BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gerakan Keluarga Sadar Obat …

29
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) merupakan upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan sekaligus mencerdaskan masyarakat dalam berperilaku sehat, khusunya terkait dengan obat. Secara nasional gerakan ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh profesi apoteker di Indonesia walaupun sebenarnya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang obat telah banyak dilakukan baik secara individu oleh apoteker maupun institusi terkait. Dengan demikian gerakan ini merupakan akumulasi dinamika profesi apoteker yang menyadari pentingnya melakukan gerakan secara nasioanl untuk mempercepat tercapainya kondisi masyarakat yang sadar dan selanjutnya menjadi cerdas serta mampu secara mandiri melakukan perilaku sehat dan bertanggung jawab, khususnya terkait dengan obat (PP IAI, 2014). Salah satu upaya yang dapat dialkuakan untuk meningkatkan kesadaan masyarakat terhadap obat adalah dengan melakukan penyuluhan Gerakan Keluarga Sadar Obat. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) adalah program yang dicanangkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang merupakan upaya bersama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat melalui sosialisasi DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang) obat yang benar. Sehingga masyarakat terhindar dari dampak buruk akibat penggunaan obat yang tidak tepat (Satrio, Mulia, Qamariah, 2016). Menurut Pedoman Pelaksanaan Gerakan Sadar Obat (2014) dalam pelaksanaannya tentu kegiatan ini tidak lepas dari hal-hal yang bersifat hambatan baik internal (kelemahan) maupun eksternal (ancaman) serta hal-hal yang bersifat dukungan baik internal (kekuatan) maupun eksternal (peluang). Secara garis besar perkiraan keadaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kelemahan a. Kurangnya kesadaran apoteker untuk menjadi enaga profesi yang menjamin keamanan, kemanfaatan, dan kualitas obat.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gerakan Keluarga Sadar Obat …

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO)

Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) merupakan upaya

meningkatkan kesadaran masyarakat dan sekaligus mencerdaskan masyarakat

dalam berperilaku sehat, khusunya terkait dengan obat. Secara nasional

gerakan ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh profesi apoteker di

Indonesia walaupun sebenarnya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat

tentang obat telah banyak dilakukan baik secara individu oleh apoteker maupun

institusi terkait. Dengan demikian gerakan ini merupakan akumulasi dinamika

profesi apoteker yang menyadari pentingnya melakukan gerakan secara

nasioanl untuk mempercepat tercapainya kondisi masyarakat yang sadar dan

selanjutnya menjadi cerdas serta mampu secara mandiri melakukan perilaku

sehat dan bertanggung jawab, khususnya terkait dengan obat (PP IAI, 2014).

Salah satu upaya yang dapat dialkuakan untuk meningkatkan kesadaan

masyarakat terhadap obat adalah dengan melakukan penyuluhan Gerakan

Keluarga Sadar Obat. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) adalah program

yang dicanangkan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) yang merupakan

upaya bersama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat

melalui sosialisasi DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, Buang) obat

yang benar. Sehingga masyarakat terhindar dari dampak buruk akibat

penggunaan obat yang tidak tepat (Satrio, Mulia, Qamariah, 2016).

Menurut Pedoman Pelaksanaan Gerakan Sadar Obat (2014) dalam

pelaksanaannya tentu kegiatan ini tidak lepas dari hal-hal yang bersifat

hambatan baik internal (kelemahan) maupun eksternal (ancaman) serta hal-hal

yang bersifat dukungan baik internal (kekuatan) maupun eksternal (peluang).

Secara garis besar perkiraan keadaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kelemahan

a. Kurangnya kesadaran apoteker untuk menjadi enaga profesi yang menjamin

keamanan, kemanfaatan, dan kualitas obat.

9

b. Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) merupakan gerakan nasional baru yang

melihatkan dan menuntut komitmen tinggi seluruh tenaga kesehatan khususnya

apoteker, sehingga memerlukan proses sosialisasi.

c. Sedikitnya tenaga apoteker yang berada di pelosok desa.

2. Ancaman

a. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap obat sehingga komoditi kesehatan

yang juga dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan pengobatan.

b. Lemahnya dukungan infrastruktur kesehatan terhadap profesi apoteker sebagai

tenaga kesehatan yang bertanggung jawab terhadap keamanan, kemanfaatan

dan kualitas obat.

c. Banyaknya informasi tentang obat yang hanya mengutamakan aspek bisnis

sehingga meninggalkan fungsi edukasi bagi masyarakat.

d. Krisis ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia memperburuk/

memperlemah kondisi masyarakat sehingga mudah dipengaruhi oleh hal-hal

yang tidak rasional.

3. Kekuatan

a. Jumlah pendidikan tinggi farmasi dan lulusan apoteker sudah cukup banyak.

b. Sistem sertifikasi profesi dapat menjadi pendorong bagi apoteker untuk secara

aktif terlibat dalam gerakan Gerakan Keluarga Sadar Obat.

4. Peluang

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berasaskan pada upaya prefentif

serta promotif berhubungan secara bermakna dan sejalan dengan Gerakan

Keluarga Sadar Obat.

Adapun tujuan dari Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) yaitu:

tercapainya pemahan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya obat

sebagai komoditi kesehatan, tercapainya kemandirian masyarakat dalam

menilai dan memilih informasi yang beredar di masyarakat terkait obat,

tercapainya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap DAGU PIPI SIBU

(Dapatkan, Gunakan, Pilih-Pilih, Simpan dan Buang), serta tercapainya

kemandirian masyarakat dalam menjauhkan diri dari obat dan bahan

berbahaya, obat palsu dan sebagainya (PP IAI, 2014).

10

B. DAGUSIBU (Dapatkan,Gunakan,Simpan dan Buang)

DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang) adalah program

yang dibuat oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dalam rangka pelaksanaan

Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO). DAGUSIBU berupa kegiatan

pemberian pemahan dan keterampilan kepada masyarakat agar dapat

memperlakukan obat dengan baik, kegiatan ini sudah banyak dilakukan guna

mempercepat terwujudnya GKSO (PP IAI, 2014). Salah satu cara pengolahan

obat yang baik dan benar adalah DAGUSIBU, cara ini menjelaskan tatacara

pengolahan dari awal mereka mendapatkan hingga saat obat sudah tidak

dikonsumsi lagi dan akhirnya dibuang (Puspasari, Harida, Fitriyani, 2018).

Saat ini, akses masyarakat terhadap obat-obatan semakin mudah. Namun,

hal tersebut tidak disertai dengan pemahaman yang benar terhadap obat-obatan.

Akibatnya, hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah terkait obat

seperti penyalahgunaan sampai dengan pembuangan obat secara sembarangan.

Oleh karena itu, masyarakat perlu diberi pengetahuan dan keterampilan yang

benar tentang cara mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang

obat (DAGUSIBU) (Sinulingga, dkk, 2019).

Karena kenyataannya masih banyak yang belum mengetahui cara

mendapatkan, menggunakan, menyimpan dan membuang obat yang benar.

Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai Dagusibu (Depkes, 2008; BPOM,

2015).

1. Cara Mendapatkan Obat

Masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan dan obat dari

sarana resmi seperti: rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau

membeli obat sendiri di apotek atau toko obat berizin.

Pada waktu menerima obat dari petugas kesehatan di rumah sakit,

puskesmas, apotek, atau toko obat, diwajibkan melakukan pemeriksaan fisik

obat dan mutu obat yang meliputi :

a. Jenis dan jumlah obat

b. Kemasan obat

c. Kadaluarsa obat

d. Kesesuaian etiket meliputi nama, tanggal, dan aturan pakai.

11

Setiap obat yang beredar selalu memiliki informasi tentang obat yang

menyertainya pada kemasan obat dan brosur atau leaflet. Yang harus

diperhatikan pada saat membeli obat adalah memperhatikan isi dari penandaan

diantaranya:

a. Nama obat

Nama obat pada kemasan terdiri dari nama dagang dan nama zat aktif yang

terkandung didalamnya. Contoh: nama dagang (Panadol), nama zat aktif

(Parasetamol/ Acetaminophen)

b. Komposisi obat

Informasi tentang zat aktif yang terkandung didalam suatu obat, dapat

merupakan zat tunggal atau kombinasi dari berbagai macam zat aktif dan

bahan tambahan lain.

c. Indikasi

Informasi mengenai khasiat obat untuk suatu penyakit. Pastikan indikasi obat

yang tercantum dalam kemasan tidak luntur.

d. Aturan pakai

Informasi mengenai cara penggunaan obat yang meliputi waktu dan berapakali

obat tersebut digunakan.

e. Peringatan perhatian

Tanda peringatan yang harus diperhatikan pada setiap kemasan obat bebas dan

obat bebas terbatas.

f. Tanggal kadaluwarsa (Expiry Date)/ED

Tanggal yang menunjukkan berakhirnya masa kerja obat. Batas waktu jaminan

produsen terhadap kualitas produk.

g. Nama produsen

Nama Industri Farmasi yang memproduksi obat.

h. Nomor batch/lot

Nomor kode produksi yang dikeluarkan oleh Industri Farmasi.

i. Harga eceran tertinggi

Harga jual obat tertinggi yang diperbolehkan oleh pemerintah.

j. Nomor registrasi

Adalah tanda ijin edar absah yang diberikan oleh pemerintah.

12

Berikut ini hal yang harus diingat dalam pemilihan obat:

a. Alergi atau reaksi yang tidak diinginkan yang pernah dialami terhadap obat

tertentu.

b. Wanita dalam kondisi hamil atau merencanakan untuk hamil, karena beberapa

obat dapat mempengaruhi janin sehingga dapat menyebabkan cacat pada bayi.

c. Wanita yang sedang menyusui, sebab beberapa obat dapat masuk ke dalam air

susu ibu dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada bayi.

d. Diet yang sedang dilakukan misalnya minum obat diet, atau diet rendah garam,

atau diet rendah gula, mengingat selain mengandung bahan berkhasiat obat

juga mengandung bahan tambahan lain seperti pemanis.

e. Sedang minum obat lain.

2. Cara Menggunakan Obat

Obat pada dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan dosis

tertentu, dan dengan penggunaan yang tepat, dapat dimanfaatkan untuk

mendiagnosa, mencegah penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan.

(Depkes, 2008).

Penggunaan obat berpedoman kepada penggunaan obat rasional yang

mengacu prinsip :

a. Ketepatan diagnosa.

b. Ketepatan indikasi penggunaan obat.

c. Ketepatan pemilihan obat.

d. Ketepatan dosis, cara dan lama pemberian.

e. Ketepatan pemberian informasi kepada pasien mengenai cara

f. penggunaan obat dan penyimpanannya.

g. Cara pemberian informasi obat kepada pasien/masyarakat harus mudah

h. dimengerti, singkat tetapi jelas.

Informasi yang harus diketahui oleh kader kesehatan untuk disampaikan

kepada pasien, adalah :

a. Cara minum obat sesuai anjuran yang tertera pada etiket atau brosur.

Penggunaan obat tanpa petunjuk langsung dari dokter hanya boleh untuk

penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas serta untuk masalah kesehatan

yang ringan.

13

b. Waktu minum obat , sesuai dengan waktu yang dianjurkan :

1) Pagi, berarti obat harus diminum antara pukul 07.00 - 08.00 WIB.

2) Siang, berarti obat harus diminum anara pukul 12.00 -13.00 WIB.

3) Sore, berarti obat harus diminum antara pukul 17.00-18.00 WIB.

4) Malam, berarti obat harus diminum antara pukul 22.00-23.00 WIB.

c. Aturan minum obat yang tercantum dalam etiket harus di patuhi.

Bila tertulis :

1) 1 (satu) kali sehari, berarti obat tersebut diminum waktu pagi hari atau malam

hari, tergantung dari khasiat obat tersebut.

2) 2 (dua) kali sehari, berarti obat tersebut harus diminum pagi dan malam hari.

3) 3 (tiga) kali sehari, berarti obat tersebut harus diminum pada pagi, siang dan

malam hari.

4) 4 (empat) kali sehari, berarti obat tersebut haus diminum pada pagi, siang,

sore dan malam hari.

5) Minum obat sampai habis, berarti obat harus diminum sampai habis, biasanya

obat antibiotika.

d. Penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas tidak dimaksudkan untuk

penggunaan secara terus – menerus.

e. Hentikan penggunaan obat apabila tidak memberikan manfaat atau

menimbulkan hal–hal yang tidak diinginkan, segera hubungi tenagakesehatan

terdekat.

f. Sebaiknya tidak mencampur berbagai jenis obat dalam satu wadah.

g. Sebaiknya tidak melepas etiket dari wadah obat karena pada etiket tersebut

tercantum cara penggunaan obat dan informasi lain yang penting.

h. Bacalah cara penggunaan obat sebelum minum obat, demikian juga periksalah

tanggal kadaluarsa.

i. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama.

j. Tanyakan kepada apoteker di apotek atau petugas kesehatan di poskesdes untuk

mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap.

Pada saat dilakukan pengobatan dengan menggunakan dosis yang normal,

sering timbul efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping ini terjadi

setelah beberapa saat minum obat. Efek samping ini dapat terjadi pada saluan

14

pencernaan berupa rasa mual, diare, perut sembelit, dapat juga terjadi pada

kulit, berupa bercak merah, gatal, rasa panas pada kulit, selain itu juga dapat

menyebabkan wajah menjadi bengkak, sesak nafas dan sebagainya. (Depkes,

2008).

Efek samping obat adalah setiap respon obat yang merugikan akibat

penggunaan obat dengan dosis atau takaran normal. Beberapa hal yang perlu

diketahui tentang efek samping obat adalah sebagai berikut :

a. Biasanya efek samping obat terjadi setelah beberapa saat minum obat.

b. Perhatikan kondisi pasien, misalnya ibu hamil, ibu menyusui, lansia, anakanak,

penderita gagal ginjal, jantung dan sebagainya. Pada penderita tersebut harus

lebih berhati-hati dalam memberikan obat.

c. Informasi tentang kemungkinan terjadinya efek samping obat, biasanya terdapat

pada brosur kemasan obat, oleh karena itu bacalah dengan seksama kemasan

atau brosur obat, agar efek samping yang mungkin timbul sudah diketahui

sebelumnya, sehingga dapat dilakukan rencana penanggulangannya (Depkes,

2008).

Efek samping yang biasa terjadi :

a. Pada kulit, berupa rasa gatal, timbul bercak merah atau rasa panas.

b. Pada kepala, terasa pusing.

c. Pada saluran pencernaan, terasa mual, dan muntah, serta diare.

d. Pada saluran pernafasan, terjadi sesak nafas.

e. Pada jantung terasa dada berdetak kencang (berdebar-debar).

f. Urin berwarna merah sampai hitam.

Hal yang harus dilakukan apabila timbul efek samping obat :

a. Hentikan minum obat.

b. Mencari pertolongan ke sarana kesehatan, puskesmas/rumah sakit/dokter

terdekat.

3. Cara Menyimpan Obat

Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, perlu diberikan beberapa jenis

obat yang saling berbeda baik bentuk sediaannya maupun kemasannya.

15

Apabila hal ini terjadi di suatu rumah tangga, maka perlu dipikirkan cara

menyimpan obat. Bila cara penyimpanan obat tidak memenuhi persyaratan cara

menyimpan obat yang benar, maka akan terjadi perubahan dari sifat obat

tersebut, sampai terjadi kerusakan obat (Depkes, 2008).

Cara penyimpanan obat di rumah tangga sebagai berikut:

Umum:

a. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.

b. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.

c. Simpan obat ditempat yang sejuk dan terhindar dari sinar matahari langsung

atau ikuti aturan yang tertera pada kemasan.

d. Jangan tinggalkan obat di dalam mobil dalam jangka waktu lama karena suhu

yang tidak stabil dalam mobil dapat merusak sediaan obat.

e. Jangan simpan obat yang telah kadaluarsa.

Khusus:

a. Tablet dan kapsul

Jangan menyimpan tablet atau kapsul ditempat panas dan atau lembab.

b. Sediaan obat cair

Obat dalam bentuk cair jangan disimpan dalam lemari pendingin (freezer) agar

tidak beku kecuali disebutkan pada etiket atau kemasan obat.

c. Sediaan obat vagina dan ovula

Sediaan obat untuk vagina dan anus (ovula dan suppositoria) disimpan di

lemari es karena dalam suhu kamar akan mencair.

d. Sediaan Aerosol/Spray

Sediaan obat jangan disimpan di tempat yang mempunyai suhu tinggi karena

dapat menyebabkan ledakan.

Cara Mengetahui Obat Rusak:

a. Tablet

Terjadi perubahan pada warna, bau dan rasa, timbul bintik–bintik noda,

lubang-lubang, pecah, retak, terdapat benda asing, menjadi bubuk dan lembab.

b. Tablet Salut

Terjadi perubahan salutan seperti pecah, basah, lengket satu dengan lainnya

dan terjadi perubahan warna.

16

c. Kapsul

Cangkang kapsul menjadi lembek, terbuka sehingga isinya keluar, melekat satu

sama lain, dapat juga melekat dengan kemasan.

d. Puyer

Terjadi perubahan warna, timbul bau, timbul noda bintik-bintik, lembab sampai

mencair.

e. Salep/Krim/Lotion/Cairan

Terjadi perubahan warna, bau, timbul endapan atau kekeruhan, mengental,

timbul gas, memisah menjadi 2 (dua) bagian, mengeras, sampai pada kemasan

atau wadah menjadi rusak rusak.

4. Cara Membuang Obat

Obat sisa yang tidak digunakan untuk pengobatan lagi, sebaiknya

disimpan di suatu tempat obat yang terpisah dari penyimpanan barang-barang

lain dan tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Tetapi apabila obat tersebut

sudahrusak, sebaiknya dibuang saja, agar tidak digunakan oleh orang lain yang

tidak mengetahui mengenai masalah obat (Depkes, 2008).

a. Cara pembuangan obat

Pembuangan obat dapat dilakukan apabila obat rusak akibat penyimpanan yang

lama atau kadaluwarsa. Obat yang rusak dibuang dengan cara :

1) Penimbunan di dalam tanah

Hancurkan obat dan timbun di dalam tanah.

2) Pembuangan ke saluran air

Untuk sediaan cair, encerkan sediaan dan buang kedalam saluran air.

b. Cara Pembuangan Kemasan Obat

1) Wadah berupa botol atau pot plastik

Terlebih dahulu lepaskan etiket obat, dan tutup botol, kemudian dibuang di

tempat sampah, hal ini untuk menghindari penyalah gunaan bekas wadah obat.

2) Boks/dus/Tube

Gunting dahulu baru dibuang.

17

C. Obat

1. Definisi Obat

Obat merupakan zat yang digunakan untuk pencegahan dan penyembuhan

penyakit serta pemulihan dan peningkatan kesehatan bagi penggunanya. Setiap

obat punya manfaat, namun juga mempunyai efek samping yang merugikan.

Oleh karena itu, gunakanlah obat sesuai dengan aturan pakai (BPOM, 2015).

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang

kesehatan obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

2. Penggolongan Obat

Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksud untuk peningkatan

keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri

dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika.

(Anief, 2010).

Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (BPOM, 2015; Depkes, 2008)

a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah

lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Parasetamol

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas

b. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras

tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai

dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas

terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: CTM

18

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.3 Peringatan Obat Bebas Terbatas

c. Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep

dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran

merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Asam Mefenamat

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Contoh: Diazepam, Phenobarbital

c. Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin

19

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika

B. Kortikosteroid

1. Definisi Kortikosteroid

Obat kortikosteroid merupakan bentuk sintetis dari hormon steroid.

Bentuk struktur kimianya menyerupai hormon steroid alami yang secara

normal dihasilkan tubuh melalui bagian luar dari kelenjar anak ginjal ( kortex

kelenjar adrenal). Produksi puncak kortikosteroid alami berkisar antara pukul 7

hingga pukul 9 pagi. Fungsi kortikosteroid meliputi metabolisme makronutrien

(karbohidrat, protein, lemak), mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

tubuh, mempengaruhi kerja sistem peredaran darah, sistem imun, sistem kerja

otot dan tulang, serta syaraf (Aprianto, 2016).

Menurut Aprianto (2016) Dalam hal terjadi gangguan penyakit,

dibutuhkan steroid dari luar untuk menambah ketersediaan steroid dalam

tubuh, karena itu dibuatlah bentuk sintetiknya. Kortikosteroid yang beredar

dipasaran meliputi deksametashon, metilprednisolon, prednison, hidrokortison,

betametason, mometason, triamsinolon, dan lain-lain. Perbedaan antara

kortikosteroid sintetik dan alami yaitu cara memproduksi yaitu secara ilmiah

oleh tubuh dan sintesis senyawa-senyawa kimia, sehingga efek obat dapat

ditingkatkan berkali-kali lipat dari alaminya.

Kondisi paling sering memerlukan obat kortikosteroid adalah kondisi

peradangan, semisal nyeri sendi, radang pada kulit (dermatitis), peradangan

asma, peradangan di telinga, peradangan di mata, peradangan saluran

pencernaan dan reaksi alergi. Kondisi kelainan sistem imun atau penyakit

autoimun, misalnya rhematoid arthtitis, sindrom nefrotik, dan lain lain

(Aprianto, 2016).

Obat ini dapat diperoleh hanya memalui resep dokter, sehingga sangat

penting untuk tidak membeli tanpa pengawasan dokter. Ketika kortikosteroid

akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal

20

yang masih efektif, kemudian secara bertahap ditingkatkan, dan diturunkan

secara bertahap pula. Sedangkan untuk terapi mengatasi keadaan kronis , dosis

awal harus besar, dan dapat ditingkatkan dua kali lipat bila efek belum terlihat.

Sedangkan untuk keadaan yang mengancam jiwa, dapat diberikan dosis yang

besar dan waktu yang singkat (Aprianto, 2016).

2. Mekanisme Kerja Kortikosteroid

Obat steroid merupakan antiinflamasi yang sangat kuat. Karena Obat-obat

ini menghambat enzim phospholipase A2 sehingga tidak terbentuk asam

arakidonat. Asam arakidonat tidak terbentuk hal tersebut menyebabkan tidak

terbentuknya Cycloxygenase (COX) dan Lipoxygenase. COX terdiri dari COX

1 dan COX 2 yang mana COX 1 menginduksi prostaglandin yang berperan

dalam melindungi mukosa lambung (mucosa protector) serta menginduksi

tromboksan yang berperan sebagai agen platelet (pembekuan darah).

Sedangkan, enzim COX 2 berfungsi menginduksi prostaglandin sebagai

mediator inflamasi. Dan begitu juga pada lipoxygenase tidak akan terbentuk

sehingga leukotrien yang menyebabkan vasokontriksi dan bronkokontriksi pun

tidak terbentuk (Sudewa dan Budiarta, 2017).

21

Sumber: Sudewa dan Budiarta, 2017

Gambar 2.6 Jalur pembentukan prostanoid dan tempat kerja obat-obatan

yang menghambat jalur ini.

3. Indikasi Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan luas untuk mengobati berbagai penyakit, seperti:

a. Penyakit-penyakit rheumatik

b. Penyakit ginjal (sindrom nefrotik, glomelurusnephritis membranous)

Glukokortikoid (Prednisone) pada sindrom nefrotik sangat efektif dan banyak

digunakan.

c. Penyakit-penyakit alergi

Kortikosteroid memiliki onset selama (6-12 jam) karena itu pada reaksi alergi

yang berat seperti reaksi anafilaksis yang terpenting adalah pemberian larutan

ephinephrine.

22

d. Asma Bronkial

Pada asma bronkial selain pemberian secara sistemik, pemberian diberikan

juga secara inhalasi terutama pemberian jangka lama.

e. Infeksi

Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid masih

digunakan pada keadaan-keadaan tertentu dengan perlindungan antibiotika.

Seperti meningitis, AIDS, TBC Pericard dan TBC Peritoneum.

f. Penyakit-penyakit mata

Pemberian topikal dapat meningkatkan tekanan intraokular, oleh karena itu

perlu pengawasan tekanan intraokular pada pemakaian lokal lebih dari dua

minggu.

g. Penyakit kulit

pemberian kortikosteroid topikal harus tetap hati-hati karena dapat memberikan

efek yang tidak diinginkan. Pemberian dengan pemakaian yang lama dapat

menyebabkan atropi, dan sebagainya.

h. Penyakit gastrointestinal seperti kolitis ulseratif kronis

i. Penyakit hati seperti Hepatitis kronik

j. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi

Kortikosteroid dipakai pada kelainan hematologi seperti Trombositopenia

Purpura Idiopatik (ITP), anemia aplastik dan Autoimune Hemolytic Anemia

(AIHA).

k. Transplantasi Organ

Diberikan bersama dengan immunosupresif lain.

l. Udema Otak

dengan meperbaiki sawar darah otak dengan cara mencegah pemecahan asa

lemak tidak jenuh oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas Phospolipase

A2, sehingga pembentukan prostaglandin bisa dicegah.

m. Penyakit lainnya seperti Sarcodiosis, sindroma Guillain Barre

Kondisi paling sering memerlukan obat kortikosteroid adalah kondisi

peradangan, semisal nyeri sendi, radang pada kulit (dermatitis), peradangan

asma, peradangan di telinga, peradangan di mata, peradangan saluran

pencernaan dan reaksi alergi. Kondisi kelainan sistem imun atau penyakit

23

autoimun, misalnya rhematoid arthtitis, sindrom nefrotik, dan lain lain. (Aziz,

2006)

4. Penggolongan Kortikosteroid

Golongan Kortikosteroid: (Tjay, Rahardja, 2007)

a. Golongan Kortison

1). Hidrokortison (HC, Kortisol, 17 alfa-kortikosteron, Solu-Cortef)

Hormon adrenal utama ini (1952) terutama berkhasiat terhadap

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, serta relatif ringan terhadap

metabolisme mineral dan air. Hormon ini terutama digunakan pada terapin

substitus, misalnya penyakit Addison. Secara lokalbanyak dipakai dalam

salep/krim 1-2% (asetat) atau 0,1% (butirat), juga dalam tetes mata dan telinga

1% (asetat). Pada dosis biasa tidak menimbulkan efek samping.

Resorpsinya dari usus buruk, maka tidak digunakan peroral tetapi sebagai

injeksi (i.m. atau intra-artikuler).dalam darah terikat 95% pada globulin.

Plasma-t1/2-nya 1,5-2 jam, tetapi efek maksimalnya baru tercapai sesudah 6-8

jam. Ekskresinya berlangsung lewat kemih sebagai metabolit 17-keto yang

mudah larut. Dosis: i.m./i.v. semula 100-500 mg larutan Na-suksinat, bila perlu

diulang setiap 2-10jam, maksimal 8 g sehari. Rektal pada wasir: suppos/salep

1-2 dd 5mg, pada colitis: klisma 100 mg.

2). Kortison (F.I)

Kortison merupakan derivat-keto sintetis dari hidrokortiosn yang

resorpsinya dari usus lebih baik dan cepat. Sendirinya tidak aktif, tetapi dalam

hati diubah menjadi kortisol. Pemberian i.m k.l. 20% lebih efektif walaupun

penyerapan kedalam darah agak lambat (bahaya kumulasi). Tidak dapat

digunakan lokal atau intra-artikuler, karena dikulit dan sendi tidak terjadi

perubahan enzimatis menjadi kortisol. Penderita gangguan hati sebaiknya

jangan diberikan kortisol oral. Dosis: pada insufiensi oral 3 dd 25-50 mg

(asetat). Perbandingan efeknya: 25 mg kortisonasetat = 20 mg hidrokortison.

24

b. Golongan Prednison

1). Prednison (Hostacortin)

Derivat-keto ini (1954) baru aktif setelah diubah dalam hati menjadi

derivat-hidronya prednisolon. Khasiat dan penggunaannya sama, hanya tidak

digunakan secara lokal dan intra-artikuler karena tidak dihidrogenasi di kulit,

mukosa mata dan sendi. Tidak dianjurkan bagi pasien hati. Dosis: oral semula

1 dd 5-60 mg pagi hari, pemeliharaan 5 mg sehari.

2). Prednisoslon (delta-hidrokortison)

Delta-steroid sintetis ini (1955) dengan ikatan ganda pada C1-2 berdaya

k.l. 5x lebih kuat dari pada kortisol dengan efek mineralokortikoida yang lebih

ringan. Kerjanya juga lebih panjang (t1/2 = 3 jam ). Berhubung dengan sifat-

sifatnya, obat ini banyak digunakan untuk terapi sitematis, begitu pula dengan

prednison. Kadar puncaknya dalam darah baru tercapai sesudah 6-8 jam

(peroral). Sifat merangsangnya ringan, maka sering digunakan untuk injeksi

intra-artikuler dan tetes mata (0,25% - 5%), juga pada klisma pada colitis.

Dosis: oral semula 1 dd 5-60 mg pagi hari, berangsur-angsur dalam waktu

4 minggu diturunkan sampai 5 mg sehari atau 10 mg setiap 2 hari; i.m./ i.v. 25-

75 mg diNa-phospat atau Na-suksinat. Perbandingan efek: 5 mg prednisolon =

20 mg hidrokortison.

3). Metilprednisolon (Depo-Medrol, Solu-Medrol, Urbason)

Berdaya k.l. 20% lebih kuat dari prednisolon (1956) dengan berbagai cara

penggunaan oral dan parenteral. Dosis: oral semula 2-60 mg/hari, pemeliharaan

4 mg sehari. Pada rema, MS, dan LE 1 g sehari selama 3-10 hari atau lebih

lama.

4). Budesonida (Pulmicort, Rhinocort, Symbicort)

Merupakan derivat (1980) yang khusus digunakan secara topikal sebagai

salep/krem. Juga sebagai spray inhalasi (bersama β2 mimetikum) pada asma.

Efek yang dihasilkan kuat dan cepat, bahaya efek sistemik ringan karena pesat

di inaktifkan oleh hati. Plasma-t1/2-nya k.l. 3 jam. Dosis: Tracheal 2-4 dd 1

puff dari 200 mcg, begitu pula pada intranasal rhinitis.

25

c. Golongan Derivat 3-Alfa-Fluor

Zat-zat ini sering mengakibatkan myopathy (otot menyusut dan nyeri)

pada penggunaan oral, terutama bila digunakan lama dengan dosis tinggi, juga

menekan adrenal agak kuat. Senyawa-senyawa ini praktis tidak memiliki efek

mineralokortikoida.

1). Triamsinolon ( Kenacort)

Banyak digunakan oral, intra-artikuler, i.m/i.v, rektal dan dermal (1956).

Secara dermal hanya aktif sebagai asetonidanya: salep/krem 0,05%- 0,1 %.

Perbandingan efeknya 4 mg triamnisolon = 20 mg hidrokortison. Halsinonida

(Halog, Halciderm) adalah triamnisolon tanpa ikatan ganda antara C1 dan C2

(Derivat Kortisol). Digunakan dalam krem 0,1%.

2). Deksametason (Oradexon, Fortecortin, Dexatopic)

Deksametason k.l 6x lebih kuat dari kortisol (1956). Zat ini menekan

adrenal relatif kuat, maka risiko insufisiensi juga agak besar. Dexametason

sering digunakan sebagai zat diagnostik untuk menetukan hiperfungsi adrenal

(tes-supresi deksametason). Secara topikal digunaan sebagai tetes mata/ tetes

telinga (fosfat 0,1%), juga dikombinasi dengan antibiotik. Perbandingan

efeknya: 0,65 mg deksametason = 20 mg hidrokortison.

Dosis: oral semua 0,5- 9 mg sehari sesudah makan pagi, pemeliharan 0,5-

1 mg sehari. Pada shock i.v. 100-300 mg larutan Na-fosfat. Desoksimetason

(Esperson, Topicorte, Denomix) adalah Deksametason tanpa gugus OH pada

C17 (1965). Efek lokalnya k.l. 2x juga dikombinasi dengan antibiotik.

3). Betametason (Celestone, Celestoderm)

Betametason merupakan stereoisomer dari dexametason (1961), dimana

gugus metil pada C16 berada dalam posisi beta. Daya antiradang pada

penggunaan lokal lebih ringan. Zat ini digunakan dalam tetes mata sebagai

diNa-fosfat 0,1 % dan dalam salep sebagai valerat 0,1 % atau dipropionat yang

2x lebih kuat: 0,05% (Diprosone). Dosis: 0ral 0,5-8 mg sehari sesudah makan

pagi.

4). Fluormetolon (Flumetolon, FML, liquidfilm)

Merupakan derivat 9-alfa-fluor (1959) khusus digunakan dalam tetes mata

dengan kadar 0,1 %.

26

d. Golongan Derivat 6-Alfa-Fluor

Senyawa-senyawa ini memiliki atom fluor pada C6 dalam posisi alfa.

1). Fluokortolon (Ultralan)

Rumusnya mirip dengan deksametason, hanya letak atom fluor tidak pada

C9 tetapi pada C6 dan tanpa gugus OH pada C17 (1976). Zat ini khusus

digunkaan dalam salpe sebagai kapronat atau trimetilasetat 0,5%. Flunisolida

(Syntaris) merupakan derivat fluokortolon (1978) yang khusus digunakan

sebagai spay hidung 0,025%.

e. Golongan Derivat Di-Fluor

Dengan dita,bahkannya atom fluor kedua, zat-zat ini diperkuat khasiat

antiradangnya dan pada penggunaan dermal.

1). Fluosinonida (fluosinolon-asetonida Synalar, Topsyne).

Memiliki rumus triamnisolon dengan atom fluor ekstra pada C6 dengan

khasiat 5x lebih kuat ( 1961). Khusus digunakan dalam salep/krem 0,025%.

2). flumetason (Locacorten)

Merupakan deksametason dengan atom fluor kedua pada C6 (1963). Efek

lokalnya juga pada k.l. 5 x lebih kuat. Digunakan khusus dalam salep/krem/

pasta 0,02% pivalat, juga dalam kombinasi dengan asam salisilat 3%. Begitun

pula dalam tetes telinga. Diflukortolon (Nerisona) adalah flukortolon dengan

atom flor kedua pada C9 dan efek lokal yang 5x lebih kuat. Digunanakan

dalam salep/krem 0,1%, juga terkombinasi dengan zat antiseptik klorkinaldol

1%.

3). Flutikason (Cultivate, flixotide)

Merupakan derivat tri-fluor dengan belerang pada C20 (-CO-S-CH2-F).

Digunakan sebagai krem 0,05% (propionat) dan Salep 0,0005%, juga sebagai

inhalasi (Flixotide) dan spray hisung dengan 50 mcg/dosis (Flixonase).

f. Golongan Derivat-Klor

1). Beklometason (Cleniderm, Becotide, Berconase)

Memiliki struktur betametason dimana atom –F pada C9 diganti dengan

atom –Cl. Ester dipropionatnya (C17 dan C21) berdaya k.l. 300 kali lebih kuat

dari kortisol. Plasma –t1/2- nya singkat sekali., hanya 9 menit, secara lokal k.l. 2

menit. Disamping sebagai krem 0,025%, terutama digunakan sebagai inhalasi

27

pada asma (bersama β2 mimetika). Dosis : inhalasi 3-4 dd 2 puff 50 mcg

(dipropionat)., intranasal pada rhinitis 2-4 dd 50 mcg disetiap lubang hidung.

Aklometason (Perderm, Alclosone) adalah isomer dengan atom klor pada

C6 sebagai ganti C8. Kerjanya agak kuat sampai kuat. Digunakan sebagai

salep/krem 0,5 mg/g (dipropionat) selama 3-5 hari, kemudian 1 x sehari dan

setelah terjadi perbaikan 2-3 x seminggu.

2). Mometason (Elocon)

merupakan derivat diklor (C9,C21), yang khusus digunkan sebagai salep

0,1%. Risiko akan alergi kontak pada obat ini kecil seperti pada Flutikason.

g. Golongan Derivat Klor-Fluor

Kombinasi dari dua atom halogen didalam molekul memperkuat kerja

antiradangnya, maka zat-zat ini terhitung glukokortikoida yang terkuat.

Penggunaanya dibagian kulit sensitive harus dengan sangat berhati-hati,

misalnya dimuka, ketiak, bagian paha dan alat kelamin.

1). Klobetasol (Dermovate)

Merupakan betametason dimana OH pada C21 diganti dengan klor.

Penetrasinya kedalam kult baik sekali, juga pda penyakit psoriasis. Klobteasol

berkhasiat antiradang, vasokontriksi dan antimitosis yang paling kuat dari

semua fluorkortikoida. Maka zat ini hanya dicadangkan untuk gangguan berat

yang kurang bereaksi seperti psoriasis, lupus discoid, dan hipertrofi parut.

Tersedia salep/krem dengan 0,05% propionat. Klobetason (Emovate) adalah

derivat 17-keto dari klobetasol dengan khasiat lebih ringan , penetrasinya juga

kedalam kulit juga kurang. Digunakan dalam salep/krem 0,05% butirat.

2). Flukorolon (Topilar-N)

Merupakan derivat difluorklor yang khasiat lokalnya kuat dan digunakan

sebagai krem 0,025% (asetonida). Halometason (Sicorten) merupakan derivat

difluorklor pula, yang khasiat lokalnya mendekati klobetasol, daya kerjanyapun

panjang. Berdaya antimitotis kuat dengan efek atrofia ringan. Digunakan

sebagai salep/krem 0,05%.

28

Tabel 2.1 Daya Relatif atas dasar berat dari kortikoida alamiah dan sintetis

(Sumber : obat-obat penting, 2007; 727)

Daya

Mineralokortikoida

Daya

Glukokortikoida Mara paruh (t 1/2)

Hidrokortison 1 1 1,5-2 j

Kortison 0,8 0,8 0,5-2 j

Prednison/olon 0,7 4 2,5-3

6-alfa-metil-

prednison 0,5 5 3,5

Triamsinolon 0 5 >5

Deksametason 0 >30 3-4,5

Betametason 0 >35 -

Aldosteron 3000 0,3 -

Kortikosteron 15 0,35 -

Desoksikortison 40 0 -

Fludrokortison 800 10 0,5

4. Efek Samping Kortikosteroid

a. Peningkatatan gula darah: disebabkan rneningkatnya pembentukan glukosa

(gula) dan protein. Pembentukan yang berlebihan menyebabkankan kadar gula

dalam darah tinggi. Hal ini sangat bereiiko bila dikonsumsi oleh pasien

diabetes, pasien dengan berat badan berlebih, dan wanita hamil yang memiliki

riwayat keluarga diabetes.

Kenaikan gula darah tersebut bersifat sementara dan dapat sembuh ketika

dosis obat korkosteroid diturunkan atau dihentikan. Selain itu perlu pengaturan

karbohidrat.

b. Peningkatan berat badan: penggunaan steroid meningkatkan nafsu makan dan

penumpukan lemak tubuh ditempat tertentu, semisal wajah (moon face›, leher

bagian belakang (buffalo hump), dan perut. Diminimalkan dengan diet rendah

lemak dan makan kecil (buah-buahan. sayur, produk makanan dan minuman

rendah lemak, gula) diantara makan besar.

29

c. Peningkatan resiko hipertensi: steroid menyebabkan peningkatan retensi garam

(natrium). Dimana peningkatan natrium sebanding dengan peningkatan

volume darah. volume darah yang meningkat menyebabkan hipertensi.

Dimodifikasi dengan mengurangi dan menghindari konsumsi garam dapur dan

minuman bersoda.

d. Osteoporosis: setiap hari sel-sel tulang yang lama akan mati dan digantikan

dengan sel tulang yang baru. Pembentukan tulang sendiri dikarakteristik oleh

protein.

Kortikosteroid mempercepat kematian sel tulang dan menurunkan sintesis

protein yang berdampak kepada penurunan kepadatan tulang. Mencegah

osteoporosis makan makanan kaya kalsium (1500 rng/hari). Produk makan

kaya kalsium seperti susu rendah lemak. lobak. brokoli, suplemen kalsium.

atau konsumsi vitamin D (800 mg/hari).

Gangguan pencernaan: dosis tinggi kortikosteroid menyebabkan iritasi

pada saluran pencernaan bagian atas. Pada kasus ringan dapat dimodifikasi

dengan mengkonsumsi bersama makan atau sesaat setelah makan, atau dapat

mempertimbangkan konsumsi ranitidin.

f. Gangguan sistem kekebalan tubuh: kortıkosteroid dapat berdampak

menurunkan sistem kekebalan tubuh. Bila tubuh da1am kondis ini, maka akan

rentan terinfeksi virus, bakteri, dan jamur. Pada kondisi ini hindari lingkungan

yang tidak bersih.

g. Gejala putus obat: umum dikaitkan dari penggunaan obat ini, terutama pada

pasien yang memperoleh dosis besar dan penggunaan dalam jangka waktu

lama seperti pasien yang menderita Lupus, Rhematoid Artritis, Sindrom

Nefrotik, dan lain-lain. Ketika tubuh memperoleh kortikosteroid sintetis maka

tubuh akan mengkompensasi menurunkan produksi kortikosteroid alami.

Penghentian obat tiba-tiba menyebabkan ketersediaan hormon steroid

tubuh berkurang dan timbul efek-efek yang tak diingınkan. Meskipun obat

kortikosteroid memiliki efek saınping yang serius, bukan berarti kita tidak

boleh sama sekaIi menggunakan obat ini.

Tentunya harus dipertimbangkan kerugian dan keuntungan (risk and

benefid) dari obat tersebut. Keuntungan akan lebih besar terutama untuk

30

kondisi penyakit kronis, contohnya Lupus, Rhematoid Artritis, Sindrom

Nefrotik, dan Iain-lain, karena mengkonsumsi obat kortikosteroid dapat

menurunkan gejala penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.

Namun perlu diupayakan untuh meminimalkan efek samping dengan jalan

menggunakan sesuai dengan resep dan anjuran dokter, dan selama konsumsi

dalam pemantauan dokter, untuk menghindari efek samping sistemik, bisa

digunakan steroid yang beraksi lokal, sepeni bentuk inhalasi (dihirup), atau

disemprot (misal: semprot hidung)

Hindari konsumsi obat steroid tanpa indikasi yang kuat, dosis berlebih

atau lebih lama dari yang diresepkan dokter. Hindari pula penghetian obat

secara mendadak. karena konsumsi steroid dalam waktu lama dapat

menyebabkan penekanan produksı steroid endogen oleh tubuh. Sehingga ketika

obat dihentikan tiba-tiba, tubuh belum siap memproduksi steroid lagi dan dapat

mengalami gejala gejala kekurangan steroid. (Aprianto, 2016)

5. Perhatian

Pada beberapa paisen selama penghentian steroid oral mungkin mengalami

gelaja penghentian terapi aktif dengan steroid sistemik (Seperti: sakit sendi

atau otot, lelah, depresi) tanpa mempengaruhi fungsi efek pada dosis

pemeliharaan atau perawatan.

Kortikosteroid merupakan obat yang termasuk kedalam obat golongan

tapering off yaitu penurunan dosis obat-obat tertentu ketika obat hendak

dihentikan penggunaannya. Tujuannya adalah agar tubuh tidak menyadari

secara langsung bila dosis obat tersebut telah dikurangi dan akhirnya

dihentikan.

Pada kortikosteroid, obat ini menstimulasi produksi kortisol yang

merupakan hormon antiradang yang diproduksi kelenjar adrenal. Produksi

kortisol ini dikontrol dengan mekanisme “timbal balik” yang rumit antara

kelenjar adrenal, kelenjar pituitari, dan otak yang disebut juga HPAA (aksis

hipotalamus-pituitasi-kelenjaradrenal). Penggunaan kortikosteroid dalam dosis

besar atau kecil dalam jangka waktu yang lama akan menurunkan fungsi

HPAA ini, oleh karen itu penggunaan obat ini tidak dapat dihentikan secara

mendadak (Aziz, 2006).

31

C. Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, maka penulis menggambarkan

dalam bentuk kerangka teori sebagai berikut:

(Sumber: Depkes, 2008; PP IAI, 2014; BPOM, 2015)

Gambar 2.7 Kerangka Teori

Obat

Bebas

Obat Bebas

Terbatas

Karakteristik Sosio-Demografi

a. Jenis Kelamin

b. Usia

c. Tingkat Pendidikan d. Status Pekerjaan

e. Status Pernikahan

DAGUSIBU

Gerakan Keluarga

Sadar Obat

(GKSO)

Dapatkan Gunakan Buang Simpan

Kortikosteroid

Psikotropika

Narkotika

Obat

Obat

Keras

Darimana seharusnya

obat kortikosteroid

didapatkan

Bagaimana seharusnya

obat kortikosteroid

digunakan

Bagaimana seharusnya

obat kortikosteroid

disimpan

Bagaimana seharusnya

obat kortikosteroid

dibuang

a. Rumah Sakit

b. Puskesmas

c. Apotek

d. Klinik

a. Indikasi

b. Aturan Pakai

c. Lama penggunaan

d. ESO saat

Penggunaan

a. Cara Penyimpanan

b. Tempat Penyimpanan

Cara Pembuangan

32

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.8 Kerangka Konsep

Gambaran Dagusibu

Kortikosteroid pada Masyarakat di

Desa Ogan Lima Kecamatan

Abung Barat Lampung Utara pada

Tahun 2020

a. Darimana seharusnya obat

kortikosteroid didapatkan

b. Bagaimana seharusnya obat

kortikosteroid digunakan

c. Bagaimana seharusnya obat

kortikosteroid disimpan

d. Bagaimana seharusnya obat

kortikosteroid dibuang

Karakteristik Sosio-Demografi

a. Jenis Kelamin b.Usia

c. Tingkat Pendidikan

d.Status Pekerjaan

e. Status Pernikahan

33

E. Definisi Operasional

Tabel 2.2 Definisi Operasional

No Variabel Penelitian Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala Ukur

1

Karakteristik Responden

A. Jenis Kelamin

Pengelompokkan

berdasarkan gender

responden, yaitu

perempuan atau laki-laki

Wawancara

Kuesioner

1. Laki-Laki

2. Perempuan

Nominal

B.Usia

Lamanya waktu hidup

responden yang dihitung

dari tanggal lahir sampai

sekarang yang

dikelompokkan

berdasarkan WHO tahun

2009

Wawancara

Kuesioner

1. 0-11 Tahun

2. 12- 25Tahun

3. 26-45 T ahun

4. 46-65 Tahun

5. >65 Tahun

Ordinal

C. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang

telah ditempuh,

berdasarkan ijazah

terakhir yang dimiliki

Wawancara

Kuesioner

1. SD

2. SMP

3. SMA

4. Perguruan

Tinggi

5. lainnya

Ordinal

D. Pekerjaan

Jenis pekerjaan sehari-

hari yang dilakukan oleh

responden

Wawancara

Kuesioner

1. IRT (Ibu Rumah Tangga)

2. Swasta

3. PNS

4. Petani

5. Lainnya

Nominal

E. Status Pernikahan

Status Pernikahan

Responden

Wawancara

Kuesioner

1. Menikah

2. Belum Menikah

Nominal

2 Obat Kortikosteroid

yang digunakan

Jenis obat yang

digunakan oleh

responden yang memiliki

khasiat terapi.

Wawancara Kuesioner 1. Deksametashon

2.Metylprednisolon

3. Prednison

4. Hydrokortison

5. Lainnya

Nominal

34

3

Ketepatan dalam

mendapatkan

Kortikosteroid

Ketepatan dalam

mendapatkan

Kortikosteroid dilihat

berdasarkan sumber dan

cara mendapatkan

kortikosteroid

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak Tepat

Ordinal

Sumber seharusnya

kortikosteroid

didapatkan

Sumber seharusnya obat

kortikosteroid

didapatkan. Tepat jika

responden mendapatkan

kortikosteroid dari

fasilitas kesehatan yang

resmi seperti: Rumah

sakit, puskesmas, klinik

maupun apotek.

Wawancara Kuesioner 1. Rumah Sakit

2. Puskesmas

3. Klinik

4. Apotek

5. Lainnya

Ordinal

Cara Mendapatkan

Obat Kortikosteroid

yang benar

Cara mendapatkan obat

yang benar adalah

dengan menggunakan

resep dokter karena

kortikosteroid termasuk

dalam golongan obat

keras yang harus

menggunakan resep.

Wawancara Kuesioner 1. Resep

2. Tanpa Resep

Ordinal

4

Bagaimana

Kortikosteroid

digunakan

Bagaimana seharusnya

penggunaan

kortikosteroid yang

benar berdasarkan

indikasi penggunaan,

aturan pakai, lama

penggunaan, serta efek

samping obat yang

dialami

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak Tepat

Ordinal

Indikasi

Kortikosteroid

Responden menggunkaan

obat kortikosteroid sesuai

indikasi pada literatur

obat-obat penting dan

medscape seperti:

peradangan, alergi, dll

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal

35

Aturan pakai

aturan pakai yaitu waktu

penggunaan obat

kortikosteroid. Tepat

berarti responden

mengkonsumsi obat

sesudah makan karena

obat dapat mengiritasi

lambung.

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal

Lama Penggunaan Lama penggunaan obat

dilihat dari berapa hari

responden

mengkonsumsi

kortikosteroid. Tepat jika

penggunaan 1-7 hari

untuk penyakit yang

umumnya menggunakan

kortikosteroid.

Wawancara Kuesioner 1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal

Efek Samping Obat

efek samping yang

ditimbulkan pada dosis

yang digunakan selain

efek farmakologi.

Wawancara

Kuesioner

1. Mengalami

2. Tidak

Mengalami

Nominal

5

Ketepatan Cara

Penyimpanan

Penyimpanan obat

kortikosteroid yang

dilakukan responden,

baik dari cara maupun

tempat menyimpan obat

kortikosteroid

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal

Cara responden

menyimpan obat

Cara penyimpanan obat

kortikosteroid yang

benar, tepat berarti

responden melakukan

penyimpanan seperti

syarat penyimpanan pada

Departemen Kesehatan

tahun 2008 seperti jauh

dari jangkauan anak-

anak, terhindar dari sinar

matahari secara

wawancara Kuesioner 1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal

36

langsung, dan sebagainya

Tempat

penyimpanan

Melihat gambaran

penyimpanan yang ada

pada masyarakat,

contohnya seperti:

penyimpanan pada kotak

obat, lemari tertutup, dan

sebagainya

Wawancara Kuesioner 1. Kotak Obat

2. Lemari tertutup

3. Kulkas

4. Tas

5. Lainnya

Ordinal

6

Ketepatan Cara

Pembuangan

Cara responden

membuang obat

kortikosteroid yang

benar, tepat berarti

responden membuang

obat memenuhi syarat

seperti pada literatur

Departemen Kesehatan

tahun 2008, seperti:

dilarutkan, dikubur, atau

dibakar.

Wawancara

Kuesioner

1. Tepat

2. Tidak tepat

Ordinal