BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Teamworkeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4633/3/BAB II.pdf19 BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Teamworkeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4633/3/BAB II.pdf19 BAB...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Teamwork
Teamwork yang berkualitas mendapatkan perhatian dari para pemimpin
bisnis setelah adanya kompetisi global, perubahan lingkungan kerja, pengaruh
teknologi dan faktor-faktor lain di Amerika. Hal ini semakin mendorong organisasi
untuk memaksimalkan kerja tim untuk mencapai efektivitas pembiayaan, kualitas
produk dan pelayanan. Tim sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem sosial
yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang melekat dalam sebuah organisasi di
mana para anggotanya merasa menjadi bagian satu dengan yang lain dan
berkolaborasi untuk mencapai sebuah tujuan (Hoegl & Geumenden, 2005). Tim
berbeda dengan kelompok karena sebuah tim mempunyai struktur, tujuan dan
ketergantungan antar anggota (Forsyth, 2006). Sebuah tim akan berfokus dalam
mencapai tujuan dan tetap mementingkan relasi antar anggotanya. Interaksi di
antara para anggota dalam tim dibangun melalui hubungan komunikasi dan
koordinasi (Hu, Horng, & Sun, 2009). Selanjutnya pada akhir abad kedua puluh,
konsep Kualitas Teamwork telah dikukuhkan menjadi suatu aspek yang kritikal
dalam pembentukan strategi bisnis (Robbins, 2009).
1. Definisi Kualitas Teamwork
Glenn M Parker dalam bukunya Team Players and Teamwork (2007)
menjelaskan bahwa Kualitas Teamwork telah menjadi sebuah konsep yang
semakin dipertimbangkan dalam penyusunan strategi bisnis. Hal ini
dikarenakan Teamwork dianggap dapat menghasilkan keuntungan bagi
20
organisasi dan individu berupa pelayanan yang lebih baik bagi konsumen,
kepuasan kerja karyawan meningkat, kualitas produk dan layanan meningkat,
biaya pembuatan produk menurun, meningkatnya kemauan belajar organisasi,
serta kreativitas dan inovasi lebih berkembang.
Penelitian-penelitian juga menunjukan bahwa implementasi dari kualitas
Teamwork yang efektif dalam sebuah organisasi dapat meningkatkan motivasi
kerja dan meningkatkan kepuasan kerja (Griffin, Patterson, & West, 2001).
Selain itu, dengan adanya Teamwork yang berkualitas dapat dihasilkan kinerja
yang lebih baik bagi organisasi, diantaranya adalah peningkatan produktivitas
di tempat kerja, perbaikan kualitas pelayanan, meningkatnya kepuasan
karyawan terhadap pekerjaan, rendahnya absensi dan mengurangi rata-rata
karyawan yang keluar dari perusahaan (Sheng, Tian, & Chen, 2010). Hal ini
memperkuat pendapat DeGrosky (2006) yang menyatakan bahwa Kualitas
Teamwork yang baik dalam organisasi dapat meningkatkan partisipasi dan
inovasi, pengurangan kesalahan, peningkatan kualitas, peningkatan
responsivitas, efesiensi biaya, pelayanan konsumen yang lebih baik, serta
meningkatkan kepuasan karyawan. Hoegl dan Geumenden (2005)
menyebutkan bahwa Kualitas Teamwork mempunyai pengaruh yang positif
terhadap kinerja tim (efektivitas tim dan efesiensi) dan kesuksesan anggota
tim (kepuasan kerja dan pembelajaran).
Hoegl dan Geumenden (2005) menyebutkan bahwa dengan merangkum
berbagai pendekatan teori tentang Kualitas Teamwork, merumuskan bahwa
Kualitas Teamwork merupakan proses kerjasama yang dilakukan dalam
21
sebuah tim yang merupakan bentuk dasar perilaku sosial anggota tim berupa
aktivitas, interaksi dan perasaan yang dapat diukur.
Aktivitas sendiri merupakan tindakan yang dapat diamati dari seorang
individu dan dapat diukur dengan kuantitas, misalnya jumlah produk yang
dihasilkan dari seorang pegawai tanpa cacat, eksekusi yang dilakukan dengan
tepat dan tindakan yang efektif. Interaksi berkaitan dengan hubungan antar
anggota tim dalam beraktivitas, hal ini dapat diukur dengan melihat frekuensi
dan intensitas interaksi yang dilakukan. Sedangkan perasaan berkaitan
dengan emosi, motivasi atau sikap dan tidak dapat secara langsung diamati
tapi dipengaruhi oleh interaksi dan aktivitas yang dilakukan (Hoegl &
Geumenden, 2005).
Sementara Parker (2007) menyatakan bahwa Teamwork adalah proses
psikologis, perilaku dan mental dari anggota tim dalam berkolaborasi satu
dengan yang lain dalam melaksanakan tugas dan upaya mencapai tujuan.
Sedangkan Kualitas Teamwork didefinisikan sebagai proses kerjasama yang
memberikan kesempatan bagi orang biasa untuk mencapai hasil yang luar
biasa.
Hoegl dan Gemuenden (2005) menjelaskan bahwa sebuah tim memiliki
Teamwork yang berkualitas jika mereka memiliki tujuan bersama serta
sesama anggota tim mengembangkan hubungan yang efektif dan bermutu
untuk mencapai tujuan. Teamwork yang berkualitas dapat terwujud dalam
individu-individu yang bekerja bersama dalam lingkungan yang kooperatif
untuk mencapai tujuan bersama melalui berbagi pengetahuan dan
ketrampilan. Definisi-definisi mengenai Teamwork secara konsisten
22
menekankan bahwa elemen penting dari Kualitas Teamwork adalah adanya
interaksi antara anggota tim yang berkualitas dan adanya tujuan yang ingin
dicapai bersama (Hoegl dan Gemuenden, 2005).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Kualitas
Teamwork adalah kualitas komunikasi diantara anggota tim yang
menyebabkan terjadinya koordinasi sehingga ada keseimbangan kontribusi
anggota yang menyebabkan saling dukung ditandai dengan adanya usaha
untuk mencapai tujuan bersama proses sehingga meningkatkan kohesivitas
diantara sesama anggota tim.
2. Aspek –aspek Kualitas Teamwork
Aspek-aspek Kualitas Teamwork Hoegl dan Gemuenden (2005)
diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu aspek yang berkaitan dengan
tugas (komunikasi, koordinasi dan keseimbangan terhadap kontribusi
anggota) dan aspek interaksi sosial (dukungan, usaha dan kohesifitas tim).
Aspek-aspek Kualitas Teamwork menurut Hoegl dan Gemuenden (2005)
adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi
Komponen dasar dari Kualitas Teamwork adalah komunikasi di antara
anggota tim. Komunikasi memungkinkan terjadinya pertukaran informasi di
antara anggota tim. Kualitas komunikasi di antara anggota tim dapat dilihat
dari frekuensi, formalisasi, struktur dan keterbukaan dari pertukaran
informasi. Frekuensi mengacu kepada seberapa intensif anggota tim dalam
berkomunikasi, formalisasi berkaitan dengan seberapa spontan anggota tim
dalam menyampaikan pendapatnya, struktur berkaitan dengan cara
23
komunikasi diantara para anggota (langsung atau terdapat mediator) dan
keterbukaan dari pertukaran informasi berkaitan dengan seberapa banyak
pihak-pihak yang dapat mengakses informasi.
b. Koordinasi
Koordinasi berarti bahwa tim harus membuat sebuah jenjang tanggung
jawab dari pekerjaan secara jelas di antara anggota tim sehingga tidak
terdapat jarak dan tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab
terhadap pekerjaan. Koordinasi mengurangi kesenjangan dan tumpang
tindih tugas dalam tim. Koordinasi menyelaraskan dan menyelaraskan
kontribusi setiap anggota tim (Brannick, Prince & Salas, 1995). Untuk
membuat koordinasi lebih efisien dan efektif, para anggota perlu
menyepakati tugas-tugas yang ditentukan, struktur kerja, jadwal, anggaran
dan pengiriman. Dengan demikian, setiap anggota tim memiliki sub-tujuan
yang cukup jelas. Tingkat pemahaman bersama mengenai kontribusi
antara masing-masing anggota tim menentukan kualitas kerja tim (Hoegl &
Gemuenden, 2005). Koordinasi didukung oleh komunikasi yang baik karena
komunikasi eksplisit dapat segera menjaga koordinasi dalam aktivitas tim,
seperti bertukar informasi terkait tugas dan mengembangkan solusi tim
untuk masalah (Kozlowski & Ilgen, 2006).
c. Keseimbangan Kontribusi Anggota
Hal penting bagi sebuah tim yang berkualitas adalah semua anggota
tim dapat memberikan kontribusi terhadap tugas yang berkaitan dengan
pengetahuan dan pengalaman terhadap tim. Selain itu terdapat juga
penghargaan terhadap pengetahuan dan pengalaman spesifik dari masing-
24
masing anggota tim. Keseimbangan kontribusi anggota membawa
pengalaman anggota tim pada potensi penuh mereka. Dominasi dalam
diskusi atau proses pengambilan keputusan harus dibatasi untuk
memungkinkan semua anggota tim untuk memiliki kontribusi yang
seimbang dan berbagi pandangan dan ide mereka. Penting untuk
menciptakan suasana di mana semua anggota merasa bebas untuk
membawa keahlian yang relevan dengan tugas mereka ke diskusi dan
proses pengambilan keputusan. Penelitian telah menunjukkan bahwa
keseimbangan kontribusi anggota berhubungan dengan kinerja tugas dan
kepuasan anggota tim (Hoegl & Gemuenden, 2005).
d. Dukungan
Dukungan di antara anggota tim merupakan komponen yang penting
dalam Kualitas Teamwork. Kolaborasi anggota tim dan bekerjasama lebih
diutamakan daripada kompetisi dalam sebuah Teamwork yang berkualitas.
Penelitian menunjukkan bahwa tim yang sangat kooperatif lebih konstruktif
dalam mendiskusikan pandangan yang berlawanan dan bahwa perilaku ini
mengarah pada kinerja tim dan inovasi tim (D Tjosvold, Andrews, & Jones,
1983). Perilaku kooperatif membantu anggota kelompok mengenali
bagaimana mencapai tujuan dan memahami bahwa mereka bekerja untuk
kepentingan bersama. Orang percaya bahwa mereka bisa sukses bersama.
Akibatnya, mereka berbagi informasi yang akurat, mengidentifikasi masalah
secara terbuka, mendiskusikan pandangan yang berlawanan dengan jelas,
mengembangkan dan memilih solusi alternatif berkualitas tinggi yang akan
diterapkan oleh semua anggota (Z. Zhang, Hempel, Han, & Tjosvold,
25
2007). Perilaku kompetitif menghalangi refleksi tim dengan mengurangi
diskusi terbuka tentang pandangan yang berlawanan. Dalam situasi
persaingan, fokus seseorang pada pencapaian sasaran yang berhasil
membuat orang lain cenderung untuk mencapai tujuan mereka. Ketika
orang lain produktif, mereka cenderung tidak berhasil sendiri. Situasi
kooperatif berkorelasi positif dengan pencapaian sasaran individu,
sementara situasi kompetitif berkorelasi negatif dengan pencapaian tujuan
individu ement (D Tjosvold, Yu, & Hui, 2004). Rasa saling hormat yang
besar antara anggota tim mengembangkan ide dan kontribusi anggota tim
lain, yang sangat penting untuk aspek kualitas Teamwork dalam kerja tim
(Hoegl & Gemuenden, 2001).
e. Usaha
Usaha diperlukan oleh anggota tim untuk mencapai harapan bersama.
Pembagian beban kerja di antara anggota tim dan memprioritaskan tugas
tim untuk diselesaikan merupakan indikator adanya usaha dari anggota
tim. Upaya anggota tim mengacu pada bagaimana anggota tim berbagi
dan memprioritaskan beban kerja tugas tim. Upaya tingkat tinggi dari
semua anggota tim ditunjukkan oleh suasana mendukung yang tinggi
ketika mengerjakan tugas yang diprioritaskan. Anggota tim didorong untuk
menyelesaikan tugas tim sebagai prioritas utama; sebagai akibatnya,
anggota tim menyumbangkan banyak upaya untuk proyek tersebut.
Mereka saling membantu dan bekerja sama untuk meminimalkan konflik
dalam interaksi sosial yang positif.
26
f. Kohesivitas
Kohesivitas tim mengacu kepada tingkat di mana anggota tim berusaha
untuk tetap berada dalam tim. Terdapat tiga kekuatan yang mendorong
terjadinya kohesivitas; (1) Daya tarik pribadi anggota tim, (2) Komitmen
pada tugas tim, dan (2) Kebanggaan-semangat kelompok.
Berdasarkan aspek-aspek Kualitas Teamwork menurut Hoegl dan
Gemuenden (2005) akan diturunkan menjadi variabel penelitian Kualitas
Teamwork.
3. Pengukuran Kualitas Teamwork
Secara umum pengukuran Kualitas Teamwork dapat dilakukan dengan
berbagai macam metode diantaranya adalah wawancara terstruktur dengan
anggota tim, focus group discussion, observasi dan pemberian skala (Parker,
2007). Pengukuran kualitas teamwork dalam penelitian ini menggunakan skala
dengan dasar teori pengukuran kualitas teamwork yang dikembangkan oleh
Hoegl dan Gemuenden (2005) yaitu Teamwork Quality (TWQ). Teamwork
Quality (TWQ) terdiri dari enam aspek proses kolaborasi tim yaitu yaitu
Komunikasi, Koordinasi, Keseimbangan Kontribusi Anggota, Dukungan, Usaha,
dan Kohesi. Dari keenam aspek tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi
dua kelompok yaitu aspek yang berkaitan dengan tugas (komunikasi,
koordinasi dan keseimbangan terhadap kontribusi anggota) dan aspek
interaksi sosial (dukungan, usaha dan kohesivitas tim).
Konsep tentang kualitas Teamwork yang efektif dalam teori ini didasarkan
pada kualitas interaksi di dalam tim yaitu dengan melihat seberapa baik
27
persepsi anggota tim terhadap kolaborasi dan interaksi yang terjadi di antara
anggota dan untuk menggambarkan seberapa alami anggota tim bekerja
bersama. Jika anggota tim mempersepsikan secara positif kolaborasi dan
interaksi yang terjadi di antara anggota tim maka hal ini menunjukan bahwa
teamwork yang telah mereka lakukan sudah berkualitas.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Teamwork
Menurut Griffin, dkk (2001) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
Kualitas Teamwork di antaranya adalah:
a. Kepercayaan terhadap rekan kerja.
Kualitas Teamwork yang baik dalam organisasi akan tercapai jika di
antara pegawai dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap rekan kerja.
Rasa percaya di antara sesama rekan kerja akan memudahkan komunikasi
dan koordinasi sehingga proses penyelesaian pekerjaan menjadi lebih
mudah.
b. Pengayaan pekerjaan (Job Enrichment) kepada anggota tim dalam
mencapai tujuan kelompok.
Pengayaan pekerjaan penting untuk dilakukan kepada anggota tim
supaya mereka memahami dan merasakan pekerjaan yang dilakukan oleh
rekan kerja yang lain. Hal ini akan memudahkan mereka memahami
kesulitan yang dirasakan oleh rekan kerja dalam mencapai tujuan
kelompok.
c. Kebebasan anggota tim untuk lebih otonom.
Hal ini akan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk
menunjukan kemampuan mereka secara optimal dan kebebasan berkreasi
28
sehingga memudahkan mereka mengambil keputusan ketika menghadapi
masalah dalam pekerjaan.
d. Kepercayaan mengenai peran dan tanggung jawab anggota tim.
Anggota tim perlu diberikan kepercayaan mengenai tugas dan
tanggung jawab supaya mereka tidak saling melempar kesalahan kepada
rekan kerja yang lain ketika terjadi permasalahan dalam pekerja.
e. Umpan balik di antara sesama anggota tim.
Umpan balik perlu diberikan kepada sesama anggota tim supaya
mereka mengetahui kesalahan yang perlu diperbaiki dalam melaksanakan
pekerjaan sehingga dapat dipecahkan bersama.
Ukuran keberhasilan dari sebuah tim bisa dilihat bahwa tim tersebut
mampu mencapai hasil yang telah ditetapkan. Untuk dapat melakukannya
atas dasar yang konsisten dan terus-menerus mencapai hasil tersebut, sebuah
tim harus mampu mengatasi lima disfungsi yang oleh Lencioni (2006)
dijelaskan seperti berikut ini:
a. Ketiadaan kepercayaan. Ketiadaan kepercayaan membuat tim tersebut
antar anggotanya sulit untuk memberikan kritik yang baik dan juga sulit
menerimanya.
b. Takut akan konflik. Tim yang saling mempercayai tidak takut untuk terlibat
dalam dialog yang penuh semangat seputar persoalan persoalan dan
keputusan penting bagi kesuksesan organisasi.
c. Kurangnya komitmen. Anggota tim perlu menguasai kemampuan untuk
meski tidak setuju tetapi tetap berkomitmen pada tim.
29
d. Penghindaran pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban sebagai
kesediaan anggota tim untuk saling mengingatkan ketika mereka tidak
memenuhi standar kinerja kelompok tersebut.
e. Kurang perhatian terhadap hasil. Tim yang berorientasi pada hasil
menentukan ukuran-ukuran kesuksesan mereka sendiri.
Berdasarkan penelitian Grifin, dkk (2001) dan Lencioni (2006) tentang hal-
hal yang mempengaruhi kualitas dan disfungsi sebuah teamwork terdapat satu
kesamaan yaitu kepercayaan atau ketidak percayaan terhadap rekan kerja
mempengaruhi kualitas teamwork.
B. Pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan kerja dengan metode
Appreciative Inquiry
1. Definisi Pelatihan
Pelatihan menurut Sikula (1976) adalah proses pendidikan jangka
pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga
tenaga kerja nonmanajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan
teknis untuk tujuan tertentu (dalam Munandar, 2001). Secara umum
menurut Noe, Hollenbeck, Gerhart, dan Wright (2010), pelatihan
mengacu pada upaya yang direncanakan oleh suatu organisasi untuk
mempermudah pembelajaran para karyawan tentang kompetensi-
kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan. Kompetensi-kompetensi
tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan, atau perilaku yang sangat
penting untuk keberhasilan kinerja pekerjaan.
30
Sasaran pelatihan bagi karyawan adalah menguasai pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang ditekankan pada program-program
pelatihan serta menerapkannya ke dalam aktivitas-aktivitas sehari-hari.
Secara tradisional, pelatihan berfokus pada membantu kinerja para
karyawan pada pekerjaannya saat ini. Berkaitan dengan tim kerja,
investasi pada pelatihan dapat membantu organisasi dalam mencapai
keunggulan bersaing karena pelatihan dapat Noe, dkk (2010) :
1) Membantu para karyawan dalam memahami cara bekerja secara efektif di
dalam tim agar dapat memberikan kontribusi terhadap produk dan
kualitas pelayanan.
2) Mempersiapkan para karyawan untuk menerima dan bekerja lebih efektif
satu sama lain.
Menurut Noe, dkk (2010) tujuan organisasi melakukan program
pelatihan dan pengembangan bagi karyawannya secara umum adalah
sebagai berikut:
1) Untuk meningkatkan produktivitas.
2) Untuk meningkatkan mutu produk.
3) Untuk meningkatkan ketepatan dalam perencanaan sumber daya
manusia.
4) Untuk meningkatkan semangat kerja.
5) Untuk menarik dan menahan tenaga kerja yang baik.
6) Menjaga kesehatan dan keselamatan kerja.
31
7) Menghindari keusangan keterampilan dan pengetahuan agar
karyawan selalu mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang
pekerjaannya.
8) Menunjang pertumbuhan pribadi karyawan.
Selanjutnya menurut Noe, dkk (2010), teknik-teknik kelompok berfokus
pada membantu tim-tim dalam meningkatkan berbagai keterampilannya
untuk kerja tim yang efektif. Seluruh teknik melibatkan pengujian terhadap
berbagai perasaan, persepsi, dan keyakinan tentang fungsi tim;
pembahasan; serta pengembangan rencana untuk menerapkan hal-hal yang
telah dipelajari pada pelatihan dengan kinerja tim di lingkungan kerja.
Brown dan Harvey (2000) menjelaskan bahwa program pelatihan
pembelajaran melalui pengalaman meliputi memperoleh pengetahuan
tentang konsep dan teori; mengambil bagian pada simulasi perilaku;
menganalisis aktivitas, serta menghubungkan teori dan aktivitas dengan
situasi di tempat kerja atau kehidupan nyata. Beberapa cara pembelajaran
ini yang digunakan meliputi cara audio, visual, dan kinestik. Pada akhirnya,
program pelatihan yang meliputi pembelajaran melaui pengalaman ini
harus dikaitkan dengan perubahan sikap dan perilaku karyawan (Noe, dkk
2010).
Teknik klasik untuk pelatihan menurut Vaughn (2005) salah
satunya berupa simulasi pengalaman (experiential simulations). Teknik-
teknik ini termasuk latihan percobaan, permainan, teka-teki, skenario
pemecahan masalah, in-basket, permainan peran, eksperimen tugas tim,
kunjungan lapangan, dan bentuk-bentuk lainnya. Setiap bentuk
32
membutuhkan tingkat keterlibatan yang tinggi oleh peserta dan
menghasilkan tingkat keterkaitan yang tinggi.
Adult learning theory adalah teori khusus tentang bagaimana orang
dewasa belajar yang dikembangkan oleh Malcolm Knowles (dalam Noe, dkk,
2010) dimana model ini berdasarkan atas beberapa asumsi. Asumsi-asumsi
tersebut ialah:
1) Orang dewasa memiliki kebutuhan untuk mengetahui mengapa
mereka belajar sesuatu.
2) Orang dewasa memiliki kebutuhan untuk menjadi mandiri.
3) Orang dewasa membawa lebih banyak hal yang terkait dengan
pengalaman pekerjaan ke dalam situasi pembelajaran.
4) Orang dewasa masuk pada suatu pembelajaran pengalaman dengan
pendekatan yang berpusat pada masalah-masalah untuk dipelajari.
5) Orang dewasa termotivasi untuk belajar dengan motivasi ekstrinsik dan
intrinsik.
2. Definisi Affect Based Trust terhadap Rekan Kerja
a. Definisi Trust
Trust mempunyai beberapa definisi yang telah dirumuskan dan
dikemukakan oleh para ahli. Rooter (1967, dalam Ladebo, 2006)
mendefinisikan Trust sebagai ekspektasi yang dimiliki oleh individu atau
kelompok di mana kata-kata, janji, pernyataan verbal atau tertulis dari
individu atau kelompok lain dapat diandalkan. Definisi lain dikemukakan
oleh Mayer, Davis, dan Schoorman (1995). Ketiga tokoh tersebut
33
mendefinisikan Trust sebagai kesediaan untuk dipengaruhi sepenuhnya
oleh tindakan-tindakan dari pihak lain berdasarkan ekspektansi bahwa
pihak lain tersebut akan melakukan tindakan penting tertentu terhadap
pihak yang mempercayai, terlepas dari kemampuan untuk mengontrol dan
memonitor pihak lain tersebut (Mayer, dkk, 1995).
Colquitt, Jason, Jefrie Lepine dan Wesson (2009) mengemukakan
bahwa kepercayaan merupakan, “Trust is defined as the willingness to be
vulnerable to an authority based on positive expectations about the
authority’s actions and intentions”. Keinginan untuk mengikuti otoritas yang
ada karena memiliki harapan positif terhadap pengaruh dan tujuan yang
diberikan. Kepercayaan di sini lebih identik dengan kepercayaan seorang
anggota kepada pemimpin sehingga anggota mau mengikuti otoritas
pemimpin. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2014) mendefinisikan
kepercayaan sebagai “Trust as reciprocal faith in other’s intentions and
behavior”. Kepercayaan sebagai kemauan untuk saling memberi dan
menerima satu sama lain dalam kehendak dan perilaku atau bentuk
hubungan yang bersifat resiprokal yang didasarkan atas intensi atau
perilaku orang lain. Sedangkan Robbins (2009) mendefinisikan Trust
sebagai ekspektasi positif yang dimilki individu terhadap individu lain
bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan yang merugikan dirinya,
ekspektasi positif dalam hal ini diasumsikan sebagai pengetahuan atau hal-
hal yang sudah diketahui individu mengenai individu lain. McAllister (1995)
mendefinisikan Trust sebagai keadaan di mana seorang individu
berkeinginan dan percaya diri dalam melakukan suatu tindakan yang di
34
dasari atas kata-kata, tindakan dan keputusan yang diambil oleh individu
lain. Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan adalah ekspektasi positif yang dimiliki individu terhadap
individu lain bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan yang merugikan
dirinya. Ekspektasi positif tersebut didasarkan atas intensi dan perilaku dari
individu lain, pengetahuan mengenai individu lain, kata-kata, pernyataan
verbal dan tertulis serta keputusan yang diambil oleh individu lain.
Menurut McAllister (1995) Trust merupakan kombinasi dari Affect
Based Trust dan Cognition Based Trust. Affect Based Trust lebih
menekankan pada kepedulian dan perhatian dalam menjalin hubungan
sedangkan Cognition Based trust lebih menekankan pada penilaian
seberapa reliabel dan tergantung rekan kerja dalam menjalin hubungan.
Berdasarkan pembagian Trust menurut McAllister (1995) dan permasalahan
yang ada, maka penulis menjadikan Affect Based Trust sebagai salah satu
variabel dalam penelitian ini.
b. Pengertian Affect Based Trust
McAllister (1995) menyatakan bahwa Affect Based Trust adalah
kepercayaan yang disebabkan oleh adanya ikatan emosional terhadap
sesuatu atau sesorang yang terbentuk dari perasaan dan dorongan-
dorongan. Selanjutnya dijelaskan Pennings dan Woiceshyn (1987) dan
Rempel (1985), orang-orang membuat investasi secara emosional dalam
membangun hubungan kepercayaan, mengungkapkan kepedulian yang
tulus dan perhatian terhadap kesejahteraan rekan kerja, percaya pada
kebaikan intrinsik dari hubungan tersebut, dan percaya bahwa perasaan
35
tersebut bersifat timbal balik (dalam McAllister, 1995). Pada akhirnya bisa
dikatakan bahwa ikatan secara emosional dari individu dapat
menghubungkan mereka dan menjadi dasar bagi kepercayaan (McAllister,
1995).
Individu yang menggunakan pendekatan Affect Based Trust akan
cenderung memilih orang yang dipercayainya berdasarkan pada hal-hal
yang bersifat subjektif dan berhubungan dengan perasaan, mood atau
emosi (McAllister, 1995) seperti kepedulian dan perhatian antar sesama
rekan kerja (Holste & Fields, 2010). Scott (2000) mengatakan bahwa Affect
Based Trust adalah pandangan sosial kepercayaan dan memiliki lebih
banyak konotasi emosional. Ini mencakup perawatan, kepedulian,
kebajikan, altruisme, rasa kewajiban pribadi, komitmen, saling
menghormati, keterbukaan, kapasitas untuk mendengarkan dan
memahami, dan keyakinan yang sentimen yang saling timbal balik.
Menurut Hansen, Morrow, dan Batista (2002) Affect Based Trust
adalah Kepercayaan bersifat subjektif karena didasarkan pada suasana
hati, perasaan, atau emosi yang dimiliki seseorang terkait dengan rasa
dapat dipercaya dari individu, kelompok, atau organisasi. Senada dengan
itu Webber dan Klimoski (2004) Affect Based Trust didasarkan pada
pemeliharaan hubungan interpersonal dan kepedulian timbal balik atau
ikatan emosional.
Menurut Ladebo (2006) Affect Based Trust diyakini bersifat subjektif
karena ini berhubungan dengan perasaan, suasana hati atau emosi yang
dimiliki seorang trustor mengenai target sebagai sesuatu yang dapat
36
dipercaya, sedangkan Ng dan Chua (2006) mengatakan bahwa Affect
Based Trust di sisi lain, muncul dari sosial. interaksi dengan orang lain, dan
mencerminkan kepercayaan pada orang lain yang berkembang seiring
dengan keprihatinan atas kesejahteraan mereka. Pendapat lain dikatakan
oleh Ergeneli, Ari dan Metin (2007) Affect Based Trust membutuhkan
investasi emosional yang mendalam dalam suatu hubungan. hal ini senada
dengan penelitian Chua, Ingram dan Morris (2008) Affect Based Trust
melibatkan empati, hubungan, dan keterbukaan diri.
Pendapat lain dikemukan oleh Hon dan Lu (2010) bahwa Affect Based
Trust berasal dari perasaan memiliki kepercayaan orang lain dan dikaitkan
dengan timbal balik dalam menjaga dan merawat hubungan interpersonal.
Wang, Tomlinson, dan Noe (2010) mengatakan bahwa Affect Based Trust
terjadi sebagai produk pertukaran sosial. Artinya, emosi positif yang
dihasilkan melalui persepsi perhatian dan kepedulian memotivasi seseorang
untuk terus membalas hubungan emosional yang bermanfaat.
McAllister (1995) mengidentifikasikan beberapa anteseden dari Affect
Based Trust di antaranya adalah Organizational Ctizenship Behavior dan
frekuensi individu dalam berinteraksi dengan orang yang dipercaya dalam
hal ini rekan kerja (trustee). Ladebo (2006) juga mengemukakan hal yang
sama bahwa frekuensi interaksi rutin yang ada dalam organisasi akan
menentukan tingkat kepercayaan yang berbeda pada individu. Sementara
Chowdhury (2005) menyatakan bahwa individu yang memiliki tingkat Affect
Based Trust yang tinggi akan mengembangkan hubungan yang kuat
berdasarkan nilai-nilai pribadi dan ikatan emosional dengan rekan kerja.
37
McAllister (1995) mengatakan bahwa Affect Based Trust dalam suatu tim
adalah pemicu potensial untuk motivasi prososial karena Affect Based Trust
dapat memacu interaksi kerja sama didalam suatu tim.
Dapat disimpulkan bahwa Affect Based Trust adalah kepercayaan yang
timbul melalui persepsi perhatian dan kepedulian yang memotivasi
seseorang untuk terus membalas hubungan emosional yang bermanfaat
itu.
c. Pengertian Affect Based Trust Terhadap Rekan kerja
Menurut Meyer (dalam Mooradian, Renzl, & Matzler, 2006)
kepercayaan terhadap rekan kerja didefinisikan sebagai keinginan
seseorang untuk melakukan suatu tindakan yang didasarkan atas
ekspektasi pada individu lain dalam hal ini rekan kerja, bahwa mereka akan
menunjukan suatu tindakan nyata yang penting bagi orang yang
mempercayai, terlepas dari kemampuan orang tersebut untuk mengontrol
dan memonitor rekan kerja yang dipercaya.
Mooradian, dkk (2006) juga menyatakan bahwa kepercayaan terhadap
rekan kerja adalah sebuah konstruk sikap, dimana ekspektasi individu
terhadap orang lain terkait dengan pengalaman individu tersebut
sebelumnya terhadap spesific others seperti manager atau rekan kerja.
Sedangkan menurut William (2001) dan Zand (1972) kepercayaan terhadap
rekan kerja dapat didefinisikan sebagai keinginan seseorang untuk
mempercayai individu lain yang didasarkan atas tindakan yang
menguntungkan dari individu tersebut (dalam Chowdhury, 2005)
38
McAllister (1995) menyatakan bahwa kepercayaan terhadap rekan
kerja merupakan kombinasi dari kepercayaan afektif dan kognitif dari
seseorang terhadap rekan kerja. Kepercayaan afektif lebih menekankan
pada kepedulian dan perhatian dalam menjalin hubungan sedangkan
kepercayaan kognitif lebih menekankan pada penilaian seberapa reliabel
dan tergantung rekan kerja dalam menjalin hubungan.
Berdasarkan beberapa teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa Affect
Based Trust Terhadap Rekan Kerja adalah keinginan seseorang untuk
mempercayai individu lain yang didasarkan atas tindakan kepedulian dan
perhatian yang menguntungkan dari individu tersebut.
3. Pengertian Metode Appreciative Inquiry
a. Definisi Metode
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cara
teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.
b. Definisi Appreciative Inquiry
Appreciative berasal dari kata dasar Appreciate yang berarti
menghargai, suatu tindakan memahami sesuatu yang terbaik dalam
individu atau dunia disekitarnya, memberi dukungan terhadap kelebihan,
kesuksesan dan potensi di masa lalu maupun masa kini. Sementara,
Inquiry berasal dari kata dasar Inquire, yang berarti tindakan
mengeksplorasi dan menemukan; mengajukan pertanyaan untuk
39
memperluas pandangan terhadap kemungkinan dan potensi baru
(Cooperrider & Whitney, 2001). Sementara, pengertian Appreciative Inquiry
yang diajukan oleh pengembangnya, Cooperrinder dan Srivastva (1987)
adalah sebagai berikut:
…is a worldview, a paradigm of thought and understanding
that holds organizations to be affirmative systems created by
humankind as solutions to problems. It is a theory, a mindset, and
an approach that leads to organizational learning and creativity’.
c. Definisi Metode Appreciative Inquiry
Metode Appreciative Inquiry adalah cara menjadi sesuatu dan melihat
sesuatu atau berupa worldview dan processview dalam memudahkan
terjadinya perubahan positif dalam human systems, misalnya organisasi,
kelompok, dan komunitas. Appreciative Inquiry merupakan sebuah
pendekatan sosial konstruksionis terhadap perubahan dan pengembangan
organisasi (der Haar & Hosking, 2004). Appreciative Inquiry dapat disebut
sebagai suatu metode riset aksi (action research) dan sekaligus teori
tentang bagaimana realitas organisasi terbentuk dan berkembang
(Thatchenkery, 1999). Sebuah metode yang mentransformasikan
kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan
memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh
dengan harapan (Cooperrider & Srivastva, 1987).
Appreciative Inquiry adalah metode intervensi yang mencoba
membantu individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan
gambar generatif yang menarik dan baru untuk mereka sendiri
berdasarkan pemahaman alternatif atas operasi masa lalu dan masa kini
40
(Bushe, 1998). Memulainya dengan mengidentifikasi hal-hal inti yang
positif ini dan menghubungkan dengan cara-cara yang bisa mempertinggi
energy, mempertajam visi, dan menginspirasi tindakan untuk mengubah
sesuatu menjadi lebih baik.
Langkah dasar Appreciative Inquiry adalah siklus 5-D yaitu Definition,
Discovery, Dream, Design dan Destiny (Cooperrider & Whitney, 2001)
Kelima langkah tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah
ini:
Gambar 1. Siklus 5D dalam Appreciative Inquiry
1) Definition. Langkah awal Appreciative Inquiry adalah memilih sebuah
topik yang akan dieksplorasi (Affirmative Topic Choice). Topik ini
menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud.
tujuan dari pemilihan topik yang afirmatif adalah agar proses
transformasi organisasi, baik itu meliputi budaya organisasi, maupun
hubungan interpersonal dalam organisasi dapat fokus, topik afirmatif
yang dimaksud adalah akan menjadi seperti apa budaya organisasi,
hubungan interpersonal dalam sebuah organisasi pada saat yang akan
41
datang. Topik affirmatif memang menjadi fokus perubahan dalam
sebuah organisasi, akan tetapi terdapat dua hal yang perlu diperhatikan
sebelum menentukan topik yang affirmatif, yaitu :
1) Siapa yang akan menentukan atau memilih topiknya ? eksekutifkah ?
kelompok inti saja ? atau bahkan seluruh organisasi ?
2) Topik apa yang akan kita pelajari ? apa yang ingin kita lihat lebih
pada organisasi kita ? (Whitney & Blomm, 2007).
Topik yang akan dipilih hendaknya terfokus pada apa yang anggota
organisasi ingin lihat tumbuh dan berkembang dari organisasinya
(Whitney & Blomm, 2007). Ketika kita berbicara mengenai apa yang
ingin kita lihat pada masa yang akan datang, apalagi yang terkait
dengan organisasinya, para anggota selalu memunculkan
pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif, yang menggugah
semangat. Melihat betapa pentingnya penentuan topik afirmatif ini,
menurut Whitney dan Blomm (2007) terdapat empat karakteristik
dalam sebuah topik, agar menjadi topik yang hebat.
1) Topik adalah positif. Dinyatakan dalam bentuk yang afirmatif.
2) Topik sangat diinginkan. Organisasi ingin tumbuh, berkembang
dan meningkat.
3) Topik merangsang belajar. Organisasi sesungguhnya sangat
tertarik tentang dirinya sendiri, dan selalu ingin menjadi lebih
berilmu pengetahuan dan cakap dalam bidangnya.
4) Topik harus merangsang percakapan tentang keinginan-keinginan
atau hasrat pada masa yang akan datang. Topik akan membawa
42
kemana organisasi ingin pergi, dan menghubungkan dengan
agenda perubahan organisasi.
Setelah menentukan topik atau fokus dari agenda perubahan
sebuah organisasi atau komunitas, maka langkah selanjutnya adalah
memasuki siklus 4-D dari Appreciative Inquiry, D yang pertama
adalah discovery.
2) Discovery. Tujuan utamanya adalah mengungkap dan mengapresiasikan
sesuatu yang memberi kehidupan dan energi kepada orang, pekerjaan
dan organisasinya. Fokus tahapan ini adalah pada cerita positif yang
merefleksikan pengalaman puncak baik pada level individu maupun level
organisasi. Pada tahap ini, peserta berbagi cerita positif, mendiskusikan
kondisi positif organisasi dan mengkaji aspek dalan sejarah mereka
yang paling berharga dan ingin dikembangkan di masa depan.
3) Dream. Tujuannya adalah bermimpi (dream) atau berimajinasi
(envision) bagaimana idealnya organisasi di masa depan. Setelah
melakukan eksplorasi tentang kekuatan, pengalaman-pengalaman
terbaik maka tahap D yang selanjutnya adalah membayangkan masa
yang akan datang atau biasa disebut dengan Dream. Tahapan dream
adalah mengajak organisasi atau masyarakat untuk memperkuat apa
yang menjadi inti kekuatan (positive core) dengan membayangkan
kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang yang telah
dibangkitkan pada tahapan Discovery (Cooperrider & Whitney, 2005).
Sebagaimana dalam prinsip antisipatory, bahwa sistem manusia bisa
digambarkan seperti tumbuhan. Secara instingtif mereka akan tumbuh
43
menuju apa yang disebut dengan ”cahaya”, dimana hal tersebut
merupakan gambaran kolektif mereka tentang masa depan (Whitney &
Blomm, 2007). Informasi pada tahap sebelumnya dijadikan pijakan
untuk berspekulasi mengenai kemungkinan masa depan organisasi.
4) Design. Tujuannya adalah menciptakan atau mendesain struktur
organisasi, proses dan hubungan yang mendukung mimpi yang telah
diartikulasikan pada tahap sebelumnya. Aktivitas utamanya adalah
menciptakan proposisi yang provokatif (provocative propositions) secara
kolaboratif. Proposisi yang provokatif dapat dipandang sebagai mimpi
yang realistis yang memberdayakan sebuah organisasi mencapai
sesuatu yang lebih baik. Beberapa yang menjadi kunci penting dan perlu
diperhatikan dalam fase ini menurut Whitney dan Blomm (2007),
adalah:
1) Apa yang akan kita disain ?
2) Siapa saja yang terkait di dalamnya ?
3) Bagaimana kita menjelaskan organisasi yang ideal bagi kita ?
Ketiga konsep yang patut diperhatikan dalam fase ini, memang terkesan
sederhana yaitu hanya meliputi apa, siapa dan bagaimana kita
mendesain, akan tetapi menentukan ketiganya menjadi keputusan yang
penting dalam fase Design tersebut (Whitney & Blomm, 2003).
5) Destiny. Tujuannya adalah menguatkan kapasitas dukungan terhadap
keseluruhan organisasi untuk membangun harapan, dan menciptakan
proses belajar, menyesuaikan dan berimprovisasi. Tahapan ini
memberdayakan setiap anggota untuk melakukan tindakan-tindakan
44
yang dapat dilakukan untuk mencapai mimpi atau visi masa depan
organisasi.
d. Sesi-sesi Pelatihan Affect based Trust dengan Metode
Appreciative Inquiry
Sesi pelatihan pada Pelatihan Affect Based Trust dengan metode
Appreciative Inquiry ini terbagi dua tahapan yaitu
1. Tahap Pra pelatihan
Pada tahap ini berisi Definition yaitu tahapan dimana memilih
sebuah topik yang akan dieksplorasi (affirmative topic choice). Topik ini
menjadi arah perubahan sekaligus kenyataan akhir yang akan terwujud.
Pemilihan topik sudah dibahas oleh tim rapat bulanan dalam pertemuan
pada bulan Maret 2018 dengan Kabag. Tata Usaha, Kasubag. SDM,
Kasubag. Keuangan dan kasubag. Umum serta beberapa perwakilan dari
staf yang mewakili dari golongan pangkat dan masa usia kerja lebih
kurang ada 5 orang. Pembentukan tim ini sesuai penjelasan The Power
of Appreciative Inquiry (Whitney & Bloom, 2007). Berdasarkan hasil
laporan PKPP dan pendalaman permasalahan yang terjadi maka
dikemudian hari bila ada pelatihan maka tema-tema tentang
kepercayaan dan peningkatan Kualitas Teamwork menjadi perhatian
utama.
45
2. Tahap pelatihan Affect Based Trust dengan Metode
Appreciative Inquiry
a. Tahap I , Tahap Discovery
Peserta pelatihan melakukan Pada akhir sesi ini peserta akan
menemukan pengalaman berharga tentang kepedulian dan perhatian
dari rekan sekerja yang ditulis dalam lembar kerja individu.
b. Tahap II, Tahap Dream
Peserta pelatihan ada akhir sesi ini peserta berkolaborasi dengan
rekan kelompoknya untuk memilih dan memilah mana perilaku yang
termasuk perhatian dan peduli yang paling berkesan dari semua
anggota kelompok sehingga tertuang dalam laporan kertas kerja
kelompok.
c. Tahap III, Tahap Design
Peserta pelatihan pada akhir sesi ini peserta akan menciptakan
desain proses dan hubungan atau program kerja yang dapat
dilakukan untuk menunjukkan rasa peduli dan perhatian terhadap
rekan kerja yang dapat dilakukan sehari-hari ditempat kerja.
d. Sesi IV, Tahap Destiny
Pada akhir sesi ini peserta memutuskan memantapkan diri untuk
melakukan apa yang sudah dibuat bersama kelompok dan ditandai
dengan penandatanganan poster komitmen bersama.
46
C. Pengaruh Pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan kerja dengan
metode Appreciative Inquiry terhadap Kualitas Teamwork
Menurut Grifin, dkk (2001) faktor pertama yang mempengaruhi kualitas
teamwork adalah Trust terhadap rekan kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian
Lencioni (2006) yang mengatakan bahawa salah satu tidak berfungsinya
teamwork adalah ketiadaan Trust. Trust begitu penting dalam teamwork bisa
dijelaskan dari penelitian Jassawalla dan Sashittal (1998) yang mengatakan
bahwa Trust bertindak atau memicu sebagai kohesif yang kuat, meningkatkan
kolaborasi lintas fungsi dalam Tim. Dalam hal ini, hubungan antara sesama
anggota organisasi merupakan hal penting dalam sebuah kelompok kerja, karena
kualitas hubungan di antara anggota kelompok dapat mempengaruhi kinerja
(Cummings & Worley, 2009). Selain itu Trust adalah mekanisme yang penting
dalam tim kerja, karena ini mempengaruhi berbagi informasi, memberi umpan
balik subtansi dan mengatur waktu dengan benar (bandow, 2001).
Bukti lain dari pentingnya Trust terhadap kualitas teamwork adalah hasil
penelitian Costa (2003) yang menyatakan bahwa Trust terhadap rekan kerja
merupakan faktor yang sangat penting dalam hubungan interpersonal dan
interaksi kelompok di tempat kerja. Hubungan interpersonal dan dinamika
kelompok lebih ditekankan di tempat kerja di mana Trust merupakan sebuah
elemen yang sangat penting dan mendasar, jika tidak ada Trust terhadap rekan
kerja maka tidak akan ada anggota kelompok yang memulai untuk berkolaborasi
dan bekerja sama untuk meningkatkan kualitas Teamwork (Costa, 2003). Scott
(2000) menyatakan bahwa dengan Trust para anggota team mampu
47
mempererat hubungan yang sudah terjalin. Selain itu, Trust juga meningkatkan
rasa memiliki, menimbulkan rasa nyaman untuk terbuka, meningkatkan
komitmen untuk mencapai tujuan, mengambil resiko dan saling memberikan
dukungan (Reina & Reina, 2006). Trust terhadap rekan kerja yang tinggi di
antara anggota tim memberikan sebuah atmosfer keamanan psikologis bagi
anggota tim di mana anggota tim dapat menerima kritik dengan lebih mudah,
mendiskusikan kesalahan-kesalahan dan mengekspresikan pemikiran mereka
secara bebas sehingga meningkatkan sinergi (Erdem & Ozen, 2003).
Kepercayaan terhadap rekan kerja juga dapat mengurangi perasaan negatif
karena hal ini merupakan sumber daya untuk manajemen risiko, mengurangi
kompleksitas dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang tidak familiar
melalui penjelasan orang lain (Bouckenooghe, 2008). Trust cenderung
memfasilitasi kinerja dengan mendorong anggota tim untuk terlibat dalam proses
tim dengan cara yang lebih terbuka dan kooperatif (Breuer, Hüffmeier & Hertel,
2016). Akhirnya bisa disimpulkan bahwa Kondisi trust pada suatu team juga akan
mempengaruhi performa perusahaan secara keseluruhan (Bloomgarden, 2007).
Setelah memahami pentingnya Trust sebagai faktor utama yang
mempengaruhi kualitas Teamwork (Grifin, dkk 2001). berbagai ahli mencoba
menjelaskan apa itu Trust, namun yang menjadi pokok teori yang digunakan
penelitian ini adalah penjelasan Trust dari McAllister (1995) yang mengatakan
bahwa kepercayaan (baik dimensi Affect Based Trust & Kognitif Based Trust)
mempengaruhi kualitas Teamwork. Individu yang memiliki level Affect Based-
Trust yang tinggi akan mengembangkan hubungan yang kuat berdasarkan
personal value dan ikatan emosional dengan pihak yang dipercaya, sedangkan
48
individu yang menggunakan pendekatan Cognition Based Trust cenderung lebih
menggunakan evaluasi yang objektif, rasional dan metodis dalam memilih
individu yang dipercayainya (McAllister, 1995).
Pendekatan Trust berbasis dua dimensi (McAllister, 1995) yaitu Affect Based
Trust dan Cognitf Based Trust menarik dipelajari karena menurut McAllister
(1995) Trust terhadap rekan kerja merupakan kombinasi keduanya (Affect Based
Trust dan Cognitif Based Trust). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Wicaksono (2012) bahwa Affect Based Trust berpengaruh
terhadap Teamwork daripada Cognitif Based Trust. Hal ini selaras dengan hasil
penelitian Zhou dan Shalley (2011) yang mengatakan bahwa Kepercayaan
berdasarkan Affect Based Trust yang memotivasi perilaku kooperatif di antara
anggota tim. Hasil Penelitian McAllister (1995) mengatakan bahwa Affect Based
Trust dalam suatu tim adalah pemicu potensial untuk motivasi prososial karena
Affect Based Trust pemicu awal motivasi interaksi kerja sama dalam tim.
Ketika ada tingkat Affect Based Trust yang lebih tinggi dalam suatu tim,
ikatan emosional dapat mengarahkan perhatian anggota tim dari kepentingan
pribadi. Dengan demikian mereka lebih termotivasi untuk mencari preferensi atau
perspektif dari anggota sejawat mereka, dan untuk membagikan informasi yang
tidak biasa atau unik (McAllister, 1995) Semakin tinggi tingkat Affect Based Trust
dalam suatu tim, semakin banyak anggota yang bersedia untuk berkontribusi
sumber daya untuk saling menguntungkan dan untuk mencapai tujuan tim (Ng &
Chua, 2006). Selain itu Menurut Webber (2008) Affect Based Trust lebih tahan
lama dan dapat membuat Trust yang lebih kuat dalam hubungan interpersonal
dan tim. Berdasarkan penelitian Williams (2001) menyebutkan bahwa Komponen
49
Affect Based Trust telah diperdebatkan menjadi sangat penting untuk kerjasama
dan komunikasi dalam tim. Jadi bisa disimpulkan bahwa Affect Based Trust lebih
mempengaruhi teamwork daripada Cognitif Based trust (Nistitiono, 2012). Affect
Based Trust ini lebih menekankan kepada kepedulian dan perhatian dalam
menjalin hubungan dengan rekan kerja (McAllister, 1995).
Berdasarkan penelitian yang dikemukakan oleh Costigan, Ilter dan Berman
(1998) yang menyatakan bahwa terdapat 3 cara yang dapat digunakan untuk
meningkatkan Trust terhadap rekan kerja khususnya di dalam hubungan
interpersonal, yakni melalui program Team Building, Survival Training dan
program-program yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan interpersonal.
Menurut Whitney dan Bloom (2003) meningkatkan hubungan interpersonal
adalah agenda perubahan yang sesuai dilakukan dengan metode Appreciative
Inquiry. Berdasarkan penelitian Guevara (2016) bahwa melalui Appreciative
Inquiry, karyawan termotivasi untuk mengenali kekuatan kolektif dan
berkolaborasi dengan orang lain (tim) untuk menggerakkan organisasi menuju
visi bersama masa depan. Hal ini selaras dengan penelitian Clarke, dkk (2012)
menemukan bahwa Trust sebagai komponen kunci untuk keberhasilan tim dan
hal ini dapat ditingkatkan dengan metode Appreciative Inquiry.
Salah satu asumsi penggunaan metode appreciative inquiry menurut Lorne
(2005) pasti ada hal baik yang sedang terjadi di dalam setiap masyarakat, organ-
isasi atau kelompok yang dapat menjadi dasar perubahan. bila dihubungkan
dengan budaya secara umum bahwa budaya nasional mempengaruhi proses
pengembangan kepercayaan individu dan organisasi (Doney, dalam Kim,2005).
Menurut penelitian Hofstede (2005) budaya Indonesia lebih dominan
50
menunjukkan ssebagai masyarakat kolektivis daripada individualis. Dimana
Tingkat kolektivisme yang tinggi akan mendorong komunikasi, kerja sama, dan
keharmonisan yang lebih besar di dalam masyarakat. Anggota budaya kolektivis
cenderung berbagi pendapat dan keyakinan yang sama, bekerja menuju
perasaan interdependensi yang harmonis (Griffith et al. 2000). Maka berdasarkan
budaya tersebut dan hubungannya dengan dua dimensi Trust dari McAllister
penelitian Kim (2005) menyatakan bahwa dalam membentuk hubungan
kepercayaan dimensi Affect based Trust lebih dominan untuk budaya
kolektivisme sedangkan dimensi Cognitif Based Trust lebih dominan untuk
budaya individualis. Berdasarkan penelitian tersebut bahwa pemilihan dimensi
Affect Based Trust untuk meningkatkan kualitas Teamwork dengan Metode
Appreciative inquiry di Bagian Tata Usaha sudah tepat.
D. Hipotesis Penelitian
Dari pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ha1: Ada peningkatan Kualitas Teamwork pada kelompok Eksperimen
sebelum dan setelah diberi pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan
kerja dengan metode Appreciative Inquiry lebih tinggi daripada Peningkatan
kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelatihan berakhir.
2. Ha2: Kualitas Teamwork Post-test pada kelompok Eksperimen setelah diberi
pelatihan Affect Based Trust terhadap rekan kerja dengan metode
Appreciative Inquiry lebih tinggi daripada Post-tes Kelompok Kontrol
51
E. Kerangka Berfikir Penelitian
Gambar 2. Kerangka Berfikir Penelitian
Pelatihan
Affect Based
Trust dengan
metode
Appreciative
Inquiry
Kualitas Teamwork Sedang dan tinggi 1. Komunikasi menjadi baik 2. Koordinasi berjalan dengan baik 3. Keseimbangan distribusi pekerjaan berjalan 4. Dukungan sesama pegawai ada 5.Usaha bersama ada 6. Cukup/sangat Kohesiv
Kualitas Teamwork Sedang dan Rendah 1. Komunikasi yang jelek antar staf 2. Koordinasi tidak berjalan dengan baik 3. Keseimbangan distribusi pekerjaan kurang berjalan 4. Dukungan sesama pegawai tidak ada 5.Usaha bersama tidak ada 6. Kurang Kohesiv
Kualitas Teamwork
Kelompok Eksperimen
(Post-test)
Kualitas Teamwork
Kelompok Kontrol
(Pre-test)
Kualitas Teamwork
Kelompok Kontrol
(Post-test)
tidak
diinvertensi
Kualitas Teamwork
Kelompok Eksperimen
(Pre-test)