BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Medik
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Medik
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medik
1. Pengetian
a. Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
Pada dasarnya penimbunan cairan diperitoneum dapat terjadi melalui 2
mekanisme dasar yakni Transudasi (contoh: Sirosis hati dan Hipertensi) dan
Eksudasi. (Amin Huda, 2015)
b. Asites atau hidrop peritoneum adalah penumpukan cairan dalam rongga
peritoneum. (Suharjo, 2014)
c. Asites merupakan suatu keadaan terdapatkan kelebihan cairan di dalam
rongga peritoneal. Istilah Asites berasal dari bahasa Yunani askos yang
berarti kantong atau tas. Ini adalah temuan klinis akumulasi cairan patologi
dalam rongga perut dengan berbagai penyebab, tetapi berkembang lebih
sering sebagai bagian dari dekompensasi penyakit liver kronis asimptomatik
sebelumnya. (Farid Aziz, 2010)
d. Asites pankreatik adalah Asites yang ditandai dengan akumulasi cairan
yang kaya akan amilase (>1000 IU/L) di rongga peritonium akibat disrupsi
duktus pankreatikus atau psedokista yang mengalami kebocoran. (Suharjo,
2014)
e. Asites kilous (chylous ascites) adalah akumulasi cairan yang kaya akan lipid
di rongga peritoneum akibat kebocoran sistem limfatika, yang dapat
disebabkan oleh karena faktor traumatik (pembedahan, radiasi, trauma
10
abdomen) atau non-traumatik (neoplastik, sirosis, infeksi, penyakit jantung,
inflamasi, penyakit usus). (Suharjo, 2014)
f. Asites adalah akumulasi cairan dan sel maligan di kavum peritoneum
sebagai tanda dari karsinomatosis peritoneal. (Suharjo, 2014)
g. Peritoneum adalah suatu membran serosus yang melapisi rongga abdomen
yang terdiri atas lapisan tunggal mesotelium dan membran basemen yang
tipis. Peritoneum menghasilkan cairan yang berfungsi sebagai lubrikan yang
memungkinkan organ yang lain tanpa terjadi perlengketan. Biasanya cairan
ini terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Pada pria, rongga peritoneum
merupakan rongga tertutup dan hanya dijumpai sejumlah kecil cairan
intraperitoneum, sedangkan pada wanita rongga peritoneum berhubungan
dengan organ-organ reproduksi wanita dan bisa dijumpai hingga 20 ml
cairan bebas. (Farid Aziz, 2010)
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap
zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak
dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. Saluran
pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,
usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.
11
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pencernaan
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air
pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan
bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari
mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa
yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari
manis, asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di
hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh
gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih
12
mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian
dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai
mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya
lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.
Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
b. Tenggorokan (faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Skema melintang mulut, hidung,
faring, dan laring Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu
kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan
pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas
dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang.
Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium
c. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltik. Sering juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso –
“membawa”, dan έφαγον, phagus – “memakan”).
13
d. Lambung
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam
keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke
dalam kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang
berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-
enzim.
e. Usus Halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena
porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air
(yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).
Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna
protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah
dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M
Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari
tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum),
dan usus penyerapan (ileum).
f. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus
buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri
14
di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin
K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit
serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam
usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya
lendir dan air, dan terjadilah diare.
g. Usus Buntu (Sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah
anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta
bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia,
burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum
yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil,
yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
h. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu.
Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing.
Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk
nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris,
vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung
yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum
pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar
10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks
selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal
atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
15
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial
(sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi
dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai
appendektomi.
i. Rectum dan Anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah
sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid)
dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di
tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk
buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena
penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana
penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk
periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
j. Pancreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua
fungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon
penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan
berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan
melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas
16
akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah
protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan
dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai
saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium
bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan
asam lambung.
k. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia
dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan
pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan
memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen,
sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile,
yang penting dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan
hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk
hati, hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya
akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan
darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan
pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi
menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk
diolah. Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah
darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi
umum.
17
l. Kantung Empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ
berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang
dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang
kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan
karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang
dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari
melalui saluran empedu.
m.
3. Etiologi
Menurut teori underfilling : hipertensi porta, Hipoalbuminemia yang
mengakibatkan volume cairan plasma menurun. (Amin Huda, 2015). Menurut
teori overfilling : peningkatan aktivitas hormon anti-diuretik (ADH) dan
penurunan aktivitas hormone natriutik mengakibatkan ekspansi cairan plasma
dan reabsorpsi air di ginjal. (Amin Huda, 2015)
4. Insiden
Mungkin tidak ada gejala-gejala yang berhubungan dengan Asites
terutama jika ia adalah ringan (biasanya kurang dari kira-kira 100 – 400 ml
pada kaum dewasa). Ketika lebih banyak cairan berakumulasi, ukuran lilitan
perut dan ukuran yang meningkat umumnya terlihat. Nyeri Perut,
ketidaknyamanan, dan kembung juga sering terlihat ketika Asites menjadi
18
lebih besar. Sesak Napas dapat juga terjadi dengan Asites yang besar yang
disebabkan oleh tekanan pada diaphragm dan migrasi dari cairan keseluruh
diaphragm yang menyebabkan pleural effusions (cairan sekitar paru-paru).
Secara kosmetik perut yang besar yang menjelekkan, yang disebabkan oleh
Asites, juga adalah keprihatinan umum dari beberapa pasien-pasien.
5. Patofisiologi
Akumulasi cairan asites dalam rongga peritoneum menggambarkan
ketidakseimbangan pengeluaran air dan garam. Saat ini penyebarannya belum
diketahui dengan pasti, namun ada beberapa teori yang dikemukakan untuk
menjelaskan mekanisme terbentuknya asites, yaitu:
a. Hipotesis underfilling
Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena sekuestrasi cairan
yang tidak memadai pada pembuluh darah spanknik akibat peningkatan
tekanan portal dan penurunan Effective Arterial Blood Volume (EABV).
Hal tersebut mengakibatkan aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron
dan system persarafan simpatis sehingga terjadi retensi air dan garam.
b. Hipotesis overflow
Berdasarkan hipotesis ini, asites terbentuk karena ketidakmampuan
ginjal dalam mengatasi retensi garam dan air, yang berakibat tidak adanya
penurunan volume. Dasar teori ini adalah kondisi hipervolemia
intravaskuler yang umum dijumpai pada pasien dengan sirosis hati.
19
c. Hipotesis vasodilatasi arteri perifer
Hipotesis ini adalah hipotesis terbaru yang merupakan gabungan dari
kedua hipotesis sebelumnya. Hipertensi portal menyebabkan vasodilatasi
arteri perifer, dan berakibat penurunan EABV. Sesuai dengan perjalanan
alami penyakit, terdapat peningkatan eksitasi neurohormonal, dan
peningkatan retensi natrium oleh ginjal sehingga volume plasma
meningkat. Urutan kejadian antara hipertensi portal dan retensi natrium
ginjal belum jelas. Hipertensi portal juga menyebabkan peningkatan kadar
nitrat oksida. Nitrat oksida merupakan mediator kimia yang menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada arteri
hepatica pasien asites.
Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin, dan hipoalbumine juga
berkontribusi dalam pembentukan asites. Hipoalbuminemia mengakibatkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi ekstravasasi cairan
plasma ke rongga peritoneum. Dengan demikian, asites jarang terjadi pada
pada pasien sirosis tanpa hipertensi portal dan hipoalbuminemia.
6. Tes diagnostik
Pemeriksaan yang paling dasar pada pasien Asites adalah pengukuran
serta pencatatan asupan dan haluaran cairan, pengukuran lingkaran perut dan
berat badan setiap hari, pantau kadar ammonia dan elektrolit dalam serum, dan
pantau nilai albumin dalam darah. Tes ini dapat menemukan cairan dalam
rongga peritoneal. Paracentesis menyediakan sampel cairan untuk analisis.
Temuan ini membantu menentukan penyebab dari ascites: misalnya, temuan
sel-sel ganas dapat menunjukkan tumor
20
7. Penatalaksanaan medik
a. Nutrisi
Membatasi pemasukan sodium (garam) makanan kurang dari 2 jam
per hari. Konsultasi dengan ahli nutrisi dalam rangkan pembatasan garam
harian dapat sangat bermanfaat untuk pasien-pasien dengan Asites.
b. Diuretik
Pemberian diuretik dapat meningkatkan ekskresi air dan garam dari
ginjal. Regimen diuretik yang direkomendasikan kombinasi dari
spironolactone (Aldactone) dan furosemide (Lasix). Dosis tunggal harian
dari 100 miligram spironolactone dan 40 miligram fusosemide adalah dosis
awal yang biasanya direkomendasikan. Ini dapat ditingkatkan secara
berangsur-angsur untuk memperoleh respon yang tepat pada dosis
maksimum 400 miligram spironolactone dan 160 miligram fusosemide,
sepanjang pasien dapat mentolerir peningkatan dosis tanpa efek samping.
c. Therapeutic paracentesis
Untuk pasien-pasien yang tidak merespon dengan baik pada regimen
diatas, therapeutic paracentesis dapat dikeluarkan untuk mengeluarkan
jumlah cairan yang banyak. Sekitar 4 sampai 5 liter dari cairan dapat
dikeluarkan secara aman dengan prosedur ini setiap waktu. Untuk pasien-
pasien dengan malignant Asites, prosedur ini mungkin juga adalah lebih
efektif daripada penggunaan diuretik.
d. Operatif
Untuk kasus yang lebih berat, prosedur operasi mungkin perlu untuk
mengontrol Asites. Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunts (TIPS)
21
adalah prosedur yang dilakukan melalui internal jugular vein dibawah
pembiusan lokal oleh interventional radiologist. Shunt ditempatkan diantara
portal venous system dan systemic venous system sehingga mengurangi
tekanan portal. Prosedur ini dicadangkan untuk pasien yang mempunyai
respon yang minimal pada perawatan medis yang agresif.
e. Transplantasi hati
Transplantasi hati melibatkan proses yang sangat sulit dan
berkepanjangan dan memerlukan pengamatan dan manajemen yang sangat
ketat oleh spesialis transplantasi. (Amin Huda, 2015)
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Wijaya, dkk (2013) pengkajian keperawatan pada pasien dengan
Asites dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
1. Biodata
Biodata terdiri dari identitas klien, orang tua dan saudara
kandung. Identitas klien meliputi : nama, usia, jenis kelamin,
pendidikan, agama, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian,
nomor register dan diagnosa medik. Identitas orang tua meliputi :
alamat, usia, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, sedangkan
identitas saudara kandung meliputi nama dan usia.
2. Keluhan utama
Keluhan utama meliputi alasan klien dibawa ke Rumah Sakit
seperti sesak dan nyeri perut
22
3. Riwayat psikososial
Bagaimana kehidupan sosial dan lingkungannya, apakah keadaan
tempat tinggalnya memenuhi syarat kesehatan.
4. Riwayat spiritual
Apakah anggota keluarga rajin beribadah dan sering mengikuti
kegiatan keagamaan
5. Pemeriksaan fisik persistem
a. Keadaan umum: Klien baik atau tidak
b. Tanda – tanda vital
1. Tekanan darah menurun > 80 mmHg
2. Nadi cepat dan lemah > 100 x/menit
3. Suhu meningkat sampai 38oC
4. Pernapasan meningkat > 40 x/menit
c. Antropometri:
Tinggi Badan (TB) : 148 Cm
Berat Badan (BB) : 48 Kg
d. Sistem pernapasan
Tidak terdapat batuk, pernapasan cuping hidung, batruk dada
normal (Normal Chest), tidak ada retraksi, dan tidak ada suara nafas
tambahan.
e. Sistem kardiovaskuler
Konjungtiva tidak anemis, bibir pucat dan kering, arteri karotis
tidak teraba, vena jugularis tidak tampak, tidak ada pembesaran
jantung, suara jantung S1, S2 kesan murni.
23
f. Sistem pencernaan
Bibir kering sering merasa mual dan muntah terdapat nyeri
tekan pada abdomen.
g. Sistem indra
1. Mata : Kelopak mata, lapang pandang dan visus baik
2. Hidung : Penciuman baik, tidak ada sekret dan tidak terdapat
perdarahan pada hidung
3. Telinga : Membran timpani baik fungsi pendengaran baik
h. Sistem musculoskeletal
Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, serta tulang
i. Sistem integument
a. Adanya petechia pada kulit, turgir kulit menurun, dan muncul
keringat dingin, dan lembab.
b. Kuku sianosis/tidak
c. Kepala dan leher
Bentuk kepala monoskepal, tidak nyeri, tidak ada edema
pada kelopak mata, pertumbuhan alis dan bulu mata merata,
bentuk hidung simetris kiri dan kanan, tidak ada nyeri tulang,
mulut tidak bersih, gigi masih lengkap dan menelan baik. Tidak
ada nyeri pada tenggorokan dan keadaan telinga simetris kiri dan
kanan tidak ada serumen, fungsi pendengaran baik.
j. Sistem endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan limpa pada leher
k. Sistem perkemihan
24
Oedema palpebra tidak ada, distensi kandung kemih tidak ada.
l. Sistem reproduksi
Riwayat kehamilan dengan jumlah anak yang dimiliki
sekarang, tidak terdapat ganggungan sistem reproduksi
m. Sistem immune
Tidak ada alergi terhadap cuaca, bulu binatang dan zat kimia.
n. Pemeriksaan diagnostik
Serum-ascites albumin gradient (SAAG)
Jika > 1,1 mg/dl sangat mungkin serosis hepatis
Jika < 1,1 mg/dl cari penyebab/kausa lain
Neutrofil > 250 /mm3 cairan Asites menunjukkan adanya infeksi
atau gangguan
25
2. Penyimpangan KDM Asites berdasarkan gambaran patofisiologis
ASITES
Kelainan jaringan
parenkim hati
Kronis
Hipertensi
portal
Ekspansi paru
terganggu
Fungsi hati
terganggu
Gangguan metabolisme
vitamin
Sintesis vitamin A,
B complex B12
melalui hati
menurun
Penurunan
produksi sel
darah merah
Anemia
Kelemasan
Hambatan
mobilitas fisik
Inflamasi
akut
Nyeri
Gangguan
pembentukan
empedu
Lemak tidak dapat
diemulsikan dan tidak
dapat diserap oleh usus
halus
Gangguan nutrisi
kurang dari
kebutuhan Peningkatan
peristaltik
Gangguan
keseimbangan cairan
dan elektrolit
Gangguan metabolisme zat
besi
Gangguan
asam folat
Pola nafas
tidak efektif
26
3. Diagnosa Keperawatan
Menurut wijaya, dkk (2013) diagnosa keperawatan pada Asites meliputi:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspensi paru
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intek
tidak kuat, kurang nutrisi makan
c. Devisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang
kurang
d. Nyeri berhubungan dengan injuri biologis (adanya inflamasi pada hati)
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelelahan
4. Rencana Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspensi paru
Tujuan:
1. Tidak menggunakan alat bantu pernapasan
2. Frekuensi, irama kedalam pernapasan dalam batas normal
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1.
2.
3.
Posisikan pasien semi fowler
Auskultasi suara nafas, catat
hasil penurunan daerah
ventilasi atau tidak adanya
Suara advektif
Monitor pernapasan dan status
Untuk memaksimalkan potensi
ventilasi
Memonitor kepatenan jalan nafas
Memonitor respirasi
27
1 2 3
4.
5.
oksigen yang sesuai
Kolaborasi dalam pemberian
oksigen terapi
Monitor aliran oksigen
Meningkatkan ventilasi dan
asupan oksigen
Menjaga aliran oksigen
mencukupi kebutuhan pasien
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk makanan.
Tujuan:
1. Intake nutrisi tercukupi
2. Asuhan makanan dan cairan tercukupi
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1.
2.
3.
4.
Ajarkan pasien makan sedikit
demi sedikit tapi sering
Anjurkan pasien untuk
mengkonsumsi makanan tinggi
zat seperti sayuran hijau
Berikan informasi yang tepat
terhadap pasien tentang
kebutuhan nutrisi yang tepat
dan sesuai
Anjurkan untuk menjaga
Makan sedikit demi sedikit dapat
meningkatkan intake nutrisi
Zat besi dapat membantu tubuh
sebagai zat penambah darah
sehingga mencegah terjadinya
anemia atau kekurangan darah
Infomasi yang diberikan dapat
memotivasi pasien untuk
meningkatkan intake nitrisi
Mulut yang bersih dapat
28
1 2 3
kebersihan mulut, anjurkan
untuk selalu melakukan oral
hygiene
meningkatkan nafsu makan
c. Devisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang
kurang
Tujuan:
Tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1.
2.
3.
4.
Penatalaksaanan dengan
pemberian cairan infus
Anjurkan klien minum
sedikit-sedikit tetapi sering
Monitor asupan cairan
Lakukan perawatan infus
Mencegah terjadinya dehidrasi
Untuk memenuhi kebutuhan
cairan
Untuk mengetahui jumlah cairan
sesuai yang telah diprogramkan
Untuk mencegah terjadinya
bendungan cairan (phlebitis)
d. Nyeri berhubungan dengan injuri biologis (adanya inflamasi pada hati)
Tujuan:
1. Skala nyeri 0
2. Tidak nyeri pada perut
29
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1.
2.
3.
4.
5.
Catat lokasi lamanya intensitas
skala (1-10) penyebab nyeri
Ukur TTV
Anjurkan tindakan manajemen
nyeri dengan teknik relaksasi
nafas dalam
Berikan tindakan nyaman
seperti mengelus perut
Kolaborasi pemberian analgetik
Membantu mengevaluasi tempat
obstruksi dan penyebabnya
Pada nyeri biasanya tekanan
darah dan nadi meningkat
Membantu menggerakkan
kembali perhatian dan untuk
relaksasi otot
Meningkatkan relaksasi
Untuk mengurangi nyeri
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelelahan
Tujuan:
Dapat melakukan mobilitas dengan normal
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Monitor keterbatasan aktivitas
Bantu pasien dalam melakukan
aktivitas sendiri
Pertahankan posisi yang
nyaman
Merencanakan intervensi dengan
tepat
Pasien dapat memilih dan
merencanakan sendiri
Mencegah iritasi dan komplikasi
2.
3.
30
1
4.
5.
2
Cegah pasien jatuh
Lakukan catatan aktif
3
Mempertahankan keamanan
pasien
Membantu dalam
mempertahankan dan
meningkatkan kekuatan
kelenturan otot
5. Implementasi
Fase implementasi dari proses keperawatan mengikuti rumusan dari
rencana keperawatan. Implementasi mengacu pada pelaksanaan intervensi
keperawatan yang sudah disusun. Perawat memikul tanggung jawab untuk
implementasi tetapi melibatkan pasien dan keluarga serta anggota tim
keperawatan dan anggota tim kesehatan yang lain sesuai kebutuhan.
6. Evaluasi
a. Pola nafas efektif dengan kriteria:
1. Tidak menggunakan alat bantu pernapasan
2. Frekuensi, irama kedalam pernapasan dalam batas normal
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria:
1. Intake nutrisi tercukupi
2. Asuhan makanan dan cairan tercukupi
c. Devisit volume teratasi dengan kriteria:
Tidak mengalami rasa haus yang berlebihan dan tidak terdapat tanda-tanda
dehidrasi
31
d. Nyeri teratasi dengan kriteria:
1. Tidak nyeri ketika berkemih
2. Tidak nyeri pada perut
e. Tidak terjadi hambatan mobilitas dengan kriteria:
Dapat melakukan mobilitas dengan normal