BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. a. Pengertian Pembedahan

32
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Perioperatif 1. Konsep Pembedahan a. Pengertian Pembedahan Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada tubuh dan terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intra operatif, dan pasca operatif. Keperawatan perioperatif merupakan proses keperawatan untuk mengembangkan rencana asuhan secara individual dan mengkoordinasikan serta memberikan asuhan pada pasien yang mengalami pembedahan atau prosedur invasif. Perawat kamar bedah dalam pelayanannya berorientasi pada respon pasien secara fisik, psikologi spiritual, dan sosial-budaya (AORN, 2013). Keperawatan perioperatif tidak lepas dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah. Dengan demikian, ilmu bedah yang semakin berkembang akan memberikan implikasi pada perkembangan keperawatan perioperatif (Muttaqin & Sari, 2011). Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien (HIPKABI, 2014). Tiga fase ini secara bersamaan disebut fase perioperatif b. Peran Perawat Perioperatif Kamar operasi adalah lingkungan khusus yang dibuat dengan satu tujuan utama yaitu keselamatan pasien. Perawat yang bekerja di kamar operasi bertindak sebagai advokator dari pasien yang tidak dapat mengadvokasi diri mereka sendiri sebagai akibat dari pemberian anastesi. Pasien selama proses pembedahan adalah menjadi tanggung jawab tim bedah, yang minimal terdiri dari dokter (operator), tim anastesi, perawat scrub, dan perawat sirkulasi (Litwack, 2009). Perawat scrub dan perawat sirkulasi inilah yang disebut sebagai perawat kamar bedah (operating room nurse).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. a. Pengertian Pembedahan

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konsep Perioperatif

1. Konsep Pembedahan

a. Pengertian Pembedahan

Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada

tubuh dan terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intra operatif, dan pasca

operatif. Keperawatan perioperatif merupakan proses keperawatan untuk

mengembangkan rencana asuhan secara individual dan

mengkoordinasikan serta memberikan asuhan pada pasien yang

mengalami pembedahan atau prosedur invasif. Perawat kamar bedah

dalam pelayanannya berorientasi pada respon pasien secara fisik,

psikologi spiritual, dan sosial-budaya (AORN, 2013). Keperawatan

perioperatif tidak lepas dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah.

Dengan demikian, ilmu bedah yang semakin berkembang akan

memberikan implikasi pada perkembangan keperawatan perioperatif

(Muttaqin & Sari, 2011). Keperawatan perioperatif adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang

berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien (HIPKABI, 2014).

Tiga fase ini secara bersamaan disebut fase perioperatif

b. Peran Perawat Perioperatif

Kamar operasi adalah lingkungan khusus yang dibuat dengan satu tujuan

utama yaitu keselamatan pasien. Perawat yang bekerja di kamar operasi

bertindak sebagai advokator dari pasien yang tidak dapat mengadvokasi

diri mereka sendiri sebagai akibat dari pemberian anastesi. Pasien selama

proses pembedahan adalah menjadi tanggung jawab tim bedah, yang

minimal terdiri dari dokter (operator), tim anastesi, perawat scrub, dan

perawat sirkulasi (Litwack, 2009). Perawat scrub dan perawat sirkulasi

inilah yang disebut sebagai perawat kamar bedah (operating room nurse).

6

1) Perawat Instrumen (scrub nurse)

Perawat scrub atau di Indonesia juga dikenal sebagai perawat

instrumen merupakan perawat kamar bedah yang memiliki tanggung

jawab terhadap manajemen area operasi dan area steril pada setiap

jenis pembedahan (Muttaqin, 2009).

Menurut Association of Perioperative Registered Nurse (AORN),

perawat scrub bekerja langsung dengan ahli bedah di bidang steril,

operasional instrumen, serta bagian lain yang dibutuhkan selama

prosedur operasi (Litwack, 2009). Peran perawat instrumen :

a) Memperingatkan tim bedah jika terjadi penyimpangan prosedur

aseptik

b) Membantu mengenakan jas steril dan sarung tangan untuk ahli

bedah

c) Menata instrumen steril di meja operasi sesuai dengan urutan

prosedur operasi.

d) Memberikan cairan antiseptik pada kulit yang akan diinsisi.

e) Membantu melakukan prosedur drapping.

f) Memberikan instrumen kepada ahli bedah sesuai urutan prosedur

dan kebutuhan tindakan pembedahan secara tepat dan benar.

g) Mempersiapkan benang-benang jahitan sesuai kebutuhan dalam

keadaan siap pakai.

h) Membersihkan instrumen dari darah dari darah pada saat intra

operasi untuk mempertahankan serilitas alat di meja instrumen.

i) Menghitung kassa, jarum, dan instrumen sebelum, selama, dan

setelah operasi berlangsung.

j) Memberitahukan hasil perhitungan jumlah alat, kassa, dan jarum

pada ahli bedah sebelum operasi dimulai dan sebelum luka ditutup

lapis demi lapis.

k) Mempersiapkan cairan untuk mencuci luka.

l) Membersihkan luka operasi dan kulit sekitar luka.

7

2) Perawat Sirkulasi (circulation nurse)

Perawat sirkulasi merupakan perawat berlisensi yang bertanggung

jawab untuk mengelola asuhan keperawatan pasian di dalam kamar

operasi dan mengkoordinasikan kebutuhan tim bedah dengan tim

perawatan lain yang diperlukan untuk menyelesaikan tindakan operasi

(Litwack, 2009). Perawat sirkulasi juga bertanggung jawab untuk

menjamin terpenuhinya perlengkapan yang dibutuhkan oleh perawat

scrub dan mengobservasi pasien tanpa menimbulkan kontaminasi

terhadap area steril (Muttaqin, 2009). Pendapat perawat sirkulasi

sangat dibutuhkan dan sangat membantu, terutama dalam

mengobservasi penyimpangan teknik aseptik selama prosedur operasi.

Peran perawat sirkulasi :

a) Mengatur posisi pasien sesuai jenis operasi.

b) Membuka set steril dengan memperhatikan teknik aseptik.

c) Mengobservasi intake dan output selama tindakan operasi.

d) Melaporkan hasil pemantauan hermodinamik kepada ahli anastesi.

e) Menghubungi petugas penunjang medis (petugas radiologi,

laboratorium, farmasi, dan lain sebagainya) apabila diperlukan

selama tindakan operasi.

f) Menghitung dan mencatat pemakaian kassa bekerjasama dengan

perawat scrub.

g) Mengukur dan mencatat tanda-tanda vital

h) Memeriksa kelengkapan instrumen dan kain kassa bersama

perawat scrub agar tidak ada yang tertinggal dalam tubuh pasien

sebelum luka operasi ditutup.

c. Tahap-tahap didalam Keperawatan Perioperatif

1) Fase pra operasi

Masa pra operasi dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan

intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien berada di meja operasi.

8

Sebelum pembedahan dilakukan lingkup aktivitas keperawatan

selama waktu tersebut dapat mencakup pengkajian dasar pasien di

tataan klinik ataupun rumah wawancara pra operasi dan menyiapkan

pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Tujuan

perawatan praoperasi :

a) Menciptakan hubungan yang baik dengan pasien memberikan

penyuluhan tentang tindakan.

b) Mengkaji merencanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.

c) Akibat tindakan anestesi yang akan dilakukan.

d) Mengantisipasi dan menanggulangi kesulitan yang mungkin

timbul.

2) Fase intra operasi

Intra operasi dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke instalasi

bedah atau meja operasi dan berakhir saat pasien dipindahkan ke

ruang pemulihan atau recovery room atau istilah lainnya adalah post

anesthesia kerja unit atau post anesthesia care unit. Pada fase ini

ruang lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan intravena

kateter, pemberian medikasi intravena, dan melakukan pemantauan

kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan

menjaga keselamatan pasien.

3) Fase pasca operasi

Masa pasca operasi dimulai dengan masuknya pasien ke ruang

pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan

klinik atau ruang perawatan bedah atau di rumah. Lingkup aktivitas

keperawatan meliputi rentang aktivitas yang luas selama periode ini.

Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen atau obat anestesi

dan serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian

berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan

penyuluhan perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk

penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan pasien. Perawatan

9

pasca anestesi atau pembedahan dimulai sejak pasien dipindahkan ke

ruang pulih sadar sampai diserahterimakan kembali pada perawat di

ruang rawat inap jika kondisi pasien tetap kritis pasien dipindahkan ke

intensive care unit (Majid, 2011).

B. Tinjauan Asuhan Keperawatan

1. Pre Operasi

a. Pengkajian

Keperawatan pre operasi merupakan tahap awal dari keperawatan

perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangan

tergantung pada fase ini. Adapun persiapan yang perlu dilakukan sebelum

menjalani tindakan pembedahan adalah sebagai berikut :

1) Pengkajian fisik

a) Status kesehatan fisik secara umum

Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan

status kesehatan umum meliputi identitas, riwayat penyakit

sekarang, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,

pemeriksaan fisik lengkap, yang meliputi status hemodinamika,

status kardiovaskuler, status pernapasan, fungsi ginjal dan hepatik,

fungsi endokrin, dan fungsi imunologi.

b) Status nutrisi

Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di korekis sebelum

pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk

memperbaiki jaringan. Status gizi yang buruk dapat

mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca

bedah dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama di rawat di

rumah sakit.

c) Keseimbangan cairan dan elektrolit

Keseimbangan cairan dan eletrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.

Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan

10

ekskresi metabolik obat-obatan anestesi. Jika fungsi ginjal baik

maka operasi dapat dilakukan dengan baik, namun jika ginjal

mengalami gangguan seperti oliguri atau anuris, insufisiensi renal

akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda menuggu perbaikan

fungsi ginjal, kesuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.

d) Kebersihan lambung dan kolon

Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk

menghindari aspirasi yaitu masuknya cairan lambung ke dalam

paru-paru dan menghindari kontaminasi feses ke arah pembedahan

sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.

Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi cito atau segera,

seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan

lambung dapat dilakukan dengan cara memasang selang

nasogastrik.

e) Pencukuran daerah operasi

Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari

terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena

rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi

kuman dan juga mengganggu atau menghambat proses

penyembuhan dan perawatan luka titik daerah yang dilakukan

pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan

dioperasi.

f) Personal Hygiene

Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi

karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan

dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.

g) Pengosongan kandung kemih

Pengosongan kandung kemih atau bladder dilakukan dengan

melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi

kandung kemih dengan tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk

11

mengobservasi keseimbangan cairan.

2) Persiapan mental atau psikis

Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam

proses persiapan operasi, karena mental pasien yang tidak siap atau labil

dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan

merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang

yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis

(Majid 2011). Kecemasan atau ketakutan dapat berakibat pada perubahan

fisiologis pasien sebelum menjalani pembedahan, diantaranya adalah:

a) Pasien yang mengalami kecemasan sebelum operasi dapat

mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan

meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan karena dapat

mengakibatkan pasien mengalami perdarahan saat pembedahan.

b) Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat

mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya sehingga operasi

terpaksa harus ditunda. Pada saat pre operasi perawat perlu mengkaji

mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam

menghadapi stres dan kecemasan. Disamping itu perawat perlu

mengkaji juga hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien

dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini seperti

adanya orang terdekat tingkat perkembangan pasien faktor pendukung

atau support system (Majid, 2011).

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa menurut Standar Diagnosa Keperawatan Inonesia (2018) yang

mungkin muncul pada pre operasi adalah :

1) Ansietas

Ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu

terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang

memungkinkan indivudi melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman

(SDKI, 2018).

12

Tabel 2.1

Gejala dan Tanda Ansietas Gejala dan tanda mayor

Subyektif Obyektif

- Merasa bingung

- Merasa khawatir dengan akibat

dari kondisi yang dihadapi

- Sulit berkonsentrasi

- Tampak gelisah

- Tampak tegang

- Sulit tidur

Gejala dan tanda minor

Subyektif Obyektif

- Mengeluh pusing

- Anoreksia

- Palpitasi

- Merasa tidak berdaya

- Frekuensi napas meningkat

- Frekuensi nadi meningkat

- Tekanan darah meningkat

- Diaforesis

- Tremor

- Muka tampak pucat

- Suara bergetar

- Kontak mata buruk

- Sering berkemih

- Berorientasi pada masa lalu

Menurut Stuart (2006) dalam Rahmayati (2018) kecemasan pada pasien

yang akan dilakukan operasi biasanya berhubungan dengan segala macam

prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap

keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan.

Pasien yang mengalami kecemasan menunjukan gejala mudah

tersinggung, susah tidur, gelisah, lesu, mudah menangis dan tidur tidak

nyenyak. Dan salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan

pasien yaitu dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien pre

operasi (Basra, 2017).

c. Intervensi

Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi

keperawatan yang dilakukan berdasarkan 3 diagnosa diatas adalah :

1) Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan

Intervensi

Observasi :

- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( misal : kondisi, waktu,

13

stresor)

- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan

- Monitor tanda-tanda ansietas ( verbal dan non verbal)

Teraupetik :

- Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan

- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan

- Pahami situasi yang membuat ansietas

- Dengarkan dengan penuh perhatian

- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan

- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan

datang

Edukasi :

- Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami

- Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan

prognosis

- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien

- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif

- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi

- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan

- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat

- Latih teknik relaksasi (tarik napas dalam)

Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

Salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien yaitu

dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien pre operasi. Hal

ini berdasarkan teori yang diungkapkan Peplau, asuhan keperawatan yang

berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang menghasilkan

hubungan antara perawat dengan pasien. Berdasarkan teori ini pasien

adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah

14

proses interpersonal dan terapeutik, dimana perawat memiliki peran yang

cukup penting dalam mempengaruhi, menurunkan kecemasan dan

meningkatkan kesehatan pasien melalui proses komunikasi (Warsini,

Irwanti & Siswanto, 2013 dalam Basra, 2017).

2. Intra Operasi

a. Pengkajian

Pengkajian intraoperatif bedah secara ringkas mengkaji hal-hal yang

berhubungan dengan pembedahan. Diantaranya adalah validasi

identitas dan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan, serta

konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi

(Muttaqin, 2009). Menurut Majid (2010) pada saat pembedahan

perawat perlu melakukan monitoring atau pemantauan fisiologis pada

pasien meliputi :

1) Pemantauan Keseimbangan cairan

Penghitungan balance cairan dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan cairan pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan

dengan cara menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang

keluar pengecekan pada kantong kateter urin kemudian dilakukan

koreksi terhadap imbalan cairan yang terjadi. Seperti dengan

pemberian cairan infus.

2) Memantau kondisi kardiopulmonal

Pemantauan kondisi kardiopulmonal harus dilakukan secara

kontinu untuk melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak.

Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi pernapasan nadi dan

tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dan lain-lain

3) Memantau perubahan tanda-tanda vital

Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan

kondisi pasien masih dalam batas normal jika terjadi gangguan

harus dilakukan intervensi secepatnya. Biasanya pada fase intra

15

operasi pasien akan mengalami hipotermi yang disebabkan oleh

suhu ruangan rendah. Infus yang dingin, inhalasi gas-gas dingin,

luka terbuka pada tubuh, usia lanjut, atau obat-obatan yang

digunakan.

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan intraoperatif yang merujuk pada Standar

Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018) yang mungkin adalah sebagai

berikut:

1) Risiko Perdarahan berhubungan dengan Tindakan Pembedahan

Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018) risiko

perdarahan adalah berisiko mengalami kehilangan darah internal

(dari dalam tubuh) atau eksternal (dari luar tubuh). Faktor risiko

yang dapat menimbilkan perdarahan pada pasien adalah sebagai

berikut :

- Aneurisma

- Gangguan gatrointestinal

- Gangguan fungsi hati

- Komplikasi kehamilan

- Komplikasi pasca partum

- Gangguan koagulasi

- Efek agen farmakologis

- Trauma

- Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan

- Proses keganasan

- Tindakan pembedahan

2) Risiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Proses Pembedahan

Risiko hipotermia perioperatif adalah pasien yang berisiko

mengalami penurunan suhu tubuh dibawah 36oC secara tiba-tiba

yang terjadi satu jam sebelum pembedahan hingga 24 jam setelah

pembedahan (SDKI, 2018). Faktor risiko yang dapat

16

mengakibatkan pasien dapat mengalami hipotermia perioperatif

adalah sebagai berikut :

- Prosedur pembedahan

- Kombinasi anestesi regional dan umum

- Skore American Ssociety of Anesthesiologist > 1

- Suhu praoperasi rendah <360C

- Berat badan rendah

- Neuripati diabetik

- Komplikasi kardiovaskuler

- Suhu lingkungan rendah

Kejadian menggigil pada pasien intra operasi dengan anestesi

spinal cukup besar mencapai 39-85% hal ini berkaitan dengan

kehilangan panas melalui kulit, suhu kamar operasi yang dingin,

penggunaan cairan yang cepat dan banyak pada suhu kamar,

penurunan ambang vasokonstriksi dan menggigil, dan juga efek

langsung dari larutan obat anestesi yang dinginkan pada struktur

termosensitif di medula spinalis (Roy et. al., 2004 dalam

Marlinda, 2016). Menurut Lumintang (2000) dalam Marlinda

(2016) penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa

dampak yang sangat komplek pada suatu operasi salah satu

diantaranya akan menyebabkan perubahan homeostatis didalam

tubuh sehingga mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas

yang meningkat. Hipotermia yang dialami pasien akan

mempengaruhi beberapa sistem organ. Hipotermia pada awalnya

menyebabkan kenaikan laju metabolisme, pada sistem

kardiovaskuler terjadi takikardia, resistensi pembuluh darah

perifer untuk menghasilkan menggigil maksimal. Hipotermia juga

menyebabkan penurunan denyut jantung sehingga kontraktilitas

ventrikel menurun dan menyebabkan enurunan tekanan darah.

Risiko terjadi fibrilasi ventrikel meningkat pada suhu di bawah

17

28°C. Sistem respirasi pada awalnya mengalami takipneu, apabila

berlanjut bisa terjadi bradipneu dan retensi karbondioksida, kulit

menjadi sianotik. Metabolisme otak menurun 6-7% per 1°C

penurunan suhu, yang mengakibatkan tingkat penurunan

kesadaran, tidak responsive terhadap nyeri, pada hipotermia berat

seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (Potter &

Perry, 2009 dalam Rositasari, 2017).

c. Rencana Intervensi

Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi

keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa diatas adalah:

1) Risiko Perdarahan berhubungan dengan Tindakan Pembedahan

Intervensi

Observasi:

- Monitor tanda dan gejala perdarahan

- Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan sesudah

kehilangan darah

- Monitor tanda-tanda vital ortostatik

- Monitor koagulasi

Teraupetik:

- Pertahankan bedrest selama perdarahan

- Batasi tindakan invasif, jika perlu

Edukasi:

- Jelaskan tanda dan gejala perdarahan

- Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K

- Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu

- Kolaborasi pemberian produk darah , jika perlu

18

2) Risiko hipotermi perioperatif

Intervensi

Observasi:

- Monitor suhu tubuh

- Identifikasi penyebab hipotermia (Misal: terpapar suhu

lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju

metabolisme, kekurangan lemak subkutan)

- Monitor tanda dan gejala hipotermia

Teraupetik:

- Sediakan lingkungan yang hangat ( misal: atur suhu ruangan)

- Ganti pakaian atau linen yang basah

- Lakukan penghangatan pasif (misal : selimut, menutup kepala,

pakaian tebal)

- Lakukan penghatan aktif eksternal (Misal : kompres hangat,

botol hangat, selimut hangat, metode kangguru)

- Lakukan penghangatan aktif internal (misal : infus cairan

hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)

Edukasi:

- Jelaskan cara pencegahan hipotermia karena terpapar udara

dingin

Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian antipiretik, bila perlu

Penatalaksanaan pencegahan hipotermi ini dilakukan tidak hanya pada

saat periode intra operasi namun juga sampai pasca operasi (Majid,

2011).

3. Post Operasi

a. Pengkajian

Menurut Majid (2011) pengkajian post operasi dilakukan secara

sitematis mulai dari pengkajian awal saat menerima pasien, pengkajian

19

status respirasi, status sirkulasi, status neurologis dan respon nyeri,

status integritas kulit dan status genitourinarius.

1) Pengkajian Awal

Pengkajian awal post operasi adalah sebagai berikut

- Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan

- Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas, tanda-

tanda vital

- Anastesi dan medikasi lain yang digunakan

- Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin

memengaruhi peraatan pasca operasi

- Patologi yang dihadapi

- Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian

- Segala selang, drain, kateter, atau alat pendukung lainnya

- Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anastesi

yang akan diberitahu.

2) Status Respirasi

a) Kontrol pernafasan

- Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernapasan

- Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi

pernapasan, kesemitrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas,

dan arna membran mukosa

b) Kepatenan jalan nafas

- Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk

mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai

pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal.

- Salah satu khawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan

nafas akibat aspirasi muntah, okumulasi sekresi, mukosa di

faring, atau bengkaknya spasme faring.

c) Status Sirkulasi

20

- Pasien berisiko mengalami komplikasi kardiovaskuler akibat

kehilangan darah secara aktual atau risiko dari tempat

pembedahan, efek samping anastesi, ketidakseimbangan

elektrolit, dan defresi mekanisme regulasi sirkulasi normal.

- Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung yang teliti serta

pengkajian tekanan darah menunjukkan status kardiovaskuler

pasien.

- Perawat membandingkan tanda-tanda vital pra operasi dan post

operasi

d) Status Neurologi

- Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien dengan cara

memanggil namanya dengan suara sedang

- Mengkaji respon nyeri

e) Muskuloskletal

- Kaji kondisi organ pada area yang rentan mengalami cedera

posisi post operasi.

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien post operasi adalah:

1) Resiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Suhu

Lingkungan Rendah

Menurut Drain, C.B (1994 dalam Marlinda 2016) menyebutkan

sekitar 60% pasien pasca bedah dini yang masuk Recovery Room

(ruang pulih sadar) akan mengalami berbagai derajat hipotermi.

Penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa dampak

yang sangat komplek pada suatu operasi salah satu diantaranya akan

menyebabkan perubahan homeostatis didalam tubuh sehingga

mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat.

21

c. Intervensi

Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi

keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa diatas adalah:

1) Resiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Terpapar Suhu

Lingkungan Rendah

Intervensi

Observasi:

- Monitor suhu tubuh

- Identifikasi penyebab hipotermia, (Misal : terpapar suhu lingkungan

rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme,

kekurangan lemak subkutan)

- Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi

Teraupetik:

- Sediakan lingkungan yang hangat ( misal : atur suhu ruangan)

- Lakukan penghangatan pasif (misal: Selimut, menutup kepala,

pakaian tebal)

- Lakukan penghatan aktif eksternal (misal: kompres hangat, botol

hangat, selimut hangat, metode kangguru)

- Lakukan penghangatan aktif internal (misal: infus cairan hangat,

oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)

Edukasi:

- Jelaskan cara pencegahan hipotermia karea terpapar udara dingin

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian antipiretik, bila perlu.

C. Tinjauan Konsep Penyakit

1. Anatomi dan Fisiologi Payudara

Jaringan payudara dibentuk oleh glandula yang memproduksi air susu

(lobulus) yang dialirkan ke putting (nipple) melalui ductus. Struktur lainnya

adalah jaringan lemak yang merupakan komponen terbesar, connective

tissur, pembuluh darah dan saluran beserta kelenjar limfatik. Setiap payudara

22

mengandung 15-20 lobus yang tersusun sirkuler. Jaringan lemak

(subcutaneous adipose tissue) yang membungkus lobus memberikan bentuk

dan ukuran payudara. Tiap lobus terdiri dari beberapa lobulus yang

merupakan tempat produksi air susu sebagai respon dari signal hormonal.

Terdapat 3 hormon yang mempengaruhi payudara yakni estrogen,

progesterone, dan prolactin, yang menyebabkan jaringan glandular payudara

dan uterus mengalami perubahan selama siklus menstruasi. Aerola adalah

area hiperpigmentasi di sekitar puting (dr. Suyatno & Pasaribu, 2010).

Jaringan payudara juga didukung oleh ligamentum suspensorium cooper.

Ligament ini berjalan sepanjang parenkim dari fasia dalam (deep fascia) dan

melekat ke dermis. Tidak ada otot dalam payudara, tapi otot terletak di

bawah payudara dan menutup iga. Kelenjar mammaria atau payudara,

terletak di dalam fasia superfisial dinding dada anterior. Payudara terletak di

iga ke-2 sampai ke-6 dan dari batas lateral sternum sampai ke garis anterior,

atau midaksilaris. Kelenjar ini dikelilingi oleh 19 jaringan ikat subkutis,

jaringan lemak, dan terdapat di dalam kantong kulit berbentuk kerucut.

Bagian terbesr dari kelenjar mammaria terletak di sebuah anterior jaringan

ikat dan otot pektoralis mayor dan di sebelah lateral otot serratus anterior.

Struktur penunjang yang menopang payudara dikenal sebagai ligamentum

cooper. Jaringan mammaria tambahan, yang dikenal sebagai ekor aksilaris

atau ekor spence, meluas ke atas dan ke lateral menuju lipatan aksila anterior

(Muttaqin & Sari, 2009).

2. Definisi Kanker Payudara

Kanker Payudara merupakan gangguan dalam pertumbuhan sel normal

mammae dimana sel abnormal timbul dari sel-sel normal, berkembang baik

dan menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh darah (Nurarif & Kusuma,

2016). Kanker payudara terjadi karena adanya pertumbuhan abnormal sel

pada payudara. Organ-organ dan kelenjar dalam tubuh (termasuk payudara)

terdiri dari jaringan-jaringan, berisi sel. Umumnya, pertumbuhan sel normal

mengalami pemisahan, dan mati ketika sel menua dan digantikan dengan sel-

23

sel baru. Tapi, ketika sel-sel lama tidak mati dan sel-sel baru terus tumbuh

meski belum diperlukan. Jumlah sel yang berlebihan tersebut berkembang

tidak terkendali sehingga membentuk tumor. Namun tidak semua tumor

merupakan kanker, terutama pada payudara. Ada jenis tumor jinak (non

kanker) ada juga tumor ganas (kanker) (Sastrosudarmo, 2014).

3. Etiologi Kanker Payudara

Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan, tetapi terdapat beberapa

factor risiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan genetic.

Kanker payudara memperlihatkan poliferasi keganasan sel epitel yang

membatasi ductus arau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat

hyperplasia sel dengan perkembangan sel-sel yang atipikal dan kemudian

berlanjut menjadi karsinoma insitu dan menginvasi stroma. Kanker

membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa.

Hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium juga berperan dalam

pembentukan kanker payudara (estradisol dan progesterone mengalami

perubahan dalam lingkungan seluler) (Saifudin, 2009 dalam (Nurarif &

Kusuma, 2016).

Risiko untuk menderita kanker payudara meningkat pada wanita yang

mempunyai factor risiko. Yang termasuk factor risiko kanker payudara

adalah (dr. Suyatno & Pasaribu, 2010):

a. Jenis kelamin wanita. Insiden kanker payudara pada wanita dibanding

pria lebih dari 100:1. Secara umum 1 dari 9 wanita Amerika akan

menderita kanker payudara sepanjang hidupnya

b. Usia. Risiko meningkat dari 1:2900 ke 1:290 antara decade ketiga dan

decade ke delapan. Wanita usia 60-79 mempunyai kemungkinan

menderita kanker payudara1:14 dibanding wanita usia kurang dari 39

tahun, yang mempunyai kemungkinan 1:14

c. Riwayat keluarga : pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama (ibu

dan saudara kandung) mempunyai risiko 4-6 kali disbanding wanita

yang tidak punya factor risiko ini. Usia saat terkena juga memengaruhi

24

factor risiko, pasien dengan ibu di diagnose kanker payudara saat usia

kurang dari 60 tahun risiko meningkat 2 kali. Pasien dengan keluarga

tingkat pertama 21 premenopause menderita kanker payudara bilateral,

mempunyai risiko 9 kali. Pasien dengan keluarga tingkat pertama post

menopause mendrita kanker payudara bilateral mempunyai risiko 4-5,4

kali.

d. Usia melahirkan anak pertama, jika usia 30 atau lebih risiko 2 kali

dibanding wanita yang melahirkan usia kurang dari 20 tahun.

e. Riwayat menderita kanker payudara, juga merupakan factor risiko untuk

payudara kontralateral. Risiko ini tergantung pada usia saat diagnosis.

Risiko ini meningkat pada wanita usia muda

f. Predisposisi genetical. Resiko ini berjumlah kurang dari 10% kanker

payudara. Autosomal dominant inheritance terlihat pada Li-Fraumeni

syndrome, Muir-Torre syndrome, Cowden syndrome, Peutfz-Jeghers

syndrome dan mutase BRCA-1 dan BRCA-2. Risiko untuk menderita

kanker payudara mendekati 50% bila usia kurang dari 50 tahun dan

lebih 80% sebelum usia 65 tahun. Ataxia telangietctasis(Autosomal

recessive inheritances) merupakan factor risiko lain.

g. Ductal carcinoma in situ (DCIS) dan lobular carcinoma in situ (LCIS)

pada biopsy. Hal ini merupakan marker untuk terjadinya lesi invasive.

h. Poliferasi benigna dengan hyperplasia disertai adanya riwayat keluarga

risiko meningkat 10 kali. Pada tumor jinak yang menunjukkan ekspresi

reseptor estrogen dan progesterone risikonya 3,2 kali (Kahn).

Hyperplasia atipikal terlihat pada 10% specimen biopsy

i. Radiasi :radiasi pada usia di bawah 16 mempunyai risiko 100 kali,

radiasi sebelum umur 20 tahun mempunyai risiko 18 kali, usia 20-29

tahun risiko 6 kali, radiasi setelah usia 30 tahun risiko tidak bermakna.

Lebih kurang 0,1% pasien yang diradiasi akan timbul sarcoma setelah 5

tahun.

25

j. Perubahan gaya hidup : diet tinggi kalori, diet tinggi lemak, konsumsi

alcohol dan merokok, dan obesitas pada menopause

k. Hormonal : menarche di bawah 12 tahun risiko 1,7-3,4 kali, menopause

usia di atas 55 tahun risiko 1,5 kali. Penggunaan oral kontrasepsi lebih

dari 8-10 tahun juga meningkatkan risiko.

4. Tanda dan Gejala

Adapun tanda dan gejala kanker payudara(dr. Suyatno & Pasaribu, 2010):

a. Ada benjolan yang keras di payudara dengan atau tanpa rasa sakit.

b. Bentuk puting berubah (retraksi nipple atau terasa sakit terus-menerus)

atau puting mengeluarkan cairan/darah (nipple discharge)

c. Ada perubahan pada kulit payudara di antaranya berkerut seperti kulit

jeruk (peau’u d’orange), melekuk ke dalam (dimpling) dan ulkus

d. Adanya benjolan-benjolan kecil di dalam atau kulit payudara (nodul

satelit)

e. Ada luka di puting payudara yang sulit sembuh

f. Payudara terasa panas, memerah dan bengkak

g. Terasa sakit/ nyeri

h. Benjolan yang keras itu tidak bergerak dan biasanya pada awal-awalnya

tidak terasa sakit

i. Apabila benjolan itu kanker, awalnya biasanya hanya pada satu

payudara. Adanya benjolan di aksila dengan atau tanpa masa di

payudara

Sedangkan menurut Irianto (2015) ada tanda dan gejala yang khas

menunjukkan adanya suatu keganasan, antara lain:

a. Adanya retraksi / inversi nipple (dimana puting susu tertarik ke dalam

atau masuk dalam payudara) berwarna merah atau kecoklatan sampai

menjadi edema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau d

“orange), mengkerut atau timbul borok (ulkus) pada payudara . Ulkus

makin lama makin besar dan mendalam sehingga dapat menghancurkan

seluruh payudara , sering berbau busuk dan mudah berdarah.

26

b. Keluarnya cairan dari putting susu. Yang khas adalah cairan keluar dari

muara duktud satu payudara dan mungkin berdarah, timbul pembesaran

kelenjar getah beningdi ketiak, bengkak (edema) pada lengan dan

penyebaran kanker ke seluruh tubuh. Kanker payudara yang sudah

lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui kriteria operbilitas

Heagensen sebagai berikut.

1) Benjolan payudara umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada

payudara. Benjolan itu mula-mula tidak nyeri makin lama makin

besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada

kulit payudara atau putting susu

2) Adanya nodul satelit pada kulit payudara, kanker jenis mastitis

karsinimatosa; terdapat nodul pada sternal; nodul pada

supraklavikula; adanya edema lengan; adanya metastase jauh

3) Kulit terfiksasi pada dinding thorak, kelenjar getah bening aksila

berdiameter 2,5cm dan kelenjar getah bening melekat satu sama lain.

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Ultrasonografi (USG) payudara

Pada USG, lesi hypoechoic dengan margin irregular dan shadowing

disertai orientasi vertical kemungkinan merupakan lesi maligna. Lesi ini

terkadang menunjukkan adanya infiltrasi ke jaringan lemak di

sekitarnya.Lesi solid benigna dengan batas tegas dan lobulated yang

terlihat sebagai lesi hypoechoic homogeny dan orientasi horizontal

diduga adalah fibroadenoma. USG secara umum diterima sebagai

metode terpilih untuk membedakan masa kistik dengan solid dan sebagai

guide untuk biopsy. Disamping untuk pemeriksaan pasien usia muda

(kurang dari 30 tahun).

b. Mamografi

Mamografi memegang peranan mayor dalam deteksi dini kanker

payudara, sekitar 75% kanker terdeteksi paling tidak satu tahun sebelum

tahun sebelum ada ada gejala atau tanda. Lesi dengan ukuran 2mm sudah

27

dapat dideteksi dengan mamografi. Akurasi mamografi untuk prediksi

malignasi adalah 70%-80%. Namun akurasi pada pasien usia muda

(kurang dari 30 tahun) dengan payudara yang padat adalah kurang

akurat. Terdapat 2 tipe 24 pemeriksaan mamografi: skrinning dan

diagnosis. Skrinning mamografi dilakukan pada wanita yang

asimptomatik. Deteksi dini dari kanker payudara yang masih kecil

memungkinkan pasien untuk mendapatkan kesuksesan terapi dengan

kualitas hidup yang lebih baik. Skrining mamografi direkomendasikan

setiap 1-2 tahun untuk wanita usia 40 tahun dan setiap tahun untuk usia

50 tahun atau lebih. Gambar 2.3 gambaran mamografi (Suyatno, 2010)

c. MRI

MRI sangat baik untuk deteksi local recurrence pasca BCT atau

augmentasi payudara dengan implant, deteksi multifocal cancer dan

sebagai tambahan terhadap mamografi pada kasus tertentu. MRI sangat

berguna dalam skrining pasien usia muda dengan densitas payudara yang

padat yang memiliki risiko kanker payudara yang tinggi. Sensitivitas

MRI mencapai 98%.

d. Biopsy

Biopsi pada payudara memberikan informasi sitologi atau histopatologi.

FNAB (Fine needle Aspiration Biopsy) merupakan salah satu prosedur

diagnosis awal, untuk evaluasi lesi kistik. Masa persisten atau rekurren

setelah aspirasi berulang adalah indikasi untuk biopsi terbuka (insisi atau

eksisi).

e. Bone scan, foto thoraks, USG abdomen

Pemeriksaan bone scanbertujuan untuk evaluasi metastasi di tulang.

Bone scan secara rutin tidak dianjurkan pada stadium dini yang

asimtommatis karena berdasarkan beberapa penelitian hanya 2% hasil

yang positif pada kondisi ini, berbeda dengan halnya pada yang

simtomatis stadium III, insiden posistif bone scan mencapai 25% oleh

karenanya pemeriksaan bone scan secara rutin sangat bermanfaat.

28

f. Pemeriksaan laboratorium dan marker

Pemeriksaan laboratorium darah yang dianjurkan adalah darah rutin,

alkaline phospatase, SGOT, SGPT dan tumor marker.Tumor marker

untuk kanker payudara yang dianjurkan adalah carcinoembryonic antigen

(CEA), cancer antigen (CA) 15-3, dan CA 27-29.

6. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan kanker payudara bertujuan untuk mendapatkan kesembuhan

yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik. Oleh karena itu, terapi dapat

bersifat kuratif atau paliatif. Terapi kuratif ditandai oleh adanya periode

bebas penyakit (disease free interval) dan peningkatan harapan hidup

(overall survival), dilakukan pada kanker payudara stadium I, II, dan III.

Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup tanpa adanya

periode bebas penyakit, umumnya dilakukan pada stadium IV. Kesembuhan

yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik akan tercapai bila kanker

diterapi pada stadium dini. Keuntungan penatalaksanaan tumor stadium dini

adalah:

a. Kemungkinan tidak dilakukan kemoterapi bila tidak ada metastasis

kelenjar getah bening axila dan tergolong risiko rendah

b. Tidak peru dilakukan diseksi axilla jika sentinel negative, sehingga

risiko terjadinya limpadem berkurang

c. Tidak diperlakukan radiasi

d. Dapat dilakukan BCT bagi yang memenuhi kriteria atau dilakukan

SSM/NSP sekaligus rekonstruksi sehingga bentuk dan fungsinya masih

baik

e. Biaya penatalaksanaan jeuh lebih ekonomis

f. Disease free interval dan overall survival lebih baik (lama)

Adapun modalitas terapi kanker payudara secara umum meliputi:

a. Operasi (Pembedahan)

Operasi merupakan modalitas utama untuk penatalaksanaan kanker

payudara. Modalitas ini memberikan kontrol lokoregional yang dapat

29

dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi dan dari spesimen operasi

dapat ditentukan tipe dan grading tumor, status kelenjar getah bening

aksila, faktor prediktif dan faktor prognosis tumor (semua faktor diatas

tidak bisa diperoleh dari modalitas lain).

Berbagai jenis operasi pada kanker payudara adalah Classic Radical

Mastectomy (CRM), Modified Radical Mastectomy (MRM), Skin

Sparing Mastectomy (SSM), Nipple Sparing Mastectomy (NSP), dan

Breast Conserving Treatment (BCT).

Jenis-jenis ini memiliki indikasi dan keuntungan serta kerugian yang

berbeda-beda. SSM dan NSP mermelukan rekonstruksi langsung tapi

kualitas hidup lebih baik dengan kuratifitas yang hamper sama dengan

MRM

1) CRM (Classic Radical Mastectomy) adalah operasi pengangkatan

seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple areola komplek, kulit

diatas tumor, otot pektoralis mayor dan minor serta diseksi aksila

level I-III. Operasi ini dilakukan bila ada infiltrasi tumor ke fasia atau

otot pectoral tanpa ada metastasis jauh. Jenis operasi ini mulai

ditinggalkan karena morbiditas tinggi sementara nilai kuratif

sebanding dengan MRM.

2) MRM (Modified Radical Mastectomy) adalah operasi pengangkatan

seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple aerola kompleks,

kulit di atas tumor dan fascia pektoral serta diseksi aksila level I-II.

Operasi ini dilakukan pada kanker payudara stadium dini dan lokal

lanjut. Merupakan jenis operasi yang banyak dilakukan. Kuratif

sebanding dengan CRM.

3) SSM (Skin Sparing Mastectomy)adalah operasi pengangkatan

seluruh jaringan payudara beserta tumor dan nipple aerola kompleks

dengan mempertahankan kulit sebanyak mungkin serta diseksi aksila

level I-II. Operasi ini harus disertai rekonstruksi payudara secara

langsung yang umumnya TRAM flap (transverse rektus abdominis

30

musculotaneus flap), LD flap (latissimus dorsi flap) atau implant

(silicon). Dilakukan pada tumor stadium dini dengan jarak tumor ke

kulit jauh (>2cm) atau stadium dini yang tidak memenuhi syarat

untuk BCT.

4) NSP (Nipple Sparing Mastectomy) adalah operasi pengangkatan

seluruh jaringan payudara beserta tumor dengan mempertahankan

nipple aerola kompleks dan kulit serta diseksi aksila level I-II.

Operasi ini juga harus disertai rekonstruksi payudara secara langsung

yang umumnya adalah TRAM flap (transverse rektus abdominis

musculotaneus flap), LD flap (latisssimus dorsi flap) atau implant

(silicon). Dilakukan tumor stadium dini dengan ukuran 2 cm atau

kurang, lokasi perifer, secara klinis NAC tidak terlibat, kelenjar getah

bening N0, histopatologi baik, dan potong beku sub aerola : bebas

tumor

5) BCT (Breast Conserving Treatment)adalah terapi yang kompenannya

terdiri dari lumpektomi atau segmentektomi atau kuadrantektomi dan

diseksi aksila serta radioterapi. Jika terdapat fasilitas, lymphatic

mapping dengan Sentinel Lymph Node Biopsy (SNLB) dapat

dilakukan untuk menggantikan diseksi aksila. Terapi ini memberikan

survival yang sama dengan MRM namun rekurensinya lebih besar.

b. Kemoterapi

Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitotastika) untuk

menghancurkan sel kanker, obat ini umumnya bekerja dengan

menghambat atau mengganggu sintesa DNA dalam siklus sel.

Pengobatan kemoterapi 28 bersifat sistemik, berbeda dengan

pembedahan atau radiasi yang lebih bersifat lokal/ setempat. Obat

sitostatika dibawa melalui aliran darah atau diberikan langsung ke dalam

tumor, jarang menembus blood-brain barrier sulit mencapai system

syaraf pusat. Ada 3 jenis setting kemoterapi yakni adjuvant, neoadjuvant

dan primer (paliatif).

31

c. Radioterapi Radioterapi (RT) merupakan modalitas terapi yang cukup

penting pada kanker payudara. Mekanisme utama kematian sel karena

radiasi adalah kerusakan DNA dengan gangguan proses replikasi. RT

menurunkan jangan panjang penderita kanker payudara. Walaupun

beberapa studi memperlihatkan bahwa RT setelah kemoterapi

menghasilkan long term survival yang lebih baik di banding sebaliknya,

namun studi terbaru oleh Bellon et al dan Joint Center randomized trial

memperlihatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kemoterapi

pertama dan RT pertama.

d. Hormonal Terapi

Hormonal terapi yang mulai dikembangkan sejak satu abad yang lalu,

masih paling efektif dan paling jelas targetnya dari terapi sistemik untuk

kanker payudara. Adjuvant hormonal terapi diindikasikan hanya pada

payudara yang menunjukkan ekspresi positif estrogen reseptor (ER) dan

atau progesterone reseptor (PR) tanpa memandang usia, status

menopause, status kelenjar getah bening aksila maupun ukuran tumor.

ER positif pada sepertiga penderita kanker payudara dan sepertiga kasus

rekurren sedang PR positif pada 50% ER positif. Pemberian terapi

hormonal pada ER atau PR negatif tidak akan memperbaiki overall

survival ataupun diases free survival dan bahkan merugikan pada

premenopause.

D. Teori Mastektomi

1. Definisi

Mastektomi adalah suatu tindakan pembedahan onkologis pada keganasan

payudara yaitu dengan mengangkat seluruh jaringan payudara yang terdiri

dari seluruh stroma dan parenkhim payudara, areola dan puting susu serta

kulit diatas tumornya disertai diseksi kelenjar getah bening aksila ipsi lateral

level I, II/III tanpa mengangkat muskulus pektoralis major dan minor

(Sinclair, 2009). Tipe mastektomi dan penanganan kanker payudara

bergantung pada beberapa faktor meliputi usia, kesehatan secara

32

menyeluruh, status menopause, dimensi tumor, tahapan tumor dan seberapa

luas penyebarannya, stadium tumor dan keganasannya, status reseptor

homon tumor, dan penyebaran tumor telah mencapai simpul limfe atau

belum (Kozier, 2008).

2. Klasifikasi

Tipe mastektomi menurut Kozier (2008) dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

a. Mastektomi radikal, yaitu pengangkatan seluruh payudara kulit otot

pektoralis mayor dan minor, nodus limfe ketiak, kadang-kadang nodus

limfe mammary internal atau supraklavikular.

b. Mastektomi total (sederhana), yaitu mengangkat semua jaringan

payudara tetapi kebanyakan nodus limfe dan otot dada tetap utuh

c. Prosedur terbatas (Lumpektomi) yaitu hanya beberapa jaringan

sekitanya diangkat.

Menurut Suryo (2009) ada 3 jenis mastektomi, yaitu:

a. Simple Mastectomy (Total Mastectomy), pada prosedur operasi ini,

keseluruhan jaringan payudara diangkat, tapi kelenjar getah bening yang

berada di bawah ketiak (axillary lymph nodes) tidak diangkat.

Kadangkadang sentinel lymph node, yaitu kelenjar getah bening utama,

yang langsung berhubungan dengan payudara, diangkat juga. Untuk

mengidentifikasi sentinel lympnode ahli bedah akan menyuntikkan

suatu cairan dan/atau radioactive tracer kedalam area sekitar putting

payudara. Cairan atau tracer tadi akan mengalir ketitik-titik kelenjar

getah bening, yang pertama akan sampai ke sentinel lymp node. Ahli

bedah akan menemukantitik-titik pada KGB (kelenjar Getah Bening)

yang warnanya berbeda (apabila digunakan cairan) atau pancaran radiasi

(bila menggunakan tracer). Cara ini biasanya mempunyai resiko rendah

akan terjadinya lymphedema (pembengkakan pada lengan) daripada

axillary lymp node dissection. Bila ternyata hasilnya sentinel node bebas

dari penyebaran kanker,maka tidak ada operasi lanjutan untuk KGB.

Apabila sebaliknya, maka dilanjutkan operasi pengangkatan KGB.

33

Operasi ini kadang-kadang dilakukan pada kedua payudara pada

penderita yang berharap menjalani mastektomi sebagai pertimbangan

pencegahan kanker. Penderita yang menjalani simple mastectomy

biasanya dapat meninggalkan rumahsakit setelah dirawat dengan singkat

seringkali, saluran drainase dimasukkan selama operasi di dada

penderita dan menggunakan alat penghisap (suction) kecil untuk

memindahkan cairan subcutaneous (cairan dibawah kulit). Alat-alat ini

biasanya dipindahkan beberapa hari setelah operasi apabila drainase

telah berkurang dari 20-30 ml perhari.

b. Modified Radical Mastectomy, keseluruhan jaringan payudara diangkat

bersama dengan jaringan-jaringan yang ada di bawah ketiak (kelenjar

getah bening dan jaringan lemak). Berkebalikan dengan simple

mastectomy, m. pectoralis (otot pectoralis) ditinggalkan.

c. Radical Mastectomy atau Halsted Mastectomy, pertama kali

ditunjukkan pada tahun 1882, prosedur operasi ini melibatkan

pengangkatan keseluruhan jaringan payudara, kelenjar getah bening di

bawah ketiak, dan m. pectoralis mayor dan minor (yang berada di bawah

payudara). Prosedur ini lebih jelek dari pada modified radical

mastectomy dan tidak memberikan keuntungan pada kebanyakan tumor

untuk bertahan. Operasi ini, saat ini lebih digunakan bagi tumor-tumor

yang melibatkan pectoralis mayor atau kanker payudara yang kambuh

yang melibatkan dinding dada.

3. Indikasi Operasi Mastektomi

Menurut indikasi operasi mastektomi dilakukan pada kanker payudara

stadium 0 (insitu), keganasan jaringan lunak pada payudara, dan tumor jinak

payudara yang mengenai seluruh jaringan payudara (misal: phyllodestumor).

4. Kontra Indikasi Operasi Mastektomi

Kontra indikasi operasi mastektomi adalah tumor melekat dinding dada,

edema lengan, nodul satelit yang luas, dan mastitis inflamatoar (Engram,

2009).

34

5. Komplikasi Operasi Mastektomi

Komplikasi operasi mastektomi dibedakan menjadi fase dini dan fase

lambat. Fase dini meliputi pendarahan, lesi nodul thoracalis longus wing

scapula, dan lesi nodul thoracalis dorsalis. Fase lambat meliputi infeksi,

nekrosis flap, seroma, edema lengan, kekakuan sendi, dan bahu kontraktur

(Engram, 2009).

6. Pra Operasi Mastektomi

Menurut Sjamsuhidajat (2010), pasien pra mastektomi akan mengalami

masalah psikologis, karena payudara merupakan alat vital seseorang ibu dan

wanita, kelainan atau kehilangan akibat operasi payudara sangat terasa oleh

pasien, haknya seperti dirampas sebagai wanita normal, ada rasa kehilangan

tentang hubungannya dengan suami, dan hilangnya daya tarik serta pengaruh

terhadap anak dari segimenyusui. (Sjamsuhidajat, 2010).

E. Penelitian Terkait

1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Inayati (2017) yang berjudul

Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Peningkatan Tekanan Darah Pada

Pasien Praoperasi Elektif Diruang Bedah menyatakan bahwa Kecemasan

merupakan suatu keadaan emosi tanpa suatu objek yang spesifik dan

pengalaman subjektif dari individu serta dan tidak dapat diobservasi dan

dilihat secara langsung. Kecemasan diartikan sebagai suatu kebingungan,

kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab atau objek

yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak

berdaya. Sebagai contoh kekhawatiran menghadapi operasi (misalnya takut

sakit waktu operasi, takut terjadi kecacatan), kekhawatiran terhadap anestesi

atau pembiusan (misalnya takut terjadi kegagalan anestesi/ meninggal, takut

tidak bangun lagi). Tindakan Preoperatif adalah fase dimulai ketika

keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir

ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.

Fase preoperasi merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan

Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelasdan tidak didukung

35

oleh situasi hal ini dapat menimbulkan berbagai respon fisiologi salah

satunya adalah peningkatan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah akan

mengganggu operasi karena bias menyebabkan pendarahan dan bisa

menggagalkan penatalaksanaan operasi. Ketakutan dan kecemasan yang

sangat berlebihan, akan membuat klien menjadi tidak siap secara emosional

untuk menghadapi pembedahan, dan akan menghadapi masalah praoperatif

seperti Tertundanya operasi karena tingginya denyut nadi perifer dan

mempengaruhi palpasi jantung. Hasil dari penelitian ini adalah analisis

univariat menunjukkan bahwa 17 responden (56,7%) yang mengalami

kecemasan berat dan 13 responden (43,3%) mengalami kecemasan ringan-

sedang. Responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan-sedang,

sebagian besar mengalami hipertensi yaitu sebesar 61,5% dan responden

yang memiliki tingkat kecemasan berat-berat sekali sebagian besar memiliki

tekanan darah hipertensi yaitu sebesar 58,8%. Hasil uji bivariat antara

Tingkat Kecemasan dengan Tekanan Darah didapat nilai P-Value 0,023 yang

berarti ada hubungan tingkat kecemasan dengan tekanan darah. Sedangkan

odd rasio/ faktor resiko (OR) yaitu 0,893 artinya responden yang memiliki

tingkat kecemasan berat-berat sekali mempunyai kemungkinan 0,893 kali

untuk terjadi Hipertensi.

2. Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Desvianti (2019) yang berjudul

Pengaruh Psikoedukasi terhadap Kecemasan Ibu Pre Operasi Kanker

Payudara didapatkan hasil penelitian data distribusi rata rata kecemasan

sebelum dilakukan terapi psikoedukasi dengan hasil 47,93, standar deviasi

83,29, nilai minimum 30, dan skor maksimum 61. Dimana 47,93 masuk

dalam kategori kecemasan sedang (45-59). Setelah dilakukan terapi

psikoedukasi tampak adanya penurunan distribusi rata-rata, hasil penelitian

ini diperoleh data distribusi rata-rata kecemasan responden setelah dilakukan

terapi psikoedukasi dengan hasil 40,53, standar deviasi 6,334, nilai minimum

27, dan nilai maksimum 49. Secara kuantitatif penelitian ini bermakna karena

menunjukakan adanya perbedaan skor kecemasan sebelum dan sesudah

36

dilakukan terapi psikoedukasi. Rata rata kecemasan berkurang menjadi 40,53

termasuk kecemasan ringan. Hasil analisis bivariat penelitian yang telah

dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh

hasil (0,000)<α (0,05) yang berarti H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan

bahwa melakukan psikoedukasi berpengaruh terhadap penurunan tingkat

kecemasan pasien pre operasi kanker payudara di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung 2018.

3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Niken, Yunnie, Syamsul pada tahun

2014 di RSUD Tugungrejo Semarang dengan judul efektifitas waktu

penerapan Teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan kecemasan pada

pasien pre operasi bedah mayor abdomen, penelitian yang dilakukan pada 16

responden menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan didapatkan p-value 0,000.

Waktu penerapan teknik relaksasi nafas dalam 1 jam sebelum pasien masuk

ruang operasi lebih efektif dibandingkan 4 jam sebelum pasien masuk ruang

operasi terhadap penurunan kecemasan pasien pre operasi bedah mayor

abdomen.