BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kejadian Infeksi Saluran...

21
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 1. Pengertian ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2001). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, mengenai struktur saluran di atas laring, kebanyakan mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus rongga telinga tengah dan pleura. 2. Klasifikasi ISPA Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : a. ISPA ringan Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kejadian Infeksi Saluran...

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

1. Pengertian ISPA

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut,

istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory

Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan

atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung (saluran pernapasan atas)

sampai alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2001).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran

pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang

berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas

laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan

bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah

infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan

paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, mengenai struktur saluran

di atas laring, kebanyakan mengenai bagian saluran atas dan bawah secara

stimulan atau berurutan mulai dari hidung (saluran pernapasan atas) sampai

alveoli (saluran pernapasan bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti

sinus rongga telinga tengah dan pleura.

2. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk

pilek dan sesak.

8

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala gejala sesak napas, suhu tubuh lebih

dari 390

C dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi : kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

3. Penyebab ISPA

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke saluran

nafas. Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, seperti halnya

pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah dan kepadatan hunian

rumah. Pencemaran udara dalam rumah yang sangat berpengaruh terhadap

kejadian ISPA adalah asap pembakaran yang digunakan untuk memasak.

Dalam hal ini misalnya bahan bakar kayu. Selain itu, asap rokok yang

ditimbulkan dari salah satu atau lebih anggota yang mempunyai kebiasaan

merokok juga menimbulkan resiko terhadap terjadinya ISPA (Depkes RI,

2002).

Menurut Notoatmodjo (2007), ventilasi rumah dibedakan menjadi

dua yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Ventilasi alamiah yaitu

dimana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui

jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-lubang pada dinding. Ventilasi

alamiah tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya

nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Ventilasi buatan yaitu dengan

menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara misalnya kipas angin

dan mesin penghisap udara. Namun alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah

di pedesaan.

Ventilasi rumah yang kurang akan lebih memungkinkan timbulnya

ISPA pada bayi dan anak balita karena mereka lebih lama berada di rumah

sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

9

4. Faktor Resiko ISPA

Menurut Depkes RI (2002), faktor resiko terjadinya ISPA secara

umum yaitu :

a. Faktor lingkungan

1) Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru

sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi

pada rumah yang ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam

rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita

bermain.

2) Ventilasi rumah

Ventilasi adalah proses penyediaan udara atau pengarahan udara ke

atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Membuat

ventilasi udara serta pencahayaan di dalam rumah sangat diperlukan

karena akan mengurangi polusi asap yang ada di dalam rumah

sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang

lama kelamaan bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Luas

penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari

luas lantai.

3) Kepadatan hunian rumah

Kepadatan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor

polusi dalam rumah yang telah ada. Begitu juga keadaan jumlah kamar

yang penghuninya lebih dari dua orang, karena bisa menghalangi

proses pertukaran udara bersih sehingga menjadi penyebab terjadinya

ISPA.

10

b. Faktor individu anak

1) Umur anak

Insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia

dini pada anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA

tertinggi pada umur 6-12 bulan.

2) Berat badan lahir

Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan mengalami

lebih berat infeksi pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakan

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih

mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran

pernapasan lainnya.

3) Status gizi

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan

tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita

tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.

Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ ISPA berat “

bahkan serangannya lebih lama.

c. Faktor perilaku

Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,

baik yang diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar. Perilaku terdiri dari persepsi (perseption), respon terpimpin

(guided respon), mekanisme (mechanisme), dan adopsi (adoption)

(Notoatmodjo, 2003). Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dilihat dari bentuk respon

terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau

tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih

11

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan

belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2) Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktek yang mudah dan dapat diamati atau dilihat oleh

orang lain.

Selain itu, Skinner (dalam Notoatmodjo, 2003) juga

mengemukakan bahwa perilaku adalah hasil hubungan antara stimulus

(perangsang) dan respon (tanggapan). Dalam perilaku kesehatan, respon

seseorang terhadap stimulus akan berkaitan dengan sakit atau penyakit,

sistem pelayanan kesehatan, serta lingkungan. Sedangkan perilaku orang

terhadap penyakit adalah cara manusia berespon, baik secara pasif

(mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan tentang suatu penyakit yang

ada pada dirinya dan diluar dirinya) yang dilakukan sehubungan dengan

penyakit tersebut maupun secara aktif yaitu dengan melakukan tindakan

tersebut.

Determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku

merupakan hasil dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal

(lingkungan). Faktor internal mencakup pengetahuan, persepsi, emosi, dan

motivasi, yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan

faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik,

seperti manusia dan sosial ekonomi (Notoadmodjo, 2003). Perilaku

manusia dapat dilihat dari tiga aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan sosial.

Secara lebih terperinci perilaku manusia merupakan refleksi dari

berbagai gejala kejiwaan, seperti: pengetahuan, sikap, keinginan,

kehendak, minat dan motivasi (Notoatmodjo, 2003). Konsep umum yang

digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence

12

Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003). Lawrence Green

menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :

1) Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor–faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi

terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah

pengetahuan dan sikap seseorang atau masyarakat tersebut terhadap

apa yang akan dilakukan. Misalnya, dengan pengetahuan yang dimiliki

ibu tentang penyakit ISPA maka dia akan dapat mengambil sikap

mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah penyakit

tersebut.

2) Faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,

sarana atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi

terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Misalnya, untuk

pengobatan kejadian ISPA pada anak maka diperlukan tenaga

kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan

rumah sakit.

3) Faktor penguat (reinforcing factors)

Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang–kadang belum

menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Dengan

adanya pengalaman pribadi serta adanya pengaruh dari luar seperti

teman maka akan dapat memperkuat terjadinya perilaku.

Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang

tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

1) Kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

2) Ketertarikan (interest) terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini

sikap subyek sudah mulai timbul.

13

3) Penilaian (evaluation) terhadap baik buruknya stimulus tersebut bagi

dirinya.

4) Trial, dimana subyek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai

dengan apa yang dikehendaki stimulus.

5) Adoption, dimana subyek telah berperilaku sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.

Dari hasil penelitian sebelumnya, Roger menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap–tahap tersebut diatas.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses

seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif,

maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya,

apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap

tersebut maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003).

Green dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku

kesehatan dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pendahulu) yang terwujud

dalam pengetahuan, sikap, dan praktik, maka dapat dijabarkan sebagai

berikut :

1) Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan,

pendengaran, peraba, pembau, dan perasa. Sebagian besar

pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari

pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari

pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang

kita ketahui tentang suatu objek tertentu dan setiap jenis pengetahuan

14

mempunyai ciri–ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana

(epistemology) dan untuk apa (aksiology) pengetahuan tersebut

(Notoatmodjo, 2000).

2) Sikap

Banyak teori yang mendefinisikan sikap antara lain adalah

sikap seseorang adalah predisposisi untuk memberikan tanggapan

terhadap rangsang lingkungan yang dapat memulai atau

membimbing tingkah laku orang tersebut. Secara definitif sikap berarti

suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang disiapkan untuk

memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasikan

melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak

langsung pada praktik / tindakan (Notoatmodjo, 2003).

New Comb (Notoadmodjo, 2003) salah seorang ahli psikologi

sosial mengatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan

untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi

merupakan prodisposisi tindak suatu perilaku, sikap itu masih

merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau

tingkah laku yang terbuka, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap obyek-obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap obyek.

Sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, menurut

Notoatmodjo (2003) :

a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (obyek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

15

sikap. Karena itu suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan

atau mengerjakan tugas yang diberikan itu benar atau salah, berarti

orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi bersikap.

d. Bertanggung Jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Faktor-faktor mempengaruhi pembentukan sikap menurut

Azwar (2003) antara lain :

a. Pengalaman Pribadi

Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan

dalam stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar

dalam pembentukan sikap, untuk dapat memiliki tanggapan dan

penghayatan seseorang harus memiliki tanggapan dan penghayatan

seseorang harus memiliki pengamatan yang berkaitan dengan

obyek psikologis. Menurut Breckler dan Wiggins (Azwar, 1998)

bahwa sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan

pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Pengaruh

langsung tersebut dapat berupa predisposisi perilaku yang akan

direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi memungkinkan.

b. Orang lain

Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang disesuaikan atau

sejalan dengan sikap yang dimiliki orang yang dianggap

berpengaruh antara lain adalah ; Orang tua, teman dekat, teman

sebaya, rekan kerja, guru, suami atau istri.

16

c. Kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan

sikap seseorang.

d. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi,

radio, surat kabar, mempunyai pengaruh yang cukup besar

terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam

membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarah

pada opini yang kemudian dapat mengakibatkan adanya landasan

kognisi sehingga mampu membentuk sikap.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama suatu sistem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan

keduanya meletakkan dasar dan pengertian dan konsep moral

dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk antara

sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari

pendidikan dan pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. Faktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap

merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi

sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan

sikap yang sementara dan segera berlalu. Begitu frustasi telah

hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap lebih persisten dan

bertahan lama.

3) Praktik atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap yang baik terhadap kejadian ISPA belum otomatis

terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi

17

suatu perbuatan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang

memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Tingkat-tingkat praktik :

a. Persepsi (Perseption)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan

tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat

pertama.

b. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan praktik hygiene perseorangan untuk mencegah

keputihan sesuai dengan urutan yang benar dengan contoh adalah

merupakan indicator praktik tingkat dua.

c. Mekanisme (Mecanism)

Apabila seseorang telah melakukan praktik personal hygiene untuk

mencegah keputihan dengan benar otomatis, maka sudah mencapai

praktik tingkat tiga .

d. Adaptasi (Adaptation)

Adalah suatu praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya

sesuatu itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit

ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA

di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun oleh anggota keluarga

lainnya. Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA

sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada

sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat

perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang

balita, sehingga itu balita dan anggota keluarganya yang sebagian besar

dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA

ketika anaknya sakit.

18

5. Tanda gejala ISPA

Menurut Depkes RI (2003) tanda dan gejala penyakit ISPA dapat berupa

batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam, dan sakit kepala.

Menurut Vietha ( 2009 ), tanda dan gejala dari ISPA adalah pilek biasa, keluar

sekret cair dan jernih dari hidung, kadang bersi – bersin, sakit tenggorokan,

batuk, sakit kepala, skret menjadi kental, demam, neusea, muntah, dan

anoreksia.

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas

memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas

bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat

dan retratesi dada. Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali

yaitu flu, demam, dan suhu tubuh anak meningkat lebih dari 38,5○C dan

disetai sesak nafas. Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi

3 golongan yaitu : ISPA ringan (bukan pneumonia), ISPA sedang

(pneumonia) dan ISPA berat (pneumonia berat). Kusus untuk bayi di bawah 2

bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA ringan ( tidak ada ISPA sedang ).

Batasan ISPA berat untuk bayi kurang dari 2 bulan adalah bik frekuensi

nafasnya sepat ( 60 kali / menit ) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat.

Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang / ISPA

berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapat

perawatan / daya tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat

dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat

memerlukan beberapa pengamatan sederhana (Yasir, 2009).

6. Kejadian ISPA

Setiap tahun diperkirakan 4 juta anak balita meninggal karena ISPA

(terutama pneumonia dan bronkiolitis) antara 71-140 per 1000 kelahiran

hidup. Pada tahun 2007 penyebab kematian dengan kasus pnemonia sebanyak

3,8%. Diperkirakan bahwa proposi penyakit menular di Indonesia dalam 12

tahun ini telah menurun, sepertiganya dari 44% menjadi 28% (Depkes, 2008).

19

Data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebutkan bahwa jumlah

penderita ISPA pada tahun 2011 tercatat 58.627 kasus. Data tersebut di

antaranya berasal dari 37 Puskesmas yang ada di kota Semarang. Tercatat

Puskesmas Bangetayu Semarang terdapat 4.512 kasus penyakit ISPA. Angka

ini merupakan angka tertinggi di seluruh Puskesmas kota Semarang (Dinas

Kesehatan Kota Semarang, 2011).

7. Pencegahan ISPA

Pengobatan pasien ISPA menurut buku pedoman penatalaksanaan.

penderita ISPA untuk Departemen Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa

penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan

pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif

masyarakat terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan

rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait.

a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)

Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap

sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia.

Termasuk disini ialah :

1) Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini

diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap

hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA.

Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA,

penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi

seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan

rumah, penyuluhan bahaya rokok.

2) Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi

angka kesakitan (insiden) pneumonia.

3) Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi

vitamin A.

20

4) Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan

lahir rendah.

5) Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani

masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.

b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)

Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini

mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi

ISPA yaitu :

1) Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :

a) Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak

mengalami sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan

dinding dada yang hebat), terapi antibiotik dengan memberikan

benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.

b) Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan,

nasihati ibu untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI

secara sering, dan bersihkan sumbatan pada hidung jika sumbatan

itu menggangu saat memberi makan.

2) Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :

a) Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen,

terapi antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara

intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak terjadi perbaikan

(biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi

kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan suportif,

hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali

sehari.

b) Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi

antibiotic dengan memberikan benzilpenesilin secara

intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari, obati

21

demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian

terapi cairan, nilai ulang setiap hari.

c) Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan

kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin

prokain intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan

perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah

2 hari.

d) Bukan Pneumonia (batuk atau pilek) : obati di rumah, terapi

antibiotik sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk

batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk memberikan

perawatan di rumah.

e) Pneumonia Persisten : rawat (tetap opname), terapi antibiotik

dengan memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati

kemungkinan adanya infeksi pneumokistik, perawatan suportif,

penilaian ulang.

c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak

bertambah parah dan mengakibatkan kematian.

1) Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah

pemberian kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi

dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu

pneumonia stafilokokus.

2) Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian

benzilpenisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah

pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan

ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda

pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab

pneumonia persistensi.

22

3) Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan

periksa adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat,

demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan

kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding

dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu

rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat.

Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda

pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti

antibiotik dan pantau secara ketat.

B. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi setelah orang melalui panca indra manusia, yakni : indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperolah melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Sebelum seseorang

mengadopsi perilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat

perilaku bagi dirinya atau keluarganya.

Usaha untuk tahu ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan

terhadap suatu objek tertentu. Pengideraan ini terjadi melalui panca indra

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

23

2. Tingkatan-tingkatan pengetahuan

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu merupakan tingkatan pengetahuan paling rendah. Tahu artinya

dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan

materi tersebut secara benar.

c. Penerapan (application)

Penerapan artinya suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata (sebenarnya), dengan

menggunakan hokum-hukum, rumus, metode, dan sebagainya dalam

situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Ukuran

kemampuan adalah ia dapat menggambarkan, membuat bagan,

membedakan, memisahkan, mengelompokkan.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

24

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi yaitu suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau

disusun sendiri.

3. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo

(2007), yaitu :

a. Tingkat Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka dia akan lebih mudah

dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula untuk

menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

b. Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan

memberikan pengetahuan yang jelas.

c. Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang,

karena informasi-informasi baru akan di saring kira-kira sesuai dengan

kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.

d. Pengalaman

Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan individu,

maksudnya pendidikan yang tinggi pengalaman akan luas sedang umur

semakin banyak (bertambah tua).

e. Sosial Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan

dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut pengetahuan yang di

miliki harus dipergunakan semaksimal mungkin. begitupun dalam mencari

bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan

pendapatan keluarga.

25

4. Cara memperoleh pengetahuan

Ada berbagai macam cara untuk mencari atau memperoleh kebenaran

pengetahuan sepanjang sejarah, yaitu : (Notoatmodjo, 2007)

a. Cara tradisional

Untuk memperoleh pengetahuan, cara kuno atau tradisional dipakai orang

memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode

ilmiah untuk metode penemuan secara sistematik dan logis.

b. Cara coba-salah (Trial and error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan

mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila

menghadapi persoalan untuk masalah, upaya pemecahannya dilakukan

dengan cara coba-coba saja. Dimana metode ini telah digunakan orang

dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah.

Bahkan sekarang ini metode coba-coba masih sering dipergunakan

terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui cara

memecahkan masalah.

c. Kekuasaan atau otoritas

Kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan dan tradisi-tradisi

yang dilakukan oleh orang tanpa melakukan penalaran apakah yang

dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya diwariskan

turun temurun dari generasi berikutnya. Dimana pengetahuan, diperoleh

berdasarkan otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah,

otoritas pemimpin agama, otoritas ilmu pengetahuan.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman adalah guru yang baik, dimana pengalaman itu merupakan

sumber pengetahuan, atau pengetahuan itu merupakan suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman pribadipun dapat

digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Perlu diperhatikan

26

bahwa tidak semua pengalaman pribadi dapat menuntun seseorang untuk

menarik kesimpulan dengan benar, maka perlu berfikir kritis dan logis.

e. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau metodologi penelitian,

dimana cara ini mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap

gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasil pengamatannya

tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya diambil

kesimpulan umum.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang bertujuan untuk mengetahui atau menanyakan tentang isi materi

yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pengetahuan yang akan ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita

sesuaikan dengan tingkat pengetahuan yang akan kita ketahui, dalam hal ini

tentang penyakit ISPA.

C. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Depkes RI (2002)

Faktor penyebab ISPA:

a. Faktor lingkungan

1) Pencemaran udara dalam

rumah

2) Ventilasi rumah

3) Kepadatan hunian rumah

b. Faktor individu anak

1) Umur anak

2) Berat badan lahir

3) Status gizi

c. Faktor perilaku (dipengaruhi oleh

sikap, pengetahuan ibu,

ketersediaan sarana dan

prasarana, pengaruh media masa,

pembinaan tenaga kesehatan, dan

keyakinan).

Pengetahuan

Ibu tentang

ISPA

Kejadian

ISPA

Perilaku

kesehatan

27

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Teori

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah

pengetahuan ibu tentang ISPA.

2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kejadian

ISPA.

F. Hipotesa

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan

yang bermakna antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada

balita di wilayah Puskesmas Bangetayu Semarang”.

Kejadian ISPA Pengetahuan Ibu

tentang ISPA