5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Perioperatif
1. Konsep Pembedahan
a. Pengertian Pembedahan
Pembedahan merupakan pengalaman unik perubahan terencana pada
tubuh dan terdiri dari tiga fase yaitu praoperatif, intra operatif, dan pasca
operatif. Keperawatan perioperatif merupakan proses keperawatan untuk
mengembangkan rencana asuhan secara individual dan
mengkoordinasikan serta memberikan asuhan pada pasien yang
mengalami pembedahan atau prosedur invasif. Perawat kamar bedah
dalam pelayanannya berorientasi pada respon pasien secara fisik,
psikologi spiritual, dan sosial-budaya (AORN, 2013). Keperawatan
perioperatif tidak lepas dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah.
Dengan demikian, ilmu bedah yang semakin berkembang akan
memberikan implikasi pada perkembangan keperawatan perioperatif
(Muttaqin & Sari, 2011). Keperawatan perioperatif adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang
berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien (HIPKABI, 2014).
Tiga fase ini secara bersamaan disebut fase perioperatif
b. Peran Perawat Perioperatif
Kamar operasi adalah lingkungan khusus yang dibuat dengan satu tujuan
utama yaitu keselamatan pasien. Perawat yang bekerja di kamar operasi
bertindak sebagai advokator dari pasien yang tidak dapat mengadvokasi
diri mereka sendiri sebagai akibat dari pemberian anastesi. Pasien selama
proses pembedahan adalah menjadi tanggung jawab tim bedah, yang
minimal terdiri dari dokter (operator), tim anastesi, perawat scrub, dan
perawat sirkulasi (Litwack, 2009). Perawat scrub dan perawat sirkulasi
inilah yang disebut sebagai perawat kamar bedah (operating room nurse).
6
1) Perawat Instrumen (scrub nurse)
Perawat scrub atau di Indonesia juga dikenal sebagai perawat
instrumen merupakan perawat kamar bedah yang memiliki tanggung
jawab terhadap manajemen area operasi dan area steril pada setiap
jenis pembedahan (Muttaqin, 2009).
Menurut Association of Perioperative Registered Nurse (AORN),
perawat scrub bekerja langsung dengan ahli bedah di bidang steril,
operasional instrumen, serta bagian lain yang dibutuhkan selama
prosedur operasi (Litwack, 2009). Peran perawat instrumen :
a) Memperingatkan tim bedah jika terjadi penyimpangan prosedur
aseptik
b) Membantu mengenakan jas steril dan sarung tangan untuk ahli
bedah
c) Menata instrumen steril di meja operasi sesuai dengan urutan
prosedur operasi.
d) Memberikan cairan antiseptik pada kulit yang akan diinsisi.
e) Membantu melakukan prosedur drapping.
f) Memberikan instrumen kepada ahli bedah sesuai urutan prosedur
dan kebutuhan tindakan pembedahan secara tepat dan benar.
g) Mempersiapkan benang-benang jahitan sesuai kebutuhan dalam
keadaan siap pakai.
h) Membersihkan instrumen dari darah dari darah pada saat intra
operasi untuk mempertahankan serilitas alat di meja instrumen.
i) Menghitung kassa, jarum, dan instrumen sebelum, selama, dan
setelah operasi berlangsung.
j) Memberitahukan hasil perhitungan jumlah alat, kassa, dan jarum
pada ahli bedah sebelum operasi dimulai dan sebelum luka ditutup
lapis demi lapis.
k) Mempersiapkan cairan untuk mencuci luka.
l) Membersihkan luka operasi dan kulit sekitar luka.
7
2) Perawat Sirkulasi (circulation nurse)
Perawat sirkulasi merupakan perawat berlisensi yang bertanggung
jawab untuk mengelola asuhan keperawatan pasian di dalam kamar
operasi dan mengkoordinasikan kebutuhan tim bedah dengan tim
perawatan lain yang diperlukan untuk menyelesaikan tindakan operasi
(Litwack, 2009). Perawat sirkulasi juga bertanggung jawab untuk
menjamin terpenuhinya perlengkapan yang dibutuhkan oleh perawat
scrub dan mengobservasi pasien tanpa menimbulkan kontaminasi
terhadap area steril (Muttaqin, 2009). Pendapat perawat sirkulasi
sangat dibutuhkan dan sangat membantu, terutama dalam
mengobservasi penyimpangan teknik aseptik selama prosedur operasi.
Peran perawat sirkulasi :
a) Mengatur posisi pasien sesuai jenis operasi.
b) Membuka set steril dengan memperhatikan teknik aseptik.
c) Mengobservasi intake dan output selama tindakan operasi.
d) Melaporkan hasil pemantauan hermodinamik kepada ahli anastesi.
e) Menghubungi petugas penunjang medis (petugas radiologi,
laboratorium, farmasi, dan lain sebagainya) apabila diperlukan
selama tindakan operasi.
f) Menghitung dan mencatat pemakaian kassa bekerjasama dengan
perawat scrub.
g) Mengukur dan mencatat tanda-tanda vital
h) Memeriksa kelengkapan instrumen dan kain kassa bersama
perawat scrub agar tidak ada yang tertinggal dalam tubuh pasien
sebelum luka operasi ditutup.
c. Tahap-tahap didalam Keperawatan Perioperatif
1) Fase pra operasi
Masa pra operasi dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan
intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien berada di meja operasi.
8
Sebelum pembedahan dilakukan lingkup aktivitas keperawatan
selama waktu tersebut dapat mencakup pengkajian dasar pasien di
tataan klinik ataupun rumah wawancara pra operasi dan menyiapkan
pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan. Tujuan
perawatan praoperasi :
a) Menciptakan hubungan yang baik dengan pasien memberikan
penyuluhan tentang tindakan.
b) Mengkaji merencanakan dan memenuhi kebutuhan pasien.
c) Akibat tindakan anestesi yang akan dilakukan.
d) Mengantisipasi dan menanggulangi kesulitan yang mungkin
timbul.
2) Fase intra operasi
Intra operasi dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke instalasi
bedah atau meja operasi dan berakhir saat pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan atau recovery room atau istilah lainnya adalah post
anesthesia kerja unit atau post anesthesia care unit. Pada fase ini
ruang lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan intravena
kateter, pemberian medikasi intravena, dan melakukan pemantauan
kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan
menjaga keselamatan pasien.
3) Fase pasca operasi
Masa pasca operasi dimulai dengan masuknya pasien ke ruang
pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan
klinik atau ruang perawatan bedah atau di rumah. Lingkup aktivitas
keperawatan meliputi rentang aktivitas yang luas selama periode ini.
Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen atau obat anestesi
dan serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan
penyuluhan perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk
penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan pasien. Perawatan
9
pasca anestesi atau pembedahan dimulai sejak pasien dipindahkan ke
ruang pulih sadar sampai diserahterimakan kembali pada perawat di
ruang rawat inap jika kondisi pasien tetap kritis pasien dipindahkan ke
intensive care unit (Majid, 2011).
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Pengkajian
Keperawatan pre operasi merupakan tahap awal dari keperawatan
perioperatif. Kesuksesan tindakan pembedahan secara keseluruhan sangan
tergantung pada fase ini. Adapun persiapan yang perlu dilakukan sebelum
menjalani tindakan pembedahan adalah sebagai berikut :
1) Pengkajian fisik
a) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan umum meliputi identitas, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,
pemeriksaan fisik lengkap, yang meliputi status hemodinamika,
status kardiovaskuler, status pernapasan, fungsi ginjal dan hepatik,
fungsi endokrin, dan fungsi imunologi.
b) Status nutrisi
Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di korekis sebelum
pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk
memperbaiki jaringan. Status gizi yang buruk dapat
mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca
bedah dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama di rawat di
rumah sakit.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Keseimbangan cairan dan eletrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.
Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan
10
ekskresi metabolik obat-obatan anestesi. Jika fungsi ginjal baik
maka operasi dapat dilakukan dengan baik, namun jika ginjal
mengalami gangguan seperti oliguri atau anuris, insufisiensi renal
akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda menuggu perbaikan
fungsi ginjal, kesuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.
d) Kebersihan lambung dan kolon
Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi yaitu masuknya cairan lambung ke dalam
paru-paru dan menghindari kontaminasi feses ke arah pembedahan
sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.
Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi cito atau segera,
seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka pengosongan
lambung dapat dilakukan dengan cara memasang selang
nasogastrik.
e) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi
kuman dan juga mengganggu atau menghambat proses
penyembuhan dan perawatan luka titik daerah yang dilakukan
pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan
dioperasi.
f) Personal Hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan
dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
g) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih atau bladder dilakukan dengan
melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi
kandung kemih dengan tindakan kateterisasi juga diperlukan untuk
11
mengobservasi keseimbangan cairan.
2) Persiapan mental atau psikis
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam
proses persiapan operasi, karena mental pasien yang tidak siap atau labil
dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan
merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang
yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis
(Majid 2011). Kecemasan atau ketakutan dapat berakibat pada perubahan
fisiologis pasien sebelum menjalani pembedahan, diantaranya adalah:
a) Pasien yang mengalami kecemasan sebelum operasi dapat
mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan
meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan karena dapat
mengakibatkan pasien mengalami perdarahan saat pembedahan.
b) Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat
mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya sehingga operasi
terpaksa harus ditunda. Pada saat pre operasi perawat perlu mengkaji
mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam
menghadapi stres dan kecemasan. Disamping itu perawat perlu
mengkaji juga hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien
dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini seperti
adanya orang terdekat tingkat perkembangan pasien faktor pendukung
atau support system (Majid, 2011).
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa menurut Standar Diagnosa Keperawatan Inonesia (2018) yang
mungkin muncul pada pre operasi adalah :
1) Ansietas
Ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu
terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan indivudi melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman
(SDKI, 2018).
12
Tabel 2.1
Gejala dan Tanda Ansietas Gejala dan tanda mayor
Subyektif Obyektif
- Merasa bingung
- Merasa khawatir dengan akibat
dari kondisi yang dihadapi
- Sulit berkonsentrasi
- Tampak gelisah
- Tampak tegang
- Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subyektif Obyektif
- Mengeluh pusing
- Anoreksia
- Palpitasi
- Merasa tidak berdaya
- Frekuensi napas meningkat
- Frekuensi nadi meningkat
- Tekanan darah meningkat
- Diaforesis
- Tremor
- Muka tampak pucat
- Suara bergetar
- Kontak mata buruk
- Sering berkemih
- Berorientasi pada masa lalu
Menurut Stuart (2006) dalam Rahmayati (2018) kecemasan pada pasien
yang akan dilakukan operasi biasanya berhubungan dengan segala macam
prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap
keselamatan jiwa akibat prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan.
Pasien yang mengalami kecemasan menunjukan gejala mudah
tersinggung, susah tidur, gelisah, lesu, mudah menangis dan tidur tidak
nyenyak. Dan salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan
pasien yaitu dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien pre
operasi (Basra, 2017).
c. Intervensi
Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi
keperawatan yang dilakukan berdasarkan 3 diagnosa diatas adalah :
1) Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
Intervensi
Observasi :
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah ( misal : kondisi, waktu,
13
stresor)
- Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
- Monitor tanda-tanda ansietas ( verbal dan non verbal)
Teraupetik :
- Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan kepercayaan
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
- Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan
datang
Edukasi :
- Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan
prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
- Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
- Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
- Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
- Latih teknik relaksasi (tarik napas dalam)
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
Salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien yaitu
dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien pre operasi. Hal
ini berdasarkan teori yang diungkapkan Peplau, asuhan keperawatan yang
berfokus pada individu, perawat dan proses interaktif yang menghasilkan
hubungan antara perawat dengan pasien. Berdasarkan teori ini pasien
adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah
14
proses interpersonal dan terapeutik, dimana perawat memiliki peran yang
cukup penting dalam mempengaruhi, menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kesehatan pasien melalui proses komunikasi (Warsini,
Irwanti & Siswanto, 2013 dalam Basra, 2017).
2. Intra Operasi
a. Pengkajian
Pengkajian intraoperatif bedah secara ringkas mengkaji hal-hal yang
berhubungan dengan pembedahan. Diantaranya adalah validasi
identitas dan prosedur jenis pembedahan yang akan dilakukan, serta
konfirmasi kelengkapan data penunjang laboratorium dan radiologi
(Muttaqin, 2009). Menurut Majid (2010) pada saat pembedahan
perawat perlu melakukan monitoring atau pemantauan fisiologis pada
pasien meliputi :
1) Pemantauan Keseimbangan cairan
Penghitungan balance cairan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan
dengan cara menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang
keluar pengecekan pada kantong kateter urin kemudian dilakukan
koreksi terhadap imbalan cairan yang terjadi. Seperti dengan
pemberian cairan infus.
2) Memantau kondisi kardiopulmonal
Pemantauan kondisi kardiopulmonal harus dilakukan secara
kontinu untuk melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak.
Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi pernapasan nadi dan
tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dan lain-lain
3) Memantau perubahan tanda-tanda vital
Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan
kondisi pasien masih dalam batas normal jika terjadi gangguan
harus dilakukan intervensi secepatnya. Biasanya pada fase intra
15
operasi pasien akan mengalami hipotermi yang disebabkan oleh
suhu ruangan rendah. Infus yang dingin, inhalasi gas-gas dingin,
luka terbuka pada tubuh, usia lanjut, atau obat-obatan yang
digunakan.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan intraoperatif yang merujuk pada Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018) yang mungkin adalah sebagai
berikut:
1) Risiko Perdarahan berhubungan dengan Tindakan Pembedahan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018) risiko
perdarahan adalah berisiko mengalami kehilangan darah internal
(dari dalam tubuh) atau eksternal (dari luar tubuh). Faktor risiko
yang dapat menimbilkan perdarahan pada pasien adalah sebagai
berikut :
- Aneurisma
- Gangguan gatrointestinal
- Gangguan fungsi hati
- Komplikasi kehamilan
- Komplikasi pasca partum
- Gangguan koagulasi
- Efek agen farmakologis
- Trauma
- Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan
- Proses keganasan
- Tindakan pembedahan
2) Risiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Proses Pembedahan
Risiko hipotermia perioperatif adalah pasien yang berisiko
mengalami penurunan suhu tubuh dibawah 36oC secara tiba-tiba
yang terjadi satu jam sebelum pembedahan hingga 24 jam setelah
pembedahan (SDKI, 2018). Faktor risiko yang dapat
16
mengakibatkan pasien dapat mengalami hipotermia perioperatif
adalah sebagai berikut :
- Prosedur pembedahan
- Kombinasi anestesi regional dan umum
- Skore American Ssociety of Anesthesiologist > 1
- Suhu praoperasi rendah <360C
- Berat badan rendah
- Neuripati diabetik
- Komplikasi kardiovaskuler
- Suhu lingkungan rendah
Kejadian menggigil pada pasien intra operasi dengan anestesi
spinal cukup besar mencapai 39-85% hal ini berkaitan dengan
kehilangan panas melalui kulit, suhu kamar operasi yang dingin,
penggunaan cairan yang cepat dan banyak pada suhu kamar,
penurunan ambang vasokonstriksi dan menggigil, dan juga efek
langsung dari larutan obat anestesi yang dinginkan pada struktur
termosensitif di medula spinalis (Roy et. al., 2004 dalam
Marlinda, 2016). Menurut Lumintang (2000) dalam Marlinda
(2016) penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa
dampak yang sangat komplek pada suatu operasi salah satu
diantaranya akan menyebabkan perubahan homeostatis didalam
tubuh sehingga mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas
yang meningkat. Hipotermia yang dialami pasien akan
mempengaruhi beberapa sistem organ. Hipotermia pada awalnya
menyebabkan kenaikan laju metabolisme, pada sistem
kardiovaskuler terjadi takikardia, resistensi pembuluh darah
perifer untuk menghasilkan menggigil maksimal. Hipotermia juga
menyebabkan penurunan denyut jantung sehingga kontraktilitas
ventrikel menurun dan menyebabkan enurunan tekanan darah.
Risiko terjadi fibrilasi ventrikel meningkat pada suhu di bawah
17
28°C. Sistem respirasi pada awalnya mengalami takipneu, apabila
berlanjut bisa terjadi bradipneu dan retensi karbondioksida, kulit
menjadi sianotik. Metabolisme otak menurun 6-7% per 1°C
penurunan suhu, yang mengakibatkan tingkat penurunan
kesadaran, tidak responsive terhadap nyeri, pada hipotermia berat
seseorang memperlihatkan tanda klinis seperti kematian (Potter &
Perry, 2009 dalam Rositasari, 2017).
c. Rencana Intervensi
Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi
keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa diatas adalah:
1) Risiko Perdarahan berhubungan dengan Tindakan Pembedahan
Intervensi
Observasi:
- Monitor tanda dan gejala perdarahan
- Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan sesudah
kehilangan darah
- Monitor tanda-tanda vital ortostatik
- Monitor koagulasi
Teraupetik:
- Pertahankan bedrest selama perdarahan
- Batasi tindakan invasif, jika perlu
Edukasi:
- Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
- Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
- Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian produk darah , jika perlu
18
2) Risiko hipotermi perioperatif
Intervensi
Observasi:
- Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab hipotermia (Misal: terpapar suhu
lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju
metabolisme, kekurangan lemak subkutan)
- Monitor tanda dan gejala hipotermia
Teraupetik:
- Sediakan lingkungan yang hangat ( misal: atur suhu ruangan)
- Ganti pakaian atau linen yang basah
- Lakukan penghangatan pasif (misal : selimut, menutup kepala,
pakaian tebal)
- Lakukan penghatan aktif eksternal (Misal : kompres hangat,
botol hangat, selimut hangat, metode kangguru)
- Lakukan penghangatan aktif internal (misal : infus cairan
hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)
Edukasi:
- Jelaskan cara pencegahan hipotermia karena terpapar udara
dingin
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian antipiretik, bila perlu
Penatalaksanaan pencegahan hipotermi ini dilakukan tidak hanya pada
saat periode intra operasi namun juga sampai pasca operasi (Majid,
2011).
3. Post Operasi
a. Pengkajian
Menurut Majid (2011) pengkajian post operasi dilakukan secara
sitematis mulai dari pengkajian awal saat menerima pasien, pengkajian
19
status respirasi, status sirkulasi, status neurologis dan respon nyeri,
status integritas kulit dan status genitourinarius.
1) Pengkajian Awal
Pengkajian awal post operasi adalah sebagai berikut
- Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
- Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas, tanda-
tanda vital
- Anastesi dan medikasi lain yang digunakan
- Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin
memengaruhi peraatan pasca operasi
- Patologi yang dihadapi
- Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian
- Segala selang, drain, kateter, atau alat pendukung lainnya
- Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anastesi
yang akan diberitahu.
2) Status Respirasi
a) Kontrol pernafasan
- Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernapasan
- Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi
pernapasan, kesemitrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas,
dan arna membran mukosa
b) Kepatenan jalan nafas
- Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai
pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal.
- Salah satu khawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan
nafas akibat aspirasi muntah, okumulasi sekresi, mukosa di
faring, atau bengkaknya spasme faring.
c) Status Sirkulasi
20
- Pasien berisiko mengalami komplikasi kardiovaskuler akibat
kehilangan darah secara aktual atau risiko dari tempat
pembedahan, efek samping anastesi, ketidakseimbangan
elektrolit, dan defresi mekanisme regulasi sirkulasi normal.
- Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung yang teliti serta
pengkajian tekanan darah menunjukkan status kardiovaskuler
pasien.
- Perawat membandingkan tanda-tanda vital pra operasi dan post
operasi
d) Status Neurologi
- Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien dengan cara
memanggil namanya dengan suara sedang
- Mengkaji respon nyeri
e) Muskuloskletal
- Kaji kondisi organ pada area yang rentan mengalami cedera
posisi post operasi.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien post operasi adalah:
1) Resiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Suhu
Lingkungan Rendah
Menurut Drain, C.B (1994 dalam Marlinda 2016) menyebutkan
sekitar 60% pasien pasca bedah dini yang masuk Recovery Room
(ruang pulih sadar) akan mengalami berbagai derajat hipotermi.
Penurunan suhu tubuh di bawah normal ini akan membawa dampak
yang sangat komplek pada suatu operasi salah satu diantaranya akan
menyebabkan perubahan homeostatis didalam tubuh sehingga
mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas yang meningkat.
21
c. Intervensi
Menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) Intervensi
keperawatan yang dilakukan berdasarkan diagnosa diatas adalah:
1) Resiko Hipotermi Perioperatif berhubungan dengan Terpapar Suhu
Lingkungan Rendah
Intervensi
Observasi:
- Monitor suhu tubuh
- Identifikasi penyebab hipotermia, (Misal : terpapar suhu lingkungan
rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme,
kekurangan lemak subkutan)
- Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi
Teraupetik:
- Sediakan lingkungan yang hangat ( misal : atur suhu ruangan)
- Lakukan penghangatan pasif (misal: Selimut, menutup kepala,
pakaian tebal)
- Lakukan penghatan aktif eksternal (misal: kompres hangat, botol
hangat, selimut hangat, metode kangguru)
- Lakukan penghangatan aktif internal (misal: infus cairan hangat,
oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)
Edukasi:
- Jelaskan cara pencegahan hipotermia karea terpapar udara dingin
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian antipiretik, bila perlu.
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Anatomi dan Fisiologi Payudara
Jaringan payudara dibentuk oleh glandula yang memproduksi air susu
(lobulus) yang dialirkan ke putting (nipple) melalui ductus. Struktur lainnya
adalah jaringan lemak yang merupakan komponen terbesar, connective
tissur, pembuluh darah dan saluran beserta kelenjar limfatik. Setiap payudara
22
mengandung 15-20 lobus yang tersusun sirkuler. Jaringan lemak
(subcutaneous adipose tissue) yang membungkus lobus memberikan bentuk
dan ukuran payudara. Tiap lobus terdiri dari beberapa lobulus yang
merupakan tempat produksi air susu sebagai respon dari signal hormonal.
Terdapat 3 hormon yang mempengaruhi payudara yakni estrogen,
progesterone, dan prolactin, yang menyebabkan jaringan glandular payudara
dan uterus mengalami perubahan selama siklus menstruasi. Aerola adalah
area hiperpigmentasi di sekitar puting (dr. Suyatno & Pasaribu, 2010).
Jaringan payudara juga didukung oleh ligamentum suspensorium cooper.
Ligament ini berjalan sepanjang parenkim dari fasia dalam (deep fascia) dan
melekat ke dermis. Tidak ada otot dalam payudara, tapi otot terletak di
bawah payudara dan menutup iga. Kelenjar mammaria atau payudara,
terletak di dalam fasia superfisial dinding dada anterior. Payudara terletak di
iga ke-2 sampai ke-6 dan dari batas lateral sternum sampai ke garis anterior,
atau midaksilaris. Kelenjar ini dikelilingi oleh 19 jaringan ikat subkutis,
jaringan lemak, dan terdapat di dalam kantong kulit berbentuk kerucut.
Bagian terbesr dari kelenjar mammaria terletak di sebuah anterior jaringan
ikat dan otot pektoralis mayor dan di sebelah lateral otot serratus anterior.
Struktur penunjang yang menopang payudara dikenal sebagai ligamentum
cooper. Jaringan mammaria tambahan, yang dikenal sebagai ekor aksilaris
atau ekor spence, meluas ke atas dan ke lateral menuju lipatan aksila anterior
(Muttaqin & Sari, 2009).
2. Definisi Kanker Payudara
Kanker Payudara merupakan gangguan dalam pertumbuhan sel normal
mammae dimana sel abnormal timbul dari sel-sel normal, berkembang baik
dan menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh darah (Nurarif & Kusuma,
2016). Kanker payudara terjadi karena adanya pertumbuhan abnormal sel
pada payudara. Organ-organ dan kelenjar dalam tubuh (termasuk payudara)
terdiri dari jaringan-jaringan, berisi sel. Umumnya, pertumbuhan sel normal
mengalami pemisahan, dan mati ketika sel menua dan digantikan dengan sel-
23
sel baru. Tapi, ketika sel-sel lama tidak mati dan sel-sel baru terus tumbuh
meski belum diperlukan. Jumlah sel yang berlebihan tersebut berkembang
tidak terkendali sehingga membentuk tumor. Namun tidak semua tumor
merupakan kanker, terutama pada payudara. Ada jenis tumor jinak (non
kanker) ada juga tumor ganas (kanker) (Sastrosudarmo, 2014).
3. Etiologi Kanker Payudara
Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan, tetapi terdapat beberapa
factor risiko yang telah ditetapkan, keduanya adalah lingkungan genetic.
Kanker payudara memperlihatkan poliferasi keganasan sel epitel yang
membatasi ductus arau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat
hyperplasia sel dengan perkembangan sel-sel yang atipikal dan kemudian
berlanjut menjadi karsinoma insitu dan menginvasi stroma. Kanker
membutuhkan waktu 7 tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa.
Hormone steroid yang dihasilkan oleh ovarium juga berperan dalam
pembentukan kanker payudara (estradisol dan progesterone mengalami
perubahan dalam lingkungan seluler) (Saifudin, 2009 dalam (Nurarif &
Kusuma, 2016).
Risiko untuk menderita kanker payudara meningkat pada wanita yang
mempunyai factor risiko. Yang termasuk factor risiko kanker payudara
adalah (dr. Suyatno & Pasaribu, 2010):
a. Jenis kelamin wanita. Insiden kanker payudara pada wanita dibanding
pria lebih dari 100:1. Secara umum 1 dari 9 wanita Amerika akan
menderita kanker payudara sepanjang hidupnya
b. Usia. Risiko meningkat dari 1:2900 ke 1:290 antara decade ketiga dan
decade ke delapan. Wanita usia 60-79 mempunyai kemungkinan
menderita kanker payudara1:14 dibanding wanita usia kurang dari 39
tahun, yang mempunyai kemungkinan 1:14
c. Riwayat keluarga : pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama (ibu
dan saudara kandung) mempunyai risiko 4-6 kali disbanding wanita
yang tidak punya factor risiko ini. Usia saat terkena juga memengaruhi
24
factor risiko, pasien dengan ibu di diagnose kanker payudara saat usia
kurang dari 60 tahun risiko meningkat 2 kali. Pasien dengan keluarga
tingkat pertama 21 premenopause menderita kanker payudara bilateral,
mempunyai risiko 9 kali. Pasien dengan keluarga tingkat pertama post
menopause mendrita kanker payudara bilateral mempunyai risiko 4-5,4
kali.
d. Usia melahirkan anak pertama, jika usia 30 atau lebih risiko 2 kali
dibanding wanita yang melahirkan usia kurang dari 20 tahun.
e. Riwayat menderita kanker payudara, juga merupakan factor risiko untuk
payudara kontralateral. Risiko ini tergantung pada usia saat diagnosis.
Risiko ini meningkat pada wanita usia muda
f. Predisposisi genetical. Resiko ini berjumlah kurang dari 10% kanker
payudara. Autosomal dominant inheritance terlihat pada Li-Fraumeni
syndrome, Muir-Torre syndrome, Cowden syndrome, Peutfz-Jeghers
syndrome dan mutase BRCA-1 dan BRCA-2. Risiko untuk menderita
kanker payudara mendekati 50% bila usia kurang dari 50 tahun dan
lebih 80% sebelum usia 65 tahun. Ataxia telangietctasis(Autosomal
recessive inheritances) merupakan factor risiko lain.
g. Ductal carcinoma in situ (DCIS) dan lobular carcinoma in situ (LCIS)
pada biopsy. Hal ini merupakan marker untuk terjadinya lesi invasive.
h. Poliferasi benigna dengan hyperplasia disertai adanya riwayat keluarga
risiko meningkat 10 kali. Pada tumor jinak yang menunjukkan ekspresi
reseptor estrogen dan progesterone risikonya 3,2 kali (Kahn).
Hyperplasia atipikal terlihat pada 10% specimen biopsy
i. Radiasi :radiasi pada usia di bawah 16 mempunyai risiko 100 kali,
radiasi sebelum umur 20 tahun mempunyai risiko 18 kali, usia 20-29
tahun risiko 6 kali, radiasi setelah usia 30 tahun risiko tidak bermakna.
Lebih kurang 0,1% pasien yang diradiasi akan timbul sarcoma setelah 5
tahun.
25
j. Perubahan gaya hidup : diet tinggi kalori, diet tinggi lemak, konsumsi
alcohol dan merokok, dan obesitas pada menopause
k. Hormonal : menarche di bawah 12 tahun risiko 1,7-3,4 kali, menopause
usia di atas 55 tahun risiko 1,5 kali. Penggunaan oral kontrasepsi lebih
dari 8-10 tahun juga meningkatkan risiko.
4. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala kanker payudara(dr. Suyatno & Pasaribu, 2010):
a. Ada benjolan yang keras di payudara dengan atau tanpa rasa sakit.
b. Bentuk puting berubah (retraksi nipple atau terasa sakit terus-menerus)
atau puting mengeluarkan cairan/darah (nipple discharge)
c. Ada perubahan pada kulit payudara di antaranya berkerut seperti kulit
jeruk (peau’u d’orange), melekuk ke dalam (dimpling) dan ulkus
d. Adanya benjolan-benjolan kecil di dalam atau kulit payudara (nodul
satelit)
e. Ada luka di puting payudara yang sulit sembuh
f. Payudara terasa panas, memerah dan bengkak
g. Terasa sakit/ nyeri
h. Benjolan yang keras itu tidak bergerak dan biasanya pada awal-awalnya
tidak terasa sakit
i. Apabila benjolan itu kanker, awalnya biasanya hanya pada satu
payudara. Adanya benjolan di aksila dengan atau tanpa masa di
payudara
Sedangkan menurut Irianto (2015) ada tanda dan gejala yang khas
menunjukkan adanya suatu keganasan, antara lain:
a. Adanya retraksi / inversi nipple (dimana puting susu tertarik ke dalam
atau masuk dalam payudara) berwarna merah atau kecoklatan sampai
menjadi edema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau d
“orange), mengkerut atau timbul borok (ulkus) pada payudara . Ulkus
makin lama makin besar dan mendalam sehingga dapat menghancurkan
seluruh payudara , sering berbau busuk dan mudah berdarah.
26
b. Keluarnya cairan dari putting susu. Yang khas adalah cairan keluar dari
muara duktud satu payudara dan mungkin berdarah, timbul pembesaran
kelenjar getah beningdi ketiak, bengkak (edema) pada lengan dan
penyebaran kanker ke seluruh tubuh. Kanker payudara yang sudah
lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui kriteria operbilitas
Heagensen sebagai berikut.
1) Benjolan payudara umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada
payudara. Benjolan itu mula-mula tidak nyeri makin lama makin
besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada
kulit payudara atau putting susu
2) Adanya nodul satelit pada kulit payudara, kanker jenis mastitis
karsinimatosa; terdapat nodul pada sternal; nodul pada
supraklavikula; adanya edema lengan; adanya metastase jauh
3) Kulit terfiksasi pada dinding thorak, kelenjar getah bening aksila
berdiameter 2,5cm dan kelenjar getah bening melekat satu sama lain.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi (USG) payudara
Pada USG, lesi hypoechoic dengan margin irregular dan shadowing
disertai orientasi vertical kemungkinan merupakan lesi maligna. Lesi ini
terkadang menunjukkan adanya infiltrasi ke jaringan lemak di
sekitarnya.Lesi solid benigna dengan batas tegas dan lobulated yang
terlihat sebagai lesi hypoechoic homogeny dan orientasi horizontal
diduga adalah fibroadenoma. USG secara umum diterima sebagai
metode terpilih untuk membedakan masa kistik dengan solid dan sebagai
guide untuk biopsy. Disamping untuk pemeriksaan pasien usia muda
(kurang dari 30 tahun).
b. Mamografi
Mamografi memegang peranan mayor dalam deteksi dini kanker
payudara, sekitar 75% kanker terdeteksi paling tidak satu tahun sebelum
tahun sebelum ada ada gejala atau tanda. Lesi dengan ukuran 2mm sudah
27
dapat dideteksi dengan mamografi. Akurasi mamografi untuk prediksi
malignasi adalah 70%-80%. Namun akurasi pada pasien usia muda
(kurang dari 30 tahun) dengan payudara yang padat adalah kurang
akurat. Terdapat 2 tipe 24 pemeriksaan mamografi: skrinning dan
diagnosis. Skrinning mamografi dilakukan pada wanita yang
asimptomatik. Deteksi dini dari kanker payudara yang masih kecil
memungkinkan pasien untuk mendapatkan kesuksesan terapi dengan
kualitas hidup yang lebih baik. Skrining mamografi direkomendasikan
setiap 1-2 tahun untuk wanita usia 40 tahun dan setiap tahun untuk usia
50 tahun atau lebih. Gambar 2.3 gambaran mamografi (Suyatno, 2010)
c. MRI
MRI sangat baik untuk deteksi local recurrence pasca BCT atau
augmentasi payudara dengan implant, deteksi multifocal cancer dan
sebagai tambahan terhadap mamografi pada kasus tertentu. MRI sangat
berguna dalam skrining pasien usia muda dengan densitas payudara yang
padat yang memiliki risiko kanker payudara yang tinggi. Sensitivitas
MRI mencapai 98%.
d. Biopsy
Biopsi pada payudara memberikan informasi sitologi atau histopatologi.
FNAB (Fine needle Aspiration Biopsy) merupakan salah satu prosedur
diagnosis awal, untuk evaluasi lesi kistik. Masa persisten atau rekurren
setelah aspirasi berulang adalah indikasi untuk biopsi terbuka (insisi atau
eksisi).
e. Bone scan, foto thoraks, USG abdomen
Pemeriksaan bone scanbertujuan untuk evaluasi metastasi di tulang.
Bone scan secara rutin tidak dianjurkan pada stadium dini yang
asimtommatis karena berdasarkan beberapa penelitian hanya 2% hasil
yang positif pada kondisi ini, berbeda dengan halnya pada yang
simtomatis stadium III, insiden posistif bone scan mencapai 25% oleh
karenanya pemeriksaan bone scan secara rutin sangat bermanfaat.
28
f. Pemeriksaan laboratorium dan marker
Pemeriksaan laboratorium darah yang dianjurkan adalah darah rutin,
alkaline phospatase, SGOT, SGPT dan tumor marker.Tumor marker
untuk kanker payudara yang dianjurkan adalah carcinoembryonic antigen
(CEA), cancer antigen (CA) 15-3, dan CA 27-29.
6. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan kanker payudara bertujuan untuk mendapatkan kesembuhan
yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik. Oleh karena itu, terapi dapat
bersifat kuratif atau paliatif. Terapi kuratif ditandai oleh adanya periode
bebas penyakit (disease free interval) dan peningkatan harapan hidup
(overall survival), dilakukan pada kanker payudara stadium I, II, dan III.
Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup tanpa adanya
periode bebas penyakit, umumnya dilakukan pada stadium IV. Kesembuhan
yang tinggi dengan kualitas hidup yang baik akan tercapai bila kanker
diterapi pada stadium dini. Keuntungan penatalaksanaan tumor stadium dini
adalah:
a. Kemungkinan tidak dilakukan kemoterapi bila tidak ada metastasis
kelenjar getah bening axila dan tergolong risiko rendah
b. Tidak peru dilakukan diseksi axilla jika sentinel negative, sehingga
risiko terjadinya limpadem berkurang
c. Tidak diperlakukan radiasi
d. Dapat dilakukan BCT bagi yang memenuhi kriteria atau dilakukan
SSM/NSP sekaligus rekonstruksi sehingga bentuk dan fungsinya masih
baik
e. Biaya penatalaksanaan jeuh lebih ekonomis
f. Disease free interval dan overall survival lebih baik (lama)
Adapun modalitas terapi kanker payudara secara umum meliputi:
a. Operasi (Pembedahan)
Operasi merupakan modalitas utama untuk penatalaksanaan kanker
payudara. Modalitas ini memberikan kontrol lokoregional yang dapat
29
dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi dan dari spesimen operasi
dapat ditentukan tipe dan grading tumor, status kelenjar getah bening
aksila, faktor prediktif dan faktor prognosis tumor (semua faktor diatas
tidak bisa diperoleh dari modalitas lain).
Berbagai jenis operasi pada kanker payudara adalah Classic Radical
Mastectomy (CRM), Modified Radical Mastectomy (MRM), Skin
Sparing Mastectomy (SSM), Nipple Sparing Mastectomy (NSP), dan
Breast Conserving Treatment (BCT).
Jenis-jenis ini memiliki indikasi dan keuntungan serta kerugian yang
berbeda-beda. SSM dan NSP mermelukan rekonstruksi langsung tapi
kualitas hidup lebih baik dengan kuratifitas yang hamper sama dengan
MRM
1) CRM (Classic Radical Mastectomy) adalah operasi pengangkatan
seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple areola komplek, kulit
diatas tumor, otot pektoralis mayor dan minor serta diseksi aksila
level I-III. Operasi ini dilakukan bila ada infiltrasi tumor ke fasia atau
otot pectoral tanpa ada metastasis jauh. Jenis operasi ini mulai
ditinggalkan karena morbiditas tinggi sementara nilai kuratif
sebanding dengan MRM.
2) MRM (Modified Radical Mastectomy) adalah operasi pengangkatan
seluruh jaringan payudara beserta tumor, nipple aerola kompleks,
kulit di atas tumor dan fascia pektoral serta diseksi aksila level I-II.
Operasi ini dilakukan pada kanker payudara stadium dini dan lokal
lanjut. Merupakan jenis operasi yang banyak dilakukan. Kuratif
sebanding dengan CRM.
3) SSM (Skin Sparing Mastectomy)adalah operasi pengangkatan
seluruh jaringan payudara beserta tumor dan nipple aerola kompleks
dengan mempertahankan kulit sebanyak mungkin serta diseksi aksila
level I-II. Operasi ini harus disertai rekonstruksi payudara secara
langsung yang umumnya TRAM flap (transverse rektus abdominis
30
musculotaneus flap), LD flap (latissimus dorsi flap) atau implant
(silicon). Dilakukan pada tumor stadium dini dengan jarak tumor ke
kulit jauh (>2cm) atau stadium dini yang tidak memenuhi syarat
untuk BCT.
4) NSP (Nipple Sparing Mastectomy) adalah operasi pengangkatan
seluruh jaringan payudara beserta tumor dengan mempertahankan
nipple aerola kompleks dan kulit serta diseksi aksila level I-II.
Operasi ini juga harus disertai rekonstruksi payudara secara langsung
yang umumnya adalah TRAM flap (transverse rektus abdominis
musculotaneus flap), LD flap (latisssimus dorsi flap) atau implant
(silicon). Dilakukan tumor stadium dini dengan ukuran 2 cm atau
kurang, lokasi perifer, secara klinis NAC tidak terlibat, kelenjar getah
bening N0, histopatologi baik, dan potong beku sub aerola : bebas
tumor
5) BCT (Breast Conserving Treatment)adalah terapi yang kompenannya
terdiri dari lumpektomi atau segmentektomi atau kuadrantektomi dan
diseksi aksila serta radioterapi. Jika terdapat fasilitas, lymphatic
mapping dengan Sentinel Lymph Node Biopsy (SNLB) dapat
dilakukan untuk menggantikan diseksi aksila. Terapi ini memberikan
survival yang sama dengan MRM namun rekurensinya lebih besar.
b. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitotastika) untuk
menghancurkan sel kanker, obat ini umumnya bekerja dengan
menghambat atau mengganggu sintesa DNA dalam siklus sel.
Pengobatan kemoterapi 28 bersifat sistemik, berbeda dengan
pembedahan atau radiasi yang lebih bersifat lokal/ setempat. Obat
sitostatika dibawa melalui aliran darah atau diberikan langsung ke dalam
tumor, jarang menembus blood-brain barrier sulit mencapai system
syaraf pusat. Ada 3 jenis setting kemoterapi yakni adjuvant, neoadjuvant
dan primer (paliatif).
31
c. Radioterapi Radioterapi (RT) merupakan modalitas terapi yang cukup
penting pada kanker payudara. Mekanisme utama kematian sel karena
radiasi adalah kerusakan DNA dengan gangguan proses replikasi. RT
menurunkan jangan panjang penderita kanker payudara. Walaupun
beberapa studi memperlihatkan bahwa RT setelah kemoterapi
menghasilkan long term survival yang lebih baik di banding sebaliknya,
namun studi terbaru oleh Bellon et al dan Joint Center randomized trial
memperlihatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kemoterapi
pertama dan RT pertama.
d. Hormonal Terapi
Hormonal terapi yang mulai dikembangkan sejak satu abad yang lalu,
masih paling efektif dan paling jelas targetnya dari terapi sistemik untuk
kanker payudara. Adjuvant hormonal terapi diindikasikan hanya pada
payudara yang menunjukkan ekspresi positif estrogen reseptor (ER) dan
atau progesterone reseptor (PR) tanpa memandang usia, status
menopause, status kelenjar getah bening aksila maupun ukuran tumor.
ER positif pada sepertiga penderita kanker payudara dan sepertiga kasus
rekurren sedang PR positif pada 50% ER positif. Pemberian terapi
hormonal pada ER atau PR negatif tidak akan memperbaiki overall
survival ataupun diases free survival dan bahkan merugikan pada
premenopause.
D. Teori Mastektomi
1. Definisi
Mastektomi adalah suatu tindakan pembedahan onkologis pada keganasan
payudara yaitu dengan mengangkat seluruh jaringan payudara yang terdiri
dari seluruh stroma dan parenkhim payudara, areola dan puting susu serta
kulit diatas tumornya disertai diseksi kelenjar getah bening aksila ipsi lateral
level I, II/III tanpa mengangkat muskulus pektoralis major dan minor
(Sinclair, 2009). Tipe mastektomi dan penanganan kanker payudara
bergantung pada beberapa faktor meliputi usia, kesehatan secara
32
menyeluruh, status menopause, dimensi tumor, tahapan tumor dan seberapa
luas penyebarannya, stadium tumor dan keganasannya, status reseptor
homon tumor, dan penyebaran tumor telah mencapai simpul limfe atau
belum (Kozier, 2008).
2. Klasifikasi
Tipe mastektomi menurut Kozier (2008) dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a. Mastektomi radikal, yaitu pengangkatan seluruh payudara kulit otot
pektoralis mayor dan minor, nodus limfe ketiak, kadang-kadang nodus
limfe mammary internal atau supraklavikular.
b. Mastektomi total (sederhana), yaitu mengangkat semua jaringan
payudara tetapi kebanyakan nodus limfe dan otot dada tetap utuh
c. Prosedur terbatas (Lumpektomi) yaitu hanya beberapa jaringan
sekitanya diangkat.
Menurut Suryo (2009) ada 3 jenis mastektomi, yaitu:
a. Simple Mastectomy (Total Mastectomy), pada prosedur operasi ini,
keseluruhan jaringan payudara diangkat, tapi kelenjar getah bening yang
berada di bawah ketiak (axillary lymph nodes) tidak diangkat.
Kadangkadang sentinel lymph node, yaitu kelenjar getah bening utama,
yang langsung berhubungan dengan payudara, diangkat juga. Untuk
mengidentifikasi sentinel lympnode ahli bedah akan menyuntikkan
suatu cairan dan/atau radioactive tracer kedalam area sekitar putting
payudara. Cairan atau tracer tadi akan mengalir ketitik-titik kelenjar
getah bening, yang pertama akan sampai ke sentinel lymp node. Ahli
bedah akan menemukantitik-titik pada KGB (kelenjar Getah Bening)
yang warnanya berbeda (apabila digunakan cairan) atau pancaran radiasi
(bila menggunakan tracer). Cara ini biasanya mempunyai resiko rendah
akan terjadinya lymphedema (pembengkakan pada lengan) daripada
axillary lymp node dissection. Bila ternyata hasilnya sentinel node bebas
dari penyebaran kanker,maka tidak ada operasi lanjutan untuk KGB.
Apabila sebaliknya, maka dilanjutkan operasi pengangkatan KGB.
33
Operasi ini kadang-kadang dilakukan pada kedua payudara pada
penderita yang berharap menjalani mastektomi sebagai pertimbangan
pencegahan kanker. Penderita yang menjalani simple mastectomy
biasanya dapat meninggalkan rumahsakit setelah dirawat dengan singkat
seringkali, saluran drainase dimasukkan selama operasi di dada
penderita dan menggunakan alat penghisap (suction) kecil untuk
memindahkan cairan subcutaneous (cairan dibawah kulit). Alat-alat ini
biasanya dipindahkan beberapa hari setelah operasi apabila drainase
telah berkurang dari 20-30 ml perhari.
b. Modified Radical Mastectomy, keseluruhan jaringan payudara diangkat
bersama dengan jaringan-jaringan yang ada di bawah ketiak (kelenjar
getah bening dan jaringan lemak). Berkebalikan dengan simple
mastectomy, m. pectoralis (otot pectoralis) ditinggalkan.
c. Radical Mastectomy atau Halsted Mastectomy, pertama kali
ditunjukkan pada tahun 1882, prosedur operasi ini melibatkan
pengangkatan keseluruhan jaringan payudara, kelenjar getah bening di
bawah ketiak, dan m. pectoralis mayor dan minor (yang berada di bawah
payudara). Prosedur ini lebih jelek dari pada modified radical
mastectomy dan tidak memberikan keuntungan pada kebanyakan tumor
untuk bertahan. Operasi ini, saat ini lebih digunakan bagi tumor-tumor
yang melibatkan pectoralis mayor atau kanker payudara yang kambuh
yang melibatkan dinding dada.
3. Indikasi Operasi Mastektomi
Menurut indikasi operasi mastektomi dilakukan pada kanker payudara
stadium 0 (insitu), keganasan jaringan lunak pada payudara, dan tumor jinak
payudara yang mengenai seluruh jaringan payudara (misal: phyllodestumor).
4. Kontra Indikasi Operasi Mastektomi
Kontra indikasi operasi mastektomi adalah tumor melekat dinding dada,
edema lengan, nodul satelit yang luas, dan mastitis inflamatoar (Engram,
2009).
34
5. Komplikasi Operasi Mastektomi
Komplikasi operasi mastektomi dibedakan menjadi fase dini dan fase
lambat. Fase dini meliputi pendarahan, lesi nodul thoracalis longus wing
scapula, dan lesi nodul thoracalis dorsalis. Fase lambat meliputi infeksi,
nekrosis flap, seroma, edema lengan, kekakuan sendi, dan bahu kontraktur
(Engram, 2009).
6. Pra Operasi Mastektomi
Menurut Sjamsuhidajat (2010), pasien pra mastektomi akan mengalami
masalah psikologis, karena payudara merupakan alat vital seseorang ibu dan
wanita, kelainan atau kehilangan akibat operasi payudara sangat terasa oleh
pasien, haknya seperti dirampas sebagai wanita normal, ada rasa kehilangan
tentang hubungannya dengan suami, dan hilangnya daya tarik serta pengaruh
terhadap anak dari segimenyusui. (Sjamsuhidajat, 2010).
E. Penelitian Terkait
1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Inayati (2017) yang berjudul
Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Peningkatan Tekanan Darah Pada
Pasien Praoperasi Elektif Diruang Bedah menyatakan bahwa Kecemasan
merupakan suatu keadaan emosi tanpa suatu objek yang spesifik dan
pengalaman subjektif dari individu serta dan tidak dapat diobservasi dan
dilihat secara langsung. Kecemasan diartikan sebagai suatu kebingungan,
kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab atau objek
yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak
berdaya. Sebagai contoh kekhawatiran menghadapi operasi (misalnya takut
sakit waktu operasi, takut terjadi kecacatan), kekhawatiran terhadap anestesi
atau pembiusan (misalnya takut terjadi kegagalan anestesi/ meninggal, takut
tidak bangun lagi). Tindakan Preoperatif adalah fase dimulai ketika
keputusan untuk menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir
ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.
Fase preoperasi merupakan peristiwa kompleks yang menegangkan
Kecemasan merupakan perasaan takut yang tidak jelasdan tidak didukung
35
oleh situasi hal ini dapat menimbulkan berbagai respon fisiologi salah
satunya adalah peningkatan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah akan
mengganggu operasi karena bias menyebabkan pendarahan dan bisa
menggagalkan penatalaksanaan operasi. Ketakutan dan kecemasan yang
sangat berlebihan, akan membuat klien menjadi tidak siap secara emosional
untuk menghadapi pembedahan, dan akan menghadapi masalah praoperatif
seperti Tertundanya operasi karena tingginya denyut nadi perifer dan
mempengaruhi palpasi jantung. Hasil dari penelitian ini adalah analisis
univariat menunjukkan bahwa 17 responden (56,7%) yang mengalami
kecemasan berat dan 13 responden (43,3%) mengalami kecemasan ringan-
sedang. Responden yang memiliki tingkat kecemasan ringan-sedang,
sebagian besar mengalami hipertensi yaitu sebesar 61,5% dan responden
yang memiliki tingkat kecemasan berat-berat sekali sebagian besar memiliki
tekanan darah hipertensi yaitu sebesar 58,8%. Hasil uji bivariat antara
Tingkat Kecemasan dengan Tekanan Darah didapat nilai P-Value 0,023 yang
berarti ada hubungan tingkat kecemasan dengan tekanan darah. Sedangkan
odd rasio/ faktor resiko (OR) yaitu 0,893 artinya responden yang memiliki
tingkat kecemasan berat-berat sekali mempunyai kemungkinan 0,893 kali
untuk terjadi Hipertensi.
2. Menurut penelitian lain yang dilakukan oleh Desvianti (2019) yang berjudul
Pengaruh Psikoedukasi terhadap Kecemasan Ibu Pre Operasi Kanker
Payudara didapatkan hasil penelitian data distribusi rata rata kecemasan
sebelum dilakukan terapi psikoedukasi dengan hasil 47,93, standar deviasi
83,29, nilai minimum 30, dan skor maksimum 61. Dimana 47,93 masuk
dalam kategori kecemasan sedang (45-59). Setelah dilakukan terapi
psikoedukasi tampak adanya penurunan distribusi rata-rata, hasil penelitian
ini diperoleh data distribusi rata-rata kecemasan responden setelah dilakukan
terapi psikoedukasi dengan hasil 40,53, standar deviasi 6,334, nilai minimum
27, dan nilai maksimum 49. Secara kuantitatif penelitian ini bermakna karena
menunjukakan adanya perbedaan skor kecemasan sebelum dan sesudah
36
dilakukan terapi psikoedukasi. Rata rata kecemasan berkurang menjadi 40,53
termasuk kecemasan ringan. Hasil analisis bivariat penelitian yang telah
dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon Signed Ranks Test diperoleh
hasil (0,000)<α (0,05) yang berarti H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan
bahwa melakukan psikoedukasi berpengaruh terhadap penurunan tingkat
kecemasan pasien pre operasi kanker payudara di RSUD Dr. H. Abdul
Moeloek Provinsi Lampung 2018.
3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Niken, Yunnie, Syamsul pada tahun
2014 di RSUD Tugungrejo Semarang dengan judul efektifitas waktu
penerapan Teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan kecemasan pada
pasien pre operasi bedah mayor abdomen, penelitian yang dilakukan pada 16
responden menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan didapatkan p-value 0,000.
Waktu penerapan teknik relaksasi nafas dalam 1 jam sebelum pasien masuk
ruang operasi lebih efektif dibandingkan 4 jam sebelum pasien masuk ruang
operasi terhadap penurunan kecemasan pasien pre operasi bedah mayor
abdomen.
Top Related