BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kacang Gude

31
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kacang Gude Tanaman kacang gude merupakan perdu dengan tinggi mencapai 3 m dan merupakan kacang tahunan dengan umur yang tidak terlalu panjang yaitu hanya 1- 5 tahun. Batang kacang gude berbulu halus dan bercabang banyak, daunnya ganda, beranak daun berjumlah tiga. Bunganya berbentuk kupu-kupu, berwarna jingga, ataupun kecoklatan berjumlah majemuk. Buahnya polong, dapat mencapai 7,5 cm, lurus atau membengkok seperti sabit, membulat, menjorong atau agak persegi. Biji kacang gude berwarna putih, krim, coklat, dan ungu kehitaman (Valenzuela dan Smith, 2002). Gambaran fisik kecambah kacang gude dapat dilihat pada Gambar 2.1., sedangkan klasifikasi kacang gude dapat dijelaskan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Viridiplantae Infa Kingdom : Streptophyta Super Divisi : Embryophyta Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophyta Kelas Divisi : Magnoliopsida Super Ordo : Rosanae Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Cajanus adans Spesies : Cajanus cajan L. Mil. Sp.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Kacang Gude

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Kacang Gude

Tanaman kacang gude merupakan perdu dengan tinggi mencapai 3 m dan

merupakan kacang tahunan dengan umur yang tidak terlalu panjang yaitu hanya 1-

5 tahun. Batang kacang gude berbulu halus dan bercabang banyak, daunnya ganda,

beranak daun berjumlah tiga. Bunganya berbentuk kupu-kupu, berwarna jingga,

ataupun kecoklatan berjumlah majemuk. Buahnya polong, dapat mencapai 7,5 cm,

lurus atau membengkok seperti sabit, membulat, menjorong atau agak persegi. Biji

kacang gude berwarna putih, krim, coklat, dan ungu kehitaman (Valenzuela dan

Smith, 2002). Gambaran fisik kecambah kacang gude dapat dilihat pada Gambar

2.1., sedangkan klasifikasi kacang gude dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Viridiplantae

Infa Kingdom : Streptophyta

Super Divisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Sub Divisi : Spermatophyta

Kelas Divisi : Magnoliopsida

Super Ordo : Rosanae

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Genus : Cajanus adans

Spesies : Cajanus cajan L. Mil. Sp.

9

Terdapat dua macam varietas kacang gude yang dikenal petani di Indonesia,

yaitu:

1. Varietas Flavus (jenis Genjah) : umumnya lebih genjah(lekas berbuah dan

lebat), tanaman lebih pendek batangnya kekuningan, polongnya hijau

kalau telah masak berwarna terang, biasanya tiap polong berisi tiga biji.

2. Varietas Bicolor (jenis Umur panjang) : bersifat tahunan, tajuk lebih besar,

batangnya merah keunguan, polongnya berwarna gelap dan berbulu berisi

4-5 biji, kalau masak berwarna gelap.

.

Gambar 2.1. Kecambah kacang gude (Sumber : Koleksi Pribadi)

Kacang gude jenis genjah berbuah pada umur 12-14 minggu dan buah akan

masak dalam waktu 5-6 bulan. Kacang gude jenis umur panjang akan berbuah

lebih lambat dan memerlukan waktu 9-12 bulan untuk menghasilkan buah masak.

10

Dari segi kesehatan, kacang gude memiliki banyak kegunaan sebagai tanaman

obat tradisional yang merakyat, dan telah digunakan selama bertahun-tahun dalam

mengobati diabetes, mengeluarkan batu ginjal, menstabilkan periode menstruasi,

iritasi kulit, hepatitis, campak, sakit kuning, disentri dan penyakit lainya. Biji

kacang gude mengandung inhibitor protease (inhibitor terhadap tripsin,

kimotripsin), fitolektin, serta metabolit sekunder lainnya, yang berperan dalam

sistem pertahanan diri (Muangman et al., 2011).

Akhir-akhir ini, tanaman legum dipertimbangkan tidak hanya sebagai sumber

protein bernilai penting untuk fungsi tertentu dan pertumbuhan badan saja, tetapi

juga sebagai sumber senyawa bioaktif seperti peptida bioaktif, yang dapat

bermanfaat bagi kesehatan manusia dan melindungi pangan dari kerusakan.

Protein biji kacang gude telah difraksinasi sebagai protein albumin (larut

dalam air), globulin (larut dalam alkohol), glutelin (larut dalam asam atau basa),

protein sisa dan nitrogen non protein (Pande dan Pant tahun 1978 dalam Salunkhe

et al., 2009). Globulin berperan sebagai protein cadangan dalam kacang-kacangan.

Protein cadangan merupakan protein-protein yang terakumulasi selama fase

tertentu dalam perkembangan biji dan selanjutnya didegradasi untuk menyediakan

nitrogen untuk sintesa protein baru setelah perkecambahan. Untuk menjaga peran

tersebut, globulin ditemukan kaya dengan asam amino yang banyak mengandung

atom nitrogen seperti arginin, lisin, asparagin dan glutamin (Potter & Hotchkiss,

1998)

Albumin dan globulin dikenal merupakan komponen utama dalam protein

kacang-kacangan. Osborne dan Campbell adalah peneliti pertama yang menyatakan

11

dua kelompok utama yang terdapat dalam globulin yang diberinama vicilin dan

legumin. Kedua protein globulin ini memiliki perbedaan kelarutan, legumin

memiliki kelarutan lebih rendah dalam larutan garam dibandingkan dengan vicilin.

Selain itu, vicilin lebih mudah terkoagulasi oleh panas dalam larutan. Danielsson

(1949) mempelajari kecenderungan sedimentasi dari legumin dan vicilin dengan

metode ultrasentrifugasi, dan menemukan bahwa legumin dan vicilin memiliki

perbedaan koefisien sentrifugasi. Berdasarkan studi ini, legumin dan vicilin

selanjutnya lebih dikenal sebagai 11S globulin dan 7S globulin. Legumin tersusun

atas 6 sub unit masing-masing dengan berat molekul sekitar 60 kDa, sedangkan

berat molekul totalnya antara 300 sampai 400 kDa.

Albumin merupakan protein non cadangan dalam biji legum, tetapi beberapa

studi juga menunjukkan bahwa albumin mungkin berperan sebagai protein

cadangan. Berat molekul albumin pada biji kacang buncis berada dalam kisaran 11

sampai 105 kDa dengan 24 pita pada pola elektroforetik. Albumin dianggap sebagai

fraksi yang paling bergizi berdasarkan kandungan asam amino esensialnya yang

tinggi (Sathe and Venkatachalam, 2007).

Bagian kotiledon dari biji kacang gude merupakan sumber nutrien utama yang

dimanfaatkan oleh konsumen. Tabel 2.1. menunjukkan komposisi asam amino dari

beberapa protein yang berhasil difraksinasi dari kotiledon kacang gude. Seperti

protein legum pada umumnya, protein kacang gude rendah dalam kandungan asam

amino metionin, sistein, triptofan dan kaya dengan lisin (Salunkhe et al., 2009).

12

Tabel.2.1.

Komposisi asam amino (g/16g N) dari fraksi-fraksi protein dalam kotiledon

kacang gude

Jenis Asam Amino Albumin Globulin Glutelin Prolamin

Lisin 10,0 6,9 7,1 1,0

Histidin 3,5 3,4 4,3 1,0

Arginin 6,4 7,0 7,6 1,3

Asam Aspartat 13,9 10,8 11,8 3,9

Treonin 6,0 3,6 5,2 0,6

Serin 6,1 4,7 6,0 1,0

Asam Glutamat 24,3 22 25,1 15,9

Prolin 4,8 3,3 7,1 2,3

Glisin 5,9 4,1 4,8 1,3

Alanin 7,2 4,1 5,7 1,3

Sistein 3,2 0,9 1,0 0,4

Valin 6,2 5,5 5,8 1,8

Metionin 1,7 0,8 1,3 0,3

Isoleusin 4,1 3,4 5,1 0,7

Leusin 7,7 6,7 9,2 0,8

Tirosin 4,2 3,9 3,9 0,9

Fenilalanin 4,7 10,9 8,0 6,5

Sumber : Singh and Jambunathan, 1982.

2.2. Asam Amino dan Peptida

Terdapat 20 jenis asam amino yang berfungsi sebagai unit pembangun

(monomer) molekul protein, yang dibedakan satu sama lain oleh struktur kimia dari

rantai sampingnya (jenis gugus R yang terikat pada atom Cα), seperti dapat dilihat

pada Gambar 2.2. Berdasarkan sifat kepolaran gugus R (rantai sampingnya)

tersebut, ke 20 jenis asam amino dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok

yaitu :

1. Asam amino netral dengan gugus R non polar (hidrofobik) yaitu alanin, leusin,

isoleusin, valin, prolin, fenilalanin dan triptofan dan metionin.

13

2. Asam amino netral dengan gugus R polar (hidrofilik) yaitu : serin, treonin,

tirosin, asparagin, glutamin, sistein.

3. Asam amino asam (gugus R bermuatan negatif) karena memiliki gugus R

karboksil yang bermuatan negatif pada pH 6,0 –7,0 yaitu asam glutamat dan

asam aspartat.

4. Asam amino basa (gugus R bermuatan positif) karena memiliki gugus R amina

yang bermuatan positif pada pH 6,0 – 7,0 yaitu lisin dan arginin.

Peptida merupakan produk dari hasil kondensasi beberapa asam amino atau

juga merupakan hasil hidrolisis parsial dari protein. Peptida memiliki berat molekul

dan ukuran lebih kecil daripada protein induknya. Peptida – peptida yang dihasilkan

dari hidrolisis protein dapat memiliki sifat kimia yang bervariasi karena peptida-

peptida tersebut memiliki variasi dalam hal panjang rantainya, komposisi asam

aminonya, dan fungsionalitasnya. Sifat fisikokimia dari peptida–peptida tersebut

meliputi kelarutan, ukuran, hidrofobisitas permukaan, muatan, sifat asam basa, dan

kemampuannya dalam mengkelat logam. Sifat fisikokimia ini sangat tergantung

pada keberadaan dan sifat kimia dari gugus fungsi yang membentuk rantai samping

asam-asam amino penyusunnya. Terdapat asam amino yang memiliki rantai

samping berupa gugus fungsi yang dapat membentuk ion (seperti gugus karboksil,

gugus amino, gugus tiol), gugus fungsi hidrofobik seperti gugus alkil, dan gugus

netral hidrofilik (seperti gugus amida). Suatu peptida memang mengandung gugus

karboksil-α dan gugus amino-α bebas pada ujung kanan dan ujung kirinya, akan

tetapi gugus-gugus ini hampir tidak berperan tergantung pada konformasi peptida

dan bagaimana posisi dari gugus-gugus ini, apalagi jika peptidanya berbentuk

14

siklik. Beberapa ion logam transisi seperti tembaga (Cu2+) dan nikel (Ni2+), dapat

membentuk kompleks dengan beberapa gugus fungsi dalam peptida dan asam

amino seperti asam glutamat dan histidin, dan membatasi fungsionalitas dari

gugus-gugus fungsi tersebut (Barrett dan Elmore, 1998).

Pada Gambar 2.3, ditampilkan contoh struktur kimia dari suatu pentapeptida

dengan urutan asam amino Tyr-Thr-Glu-Trp-Ile atau YTQWI. Tampak bahwa

dalam struktur peptida tersebut, gugus α-amino dan gugus α-karboksil dari asam-

asam amino yang menyusun bagian dalam rantai peptida tidak akan bebas lagi

membentuk ion karena sudah digunakan untuk membentuk ikatan peptida, yang

masih bebas membentuk ion adalah gugus α-amino dari asam amino yang terletak

di ujung kiri (Amino-terminal end) dan gugus α-karboksil dari asam amino di ujung

kanan (Carboxyl-terminal end) dalam rantai peptida.

2.3. Manfaat Kesehatan Peptida Bioaktif

Peptida bioaktif telah didiskusikan secara luas dalam komunitas ilmiah sebagai

salah satu kelompok nutrasetikal yang menjadi perhatian dalam bidang pangan dan

gizi. Banyak literatur yang melaporkan tentang bioaktivitas peptida secara in vitro

dan berbagai jenis aktivitas telah dilaporkan, meliputi sifat antimikroba,

antikarsinogenik, antiinflamasi, antihipertensi, kemampuan menurunkan

kolesterol, antitrombotik, aktivitas antioksidan, meningkatkan absorpsi/

bioavailabilitas mineral, dan aktivitas opioid (Malaguti et al., 2014). Beberapa dari

peptida-peptida tersebut ditemukan bersifat bifungsional, misalnya satu jenis

peptida bersifat aktif antioksidan dan sekaligus aktif antihipertensi

15

Gambar 2.2. Struktur kimia 20 jenis asam amino penyusun protein beserta nama

singkatnya dalam tiga huruf dan satu huruf.

( Sumber : Promega, Technical Reference).

Gambar 2.3.Struktur kimia suatu pentapeptida yaitu Tirosil-Treonil-Glutaminil-

Triptopil-Isoleusin atau Tyr-Thr-Glu-Trp-Ile atau YTQWI.

(https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Aasequencedirection.png )

16

Mellander (1950) dalam Wang & Gonzales (2005) merupakan ahli yang

bertanggung jawab pertama kali mempelajari hubungan antara peptida bioaktif

yang dihasilkan dari hidrolisis protein kasein dengan peningkatan kalsifikasi tulang

pada bayi yang menderita rakhitis. Berdasarkan database dari Bipep dan BioPD

(Bioactive Peptide Database), menyatakan bahwa lebih dari 1200 peptida bioaktif

berbeda telah tercatat ditemukan. Data beberapa jenis peptida bioaktif (dengan

berbagai aktivitas biologis) yang diturunkan dari makanan beserta urutan asam

aminonya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Dalam pengajaran ilmu gizi dan metabolisme zat gizi, diberikan pengertian

bahwa protein yang dikonsumsi akan dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan dan

akhirnya menjadi asam-asam amino; dan zat gizi inilah yang kemudian akan diserap

oleh usus halus lalu masuk ke dalam peredaran darah. Hasil-hasil penelitian

kinetika mengenai pencernaan susu yang dilakukan belakangan ini menunjukkan

bahwa peptida bioaktif masih terdapat dalam usus halus walaupun protein susu

telah dicerna oleh enzim-enzim pankreatik. Chabance et al. (1998) menemukan

bahwa dua macam peptida yang berasal dari protein susu dan yoghurt yang

dikonsumsi, yaitu κ-kasein-glikopeptida dan peptida N-terminal dari αS1-kasein

dapat dideteksi dalam plasma darah. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa

peptida bioaktif dari protein susu dapat diserap oleh usus halus (tidak harus diubah

terlebih dahulu menjadi asam amino), sehingga kemudian dapat menunjukkan

aktivitas fisiologis dalam bermacam-macam organ tubuh.

Untuk dapat melaksanakan fungsinya, sesungguhnya peptida bioaktif tidak

selalu harus diserap oleh usus dan masuk ke dalam peredaran darah, karena

17

senyawa tersebut dapat pula bekerja di dalam usus. Sebagai contoh peptida

”penekan nafsu makan” (anorectic, appetite suppressant) bekerja di dalam usus, di

mana mereka menstimulir opioid dan reseptor hormon serta menginduksi perasaan

kenyang, sedangkan peptida bioaktif lain yang mempunyai aktivitas hipotensif atau

anti kanker harus diserap oleh usus halus dan masuk ke dalam peredaran darah,

untuk selanjutnya ditransportasikan ke organ target.

Dalam beberapa penelitian tentang pendekatan diet untuk mengontrol atau

mencegah penyakit-penyakit degeneratif kronis, peptida bioaktif yang diturunkan

dari protein biji-bijian dapat menjadi salah satu sumber komponen yang dapat

meningkatkan kesehatan. Proses fermentasi biji-bijian yang menghasilkan peptida

bioaktif ditunjukkan pada produk fermentasi dari kedelai seperti natto, tempe, dan

douchi yang ditemukan mengandung peptida bioaktif antioksidan, antihipertensi

dan antijamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik pengolahan makanan

mempengaruhi aktivitas antihipertensi dari produk-produk berbasis kedelai.

Peptida bioaktif merupakan unsur penting pada berbagai produk maupun

ingredien yang dipasarkan sebagai makanan fungsional maupun nutrasetikal. Pada

produk-produk ini, peptida bioaktif ditambahkan atau diperkaya dengan cara

modifikasi proses manufaktur yang sudah umum (misalnya dengan mengubah

parameter proses atau kultur starter yang digunakan). Namun beberapa dari produk

ini merupakan makanan tradisional yang sekarang ditawarkan dengan strategi

pemasaran yang berbeda. Food-derived bioactive peptides juga memiliki potensi

yang tinggi digunakan sebagai ingredien pada farmasetikal (obat). Sebagai

contohnya yaitu : kapsul penurun tekanan darah telah dikomersialisasi yang

18

mengandung oligopeptida Katsuobushi LKPNM yang diproduksi dari ikan bonito

kering menggunakan enzim termolisin, yang dikonversi menjadi bentuk aktifnya

yaitu peptida LKP oleh enzim pencernaan.

Beberapa jenis peptida penghambat ACE telah sukses dikomersialisasi sebagai

suplemen bioaktif yang ditambahkan pada matrik makanan seperti susu asam (sour

milk) dengan merk Calpis, yang diproduksi oleh Calpis Food Industry co, Ltd.

Tokyo, Jepang, diketahui mengandung peptida IPP (15 mg/L) dan VPP (11 mg/L)

(Hata et al., 1996). IPP and VPP juga diformulasi ke dalam susu asam merk

Evolus® pada konsentrasi berturut-turut 15 mg/L and 20 mg/L, dan

dikomersialisasi oleh Valio Ltd, Valio, Finlandia (Seppo et al., 2003).

2.4. Peptida Bioaktif Penghambat ACE dan Antihipertensi

Beberapa jenis peptida juga memiliki aktivitas sebagai antihipertensi.

Hipertensi mempengaruhi hampir seperempat populasi dunia, dan merupakan

faktor resiko yang utama dan belum terkendali dalam penyakit kardiovaskular dan

komplikasinya. Tekanan darah merupakan suatu keseimbangan antara output

jantung (cardiac output) dan resistensi vascular peripelar, yang dikontrol oleh

suatu sistem yang kompleks yang meliputi Renin Angiotensin System (RAS),

sistem syaraf simpatetik, ginjal dan mekanisme keseimbangan cairan (Hernández-

Ledesma et al., 2011).

19

Tabel 2.2.

Manfaat kesehatan dari berbagai peptida bioaktif yang diturunkan dari makanan

(Hernandez-Ledesma et al., 2011)

Aktivitas

Biologis

Sumber

Makanan

Protein Induk Nama Peptida/

Urutan Asam Amino

(singkatan satu huruf)

Antihipertensi Kedelai Protein Kedelai NWGPLV

Ikan Protein Otot Ikan LKP, IKP, LRP

Daging Protein otot

daging

IKW, LKP

Susu α-Laktalbumin,

β-Laktoglobulin

Laktokinin (misalnya

WLAHK, LRP, LKP)

Brokoli Protein Tanaman YPK

Antimikroba Telur Ovotransferin OTAP-92(fraksi109-200)

Susu Laktoferin Laktofericin

Kacang buncis Protein Legum Vulgarinin (Antijamur)

Pengikatan

Mineral

Susu α-, β-kasein Caseinophosphopeptide

disingkat CPP.

Anti Kolesterol Kedelai Glisinin LPYPR

Antioksidan Ikan Otot Sardin MY

Susu α-Laktalbumin,

β-Laktoglobulin

MHIRL, YVEEL,

WYSLAMAAASDI

Antitrombotik Susu κ-kasein κ-kasein (fraksi 106-116)

RAS merupakan sistem vasokontriksi yang kuat dalam sistem mamalia yang

tidak hanya bertanggung jawab untuk mempertahankan level tekanan darah, namun

juga mempengaruhi keseimbangan cairan dan garam sebagai produk akhir dari

Angiotensin II. Jalur utama dimulai dari degradasi Angiotensinogen, suatu peptida

precursor dari hati, oleh renin, dan melepaskan dekapeptida Angiotensin I.

Angiotensin I selanjutnya dipotong pada dipeptida ujung karboksilnya oleh aksi

Angiotensin I - Converting Enzyme (ACE) pada bagian luminal dari endothelium

vascular, untuk membentuk oktapeptida Angiotensin II. Fungsi fisiologis dari

Angiotensin II ditentukan karena kemampuannya untuk terikat pada dua reseptor

20

yaitu, reseptor Angiotensin II tipe 1 (AT1) dan reseptor Angiotensin II tipe 2 (AT2)

(Eriksson et al., 2002). Melalui ikatan langsung dengan reseptor AT1, maka

angiotensin II mampu menstimulasi sekresi aldosteron dan menginduksi

vasokontriksi (pengkerutan pembuluh darah), dan juga mempromosi reabsorpsi

natrium dan air dalam ginjal, dan bahkan meningkatkan tekanan darah. Namun,

stimulasi yang berlebihan pada reseptor AT1 dapat menginduksi suatu mekanisme

penyeimbang yang dikirimkan oleh reseptor AT2 yang menyebabkan vasodilatasi

dan penghambatan pertumbuhan sel. ACE tidak hanya mengkatalisa konversi

Angiotensin I menjadi vasokontsriktor Angiotensin II, ACE juga mampu

mengkatalisa degradasi bradikinin menjadi peptida yang tidak aktif. Bradikinin

menstimulasi reseptor Bradikini B2 untuk menginduksi produksi nitrat oksida

(NO) dan prostasiklin, yang merupakan vasodilator yang kuat. Dengan demikian,

penghambatan ACE memiliki peran ganda yaitu mengurangi pembentukan

Angiotensin II dan juga mencegah degradasi vasodilator, yang secara keseluruhan

menyebabkan penurunan tekanan darah.

Stimulasi terhadap sistem RAS menghasilkan suatu peningkatan tekanan darah

yang akut pada level sirkulasi. Selain itu, jika sistem RAS diaktivasi, dapat

mengakibatkan efek merusak jangka panjang pada organ-organ akhir dengan

menginduksi proses-proses yang mendorong proses pertumbuhan dan fibrotik pada

tingkat jaringan. Untuk mencapai penghambatan yang efektif terhadap sistem RAS

pada tingkat jaringan, maka dibutuhkan penghambat ACE dengan dosis yang lebih

tinggi, dan kombinasi dengan terapi lain yang direkomendasikan selama treatmen

ACE inhibitor, seperti Angiotensin II receptor blockers (Weinberg et al., 2000).

21

Terdapat beberapa jenis ACE inhibitor sintetis yang telah sukses

dikomersialisasi, sebagai contohnya adalah captopril yang telah sukses digunakan

dalam praktik klinis. Namun captopril dan inhibitor sintetis ini, memiliki efek

samping yang signifikan seperti batuk, eksantema, perubahan rasa, ruam kulit,

gangguan lambung dan edema pada bibir. Akibat efek samping ini, maka

dibutuhkan ACE inhibitor yang dapat diperoleh secara alami dari makanan sebagai

pengganti ACE inhibitor sintetis. Peptida penghambat ACE alami dari makanan

tidak memiliki efek samping seperti obat sintetis. Peptida alami memiliki daya

hambat yang lebih rendah daripada ACE inhibitor sintetis (yang dapat memiliki

nilai IC50 pada daerah nM). Mengingat daya hambat yang lebih rendah ini, hal ini

Karena peptida tersebut menghambat ACE pada tingkat yang lebih rendah, ini

berpotensi memungkinkan tingkat bradykinin yang lebih aman dalam tubuh.

Dengan demikian, untuk alasan ini, peptida penghambat ACE telah menarik

perhatian sebagai agen pencegahan potensial untuk kontrol hipertensi (Hernandez-

Ledesma, et al., 2011).

2.4.1. Tinjauan Tentang Enzim ACE

Angiotensin converting enzyme (ACE) termasuk Zn-metaloproteinase. Atom

Zn berikatan dengan tiga gugus asam amino dan satu molekul air. Aktivitas

pengikatan inhibitor ACE terhadap ACE berdasarkan interaksi yang kuat antara

atom Zn dan gugus pengkelat inhibitor ACE (Ghassem et al., 2012). Struktur tiga

dimensi ACE ditunjukkan pada Gambar 2.4.

22

Gambar 2.4. Struktur tiga dimensi ACE (Sumber: PDB 1086).

Sisi aktif ACE memiliki tiga sub sisi yakni S1 (antepenultimate), S1’

(penultimate) dan S2 (ultimate) yang memiliki karakter berbeda dalam mengikat

tiga asam amino bagian C-terminal dari substrat atau inhibitor, berada pada dua sisi

aktif yang homolog. ACE lebih menyukai substrat atau inhibitor kompetitif yang

mengandung asam amino hidrofobik pada ketiga posisi C-terminal. Untuk interaksi

antara enzim dan inhibitor, tiga sub sisi dari sisi aktif enzim dengan sekuen asam

amino yang berbeda harus berikatan dengan substrat. Pengikatan inhibitor atau

substrat terhadap enzim secara umum terjadi pada tripeptida bagian C-terminal.

ACE (Angiotensin I-converting enzyme) (EC 3.4.15.1) merupakan suatu enzim

kunci yang mengatur tekanan darah melalui sistem RAS (Renin-Angiotensin

Sistem). ACE merupakan suatu enzim dipeptidil karboksidase, yang mengkatalisa

konversi Angiotensin I (dekapeptida) menjadi Angiotensin II (oktapeptida) yang

merupakan suatu vasokonstriktor yang ampuh dan memiliki peran fisiologis

23

penting dalam pengaturan tekanan darah dan cairan serta keseimbangan garam pada

mamalia. Selain itu ACE juga berperan dalam mengkatalisa degradasi bradikinin

(suatu vasodilator) menjadi peptida in aktif. Kedua peran ACE dalam sistem RAS

inilah yang menjadi alasan bahwa aktivasi terhadap ACE secara keseluruhan dapat

meningkatkan tekanan darah. Angiotensin converting enzyme (ACE) bersifat non

spesifik dan memotong unit-unit dipeptida pada substrat yang mengandung banyak

asam amino. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang cepat secara in

vivo terjadi melalui aksi ACE yang terdapat pada lumen permukaan sel endotelial

menembus ke sistem vaskuler. Sistem renin angiotensin terdiri atas tiga komponen,

yakni renin, angiotensinogen dan ACE. Renin merupakan protease utama, mampu

menentukan laju produksi angiotensin II. Gambar 2.5. menunjukkan peran ACE

dalam sistem RAS.

2.4.2. Peptida Bioaktif Antihipertensi.

Sejumlah besar peptida-peptida penghambat ACE telah diisolasi dari hasil

pencernaan berbagai protein makanan, terutama pada susu, ikan dan daging.

Peptida penghambat ACE pada umumnya memiliki rantai pendek, seringkali

membawa asam amino non polar seperti prolin. Peptida antihipertensi (hipotensif)

dan immunomodulator yaitu Val-Pro-Pro dan Ile-Pro-Pro sebagai contohnya, dapat

dilepaskan dari prekursor protein (β-kasein dan κ-kasein) oleh enzim dari

Lactobacillus helveticus.

24

Gambar 2.5. Pengaturan tekanan darah oleh enzim ACE dalam sistem RAS

(Li et al., 2004)

Cushman & Cheung (1971) telah membagi senyawa penghambat (inhibitor)

ACE ke dalam empat kelompok yaitu, reagen pengkelat, reagen sulfidril, ion logam

berat dan peptida. Reagen pengkelat seperti EDTA bekerja sebagai inhibitor

melalui interaksinya dengan ion Zn (yang merupakan kofaktor penting bagi ACE).

Reagen pengkelat dan reagen sulfidril mampu mengkelat ion Zn, sedangkan

inhibitor ion logam berat (misalnya CdBr2) bekerja melalui mekanisme penukar ion

dengan cara menggantikan ion Zn. Inhibitor kelompok terakhir yaitu peptida

bekerja dengan cara dengan mekanisme sebagai inhibitor kompetitif karena

memiliki struktur yang mirip dengan substrat alami dari ACE yang juga merupakan

peptida yaitu Angiotensin I (suatu dekapeptida).

25

Studi aktivitas penghambatan ACE secara in vitro dilakukan dengan cara

memonitor berlangsungnya reaksi konversi oleh enzim ACE menggunakan substrat

spesifik (HHL) akibat keberadaan dan ketidakberadaaan inhibitor (Ledesma et al.,

2011). Cushman & Cheung (1971) mengembangkan metode uji penghambatan

ACE menggunakan hippuryl-L-histidyl-L-leucine (HHL) sebagai substrat. Metode

ini melibatkan tahap ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat terhadap produk

asam hipurat (HA) yang dilepaskan oleh aktivitas ACE pada waktu tertentu. Jumlah

asam hipurat yang terbentuk akibat aktivitas ACE ini ditentukan secara

spektrofotometri dengan pembacaan absorbansi pada 228 nm. Satu unit aktivitas

ACE dapat didefinisikan sebagai produksi satu μmol asam hipurat selama 1 menit

pada 37 °C.

Peptida penghambat ACE dapat bekerja dalam tiga mekanisme dan

diklasifikasikan sebagai peptida type inhibitor, type substrat dan type prodrug

(berdasarkan perubahan aktivititas penghambatan ACE-nya setelah hidrolisis

peptida oleh enzim ACE itu sendiri mengingat enzim ACE sendiri merupakan

enzim peptidase yang dapat menghidrolisis ikatan peptida tertentu). Peptida type

inhibitor merupakan peptida yang aktivitas penghambatan ACEnya tidak signifikan

mengalami perubahan karena peptida tersebut resistan terhadap pemecahan oleh

ACE. Peptida type substrat menunjukkan sedikit penurunan aktivitas

penghambatan ACE karena peptida ini telah mengalami degradasi oleh ACE.

Peptida type prodrug mengacu pada peptida tertentu yang akan menghasilkan

peptida lebih pendek (akibat pemotongan oleh ACE itu sendiri) yang memiliki

26

aktivitas penghambatan ACE kuat. Peptida jenis prodrug cenderung menghasilkan

peptida yang memberi efek hipotensif yang tahan lama secara in vivo.

2.5. Tinjauan Tentang Perkecambahan

Perkecambahan merupakan suatu proses dimana radikula (akar embrionik)

memanjang ke luar menembus kulit biji. Di balik gejala morfologi dengan

pemunculan radikula tersebut, terjadi proses fisiologi-biokimia yang kompleks,

dikenal sebagai proses perkecambahan fisiologis (Salisbury, 1985).

Perkecambahan dimulai dengan proses penyerapan air ke dalam sel-sel. Proses ini

merupakan proses fisika. Masuknya air pada biji menyebabkan enzim aktif bekerja.

Bekerjanya enzim merupakan proses kimia. Enzim amilase bekerja memecah

tepung menjadi maltosa, selanjutnya maltosa dihidrolisis oleh maltase menjadi

glukosa. Protein juga dipecah menjadi asam-asam amino. Perkecambahan biji

berhubungan dengan aspek kimiawi. Proses tersebut meliputi beberapa tahapan,

antara lain imbibisi, sekresi hormon dan enzim, hidrolisis cadangan makanan,

pengiriman bahan makanan terlarut dan hormon ke daerah titik tumbuh atau daerah

lainnya, serta fotosintesis. Proses penyerapan cairan pada biji (imbibisi) terjadi

melalui mikropil. Air yang masuk ke dalam kotiledon menyebabkan volumenya

bertambah, akibatnya kotiledon membengkak. Pembengkakan tersebut pada

akhirnya menyebabkan pecahnya testa. Bagian-bagian penting dari kecambah dapat

dilihat pada Gambar 2.6.

27

Gambar 2.6. Bagian-bagian dari kecambah

Sumber : Bewley, J. D. and M. Black., 1978.

Untuk meningkatkan nilai nutrisi, daya cerna dan juga untuk mengurangi faktor

antinutrisi dari kacang-kacangan, maka sejumlah metoda dapat diaplikasikan

meliputi perendaman, pengupasan, pemanasan, perkecambahan (germinasi) dan

fermentasi. Perkecambahan merupakan proses biologis di mana tanaman

memulihkan kembali aktivitasnya untuk mencapai potensinya sehingga enzim-

enzimnya menjadi sangat aktif. Perkecambahan dapat menyebabkan perubahan

yang signifikan dalam karakteristik biokimia biji-bijian dan selama proses tersebut,

protein-protein cadangan dapat didegradasi oleh protease-protease endogen yang

aktif dalam fase perkecambahan. Teknik ini merupakan proses yang tidak mahal

dan efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai nutrisi dari biji-bijian

melalui peningkatan daya cerna protein dan penurunan senyawa-senyawa

antinutrisi (Rocha et al., 2015).

28

2.6. Produksi Peptida Bioaktif dengan Enzim Protease.

Peptida bioaktif dapat dilepaskan dari protein induknya melalui hidrolisis

enzimatik selama pencernaaan gastrointestinal, fermentasi maupun pematangan

selama pengolahan pangan atau proteolisis oleh enzim-enzim food grade yang

berasal dari mikroba, hewan maupun tanaman. Jika sekuen asam amino dalam

peptidanya telah diketahui, kemungkinan juga peptida tersebut dapat disintesis

secara kimia maupun enzimatis atau melalui teknologi DNA rekombinan.

Produk hasil hidrolisis protein disebut dengan hidrolisat protein yang

mengandung suatu campuran komponen berbagai jenis peptida rantai pendek

maupun asam amino bebas, tergantung pada derajat hidrolisisnya apakah secara

parsial maupun sampai sempurna. Dari berbagai jenis rantai peptida yang terdapat

dalam hidrolisat protein ini, beberapa di antaranya memiliki aktivitas biologis

sehingga disebut peptida bioaktif. Sumber kandidat protein yang potensial sebagai

protein induk yang mempunyai aktivitas biologis laten untuk menghasilkan peptida

bioaktif dapat bersumber dari jaringan atau bagian organisme yang kaya akan

protein seperti susu, telur, daging, ikan dan juga dari protein nabati dari tanaman.

Telah dilaporkan bahwa keuntungan tambahan dari hidrolisis protein adalah

peningkatan hidrofobisitas karena proteolisis membuka lipatan dalam rantai.

Pemutusan ikatan peptida meningkatkan jumlah gugus amino dan karboksil bebas

sehingga meningkatkan kelarutan protein. Selain itu, hidrolisis yang memproduksi

peptida pendek dengan berat molekul di bawah 1000 Da memiliki rasa yang kurang

pahit. Akan tetapi, telah dilaporkan bahwa hidrolisis ekstensif dapat menyebabkan

efek yang sebaliknya yang mempengaruhi sifat fungsional dari peptida-peptida.

29

Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi peptida bioaktif meliputi, waktu

hidrolisis, derajat hidrolisis protein, rasio enzim-substrat, dan pretreatmen protein

sebelum hidrolisis. Sebagai contohnya, perlakuan termal protein dapat

meningkatkan efektitivitas hidrolisis enzimatis, kemungkinan disebabkan karena

terjadi peningkatan interaksi enzim-substrat karena pemanasan memicu pembukaan

lipatan protein. Enzim-enzim protease industri seperti Alkalase, Flavourenzyme,

dan Protamex dari mikroba, dan juga enzim-enzim dari tanaman (seperti papain)

dan hewan (misalnya pepsin dan tripsin), telah digunakan secara luas untuk

memproduksi peptida antihipertensi dan antioksidan. Berdasarkan posisi

pemotongan ikatan peptidanya, enzim protease dan peptidase dibedakan menjadi

endoprotease yang memotong ikatan peptida di dalam rantai protein, dan

eksoprotease yang memotong ikatan peptida dari ujung rantai protein. Sebagian

besar jenis protease merupakan endoprotease, sedangkan yang tergolong

eksoprotease yaitu jenis karboksipeptidase dan aminopeptidase. Masing-masing

jenis protease memiliki spesifitas yang berbeda, yaitu jenis ikatan peptida tertentu

yang lebih disukai untuk dihidrolisis.

Dalam Tabel 2.3 ditampilkan beberapa jenis protease yang dilengkapi dengan

jenis residu asam amino yang disukai (yang mengapit ikatan peptida yang akan

dipotong) (Mathew dan Van Holde, 1996).

2.7. Pencernaan Gastrointestinal in vitro

Hidrolisis protein pangan oleh kombinasi enzim-enzim pencernaan merupakan

strategi umum untuk meniru proses pencernaan in vivo. Dengan menggunakan

pepsin, tripsin, α-kimotripsin, atau pankreatin, protein-protein mengalami

30

degradasi yang mirip seperti pada sistem pencernaan manusia, yaitu melepaskan

peptida-peptida yang diharapkan akan resistan terhadap pencernaan in vivo

(Vermeirssen et al., 2005). Contoh penelitian sejenis yang menggunakan enzim-

enzim gastrointestinal di antaranya adalah, pepsin dan pankreatin digunakan untuk

menghidrolisis protein biji matahari (Megías et al., 2004).

Enzim pepsin merupakan protease yang terdapat di lambung (gastro), memiliki

pH optimum 1,0 -3,0 dan memiliki berat molekul 34,6 kDa. Pepsin lebih menyukai

memotong ujung C protein dari fenilalanin (Phe), leusin (Leu), tirosin (Tyr) dan

triptofan (Trp) (Promega, 2016). Pankreatin merupakan suatu campuran enzim

yang dihasilkan oleh pankreas mamalia. Enzim-enzim ini meliputi enzim-enzim

proteolitik (tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase dan pankropeptidase), amilase,

dan lipase (Frey and Hegeman, 2010). Aktivitas enzim-enzim pankreatin terbaik

diamati pada pH 6,5 – 9,0 dan suhu 37 – 40 oC. Untuk aktivitas proteolitik maka

yang dikenal peranannya adalah tripsin dan kimotripsin. Diklasifikasikan sebagai

serin protease karena memiliki residu serin pada sisi aktifnya, tripsin merupakan

enzim pankreatik yang paling terkenal untuk aktivitas proteolitiknya. Tripsin

terutama memotong peptida dari asam amino basa, khususnya lisin dan arginin.

Pemotongan ini biasanya terjadi pada ujung karboksil dari asam-asam amino

tersebut. Jika suatu residu prolin mengikuti asam amino basa, maka tidak akan

terjadi hidrolisis oleh tripsin. Kimotripsin juga merupakan suatu serin protease.

Proteolisis terutama oleh kimotripsin teramati terutama pada ujung karboksil dari

residu tirosin, triptofan, dan fenilalanin yang semuanya merupakan asam amino

aromatik. Rantai samping aromatik ini (dengan struktur cincinnya dapat secara

31

tepat menempati kantung hidrofobik (sisi aktif) dari kimotripsin. Sisi pemotongan

lainnya meliputi ikatan amida dekat ujung karboksil dari leusin, meskipun katalisis

ini relatif bertahap.

Tabel 2.3.

Spesifitas beberapa jenis enzim protease (jenis asam amino yang disukai)

No Nama Enzim Posisi ikatan yang disukai (Preferred Site)

/Jenis asam amino yang mengapit ikatan peptida

1 Tripsin R1 = Lys, Arg. R2 ≠ Pro

2 Kimotripsin R1 = Tyr, Phe, Leu, Ile, Val, Trp, dan His. R2 ≠ Pro

3 Pepsin R1 = Phe, Leu, dan banyak lainnya. R2 ≠ Pro

4 Karboksipeptidase A R 2 = asam amino C terminal (ujung kiri dari rantai).

R1 ≠ Pro

5 Trombin

(pembekuan darah)

R1 = Arg. R2 ≠ Pro

6 Papain R1 = Arg, Lys, Phe-X (bagian CO dari asam amino

setelah Phe)

7 Bromelain R1 = Lys, Ala, Tyr, Gly.

8 Termolisin R2 = sama dengan kimotripsin, R1 ≠ Pro

Sumber: Mathew dan Van Holde, 1996.

2.8. Fraksinasi Peptida Bioaktif

Umumnya, kandungan peptida dalam makanan tidak melimpah seperti yang

diharapkan. Selain itu, kehadiran senyawa lain nonpeptida (yaitu, lipid, gula) juga

dapat mengganggu dalam analisis peptida. Oleh karena itu, dalam prakteknya sulit

untuk menganalisis peptida makanan dengan akurasi yang baik tanpa melakukan

langkah persiapan sampel. Persiapan sampel ini dapat terdiri dari beragam prosedur

untuk isolasi, pemurnian, dan prakonsentrasi analit, lebih dari satu langkah yang

32

diperlukan dalam banyak kasus. RP-LC (Reverse Phase-Liquid Chromatography)

dan CE (Capillary Electrophoresis) merupakan metode analitik dasar yang

digunakan untuk analisis peptidom makana secara kemometrik (Minkiewicz et al.,

2008 dalam Martínez-Maqueda et al., 2013).

Secara umum, sampel makanan pertama-tama diberikan tahap pembersihan

sampel awal untuk menghilangkan zat yang mengganggu dan kemudian, langkah

fraksinasi yang berbeda diterapkan. Analisis peptida langsung pada sampel

makanan tanpa tahap persiapan apapun jarang dilaporkan dalam literatur. Ekstraksi

peptida biasanya diikuti dengan pembersihan sampel awal untuk menghilangkan

komponen makanan lainnya (yaitu, protein dan lipid).

Deproteinisasi, merupakan prosedur pembersihan awal yang paling penting

dalam analisis peptida, dilakukan oleh pengendapan protein menggunakan

beberapa agen. Deproteinisasi juga bisa bertindak sebagai prosedur fraksinasi untuk

peptida karena kelarutannya tergantung pada agen pengendap dan proporsinya.

Setelah pengendapan, metode sentrifugasi dan filtrasi digunakan untuk

memisahkan protein dari peptida terlarut. Selain itu, penerapan perlakuan panas

atau langkah ultrasentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk menghilangkan

protein telah dilaporkan. Selektifitas pengendapan secara langsung tergantung pada

jenis bahan pengendap yang digunakan. Selain penggunaan pelarut organik seperti

etanol, metanol, atau aseton, larutan yang mengandung asam seperti TCA atau asam

fluoroasetat (TFA) merupakan pengendap protein yang klasik. Pengendapan

saltingout, berdasarkan polaritas, dengan konsentrasi garam atau pengendapan yang

tinggi dengan menyesuaikan pH ke pI (titik isoelektrik) protein merupakan opsi

33

lainnya. Contoh representatif ditemukan dalam isolasi dan identifikasi suatu peptida

penghambat (ACE) dari biji soba (buckwheat) utuh setelah langkah-langkah

pencucian dengan ekstraksi dietil eter untuk menghilangkan sebagian besar

kandungan lemak dan deproteinisasi dengan menyesuaikan pH ke pI protein soba

(Ma et al. 2006 dalam Martínez-Maqueda et al., 2013). Pada beberapa kasus,

penerapan homogenisasi dan atau deproteinisasi cukup untuk analisis peptida lebih

lanjut. Sayangnya, sebagian besar sampel memerlukan langkah tambahan untuk

mencapai isolasi dan konsentrasi peptida yang sesuai sebelum analisis.

Metode filtrasi membran merupakan suatu proses fisik untuk memisahkan

komponen-komponen dengan menggunakan bahan membran yang memungkinkan

lewatnya komponen terpilih tergantung pada sifat bahan dari membrannya.

Kelompok filtrasi membran yang paling umum meliputi mikrofiltrasi (MF),

ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF) dan Reverse Osmosis (RO). Faktor yang

membedakan kelompok filtrasi membran ini yaitu mekanisme pemisahan secara

keseluruhan (yaitu ukuran, muatan atau keduanya), sifat material membran, gaya

dorong untuk pemisahan (yaitu vakum atau tekanan), tujuan utama filtrasinya, dan

sifat sampel yang akan dipisahkan. Metode UF merupakan salah satu metode filtrasi

membran yang paling popular, yang memisahkan atau memekatkan komponen

target yang terdapat dalam suatu larutan melalui efek saringan molekular.

Efek saringan molekular terjadi karena perbedaan ukuran antara pori membran

dengan komponen pada larutan. Membran UF dapat diidentifikasi berdasarkan

ukuran nominal porinya (khususnya di antara 0,01 - 0,05 µm) atau oleh nilai

MWCO (Molecular Weight Cut Off) yang umumnya antara 2-500 kDa (Pirnie,

34

2005). Tabel 2.4. memberikan petunjuk untuk membedakan satu sama lain antara

beberapa metode filtrasi membran aliran tangensial berdasarkan ukuran pori

membran, MWCO dari senyawanya, campuran dan permeasinya.

Tabel 2.4.

Karakteristik beberapa metode filtrasi membran aliran tangensial (Pirnie, 2005).

Metoda Ukuran Pori

Membran(nm)

MWCO

(kDa)

Tekanan

(Pa)

Permeasi

Reverse

Osmosis (RO)

<0,6 <0,5 435-1015 Air.

Nanofiltrasi

(NF)

0,6 – 5 0,3 – 2 145 -580 Air, Zat terlarut

dengan BM

rendah.

Ultrafiltrasi

(UF)

5-50 2-500 7-145 Zat terlarut

dengan BM lebih

tinggi dan

makromolekul.

Mikrofiltrasi

(MF)

50-5000 >500 7-29 BM lebih tinggi

dan koloid.

Dalam filtrasi membran, larutan yang akan difiltrasi (feed) diberikan kondisi

agar kontak dengan suatu membran. Tekanan trans membran (TMP) diberikan ke

dalam sistem untuk mendorong larutan melewati membran. Suatu bagian larutan

tertentu akan berdifusi melalui membran (permeate) sedangkan beberapa bagian

akan tertahan atau ditolak oleh membran (retentate atau concentrate).

Ultrafiltrasi merupakan metode yang paling umum diterapkan sebagai tahap

awal purifikasi. Mengingat peptida penghambat ACE pada umumnya merupakan

peptida pendek, maka kualifikasi membran MWCO 5 kDa, 3 kDa, dan 1 kDa

paling sering digunakan pada berbagai studi. Ultrafiltrasi merupakan metode yang

sederhana, cepat dan reliable untuk pengkayaan peptida bioaktif, dan telah diakui

sebagai teknik yang sesuai untuk aplikasi skala industri (Zhu et al., 2010).

35

2.9. Tinjauan Tentang Metode LC-MS

Dewasa ini metode LC-MS (Liquid Chromatography - Mass Spectrofotometry)

semakin meningkat penerapannya dalam bidang yang lebih luas seperti, bidang

farmasi, lingkungan, pangan dan material industri. Pada umumnya, kromatografi

cair memisahkan komponen dalam sampel berdasarkan perbedaan afinitasnya (atau

kekuatan retensi) terhadap fase diam atau fase gerak, selanjutnya mendeteksi

komponen-komponen yang terpisah menggunakan UV, fluoresen, atau

konduktivitas listrik tergantung pada sifat-sifatnya.

Beberapa detektor terutama mengidentifikasi senyawa berdasarkan waktu

retensi dan mengkuantitasi senyawa berdasarkan intensitas dan luas puncak.

Kromatografi menawarkan resolusi yang baik, tetapi untuk mengkualifikasi dan

mengkuantitasi senyawa akan menjadi sulit jika banyak komponen terelusi pada

waktu yang hampir bersamaan, misalnya selama analisis banyak analit secara

simultan. Sebaliknya, mass spectrometry (MS) menawarkan teknik deteksi yang

sangat sensitif yang mengionisasi komponen sampel menggunakan berbagai,

selanjutnya memisahkan ion-ion yang dihasilkan dalam kondisi vakum berdasarkan

rasio massa terhadap muatan (m/z) dan mengukur intensitas dari masing-masing

ion. Mengingat spektra masssa yang disediakan oleh MS dapat menunjukkan

tingkat konsentrasi ion dari senyawa dengan massa tertentu, maka hal ini akan

sangat membantu dalam analisis kualitatif. Hal ini mengingat masa merupakan

informasi spesifik pada molekul tertentu dan MS mampu menyediakan informasi

tersebut secara langsung. Akan tetapi hal ini hanya bisa diterapkan jika kita

mengukur satu komponen saja. Jika banyak komponen (multikomponen)

36

diinjeksikan secara simultan, maka akan menjadi sangat sulit untuk menganalisa

spektranya.

Dengan demikian, maka sistem LC-MS menggabungkan metode kromatografi

cair (LC) yang dikenal unggul dari segi resolusi pemisahannya dengan metode MS

yang dikenal kapabilitasnya dalam analisis kualitatif. Spektra massa yang diperoleh

melalui pengukuran ini akan memberikan informasi tentang berat molekul dan

informasi struktur komponen-komponen yang dielusi, yang melengkapi informasi

kualitatif berdasarkan waktu retensi yang diperoleh menggunakan detector LC

lainnya.

Selain itu, pengukuran SIM (selected ion monitoring) mendeteksi senyawa

berdasarkan pada massa, yang merupakan parameter yang sangat selektif. Hal ini

memungkinkan pada analisis kuantitatif yang menghindari pengaruh senyawa lain

(kontaminan) bahkan hal ini tidak cukup dilakukan oleh pemisahan oleh LC saja.

Dalam hal penyediaan keluasan aplikasi pada berbagai jenis senyawa dan tingginya

selektivitas, spektrometer massa menawarkan karakteristik yang memuaskan

sebagai sebuah detektor LC.

Spektrometer massa telah digunakan sejak lama sebagai detektor pada sistem

kromatografi gas (GC) dalam metode GCMS, yang telah dikenal keunggulannya.

GCMS menyedikan makna yang sangat efektif untuk memisahkan dan identifikasi

senyawa, namun aplikasinya terbatas pada senyawa yang volatil dengan berat

molekul rendah, dan sampelnya juga harus memiliki stabilitas termal yang tinggi.

Sebaliknya, jika senyawa –senyawa tersebut terlarut pada fase gerak yang berupa

cairan (non volatil), maka LC mampu menganalisis bahkan senyawa-senyawa yang

37

sangat tidak volatile maupun senyawa yang tidak stabil yang sulit dianalisa

menggunakan GCMS. Dengan kata lain, salah satu keunggulan LC-MS adalah

memiliki aplikasi yang luas.

Sistem spektrometer massa terdiri atas suatu perangkat untuk memasukkan

sampel (seperti unit HPLC atau GC), antarmuka untuk menghubungkan perangkat

tersebut, sumber ion yang mengionisasi sampel, lensa elektrostatik yang secara

efisien mengenali ion yang dihasilkan, unit analisa massa yang memisahkan ion

berdasarkan rasio massa-muatan (m/z), dan unit detektor yang mendeteksi ion-ion

yang terpisah. Terdapat banyak jenis sistem MS yang tersedia tergantung pada

metode yang digunakan untuk memisahkan ion. Contoh berikut menunjukkan

komponen dari sistem MS quadrupole ionisasi atmosfer khas, yang umum

digunakan sebagai detektor LCMS (Gambar 2.7.). Unit ionisasi atmosfer

didasarkan pada ionisasi elektrospray (ESI = Electrospray Ionization), ionisasi

kimia atmosfer (APCI = Atmospheric Chemical Ionization), atau metode ionisasi

lainnya, dan berfungsi sebagai sumber ion dan antarmuka dengan sistem HPLC.

Ion yang dihasilkan dalam unit ini dilepaskan dari pelarut, kemudian difokuskan ke

balok menggunakan octupole atau cara lain, kemudian dikirim ke quadrupole. Arus

langsung dan arus bolak-balik frekuensi tinggi diterapkan ke quadrupole, sehingga

hanya ion dengan target rasio m/z tertentu yang berhasil melewati quadrupole.

Jumlah ion yang mencapai detektor diubah menjadi sinyal dan output ke computer.

38

Gambar 2.7. Komponen peralatan penyusun sistem LC-MS

(https://www.shimadzu.com/an/lcms/support/intro/lib/lctalk/46/46intro.html)