Bagian Ody - Prinsip Mekanik Dalam Kontrol Kekuatan Orthodontic
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Orthodontic Tooth Movement … · resorbsi tulang pada area tekanan,...
Transcript of BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Orthodontic Tooth Movement … · resorbsi tulang pada area tekanan,...
12
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Orthodontic Tooth Movement (OTM)
Orthodontic Tooth Movement (OTM) adalah gigi yang bergerak karena kekuatan
mekanis selama perawatan ortodontik maka akan terjadi perubahan jaringan yang disebabkan
oleh kekuatan ortodonsi ini. Pergerakan gigi merupakan hal yang mendasari perawatan
ortodontik.
Pergerakan gigi menurut Singh (2007) dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu
pergerakan fisiologis, patologis, dan pergerakan ortodontik. Pergerakan gigi secara ortodonsi
bermacam-macam seperti tipping, torquing, bodily, intrusi, ekstrusi, dan rotasi. Pengetahuan
tentang reaksi struktur penunjang pada perawatan ortodonsi sangatlah kompleks dan
melibatkan reaksi seluler dan molekuler.
Gaya yang diaplikasikan pada mahkota gigi pada OTM, akan diteruskan ke akar,
ligamen periodontal dan tulang alveolar, akan berakibat terjadinya perubahan pada fungsi
dan sel-sel tulang alveolar. Perubahan meliputi pembentukan tulang pada area regangan dan
resorbsi tulang pada area tekanan, hal ini disebut dengan proses remodeling (Pudyani dkk.,
2008). Proses tersebut diikuti dengan remodeling sekunder yang berguna untuk
mempertahankan ketebalan tulang dan mempertahankan hubungan antara gigi dengan tulang
alveolar agar relatif konstan. Kejadian tersebut merupakan fenomena adaptasi seperti
disebutkan dalam hukum Wolf yaitu tulang sewaktu-waktu akan membentuk dan merubah
dirinya oleh karena tekanan yang bertambah atau berkurang massanya untuk mengimbangi
tekanan tersebut. Akibatnya, soket gigi bergerak sejalan seperti pergerakan gigi melalui
tulang alveolar (Profit dan Fields, 2000; Melsen, 2001; Heasman, 2003).
13
Rahardjo (2016) menyatakan tekanan yang besar menyebabkan pembuluh darah di
daerah yang tertekan mengecil atau menutup sehingga tidak ada aliran darah sama sekali.
Bila tekanan yang kecil tetapi berlangsung lama dikenakan pada gigi akan terjadi sedikit
kompresi pada ligamen periodontal, ada aliran cairan keluar dari ligamen periodontal dan
gigi bergerak dalam soketnya. Sesudah berlangsung sekitar 4 jam terjadi perubahan kimia,
adanya AMP (Adenosine Monophosphat) yang merupakan second messenger yang
diperlukan untuk perubahan fungsi sel misalnya untuk diferensiasi. Perubahan ini terdeteksi
oleh sel-sel fibroblas, osteoblas dan osteosit yang masih terhubung dengan matriks
ekstraseluler.
Pemberian tekanan gigi yang tepat pada OTM, gigi dapat digerakkan tanpa
mengakibatkan kerusakan pada gigi maupun perlekatan dengan tulang (Heasman, 2003).
Gerakan gigi ortodontik yang ideal, tulang alveolar akan mengikuti gerakan gigi sehingga
rasio antara remodeling tulang dengan gerakan gigi adalah 1:1. Selama perawatan ortodontik,
gaya mekanik yang diaplikasikan pada gigi akan menyebabkan reaksi tulang alveolar.
Tekanan yang berlebihan akan akan mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal, serabut-
serabut mekanis pada ligamen periodontal ruptur, dan sebagian tulang alveolar nekrotik
karena injuri pembuluh darah. Tekanan yang melebihi tekanan darah akan menyebabkan
pembuluh darah kapiler pada ligamen periodontal kolaps sehingga menghambat suplai darah.
Sebaliknya apabila tekanan maksimal yang diaplikasikan lebih kecil dari tekanan darah maka
pembuluh darah kapiler tidak kolaps; oleh karena itu gaya optimal untuk menggerakkan gigi
sebaiknya tidak lebih besar dari tekanan pembuluh darah kapiler (Pudyani dkk., 2008)
Reaksi jaringan terhadap OTM diketahui terjadi baik melalui tulang atau bersama
dengan tulang. Gerakan gigi melalui tulang ditandai dengan indirect resorption pada area
14
yang jauh dari ligament periodontal, disebut dengan undermining resorption yang dimulai
dari sumsum tulang di dekatnya. Selama periode undermining resorption, ligamen
periodontal tertekan dan terbentuk area-area hialinisasi sel bebas. Gigi mulai bergerak dan
soket gigi menjadi agak longgar pada saat undermining resorption mencapai ligamen
periodontal dan jaringan hialinisasi hilang karena pelebaran ligamen periodontal. Resorpsi
mulai terjadi pada area yang tertekan, diikuti dengan pembentukan kembali hialinisasi atau
kelanjutan dari gerakan gigi melalui direct resorption pada dinding alveolar. Gigi bergerak
bersama dengan tulang maka resorpsi terjadi secara langsung pada dinding alveolus dari
ligamen periodontal. Aktivitas osteoklas pada permukaan yang tertekan dan osteoblas pada
permukaan regangan terjadi secara sinkron sebagai siklus remodeling yang identik dengan
gerakan fisiologis gigi (Profit dan Fields, 2000; Melsen, 2001; Heasman, 2003).
2.2. Tahap-Tahap Pergerakan Gigi
Burstone mengkategorikan pergerakan gigi pada perawatan ortodonsi menjadi 3 tahap
yang berbeda, yaitu : (1) initial phase, (2) lag phase, dan (3) post-lag phase. (Krisnan dan
Davidovich, 2006)
1. Initial Phase
Tahap ini terjadi segera setelah aplikasi gaya pada gigi yang ditandai dengan
pergerakan gigi yang mendadak pada soketnya. Pergerakan gigi pada ruangan periodontal
dan tekukan tulang alveolar memungkinkan keadaan tersebut. Pada tahap ini, tekanan
ringan dan berat memberikan pergerakan yang sama. Pergerakan gigi pada fase ini sekitar
0,4 sampai 0,9 mm dan biasanya terjadi dalam waktu 1 minggu. Menurut Krisnan dan
Davidovich (2006) fase ini berlangsung antara 24 jam sampai 2 hari dan merupakan
15
pergerakan awal gigi pada soketnya. Reaksi seluler dan jaringan sudah dimulai segera
setelah aplikasi gaya seperti terlihatnya osteoklas, progenitor osteoblas dan sel-sel
inflamasi. Osteoklas pertama akan terlihat pada daerah yang terkena tekanan 36-72 jam
setelah aplikasi gaya.
2. Lag Phase
Tahap ini ditandai dengan tidak ada atau sedikitnya pergerakan gigi, karena
komponen selular disekitarnya teraktifasi akibat pergerakan gigi pada tahap sebelumnya.
Tahap ini lebih lama jika tekanan berat diaplikasikan pada gigi sehingga terbentuk
jaringan hialin yang luas dan undermining resorption. Pada tekanan ringan, waktu yang
diperlukan lebih singkat sehingga jaringan hialin yang terbentuk lebih kecil dan terjadi
resorbsi frontal. Proses ini melibatkan sel-sel fagosit seperti makrofag dan osteoklas dan
biasanya terjadi 2-3 minggu namun dapat pula sampai 10 minggu. Lamanya fase ini
bergantung dari bermacam-macam faktor seperti densitas tulang alveolar, usia pasien dan
banyaknya jaringan hialin.
3. Post-Lag Phase
Tahap ini ditandai dengan hilangnya jaringan hialin dan terjadinya resorbsi.
Pergerakan ini disebabkan osteoklas meresorbsi tulang sehingga terbentuk ruangan untuk
gigi bergerak. Respon fisiologis terhadap aplikasi gaya pada gigi dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel Respon fisiologis jaringan terhadap gaya yang diaplikasikan pada gigi.
( Profit, 2007 ; Rahardjo, 2016)
Waktu
Peristiwa Gaya
Ringan Gaya Berat
< 1 detik < 1 detik Cairan PDL tertekan, tulang alveolar menekuk, sinyal
16
piezoelectric terjadi
1-2 detik 1-2 detik Cairan PDL keluar, gigi bergerak sebatas ruang PDL
3-5 detik Pembuluh darah dalam PDL menyempit pada daerah tekanan
dan melebar pada daerah tarikan
Menit Perubahan aliran darah, perubahan pada oksigen darah, PGE dan
sitokin dilepaskan
Jam Perubahan metabolisme : aktifitas seluler berubah
4 jam Peningkatan cAMP, diferensiasi sel PDL
2 hari Pergerakan gigi terjadi karena osteoklas/osteoblas me-
remodeling tulang di sekitar gigi
3-5 detik Pembuluh darah pada PDL tertutup pada daerah tekanan
Menit Aliran darah pada daerah tekanan tertutup
Jam Kematian sel-sel pada daerah tekanan
3-5 hari Mulai terjadi undermining resorption
7-14 hari
Undermining resorption sampai pada lamina dura dan terjadi
pergerakan gigi
2.3. Periodontal Ligament (PDL) dan OTM
PDL memegang peranan yang sangat penting dalam proses OTM karena kemampuan
jaringan ini dalam merespon kekuatan mekanik yang diterimanya. PDL terdiri atas serat
kolagen dengan bahan dasar proteoglikans dan glukoprotein serta serat oksitalin. Pada PDL
terdapat beberapa sel, yaitu fibroblas, osteoblas, osteoklas, dan sementoblas. Selain itu masih
ada sel-sel yang lain makrofag dan terkadang terdapat sisa-sisa sel Malassez serta banyak
pembuluh darah kapiler yang merupakan pleksus. PDL beserta cairan yang ada pada soket
gigi berfungsi sebagai bantalan (shock absorber). (Rahardjo, 2016)
Fibroblas bertanggungjawab pada perubahan matriks ekstraseluler dan mempunyai
aktivitas metabolik yang tinggi. Osteoblas terletak pada permukaan tulang dan yang
17
bertanggungjawab pembentukan matriks organik tulang yang kemudian mengalami
mineralisasi menjadi tulang. Osteoblas juga berperanan mengaktifkan osteoklas melewati
berbagai pembentukan berbagai sitokin dan merupakan regulator homeostatis tulang.
Osteoblas yang dikelilingi mineral tulang berubah menjadi osteosit. Osteosit berhubungan
satu dengan yang lain lewat perpanjangan sitoplasmik yang berada pada kanalikuli tulang
dan diperkirakan bertanggungjawab mendeteksi adnya kekuatan yang mengenai tulang.
Osteoklas adalah sel yang berinti banyak, berasal dari monosit darah dan bertanggungjawab
merespon tulang. Sedangkan sementoklas adalah sel yang berfungsi membentuk semen,
sedangkan sementoklas berfungsi meresorpsi semen. (Rahardjo, 2016)
2.4. Tulang Alveolus dan OTM
Tulang alveolus sendiri terdiri dari 2 tipe, yaitu tulang kompakta atau tulang kortikal
dan tulang concellous atau tulang spongiosa. Tulang kompakta adalah tulang dengan struktur
halus, keras, dan rapat yang membentuk lapisan vestibular; sedangkan tulang concellous
adalah tulang yang terletak di antara tulang kompakta - lamina dura. Tulang concellous
tersusun sebagai lapisan-lapisan halus yang mengelilingi ruang sumsum, di dalam ruang
sumsum banyak terdapat jaringan ikat embrionik, pembuluh darah, dan pembuluh saraf.
(Heasman, 2003 ; Nasruddin, 2008)
Tulang terdiri dari matriks organik yang termineralisasi dan sel-sel tulang yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas dan osteoklas diperoleh dari prekursor yang
berasal dari sumsum tulang (Heasman, 2003). Prosessus alveolaris dibentuk dari lapisan-
lapisan tipis tulang kompakta dimana terdapat lubang-lubang seperti saringan yang disebut
dengan lamina dura. Tulang ini adalah tempat melekatnya PDL. Tulang alveolar dapat
18
beradaptasi dalam melakukan fungsinya sebagai penyangga gigi. Ketebalan dan kekuatannya
tidak sama di semua tempat (Nasruddin, 2008).
2.5. Osteoblas
Osteoblas berasal dari local pluripotent mesenchymal cells yaitu dari sel stem stromal
sumsum tulang atau sel-sel stem mesenkim jaringan ikat. Prekursor tersebut akan distimulasi
untuk berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi preosteoblas, kemudian akan berdiferensiasi
lagi menjadi osteoblas yang matur (Baron dkk., 2002; Lerner, 2004; Eijken, 2007; Neve dkk.,
2010).
2.6. Osteoklas
Osteoklas berasal dari sel sistem hematopoetik dalam sumsum tulang. Osteoklas
dibentuk oleh sistem fusi progenitor mononuclear dari monocyte macrophage lineage.
Osteoblas dalam periosteum dan sel stromal yang menyerupai osteoblas dalam jaringan
hematopoetik mengontrol pembentukan dan aktivasi osteoklas melalui kontak sel ke sel
dengan sel progenitor. Diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas multinuclear yang
matur dan fungsi osteoklas diatur secara lokal oleh sitokin dan secara sistemik oleh hormonal
(Baron dkk., 2002; Takano dkk., 2001). Osteoklas merupakan sel multinuclear dengan
diameter besar yang mengandung 4-20 nukleus. Osteoklas ditemukan kontak dengan
permukaan tulang dan di dalam lacuna. Proses regenerasi adalah proses dimana tulang yang
dihilangkan oleh osteoklas diganti atau dibentuk kembali oleh osteoblas. Pembentukan tulang
oleh osteoblas merupakan proses yang lama dan berlangsung beberapa bulan. Osteoblas
mampu mensintesis protein tulang yaitu kolagen tipe I, osteokalsin, osteopontin, alkalin
19
fosfatase, proteoglikan, dan komponen-komponen faktor regulasi pertumbuhan yang
disimpan dalam matriks tulang (Baron dkk., 2002; Vaanamen, 2005)
2.7. OTM dan Remodeling Tulang Alveolar
2.7.1. Fase inflamasi
Ketika gaya ortodontik diaplikasikan ke gigi, maka perubahan langsung akan terjadi
pada jaringan periodontal (gambar 2.1.). Tempat-tempat kompresi ditandai dengan
kerusakan jaringan dan sel, penurunan jumlah kapiler-kapiler, oklusi, dan disintegrasi parsial
pembuluh-pembuluh darah, yang mengarah pada iskemia dan hipoksia. Perubahan ini akan
memicu terjadinya respon inflamatori akut, yang mempunyai ciri terjadinya vasodilatasi dan
migrasi leukosit keluar dari kapiler. Proses ini terjadi ketika hipoksia lokal meningkatkan
ekspresi IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, dan VEGF pada fibroblas PDL. Pada waktu yang
bersamaan, tegangan fisik menstimulasi produksi sitokin pada PDL, faktor pertumbuhan, dan
kemokin, melalui sebuah proses yang disebut mekanotransduksi. Dalam hal ini, IL-1 dan
TNF- mengaktivasi sel-sel endotelial mikrovaskuler, sehingga mengarah pada peningkatan
ekspresi molekul adesi (VCAM-1 dan ICAM-1), dengan memicu ekspresi kemokin lokal,
yang selanjutnya mempromosikan adesi leukosit dan migrasi leukosit. Selain itu, serabut
saraf periferal PDL yang tertekan akan melepaskan neurotransmiter vasoaktif, seperti peptida
terkait gen kalsitonin dan substansi P. Neuropeptida-neuropeptida ini, bersama dengan VEGF
dan PGE2, meningkatkan aliran vaskuler dan permeabilitas vaskuler, yang mengarah pada
ekstravasasi plasma dan diapedesis leukosit. Leukosit-leukosit yang direkrut ini berinteraksi
langsung atau tidak langsung dengan keseluruhan populasi sel paradental natif, sehingga
meningkatkan produksi kemokin, sitokin, dan growth factor tertentu yang terlibat dalam
20
resorpsi tulang. Dengan cara ini, fase akut inflamasi digantikan oleh sebuah proses kronis
yang memungkinkan leukosit dan prekursor osteoklas melanjutkan migrasi ke dalam jaringan
paradental yang tegang, sehingga memodulasi proses penataan ulang.
Gambar 2.1. Perubahan molekuler PDL pada peristiwa OTM pada sisi tekanan
(Andrade dkk., 2012)
Proses remodeling tulang mengubah homeostasis dan mikrosirkulasi PDL, sehingga
pada daerah iskemia dan vadodilatsi akan menghasilkan pelepasan beberapa mediator
biologikal. Faktor sitokin, kemokin, faktor pertumbuhan, neurotransmitter, metabolit dari
asam arakidonat, dan hormon akan mempromosikan resorpsi tulang oleh osteoklas di daerah
tekanan dan aposisi tulang oleh osteoblas di daerah tarikan. (Khrisnan dan Davidovitch,
2006; Andrade dkk., 2012; Nayak dkk, 2013)
2.7.2. Fase resorpsi tulang alveolus (pada sisi tekanan)
Pada kondisi pembebanan mekanis, fibroblas, osteoblas, dan sel-sel PDL lainnya
yang terletak pada tempat tekanan (gambar. 2.2.) akan melepaskan molekul-molekul
signaling, seperti PGE2, IL-1, IL-6, TNF-, dan IL-11. Di antara mediator-mediator ini, IL-1
21
dan TNF- menstimulasi osteoblast untuk menghasilkan kemokin, seperti CCL3, CCL2, dan
CCL5. Protein-protein kemotaktik ini, bersama dengan lainnya, seperti CXCL12, dan sitokin
(RANKL dan TNF-) memicu perekrutan kemotaktis prekursor-prekursor osteoklas ke
tempat osteolisis, dimana sel-sel ini berdiferensiasi menjadi osteoklas matang melalui
komunikasi osteoblas dengan osteoklas. Agar diferensiasi terjadi, PGE2 dan sitokin, seperti
IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-, menstimulasi osteoblas/sel stromal untuk menghasilkan
regulator-regulator utama diferensiasi osteoklas: M-CSF dan RANKL. Proses ini dicapai
ketika M-CSF dan RANKL terikat ke reseptor spesifiknya masing-masing, c-Fms dan
RANK, yang keduanya diekspresikan pada prekursor-prekursor osteoklas. Akan tetapi,
osteoklastogenesis bisa ditekan ketika OPG, sebuah reseptor umpan RANKL yang dihasilkan
oleh sel PDL dan sel osteoblastis, terikat ke RANKL, menghambat interaksi
RANK/RANKL. Dengan demikian, kadar OPG berkurang pada tempat kompresi selama
OTM, sehingga meningkatkan osteoklastogenesis pada area tersebut. (Andrade dkk, 2012)
Hipoksia yang ditimbulkan beban mekanis dapat mempromosikan ekspresi FIH 1-,
yang meningkatkan ekspresi RANKL oleh fibroblast PDL manusia pada tempat tekanan,
sehingga meningkatkan osteoklastogenesis. Selain osteoblast dan sel PDL, osteosit yang
rusak juga merupakan sumber RANKL dan M-CSF. Dalam hal ini, gaya ortodontik
menyebabkan kerusakan-mikro pada tulang alveolar di dekat tempat tekanan PDL yang
mengganggu integritas osteosit, secara fisik merusak sel dengan stres oksidatif, atau dengan
gangguan aliran darah dan/atau aliran cairan dalam sistem lakunar-kanalikular. Jaringan yang
rusak ini, bersama dengan TNF- dan IL-1 lokal, bisa memicu apoptosis osteosit, yang
menginisiasi resorpsi tulang di dekat tempat yang mengalami kerusakan-mikro, karena
meningkatkan ekspresi RANKL, VEGF, dan M-CSF, sehingga konsekuensinya memodulasi
22
perekrutan dan diferensiasi prekursor osteoklast. Selain itu, VEGF juga secara tidak langsung
memicu resorpsi tulang, karena VEGF mempromosikan angiogenesis, sehingga
memungkinkan kapiler-kapiler baru mengaugmentasi perekrutan prekursor osteoklas ke
permukaan tulang di dekat tempat resorpsi. (Andrade dkk, 2012)
Bukan hanya RANKL, tetapi juga sitokin-sitokin lain (IL-1, TNF-, IL-6, IL-11),
faktor pertumbuhan (FGF-2, EGF), dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CCL7, CCL9, IL-8)
bisa meningkatkan diferensiasi, keberlangsungan, dan aktivitas osteoklast, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Selain itu, CCL3 dapat meningkatkan ekspresi RANKL
oleh osteoblas. Sejalan dengan itu, RANKL memicu produksi CCL2, CCL4, dan CCL5 oleh
osteoklas, sehingga menandakan signalisasi autokrin dan parakrin selama osteoklastogenesis,
dan peningkatan resorpsi tulang. (Andrade dkk, 2012)
Gambar 2.2. Peristiwa molekuler osteoklastogenesis pada OTM pada sisi
tekanan (Andrade dkk., 2012)
Hipoksia yang ditimbulkan beban mekanis dapat mempromosikan ekspresi faktor 1-
terinduksikan hipoksia, yang meningkatkan ekspresi RANKL oleh fibroblas PDL manusia
23
pada tempat tekanan, sehingga meningkatkan osteoklastogenesis. Selain osteoblas dan sel
PDL, osteosit yang rusak juga merupakan sumber RANKL dan M-CSF. Dalam hal ini, gaya
ortodontik menyebabkan kerusakan mikro pada tulang alveolar di dekat tempat tekanan PDL
yang mengganggu integritas osteosit, secara fisik merusak sel dengan stres oksidatif, atau
dengan gangguan aliran darah dan/atau aliran cairan dalam sistem lakunar-kanalikular.
Jaringan yang rusak ini, bersama dengan TNF- dan IL-1 lokal, bisa memicu apoptosis
osteosit, yang menginisiasi resorpsi tulang di dekat tempat yang mengalami kerusakan-
mikro, karena ia meningkatkan ekspresi RANKL, VEGF, dan M-CSF, sehingga
konsekuensinya memodulasi perekrutan dan diferensiasi prekursor osteoklas. Selain itu,
VEGF juga secara tidak langsung memicu resorpsi tulang, karena VEGF mempromosikan
angiogenesis, sehingga memungkinkan kapiler-kapiler baru mengaugmentasi perekrutan
prekursor osteoklast ke permukaan tulang di dekat tempat resorpsi. (Andrade dkk., 2012)
Bukan hanya RANKL, tetapi juga sitokin-sitokin lain (IL-, TNF-, IL-6, IL-11),
faktor pertumbuhan (FGF-2, EGF), dan kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CCL7, CCL9, IL-8)
bisa meningkatkan diferensiasi, keberlangsungan, dan aktivitas osteoklas, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Selain itu, CCL3 dapat meningkatkan ekspresi RANKL
oleh osteoblas. Sejalan dengan itu, RANKL memicu produksi CCL2, CCL4, dan CCL5 oleh
osteoklas, sehingga menandakan signalisasi autokrin dan parakrin selama osteoklastogenesis,
dan peningkatan resorpsi tulang. (Andrade, dkk., 2012)
Osteoklas merupakan sel multinuklear berasal dari prekursor pada garis keturunan
myeloid/monosit yang bersirkulasi dalam darah setelah terbentuk di susum tulang. Osteoklas
mendegradasi jaringan tulang yang termineralisasi yang berperanan penting dalam pola
perbaikan fisiologis OTM. Osteoklas dewasa menempel pada permukaan tulang. Pada daerah
24
ini terjadi pompa proton dan saluran klor, yang berperanan penting untuk pengasaman
ekstraseluler dan demineralisasi tulang. Enzim proteolitik yang kemudian dilepaskan dan
mendegradasikan matriks protein ekstraseluler. Ketika tulang alveolar dirangsang kekuatan
ortodontik peristiwa berurutan yang terjadi diinisiasi, dan akhirnya menghasilkan
perekrutan, diferensiasi, aktivasi, dan pemeliharaan osteoklas.
Osteoklastogenesis dimulai dengan pembelahan sel stem dan proliferasi sel osteoklas
prekursor dalam jaringan hematopoietik (bone marrow, limpa, hati dan darah perifer). Tahap
kedua adalah migrasi sel ke tempat resorbsi tulang; yang akan dibedakan dan diaktifkan.
Pada saat ini efisiensi OTM secara langsung terkait baik secara kuantitatif maupun kualitatif
untuk perekrutan , aktivasi, dan pemeliharaan sel-sel pada sisi ini. diferensiasi
Osteoklas yang merupakan sel spesifik tulang, direkrut dari aliran darah oleh faktor
kemotaktik dilepaskan dari komponen matriks tulang dan osteoblas. Setelah proses
proliferasi dan migrasi dari osteoklas prekursor ke posisi tulang yang mengalami perbaikan,
sel progenitor ini akan membedakan apabila reseptor c-Fms berinteraksi dengan M-CSF
supaya osteoklas dapat bertahan hidup. Osteoklas berdiferensiasi karena aktivasi RANK oleh
RANKL yang diekspresikan oleh sel stroma di sumsum tulang dan oleh osteoblas.
2.7.3. Fase aposisi tulang alveolus (pada sisi tarikan)
Pada daerah terjadinya tekanan dan tarikan peristiwa OTM, ujung saraf yang
terdistorsi akan melepaskan neurotransmitter vasoaktif. Mekanoreseptor dari saraf yang
mengandung neuropeptida seperti substansi P, vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP). Neuropeptida ini berada pada ujung saraf dan akan
dilepaskan apabila pada ujung saraf mengalami distorsi. Neuropeptida ini bertindak sebagai
25
neurotransmitter. Ketiga neuropeptida ini merupakan vasodilatator yang akan meningkatkan
aliran vaskular dan permeabilitas vaskular, menstimulasi ekstravasasi plasma, serta
mempercepat migrasi leukosit keluar dari kapiler menuju ke jaringan. Sel yang bermigrasi ini
mensekresikan banyak molekul pembawa sinyal; termasuk sitokin dan growth factors yang
menstimulasi matriks remodeling ekstraseluler pada PDL dan tulang alveolar. CRGP juga
menstimulasi osteoblas dan menghambat osteoklas sehingga penting bagi pembentukan
tulang. (Krisnan dan Davidovitch, 2006 ; Thilander, dkk., 2005 ; Masella dan Meister, 2006)
Peristiwa pembentukan tulang (gambar 2.3) terjadi pada 40-48 jam setelah
pengaplikasian gaya pada tempat tekanan PDL. Osteosit berpartisipasi dalam proses
osteogenesis, sehingga menjadi sensitif dan responsif terhadap gaya-gaya ortodontik pada
sisi tarikan. Proyeksi selulernya memfasilitasi komunikasi dengan osteosit-osteosit tetangga,
serta dengan sel-sel yang menyusun permukaan tulang alveolar dan sel kavitas sumsum
tulang. Osteoblast yang mempertahankan persentuhan langsung dengan osteosit, merespon
terhadap sinyal-sinyal ini dan menginisiasi aposisi tulang. (Andrade dkk, 2012 ; Andrade
dkk., 2014)
Selain itu, serat PDL yang meregang menstimulasi terjadinya replikasi sel. Sel induk
(perisit), yang bermigrasi dari pembuluh darah, dan sel induk mesenkimal dinding
berdiferensiasi menjadi sel pra-osteoblast 10 jam setelah pengaplikasian gaya. Kemokin,
sitokin, dan growth factor terlibat langsung dalam proses ini. CCL3, CCL5, CXCL10,
CXCL12, dan CXCL13 memicu perekrutan, proliferasi, diferensiasi dan keberlangsungan
prekursor osteoblas. Osteoblas lokal dan osteosit mengekspresikan growth factor seperti
TGF- dan IGF-1, yang mempromosikan proliferasi dan diferensiasi prekursor osteoblas,
serta mineralisasi tulang baru oleh osteoblas matang. Selain itu BMP, EGF, dan IL-11
26
meningkatkan diferensiasi dan fungsi osteoblas. Pada tempat tegangan PDL, osteoblas dan
fibroblas PDL mengekspresikan VEGF, yang menstimulasi angiogenesis, sebuah proses
penting dalam pembentukan tulang. Selain itu, sitokin antiinflamatori yang terlibat dalam
pembentukan tulang, seperti IL-10 dan OPG, dihasilkan oleh osteoblas dan menghambat
osteoklastogenesis. Untuk mempertahankan integritasi aparatus PDL secara simultan dengan
pembentukan tulang, TGF- dan IGF-1 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblas
dan sel-sel PDL, serta sintesis kolagen. (Andrade dkk, 2012 ; Andrade dkk., 2014)
Gambar 2.3. Peristiwa molekuler diferensiasi osteoblas dan pembentukan tulang pada sisi
regangan pada OTM (Andrade dkk, 2012)
Pada daerah regangan menurut Mitchell (2007), osteoblas pada permukaan tulang
seperti diratakan sedangkan osteosit tidak terkena paparan; dan sel-sel pada PDL
meningkatkan jumlah second messenger (ERG). Sinyal dari ERK akan menginduksi ekspresi
27
RUNX-2 yang menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas osteoblas dan produksi tulang.
Diferensiasi osteoblas ini diduga berasal dari induksi RUNX-2 pada fibroblas PDL.
2.8. Peranan Sitokin dan IL-1 Pada OTM
Dalam OTM, kerja sitokin mempengaruhi metabolism tulang. Sebagai respon
terhadap gaya ortodontik, sitokin-sitokin akan dilepaskan untuk mengatur remodeling tulang,
di antaranya adalah IL-1, IL-2, IL-3, IL-6, IL-8, TNFα, IFNγ, dan osteoclast differentiation
factor (ODF). Perbedaan respon sel-sel pada sisi tarikan dan tekanan disebabkan oleh karena
adanya sitokin. Pada resorbsi tulang, sitokin yang paling berperan adalah IL-1 yang secara
langsung menstimulasi fungsi osteoklas. IL-1 akan menarik leukosit, menstimulasi fibroblast,
sel endotel, osteoklas, dan osteoblas untuk menghasilkan resorbsi tulang dan menghambat
pembentukan tulang. TNFα adalah sitokin proinflamasi yang menyebabkan inflamasi akut
dan kronis dan menstimulasi resorbsi tulang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa TNFα
secara langsung menstimulasi diferensiasi progenitor osteoklas menjadi osteoklas dengan
bantuan M-CSF. Sitokin lainnya yang berperan dalam remodeling tulang adalah IFNγ, yang
akan menstimulasi sintesis sitokin lainnya seperti IL-1 dan TNFα, juga menginduksi
produksi oksida nitrit yang penting bagi osteoblas dan osteoklas, serta dapat menyebabkan
resorbsi tulang dengan cara apoptosis efektor sel T. (Krisnan dan Davidovitch, 2006)
Sitokin TNF-, IL-1 (alfa dan beta) adalah sitokin proinflamasi yang diekspresikan
dalam jumlah tinggi pada sisi tekanan PDL dan pada tulang alveolar pada tahap awal OTM.
Peran dalam OTM telah menjadi fokus dari beberapa penelitian sebelumnya yang
menunjukkan adanya peningkatan aktivitas dan keberlangsungan osteoklas, di samping pada
saat yang sama memicu sel sumsum tulang dan osteoblast untuk memproduksi RANKL pada
28
fase awal OTM. IL-1 dapat juga memicu pembentukan osteoklast secara langsung dari
prekursor osteoklast di bawah stimulasi TNF in vitro. (Andrade dkk, 2012)
Pada penelitian in vitro lainnya telah menunjukkan bahwa IL-1 sangat
mempromosikan pembentukan osteoklast dengan meningkatkan produksi M-CSF dan PGE2
dan penurunan produksi OPG oleh osteoblast. Dengan pengaplikasian 24 jam gaya kompresif
kontinyu (3,0 g/cm2), sel-sel osteoblast telah ditemukan merespon dengan mengekspresikan
IL-1, IL-6, IL-11, TNF-, dan reseptor-reseptor untuk IL-1, IL-6, dan IL-8, sehingga
menandakan mekanisme autokrin osteoblastis yang dipicu oleh stres mekanis. Bahkan,
beberapa penelitian pada hewan tanpa signaling IL-1 dan/atau TNF- telah menunjukkan
gangguan pergerakan gigi, tetapi mekanisme-mekanisme yang terlibat dalam temuan ini
masih belum diketahui.
Keberhasilan pergerakan gigi secara ortodonsi bergantung dari remodeling jaringan
periodontal, terutama tulang alveolar. Baik gigi yang mengalami tekanan yang besar maupun
yang ringan terjadi aktivitas biokimia (Tzannetou dkk, 2008). Ketika gaya ortodonsi
diaplikasikan pada gigi dalam waktu lama maka akan terjadi inflamasi pada jaringan
periodontal sehingga proses resorpsi tulang dimulai dan akan menghasilkan pergerakan gigi.
(Basaran dkk, 2006; Kaya dkk, 2010) Mekanisme resorpsi tulang berhubungan dengan
mediator inflamasi, salah satunya adalah IL-1. Interleukin-1 terdiri dari α dan β, namun IL-1β
lebih berperan berperan pada metabolism tulang. IL-1β memicu respon inflamasi,
mengaktivasi osteoklas dan berperan penting dalam remodeling tulang (Kaya dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian terdahulu, jika terdapat stres mekanik maka produksi IL-1β akan
meningkat. (Grieve dkk, 1994) Interleukin-1α dan IL-1β menambah ikatan PMN dan
29
monosit atau makrofag terhadap sel kemudian akan menstimulasi produksi PGE2 dan
melepaskan enzim lisosom yang menyebabkan resorpsi (Bulkacz dan Carranza, 2006)
Penelitian yang dilakukan Kaya dkk (2010) pada pasien perawatan ortodonsi dengan
pencabutan gigi premolar atas selama 7 hari, didapatkan hasil bahwa rata-rata nilai IL-1β
sebelum pemberian gaya ortodontik adalah 31,22 pg/ml dan mencapai puncak pada 24 jam
yaitu 91,3 pg/ml, kemudian menurun setelahnya. Sedangkan menurut Iwasaki dkk (2001)
pada penelitiannya menyatakan bahwa terdapat peningkatan jumlah IL-1β selama 28 hari
ketika gaya ortodonsi diaplikasikan. Tzannetou dkk (2008) menyatakan bahwa terdapat
peningkatan IL-1β puncaknya adalah pada 24 jam setelah ekspansi rahang atas dengan
menggunakan rapid palatal expansion.
Gaya ortodonsi yang ringan dapat mempertahankan nilai IL-1β dalam waktu lama
dan diperlukan untuk remodeling jaringan periodontal yang kontinu. Sedangkan gaya
ortodontik yang berat bukan hanya meningkatkan kemungkinan terjadinya resorpsi akar dan
hialinisasi jaringan periodontal, namun juga dapat menyebabkan nilai IL meningkat dengan
tajam kemudian menurun sehingga terjadi kerusakan jaringan periodontal (Ren dan Vissink
dkk., 2008)
Sitokin, terutama IL berperan juga dalam system RANKL/RANK/OPG yang
mengontrol remodeling tulang. RANKL yang berada pada permukaan osteoblas akan
berikatan dengan RANK pada permukaan prekursor osteoklas, menuntun pada diferensiasi
prekursor osteoklas menjadi osteoklas matang yang aktif. OPG akan berkompatisi dengan
RANK untuk berikatan dengan RANKL, sehingga dengan adanya OPG akan menghambat
tahap akhir diferensiasi osteoklas dan menekan aktivasi matriks osteoklas. Dengan demikian
30
remodeling tulang dikontrol oleh keseimbangan antara ikatan RANK-RANKL dengan
produksi OPG (Harry dan Sandy, 2004; Huang dkk., 2005; Krisnan dan Davidovitch, 2006)
2.9. Peranan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Pada OTM
VEGF adalah mediator penting untuk angiogenesis. Menurut Kim dan Byzova
(2014), angiogenesis adalah proses tumbuhnya tunas pembuluh darah baru dari sistem
pembuluh darah yang sudah ada. Pembentukan pembuluh darah baru diperlukan untuk
berbagai proses fisiologis di antaranya untuk reparasi jaringan atau regenerasi organ.
Angiogenesis memerlukan inisiasi oleh faktor-faktor proangiogenik, seperti VEGF, placental
growth factor, platelet-derived growth factor-B, faktor TGF-, dan angiopoietin-1 (ANG-1).
Yang dkk. (2012) menyatakan bahwa osteogenesis dan angiogenesis adalah dua
proses yang saling terkait erat selama pertumbuhan, perkembangan, penataan-ulang dan
reparasi tulang. VEGF merupakan mediator penting selama proses angiogenesis. VEGF
terlibat tidak hanya dalam angiogenesis tulang, tetapi juga dalam berbagai aspek
perkembangan tulang, diferensiasi osteoblas dan perekrutan osteoklas.
Dalam hubungan osteogenesis-angiogenesis, human inducible factor (HIF)
merupakan salah satu regulator kunci VEGF. Peningkatan jumlah (upregulasi) HIF dapat
dipicu oleh penurunan tensi oksigen. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perubahan kadar
HIF bisa mengubah kadar VEGF secara signifikan dan mengubah massa tulang secara
signifikan (Yang dkk., 2012)
VEGF telah diteliti terlibat dalam berbagai aspek fungsi osteoblas. Dua penelitian
telah menunjukkan efek kemoatraktif VEGF terhadap osteoblas manusia dan sel-sel
progenitor mesenkima manusia. Selain efeknya terhadap migrasi sel, VEGF
menstimulasi proliferasi sel sebesar hingga 70%. Telah ditemukan bahwa VEGF secara
31
langsung mempromosikan diferensiasi osteoblas manusia primer in vitro dengan
meningkatkan pembentukan nodul dan aktivitas alkalin fosfatase dengan cara yang
tergantung dosis. Juga dilaporkan bahwa VEGF diekspresikan dengan kadar rendah pada
awal diferensiasi osteoblas dan bahwa ekspresinya meningkat tajam hanya selama
diferensiasi terminal dan mencapai ekspresi maksimum selama periode mineralisasi.
Mayr-Wohlfart dkk juga menunjukkan peningkatan ekspresi Flt-1 dan KDR terhadap
osteoblas manusia. Sebuah uji kinase in vitro gagal menunjukkan aktivasi KDR saat
distimulasi dengan VEGF, yang mana sejalan dengan pendapat bahwa efek VEGF terhadap
osteoblas manusia primer diperantarai melalui Flt-1 (Yang dkk, 2012)
Min dkk. telah menunjukkan bahwa VEGF bisa meningkatkan ekspresi RANK dan
mRNA secara signifikan dan protein permukaan pada sel endotelial mikrovaskuler manusia.
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa VEGF sebagian besar meningkatkan ekspresi RANK
dalam sel-sel endotelial melalui rute signaling Flk-1/KDR-protein kinase C-ERK, sehingga
menandakan bahwa VEGF memegang peran penting dalam memodulasi kerja angiogenik
dari RANKL pada kondisi fisiologis atau patologis. Yao dkk juga menemukan bahwa
kombinasi VEGF dan dosis rendah faktor penstimulasi koloni-1 meningkatkan ekspresi
RANK dalam prekursor osteoklas yang diperlukan untuk osteoklastogenesis. Nakagawa dkk.
menunjukkan bahwa VEGF terlibat dalam perekrutan osteoklas, diferensiasi, dan
peningkatan aktivitas resorbsi-tulang osteoklas pada osteoklas-osteoklas kelinci matur yang
dibiakkan (Yang dkk., 2012)
Osteoblas dan osteoklas mengekspresikan reseptor VEGF-1, maka beberapa
penelitian telah menyelidiki efek VEGF terhadap penataan-ulang tulang pada kondisi
pembebanan mekanis. Penelitian-penelitian in vitro menunjukkan bahwa sel-sel PDL dan
32
osteosit apoptotik meningkatkan produksi VEGF setelah pengaplikasian gaya kompresif.
VEGF bisa memodulasi perekrutan, diferensiasi, dan aktivasi prekursor-prekursor osteoklas
sehingga meningkatkan resorpsi tulang. VEGF juga bisa secara langsung memicu resorpsi
tulang, karena mempromosikan angiogenesis secara in vitro, sehingga memungkinkan
kapiler-kapiler baru untuk membantu perekrutan prekursor osteoklas ke permukaan tulang di
dekat tempat resorpsi. Sejalan dengan itu, VEGF meningkatkan perekrutan osteoklas dan
meningkatkan laju OTM eksperimental secara in vivo, yang keduanya dihambat oleh terapi
antibodi poliklonal anti-VEGF. Ekspresi VEGF terdeteksi dalam osteoblas, osteosit, dan
fibroblas pada tempat tegangan PDL setelah 10 hari OTM pada mencit C57BL/6J. Secara
bersama-sama, dapat disimpulkan bahwa VEGF memegang peran penting dalam penataan-
ulang tulang pada tempat kompresi dan tempat tegangan PDL selama OTM. (Andrade dkk,
2012)
2.10. Stres Oksidatif dan Angiogenesis
Stres oksidatif didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi kelebihan Reactive
Oxigen Species (ROS) sehingga melampaui antioksidan endogen untuk meredam atau
menetralisir ROS tersebut (Taniyama dan Griendling, 2003). Stres oksidatif yang terkontrol
dengan baik (konsentrasi rendah dan sedang) bisa bermanfaat bagi angiogenesis selama
reparasi jaringan. Sementara stres oksidatif yang khronis akan merusak jaringan yaitu
dengan cara peroksidasi lipid dan protein ( Droge, 2002; Kim dan Byzova, 2014) . Dengan
1 elektron pada satu waktu, oksigen bisa direduksi menjadi 4 komponen secara berurutan,
yaitu anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil, dan molekul air. Selama
reaksi reduksi-oksidasi ini, ROS dihasilkan sebagai senyawa antara (intermediet). Anion
33
superoksida dikenal sebagai penyumbang utama ROS dan merupakan mediator penting
dalam reaksi rantai transport elektron pada mitokondria. Biasanya, anion superoksida
dieliminasi secara cepat melalui dismutasi menjadi hidrogen peroksida, baik secara spontan
atau melalui superoksida dismutase (SOD). Myeloperoksidase yang disekresikan neutrofil
lebih lanjut mengkonversi hidrogen peroksida dan klorida menjadi hipoklorit yang sangat
reaktif. Untuk sel-sel vaskular, anion superoksida dan hidrogen peroksida tampak sangat
penting karena mampu mengaktivasi berbagai jalur untuk menginduksi pertumbuhan
vaskular baru, atau disfungsi dan kerusakan vaskular (gambar 2.4) (Kim dan Byzova, 2014)
ROS bisa dihasilkan oleh semua tipe sel vaskular, termasuk sel-sel endotelium, sel-sel
otot halus, fibroblas adventitial, dan adiposit perivaskular. Ada 2 sumber endogen utama
dalam sistem pembuluh darah, yaitu reaksi rantai transport elektron mitokondria dan
nikotinamida adenin dinukleotida fosfat (NADPH) oksidase. Pada mitokondria, lebih dari
95% oksigen yang dikonsumsi oleh sel digunakan untuk menghasilkan molekul-molekul air
melalui reaksi redoks. Lebih khusus, pada kompleks I dan III dalam rantai transport, terjadi
kebocoran elektron prematur pada oksigen, yang menyebabkan kurang dari 4% oksigen yang
akan direduksi menjadi anion superoksida, tetapi tidak direduksi menjadi air, yang
menghasilkan stres oksidatif. NADPH oksidase, sebuah enzim yang menghasilkan anion
superoksida dengan mentransfer elektron dari NADPH ke oksigen, dikenal sebagai salah satu
sumber utama ROS pada banyak tipe sel, termasuk sel-sel otot halus dan sel-sel endotelium.
Penting untuk disebutkan bahwa pada banyak kondisi, ledakan respiratori (oksidatif), sel-sel
inflamasi, seperti neutrofil dan monosit, merupakan faktor penyumbang utama bagi kadar
ROS pada beberapa patologi vaskular. (Kim dan Byzova, 2014)
34
Gambar 2.4.. Gambar skema pembentukan ROS dan efek-nya terhadap angiogenesis. Ada
dua mekanisme yang diperlihatkan: efek ROS terhadap komponen-komonen jalur signaling
HIF-VEGF/VEGFR2 yang telah diketahui dan mekanisme independen-VEGF yang
melibatkan pembentukan produk-produk oksidasi lipid. *MPO = myeloperoksidase.
(Kim dan Byzova, 2014)
Stres oksidatif mencakup tidak hanya produksi dan akumulasi ROS saja, tetapi juga
produk-produk metabolik imbas stres oksidatif yang dihasilkan melalui peroksidasi lipid dan
protein. Senyawa-senyawa sekunder yang dihasilkan lewat oksidasi ini bisa lebih merusak
dibanding ROS itu sendiri. Karena salah satu konsekuensi utama dari keberadaan ROS
adalah peroksidasi protein dan lipid, yang menghasilkan modifikasi fungsional. Secara in
vivo, peroksidasi lipid mempengaruhi lipid-lipid membran seluler, yang mencakup bagian
polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari fosfolipid, yang sangat rentan terhadap oksidasi,
dengan menghasilkan sebuah tatanan baru agen-agen aktif biologis. (Kim dan Byzova, 2014)
2.11. Peranan Stres Oksidatif Pada Remodeling OTM
Pada proses OTM, ROS dapat ditimbulkan karena inflamasi, proses angiogenesis dan
proses reperfusi injury. Proses terjadinya ROS dan RNS (Reactive Nitrogen Species) dari
proses inflamasi ditunjukkan dalam gambar berikut ini.
35
Gambar 2.5. Mekanisme Pembentukan ROS dan RNS pada proses inflamasi
(Franch dkk., 2011)
Radikal bebas hasil dari proses inflamasi dapat terjadi pada proses perubahan NADPH
menjadi NADP dengan katalis NADPH oksidase. Dalam proses ini terjadi kebocoran O2
yang selanjutnya berubah menjadi radikal superoksida (O2•) yang dapat merangsang
terbentuknya sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Proses metabolisme ini biasanya
terjadi pada sitoplasma. Adapun reaksi kebocoran tersebut dapat terlihat dalam reaksi sebagai
berikut : 2O2 + NADPH 2O2• + NADP+ + H+
Gambar 2.6. Peran ROS dalam proses Inflamasi (Valko dkk., 2004)
36
Sedangkan mekanisme terjadinya ROS menurut Hiromichi dkk.(2008) adalah seperti
digambarkan dalam skema berikut ini :
Gambar 2.7. Mekanisme terjadinya ROS (Hiromichi dkk., 2008)
Peristiwa reperfusi iskemi dalam OTM dapat menimbulkan kerusakan melalui
induksi aktivitas nitrit oksida sintetase. Nitrit oksida dihasilkan oleh beberapa tipe sel yang
berbeda, seperti dalam sel endotel dan makrofag. Meskipun pelepasan nitrit oksida oleh nitrit
oksida sintetase cepat, hal ini penting untuk terjadinya dilatasi pembuluh darah. Konsentrasi
nitrit oksida yang tinggi yang dihasilkan dalam makrofag dapat menghasilkan kerusakan
oksidatif. Aktivasi makrofag yang tinggi akan menambah produksi nitrit oksida dan
superoksida anion secara simultan. Nitrit oksida bereaksi dengan radikal bebas akan
menghasilkan kerusakan peroksinitril yang lebih tinggi. Nitrit oksida merusak tempat bagian
dari jalur peroksinitril dengan tinggi karena peroksinitril dapat langsung mengoksidasi LDL
menghasilkan kerusakan ireversibel membran sel. (Simanjuntak, 2012)
Jalur xantin oksidase merupakan jalur penting dalam kerusakan oksidatif jaringan.
Kedua enzim xantin dehidrogenase dan xantin oksidase mengkatalisis perubahan xantin
37
menjadi asam urat. Xantin dehidrogenase adalah bentuk enzim yang ada di bawah kondisi
fisiologis, namun struktur konfigurasinya diubah menjadi xantin oksidase selama kondisi
iskemi. Xantin oksidase merupakan enzim penghasil radikal bebas oksigen. Dalam fase
reperfusi OTM, xantin oksidase bereaksi dengan oksigen akan melepaskan radikal bebas
superoksida. (Simanjuntak, 2012)
Dalam proses OTM, radikal bebas yang muncul dapat bereaksi dengan radikal bebas
yang lain menimbulkan radikal bebas yang baru.
a. Radikal bebas hidroksil (OH•) dapat membentuk peroksida (H2O2) yang bersifat
oksidator kuat melalui reaksi sebagai berikut :
OH• + OH• → H2O2
Peroksida (H2O2) merupakan oksidan yang kuat dan dapat menghasilkan radikal
hidroksil bila bereaksi dengan logam transisi (transitional metals) Fe++ dan Cu + lewat
suatu reaksi yang disebut reaksi Fenton :
Fe++ (Cu+) + H2O2 → Fe++ (Cu++) + OH‾ + OH• (reaksi Fenton)
b. Radikal hidroksil juga terbentuk apabila H2O2 terdapat bersamaan dengan ion
superoksid lewat suatu reaksi yang disebut reaksi Haber-Weiss (Suryohudoyo, 2000).
O2 •‾ + H2O2 → O2 + OH‾ + OH• (reaksi HaberWeiss)
c. Konsentrasi nitrid oksida (NO) yang meningkat yang dihasilkan makrofag dan sel
endotel pada peristiwa reperfusi iskemia dapat menghasilkan peroksinitril yang
menyebabkan kerusakan membran yang irreversible apabila bereaksi dengan
superoksid (O2•).
Peningkatan produksi ROS baik akut maupun kronis akan menimbulkan perubahan di dalam
sel melalui beberapa mekanisme misalnya mempengaruhi redoks di dalam sel, melalui
38
modifikasi oksidatif protein tertentu dan dapat juga sebagai second messenger. (Clempus dan
Griendling, 2006)
2.12. Propolis
Propolis adalah bahan alam yang berasal hewan lebah. Kata propolis berasal dari
bahasa Yunani, yaitu pro yang berarti pertahanan dan polis yang berarti kota; sehingga
propolis bermakna sebagai pertahanan kota atau sarang lebah. Propolis merupakan produk
lebah yang terdiri dari zat resin yang dikumpulkan oleh lebah dari bunga, kuncup, dan
eksudat dari berbagai sumber tanaman. Kemudian lebah mencampur bahan resin ini dengan
enzim yang disekresikan dari kelenjar mandibula lebah walaupun demikian komponen yang
terdapat di dalam propolis tidak mengalami perubahan ( Seven dkk., 2012; Margaretha,
2012 ; Toreti dkk, 2013).
Propolis menurut Margaretha (2012) adalah bahan alami tidak beracun digunakan
sejak dahulu kala, di antaranya sebagai obat tradisional, biokosmetik , dan makanan
kesehatan. Menurut Suranto (2010) dan Margaretha (2012), lebah menggunakan propolis
sebagai: 1) memperkuat sarang lebah; 2) bahan pelapis untuk melindungi sarangnya dari
faktor pengganggu dari luar, seperti serangga, kumbang atau tikus; 3) meratakan dinding
sarang lebah; 4) bahan pengisi lubang atau celah dan perekat keretakan yang terdapat pada
sarang lebah; 5) melindungi sel sarang tempat ratu lebah menetaskan telurnya sehingga larva
lebah terlindungi dari penyakit dan 6) biosida.
Umumnya propolis berwarna kuning sampai coklat tua tergantung pada asal bahan
baku pembuatannya. Juga telah ditemukan propolis transparan seperti yang dilaporkan oleh
Coggshall dan Morse. Pada suhu 25-45 0 C, propolis adalah berupa zat yang lunak, lentur dan
39
sangat lengket; kurang dari 150 C atau terutama ketika beku atau di dekat titik beku propolis
menjadi keras dan rapuh; di atas suhu 450 C, akan semakin lengket dan bergetah. Biasanya
propolis akan menjadi cair pada 60-70 0 C, tetapi untuk beberapa sampel titik lebur mungkin
setinggi 1000 C. Pelarut yang paling umum digunakan untuk ekstraksi komersial adalah
etanol, eter, glikol dan air.(Margaretha, 2012)
Ada berbagai jenis lebah yang dijumpai di Indonesia. Tidak semua jenis lebah dapat
menghasilkan propolis. Lebah Apis Trigona sp adalah jenis penghasil propolis paling
banyak, tetapi sedikit menghasilkan madu. Sedangkan jenis Apis Mellifera sp adalah jenis
lebah yang paling banyak diternakkan ; banyak menghasilkan madu, tetapi sedikit
menghasilkan propolis. (Suranto, 2010).
(a) (b) (c)
Gambar 2.8. (a). Propolis mentah dari Yogyakarta (Keterangan:berwarna coklat tua
tergantung pada asal bahan baku pembuatannya.; (b). Lebah Apis Mellifera Sp. (c). Sarang
Apis Mellifera Sp. (Sumber b,c : Suranto, 2010)
2.12.1. Taksonomi lebah
Dalam penggolongan binatang, lebah madu diklasifikasikan sebagai berikut,
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Hymenoptera
Familia : Apidae
Genus : Apis, Subgenus : - Micrapis (Apis Andremformis
dan Apis Florae)
- Megapis (Apis Dorsata)
40
Spesies : Apis Mellifera, Apis Cerana, Apis Koschevnikovi, Apis
Nigrocincta Apis Trigona
2.12.2. Komposisi propolis
Komposisi propolis bervariasi dari sarang ke sarang, dari daerah ke daerah, dan
dari musim ke musim. Untuk memahami apa yang menyebabkan perbedaan dalam komposisi
kimia, maka hal yang perlu untuk diingat adalah asal tanaman yang merupakan bahan baku
pembuatan propolis. Untuk produksi propolis, lebah menggunakan bahan-bahan yang
dihasilkan dari berbagai proses botani di berbagai bagian tanaman, seperti zat aktif yang
disekresikan oleh tanaman serta zat yang dieksudasi dari luka pada tanaman seperti bahan
lipofilik pada daun dan tunas , getah, damar, dan sebagainya. Asal tanaman sebagai bahan
baku propolis menentukan keragaman kimianya. Komposisi kimia propolis tergantung pada
kekhususan flora lokal di lokasi pengumpulan dan dengan demikian pada karakteristik
geografi dan iklim dari lokasi ini. Hasil ini merupakan fakta dalam keragaman yang
mencolok dari komposisi kimia propolis, khususnya propolis berasal dari daerah tropis.
Parolia dkk (2010) mengatakan bahwa propolis dengan sejumlah senyawanya
menunjukkan bermacam-macam efek biologis dan aktivitas farmakologis. Komponen
propolis terdiri resin dan balsam (50-70%), minyak esensial dan lilin (30-50%), pollen (5-
10%); dan bahan pengisi yang lain seperti asam amino, mineral, vitamin A, B complex,
vitamin E. Menurut Park (2005), umumnya propolis terdiri dari campuran resin dan getah,
flavonoid, polifenol, polisakarida, lilin, minyak atsiri, pollen, asam amino, mineral, vitamin
A, vitamin B kompleks, vitamin E dan senyawa biokimia yang sangat aktif seperti
bioflavonoid, fenol dan senyawa aromatik.
41
Analisis tentang berbagai sampel propolis dari daerah berbeda memperlihatkan
perbedaan komposisi propolis yang signifikan. Hal ini karena berpengaruh terhadap aktifitas
biologisnya. Akan tetapi, meskipun dengan keragaman komponen dalam propolis yang
bersumber dari belahan dunia yang berbeda, namun propolis selalu memiliki aktifitas
antibakteri yang tinggi, antiviral, antioksidan, antifungal dan antiatherogenik, serta aktifitas
antiproliferatif dan proapoptotik. Beberapa varietas propolis bisa menunjukkan peningkatan
aktivitas antiproliferatif dan anti-inflamatori, sifat regeneratif-reparatif, estrogenik dan
anestetik, serta aktivitas proapoptosis terhadap sel-sel kanker. Karena spektrum aktifitas
yang luas seperti ini, penelitian tentang propolis domestik sangat penting. (Gorecka dkk.,
2014)
Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati yang merupakan sumber yang beragam
bagi bahan baku pembentuk propolis oleh lebah. Di lain pihak data menyangkut propolis
Indonesia masih sangat minim. Dengan demikian, propolis Indonesia perlu dieksplorasi
terutama menyangkut senyawa penyusunnya sehubungan dengan aplikasinya sebagai
antioksidan dan antiinflamasi.
Komposisi kimia dan aktivitas sitotoksik dari ekstrak etanol propolis Apis mellifera L
dari berbagai daerah di Jawa (Sukabumi, Batang dan Lawang) telah diteliti oleh Syamsudin.
Komposisi kimia diinvestigasi dengan GCMS setelah silisasi dan menunjukkan perbedaan
ketiga sampel propolis tersebut. Peneliti juga menyatakan bahwa terdapat tujuh senyawa
yang pertama kali ditemukan dalam propolis, yakni asam dofuranuronat (sampel Sukabumi),
asam D-glukofuranuronat, asam 4-okso-2-tiokso-3-tiozolidinepropionat, patchoulene, 3,4-
dimetiltiokinolin (sampel Lawang), 1,3-bis(trimetilsiloksi)-5,5-propilbenzena, dan 3-
kinolinkarboksamin (sampel Batang). Dalam hal aktivitas sitotoksik, ekstrak propolis dari
42
Batang menunjukkan aktivitas paling kuat terhadap cell lines T47D dan MCF-7 dan ekstrak
propolis dari Sukabumi paling kuat terhadap sel Hela. Namun, semua ekstrak yang ditelitinya
tidak menunjukkan aktivitas
terhadap sel Myeloma dan Vero. (Syamsudin dkk., 2009). Penelitian Sabir (2003), bahwa
unsur flavonoid dominan pada propolis lebah Trigona sp dari daerah Bulukumba Sulawesi
Selatan.
Sumber-sumber antioksidan dikenal kaya akan turunan-turunan flavonoid (polifenol).
Polifenol antioksidan merupakan senyawa kimia yang secara alami ditemukan dalam tanaman.
Fungsinya adalah menangkap radikal bebas dan menetralisirnya. Untuk melakukan itu,
polifenol antioksidan tidak hanya mencegah radikal bebas menyebabkan kerusakan tetapi juga
mereparasi kerusakan yang terjadi. Propolis belakangan ini telah menjadi suplemen diet paling
penting sebagai senyawa antioksidan (Tatli Seven, 2008; Tatli Seven dkk., 2008; Tatli Seven
dkk., 2009; Seven dkk., 2011)
Hasil investigasi prapenelitian ekstrak propolis yang telah dilakukan penulis pada
propolis Yogyakarta (tahun 2015) menunjukkan bahwa ekstrak propolis lebah Apis
Mellifera sp mengandung antioksidan yang sangat kuat. Hasil uji DPPH menunjukkan
angka di bawah 50 (35,6 µg/ml) yang menunjukkan nilai karakteristik sangat kuat. Terhadap
uji kandungan flavonoidnya, propolis Yogyakarta mempunyai kadar 6,83 % b/b ; lebih
tinggi dibandingkan kandungan fenol yang sebesar 0,62 % b/b. Flavonoid yang terkandung
di dalamnya yang dominan adalah quarcetin, sedangkan crysin dalam jumlah yang kecil ;
sedangkan asam fenolatnya adalah jenis asam galat dengan jumlah yang kecil pula.
Flavonoid mempunyai struktur kimia dengan kerangka dasar C6 - C3 - C6. Setiap
bagian C6 merupakan cincin benzena yang dihubungkan dengan tiga atom karbon (C3) yang
43
merupakan rantai alifatis yang dapat pula membentuk cincin ketiga. Ketiga cincin tersebut
diberi tanda A, B, dan C untuk memudahkan dalam pembahasan. Atom karbon dinomori
menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa untuk cincin A dan C, serta
angka beraksen untuk cincin B (gambar 2.9.) (Sabir, 2003 ; Kumar dan Pandey, 2013).
Penggolongan flavonoid berdasarkan pada perbedaan struktur kimianya, yaitu
perbedaan substituen cincin heterosiklik yang mengandung oksigen dan perbedaan distribusi
gugus hidroksil. Sebaliknya perbedaan oksigenasi pada atom C3 menentukan sifat, khasiat,
dan tipe atau golongan flavonoid. (Sabir, 2003 ; Kumar dan Pandey, 2013).
Menurut Gorecka dkk (2014), komponen yang paling penting dalam propolis
Polandia dalam hal kuantitas dan jenisnya adalah polifenol, termasuk asam fenolat dan
flavonoid; demikian pula pada propolis Yogyakarta. Senyawa-senyawa ini memiliki sifat
antioksidatif kuat dan aktivitas biologis tinggi. Aktivitas antioksidatif dari polifenol
tergantung pada strukturnya. Sifat antioksidan flanonoid yang paling kuat menurut Gorecka,
ditunjukkan oleh flavon-3-ol (seperti quercetin, myrycetin, morin), flavvan-3-ol – katechin
(seperti epikatechin gallat, epigallokatechin gallat, epigallokatechin, katechin), dan
antosianidin (sianidin).
(a) (b).
Gambar 2.9. (a). Struktur umum golongan flavonoid, (b). Struktur Quercetin,
salah satu contoh flavonoid pada propolis (Sabir, 2003; Pandey, 2013)
44
2.12.3. Flavonoid sebagai Antioksidan
Efek flavonoid terhadap ROS terjadi melalui dua mekanisme. Mekanisme langsung
dengan menangkap (menetralisir) radikal bebas dan dengan menghambat radikal bebas .
Adapun mekanisme tidak langsung dengan cara meningkatkan antioksidan endogen seperti
antioksidan enzimatik Sodiun Dismutase (SOD), Catalase (CAT), Gluthahion Peroksidase
(GSH-PX). Flavonoid mempunyai gugus aktif berfungsi sebagai penangkap dan
penghambat reaksi radikal bebas. Gugus aktif tersebut adalah gugus-gugus –OH dan ikatan
rangkap dua >C=C< karena gugus-gugus ini dapat memberikan 1 molekul hidrogennya
sehingga ROS menjadi stabil dan terbentuk radikal bebas baru yang kurang reaktif.
Sebagai antioksidan, flavonoid mempunyai dua fungsi mekanisme kerja. Pertama :
sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut
sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen
secara cepat ke radikal lipid (R•, ROO•) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan radikal
lipid. Kedua : merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi
dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk lebih stabil. Penambahan antioksidan (AH)
primer dengan konsentrasi rendah pada lipid dapat menghambat atau mencegah reaksi
autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi
pada tahap inisiasi maupun propagasi (gambar 2.10. ) Radikal-radikal antioksidan (A•) yang
terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat
bereaksi dengan molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru. (Simanjuntak, 2012).
Inisiasi : R• + AH ———-> RH + A•
Radikal lipid
45
Propagasi : ROO• + AH ——-> ROOH + A•
Gambar 2.10. Hambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid (Simanjuntak,
2012)
Menurut Akhlaghi dan Brian ( 2009), flavonoid dapat memberikan efek antioksidan
dengan cara mencegah terbentuknya ROS, langsung menangkap ROS, melindungi
antioksidan lipofilik, dan merangsang terjadinya peningkatan antioksidan enzimatik;
digambarkan dalam diagram seperti berikut (gambar 2.11.).
Gambar 2.11. Mekanisme pengaruh flavonoid terhadap ROS menurut Akhlaghi dan
Brian (2009)
Senyawa-senyawa polifenol seperti flavonoid, poliena dan senyawa yang banyak
mengandung gugus -OH ini adalah multifungsional dan dapat bereaksi dengan radikal bebas
sebagai: (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, dan (d) peredam
terbentuknya singlet oksigen (Birt,dkk. 2001 ; Akhlaghi dan Brian, 2009 ; Kumar dan
Pandey, 2013). Selain itu dapat menginhibisi aktivitas enzim sehingga menghambat
kemunculan bentuk oksigen reaktif (ROS). Senyawa-senyawa polifenol memiliki
kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim yang berpartisipasi dalam pembentukan
bentuk oksigen reaktif ; seperti mengurangi aktivitas xantin oksidase, sebuah oksidase
46
NADPH tereduksi, yang bertanggung jawab untuk kemunculan radikal anion superoksida ;
juga menghambat enzim protein kinase C, asam askorbat oksidase, siklooksigenase (COX-1
dan COX-2), lipoksigenase (5-LOX, 12-LOX, 15-LOX), Na+/K+ ATPase, dan cAMP
fosfodiesterase. (Gorecka dkk., 2014)
Banyak senyawa flavonoid yang efektif mengikat ion-ion logam transisi, terutama
besi dan tembaga; dimana selain melakukan fungsi fisiologis dalam tubuh organisme juga
memiliki peran penting dalam metabolisme oksigen. Flavonoid mengkatalisis reduksi H2O2
selama radikal hidroksil yang sangat reaktif OHo dihasilkan. Dalam reaksi Fenton, yang
merupakan sumber RFT penting jika ada banyak ion besi atau tembaga, flavonoid dengan
unit 4-okso, unit katekol dan gugus hidroksil pada posisi C-3 dan C-5 merupakan yang paling
reaktif. (Gorecka dkk., 2014)
Flavonoid menangkap secara langsung ROS superoksida dan peroksinitrit. Dengan
penangkapan superoksida, dapat meningkatkan bioavailabilitas NO dan menghambat
pembentukan peroksinitrit ; atau flavonoid secara langsung dapat menangkap peroksinitrit
yang merusak vacorelaxation endotelium dan mengganggu endotelium, sehingga akhirnya
menyebabkan sirkulasi darah yang lebih baik seperti pada gambar 2.12. (Akhlaghi dan Brian,
2009)
Gambar 2.12. Pengaruh flavonoid terhadap radikal NO• (Akhlaghi,dan Brian,
2009)
47
Pengaruh flavonoid pada endotelium tergantung pada vasorelaxation, dimana
flavonoid akan menangkap O2• sehingga terjadi peningkatan sitosolik Ca2+ yang berperan
sebagai kofaktor untuk aktivasi eNOS atau peningkatan eNOS. Selain itu, penangkapan
peroksida dalam cairan interstisial, flavonoid akan melindungi NO• dan menghambat
phosphodiesterases (PDE) serta menurunkan Ca2+ dalam sel otot polos, hal ini meyebabkan
terjadinya peristiwa relaksasi (Akhlaghi, dan Brian., 2009) seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.13. Pengaruh flavonoid pada radikal superoksida (Akhlaghi dan
Brian,2009)
2.12.4. Flavonoid sebagai Antiinflamasi
Aktivitas antiinflamatori dari asam fenolat dan flavonoid propolis, menurut Gorecka
dkk (2014), adalah akibat dari sifat-sifat antioksidatifnya. Ketika membandingkan struktur
kimiawi flavonoid yang memiliki aktivitas antiinflamasi, telah ditemukan bahwa sifat-sifat
ini ditentukan oleh gugus hidroksil C-3’ dan C-4’ dalam cincin B, yang tidak bisa lebih dari
dua. Selanjutnya, bahwa aktivitas antiinflamatori terkait dengan penurunan sintesis
prostaglandin E2 (PGE2), tromboksan A2, leukotrien B4 dan NO (oksidat nitrat II), yang
48
berpartisipasi dalam reaksi-reaksi inflamasi. Ini adalah efek inhibisi sistem transformasi asam
arakidonat, akibat penghambatan pengaruh terhadap fosfolipase A2, lipoksigenase (5-, 12-
15-), siklooksigenase (COX-2) serta oksida nitrat sintase (iNOS). Aktivitas ini sebanding
dengan kerja analgesik dari indometasin.
Karena kandungan senyawa polifenolnya yang tinggi, propolis memiliki aktivitas
antiinflamasi baik pada proses inflamasi akut maupun kronis. Propolis memiliki efek
signifikan terhadap jalur metabolik asam arakidonat. Dalam beberapa penelitian
eksperimental, aktifitas inhibisi dari ekstrak propolis terhadap siklooksigenase COX-1, COX-
2 dan aktifitas lipoksigenase telah dilaporkan. Efek aktivitas ekstrak propolis adalah adanya
perubahan konsentrasi prostaglandin E2 dan leukotriena. Aktivitas inhibisi kuat dari ester
fenetil asam kafeat (CAPE) terhadap enzim saluran metabolik asam arakidonat dan efek
galangin lemah terhadap aktivitas siklooksigenase telah dilaporkan.
Interleukin IL-1β memiliki dampak besar terhadap kemunculan dan penyebaran
reaksi inflamasi. Pengaruh inhibisi propolis terhadap sintesisnya melalui inhibisi mRNA IL-
1β dan ekspresi NO sintase telah dilaporkan. Chrysin, kaempferol, quersetin dan galangin
yang terdapat dalam propolis mempengaruhi ekspresi mRNA – aktifitas terbesar telah
ditemukan untuk quersetin.
Propolis juga mempengaruhi metabolisme tulang (Amany dkk, 2008). Dalam
penelitian tersebut propolis digunakan secara oral dan ditemukan memiliki sifat protektif
yang sama seperti produk-produk alam terhadap efek obat antiepilepsi valproat terhadap
petanda-petanda imunologis pembentukan tulang pada pengerat. Propolis meningkatkan
petanda-petanda pembentukan tulang dan mengurangi resorpsi tulang. Ia juga meningkatkan
osteoprotegrin dan menurunkan TNF-α dan ligan NF κ-B yang menghambat
49
osteoklastogenesis. Para peneliti merekomendasikan penggunaan propolis sebagai sebuah
terapi profilaksis untuk pasien-pasien epilepsi dengan menggunakan valproat terhadap efek
samping valproat pada tulang.
Hambatan flavonoid terhadap NF-κB dapat menurunkan/menghambat produksi IL
proinflamasi, COX2 sehingga menghambat reaksi inflamasi (Han dkk, 2007 ; Kang dkk,
2009). Selama rangsangan inflamasi, translokasi NF-κB dari sitosol ke dalam inti sel
menginduksi ekspresi sejumlah besar gen yang terlibat dalam inflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α)
molekul adhesi, protein fase akut, serta enzim seperti nitric oxide syntrthase (NOS).
Sitokin proinflamasi dan mediator inflamasi merangsang peningkatan produksi COX2 dalam
makrofag dan sel endotel yang memberikan kontribusi edema dan vasodilatasi pada sisi
inflamasi (Prasetyo, 2013)
2.13. Flavonoid Menurunkan Kadar IL-1, Menaikkan Kadar VEGF, Meningkatkan
Osteoblas dengan Menurunkan Kadar MDA Darah
Flavonoid yang terkandung dalam propolis secara umum di antaranya adalah
quersetin. Quersetin mempunyai aktifitas antiinflamasi dan penghambatan aktivasi nuclear
factor-kappa B (NF-κB); yaitu suatu kompleks faktor transkripsi yang sangat berperan dalam
gen proinflamasi. Inflamasi sebagai hasil NF-κB, akan melepaskan mediator sekunder faktor
lipid dan ROS yang selanjutnya akan memperkuat inflamasi yang terjadi sehingga inflamasi
menjadi semakin parah. (Ang dkk, 2009 ; Rohman dkk, 2006 ; Prasetyo dkk, 2013)
Pada OTM dengan peningkatan jumlah ROS dan faktor lipid, secara otomatis
meningkatkan pula jumlah aktivasi NF-κB, akan menginduksi sejumlah gen inflamasi yang
lainnya seperti molekul sitokin dan kemokin seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-9, TNF-α, TNF-β ;
50
molekul adesi seperti ICAM-1, VCAM-1, P selectin. Selama terjadinya rangsangan inflamasi,
terjadi translokasi NF-κB dari sitosol ke dalam inti sel menginduksi ekspresi sejumlah besar
gen yang terlibat dalam inflamasi (Liu dan Malik, 2006); sehingga jumlah IL-1 pada kondisi
peradangan akut akan meningkat. Sejumlah penelitian yang telah lalu membuktikan bahwa
propolis dapat menurunkan atau menghambat terjadinya inflamasi. (Liu dan Malik, 2006;
Rohman dkk, 2006 ; Ang dkk, 2009)
CAPE (cafeid acid phenytel ester) sangat penting untuk aktivitas antiinflamasi
propolis. Karena turunan-turunan CAPE lebih bersifat lipofilik, sehingga dengan mudah
memfasilitasi masuknya ke dalam sel (Michaluart dkk, 1999). Telah dilaporkan oleh
Michaluart dkk. (1999) bahwa CAPE memiliki aktivitas antiinflamatori dengan menghambat
pelepasan asam arakidonat dari membran sel, dengan menekan aktivitas enzim COX-1 dan
COX-2, dan dengan menghambat aktivasi ekspresi gen COX-2. Propolis dengan CAPE dan
CAPE menghasilkan inhibisi signifikan volume eksudat dan migrasi leukosit yang diinduksi
oleh injeksi karaginin ke dalam kavitas (Borrelli dkk, 2002). Lebih lanjut, aktivitas inflamasi
yang diamati dari propolis tampak disebabkan oleh keberadaan flavonoid, khususnya
galangin. Bahkan, flavonoid ini telah terbukti menghambat COX dan aktivitas lipooksigenase,
menurunkan pelepasan prostaglandin E-2 dan ekspresi isoform COX-2 (Gabor dan Razga,
1991; Raso dkk, 2001).
Prasetyo dkk. (2013) meneliti bahwa propolis menurunkan inflamasi dan kadar MDA
pada tikus sepsis. Propolis mempunyai efek antiinflamasi dan antioksidan, dan kemampuan
menghambat produksi NF-κB. Peningkatan ROS pada keadaan sepsis dicegah oleh
antioksidan dengan indikasi penurunan kadar MDA. CAFE dalam propolis secara efektif
dapat menekan aktivitas NF-κB.
51
Wu dkk. (2013) melaporkan propolis hijau Brazilian mempunyai keterlibatan
perlindungan terhadap hipoksia inflamasi saraf. Kemampuan sebagai antioksidan adalah
sebagai reduksi stres oksidatif dan reduksi jalur NF-κB dependen pada mikroglia.
Simanjuntak (2012) menyatakan bahwa zat bioaktif quersetin dan rutin menurunkan aktivitas
xantin oksidase, enzim penghasil radikal bebas sehingga menurunkan kerusakan setelah
reperfusi iskemi dengan induksi aktivitas nitrit oksida sintetase. Propolis Yogyakarta pada
studi awal penelitian menunjukkan banyak kandungan quersetin dan adanya rutin.
Menurut Gorecka (2012), turunan dihidroksi asam benzoat polifenol, menunjukkan
sifat-sifat antioksidatif paling kuat apabila gugus-gugus hidroksil terdapat pada posisi 3 dan
5. Di antara turunan asam benzoat, asam galat mengandung tiga gugus hidroksil pada posisi
3, 4, dan 5, ditandai dengan sifat-sifat antioksidatif yang sangat baik. Esterifikasi gugus
karboksil pada asam galat mengurangi kemampuan antioksidannya. Pada studi awal
penelitian menunjukkan propolis Yogyakarta mengandung asam galat.
Sifat antioksidatif polifenol propolis yang paling kuat menurut Gorecka (2012),
ditunjukkan oleh flavon-3-ol seperti quercetin. Sifat-sifat antioksidan yang kuat dan efektif
dari flavonoid dihasilkan dari unsur dalam strukturnya seperti, (1) Gugus orto-dihidroksi
(katekol) pada cincin B, yang menunjukkan kemampuan signifikan untuk mengikat oksigen
(ROS) dan radikal nitrogen (RNS) dan memastikan stabilitas tinggi radikal fenoksil yang
dihasilkan. Gugus hidroksil pada cincin B adalah donor elektron dan nitrogen untuk radikal,
(2) Ikatan rangkap antara karbon C-2 dan C-3 dan keberadaan gugus 4-okso pada cincin C
adalah penyebab dislokasi sebuah elektron dalam cincin B. Sifat-sifat antioksidatif dihasilkan
oleh dislokasi sebueh elektron unit aromatik. Selama reaksi senyawa dengan radikal bebas,
radikal fenoksil dihasilkan dan distabilkan dengan efek resonansi cincin aromatik, (3) Gugus
52
hidroksil dekat karbon C-3 dan C-5 dengan adanya gugus 4-okso pada cincin A dan C
menghasilkan efek pengikatan radikal bebas yang maksimum. Selanjutnya, aktivitas
antioksidan dari asam fenolat menurut Gorecka terdiri dari pengikatan radikal bebas
(superoksida, hidroksil, dan hidroksil superoksida), mengikat ion-ion logam (besi, tembaga),
serta mengubah aktivitas enzim-enzim dengan menghambat oksidase.
Propolis menurut penelitian bermanfaat untuk kesehatan tulang; sebagai antioksidan,
antiinflamasi dan merangsang angiogenesis. (Banskota dkk, 2000 ; Onlen dkk, 2007 ; Amany
dkk, 2008 ; Seven dkk, 2009; Guney dkk, 2011). Faktor angiogenesis penting untuk
terjadinya osteogenesis (Nayak dkk, 2013). Faktor kemokin, sitokin, faktor pertumbuhan
seperti VEGF adalah molekul utama yang terlibat dalam sel tulang, pada aktivasi, proliferasi,
diferensiasi dan kelangsungan hidup ; mulai menstimulasi PDL, sel tulang mengatur
inflamasi diikuti resorpsi tulang, dan osteoklastogenesis OTM pada daerah tekanan dan
regangan. (Nayak dkk, 2013 ; Andrade dkk, 2014)
Menurut Nayak (2013), iskemia dan hipoksia terjadi pada sisi tekanan OTM sebagai
akibat dari penurunan suplai darah. Hipoxia Inducible Factor-1 (HIF-1) menghambat
signaling Wnt pada osteoblas, sehingga menghambat diferensiasi osteoblas karena signaling
Wnt bertanggung jawab untuk diferensiasi osteoblas. MEPE yang dihasilkan oleh osteoblas
terlibat dalam pengenalan integrin. Integrin memegang peran penting dalam mekanisme
signaling sel. Sel-sel epitelium menghasilkan integrin, sitokin, VEGF. Integrin juga
dihasilkan oleh osteoblas. VEGF dihasilkan oleh sel-sel endotelial vaskuler, osteoblas,
osteoklas dan fibroblas.
VEGF secara langsung mempromosikan diferensiasi osteoblas manusia primer in
vitro dengan meningkatkan pembentukan nodul dan aktivitas alkalin fosfatase dengan cara
53
tergantung dosis. Juga dilaporkan bahwa VEGF diekspresikan dengan kadar rendah pada
awal diferensiasi osteoblas dan ekspresinya meningkat tajam hanya selama diferensiasi
terminal dan mencapai ekspresi maksimum selama periode mineralisasi. Dengan demikian,
VEGF memegang peran esensial dalam regulasi penataanulang tulang dengan menstimulasi
diferensiasi osteoblas. (Yang dkk, 2012)