BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art · 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art...
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State of The Art
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan
substansi dari penelitian ini disajikan dalam rangkuman state of the art seperti
pada Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
1 The Cloudy Future of
Government IT: Cloud
Computing and The Public
Sector Around The World
Wyld, David C., (2010)
Studi Literatur
Pendekatan : Deskriptif
Kualitatif
Cloud Computing sebagai
suatu peluang untuk
peningkatan manfaat bisnis
melalui eleminasi redudansi,
peningkatan agilitas dan
penyediaan jasa TIK dengan
potensi biaya yang lebih
murah.
2 Towards a Government
Public Cloud Model: The
Case of South Africa
Mvelase, P. S., et al. (2013)
Studi Literatur
Review Cloud
Computing pada
negara-negara yang
sudah
mengimpelemen-
tasikannya
Integrasi dan interoperabilitas
merupakan isu utama dalam
rangka keberhasilan
pembangunan e-government.
3 Prototype cloud computing
for e-government in
Indonesia
Hariguna, Taqwa (2011)
Service Oriented
Architecture (SOA)
Cloud Computing dapat
digunakan sebagai referensi
untuk mengurangi kegagalan
e-government yang
disebabkan oleh keterbatasan
SDM serta biaya infrastruktur
yang mahal, melalui
penggunaan model Service
Oriented Architecture (SOA)
dimana hal ini akan
memberikan solusi baru untuk
e-government di Indonesia
12
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
4 An Innovative Approach for
E-Government
Transformation
Al-Khouri, Ali M. ( 2011)
Studi Literatur
Review penerapan
e-gov di berbagai
Negara.
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
e-gov merupakan sebuah
pembaharuan konsep
(rekonseptualisasi) dari suatu
layanan yang ditawarkan oleh
pemerintah, dengan lebih
mengedepankan harapan
masyarakat sebagai inti dari
pembaharuan konsep tersebut,
atau dengan kata lain e-gov
adalah transformasi konsep
dari pelayanan berbasis
kelembagaan (Departement
Centric) menuju pelayanan
berbasis kerakyatan (Citizen
Centric)
5 What is E-Government ?
Some of The Official
Definitions of E-Government
: UN, EU, OECD & The
World Bank.
Lamsal, Ekendra (2014)
Deskriptif Kualitatif E-government merupakan
suatu sistem yang diterapkan
untuk memberikan layanan
kepada para pemangku
kepentingan dengan
penggunaan yang tepat dari
Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) dan
layanan teknologi yang terkait.
E-government yang efektif
dapat memberikan berbagai
manfaat termasuk efisiensi
dan penghematan bagi
pemerintah dan bisnis,
meningkatkan transparansi,
serta partisipasi yang lebih
besar dari warga dalam
berbagai bidang kehidupan.
6 Review tentang Virtualisai
Umar, Rusydi (2013)
Studi Literatur Virtualisasi adalah cara untuk
membuat komputer fisik
bertindak bahwa seolah- olah
komputer tersebut menjadi
dua atau lebih komputer
logika, dimana masing-masing
komputer logika (nonfisik)
mempunyai arsitektur dasar
yang sama dengan komputer
fisik. Virtualisasi digunakan
untuk meningkatkan tingkat
utilisasi dari komputer.
13
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
7 Implementasi dan
Perkembangan
E-Government di Indonesia
Jaya, Safitri (2011)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
Analisis COBIT
Konsep transformasi adalah
hal utama yang harus
diterapkan, bukan sekedar
pemakaian teknologinya saja,
melainkan pemanfaatan
teknologi yang dapat
mendukung dalam sistem
pembuatan kebijakan dan
pelayanan publik ke arah yang
lebih baik
8 Requirements Identification
for Migrating eGovernment
Applications to the Cloud
Evangelos Gongolidis,
Christos Kalloniatis, and
Evangelia Kavakli ( 2014)
Deskriftif Kualitatif
Identifikasi faktor-
faktor yang
mempengaruhi proses
migrasi menuju Cloud
Computing
Cloud Computing merupakan
solusi yang menawarkan
banyak keuntungan baik dari
sisi hardware maupun
software dalam rangka
implementasi e-government
9 Performance Evaluation of
Virtualization Technologies
for Server Consolidation
Padala, Pradeep, et al.,
(2007)
Komparasi performa
kinerja 2 aplikasi
virtualisasi Xen dan
Open VZ
Terjadi peningkatan respon
time hingga 400% pada
virtualisasi menggunakan Xen
dan 100% pada Open VZ.
10 Virtualization
Implementation Model for
Cost Effective & Efficient
Data Centers
Uddin, Mueen and Azizah
Abdul Rahman, (2011)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
5 tahapan yang harus
ditempuh dalam menerapkan
teknologi virtualisasi agar
memperoleh hasil yang efisien
dan efektif.
11 Virtualization Technology: A
Leading Edge
(Kulkarni, Omkar., et al.,
2012)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
Virtualisasi memungkinkan
beberapa aplikasi /operasi
mengakses dan mengguna -
kan sumber daya yang sama
pada saat bersamaan. VMM /
hypervisor menciptakan jalur
isolasi sebagai mesin virtual
dimana sistem operasi yang
berbeda berjalan dalam mesin
virtual di atas hypervisor.
Hypervisor mengelola
permintaan mesin virtual
untuk meng- akses perangkat
keras.
14
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
12 Virtualization Technology
Literature Review
(Scroggins, Richard., 2013)
Studi Literatur Teknologi Virtualisasi telah
diadopsi dalam skala besar
oleh banyak industri data
center. Hal ini memberikan
banyak manfaat seperti
konsolidasi server, live
migration, keamanan data,
efisiensi konsumsi energi, dll.
13 Perancangan, Implementasi,
dan Analisis Kinerja
Virtualisasi Server
menggunakan Proxmox,
VMWare, ESX, dan
Openstack
Arfriandi, Arif (2012)
Analisis deksriftif hasil
observasi pengukuran
beberapa virtualisasi
server menggunakan
metode overhead, dan
linearitas untuk
mengetahui kinerja
virtualisasi server
Konsep cluster high
availability yang terdapat pada
virtualisasi server dapat
mengurangi biaya dan
menyederhanakan pengelolaan
pelayanan teknologi
informasi. Teknologi
virtualisasi bisa lebih
dioptimalkan pada organisasi
/perusahaan yang memiliki
anggaran sedikit, dalam
pengembangan jaringan
server.
14 Perbandingan Kinerja
Pendekatan Virtualisasi
Rio Rasian dan Petrus
Mursanto (2009)
Observasi dan analisis
pada empat pendekatan
virtualisasi yaitu full
virtualization,
hardware-assisted
virtualization,
paravirtualization, dan
operating system-level
virtualization.
Operating system-level
virtualization lebih efisien
dalam hal penggunaan sumber
daya komputer dibanding
pendekatan lainnya.
Pendekatan virtualisasi
seharusnya ikut menjadi
pertimbangan dalam memilih
solusi virtualisasi.
15 Physical Server and Virtual
Server : The Performance
Trade-Offs
Ahmed, Monjur (2013)
Studi Literature dan
Observasi serta analisa
perbandingan kinerja
server fisik dan server
virtual
Server virtual menghasilkan
kinerja yang lebih efisien
sehingga layak menjadi
pilihan untuk
diimplementasikan.
15
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
16 Virtual Machines and
Networks-Instalation,
Performance, Study,
Advanteages and
Virtualization Options
Ali, Ishtiaq and
Meghanathan, Natarajan
(2011)
Studi Literatur,
Pendekatan deskriftif
Perancangan model
dan Observasi kinerja
Virtualisasi
Virtualisasi dalam dunia
pendidikan merupakan sebuah
trend baru yang berkembang
dan dapat memberikan
keutungan yang sama dengan
implementasinya pada dunia
bisnis
17 Virtualization in Linux a Key
Component for Cloud
Computing
Carranzaa, Harrison and
Carranza, Aparicio (2011)
Obervasi dan
Komparasi terhadap
kinerja berbagai
Virtual Machine.
(VMware, Xen dan
KVM)
Virtualisasi dan Cloud
Computing merupakan
teknologi yang tidak
terpisahkan dimana
Virtualisasi adalah langkah
awal penerapan cloud
computing. Dalam
pengamatan VMWare
menunjukan kinerja lebih
tinggi namun cukup mahal.
Teknologi SAN menjadi kunci
vital dalam pengelolaan data
center.
18 Cloud Computing for
Academic Environment
Ajith Singh. N, M.
Hemalatha (2012)
Perencanaan Cloud
Computing untuk
keperluan akademis
Cloud Computing di
lingkungan akademik akan
menguntungkan siswa dan staf
dimana banyak kolaborasi dan
keamanan data yang
dibutuhkan. Kebutuhan
berbagai departemen dan
mahasiswa terhadap software
dan hardware yang up-to-date
dapat difasilitasi, mengingat
Cloud Computing memiliki
Skala kapasitas dan elastisitas
yang sempurna untuk
lingkungan seperti itu.
16
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
19 Efficient Migration –A
Leading Solution for Server
Consolidation
R Suchithra and N.
Rajkumar (2012)
Observasi Simulasi
penggunaan First Fit
Algorithm yang
dimodifikasi (modified
bin packing algorithm
for Server
Consolidation) untuk
mengurangi proses
migrasi yang tidak
diperlukan
Algoritma Server Konsolidasi
terbukti dapat mengurangi
penggunaan server fisik pada
Cloud Data Center.
20 Blue Ocean Strategy dan
Ekonomi Kreatif
Faisal Afiff (2013)
Deskriptif Kualitatif strategi Blue Ocean
merupakan sebuah pendekatan
sistemik yang tidak hanya
menuntut berjalannya setiap
elemen strategis secara benar,
tetapi juga menuntut
keterpaduan elemen-elemen
itu dalam suatu sistem integral
supaya dapat menghasilkan
inovasi nilai
Suatu strategi Blue Ocean
yang efektif, paling tidak
memiliki tiga kualitas yang
saling melengkapi, yakni
fokus, gerak menjauh
(divergensi), dan moto utama.
21 Penerapan Blue Ocean
Strategy di PT. X dalam
Menghadapi Persaingan
Penjualan Automatic Tank
Gauging di Indonesia
Mazhaly, Umar D, Moengin
(2013)
Studi Literatur
Analisis BOS, SWOT
Dasar dalam membuat
samudra biru adalah inovasi
nilai. Inovasi nilai hanya
terjadi ketika perusahaan
memadukan inovasi dengan
utilitas (manfaat), harga, dan
posisi biaya.
22 Implementasi Blue Ocean
Strategy di Indonesia
Chrismardani (2010)
Studi Literatur Terdapat beberapa perusahaan
yang mengadopsi strategi ini,
tetapi ada beberapa tantangan
yang harus dihadapi antara
lain : dibutuhkan manajer
dengan perspektif jangka
panjang, keterbatsan SDM dan
lemahnya perlindungan
terhadap Hak Paten.
17
Tabel 2.1 State of The Art Penelitian tentang Teknologi Virtualisasi (Lanjutan )
No Judul/Penulis/Tahun Metode Hasil/Kesimpulan
23 Penerapan Balanced
Scorecard Sebagai Tolok
Ukur Penilaian Kinerja Pada
Instansi Pemerintah
Putra (2013)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
Balanced Scorecard adalah
suatu metode sistem
manajemen yang mampu
menerjemahkan visi dan
strategi organisasi ke dalam
tindakan nyata di lapangan.
24 Model Strategic Planning
For Information System
Menggunakan Balance
Scorecard pada Universitas
Komputer Bandung
Nurjaya,W.W.K (2014)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
Metode Balanced Scorecard
dimanfaatkan sebagai alat
yang efektif untuk metode
perencanaan strategis yaitu
sebagai penterjemahan dari
visi, misi, peran pokok, faktor
penentu keberhasilan, tolak
ukur, tujuan, dan target kinerja
dalam perbaikan yang
komprehensip, terukur,
koheren dan berimbang
25 Perencanaan Strategis
Berbasis Kerangka Kerja
Balanced Scorecard (BSC)
pada Lembaga Pemerintahan
Non Departemen (LPND)
Nugroho (2013)
Studi Literatur
Pendekatan Deskriptif
Kualitatif
BSC merupakan suatu sistem
manajemen untuk mengelola
implementasi strategi,
mengukur kinerja secara utuh,
mengkomunikasikan visi,
strategi dan sasaran kepada
pemangku kepentingan
Kita saat ini tengah berada pada titik perubahan, yaitu perubahan paradigma
yang signifikan dalam evolusi komputasi. Sejarah komputasi sebagaimana
terlihat pada Gambar 2.1, terdiri dari serangkaian perubahan mulai dari era
mainframe menuju komputer pribadi (dan sekarang, mengarah pada perangkat
mobile dan netbook), dari model client - server dengan model jaringan, dan dari
era isolasi menjadi era internet (Wyld, 2010) .
18
Gambar 2.1 Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Wyld, 2010)
Meskipun ada banyak ketidakpastian tentang kecepatan dan jangkauan,
namun satu hal yang segera akan menjadi sangat berbeda dalam pekerjaan dan
kehidupan pribadi adalah karena munculnya Cloud Computing. Mvelase et al.,
2013 menyatakan bahwa banyak pemerintahan di dunia saat ini secara aktif
melirik Cloud Computing sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi layanan
serta mengurangi biaya infrastruktur. Didalam Cloud Computing,
interoperabilitas menjadi isu yang meningkat dan penting dalam rangka
pencapaian efisiensi pelayanan publik oleh pemerintah. Layanan elektronik yang
disediakan oleh unit / organisasi yang berbeda umumnya tidak saling kompatibel,
sehingga integrasi diperlukan dan interoperabilitas menjadi isu utama dalam
rangka keberhasilan pembangunan e-government.
Beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Canada, Australia,
Hongkong, Cina, New Zaeland dan India melihat layanan Cloud Computing
sebagai suatu peluang untuk peningkatan manfaat bisnis melalui eleminasi
redudansi, peningkatan agilitas dan penyediaan jasa TIK dengan potensi biaya
19
yang lebih murah (Wyld, 2010). Cloud Computing dapat digunakan sebagai
referensi untuk mengurangi kegagalan e-government yang disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya manusia (SDM) serta biaya infrastruktur yang mahal,
melalui penggunaan model Service Oriented Architecture (SOA) dimana hal ini
akan memberikan solusi baru untuk e-government di Indonesia (Hariguna, 2011).
Al-Khouri, 2011 dalam jurnalnya “AN INNOVATIVE APPROACH FOR E -
GOVERNMENT TRANSFORMATION” mengemukakan bahwa e-government
bukan hanya sekedar menyediakan layanan pemerintah kedalam internet, tetapi
lebih kepada sebuah pembaharuan konsep (rekonseptualisasi) dari suatu layanan
yang ditawarkan oleh pemerintah, dengan lebih mengedepankan harapan
masyarakat sebagai inti dari pembaharuan konsep tersebut. Nampaknya, hal ini
hanya dapat dicapai melalui integrasi vertikal dan horisontal dari sistem yang ada
sehingga memungkinkan untuk melewati batas-batas komunikasi berbagai
instansi pemerintah dan departemen, agar menghasilkan konsep "one stop service
center". Atau dengan perkataan lain bahwa e-government mengisyaratkan
terjadinya transformasi dari pelayanan berbasis kelembagaan (Departement
Centric) menuju pelayanan berbasis kerakyatan (Citizen Centric) sebagaimana
terlihat seperti ilustrasi pada Gambar 2.2.
20
Gambar 2.2 Perubahan Konsep Transformasi E-government (Al-Khouri, 2011)
Berkaitan dengan e-government, ada berbagai penjelasan yang diberikan oleh
berbagai pihak, diantaranya European Union’s Public Services / Layanan Publik
Uni Eropa yang menyatakan bahwa e-government merupakan penggunaan alat
digital dan sistem untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada
masyarakat dan bisnis. Sementara Program Administrasi Publik Perserikatan
Bangsa-Bangsa /UNPAN menggambarkan e-government sebagai kerangka
konseptual tertanam dalam paradigma pembangunan manusia dan sosial. Dalam
hal ini, e-government meliputi kapasitas dan kesediaan sektor publik untuk
menyebarkan TIK untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi dalam
pelayanan warga negara. Sedangkan definisi e-government menurut Bank Dunia
mengacu pada penggunaan teknologi informasi oleh instansi pemerintah (seperti
Wide Area Networks, Internet, dan mobile computing) yang memiliki kemampuan
untuk mengubah hubungan dengan masyarakat, bisnis, dan lembaga pemerintah
lainnya (Lamsal, 2014).
21
Mengacu pada beragam definsi tersebut, pada dasarnya dapat dikatakan
bahwa e-government adalah suatu sistem yang diterapkan untuk memberikan
layanan kepada para pemangku kepentingan dengan penggunaan yang tepat dari
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan layanan teknologi yang terkait.
E-government yang efektif dapat memberikan berbagai manfaat termasuk efisiensi
dan penghematan bagi pemerintah dan bisnis, meningkatkan transparansi, serta
partisipasi yang lebih besar dari warga dalam berbagai bidang kehidupan.
2.2 Sistem Pengadaan Secara Elektronik
Sistem Pengadaan Secara Elektronik / SPSE sering pula disebut sebagai
electronic procurement / e-proc atau pengadaan elektronik, menurut Wikipedia
(http://en.wikipedia.org, n.d.) e–procurement adalah kegiatan pembelian dan
penjualan persediaan, pekerjaan, dan layanan bisnis-to-bisnis atau business-to-
consumer atau bisnis-to-government, melalui jaringan internet dan sistem
informasi lainnya, seperti pertukaran data elektronik dan perencanaan sumber
daya perusahaan. Sedangkan menurut Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun
2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik, Pasal 1 poin 9 menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan pengadaan secara elektronik (e-procurement)
adalah pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi
informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tujuan yang ingin dicapai pada penyelenggaraan SPSE adalah meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha
yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses
monitoring dan audit, serta memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
22
Penyelenggaraan SPSE diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, antara lain bagi Unit Layanan Pengadaan (ULP)
manfaat yang dapat dirasakan adalah :
a. Mendapatkan penawaran yang lebih banyak
b. Mempermudah proses administrasi
c. Mempermudah pertanggungjawaban proses pengadaan,
Sedangkan bagi Vendor / Rekanan / Penyedia manfaat yang dapat diperoleh
antara lain :
a. Menciptakan persaingan usaha yang sehat
b. Memperluas peluang usaha
c. Membuka kesempatan pelaku usaha mengikuti lelang
d. Mengurangi biaya transportasi untuk mengikuti lelang,
dan bagi masyarakat, penyelenggaraan SPSE akan memberikan kesempatan
seluas –luasnya untuk mengetahui proses pengadaan yang dilaksanakan, sehingga
lebih memudahkan fungsi kontrol sosial dalam proses pengadaan barang/jasa
pemerintah.
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di Indonesia
dilakukan melalui e-tendering atau e-purchasing. E-tendering merupakan tata
cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara elektronik dengan
menggunakan SPSE melalui unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik /LPSE.
Ruang lingkup e-tendering meliputi proses pengumuman pengadaan barang/jasa
sampai dengan pengumuman pemenang. Para pihak yang terlibat dalam
e-tendering adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), ULP/Pejabat Pengadaan
23
dan penyedia barang/jasa. Aplikasi e-tendering sekurang-kurangnya memenuhi
unsur perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan kerahasian dalam
pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem keamanan dan penyimpanan
dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik tersebut hanya dapat
dibaca pada waktu yang telah ditentukan. Arsitektur aplikasi e-tendering
dibuat/dikembangkan oleh LKPP, dan diselenggarakan oleh LPSE wajib
memenuhi persyaratan yaitu : mengacu pada standar proses pengadaan secara
elektronik yang meliputi interoperabilitas dan integrasi dengan sistem pengadaan
barang/jasa secara elektronik, serta tidak terikat pada lisensi tertentu (free license).
E-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem
katalog elektronik (e-catalogue). Tujuan yang ingin dicapai dalam e-purchasing
adalah terciptanya proses pemilihan barang / jasa secara langsung melalui
e-catalogue, sehingga memungkinkan semua ULP/Pejabat Pengadaan memilih
barang/jasa pada pilihan terbaik dengan proses yang singkat dan harga yang telah
distandarkan serta efisiensi biaya dan waktu proses pemilihan barang/jasa dari sisi
penyedia barang/jasa dan pengguna barang/jasa. Ketentuan umum dalam
pelaksanaan e-purchasing yaitu :
a. e-purchasing diselenggarakan oleh LKPP dengan memuat informasi
spesifikasi dan harga barang/jasa,
b. informasi e-catalogue oleh LKPP dilakukan dengan membuat framework
contract antara LKPP dengan penyedia barang/jasa dan ketiga,
barang/jasa pada sistem e-catalogue ditentukan LKPP.
24
2.3 Layanan Pengadaan Secara Elektronik / LPSE
LPSE adalah unit kerja Kementrian / Lembaga / Daerah / Institusi (K/L/D/I)
yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang / jasa
secara elektronik (LKPP, 2012). LPSE melaksanakan fungsi penyelenggaraan
pengadaan barang / jasa pemerintah melalui pengelolaan Sistem Pengadaan
Secara Elektronik (SPSE). Eksistensi SPSE mutlak diperlukan dalam
penyelenggaraan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik sehingga
menjaga ketersediaan layanan serta kehandalannya menjadi salah satu tugas
pokok yang wajib dilaksanakan oleh pengelola LPSE.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik akan meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,
memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring
dan audit dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna
mewujudkan clean and good government dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah.
2.3.1 Dasar Hukum Pembentukan LPSE
Dasar hukum pembentukan LPSE adalah Pasal 111 Peraturan Presiden RI
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah yang ketentuan
teknis operasionalnya diatur oleh Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010
tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik. LPSE dalam menyelenggarakan
sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik juga wajib memenuhi
persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta peraturan
25
perundang-undangan lainnya sebagaimana tertuang dalam konsideran Peraturan
Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara
Elektronik, yaitu :
a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400)
b. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara tahun 2005 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4578)
c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan lembaran Negara Nomor 473)
d. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4741)
e. Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
2.3.2 Struktur Organisasi
Pada Pasal 5 Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan
Pengadaan Secara Elektronik disebutkan bahwa LPSE dapat rnenjadi unit kerja
tersendiri atau rnenjadi fungsi salah satu unit kerja dengan rnernaksirnalkan
organisasi yang ada atau bersifat ad-hoc (kepanitiaan). Dalam ayat (2) pasal
26
tersebut menyatakan bahwa unit kerja yang rnelaksanakan fungsi LPSE harus
dipisahkan dengan unit kerja yang rnelaksanakan fungsi ULP untuk rnenghindari
pertentangan kepentingan. Selanjutnya dalam ayat (3) dikatakan bahwa ketentuan
penetapan organisasi LPSE yang rnenjadi unit tersendiri ditentukan berdasarkan
kriteria yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala LKPP dan berdasarkan
persetujuan Kernenterian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reforrnasi
Birokrasi.
Lebih lanjut dalam Pasal 6 Peraturan Kepala LKPP tersebut menegaskan
bahwa Perangkat organisasi LPSE yang berdiri sendiri disusun sesuai dengan
kebutuhan, sekurang-kurangnya rnenyelenggarakan fungsi yang rneliputi:
a. Kepala;
b. Sekretariat;
c. Unit Administrasi Sistem Elektronik;
d. Unit Registrasi dan Verifikasi;
e. Unit Layanan dan Dukungan.
Dalam pasal tersebut, ditegaskan pula bahwa bagi LPSE yang bukan menjadi unit
tersendiri, fungsi Kepala dan Sekretariat dapat menjadi satu dengan unit yang ada.
2.3.3 Tugas Pokok dan Fungsi LPSE
Secara umum tugas pokok LPSE adalah melaksanakan pelayanan proses
pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan secara elektronik. Dalam
melaksanakan tugas tersebut LPSE menjalankan fungsi sebagai berikut :
a. Mengelola sistem e-procurement
b. Menyediakan pelatihan kepada PPK/panitia dan penyedia barang/jasa
27
c. Menyediakan bantuan teknis pengoperasian SPSE bagi PPK/panitia dan
penyedia barang/jasa
d. Melakukan registrasi dan verifikasi terhadap PPK/panitia dan penyedia
barang/jasa
e. Menyediakan sarana dan prasarana akses internet bagi PPK/panitia dan
penyedia barang/jasa.
Dalam pelaksanaannya agar semua fungsi tersebut dapat berjalan dengan
baik, maka pada bagian ketiga Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010
yaitu Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 telah diatur tugas dan kewajiban masing-
masing perangkat dalam struktur organisasi LPSE sebagai berikut :
a. Kepala LPSE mempunyai tugas memimpin LPSE dalam menjalankan tugas
dan fungsi LPSE
b. Sekretariat mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, ketatausahaan,
pembinaan dan pengendalian terhadap program, kegiatan, administrasi dan
sumber daya di lingkungan LPSE dengan menyelenggarakan fungsi -
fungsi :
1) Koordinasi kegiatan di Lingkungan LPSE dan lembaga terkait
2) Penyelenggaraan Ketatausahaan dan pengelolaan administrasi umum
untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi LPSE
3) Pengelolaan sarana, prasarana dan sumber daya
4) Pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan
5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala LPSE sesuai
dengan tugas dan fungsi
28
c. Unit Administrasi Sistem Elektronik bertugas menyelenggarakan
pengelolaan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dengan
melaksanakan fungsi :
1) Penyiapan dan pemeliharaan perangkat lunak, perangkat keras dan
jaringan
2) Penanganan permasalahan teknis yang terjadi untuk menjamin
kehandalan dan ketersediaan layanan
3) Pemberian informasi kepada LKPP tentang kendala teknis yang terjadi
di LPSE
4) Pelaksanaan instruksi teknis dari LKPP
d. Unit Registrasi dan Verifikasi mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan registrasi dan verifikasi Pengguna SPSE dengan
melaksanakan fungsi-fungsi :
1) Pelayanan pendaftaran pengguna SPSE
2) Penyampaian informasi kepada calon pengguna SPSE tentang
kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan
3) Verifikasi seluruh dokumen dan informasi sebagai persayaratan
pendaftaran pengguna SPSE
4) Pengelolaan arsip dan dokumen pengguna SPSE
Unit Registrasi dan Verifikasi ini berhak untuk menyetujui atau menolak
pendaftaran pengguna SPSE, serta dapat menonaktifkan akun (user ID dan
password) penggua SPSE apabila ditemukan pelanggaran terhadap
29
persyaratan dan ketentuan penggunaan SPSE dan atas permintaan dari
PA/KPA/PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan berkaitan dengan blacklist
e. Unit Layanan dan Dukungan mempunyai tugas untuk melaksanakan
pelayanan pelatihan dan dukungan teknis pengoperasian aplikasi SPSE dan
menyelenggarakan fungsi-fungsi :
1) Pemberian layanan konsultasi mengenai proses pengadaan barang/jasa
secara elektronik
2) Pemberian informasi tentang fasilitas dan fitur aplikasi SPSE
3) Penanganan keluhan tentang pelayanan LPSE
4) Pelayanan pelatihan penggunaan aplikasi SPSE
2.4 LPSE Kabupaten Badung
2.4.1 Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan LPSE Kabupaten Badung
Secara historis LPSE Kabupaten Badung merupakan LPSE ketiga yang
terbentuk di Bali setelah LPSE Kota Denpasar dan LPSE Provinsi Bali.
Pembentukan LPSE Kabupaten Badung dimulai dengan dibentuknya Tim
Persiapan Penerapan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara elektronik
(e-procurement) di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung melalui
Keputusan Bupati Badung Nomor 328/01/HK/2010 tanggal 9 Februari 2010.
Selanjutnya untuk meningkatkan kesiapan sumber daya aparatur yang akan
mengelola LPSE maka dilaksanakan pelatihan management training LPSE dari
tanggal 2 – 5 Maret 2010 bertempat di Direktorat e-procurement LKPP Jakarta.
Kegiatan pemantapan kembali dilaksanakan melalui pelatihan penggunaan
aplikasi SPSE di LPSE Provinsi Bali pada tanggal 19 Mei 2010.
30
Organisasi LPSE Kabupaten Badung secara administratif terbentuk dengan
diterbitkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 1784/01/HK/2010 tentang
Pembentukan dan Susunan Organisasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik
(LPSE) Kabupaten Badung, sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Peraturan
Bupati Badung Nomor 27 Tahun 2010 tentang Implementasi e-Procurement di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung.
Setelah terbentuknya organisasi, selanjutnya dilaksanakan kegiatan sosialisasi
kepada seluruh SKPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung pada tanggal
14 Oktober 2010 dan diikuti dengan pelaksanaan pelatihan e-procurement kepada
PPK, Panitia/Pebajat Pengadaan dan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang
dilaksanakan dari tanggal 8 Nopember – 3 Desember 2010. Dengan demikian
LPSE Badung secara administratif maupun secara teknis telah siap beroperasi dan
secara resmi diluncurkan (Launching) pada tanggal 27 Desember 2010 oleh
Bupati Badung bersama beberapa pejabat teras LKPP diantaranya Deputi Bidang
Monitoring, Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi serta Direktur
e-procurement LKPP.
Paket lelang perdana yang menggunakan aplikasi e-procurement di
Kabupaten Badung diumumkan pertama kali pada tanggal 10 Februari 2011
setelah sebelumnya pada 20 Januari 2010 dilaksanakan sosialisai lelang melalui
e-procurement kepada anggota Gapensi Kabupaten Badung.
Dalam perkembangan selanjutnya, Keputusan Bupati Badung Nomor
1784/01/HK/2010 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Layanan
Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Badung mengalami beberapa
31
kali perubahan sehubungan dengan perubahan personil pengelola LPSE akibat
adanya mutasi PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung.
2.4.2 Susunan Organisasi LPSE Kabupaten Badung
Mengacu pada Keputusan Bupati Badung Nomor 283/01/HK/2014 tentang
Perubahan Ketiga atas Keputusan Bupati Badung Nomor 2166/01/HK/2011
tentang Pembentukan Pelaksana Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
Kabupaten Badung, susunan organisasi LPSE Kabupaten Badung dapat dilihat
pada Gambar 2.3 sebagai berikut :
Pembina
Koordinator
Kepala
Admin Sistem
Sekretaris
Verifikator Helpdesk Trainner
Staf Adm. Penunjang
32
Pada Diktum Kedua dari Keputusan Bupati Badung Nomor 283/ 01 / HK/
2014 tersebut disebutkan bahwa :
a. Tugas dan tanggung jawab Pembina LPSE :
1. Membina dan mengelola program kerja;
2. Memberikan kebijakan untuk pelaksanaan kegiatan;
3. Memantau dan mengevaluasi kegiatan.
b. Tugas dan tanggung jawab Koordinator LPSE :
1. Mengkoordinir program kerja;
2. Mengkoordinir pelaksanaan kegiatan.
c. Tugas dan tanggung jawab Kepala LPSE :
1. Memimpin operasional harian LPSE;
2. Memberikan arahan teknis terhadap pelaksanaan kegiatan unit LPSE;
3. Menyusun laporan kegiatan LPSE.
d. Tugas dan tanggung jawab Sekretaris LPSE :
1. Mengkoordinasikan kegiatan di lingkungan LPSE;
2. Menyelenggarakan pengelolaan administrasi umum untuk mendukung
kelancaran tugas dan fungsi LPSE;
3. Menyelenggarakan hubungan kerja dibidang administrasi dengan
lembaga terkait;
4. Melaksanakan tugas-tgas lain yang diberikan Kepala LPSE sesuai tugas
dan fungsinya .
Gambar 2.3 Bagan Susunan Organisasi LPSE Kabupaten Badung
33
2. Memelihara server LPSE dan perangkat lainnya;
3. Menangani permasalahan teknis sistem informasi yang terjadi;
4. Memberikan informasi dan masukan kepada LPSE Pusat tentang
kendala – kendala teknis yang terjadi pada LPSE;
5. Melaksanakan instruksi teknis dari LPSE Pusat.
f. Tugas dan tanggung jawab Registrasi dan Verifikator :
1. Menangani pendaftaran Pengguna LPSE;
2. Melakukan verifikasi seluruh informasi dan dokumen sebagai
persyaratan pendaftaran Pengguna Unit LPSE;
3. Menyetujui dan menolak pendaftaran Pengguna LPSE berdasarkan
hasil verifikasi;
4. Mengelola arsip dan dokumen pengguna LPSE;
5. Melakukan konfirmasi kepada pengguna LPSE tentang persetujuan dan
penolakan pendaftaran berdasarkan hasil verifikasi;
6. Menyampaiakn informasi kepada pengguna LPSE tentang kelengkapan
dokumen yang dipersyaratkan.
g. Tugas dan tanggung jawab Layanan Pengguna LPSE :
1. Memberikan layanan konsultasi mengenai proses pengadaan secara
elektronik baik melalui internet, telepon, maupun hadir langsung di
Unit LPSE;
2. Membantu proses pendaftaran pengguna Unit LPSE;
3. Menjawab pertanyaan tentang fasilitas dan fitur aplikasi LPSE;
4. Menangani keluhan tentang pelayanan Unit LPSE.
34
h. Tugas dan tanggung jawab Pelatihan dan Sosialisasi LPSE :
1. Memberikan pelatihan bagi pengguna Unit LPSE;
2. Menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait pengadaan barang dan jasa.
i. Tugas dan tanggung jawab staf Administrasi Penunjang LPSE :
1. Melaksanakan piket jaga di Kantor Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE);
2. Melakukan fungsi sebagai customer service pada Kantor Kantor
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
2.5 Teknologi Virtualisasi
Teknologi virtualisasi adalah teknologi untuk membuat komputer fisik
bertindak seolah-olah komputer tersebut merupakan dua atau lebih komputer
nonfisik /komputer virtual (Umar, 2013). Masing-masing komputer virtual
tersebut memiliki arsitektur dasar yang sama dengan komputer fisiknya. Ada
berbagai cara untuk melakukan hal ini dan setiap cara mempunyai kelebihan serta
kekurangan masing-masing. Untuk membuat komputer fisik menjadi dua atau
lebih komputer virtual, karakteristik perangkat kerasnya harus dikonstruksi
kembali melalui perangkat lunak. Hal ini dapat dilakukan dengan lapisan
perangkat lunak yang disebut abstraksi. Abstraksi, dimana berhubungan dengan
virtualisasi, adalah representasi dari sekumpulan perangkat keras umum yang
keselurahnnya digerakkan oleh perangkat keras. Pada dasarnya abstraksi adalah
perangkat yang bertindak sebagai perangkat keras. Teknologi virtualisasi
mengijinkan instalasi dari sistem operasi pada perangkat keras yang sebenarnya
tidak ada.
35
2.5.1 Konsep Virtualisasi
Konsep Mesin Virtual (Virtual Machine) pertama kali dikembangkan oleh
IBM pada tahun 1960an dengan tujuan untuk menyediakan akses ke sebuah mesin
mainframe secara bersamaan. Setiap mesin virtual merupakan replika mesin fisik
yang mendasarinya dan pengguna seolah-olah menjalankannya langsung dari
mesin fisik tersebut (Umar, 2013)
Teknologi Virtualisasi telah diterapkan secara luas saat ini dengan dampak
peningkatan operasional dan finansial yang positif. Virtualisasi adalah teknologi
yang memungkinkan untuk bekerjanya beberapa sistem operasi sekaligus secara
bersamaan dengan menggunakan hanya satu perangkat komputer (Ahmed, 2013);
(Limantara, 2014); (Scroggins, 2013) serta merupakan sebuah konsep yang
memungkinkan sebuah komputer terbagi dalam beberapa lingkungan yang saling
berhubungan atau tidak sama sekali, pada saat yang sama. Lingkungan tersebut
dikenal dengan Virtual Machine (VM).
Virtualisai menggantikan konsep lama “Satu server satu aplikasi” dimana
beberapa mesin virtual dapat bekerja dalam satu komputer fisik (Suchithra dan
Rajkumar, 2012). Gambaran arsitektur sistem virtualisasi secara umum dapat
dilihat pada Gambar 2.4. Virtualisasi dapat dikatakan sebagai upaya optimalisasi
aset TIK yang dimiliki, dimana konsep cluster high availability yang terdapat
pada virtualisasi server dapat mengurangi biaya dan menyederhanakan
pengelolaan pelayanan teknologi informasi (Rasian dan Mursanto, 2009). Hal ini
dimungkinkan dengan melihat potensi multiprocessor yang umumnya dimiliki
oleh server yang berkembang saat ini sehingga memungkinkan beberapa operasi
36
aplikasi dijalankan pada saat yang bersamaan (Arfriandi, 2012) dan pada akhirnya
dapat mengoptimalkan penggunaan sumber daya komputer yang umumnya hanya
terpakai antara 10-15% saja (Rasian dan Mursanto, 2009).
Gambar 2.4 Arsitektur Sistem Virtualisasi (Umar, 2013)
Berbagai pendekatan telah dikemukakan untuk mendefinisikan virtualisasi.
Rusydi Umar, 2013 menyatakan bahwa teknologi virtualisasi adalah teknologi
untuk membuat komputer fisik bertindak seolah-olah komputer tersebut adalah
dua komputer nonfisik (komputer virtual) atau lebih, sedangkan Omkar Kulkarni,
et al., 2012 menyebut bahwa virtualisasi adalah upaya untuk mengoptimalkan
berbagai sumber daya (aset) teknologi informasi yang dimiliki.
Virtualisasi mengkombinasikan atau membagi sumber daya seperti jaringan,
harddisk, aplikasi dan layanan sebuah server berdasarkan lingkungannya untuk
menghasilkan lingkungan kerja yang berbeda melalui teknik dan metode tertentu
Software Applications
Virtual Machine
Operating Systems
(Linux, Solaris, Windows, etc)
Virtual Hardware
Software Applications
Software Applications
Software Applications
Virtual Machine
Operating Systems
(Linux, Solaris, Windows, etc)
Virtual Hardware
Software Applications
Software Applications
Virtualization Layer (Virtual Machine Monitor / Hypervisor)
Physical Hardware (CPU, Memory, Disks, Network, etc)
37
seperti agregasi atau partisi, simulasi, emulasi dan time sharing (Singh.Ajith dan
M. Hemalatha, 2012).
Pendekatan lain disampaikan oleh Rio Rasian dan Petrus Mursanto, 2009
yang menyebutkan bahwa virtualisasi adalah teknik untuk menyembunyikan
karakter fisik suatu sumber daya komputer dari cara yang digunakan oleh sistem
lain, aplikasi atau pengguna untuk berinteraksi dengan sumber daya tersebut, atau
dapat dikatakan bahwa virtualisasi merupakan sebuah teknik untuk membuat
sesuatu dalam bentuk virtual, tidak seperti kenyataan yang ada. Virtualisasi
digunakan untuk mengemulasikan perangkat fisik komputer dengan cara
membuatnya seolah-olah perangkat tersebut tidak ada (disembunyikan) atau
bahkan menciptakan perangkat tidak ada menjadi ada.
Penelitian oleh Arief Afriandi, 2012 yang melakukan analisis kinerja server
dengan perancangan, dan implementasi Proxmox, VMware ESX dan Openstack
pada server multicore diperoleh kesimpulan bahwa teknologi virtualisasi dapat
lebih dioptimalkan pada organisasi atau perusahaan yang ingin mengembangkan
jaringan server dengan biaya sedikit dan dalam hal penggunaan service yang
lebih banyak pada virtual machine, semakin banyak inti prosesor yang digunakan
akan lebih baik dalam kestabilan virtualisasi server secara keseluruhan.
2.5.2 Virtualisasi dan Cloud Computing
Arti penting virtualisasi sebagai komponen kunci dalam Cloud computing
telah dilaporkan dalam salah satu jurnal Harrison Carranza dan Aparicio Carranza,
yang berjudul Virtualization in Linux a Key Component for Cloud Computing.
Virtualisasi dan cloud computing adalah dua paradigma yang bergerak dalam
38
ranah yang sama yaitu bidang Teknologi Informasi. Virtualisasi adalah sebuah
teknologi, yang memungkinkan membuat versi virtual dari sesuatu yang bersifat
fisik. Proses tersebut dilakukan oleh sebuah software atau firmware bernama
Hypervisor yang menjadi inti virtualisasi, karena hypervisor atau disebut juga
Virtual Machine Manager (VMM) tersebutlah merupakan layer yang seakan-akan
menjadi sebuah infrastruktur untuk menjalankan beberapa mesin virtual,
sedangkan Cloud Computing adalah sebuah teknologi yang menggabungkan
virtualisasi dan grid computing. Jadi selain ada proses virtualisasi, juga terdapat
grid computing, dimana seluruh beban proses komputasi yang ada akan
didistribusikan ke berbagai server yang saling terhubung di dalam cloud, sehingga
prosesnya akan menjadi jauh lebih ringan.
Dengan menggabungkan proses virtualisasi dan grid computing, akan
mendapatkan efisiensi dan hasil performa yang sangat optimal dalam proses
komputasi. Melalui cloud computing, seolah-olah kita memiliki infrastruktur
super besar yang mampu melakukan proses komputasi dan penyimpanan data
tanpa batas, padahal secara fisik, kita tidak memiliki atau membeli apa-apa,
semuanya berada di dalam "cloud" yang dapat digunakan secara on-demand dan
dapat diakses melalui jaringan private maupun publik.
2.5.3 Jenis-jenis Virtualisasi
Teknologi virtualisasi telah diadopsi dalam skala besar dalam industri data
center dimana hal ini memberikan beberapa keuntungan seperti konsolidasi
server, live migration, keamanan data, penghematan energi, dan lain-lain
(Scroggins, 2013). Pada dasarnya semua komponen (resources) yang terdapat
39
dalam jaringan komputer dapat divirtualisasi seperti Server, Desktop, Storage,
Application, maupun Network (Limantara, 2014). Ada beberapa istilah
virtualisasi yang dikenal berdasar pada perbedaan metodenya, seperti Full
Virtualization (Native Virtualization), Para Virtualization, Emulation, Operating
System Level Virtualization, dan Resource Virtualization (Kulkarni et al., 2012),
sedangkan berdasarkan penempatan layernya, virtualisasi dibedakan menjadi 3
level, yaitu Virtualisasi Level Hardware, Virtualisasi Level Sistem Operasi dan
Virtualisasi Level Aplikasi (Adhiwibowo, 2013).
Full Virtualization menggunakan sebuah hypervisor yang menghubungkan
guest dan piranti keras. Mesin virtual mengabstarksi piranti keras, mengijinkan
sebuah sistem operasi tak termodifikasi untuk dapat berjalan. Sistem operasi yang
berjalan pada mesin virtual memberikan instruksi kepada piranti keras dengan
cara melalui mesin virtual. Full Virtualization memberikan pemodelan lengkap
dari piranti keras.
Para Virtualization mirip dengan Full Virtualization namun dalam metode ini
terjadi proses modifikasi sistem operasi pada guest. Metode ini membutuhkan
kompilasi ulang atau trapping, sedangkan pada Emulation piranti keras akan
menjalankan suatu mode yang membuat piranti keras secara virtual untuk
mengemulasi piranti keras yang diinginkan. Setiap instruksi harus disimulasikan
pada piranti keras dibawahnya yang merupakan emulasi dan piranti keras
sebenarnya sehingga kinerja akan menurun hingga 100 kali dari biasanya.
Virtualisasi jenis ini adalah virtualisasi yang paling rumit.
40
2.5.4 Software Virtualisasi
Saat ini telah banyak beredar di pasaran perangkat lunak (software)
virtualisasi dengan berbagai fitur yang menjadi kelebihan maupun
keterbatasannya. Beberapa software virtualisasi tersebut antara lain : Microsoft
Hyper-V, Linux-Vserver, OpenVZ, Sun xVM VirtualBox, Microsoft VirtualServer,
VMware ESX/ESXi, VMware Server, dan Xen (Rasian dan Mursanto, 2009).
Microsoft Hyper-V merupakan solusi virtualisasi dari Microsoft yang tersedia
bersama dengan sistem operasi Windows Server 2008 dan merupakan software
virtualisasi bertipe bare-metal yang memerlukan CPU x86-64 dan teknologi Intel
VT-x atau AMD-V (hanya mendukung pendekatan hardware-assisted
virtualization). Hyper-V mendukung sistem operasi desktop/server (Windows
2000 - Windows Server 2008) dan beberapa distribusi GNU/Linux.
Linux-Vserver dan OpenVZ merupakan solusi virtualiasi yang memberikan
kemampuan OS- level virtualization pada kernel Linux dan didistribusikan
sebagai software bebas (freeware). Linux- VServer dapat berjalan pada
kebanyakan arsitektur CPU yang didukung oleh kernel Linux, terutama x86 dan
x86-64, sementara pengembangan OpenVZ didukung oleh perusahaan komersil
Parallels dan menjadi basis dari salah satu produk mereka, yaitu Parallels
Virtuozzo.
Sun xVM VirtualBox adalah software virtualisasi dari Sun Microsystem
dengan tipe hosted serta merupakan software bebas, dan versi proprietary (gratis)
dari Sun ini memberikan beberapa fitur tambahan seperti Remote Desktop
Protocol, USB, iSCSI, dan lain- lain. VirtualBox dapat berjalan pada CPU dengan
41
arsitektur x86 atau x86-64 dan sistem operasi Windows, GNU/Linux, Mac OS X,
atau Solaris sebagai host, serta dapat menggunakan pendekatan full virtualization
maupun hardware-assisted virtualization, sementara pendekatan para
virtualization direncanakan di masa mendatang.
Microsoft VirtualServer, adalah solusi virtualisasi server satu-satunya
sebelum Hyper-V dan merupakan software virtualisasi bertipe hosted serta bisa
melakukan virtualisasi full virtualization atau hardware-assisted virtualization
dan saat ini VirtualServer sudah bisa didapatkan secara gratis.
VMware ESX/ESXi merupakan salah satu software virtualisasi dari VMware
yang bertipe bare-metal. Perbedaan ESX dengan ESXi terletak pada arsitektur dan
menajemen operasinya. Walaupun inti dari kedua software ini sama dan tidak
bergantung pada sistem operasi tertentu untuk manajemen, tetapi ESX
memerlukan sistem operasi GNU/Linux untuk melakukan manajemen.
VMware Server (VMware GSX Server) merupakan produk utama dari
VMware. VMware memberikan VMware Server secara cuma-cuma dengan
harapan menjadi titik mula pengguna menuju VMware ESX. VMware Server
bertipe hosted dan mendukung CPU dengan arsitektur x86 atau x86- 64 dengan
sistem sistem operasi GNU/Linux dan Windows sebagai host. VMware Server
dapat melakukan pendekatan virtualisasi full virtualization, paravirtualization,
dan hardware- assisted virtualization.
Xen merupakan software virtualisasi tipe bare- metal yang awalnya
dikembangkan di Universitas Cambridge dan saat ini dikembangkan oleh
komunitas sebagai software bebas. Dalam pengembangannya Xen didukung oleh
42
banyak perusahaan TI terkemuka di dunia seperti Citrix, IBM, Intel, Hewlett-
Packard, Novell, Red Hat, Sun Microsystems, dan Oracle. Xen dapat berjalan
pada arsitektur CPU x86/x86- 64 dan menjalankan sistem operasi di dalam mesin
virtual dengan arsitektur yang sama. Pendekatan utama Xen adalah
paravirtualization, tetapi sejak versi 3.0 Xen juga mendukung hardware-assisted
virtualization.
2.5.5 Keuntungan Virtualisasi
Meskipun perkembangan awal virtualisasi sempat kurang menggembirakan
namun dalam beberapa dekade terakhir ini eksistensinya semakin meningkat
seiring perkembangan serta kemajuan yang dihasilkan oleh perusahaan-
perusahaan besar yang fokus bergerak di bidang ini baik perangkat maupun
softwarenya.
Virtualisasi dan cloud computing berhubungan sangat erat karena keduanya
berkaitan dengan abstraksi mesin fisik (Carranza and Carranza, 2011). Tujuan
virtualisasi dan cloud computing secara umum adalah untuk meningkatkan
ketersediaan /availability, kinerja /performance, skalabilitas / scalability, dan
perawatan /maintainability.
Setiap perusahaan/organisasi yang menerapkan virtualisasi tentu memiliki
tujuan yang berbeda dan hal tersebut umumnya berkaitan dengan keuntungan
yang didapat dari virtualisasi seperti:
a. Memungkinkan semua perangkat yang terhubung dengan jaringan untuk
mengakses aplikasi melalui jaringan, sehingga perangkat keras yang ada
akan dapat digunakan dengan lebih baik, disamping dapat mengurangi
43
biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian perangkat keras baru
(Umar, 2013); (Singh.Ajith and M. Hemalatha, 2012).
b. Isolasi beban perkerjaan atau aplikasi untuk meningkatkan keamanan dan
kemudahan pengelolaan lingkungan (Limantara, 2014); (Ali and N.
Meghanathan, 2011).
c. Meningkatkan daya dukung aplikasi, dengan mengijinkan pengguna
untuk menjalankan aplikasi dari mesin-mesin yang berbeda secara
bersamaan, (Limantara, 2014); (Singh.Ajith and M. Hemalatha, 2012).
d. Mengurangi waktu yang diperlukan untuk menjalankan aplikasi, dengan
memisahkan data atau aplikasi itu sendiri dan menyebar pekerjaan di
beberapa sistem,
e. Mengoptimalkan penggunaan sistem tunggal,
f. Meningkatkan keandalan atau ketersediaan dari aplikasi atau beban kerja
dengan pengulangan.
Selain itu, virtualisasi juga memberikan peningkatan Uptime dan
mempercepat Failure Recovery serta beberapa penyederhanaan antara lain:
penyederhanaan sistem administrasi, ekspansi kapasitas, dukungan perangkat
lunak asli, pengembangan sistem-level, instalasi dan deployment Sistem dan
testing aplikasi.
Portabilitas dari VM akan memudahkan proses migrasi server jika terjadi
kesalahan perangkat keras, disamping dapat memberikan peningkatan kapasitas
perangkat keras, seperti CPU yang lebih kuat, tambahan inti (core) CPU,
44
tambahan memori, tambahan kartu jaringan (network card) dan lain - lain
(Umar, 2013).
2.6 Blue Ocean Strategy
Menurut (Afiff, 2013) dalam tulisannya berjudul Blue Ocean Strategy dan
Ekonomi Kreatif menyatakan bahwa Blue Ocean Strategy pada prinsipnya adalah
strategi untuk keluar dari persaingan dengan menawarkan fitur produk atau sistem
yang inovatif, dimana hal seperti ini justru lepas dari perhatian para pesaing. Fitur
produk atau sistem ini biasanya memiliki perbedaan yang mendasar dengan yang
selama ini sudah ada dan diterapkan dalam organisasi. Beranjak dari pola-pikir
blue ocean strategy, organisasi didorong untuk memasuki sebuah lingkungan
persaingan baru yang secara potensial belum banyak organisasi berada di dalam
wilayah tersebut yang selama ini terabaikan oleh para pesaing. Dalam pola-pikir
sebelumnya, yang oleh W. Chan Kim dan Renee Mouborgne disebut sebagai red
ocean yaitu suatu kemampuan untuk mengalahkan kompetitor menjadi hal
terpenting, dimana pesaing biasanya memberikan tawaran fitur produk dan sistem
yang seragam, sama, dan semua saling memperebutkan pangsa pasar yang sama
pula, sehingga menimbulkan situasi persaingan yang sangat ketat. Karakteristik
dari blue ocean ditandai oleh area yang belum banyak terjelajahi, belum terdapat
penciptaan permintaan, dan memiliki peluang pertumbuhan yang sangat
menguntungkan. Saat ruang pasar semakin sesak, maka prospek terhadap laba
serta pertumbuhan dapat berkurang, dan produk pun telah bergeser menjadi
komoditas.
45
Pengertian strategi samudra biru menurut W. Chan Kim dan Renee
Mauborgne yang diterjemahkan dalam Blue Ocean Strategy untuk Ciptakan
Ruang Pasar Tanpa Pesaing dan Biarkan Kompetisi Tak Lagi Relevan (2005: 10)
“Bagaimana membuat ruang pasar yang belum terjelajahi, yang bisa
menciptakan permintaan dan memberikan peluang pertumbuhan yang sangat
menguntungkan. Intinya, bagaimana bersaing dengan tangkas dalam kompetisi;
bagaimana secara cerdik membaca persaingan, menyusun strategi dan kerangka
kerja yang sistematis guna menciptakan samudra biru”.
Definisi yang dikemukakan tentang strategi samudra biru menjelaskan bahwa
strategi samudra biru bukan sekedar strategi untuk memenangkan suatu
persaingan namun strategi untuk keluar dari wilayah persaingan dengan
menciptakan ruang yang baru serta membuat para pesaing dan sistem kompetisi
menjadi tidak relevan.
Inovasi dan kesetaraan nilai menjadi penekanan pada strategi BOS ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh (Mazhaly, Umar and Moengin, 2013) yang
menyebutkan bahwa dasar dalam membuat samudra biru adalah inovasi nilai.
Inovasi nilai hanya terjadi ketika perusahaan memadukan inovasi dengan utilitas
(manfaat), harga, dan posisi biaya. Inovasi nilai seperti terlihat pada gambar 2.5
diciptakan dalam wilayah dimana tindakan perusahaan secara positif
mempengaruhi struktur biaya dan tawaran nilai bagi pembeli. Penghematan biaya
dilakukan dengan menghilangkan dan mengurangi faktor-faktor yang menjadi
titik persaingan dalam industri. Nilai pembeli ditingkatkan dengan menambah dan
menciptakan elemen-elemen yang belum ditawarkan industri. Maka biaya
46
berkurang jauh ketika ekonomi skala bekerja setelah terjadi volume penjualan
tinggi akibat nilai unggul yang diciptakan.
Gambar 2.5 Diagram Inovasi Nilai (Mazhaly, Umar and Moengin, 2013)
Chrismardani, 2010 dalam tulisannya tentang Implementasi Blue Ocean
Strategy di Indonesia, juga menekankan bahwa strategi ini membutuhkan suatu
inovasi yang terus menerus dan selalu melakukan pengendalian terhadap kurva
nilai agar tetap menemukan strategi yang tepat untuk mencari peluang
menciptakan lautan biru yang baru. Meskipun strategi ini terbukti sangat baik
namun di Indonesia masih jarang yang melakukan sehingga pemahaman ini
diperlukan bagi kalangan manajerial puncak agar organisasinya selalu memiliki
kekuatan untuk menciptakan lingkungan baru yang bebas dari persaingan ketat.
Lebih lanjut (Mazhaly, Umar and Moengin, 2013) menyebutkan bahwa
inovasi nilai tidaklah sama dengan inovasi teknologi. Inovasi nilai menolak salah
satu dogma yang paling umum digunakan dalam strategi berbasiskan kompetisi
yaitu : dilema atau pertukaran ( tradeoff ) nilai - biaya. Disini, strategi dilihat
About BOS
Value Innovation
Eliminate
Reduce
Raise
Create
Value
Innovation
Costs
Value
VI
47
sebagai pembuat pilihan antara diferensiasi dan biaya rendah. Sebaliknya BOS
menjadikan perusahaan mengejar diferensiasi dengan biaya rendah secara
bersamaan. Tabel 2.2 menyajikan perbedaan mendasar antara strategi Red Ocean
dan strategi Blue Ocean.
Tabel 2.2 Perbedaan Red Ocean Strategy dan Blue Ocean Strategy
(Kim dan Mauborgne, 2005)
Strategi Red Ocean Strategi Blue Ocean
Bersaing dalam ruang pasar
yang sudah ada
Menciptakan ruang pasar
yang belum ada pesaingnya
Memenangi kompetisi
Menjadikan kompetisi tidak relevan
Mengeksploitasi permintaan
yang ada
Menciptakan dan menangkap permintaan
baru
Memilih antara nilai - biaya
(value - cost trade off)
Mendobrak pertukaran nilai-biaya
Memadukan keseluruhan sistem kegiatan
perusahaan dengan pilihan strategis antara
diferensiasi atau biaya rendah
Memadukan keseluruhan sistem kegiatan
perusahaan dalam mengejar diferensiasi
dan biaya rendah
Untuk menganalisis BOS agar perumusan dan penerapannya menjadi
sistematis dan praktis. Kim dan Mauborgne (2005) telah mengembangkan 3 hal
dalam perangkat kerja yang telah dipelajari dan diuji selama hampir 15 tahun
terhadap perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, yaitu :
a. Canvas Strategy, yang merupakan kerangka aksi sekaligus diagnosis
untuk membangun BOS yang baik. Tujuannya adalah untuk menangkap
posisi organisasi yang ada dalam pasar, dimana dengan memahami posisi
tersebut akan dipahami faktor yang menjadi persaingan dalam hal produk
48
yang diterima masyarakat. Gambar 2.6 menyajikan contoh Canvas
Strategy industri penerbangan serta faktor-faktor yang mempengaruhi
industri penerbangan.
Gambar 2.6 Canvas Strategy Southwest Airline
(https://strategika.wordpress.com)
Canvas Strategy memiliki 2 fungsi yaitu :
1) Menganalisa dan memotret keadaan pasar yang ada, untuk
mendapatkan pemahaman terhadap persaingan yang sedang
terjadi, memahami hal apa saja yang sedang diperebutkan dalam
bidang jasa, layanan, produk dan memahami kebutuhan dari
masyarakat terhadap hal yang ditawarkan.
2) Merancang suatu kegiatan dan menata ulang segala hal yang
sudah dikerjakan dengan memperhatikan persaingan yang sedang
terjadi untuk menciptakan suatu strategi alternatif. Sumbu
horizontal mewakili faktor yang menjadi persaingan.
49
b. Four Action Framework, yang dikembangkan untuk merekonstruksi
elemen-elemen nilai pembeli dalam membuat kurva nilai baru. Dalam
konteks inovasi, nilai bisa dipahami sebagai efisiensi biaya dan
menciptakan nilai lebih untuk masyarakat. Terdapat empat langkah dalam
kerangka kerja ini sebagaimana tersaji seperti pada gambar 2.7 yang
mengilustrasikan tentang kerangka kerja empat langkah.
Gambar 2.7 Kerangka Kerja 4 Langkah (Kim dan Mauborgne, 2005)
c. ERRC (Eliminate – Reduce – Raise – Create) Grid, yang merupakan
pelengkap bagi kerangka kerja empat langkah. ERRC Grid ini biasa juga
disebut skema Hapuskan – Kurangi – Tingkatkan – Ciptakan yang
digunakan mendorong perusahaan untuk bertindak berdasarkan keempat
pertanyaan itu guna menciptakan suatu kurva nilai baru. Keempat
langkah tersebut merupakan empat pertanyaan kunci yaitu :
50
1) Reduce : faktor apa saja yang harus dikurangi dari standar industri.
2) Eliminate : faktor apa yang diterima padahal seharusnya bisa
dihilangkan.
3) Raise : faktor apa saja yang harus ditingkatkan dari standar industri.
4) Create : faktor yang harus diciptakan dimana belum pernah di
tawarkan oleh industri sebelumnya.
Di dalam BOS terdapat enam prinsip yang mendorong implementasinya.
Setiap strategi tentu memiliki peluang dan resiko di dalamnya. Demikian pula
pada keenam prinsip BOS tersebut juga terdapat resiko resiko yang akan ditangani
oleh setiap prinsipnya. Tabel 2.3 disajikan keenam prinsip perumusan BOS
beserta faktor resiko yang ditangani oleh setiap prinsipnya menurut Kim dan
Mauborgne (2005). Empat prinsip pertama merupakan pemandu keberhasilan
dalam merumuskan BOS, sedangkan dua prinsip terakhir merupakan pemandu
ketika BOS yang efektif dieksekusi.
51
Tabel 2.3 Prinsip Perumusan BOS (Kim dan Mauborgne, 2005)
Prinsip Perumusan Faktor Resiko Yang Ditangani oleh
Setiap Prinsip
1. Merekonstruksikan batasan-
batasan pasar
Resiko Pencarian
2. Fokus pada gambaran besar,
bukan pada angka
Resiko Perencanaan
3. Menjangkau, melampaui
permintaan yang ada
Resiko Skala
4. Melakukan rangkaian strategis
dengan tepat
Resiko model bisnis
Prinsip-Prinsip Eksekusi Pelaksanaan Faktor Resiko Yang Ditangani oleh
Setiap Prinsip
5. Mengatasi hambatan-hambatan
utama dalam organisasi
Resiko organisasi
6. Mengintegrasikan eksekusi ke
dalam strategi
Resiko manajemen
2.7 Model Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (BSC) adalah suatu konsep yang awalnya dipublikasikan
oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1992 melalui serangkaian
artikel jurnal dan pada tahun 1996 ditulis bukunya “The Balanced Scorecard”
(Wikipedia, n.d.). BSC digunakan untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas
operasional suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran
yang lebih besar dalam hal visi dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan
digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak hanya
berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC membantu
memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada
gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka
panjangnya. Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk berfokus pada
52
ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif
pelanggan, proses, dan karyawan.
Menurut Putra (2013) dalam penelitiannya tentang Penerapan Balanced
Score Card Sebagai Tolok Ukur Penilaian Kinerja Pada Instansi Pemerintah, BSC
adalah suatu metode sistem manajemen yang mampu menerjemahkan visi dan
strategi organisasi ke dalam tindakan nyata di lapangan. Kinerja organisasi publik
harus dilihat secara luas dengan mengidentifikasi keberhasilan organisasi tersebut
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pendekatan dalam pengukuran kinerja
bisa dimodifikasi agar layak digunakan untuk menilai kinerja akuntabilitas publik
dengan sebenarnya.
Balanced Scorecard dan Value for Money bisa digunakan dalam berbagai
macam cara agar mampu mendeteksi pencapaian organisasi publik dalam
melayani pelanggan (masyarakat). BSC adalah salah satu instrumen manajemen
yang terbukti telah membantu banyak perusahaan dan organisasi dalam
mengimplementasikan strategi bisnis dan pelayanannya. Balanced Scorecard
merupakan suatu sistem manajemen, yang didalamnya mencakup tentang
pengukuran dan pengendalian yang secara cepat, tepat dan komprehensif dapat
memberikan dasar pemahaman kepada pimpinan perusahaan dan organisasi
tentang kinerja organisasinya. Pengukuran kinerja tersebut melihat organisasi dari
empat sudut pandang yaitu sisi keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, sisi
pembelajaran dan pertumbuhan seperti terlihat pada Gambar 2.8.
53
Gambar 2.8 Perspektif Pengukuran Kinerja dalam Model Balanced Scorecard (Kaplan, 1999)
Hasil penelitian Kaplan (1999) juga mengidentifikasi terdapat empat faktor
penghalang (barriers) dalam penerapan strategi BSC yang berkaitan dengan visi
(vision barrier), manusia/karyawan (people barrier), sumber daya (resource
barrier) dan manajemen (management barrier). Pada vision barrier dicatat
bahwa hanya 5% dari angkatan kerja yang memahami strategi, pada people
barrier hanya 25% dari manajer yang memiliki insentif terkait dengan strategi,
sementara pada resource barrier 60% dari organisasi tidak menghubungkan
anggaran dengan strategi dan pada management barrier ditemukan 85% dari tim
eksekutif menghabiskan waktu kurang dari satu jam per bulan untuk membahas
strategi. Hal itulah yang diidentifikasi sebagai penyebab 9 dari 10 organisasi
gagal menerapkan strategi.
54
Nurjaya,W.W.K (2014) dalam penelitianya “Model Strategic Planning For
Information System Menggunakan Balance Scorecard pada Universitas Komputer
Bandung”, menyatakan bahwa metode balanced scorecard dimanfaatkan sebagai
alat yang efektif untuk metode perencanaan strategis yaitu sebagai penterjemahan
dari visi, misi, peran pokok, faktor penentu keberhasilan, tolak ukur, tujuan, dan
target kinerja dalam perbaikan yang komprehensip, terukur, koheren dan
berimbang. Dengan adanya perencanaan yang baik maka dapat meningkatkan
efisiensi dan efektifitas dalam proses usaha, dapat memberikan nilai tambah
berupa tingkat persaingan yang tinggi dalam persaingan usaha, dan mampu
meningkatkan kinerja dan pertumbuhan kompetisi yang berkelanjutan.
Selanjutnya Nugroho (2013) tentang Perencanaan Strategis Berbasis
Kerangka Kerja Balanced Scorecard (BSC) pada Lembaga Pemerintahan Non
Departemen (LPND) menguraikan bahwa BSC merupakan suatu sistem
manajemen untuk mengelola implementasi strategi, mengukur kinerja secara utuh,
mengkomunikasikan visi, strategi dan sasaran kepada pemangku kepentingan.
Kata balanced dalam BSC merujuk pada konsep keseimbangan antara berbagai
sudut pandang, jangka waktu (pendek dan panjang), ruang lingkup perhatian
(intern dan ekstern) dan scorecard mengacu pada rencana kinerja organisasi dan
bagian-bagiannya serta ukurannya secara kuantitatif. BSC dapat memberikan
manfaat bagi organisasi dalam beberapa cara, yaitu :
a. Menjelaskan visi organisasi,
b. Menyelaraskan organisasi untuk mencapai visi itu,
c. Mengintegrasikan perencanaan strategis dan alokasi sumber daya,
55
d. Meningkatkan efektivitas manajemen dengan menyediakan informasi
yang tepat untuk mengarahkan pada perubahan.
Pada prinsipnya, Balanced Scorecard adalah tools yang digunakan untuk
memetakan strategi dan menterjemahkan strategi menjadi rencana aksi. Sebagai
salah satu tools manajemen, Balanced Scorecard diterapkan juga dalam sistem
pemerintahan. Balanced scorecard organisasi dapat mendefinisikan strategi yang
bersifat normatif. Bentuk definitif dari strategi yang normatif diterjemahkan
dalam bentuk Key Performance Indicators (KPI). Setiap strategi yang dipetakan
menjadi sasaran strategis kedalam perspektif balanced scorecard, harus
ditentukan ukuran keberhasilannya.
56
Gambar 2.9 Perspektif Balanced Scorecard pada Instansi Pemerintah
(https://jsofian.wordpress.com)
Perspektif Balanced Scorecard menurut Sofian (2008) tentang Perancangan
Balanced Scorecard di Institusi Pemerintah menguraikan tentang empat persfektif
dapat dilihat seperti pada gambar 2.9. Pada prinsipnya perancangan perspektif
BSC pada organisasi pemerintah adalah sebagai berikut:
a. Perspektif Stakeholder. Stakeholder (masyarakat) yang dimaksud dalam
gambar 2.9 meliputi citizens (customer), community caring capacity,
57
building community adalah pihak yang membutuhkan infrastruktur dan
fasilitas publik yang difasilitasi instansi pemerintah. Peningkatan nilai
partisipatori peserta lelang adalah salah satu contoh indikator
peningkatan kehandalan pengelolaan e-procurement oleh LPSE
b. Perspektif Financial, perspektif ini menitikberatkan pada pengelolaan
anggaran untuk merealisasikan visi dan misi dari pemerintah.
indikatornya diukur seperti tingkat penyerapan anggaran dalam
pelaksanaan APBD.
c. Perspektif Internal Organizational Processes. perspektif ini fokus pada
kualitas layanan publik yang diberikan. Instansi pemerintah memiliki
kewajiban untuk manjadi fasilitator bagi masyarakat dibandingkan
sebagai regulator. Indikator yang dipergunakan contohnya kecepatan
respon dari aparat terhadap laporan masyarakat, kualitas infrastruktur dan
layanan yang diberikan, kerjasama dengan masyarakat dan komunitas
lainnya.
d. Perspektif Learning and Growth Team Development. Perspektif ini
adalah dasar untuk tercapainya tiga perspektif lainnya. Dalam penyediaan
program layanan kepada masyarakat diperlukan komitmen, dedikasi, dan
kompetensi dari para penyelenggara pemerintahan sehingga dapat
terwujud visi dari organisasi tersebut. Indikatornya adalah seperti tingkat
pendidikan penyelenggara pemerintah, penguasaan Teknologi informasi
dan komunikasi, sertifikasi, dan dedikasi.
58
2.8 Kuesioner Berbasis End User Computing Satisfaction (EUCS)
Pengukuran tingkat kepuasan pengguna layanan dalam perencanaan strategis
adalah suatu hal yang penting dilaksanakan. Pengukuran tersebut dapat dilakukan
melalui pengambilan data dengan memanfaatkan kuesioner yang disusun menurut
model tertentu sehingga data yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Salah satu model yang banyak digunakan adalah End User
Computing Satisfaction (EUCS) yang dikembangkan oleh Doll (1988) dan
Torkzadeh (1991). Mereka mengembangkan instrumen EUCS yang terdiri dari 12
item dengan membandingkan lingkungan pemrosesan data tradisional dengan
lingkungan end user computing, yang meliputi 5 komponen, yaitu : Isi (content),
Akurasi (accuracy), Bentuk (format), Kemudahan (ease of use) dan Ketepatan
Waktu (timeliness) sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Model Pengukuran Kepuasan Layanan dalam EUCS
Content
Accuracy
Format
Ease of use
Timeliness
End-User
Computing
Satisfaction
(EUCS)
59
2.9 Model Kano
Model Kano digunakan untuk mengenlompokkan variabel produk/layanan
berdasarkan seberapa baik produk/layanan tersebut mampu mempengaruhi
kepuasan pengguna. Variabel layanan dapat dibedakan menjadi tiga kategori
yaitu :
a. Kategori Must Be atau Basic Needs
Pada kategori ini pengguna menjadi tidak puas apablia kinerja varibel
rendah, namun kepuasan pengguna tidak akan meningkat jauh diatas
netral meski kinerja variabel tinggi.
b. Kategori One-Dimensional atau Performance Needs
Dalam kategori ini, tingkat kepuasan pengguna berhubungan linier
dengan kinerja variabel, sehingga kinerja variabel yang tinggi akan
mengakibatkan tingginya kepuasan pengguna.
c. Kategori Attractive atau Excitement Needs
Pada kategori attractive atau excitement needs tingkat kepuasan
pengguna akan meningkat sampai tingkatan tertinggi seiring
meningkatnya kinerja variabel akan tetapi kinerja variabel yang menurun
tidak akan menyebabkan penurunan tingkat kepuasan.
Kecenderungan reaksi dari konsumen akan berada pada kategori sebagaimana
terlihat pada tabel 2.4 tentang kategori Kano yaitu indifferent, questionable, dan
reserve. Indifferent kategori dimana jika tidak ada layanan, maka tidak akan
berpengaruh kepada kepuasan konsumen. Reserve akan terjadi ketika derajat
kepuasan pengguna lebih tinggi terhadap layanan yang sedang berlangsung tidak
60
semestinya dibanding dengan layanan yang berjalan baik. Questionable adalah
situasi dimana pengguna merasa ragu jika layanan diberikan. Gambaran derajat
kepuasan pengguna menurut diagram kepuasan Kano terlihat seperti pada
Gambar 2.11.
Tabel 2.4. Kategori Kano (Amran dan Ekadeputra, 2013)
Pertanyaan disfungsional
San
gat
pu
as
Pu
as
Bia
sa
Saj
a
Tid
ak
Pu
as
San
gat
Tid
ak p
uas
Per
tan
yaa
n
fun
gsi
on
al
Sangat puas Q A A A O
Puas R I I I M
Biasa saja R I I I M
Tidak puas R I I I M
Sangat tidak puas R R R R Q
Gambar 2.11 Diagram Derajat Kepuasan Model Kano
M: must-be
O : one-dimensional
A : attractive
I : indifferent
R : reverse
Q : questionable