BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro ... II.pdf · pergerakan.Pada sistem penyedia...

27
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro Perencanaan sistem transportasi pada dasarnya memperkirakan kebutuhan transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi makro terdapat 4 ( empat ) subsistem transportasi mikro ( kecil ) yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya ( Tamin, 2000 ). Adapun keempat subsistem tersebut adalah : 1. Sistem kegiatan atau permintaan transportasi ( transport demand ) 2. Sistem jaringan atau sarana dan prasarana transportasi ( transport suplly ) 3. Sistem pergerakan lalu lintas ( traffic flow ) 4. Sistem kelembagaan atau institusi ( institutional framework ) 2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi ( Transport Demand ) Sistem kegiatan terkait dengan tata guna lahan yang meliputi; permukiman, pusat pendidikan, perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Masing- masing tata guna lahan tersebut, akan menghasilkan pola kegiatan berupa pergerakan orang maupun barang. Besarnya pergerakan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis kegiatan. Adapun model pergerakan yang dimaksud adalah : a. Bangkitan Pergerakan ( Trip Generation ) Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna lahan ( Tamin,2000 ). Bangkitan dan tarikan pergerakan terlihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1 Bangkitan Pergerakan ( Tamin, 2000 ) i Trip Production zona i Trip Attraction zona j j

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Makro ... II.pdf · pergerakan.Pada sistem penyedia...

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Transportasi Makro

Perencanaan sistem transportasi pada dasarnya memperkirakan kebutuhan

transportasi dimasa yang akan datang. Dalam perencanaan sistem transportasi

makro terdapat 4 ( empat ) subsistem transportasi mikro ( kecil ) yang saling

berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya ( Tamin, 2000 ). Adapun

keempat subsistem tersebut adalah :

1. Sistem kegiatan atau permintaan transportasi ( transport demand )

2. Sistem jaringan atau sarana dan prasarana transportasi ( transport

suplly )

3. Sistem pergerakan lalu lintas ( traffic flow )

4. Sistem kelembagaan atau institusi ( institutional framework )

2.1.1 Sistem Kegiatan atau Permintaan Transportasi ( Transport Demand )

Sistem kegiatan terkait dengan tata guna lahan yang meliputi;

permukiman, pusat pendidikan, perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Masing-

masing tata guna lahan tersebut, akan menghasilkan pola kegiatan berupa

pergerakan orang maupun barang. Besarnya pergerakan yang terjadi dipengaruhi

oleh jenis kegiatan. Adapun model pergerakan yang dimaksud adalah :

a. Bangkitan Pergerakan ( Trip Generation )

Bangkitan pergerakan adalah tahapan pemodelan yang

memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata

guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu zona atau tata

guna lahan ( Tamin,2000 ). Bangkitan dan tarikan pergerakan terlihat pada

gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bangkitan Pergerakan ( Tamin, 2000 )

i

Trip Production zona i Trip Attraction zona j

j

5

Bangkitan pergerakan bertujuan untuk mendapatkan jumlah

pergerakan yang masuk di suatu zona ( Trip Attraction ) dan yang

meninggalkan suatu zona ( Trip Production ). Kedua hal tersebut

dianalisis secara terpisah. Jadi tujuan perencanaan bangkitan adalah untuk

mengetahui besarnya bangkitan pada masa sekarang yang kemudian dapat

digunakan untuk memprediksi pergerakan dimasa yang akan datang.

b. Distribusi Perjalanan ( Trip Distribution )

Distribusi perjalanan terjadi karena suatu tata guna lahan tidak dapat

memenuhi kebutuhan penduduknya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya

pemisah jarak yang dapat menimbulkan hambatan perjalanan ( trip

impedance ) berupa nilai jarak, biaya dan waktu.

c. Pemilihan Moda ( Moda Choise)

Pemilihan moda dipengaruhi oleh tingkat pelayanan angkutan umum

yang meliputi : tarif, rute, kenyamanan, keamanan dan sebagainya.

d. Pemilihan Rute Perjalanan ( Traffic Assignment / Rute Choice)

Pemilihan rute merupakan model yang menggambarkan dasar

pemilihan rute dari daerah asal ke tujuan.Pemilihan rute dipengaruhi oleh

tingkat pelayanan ruas-ruas jalan pada rute yang dilalui dan biaya

operasional kendaraan yang dikeluarkan.

2.1.2 Sistem Jaringan Transportasi ( Transport Supply )

Pergerakan manusia atau barang memerlukan sarana atau prasarana

transportasi. Perangkat keras ( hardware ) sebagai sarana transportasi yang

diperlukan adalah jaringan jalan yang telah ditetapkan pada masing-masing ruas

jalan antara lain; bahu jalan, lebar jalan, tempat parkir, trotoar, tempat

penyebrangan, halte dan terminal angkutan umum. Sedangkan perangkat lunak

( software ) sebagai sarana yang diperlukan adalah undang-undang dan peraturan

lalu lintas yang terkait dengan lalu lintas. Keberadaan sarana transportasi

didukung oleh adanya moda transportasi berupa kendaraan roda dua, roda empat,

bus dan armada angkutan umum.Perangkat penunjang lainnya adalah median,

lampu lalu lintas, marka serta rambu jalan.

6

2.1.3 Sistem Pergerakan Lalu Lintas ( Traffic Flow )

Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan

pergerakan. Pergerakan tersebut dapat berupa pergerakan manusia maupun barang

dalam bentuk pergerakan pejalan kaki maupun kendaraan.Sistem pergerakan

mempengaruhi sistem kegiatan dan jaringan yang ada dalam bentuk aksesbilitas

dan mobilitas.

2.1.4 Sistem Kelembagaan atau Institusi ( Institutional Framework )

Sistem kelembagaan merupakan sistem yang dapat meningkatkan

keterkaitan antar masing-masing subsistem pada transportasi makro. Di Indonesia,

sistem kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah sebagai

berikut :

1) Sistem kegiatan ditangani oleh Badan Perencanaan Nasional ( BAPPENAS ),

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA), Pemerintah Daerah

( PEMDA ).

2) Sistem jaringan ditangani oleh Departemen Perhubungan ( darat, laut dan

udara ), Bina Marga.

3) Sistem Pergerakan ditangani oleh Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya

( DLLAJR ), Polisi Lalu Lintas ( POLANTAS ) dan Organisasi Angkutan

Daerah ( ORGANDA )

Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan menghasilkan

pergerakan manusia ataupun barang. Pada sistem kegiatan atau sistem kebutuhan

transportasi, perubahan tata guna lahan dapat menimbulkan terjadinya bangkitan

pergerakan.Pada sistem penyedia transportasi, ketersediaan fasilitas transportasi

berupa jaringan jalan dan sarana angkutannya sangat menentukan kapasitas

pelayanan jalan.Sistem pergerakan dapat menyebabkan adanya interaksi antara

penyedia transportasi dengan kebutuhan transportasi berupa rasio antara volume

lalu lintas dan kapasitas jalan. Adanya peningkatan rasio tersebut akan

mempengaruhi tingkat pengguna jalan. Hal ini akan menimbulkan adanya

evaluasi dari pengguna jalan untuk mencari alternatif rute. Sistem kegiatan, sistem

jaringan dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi satu sama lainnya

7

sehingga menimbulkan pergerakan. Keterkaitan sistem tersebut akan mendapat

pengawasan dari sistem kelembagaan seperti pada Gambar 2.2.

2.2 Kondisi Geometrik Jalan dan Kondisi Lingkungan

a. Kondisi Geometrik Jalan

Adapun beberapa hal yang terkait dengan kondisi geometrk jalan

adalah sebagai berikut :

1) Median jalan merupakan daerah yang memisahkan arus lalu lintas

pada suatu segmen jalan.

2) Lebar jalur yaitu lebar jalur jalan yang dilewati arus lalu lintas dan

tidak termasuk bahu.

3) Lebar jalur efektif adalah lebar rata-rata yang tersedia pada

pergerakan lalu lintas setelah dikurangi parkir tepi jalan sementara

yang menghalangi jalan.

4) Lebar bahu merupakan lebar bahu sisi jalur jalan yang disediakan

untuk kendaraan berhenti sementara, pejalan kaki dan kendaraan

yang bergerak lambat.

Sistem Kegiatan Sistem Jaringan

Sistem Pergerakan Transportasi( Traffic )

Sistem Kelembagaan

Gambar 2.2 Keterkaitan antar Subsistem Transportasi ( Tamin, 2000 )

8

5) Lebar bahu efektif merupakan lebar bahu yang tersedia setelah

dikurangi oleh adanya penghalang ( pohon, toko dan bangunan

penghalang lainnya).

6) Trotoar adalah bagian jalan yang disediakan untuk pejalan kaki.

7) Panjang jalan adalah panjang segmen jalan yang diamati sebagai

daerah studi.

8) Jalur gerak yaitu bagian jalan yang direncanakan khusus untuk

kendaraan bermotor yang membebani jalan tersebut.

9) Tipe jalan yaitu potongan melintang jalan ditentukan oleh adanya

jumlah jalur dan arah pada suatu segmen jalan. Adapun jenis-jenis

jalan meliputi :

a. Jalan dua lajur satu aeah ( 2/1 )

b. Jalan dua lajur dua arah tak terbagi ( 2/2 UD )

c. Jalan empat lajur dua arah terbagi ( 4/2 D )

d. Jalan enam lajur dua arah terbagi

Jumlah lajur ditentukan dari marka lajur atau dari lebar efektif jalur( We )

untuk segmen jalan. Jumlah lajur suatu jalan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Jumlah Lajur

Lebar jalur efektif ( m) Jumlah lajur

5-10,5 2

10,5-16 4

Sumber : Depertemen Pekerjaan Umum ( 1997 )

b. Kondisi Lingkungan

1) Ukuran kota merupakan jumlah penduduk yang berada di dalam

kota yang dinyatakan dalam satuan juta jiwa, dapat dilihat pada

Tabel 2.2.

9

Tabel 2.2 Kelas ukuran kota

Ukuran Kota ( juta jiwa ) Kelas Ukuran Kota ( City Size )

<0,1 Sangat kecil

0,2-0,5 Kecil

0,6-1,0 Sedang

1,1-3,0 Besar

>3,0 Sangat besar

Sumber : Departemen Pekerjaan Umum ( 1997 )

2) Hambatan Samping adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi

kegiatan lalu lintas pinggir jalan. Adapun beberapa faktor yang

mempengaruhi hambatan samping adalah :

a) Jumlah kendaraan yang berhenti dan parkir.

b) Jumlah kendaraan bermotor yang keluar dan masuk ke atau dari

lahan samping dan jalan sisi.

c) Jumlah pejalan kaki yang berjalan dan menyebrang sepanjang

segmen jalan.

d) Arus kendaraan yang bergerak lambat, seperti : becak, delman,

sepeda dan kendaraan lainnya.

2.3 Klasifikasi Jalan

Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004, jalan sebagai sarana trnsportasi

mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya,

lingkungan hidup, politik, pertahanan dan kemananan serta digunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jalan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

Berdasarkan atas peruntukannya, jalan dapat dibedakan menjadi :

1. Jalan umum diperuntukan bagi lalu lintas umum dalam rangka

distribusi barang dan jasa yang dikelompokan menurut sistem, fungsi,

status dan kelas.

2. Jalan khusus tidak diperuntukan bagi lalu lintas umum dalam rangka

distribusi barang dan jasa yang dubutuhkan.

10

a. Berdasarkan sistemnya ( Alamsyah, 2003 ), jalan umum dibedakan

menjadi :

1) Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan

dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, demgan

menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud

pusat-pusat kegiatan.

2) Sistem jaringan sekunder merupakan sistem jaringan jalan

dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

b. Berdasarkan fungsinya ( Alamsyah, 2003 ), jalan umum dibedakan

menjadi :

1) Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan utama dengan ciri pejalanan jarak jauh, kecepatan

rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya

guna.

2) Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan

sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk

dibatasi.

3) Jalan lokal adalah jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat,

kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak

dibatasi.

4) Jalan lingkungan dalah jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan lingkungan denga ciri perjalanan jarak dekat dn

kecepatan rata-rata rendah.

c. Berdasarkan statusnya ( Alamsyah, 2003 ), jalan umum dibedakan

menjadi :

1) Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam

sistem jaringan primer yang menghubungkan antar ibukota

provinsi, jalan strategis nasional dan jalan tol.

11

2) Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan

jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan

ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota dan

jalan strategis provinsi.

3) Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan

jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan

ibukota kecamatan, antar ibu kota kecamatan, ibukota

kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan

lokal, serta jalan umum dengan sistem jaringan jalan sekunder

dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten.

4) Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan

sekunder yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam

kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil,

menghubungkan antar persil serta menghubungkan antar pusat

pemukiman yang berada didalam kota.

5) Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan

kawasan atau antar pemukiman di dalam desa serta jalan

lingkungan.

d. Berdasarkan pengaturan kelas, jalan umum dibedakan menjadi :

1) Jalan bebas hambatan

2) Jalan raya

3) Jalan sedang

4) Jalan kecil

2.4 Kinerja Ruas Jalan Perkotaan

Kinerja merupakan suatu ukuran kuantitatif mengenai kondisi operasional

dari fasilitas lalu lintas. Adapun beberapa parameter yang digunakan dalam

menentukan kinerja ruas jalan adalah sebagai berikut :

2.4.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas

Arus Berdasarkan Dep.Pu (1997), arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan

bermotor yang melalui titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam

12

kend/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT (QLHRT Lalu-lintas Harian Rata-rata

Tahunan).

Dalam manual kapasitas, nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan

komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang

(smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan

mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang (emp)

yang diturunkan secara empiris tipe kendaraan berikut (Dep.PU, 1997):

1. Kendaraan berat/Heavy Vehicle (HV), kendaraan bermotor dengan

jarak as lebih dari 3,50 m biasanya beroda lebih dari 4 (termasuk bis,

truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi sesuai sistem klasifikasi Bina

Marga).

2. Kendaraan ringan/Light Vehicle (LV), kendaraan bermotor 2 as beroda

4 dengan jarak as 2,0-3,0 m (termasuk mobil penumpang, opelet,

mikrobis, pick up, dan truk kecil sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

3. Sepeda motor/Motor Cycle (MC), kendaraan bermotor beroda 2 atau 3

(termasuk sepeda motor dan kendaraan beroda 3 sesuai sistem

klasifikasi Bina Marga.

4. Kendaraan tak bermotor/Unmotorized (UM), kendaraan beroda yang

menggunakan tenaga manusia atau hewan (termasuk sepeda, becak,

kereta kuda dan kereta dorong sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).

Nilai ekivalen mobil penumpang ( emp ) ditampilkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Emp untuk jalan perkotaan terbagi dan satu arah

Tipe jalan:

Jalan tak terbagi Arus lalu-lintas

total dua arah

(kend/jam)

Emp

HV

MC

Lebar jalur lalu lintas

Cw (m)

< 6 > 6

Dua lajur tak terbagi

(2/2 UD)

1,3 0,40 0,40

> 1800 1,2 0,25 0,25

Empat lajur tak terbagi (

4/2 UD )

1,3 0,40

> 3700 1,2 0,25

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum(1997)

13

2.4.2 Kapasitas

Kapasitas adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat melintas dengan

stabil pada suatu potongan melintang jalan pada kondisi tertentu.

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia ( MKJI 1997 ), besarnya kapasitas

jalan dapat dihitung dengan rumus :

C = C0 x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (2.1)

Keterangan:

C = Kapasitas sesungguhnya (smp/jam)

C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCW = Faktor penyesuaian lebar jalan

FCSP = Faktor penyesuaian pemisah arah

FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kerb

FCCS = Faktor penyesuaian ukuran kota

1. Kapasitas Dasar

Jika Kondisi sesungguhnya sama dengan kasus dasar ( ideal ) tertetu, maka

semua faktor penyesuaianmenjadi 1,0 sehingga besarnya kapasitas sama dengan

kapasitas dasar. Nilai kapasitas dasar dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Kapasitas dasar ( C0) untuk jalan perkotaan

Tipe jalan Kapasitas dasar Keterangan

Empat lajur terbagi/jalan satu arah 1650 Per lajur

Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur

Dua lajur tak terbagi 2900 Total Dua Arah

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

2. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCSP)

Untuk faktor penyesuaian kapasitas pemisah arah (FCSP) dapat dilihat pada

Tabel 2.5. Tabel ini hanya memberikan nilai untuk jalan dua lajur dua arah (2/2)

dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi. Sedangkan untuk jalan terbagi dan satu

arah faktor penyesuaian arah bernilai 1,0.

14

Tabel 2.5 Faktor penyesuaian kapasitas untuk pemisah arah (FCSP)

Pemisah arah SP %-% 50-50 60-40 70-30 80-20 90-100 100-0

FCSP

Dua lajur dua

arah (2/2)1,00 0,94 0,88 0,82 0,75 0,70

Empat lajur

dua arah (4/2)1,00 0,97 0,94 0,91 0,88 0,85

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

3. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas

Kapasitas juga dipengaruhi oleh lebar jalur lalu lintas yang dinyatakan dengan

faktor penyesuaian lebar jalan (FCW) dapat dilihat pada Tabel 2.6.

15

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian kapasitas FCW untuk pengaruh lebar jalur lalu lintas

untuk jalan perkotaan

Tipe Jalan

Lebar Jalur Lalu Lintas

Efektif (WC)

(m)

FCW

Empat lajur terbagi (4/2D) atau

jalan satu arah

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

0,92

0,96

1,00

1,04

1,08

Empat lajur tak terbagi

(4/2UD)

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

0,91

0,95

1,00

1,05

1,09

Dua lajur dua arah tak terbagi

(2/2UD)

Total dua arah

5

6

7

8

9

10

11

0,56

0,87

1,00

1,14

1,25

1,29

1,34

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

4. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FCSF)

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas

samping segmen jalan, seperti pejalan kaki, kendaraan henti/parkir di sisi jalan,

kendaraan masuk/keluar sisi jalan dan kendaraan tidak bermotor. Nilai faktor

penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibedakan berdasarkan tipe jalan

16

dengan bahu dan tipe jalan dengan kereb yang dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan

2.8. Sedangkan untuk kelas hambatan samping pada jalan perkotaan dan nilai

faktor berbobot untuk tipe hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.9 dan

2.10.

Tabel 2.7 Faktor penyesuaian FCSF untuk pengaruh hambatan samping

dan lebar bahu pada kapasitas jalan perkotaan dengan bahu

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping

dan Lebar Bahu (FCSF)

Lebar Bahu (WS) (m)

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

4/2 D

Sangat Rendah 0,96 0,98 1,01 1,03

Rendah 0,94 0,97 1,02 1,02

Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00

Tinggi 0,88 0,92 0,95 0,98

Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96

4/2 UD

Sangat Rendah 0,96 0,99 1,01 1,03

Rendah 0,94 0,97 1,00 1,02

Sedang 0,92 0,95 0,98 1,00

Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98

Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

2/2 UD

atau jalan

satu arah

Sangat Rendah 0,94 0,96 0,99 0,99

Rendah 0,92 0,94 0,97 0,97

Sedang 0,89 0,92 0,95 0,94

Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,88

Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

17

Tabel 2.8 Faktor penyesuaian FCSF untuk pengaruh hambatan samping

dan jarak kereb penghalang pada kapasitas jalan perkotaan

dengan kereb

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan Samping

dan

Jarak Kereb Penghalang (FCSF)

Jarak Kereb (Wk) (m)

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

4/2 D

Sangat Rendah 0,95 0,97 0,99 1,01

Rendah 0,94 0,96 0,98 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,95 0,98

Tinggi 0,86 0,89 0,92 0,95

Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

4/2 UD

Sangat Rendah 0,95 0,97 0,99 1,01

Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00

Sedang 0,90 0,92 0,95 0,97

Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,93

Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90

2/2 UD

atau jalan

satu arah

Sangat Rendah 0,93 0,95 0,97 0,99

Rendah 0,90 0,92 0,95 0,97

Sedang 0,86 0,88 0,91 0,94

Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88

Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

18

Tabel 2.9 Kelas hambatan samping pada jalan perkotaan

Kode Kelas hambatan

samping ( SFC )

Besarnya kejadian per

200m/jam ( dua sisi )

Kondisi Khusus

VL Sangat rendah <100

Daerah permukiman,

jalan dengan jalan

samping

L Rendah 100-299

Daerah permukiman;

beberapa kendaraan

umum dsb

M Sedang 300-499

Daerah Industri;

beberapa toko disisi

jalan

H Tinggi 500-899 Daerah komersil,

aktivitas sisi jalan

tinggi

VH Sangat Tinggi >900

Daerah komersil

dengan aktivitas pasar

di pinggir jalan

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

Tabel 2.10 Faktor berbobot tipe hambatan samping

Tipe kejadian hambatan samping Symbol Bobot

Pejalan kaki yang berjalan dan menyebrang PED 0,5

Kendaraan lambat SMV 0,4

Kendaraan masuk dan keluar ke/dari lahan samping EEV 0,7

Parkir dan kendaraan berhenti PSV 1,0

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

19

5. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCCS)

Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota FCCS dapat dilihat pada

Tabel 2.11.

Tabel 2.11Faktor penyesuaian FCCS untuk pengaruh ukuran kota pada

kapasitas jalan perkotaan

Ukuran Kota (juta jiwa)Faktor penyesuaian untuk ukuran kota

FCCS

< 0,1 0,86

0,2 – 0,5 0,90

0,5 – 1,0 0,94

1,1 – 3,0 1,00

>3,0 1,04Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

2.4.3 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan (DS) didefinisikan sebagai rasio arus jalan terhadap

kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja

simpang dan segmen jalan.Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut

mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Persamaan dasar untuk menentukan

derajat kejenuhan adalah sebagai berikut:

C

QDS (2.2)

Keterangan:

DS = Derajat kejenuhan

Q = Arus lalu-lintas (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

20

2.4.4 Kecepatan

Kecepatan adalah jarak perjalanan yang ditempuh dalam satuan waktu

(km/jam). Kecepatan menentukan jarak yang dijalani pengemudi kendaraan dalam

waktu tertentu. Rumus yang digunakan untuk mencari kecepatan rata-rata

kendaraan ringan adalah sebagai berikut:

TT

LV (2.3)

Keterangan:

V = Kecepatan rata-rata kendaraan ringan (km/jam)

L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang sepanjang segmen

(jam)

Klasifikasi utama dalam analisis kecepatan adalah :

1) Kecepatan sesaat ( spot speed ) adalah kecepatan sesaat kendaraan pada lokasi

jalan tertentu.

2) Kecepatan rata-rata ruang ( space mean speed ) adalah distribusi kecepatan

rata-rata kendaraan pada lokasi jalan tertentu.

3) Kecepatan rata-rata waktu ( time mean speed ) adalah hasil pembagian jarak

yang di tempuh selama kendaraan dalam keadaan bergerak.

4) Kecepatan perjalanan ( journey speed ) adalah kecepatan efektif kendaraan

menempuh rute tertentu.

a. Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan

arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi seandainya

mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermotor lain

dijalan (yaitu saat arus = 0). Kecepatan arus bebas mobil penumpang biasanya

10-15% lebih tinggi dari jenis kendaraan lain. Persamaan untuk penentuan

kecepatan arus bebas pada jalan perkotaan mempunyai bentuk sebagai berikut:

21

FV = (FV0 + FVW) x FFVSF x FFVCS (2.4)

Keterangan:

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)

FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyemen

yang diamati (km/jam)

FFVW = Penyesuaian kecepatan akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam)

FFVSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu/jarak kereb ke

penghalang

FFVCS = Faktor penyesuaian kota

1. Kecepatan Arus Bebas Dasar(FV0)

Berdasarkan Dep.PU (1997), kecepatan arus bebas adalah kecepatan

kendaraan yang tidak dihalangi kendaraan lain. Kecepatan arus bebas dasar

ditentukan berdasarkan jenis jalan dan jenis kendaraan. Untuk nilai kecepatan arus

bebas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Kecepatan arus bebas dasar (FV0) untuk jalan perkotaan

Tipe Jalan

Kecepatan Arus Bebas (FVO) (km/jam)

Kendaraan

Ringan

LV

Kendaraan

Berat

HV

Sepeda

Motor

MC

Semua

Kendaraan

(rata-rata)

Enam lajur terbagi

(6/2 D) atau tiga lajur

satu arah ( 3/1 )

61 52 48 57

Empat lajur terbagi

( 4/2 D ) atau dua

lajur satu arah ( 2/1 )

57 50 47 55

Empat lajur tak

terbagi ( 4/ 2 UD )53 46 43 51

Dua lajur tak terbagi

( 2/2 UD )44 40 40 42

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

22

2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (FVW)

Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan

dan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc). Pada jalan selain 2/2 UD pertambahan atau

pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan selisihnya dengan lebar

standar (3,5 meter). Hal ini berbeda terjadi pada jalan 2/2 UD terutama untuk Wc

(2 arah) kurang dari 6 meter. Nilai untuk penyesuaian kecepatan arus bebas untuk

lajur lalu lintas dapat dilihat pada tabel 2.13.

Tabel 2.13 Faktor penyesuaian FFVW untuk pengaruh lebar jalur lintas pada

kecepatan arus bebas kendaraan ringan jalan perkotaan

Tipe Jalan

Lebar Jalur Lalu Lintas

Efektif (WC)

(m)

FVW (km/jam)

Empat lajur terbagi (4/2 D) atau

jalan satu arah

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)

Per lajur

3,00

3,25

3,50

3,75

4,00

-4

-2

0

2

4

Dua lajur dua arak tak terbagi (2/2

UD)

Total dua arah

5

6

7

8

9

10

11

-9,5

-3

0

3

4

5

7

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

23

3. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FFVSF)

Faktor penyesuaian hambatan samping ditentukan berdasarkan jenis jalan,

kelas hambatan samping, lebar bahu (jarak kereb ke penghalang) efektif.

a. Jalan Dengan Bahu

Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambtan samping dan lebar bahu

(FFVSF) pada harus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan dengan

bahu dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14 Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan lebar bahu

(FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan

dengan bahu

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan

Samping dan Lebar Bahu (FFVSF)

Lebar Bahu efektif rata-rata (m)

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

4/2 D

Sangat Rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,94 0,97 1,00 1,02

Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99

Sangat Tinggi 0,84 0,88 0,92 0,96

4/2 UD

Sangat Rendah 1,02 1,03 1,03 1,04

Rendah 0,98 1,00 1,02 1,03

Sedang 0,93 0,96 0,99 1,02

Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98

Sangat Tinggi 0,80 0,86 0,90 0,95

2/2 UD

atau jalan

satu arah

Sangat Rendah 1,00 1,01 1,01 1,01

Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,96 0,99

Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95

Sangat Tinggi 0,73 0,79 0,85 0,91

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

24

b. Jalan Dengan Kereb

Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dengan kereb

(FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan untuk jalan perkotaan

dengan kereb dapat dilihat pada Tabel 2.15.

Tabel 2.15Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan kereb

penghalang (FFVSF) pada kecepatan arus bebas kendaraan ringan

untuk jalan perkotaan dengan kereb

Tipe JalanKelas Hambatan

Samping

Faktor Penyesuaian Untuk Hambatan

Samping dan

Jarak Kereb Penghalang (FFVSF)

Jarak Kereb Penghalang (m)

< 0,5 1,0 1,5 > 2,0

4/2 D

Sangat Rendah 1 1,01 1,01 1,02

Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99

Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96

Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

4/2 UD

Sangat Rendah 1 1,01 1,01 1,02

Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98

Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94

Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90

2/2 UD

atau jalan

satu arah

Sangat Rendah 0,98 0,995 0,99 1,00

Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98

Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95

Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88

Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

25

4. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FFVCS)

Faktor penyesuaian ukuran kota (FFVCS) ditentukan berdasarkan jumlah

penduduk di kota tempat ruas jalan yang bersangkutan berada. Manual Kapasitas

Jalan Indonesia (1997) menyarankan reduksi terhadap kecepatan arus bebas dasar

bagi kota berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa dan kenaikan terhadap kapasitas

dasar bagi kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa.

Tabel 2.16 Faktor penyesuaian FFVCS untuk pengaruh ukuran kota pada

kecepatan arus bebas kendaraan ringan jalan perkotaan

Ukuran Kota (juta jiwa) Faktor Penyesuaian Untuk Ukuran Kota

< 0,1 0,90

0,2 – 0,5 0,93

0,6 – 1,0 0,95

1,1 – 3,0 1,00

>3,0 1,03

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

5. Hubungan Kecepatan Arus Bebas Dengan Derajat Kejenuhan

Kecepatan arus bebas mempunyai suatu kaitan dengan derajat kejenuhan. Hal

ini dapat dilihat dari grafik hubungan kecepatan sebagai fungsi dari derajat

kejenuhan (Q/C) pada Gambar 2.3. Gambar tersebut digunakan dalam mencari

tingkat pelayanan dari suatu jalan maupun kecepatan teoritis pada suatu jalan.

Untuk mencari tingkat pelayanan, hal pertama yang dilakukan adalah memplot

garis yang diambil berdasarkan kecepatan arus bebas secara sejajar dengan garis

kecepatan rata-rata kendaraan ringan yang tersedia. Kemudian menarik garis

keatas berdasarkan besarnya derajat kejenuhan. Pertemuan antara garis kecepatan

arus bebas dengan derajat kejenuhan kemudian ditarik garis ke kiri untuk

mendapatkan kecepatan perjalanan rata-rata teoritis. Selanjutnya pertemuan ketiga

garis tersebut akan menentukan tingkat pelayanan jalan.Garis putus-putus pada

grafik menunjukkan bahwa tingkat pelayanan sudah mencapai kondisi F dimana

arus tertahan dan terjadi antrean kendaraan yang panjang, kepadatan lalu lintas

sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup

lama, keadaan antrean, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

26

Gambar 2.3 Kecepatan sebagai fungsi DS jalan banyak lajur dan satu arah

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum( 1997 )

2.4.5 Tingkat Pelayanan

Tingkat pelayanan adalah indikator yang dapat mencerminkan tingkat

kenyamanan ruas jalan, yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada

terhadap kapasitas jalan tersebut (Dep.PU, 1997).

Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri

dari 6 (enam) tingkat. Tingkat-tingkat ini dinyatakan dengan huruf A yang

merupakan tingkat pelayanan tertinggi sampai F yang merupakan tingkat

pelayanan paling rendah. Apabila volume lalu lintas meningkat, maka tingkat

pelayanan jalan menurun karena kondisi lalu lintas yang memburuk akibat

interaksi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan. Adapun

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pelayanan, antara lain: volume,

kapasitas, dan kecepatan.

Tingkat pelayanan jalan diklasifikasikan atas:

1. Tingkat Pelayanan A

a. Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi.

b. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat

dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan

maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan.

27

c. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya

tanpa atau dengan sedikit tundaan.

2. Tingkat Pelayanan B

a. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai

dibatasi oleh kondisi lalu lintas.

b. Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum

memengaruhi kecepatan.

c. Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih

kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.

3. Tingkat Pelayanan C

a. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan

dikendalikan oleh volume lalu lintas yang lebih tinggi.

b. Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas

meningkat.

c. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan,

pindah lajur atau mendahului.

4. Tingkat Pelayanan D

a. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan

kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh

perubahan kondisi arus.

b. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas

dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan

yang besar.

c. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas

dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan

yang besar.

5. Tingkat Pelayanan E

a. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume

lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah.

b. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas

tinggi.

c. Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.

28

6. Tingkat Pelayanan F

a. Arus tertahan dan terjadi antrean kendaraan yang panjang.

b. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi

kemacetan untuk durasi yang cukup lama.

c. Dalam keadaan antrean, kecepatan maupun volume turun sampai 0.

Hubungan antara tingkat pelayanan jalan, karakteristik arus lalu lintas dan

rasio volume terhadap kapasitas (rasio DS=Q/C) adalah seperti yang ditunjukkan

pada Tabel 2.17 sebagai berikut.

Tabel 2.17 Hubungan antara tingkat pelayanan, karakteristik arus lalu lintas dan

rasio volume terhadap kapasitas

Tingkat

PelayananKeterangan

Derajat

Kejenuhan

(DS)

A

Kondisi arus bebas dengan kecepatan tinggi dan

volume lalu lintas rendah. Pengemudi dapat memilih

kecepatan yang diinginkan tanpa hambatan.

0,00 – 0,19

BDalam zona arus stabil. Pengemudi memiliki

kebebasan yang cukupdalam memilih kecepatan.0,20 – 0,44

CDalam zona arus stabil. Pengemudi dibatasi dalam

memilih kecepatan.0,45 – 0,74

D

Mendakati arus yang tidak stabil. Dimana hampir

seluruh pengemudi akan dibatasi (terganggu).

Volume pelayanan berkaitan dengan kapasitas yang

dapat ditolerir.

0,75 – 0,84

E

Volume lalu lintas mendekati atau berada pada

kapasitasnya. Arus tidak stabil dengan kondisi yang

sering terhenti.

0,85 – 1,00

F

Arus yang dipaksakan atau macet pada kecepatan

yang rendah. Antrean yang panjang dan terjadi

hambatan-hambatan yang besar.

>1,00

Sumber: Abubakar (1995)

29

Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio

Q/C, namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas

jalan.Kecepatan operasi dapat diketahui dari survai langsung di lapangan. Apabila

kecepatan operasi telah didapat, maka akan dapat dibandingkan dengan kecepatan

optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas yangdibandingkan dengan kecepatan operasi

Sumber: Tamin (2000)

2.5 Alat Dan Perangkat Survei

Alat-alat dan perangkat yang digunakan dalam survai dengan metode

kamera antara lain:

1. Handycam(untuk merekam gambar).

2. Adaptor handycam (untuk meneruskan listrik ke handycam).

3. Aki mobil (untuk mensuplai daya listrik ke handycam).

4. Inverter (untuk mengubah arus DC dari aki menjadi AC ke handycam).

5. Kabel power (untuk menghubungkan listrik dari inverter ke adaptor

handycam).

30

6. Tiang penyangga kamera setinggi maksimal 6 m (untuk tempat handycam

saat merekam).