BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkolusis...

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkolusis Paru 1. Definisi Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon (Hood, 2005) Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah (Price & Wilson, 1994). Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabakan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 2005) 2. Klasifikasi Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis : a. Tuberkulosis paru 1) BTA mikroskopik langsung (+) atau biakan (+) , tetapi kelinan foto thoraks menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB 2) BTA mikroskopik langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada 8

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkolusis...

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkolusis Paru

1. Definisi

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

basil Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit

saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis

masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya

mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon (Hood,

2005)

Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama

menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium

tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001).

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening

atau pembuluh darah (Price & Wilson, 1994).

Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabakan oleh

mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi

(Mansjoer, 2005)

2. Klasifikasi

Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan

kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis :

a. Tuberkulosis paru

1) BTA mikroskopik langsung (+) atau biakan (+) , tetapi kelinan

foto thoraks menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB

2) BTA mikroskopik langsung atau biakan (-), tetapi kelainan

rontgen dan klinis sesuai TB dan memberikan perbaikan pada

8

9

pengobatan awal anti TB (initial therapy). Pasien golongan ini

memerlukan pengobatan yang adekuat.

b. Bekas tuberculosis paru

Ada riwayat TB pada pasien di masaa lalu dengan atau tanpa

pengobatan atu gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil

pada foto serial dan sputum BTA (-). Kelompok ini tidak perlu

diobati.

c. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :

1) TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-

tanda lain positif)

2) TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif dan

tanda-tanda lain meragukan)

(Mansjoer, 2005)

3. Penyebab dan Faktor resiko

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis

kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal

0,3 – 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Suyono

2001). Individu yang beresiko untuk tertular tuberculosis adalah:

a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai

Tubekulosa aktif

b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker,

mereka yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang menderita

HIV)

c. Penggunaan obat-obat IV dan alkoholik

d. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,

tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia

15 tahun dan dewasa muda)

e. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(diabetes, gagal ginjal kronik, silikosis dll)

f. Petugas kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001).

10

4. Patofisiologi

Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga

tempat yaitu saluran pernafasan , saluran pencernaan dan adanya luka

yang terbuka pada kulit. Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara (

airbone ) yang cara penularannya dengan inhalasi droplet yang

mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya .

TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh sistem imunitas diperantarai

oleh sel. Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T)

adalah sel imunoresponsi. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal,

melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan

limfokinya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersentivitasselular.

Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di

inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya

basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-

paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan

reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di

gantikan oleh makrofag.Pada alveoli yang terserang mengalami

konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini

juga dapat menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening

regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi

lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel

epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit,proses tersebut membutuhkan

waktu 10-20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat

dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami

nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel

epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi

menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang

akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

11

Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut fokus ghon dan

bergabungnya serangan kelenjar getah bening regional dan lesi primer

dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami

pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan

menjalani pemeriksaan radiogram rutin.

Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana

bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.Pada proses

ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil

dapat terbawa sampai ke laring ,telinga tengah atau usus.

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun

tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa.

Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup

oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan bronkus rongga.

Bahan perkijauan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui

saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan

dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak lepas.Keadaan ini dapat

tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi

hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang

bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar

melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat

meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju aliran darah

dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ tubuh yang

lain

(Price, 2005)

12

5. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal

dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif.bila

timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala :

a. Batuk

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi

pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-poduk

radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit

tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yaknbi setelah berminggu-minggu

atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif. Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah

karena erdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk

darah pada ulkus dinding bronkus.

b. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas panas badan dapat mencapai 40-14°C. Serangan

demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat

timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam

influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari

serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh

dya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman

tuberculosis yang masuk.

c. Sesak nafas

Pada penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah meliputi setengah bagian

paru-paru.

13

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau

melepaskan nafasnya.

e. Kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu maka, berat

badan makin kurus, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam. Gejala

malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara

tidak teratur. (sudoyo, 2006)

6. Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TBC paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen

SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu

diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau

pemeriksaan dahak SPS diulang.

a. Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TBC BTA positif.

b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan

dahak SPS diulangi.

c. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA

positif.

d. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen

dada, untuk mendukung TBC, didiagnosis TBC.

e. Bila hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita

TBC BTA negatif rontgen positif

f. Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan

TBC.

14

Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Dewasa

Skema 2.1 alur diagnosis TB

Ada

perbaikan

Tidak ada

perbaikan

Ulangi periksa

Dahak SPS

Hasil BTA

- - -

Hasil BTA

+ + +

+ + +

+ - -

Pemeriksaan

rongent dada

Hasil

mendukung

TBC

Hasil tidak

mendukung

TBC

TB BTA (-) Bukan TBC

Beri antibiotik

spektrum luas

Tersangka TBC

Suspek TB paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis SPS

Hasil BTA

+ + +

+ + -

Hasil BTA

+ - -

Hasil BTA

- - -

Periksa rontgen

dada

Hasil

mendukung

TBC

Hasil tidak

mendukung

TBC

Penderita TBC

BTA (+)

15

7. Pemantauan Kemajuan hasil pengobatan TBC

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilakasanakan dengan

pemeriksaan ulang secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis

dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak

dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau

kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua

spesimen tersebut negatif. Bila salah asatu spesimen positif, maka hasil

pemerikasaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Pemeriksaan

ulang dahak untuk mementau kemajuan pengobatan dilakukan pada :

a. Akhir tahap intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau semunggu

sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif

dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif

dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak,

yaitu perubahan BTA positif menjadi negatif.

1) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya 80

%) dari penderita sudah BTA negatif (konversi). Penderita ini

dapat meneruskan pengobatan dendan tahap lanjutan. Jika

pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya masih

BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisispan

selam 1 bulan. Setelah peket sisipan satu selesai, dahak

diperikasa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan

meskipun hasil pemerikasaan ulang dahak BTA masih tetap

positif.

16

2) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan ketegori 2:

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih

positif, tahap intensif harus diteruskan lagi, selama 1 bulan

dengan OAT sisipan. Setelah satu bulan diberi sisipan dahak

diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan

meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif.

Bila memungkinkan spesimen dahak penderita dikirim untuk

dilakukan biakan dan uji kepekaan obat (sensitivity test).

Sementara pemeriksaan dilakukan, penderita meneruskan

pengobatan tahap lanjutan. Bila hasil uji kepekaan obat

menunjukam bahwa kuman sudah resisten terhadap 2 atau

lebih OAT, maka penderita dirujuk ke unit pelayanan

spesialistik yang dapat menangani kasus resisten. Bila tidak

mungkin, maka pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan

sampai selesai.

3) Pengobatan penderita BTA negatif hasil Rontgen positif dengan

ketegori 3 (ringan) atau 1 (berat):

Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan

pengobatan ketegori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat), tetap

dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada tahap akhir bulan ke

dua. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif, maka

ada 2 kemungkinan :

a) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat

diagnosis sebenarnya adalah BTA positif tapi dilaporkan

sebagai BTA negatif.

b) Penderita berobat tidak teratur.

17

b. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan

penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA positif

kategori 2.

c. Akhir Pengobatan

Dilakukan seminggu akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita

baru BTA posistif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir

bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif, dengan kategori

2.Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan

dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil

pengobatan (“sembuh”, atau “gagal”).Penderita dinyatakan sembuh

bila penderita telah menyelesaikanpengobatannya secra lengkap,

dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali

berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau sebulan

sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya).

8. Hasil pengobatan dan tindak lanjut

Hasil pengobatan seorang penderita dapat diketegorikan sebagai: Sembuh,

Pengobatan Lengkap, Meninggal, Pindah (Transfer Out), Defaulter

(lalai)/DO dan Gagal.

a. Sembuh1

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatannya secra lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak

(follow up) paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif

(yaitu pada AP dan/atau sebulan sebelum AP, dan pada satu

pemeriksaan follow up sebelumnya).

18

b. Pengobatan Lengkap

Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali

bertirut-turut negatif. Tindak lanjut: penderita diberitahu apabila

gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan prosedur

tetap.

c. Meninggal

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui

meninggal karena sebab apapun.

d. Pindah

Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota

lain. Tindak Lanjut: penderita yang ingin pindah, dibuatkan surat

pindah dan bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil

pengobatn penderita dikirim ke UPK asal, dengan formulir.

e. Defaulted atau Drop Out

Adalah penderita yang tidak mengamabil obat selam 2 bulan

berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan diberi penyuluhan

pentingnya berobat secra teratur. Apabila penderita akan

melanjutkan pengobatan, lakukan pemeriksaan dahak. Bila positif

mulai pengobatan dengan kategori 2, bila negatif sisa pengobatan

kategori 1 dilanjutkan.

f. Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pda satu bulan sebelum akhir

pengobatan atau akhir pengobatan. Tindak lanjut: Penderita BTA

positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal.

Penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk

ke UPK spesialistik atau INH seumur hidup.

19

B. Kesembuhan TBC

Kesembuhan TB Kesembuhan penyakit TB yaitu suatu kondisi dimana

individu telah menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu

indikator kesembuhan penyakit TBC, diantaranya: menyelesaikan

pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak(follow up )

hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

folowup sebelumnya negatif. (Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, 2010)

Kesembuhan penyakit TB yaitu suatu kondisi dimana individu telah

menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator

kesembuhan penyakit TBC, diantaranya: perubahan berat badan dan perlu

dilakukan tes BTA terhadap sputum

Target Angka kesembuhan nasional > 85%

Rumus: jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh X 100%

Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati

Menurut pedoman nasional penanggulangan tuberculosis tahun 2010,

faktor-faktor yang mempengaruhi angka kesembuhan antara lain adalah

keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO), dan pelayanan kesehatan.

Sedangkan menurut teory green modifikasi Nizar menyatakana:

1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor pencetus

yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam perilaku

kesehatan.

2. Faktor yang memungkinkan (enabling factor)yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan

antara lain adalah pemakaian OAT, Pelayanan kesehatan dan peran

PMO

3. Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan perilaku

kelompok yaitu baik dukungan keluarga maupun PMO

20

4. Dari 3 faktor yaitu presdisposing factor, enabling factor dan reinforcing

factor menimbulkan kepatuhan minum obat

5. Environment terwujud dalam lingkungan fisik rumah penderita TB paru

C. Faktor –faktor yang berhubungan dengan kesembuhan

Berikut ini akan diuraikan masing-masing faktor-faktor yang berhubungan

dengan kesembuhan tuberkulosis:

1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yaitu faktor pencetus

yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam:

a. Pengetahuan TB paru

1) Pengertian

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu“ dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu

: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseong (overt

behavior). (Notoatmodjo, 2003)

2) Jenis-jenis pengetahuan.

Menurut notoatmodjo pengetahuan yang mencakup domain

kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu :

1) Tahu ( know ).

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan

tingkat ini mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang

spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima. Oleh karena itu “tahu“ merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.

21

2) Memahami ( comprehension ).

Memahami diartikan sebagi suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang pernah

diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap

objek yang dipelajari.

3) Aplikasi ( application ).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang dipelajari pada suatu situasi atau

kondisi rill (sebenarnya). Aplikasi dapat diartikan mampu

menggunakan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan

sebagainya dalam kontek atau situasi yang lain.

4) Analisis ( analysis ).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan

materi atau objek kedalam komponen-komponen, tetapi

masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih

ada kaitannya satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat

menggambarkan, mengelompokan, dan sebagainya.

5) Sintesis ( synthesis ).

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakan

atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah

suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada.

6) Evaluasi ( evaluation ).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi

atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu

22

kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria-kriteria yang ada.

3) Pengetahuan hubunganya dengan kesembuhan

Sehubungan dengan prihal diatas pengetahuan seseorang dapat

diibaratkan sebagai suatu alat yang digunakan manusia dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Misalnya

pemgetahuan/intelegensi digunakan orang tua dalam pemberian

OAT pada penderita yang terkena TB Paru.Pengetahuan dapat

diperoleh dengan melihat dan mendengar atau mengalami suatu

kejadian yang nyata (pengalaman), selain itu dapat juga

diperolah di bangku pendidikan baik formal maupun non formal

b. Sikap penderita TB paru

1) Pengertian.

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan

(overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu

perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi

yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping

fasilitas juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak

lain. (Notoatmodjo, 2003)

2) Tingkatan sikap

Tingkatan-tingkatan sikap adalah :

a) Prersepsi (perception).

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat

pertama.

b) Respon terpimpin (Guided Respons).

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai

dengan contoh.

23

c) Mekanisme (mechanism).

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan

kebiasaan.

d) Adaptasi (adaptation).

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah

dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.

c. Perilaku kesehatan

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan,

berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan

sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik

yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak

luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini

terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan

kemudian organisme tersebut merespons.

1) Jenis perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku

dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

a) Perilaku tertutup (convert behavior)

Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert).

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas

pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus

24

tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang

lain.

b) Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan

nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang

dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2) Klasifikasi Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :

a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk

memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan

usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.

b) Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas

kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan

pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini adalah

menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit dan atau kecelakaan.

c) Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah apabila seseorang merespon lingkungan, baik

lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya.

3) Perilaku kesehatan pada penderita TBC:

Berikut adalah perilaku kesehatan menurut :

a) Lantai dirumah disapu setiap dan dipel setiap hari

b) Air pel diberi larutan lisol atau ;arutan anti kuman

c) Diupayakan cahaya matahari sebanyak mungkin masuk ke

dalam rumah

d) Membuka jendela setiap hari

e) Segera membuang tisu yang sudah dipakai kedalam

tempat sampah

f) Cuci tangan dengan menggunakan air bersih atau sabun

25

g) Menggunakan masker selama berpergian

h) Menjaga jarak dengan lawan bicara

i) Perilaku membuang dahak berkaitan dengan proses

penyembuhan penyakit

j) Perilaku membuang dahak dapat berdampak terhadap

penularan penyakit

k) Penderita tidak meludah di lantai atau disembarang tempat,

agar kuman tidak menyebar dan menular ke orang lain

l) Penderita harus menutup mulut dengan sapu tangan, bila

batuk atau bersin

m) Setiap membuang dahak sebaiknya pada kaleng

n) Kaleng untuk dahak berisi cairan desinfektan minimal 1/3

dari isi kaleng (cairan berupa lisol atau karbol)

o) Kaleng harus memiliki tutup yang rapat dan tidak muda

tumpah

p) Kaleng harus dibersihkan dengan air sabun

q) Bersihkan kaleng setiap 2 atau 3 kali sehari dengan

menyiramkan ke lubang pembuangan air mengalir atau

dengan menguburnya di tanah.

4) Hubungan perilaku buang dahak dengan kesembuhan TBC

Tidak semua orang yang terhirup basil tuberculosis akan

menjadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil

tuberculosis melalui dahak. Resiko orang terinfeksi TB paru

untuk menderita TB paru pada ARTI (Annual Risk of

Tuberculosis Infection ) sebesar 1 %. Hal ini berarti diantara

100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita TB paru

setiap tahunnya dimana 50 penderita adalah BTA positif

menurut Dinas kesehatan dalam penelitian tony lumban tobing

2009.

26

Sedangkan bila adanya kontak dengan BTA positif dapat

menjadi sumber penularan yang berbahaya karena berdasarkan

penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya

(Depkes IDAI, 2008).

2. Faktor yang memungkinkan (enabling factor)yaitu faktor yang

memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan

antara lain adalah pemakaian OAT dan peran PMO

a. Pemakaian OAT

Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah

untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis.

1) Jenis dan dosis OAT :

a) Isoniazid (H)

Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif

terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman

yang sedang berkembang. Efek samping yang mungkin

timbul berupa neuritis perifer, hepatitis rash, demam Bila

terjadi ikterus, pengobatan dapat dikurangi dosisnya atau

dihentikan sampai ikterus membaik. Efek samping ringan

dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-gatal. Pada

keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai dosis.

b) Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman

(persisten). Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual,

reaksi demam, trombositopenia. Rifampisin dapat

menyebabkan warna merah atau jingga pada air seni dan

keringat, dan itu harus diberitahukan pada keluarga atau

penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah tersebut

terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.

27

c) Pirazinamid (P)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada

dalam sel dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid

adalah hiperurikemia, hepatitis, atralgia

d) Ethambutol (E)

Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan

gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman

penglihatan, buta warna merah dan hijau, maupun optic

neuritis.

(Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2010)

2) Pedoman OAT

a) Kategori 1

Panduan Obat anti tuberculosis yang diberikan kepada

pasien baru: Dengan kategori : pasien baru TB BTA positif,

pasien TB BTA negatif foto thoraks positif dan pasien TB

paru ekstra.

Tabel 2.1 Dosis panduan OAT KDT kategori satu

Berat badan Tahap intensif tiap hari

selama 56 hari RHZE

Tahap lanjutan 2 kali seminggu

selama 16 minggu RH

30-37 Kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT

38-54 Kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT

55-70 Kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT

≥71 Kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT

Tabel 2.2 Dosis panduan OAT kombipak kategori 1

Tahap

pengobat

an

Lama

pengobat

an

Dosis perhari/ kali Jumlah

hari/

kali

menela

n obat

Tablet

isoniasid

300mgr

Kaplet

rifampisin

450mgr

Tablet

pirazinamid

500mgr

Tablet

Ethambutol

250mgr

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

28

b) Kategori 2

Panduan Obat anti tuberculosis ini diberikan pasien BTA

positif yang telah diobati sebelumnya pasien kambuh, pasien

gagal dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat.

Tabel 2.3 dosis untuk panduan OAT KDT kategori 2

Berat

badan

Tahap intensif tiap hari RHZE Tahap lanjutan 3 kali seminggu

RH+E

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 2 tablet 4 KDT

+500mg streptomisin

2 tablet 4 KDT

2 tablet 4 KDT

+2 tab etambutol

38-54 3 tablet 4 KDT

+750mg streptomisin

3 tablet 4 KDT

3 tablet 4 KDT

+3 tab etambutol

55-70 4 tablet 4 KDT

+1000mg

streptomisin

4 tablet 4 KDT

4 tablet 4 KDT

+4 tab etambutol

≥71kg 5 tablet 4 KDT

+1000mg

streptomisin

5 tablet 4 KDT

5 tablet 4 KDT

+5 tab etambutol

Tabel 2.4 dosis panduan OAT kombipak kategori 2

Tahap

pengobat

an

Lama

pengo

batan

Tablet

isoniasid

Kaplet

rifampisin

Tablet

piramizinam

id

Etambut

ol

Strepto

misin

Jumlah

hari/

kali

menela

n obat

Tahap

intensif

(dosis

harian)

2

bulan

1

bulan

1

1

1

1

3

3

3

3

-

-

0.75 gr

-

56

28

Tahap

lanjutan

(dosis 3X

semingg

u)

4

bulan 2 1 - 1 2 - 60

c) OAT sisipan (HRZE)

Panduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang

ada pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif.

Paket sisipan KDT adalah sama seperti panduan paket untuk

tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 28 hari

29

Tabel 2.5 dosis KDT sisipan

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE

30-37 kg 2 tablet 4 KDT

38-54 kg 3 tablet 4 KDT

55-70 kg 4 tablet 4 KDT

≥71 kg 5 tablet 4 KDT

Tabel 2.6 dosis OAT kombipak Sisipan

Tahap

pengobatan

Lamanya

pengobatan

tablet

isoniasid

@300mgr

Kaplet

ripamifisin

@450mgr

Tablet

pirazina

mid

Tablet

etambutol

@250mgr

Jumlah

hari/

kali

menela

n obat

Tahap

intensif

(dosis

harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

3) Tahap pengobatan TB

Obat Anti TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama

6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister)

dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan

ditelan sebagai dosis tunggal. Apabila paduan obat yang

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu

pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman

kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita

menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawas

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang

Pengawas Menelan Obat (PMO).

30

Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif

dan lanjutan.

a) Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama

rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan

secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak

menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar

penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)

dalam waktu 2 bulan yaitu akhir pengobatan intensif.

b) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan. (Pedoman nasional

penaggulangan tuberkulosis, 2010)

b. Pelayanan kesehatan

1) Puskesmas

a) Puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelaksanan

mandiri yaitu kebutuhan minimal tenaga kesehatan yang

dibutuhkan responden yaitu pelaksana terlatih terdiri dari 1

dokter, 1 perawat atau petugas TB, dan 1 tenaga

laboratorium.

b) Puskesmas satelit dengan kebutuhan minimal tenaga

kesehatan terlatih terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat atau

petugas TB.

c) Puskesmas pembantu dengan kebutuhan minimal tenaga

pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat atau petugas TB.

31

2) Rumah sakit umum Pemerintah

a) Rumah sakit kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana

terlatih terdiri dari 6 dokter, 3 perawat atau petugas TB dan

1 tenaga laboratorium.

b) Rumah sakit kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana

terlatih terdiri dari dokter, 3 perawat atau petugas TB dan 1

tenaga laboratorium.

c) Rumah sakit kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana

terlatih terdiri dari 4 dokter, 2 perawat atau petugas TB dan

1 tenaga laboratorium.

d) Rumah sakit kelas D, RSTP dan BP4 : kebutuhan minimal

tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 2 dokter, 2 perawat atau

petugas TB dan 1 tenaga laboratorium.

e) Rumah sakit swasta: menyesuaikan.

3) Dokter praktek swasta: minimal telah dilatih.

(Pedoman nasional penaggulangan tuberkulosis, 2010)

c. Pengawas Minum Obat

1) Pengertian PMO

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin

keteraturan pengobatan di perlukan seorang PMO. Menurut

Depkes RI PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya

untuk mengawasi dan memantau penderita tuberculosis dalam

meminum obatnya secara teratur dan tuntas PMO merupakan

kegiatan yang dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita

untuk minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal yang seperti

yang ditetapkan. (Pedoman Penanggulangan Tuberkulosisi

Paru, 2008)

32

2) Persyaratan PMO

a) Seseorang yang dikenal maupun dipercaya dan yang

disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita.

b) Seseorang yang tinggal dekat penderita.

c) Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

d) Bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan penderita.

3) Siapa yang bisa menjadi PMO

Dapat menjadi PMO yaitu: bidan di desa, perawat, kader

kesehatan, guru, anggota PKK, tokoh masyarakat dan anggota

keluarga.

4) Tugas seorang PMO

a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur

sampai selesai pengobatan.

b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat secara

teratur.

c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada

waktu yang telah ditentukan.

d) Seminggu sebelum akhir bulan ke dua pengobatan (untuk

menentukan obat tambahan).

e) Seminggu sebelum akhir bulan ke lima pengobatan (untuk

mengetahui kegagalan).

f) Seminggu sebelum akhir bulan ke enam pengobatan (untuk

mengetahui kesembuhan).

g) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB

yang mempunyai gejala-gejala yang mencurigakan TB

untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan

kesehatan.

33

5) Informasi yang perlu dipahamai PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarganya

a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau

kutukan.

b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan

cara pencegahanya.

d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif atau

lanjutan).

e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara

teratur.

f) Kemungkinan terjadi efek samping obat dan perlunya

segera meminta pertolongan ke UPK..

(Pedoman nasional penaggulangan tuberkulosis, 2010)

6) Keefektifan PMO

Keefektifan PMO menurut penelitian idrus salim 2002

menyatakan bahwa presepsi penderita TB paru terhadap

pelaksanaan tugas-tugas pengawas menelan obat selama

penderita menjalani pengobatan dari awal sampai akhir

(mengawasi penderita setiap kali menenelan obat, mendorong

penderita agar berobat teratur, mengingatkan penderita untuk

periksa dahak ulang, memberi penyuluhan kepada penderita

tentang penyakit TB paru). Dikategorikan aktif apabila nilai

jawaban lebih dari median dan tidak efektif apabila kurang dari

mean atau median. Penelitian idrus salim 2002 menyatakan

bahwa peran PMO sangat berpengaruh terhadap kepatuhan

minum obat dan kesembuhan ini di buktikan dengan hasil chi

square p =0.00 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara

PMO dengan kesembuhan.

34

3. Faktor penguat (reinforcing factor) terwujud dalam sikap dan perilaku

kelompok yaitu baik dukungan keluarga

a. Dukungan keluarga

1) Pengertian

Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang

bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman M. M.,

1998). Dukungan keluarga adalah presepsi seseorang bahwa

dirinya menjadi menjadi bagian dari jaringan social yang di

dalamnya tiap anggotanya saling mendukung (Kuncoro, 2002).

Fungsi keluarga menurut (Friedman, 1998) yaitu fungsi afektif,

fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi dan fungsi kesehatan. Salah

satu fungsi keluarga yaitu fungsi kesehatan sejauh mana

keluarga menyediakan pangan, perlindungan dan merawat

anggota yang sakit, sejauh mana pengetahuan keluarga tentang

masalah kesehatan, kemampuan keluarga untuk melakuakan

lima tugas kesehatan dalam keluarga serta kemauan keluarga

untuk mengatasi masalah kesehatan yang sedang dihadapi.

Mengenal masalah setiap anggota keluarga yaitu mengambil

keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga,

memberikan perawatan anggota keluarga yang sakit,

mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan untuk

kesehatan dan perkembangan kepribadiaan anggota keluarga

dan mempertahankan hubungan timbale balik antara anggota

keluarga dan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada.

35

2) Sumber dukungan keluarga

Ada dua sumber dukungan keluarga yaitu sumber natural dan

sumber artificial. Dukungan keluarga yang natural diterima

seseorang melalui interaksi social dalam kehidupanya secara

spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya

misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami, dan kerabat)

teman dekat atau relasi. Dukungan keluarga ini bersifat non

formal sementara itu dukungan keluarga artificial adalah

dukungan social yang dirancang ke dalam kebutuhan primer

seseorang misalnya, dukungan keluarga akibat bencana alam

melalui berbagai sumbangan sosial. Sehingga sumber

dukungan keluarga natural memiliki berbagai perbedaan jika

dibandingkan dengan dukungan keluarga artificial perbedaan

tersebut terletak pada:

a) Keberadaan sumber dukungan keluarga natural bersifat

apa adanya, tanpa dibuat-buat sehingga lebih mudah

diperoleh dan bersifat spontan.

b) Sumber dukungan keluarga yang natural memiliki

kesesuaian dengan nama yang berlaku tentang kapan

sesuatu harus diberikan.

c) Sumber dukungan keluarga natural berakar dari hubungan

yang telah berakar lama.

d) Sumber dukungan keluarga yang natural memiliki

keragaman dalam penyampaian dukungan sosial, mulai

dari pemberian barang nyata hingga sekedar menemui

seseorang dengan menyampaikan salam.

e) Sumber dukungan keluarga yang natural terbebas dari

bebas dan label psikologis.

36

3) Jenis dukungan sosial keluarga

Terdapat empat jenis atau dimensi dukungan keluarga yaitu:

a) Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai

untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan

terhadap emosi, meliputi empati, kepedulian dan perhatian

terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit TBC

misalnya berupa penegasan saat penderita tidak patuh

dalam minum obat.

b) Dukungan penghargaan

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik

membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan

sebagai sumber validator identitas anggota.Yang terjadi

lewat unggkapan hormat atau pujian positif untuk perilaku

kepatuhan dalam minum obat.

c) Dukungan informatif

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan penyedia

informasi tentang dunia mencakup memberi nasehat,

petunjuk-petunjuk, sarana atau umpan balik.

d) Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis

dan kongkrit. Mencakup bantuan langsung seperti dalam

bentuk uang, peralatan, waktu, lingkungan, maupun

menolong disaat mengalami masalah dengan penyakitnya.

(Friedman M. M., 1998)

4) Hubungan dukungan keluarga dengan kesembuhan

Keluarga harus dilibatkan dalam progam pendididkan dan

penyuluhan pengobatan penderita TBC paru agar mereka

mampu mendukung salah satu anggota keluarga mereka agar

segera sembuh dari penyakitnya. Bimbingan dan dukungan

keluarga secara terus-menerus biasanya diperlukan agar pasien

37

patuh dalam minum obat baik itu yang terapi itensif maupun

terapi lanjutan. Bila penderita TBC lalai dalam pengobatanya,

maka dapat terjadi resisten obat. Sehingga harus mengulang

kembali ppengobatan dari awal. Keluarga harus selalu

dilibatkan dalam program pengobatan sehingga dapat

memperingati tentang kepatuhan minum obat setiap harinya

sehingga penderita dapat sembuh total. Dari penelitian wahyu

2002 menyatakan bahwa dikatakan dukungan keluarga baik

apabila jika nilai lebih dari mean atau median, dan dikatakan

buruk apabila nilai kurang dari mean atau median.

4. Dari 3 faktor yaitu presdisposing factor, enabling factor dan reinforcing

factor menimbulkan kepatuhan minum obat

a. Kepatuhan minum obat

1) Pengertian

Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah

mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter pada waktu

dan dosis yang tepat. Pengobatan hanya akan efektif apabila

penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat

(Kusbiyantoro, 2002).

Kepatuhan dalam pengobatan TB adalah keteraturan penderita

TB dalam mengikuti tata cara tahapan prosese pengobatan. Tata

cara tahapan pengobatan didasarkan aturan atau regimen

pengobatan yang telah ditetapkan dalam buku petunjuk

pengobatan ke dalam kategori patuh dan tidak patuh (PLP,

2000)

38

2) Faktor-faktor Kepatuhan minum obat

Menurut penelitian Kartini (2001), ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang untuk

meminum obat, yaitu antara lain:

a) Usia

Dalam beberapa penelitian telah disebutkan bahwa pada

beberapa tingkatan usia menentukan kepatuhan terhadap

sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang

telah dibuat. Dalam hal ini kepatuhan minum obat pun

dapat dikaitkan dengan usia, sebagai contoh untuk usia

yang kurang dari 5 tahun kepatuhan minum obat untuk

suatu penyakit akan lebih sulit dibandingkan dengan orang

yang lebih dewasa. Begitu pun pada seseorang yang

mempunyai usia lanjut akan mempunyai kesulitan dalam

kepatuhan meminum obat.

b) Pekerjaan dan waktu luang

Suatu aktivitas rutin pada seseorang me

mungkinkan untuk menghabiskan waktu dengan

pekerjaannya sehingga waktu luangnya pun terbatas. Bagi

seseorang yang termasuk sibuk dalam pekerjaannya akan

sangat sulit untuk meluangkan waktu, walaupun sekedar

untuk meminum obatnya sendiri. Hal ini akan berbeda

dengan seseorang dengan pekerjaan yang mempunyai

waktu luang yang cukup akan memungkingkan untuk lebih

teratur dalam meminum obat sesuai waktunya.

c) Pengawasan

Pengawasan adalah tindakan untuk memperhatikan dan

melihat bagaimana suatu peraturan yang berlaku tersebut

dijalankan atau tidak. Pada kepatuhan minum obat,

pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau

keluarga dari pasien yang menderita sakit. Pengawasan

39

tersebut dapat berupa peringatan atau anjuran untuk selalu

mematuhi waktu dan dosis yang telah dianjurkan untuk

meminum obat tersebut

d) Jenis dan dosis obat

Jenis dan dosis obat pada seseorang menderita suatu

penyakit akan berbeda dalam jenis dan dosisnya, semakin

parah suatu penyakit pada seseorang makan jenis dan

dosisnya akan semakin banyak atau besar. Banyaknya jenis

obat untuk diminum dalam suatu waktu akan

mengakibatkan seseorang sulit untuk mematuhi minum

obat tersebut dengan berbagai alasan.

e) Penyuluhan petugas kesehatan

Penyuluhan dari petugas kesehatan dalam mengatur waktu,

jenis dan dosis obat merupakan faktor dari luar diri si

penderita. Penyuluhan bertujuan untuk meyakinkan dan

menambah wawasan penderita untuk mematuhi aturan

meminum obat yang telah diberikan. Dengan adanya

penyuluhan diharapkan dapat memberikan dukungan dan

motivasi yang positif bagi penderita untuk segera sembuh

dari penyakitnya, dengan patuh terhadap aturan minum

obatnya.

3) Jenis kepatuhan minum obat

Kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi:

a) Kepatuhan penuh

Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara

teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga

patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk dan

rutin memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan.

b) Penderita yang sama sekali tidak patuh

Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak

menggunakan obat sama sekali.

40

4) Hubungan kepatuhan minum obat dengan kesembuhan

pengobatan

Penyebab kegagalan pengobatan tuberculosis adalah ketidak

patuhan minum obat, penggunaan obat hanya 1 macam obat,

dosis awal yang kurang tepat serta terjadi resistensi.

Keteraturan minum obat menurut penelitian Fitri meliiana

(2008) di ukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah

di tetapkan yaitu: patuh bila dengan pengobatan lengkap

sampai selesai dalam jangka waktu pengobatan selama 6 bulan.

Keteraturan pengobatan apabila lebih dari mean atau median

maka akan mempengaruhi penyembuhan OAT harus diminum

secara teratur sesuai jadwal. Terutama pada fase awal guna

menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya

kekambuhan. Tidak patuh bila penderita lalai dalam meminum

obat selama fase pengobatan selama 6 bulan

5. Environment terwujud dalam lingkungan fisik rumah penderita TB paru

a. Pengertian lingkungan fisik rumah

Lingkungan adalah keadaan lingkungan manusia dan kuman yang

mendukung untuk sakit. Missal, kondisi perumahan yang belum

memenuhi persayaratan kesehatan, tidak mempunyai jendela, atau

punya jendela tapi tidak dibuka sehingga tidak ada pertukaran

udara yang baik. Hal ini memberikan peluang bagi kuman untuk

bertahan hidup lebih lama. Kondisi lanatai dan luas lantai yang

tidak memenuhi standard, suhu rumah, kepadatan hunian,

kelembapan, juga akan berpengaruh terhadap perkembangan

kuman microbacterium tuberkulosa. Kriteria lingkungan yang sehat

yaitu rumah sehat menurut WHO adalah tempat berlindung dan

tempat beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang

sempurna baik fisik, rohani maupun sosial.

41

b. Kriteria rumah sehat

Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih,

berjarak lebih dari 100 meter dari tempat pembuangan sampah,

dekat dengan sarana pembersihan serta berada dimana air hujan

dan air kotor tidak menggenang (Mubarok, 2009).Persyaratan

rumah sehat hubunganya dengan tuberculosis paru.

1) Kepadatan penghuni

Kepadatan penghuni selain dapat menimbulkan masalah privasi

bagi penghuninya, dari segi kesehatan kepadatan penghuni akan

dapata mempercepat terjadinya penularan penyakit terutama

penyakit menular secara droplet infection yaitu tuberculosis

paru. Semakin padat penghuni rumah maka perpindahan

penyakit khususnya penyakit menular melalui udara akan

semakin mudah dan cepat. Syarat rumah sehat berdasarkan

departemen kesehatan 2008 adalah 9 m² perorang.

2) Ventilasi

Hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara

ruangan yang sudah terpakai. Ventilasi disini merupakan

lubang ventilasi tetap sealin memberikan kenyamanan udara

bagi penghuni rumah juga dapat memberikan kontribusi

terciptanya temeratur udara dan kelembapan udara yang

memungkinkan bibit penyakit tuberculosis akan berkembang

biak atau mati. .

Syarat ventilasi yang baik:

a) Luas lubang ventilasi minimal 5% dari luas rumah,

sedangkan luas lubang ventilasi insidensil (jendela)

minimal 5% dari luas lantai rumah. Sehingga jumlahnya

10% dari luas ruangan, ukuran ini diatur sedemikian rupa

sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak

terlalu sedikit.

42

b) Udara yang masuk harus bersih tidak dicemari asap dari

sampah atau pabrik

c) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan

menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding

ruangan, jangan terhalang oleh barang-barang besar seperti

lemari dan lain-lain.

3) Jendela

Jendela merupakan ventilasi incidential yang mempunyai

fungsi ganda. Fungsi yang pertama sebagai lubang lubang

keluar masuknya udara sehingga di dalam ruangan tidak

pengap. Fungsi yang kedua sebagai lubang masuknya cahaya

dari luar. Cahaya ini akan masuk kedalam ruangan rumah

melalui jendela kaca sehingga di dalam rumah tidak gelap dan

dapat memberikan kontribusi terciptanya temperature udara dan

kelembapan udara.

4) Lantai

Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah.

Jenis lantai rumah atau kondisi lantai rumah sangat penting,

mengingat lantai yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan

dapat menjadi paerantara atau media penularan penyakit

tuberculosis paru. Seperti yang telah diketahui bahwa penularan

tuberculosis paru dapat melalui percikan dahak pada saat

dibatukkan oleh penderita yang mengandung bakteri

tuberculosis paru jatuh terlebih dahulu ke lantai, kemudian

mongering dan menyatu dengan debu lalu bertebangan di

udara, bila udara tersebut terhisap oleh orang sehat maka oarng

tersebut akan menjadi sakit. (Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosisi Paru, 2008)

Konstruksi lantai rumah menurut dinas pekerjaan umum yaitu

tidak mudah aus, harus rapat air, mudah dibersihkan, tidak

luntur dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran

43

dan debu. Selain itu dapat menghindari naiknya air tanah yang

dapat menyebabkan meningkatnya kelembapan dalam ruangan.

Oleh karena itu lantai perlu dilapisi kedap air (disemen,

dipasang tegel, dan lain-lain) untuk mencegah masuknya air ke

dalam ruangan. Lantai yang lembab dapat dijadikan tempat

hidup dan berkembangbiaknya mikroorganisme Tuberculosis,

sedangkan lantai yang kering dapat menimbulkan debu yang

berbahaya bagi penghuninya.

5) Kelembapan udara dalam rumah

Kelembapan selain berpengaruh terhadap rsa nyaman pada

manusia juga berpengaruh pada pertumbuhan mikroba

pathogen seperti basil tuberkulosis paru yang bersifat suka

terhadap tempat yang lembabp dan tidak kering. Kelembapan

udara berdasarkan persyaratan kesehatan rumah tinggal berkisar

antara 40-70% akan mempengaruhi berkembangnya

mikroorganisme mycobacterium TBC.

6) Pencahayaan

Sebuah rumah dapat dikatakan sebagai rumah yang sehat

apabila memiliki pencahayaan yang cukup. Hal ini dikarenakan

cahaya mempunyai sifat dapat membunuh bakteri atau kuman

yang masuk ke dalam rumah. Selain itu, perlu diperhatikan

dalam pencahayaan adalah tingkat terangnya cahaya itu.

Kurangya pencahayaan akan menimbulkan beberapa akibat

pada mata, kenyamanan, sekaligus produktivitas seseorang.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pencahayaan yang

cukup dalam sebuah rumah sangat mempengaruhi kesehatan

orang-orang yang ada di dalamnya. Ada dua macam cahaya,

yaitu cahaya alamiah dan cahaya buatan. Cahaya alamiah

merupakan cahaya langsung berasal dari sumber cahaya

matahari. Cahaya ini sangat penting sebab bermanfaat selain

penerangan secara alami, tidak perlu mengeluarkan biaya, dan

44

berfungsi membunuh bakter-bakteri pathogen di dalam rumah,

misalnya TBC. Idealnya, cahaya masuk luasnya sekurang-

kurangnya adalah 15-20% dari luas lantai yang terdapat di

dalam ruangan rumah. Cahaya buatan merupakan cahaya yang

bersumber dari listrik, lampu, lampu minyak tanah dan

sebagainya.

d. Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kesembuhan TBC

Peneitian teddy bambang dkk, 2006 menunjukkan bahwa kondisi

tidak padat hunian dimana luas lantai seluruh rumah termasuk

kamar mandi dan kamar dibagi dengan jumlah penghuni. Selain itu

penelitia teddy menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang saniter

adalah rumah yang memiliki pencahayaan alam minimal 10% dari

luas lantai, sehingga seluruh ruangan termasuk kamar tidur akan

masuk udara segar dan sinar matahari. Lantai rumah yang saniter

adalah kondisi kedap air, terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat

rata dan mudah dibersihkan. Pencahayaan yang memenuhi syarat

adalah masuknya sinar matahari ke dalam ruangan yang menyebar

secara merata, pencahayaan sianar matahari yang langsung masuk

keruangan minimal 1 jam. Keadaan rumah yang memenuhi syarat

kesehatan dengan terpenuhinya syarat-syarat kesehatan rumah yang

telah dijelaskan oleh peneliti di atas.

45

C. Kerangka Teori

Berdasarkan ruang lingkup penelitian dan tinjauan teori yang telah

diuraikan maka digambarkan kerangka teori sebagai berikut :

Skema 2.2 kerangka teori

Sumber: Modifikasi Green dalam Notoadtmojo (2010)

Keterangan : Bercetak tebal adalah variabel yang akan diteliti oleh peneliti

TB BTA (+)

Presdisposing Factor:

Pengetahuan TB paru

Sikap

Praktek:

Membuang dahak

merokok

;

;

Enabling factor:

Pemakaian OAT

Pelayanan kesehatan

Peran PMO

Jarak sarana kesehatan

Lamanya waktu

pengobatan

Reinforcing factor:

Dukungan keluarga

Masyarakat

Petugas kesehatan

Kepatuhan dalam

minum obat

Environtment:

Ventilasi

Lantai

Kepadatan

pencahayaan

Karakteristik reponden :

- Usia

- Pekerjaan dan waktu

luang - Pengawasan Jenis

dan dosis obat. - Penyuluhan petugas

kesehatan - Status gizi - imunitas

Keberhasilasan

pengobatan TB

Sembuh Tidak sembuh

46

D. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka teori di atas dapat maka dapat

dibuat kerangka konsep sebagai berikut :

Skema 2.3 kerangka konsep

Variabel independen Variabel dependen

E. Varibel penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu.

Dalam penelitian ini variabelnya adalah:

1. Variabel independen

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah dukungan

keluarga, kepatuhan minum obat, peran PMO dan llingkungan fisik

rumah.

2. Variabel dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kesembuhan penderita

TBC.

Dukungan keluarga

Perilaku buang dahak

Kepatuhan Minum

Obat

Pengawas minum Obat

Kesembuhan TBC

47

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah kesimpulan, tetapi kesimpulan itu belum final masih harus

dibuktikan kebenarannya. Tujuan penelitian menggunakan hipotesa adalah

agar dalam kegiatan penelitian tersebut peneliti berfokus hanya pada

informasi atau data yang diperlukan bagi penguji hipotesis. Adapun hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kesembuhan penyakit

TBC di wilayah Puskesmas mangkang.

2. Ada hubungan antara kepatuhan minum obat terhadap kesembuhan

penyakit TBC di wilayah Puskesmas mangkang.

3. Ada hubungan antara Pengawas Minum Obat terhadap kesembuhan

penyakit TBC di wilayah Puskesmas mangkang.

4. Ada hubungan antara perilaku buang dahak terhadap kesembuhan

penyakit TBC di wilayah Puskesmas mangkang.