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam
pelaksanaan JKN menerapkan sistem INA CBG’s sebagai metode pembayaran klaim.
Tidak sedikit rumah sakit yang beranggapan bahwa besaran tarif INA CBG’s belum
cukup memuaskan dan masih perlu ditingkatkan, sehingga potensi untuk terjadinya
fraud pada pelaksanaan JKN diakui memang cukup besar dalam penerapan sistem INA
CBG’s (BPJS Kesehatan, 2015). Sejak pertama kali diberlakukan,tercatat hanya 81
rumah sakit swasta di Jakarta yang bergabung dengan BPJS Kesehatan, alasan
penolakan kerjasama dari rumah sakit tersebut karena keberatan degan premi yang
ditawarkan pemerintah, menurut pihak rumah sakit biaya yang diatur dalam sistem
INA CBG’s terlalu rendah (Gabby, 2015). Namun hal ini tidak sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ambarriani (2014), ia menyebutkan bahwa jika dilihat
dari perbandingan tarif, pada setiap kelas dan tingkat keparahan kasus, besaran tarif
klaim berdasarkan INA CBG’s lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif rumah sakit.
16
Begitu pula yang terjadi pada kasus rawat jalan maupun rawat inap, besaran tarif klaim
berdasarkan INA CBG’s juga lebih tinggi daripada tarif rumah sakit. Akan tetapi, ia
juga menambahkan bahwa pihak rumah sakit perlu melakukan pemeriksaan lebih
lanjut apakah sistem JKN benar-benar bermanfaat bagi kinerja keuangan rumah sakit.
Berdasarkan hal tersebut, maka masih perlu dilakukan penyesuaian tarif INA
CBG’s agar dapat menciptakan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit sehingga misi untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat bisa tercapai.
2.4 Indonesian Case Base Groups (INA CBG’s)
Dalam implementasi JKN, telah diatur pola pembayaran kepada fasilitas
kesehatan rujukan tingkat lanjutan dengan menggunakan sistem INA CBG’s.
Indonesian Case Base Groups (INA CBG’s) adalah sistem pengelompokan penyakit
pasien berdasarkan ciri klinis dan sumber daya yang digunakan dalam pengobatan
sama atau homogen. Pengelompokan ini bertujuan sebagai pembiayaan kesehatan
dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional sebagai pola pembayaran
prospektif (Kemenkes RI, 2014).
Konsep INA CBG’s pada mulanya bernama INA DRG (Indonesia Diagnosis
Related Groups), dan konsep ini telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2006 dengan
menggunakan sistem casemix. Kemudian pengelompokan diagnosis INA DRG
diperbarui dengan INA CBG’s pada tahun 2010 dengan melakukan perubahan
penggunaan software grouper dari 3M grouper ke grouper dari United Nation
University (UNU Casemix Grouper). Sejak diimplementasikannya sistem casemix di
Indonesia, telah terjadi tiga kali perubahan besaran tarif yaitu tarif INA DRG tahun
2008, tarif INA CBG tahun 2013 dan tarif INA CBG’s tahun 2014. Untuk tarif INA
17
CBG’s dikelompokkan ke dalam tujuh kluster rumah sakit yang terdiri dari tarif RS
kelas A, kelas B, kelas B Pendidikan, kelas C, kelas D, RS Khusus Rujukan Nasional,
dan RS Umum Rujukan Nasional (Kemenkes RI, 2014). Adapun penghitungan tarif
INA CBG’s untuk penyusunan tarif JKN berdasarkan pada data costing 137 rumah
sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus) di rumah sakit.
Dalam sistem INA CBG’s komponen biaya yang ditanggung oleh pihak
asuransi kesehatan terdiri atas biaya perawatan, penginapan, tindakan, obat – obatan,
penggunaan alat kesehatan, dan jasa yang dihitung terpadu dalam paket. Adanya tarif
paket INA CBG’s diharapkan mampu menekan tingginya biaya kesehatan, dimana
salah satu pelayanan kesehatan yang memerlukan biaya yang tinggi di rumah sakit
adalah tindakan operasi atau bedah (Munawaroh, 2014). Namun menurut Septianis et
al. (2010), pelayanan tindakan medis operatif pada pasien jaminan kesehatan
masyarakat ada kecenderungan merugi bagi rumah sakit karena besar biaya tindakan
tidak sesuai dengan tarif INA CBG’s. Dengan adanya perbaharuan tarif INA CBG’s
pada era JKN ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan
oleh rumah sakit dan tentunya memperbaiki opini ‘merugi’ bagi pihak rumah sakit,
agar nantinya BPJS mampu menjalin kerjasama dengan lebih luas lagi demi
mewujudkan tercapainya universal health coverage.
INA CBG’s memiliki 1.077 kelompok tarif yang terdiri dari 789 kode grup
rawat inap dan 288 kode grup rawat jalan. Dasar pengelompokan dalam INA CBG’s
menggunakan acuan ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems) untuk diagnosis dan ICD-9-CM (International
Classification of Diseases Revision Clinical Modification) untuk tindakan atau
prosedur (Kemenkes RI, 2014). Koding sangat menentukan dalam sistem pembiayaan
18
prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke rumah sakit,
dimana setiap kelompok kode INA CBG’s dilambangkan dengan kode kombinasi
alphabet dan numerik. Kode INA CBG’s dan deskripsinya tidak selalu
menggambarkan diagnosis tunggal tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis ataupun
kumpulan diagnosis dan prosedur. Dalam penerapan sistem INA CBG’s ini sangat
diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dengan koder agar mendapatkan hasil
grouper yang benar (Kemenkes RI, 2014). Kegiatan grouping tarif berdasarkan data
yang berasal dari resume medis dilakukan dengan menggunakan software INA CBG’s
yang sudah terinstal di rumah sakit yang melayani peserta JKN. Rumah sakit sudah
harus memiliki kode regristrasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan, lalu kemudian akan dilakukan aktifasi software INA CBG’s setiap rumah
sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasinya. Proses entri data pasien
ke dalam aplikasi INA CBG’s dilakukan oleh petugas koder setelah pasien selesai
mendapat pelayanan di rumah sakit dengan menggunakan data dari resume medis yang
berisi informasi klinis (kode ICD-10 dan ICD-9CM), harus dilengkapi pula data sosial
pasien sebelum kemudian dilakukan grouping oleh software INA CBG’s. Selanjutnya
akan muncul kode INA CBG’s yang kemudian akan digunakan untuk melakukan
klaim tarif atas pelayanan yang telah diberikan.
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Mahayanti (2015), disebutkan
bahwa terdapat sepuluh poin yang sebaiknya dilakukan rumah sakit agar
pemberlakuan sistem INA CBG’s dapat berjalan dengan baik. Penelitian yang
dilakukan di RSUD Badung ini secara umum melihat upaya – upaya penerapan sistem
INA CBG’s berdasarkan pada lima aspek yaitu diantaranya membangun tim rumah
sakit, meningkatkan efisiensi, memperbaiki mutu rekam medis, memperbaiki
19
kecepatan dan mutu klaim, serta melakukan standarisasi dari segi input maupun
proses.
Berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No.27 tahun 2014, dalam
penerapan INA CBG’s harus diikuti dengan adanya perubahan pada level manajemen
rumah sakit maupun profesi khususnya dokter. Adapun upaya yang sebaiknya
dilakukan oleh pihak rumah sakit dalam mengoptimalkan penerapan sistem INA
CBG’s yaitu :
1. Membangun tim rumah sakit
Manajemen dan profesi serta seluruh komponen rumah sakit harus memiliki
persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerjasama untuk menghasilkan
produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost effective. Disinilah
pentingnya fungsi dari sebuah tim rumah sakit agar pelayanan rumah sakit tetap
mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
2. Meningkatkan efisiensi
Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya
farmasi, alat medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang
umumnya menjadi area profesi tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan
pengadaan barang dan jasa yang umumnya menjadi tanggung jawab menejemen.
Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek efektifitas sedangkan sisi
input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Dalam hal melakukan efisiensi
juga harus mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan pelayanan yang
berlebihan dan tidak diperlukan (over treatment dan over utility).
20
3. Memperbaiki mutu rekam medis
Kelengkapan dan mutu dokumen rekam medis akan sangat berpengaruh pada
koding, grouping dan tarif INA CBG’s yang nantinya akan menentukan tarif INA
CBG’s. Maka dari itu mutu rekam medis rumah sakit harus terus ditingkatkan
setiap waktunya.
4. Memperbaiki kecepatan dan mutu klaim
Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit. Kecepatan
klaim sangat dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam medis.
Sehingga rumah sakit harus menata sistem pelayanan rekam medis yang baik agar
kecepatan dan mutu rekam medis bisa memperbaiki dan meningkatkan cash flow
rumah sakit.
5. Melakukan standarisasi
Standar input dan proses di tingkat rumah sakit harus terus dibangun. Penetapan
standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan keputusan standar input.
Adapun yang dimaksud dengan standar input misalnya farmasi, alat medik habis
pakai, maka perlu dibuatkan formularium rumah sakit, standar pengadaan obat
rumah sakit. Sementara standar proses misalnya PPK (Panduan Praktek Klinik)
atau SPO (clinical pathway).
6. Membentuk tim casemix / tim INA CBG’s rumah sakit
Tim Casemix/Tim INA-CBG’s rumah sakit akan menjadi penggerak membantu
melakukan sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA CBG’s di
rumah sakit.
7. Memanfaatkan data klaim
Data INA CBG’s rumah sakit tidak hanya dapat digunakan sebagai klaim tetapi
juga dapat dimanfaatkan untuk menilai performance rumah sakit dan performance
21
SDM khususnya profesi dokter. Data INA CBG’s juga bisa digabungkan dengan
data HIMS (Health Information Management System) bahkan bisa dibandingkan
dengan rumah sakit lain yang sekelas. Jadi data INA CBG’s dan data klaim dapat
digunakan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan ataupun kebijakan tingkat
rumah sakit.
8. Melakukan review post-claim
Review post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam
menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam
pelayanan yang akan diberikan. Idealnya kegiatan review ini melibatkan seluruh
unit yang ada di rumah sakit baik manajemen, tenaga profesional, serta unit
penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang telah dianalisis
oleh tim casemix rumah sakit.
9. Pembayaran jasa medis
Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBG’s
sebaiknya diikuti dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis.
Pembayaran jasa medis sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan sistem
remunerasi berbasis kinerja.
10. Pengiriman data koding dan costing
Seluruh rumah sakit provider JKN sebaiknya bisa berkontribusi untuk
mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan tarif yang
mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.
2.5 Rumah Sakit Sebagai FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjutan)
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik
22
dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik. Sebagai institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, rumah sakit menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Kemenkumham, 2009).
Rumah sakit dapat didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah
daerah, atau swasta. Rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah merupakan unit
pelaksana teknis dari instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya di bidang
kesehatan ataupun instansi pemerintah lainnya. Rumah sakit yang didirikan oleh
pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan keuangan badan layanan
umum daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan. Sementara
rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan
usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan (Kemenkes RI, 2014).
Untuk mendukung penyelenggaraan program JKN, rumah sakit yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebagai FKRTL memberikan pelayanan
kesehatan untuk peserta dengan menggunakan tarif INA CBG’s. Adapun jumlah
rumah sakit yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan yaitu sebanyak 1752
rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta (BPJS Kesehatan, 2016).
Pada era JKN saat ini, rumah sakit harus terus berupaya dalam meningkatkan
kualitasnya agar terus dapat bersaing dengan rumah sakit lainnya dalam memberikan
mutu pelayanan yang terbaik, hal ini sangat penting dilakukan mengingat tarif INA
CBG’s yang diberlakukan antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta
adalah sama. Dalam penerapan sistem INA CBG’s pihak rumah sakit harus
menciptakan komunikasi yang baik untuk menentukan pilihan pelayanan yang paling
cost effective dengan mengedepankan kendali mutu dan kendali biaya. Untuk dapat
23
memberikan pelayanan medik yang bermutu, dokter dan petugas medis lainnya harus
berpedoman pada clinical pathway atau standar pelayanan operasional (SPO), dimana
SPO yang diterapkan di rumah sakit berdasar pada pedoman nasional pelayanan
kedokteran yang dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh menteri (Kemenkes
RI, 2010).
Pelayanan kesehatan dalam program JKN diberikan secara berjenjang,
efektif, dan efisien dengan menerapkan prinsip kedali mutu dan kendali biaya. Dimana
peserta BPJS Kesehatan harus mengutamakan pengobatan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama terlebih dahulu seperti dokter keluarga atau puskesmas, apabila pasien
tidak dapat ditangani di FKTP barulah pasien tersebut dirujuk untuk melakukan
pengobatan di FKRTL dengan membawa surat rujukan terkecuali dalam keadaan
darurat pasien boleh langsung mendapatkan pelayanan kesehatan di FKRTL
(Kemenkes RI, 2014).
Rumah sakit sebagai provider BPJS Kesehatan setelah menangani pasien
peserta BPJS Kesehatan dan melakukan grouping pada sistem INA CBG’s dapat
mengajukan klaim ke pihak BPJS Kesehatan. Pengesahan tagihan dilakukan oleh
direktur atau kepala fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan dan petugas verifikator
BPJS Kesehatan. Klaim diajukan secara kolektif dan akan dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan selambat – lambatnya 15 hari setelah pengajuan klaim (Kemenkes RI,
2014). Agar dapat mengajukan klaim dengan akurat, maka mutu rekam medis harus
sangat diperhatikan sebab rekam medis merupakan berkas atau dokumen penting yang
berisi segala informasi mengenai pasien dimulai dari identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
(Kemenkes RI, 2008). Kelengkapan dan keakuratan dari rekam medis pasien akan
24
sangat mempengaruhi hasil grouping yang akan digunakan untuk mengklaim tarif INA
CBG’s.
Adapun alur serta proses klaim BPJS dimulai dari verifikasi internal pada
bagian pendaftaran sampai verifikasi eksternal yang dilakukan oleh pihak BPJS,
dimana alur serta proses pelaksanaan klaim BPJS terkait sistem casemix INA CBG’s
di RSJ Grhasia DIY dinilai sudah sesuai dengan manual pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional BPJS Kesehatan (Nurkonita, 2014). Dalam penelitian tersebut
juga diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa kendala yang dihadapi rumah sakit
dalam pelaksanaan INA CBG’s yaitu terkait dengan sumber daya manusia yang
meliputi pihak yang mengajukan klaim, tenaga medis, dan petugas perekam medis;
material yang meliputi surat rujukan, cetakan SEP; dan mesin yang meliputi server
BPJS yang terkadang off, mesin pencetak SEP yang bermasalah, dan permasalahan
terkait aliran listrik RSJ Grhasia. Berbagai permasalahan diatas menimbulkan dampak
secara langsung terhadap rumah sakit seperti diantaranya resume medis yang tidak
lengkap dan ketidaksesuaian persyaratan dengan ketentuan mengakibatkan klaim
BPJS tidak dapat diklaim atau proses klaimnya terhambat, sedangkan kendala teknis
yang dihadapi mengakibatkan terjadinya penumpukan pekerjaan dan kesalahan dalam
entry data.
Disamping itu, permasalahan terkait kodifikasi juga terjadi di RS Panti Rapih
Yogyakarta. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuryati (2014), hasil
analisis keakuratan kode diagnosis menunjukkan adanya 44.56% kode yang sudah
sesuai dengan ICD-10 dan terdapat 377 atau 57.12% kode tindakan yang sudah sesuai
dengan ICD-9-CM. Keakuratan kode diagnosis dan tindakan tersebut dinilai belum
tercapai secara maksimal, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya Sumber
25
Daya Manusia (SDM), kendala dalam update database ICD-10 dan ICD-9-CM, dan
belum dilakukannya evaluasi atau audit tentang kode diagnosis dan tindakan.
Setelah dua tahun dilaksanakannya program JKN dengan menerapkan sistem
INA CBG’s pada FKRTL, maka perlu untuk dilihat gambaran pelaksanaan sistem INA
CBG’s berdasarkan persepsi yang dimiliki oleh masing – masing petugas di rumah
sakit yang memiliki peranan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan logic model yang dikembangkan oleh kellogg, dimana logic
model ini pada dasarnya merupakan gambaran yang digunakan untuk mengetahui
pelaksanaan program, dan menyajikan pemahaman tentang hubungan antara sumber
daya yang dimiliki untuk mengoperasikan program, kegiatan yang direncanakan, dan
perubahan atau hasil yang ingin dicapai (Kellogg, 2004). Adapun aspek – aspek yang
dapat digunakan untuk mengetahui ketersediaan dan peranan input yang menunjang
penerapan sistem INA CBG’s dapat dilihat dari konsep 6M yang terdiri dari man,
money, method, materials, market, dan machine (Muninjaya, 2004).