BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Definisi Tuberkulosiseprints.umm.ac.id/61155/3/BAB II.pdfparu dewasa...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Definisi Tuberkulosiseprints.umm.ac.id/61155/3/BAB II.pdfparu dewasa...
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Kuman penyebab penyakit ini berukuran 0,3-0,6
mikron berbentuk bacilli lurus atau fi lamen. Organ bakteri ini tersusun atas protein,
lipid dan polisakarida, sedangkan penyusun organ terbesar adalah lipid yang
menyebabkan bakteri tahan terhadap asam. Adanya cord faktor merupakan
mikosida yang berhubungan dengan virulensi. Suhu optimal pertumbuhan bakteri
ini ini adalah 37°C, bakteri ini sangat mampu bertahan dalam kondisi asam dengan
pH optimum 6,5-6,8. Mycobcaterium tuberculosis dikenal dengan bakteri tahan
asam yang masuk dalam kategori gram positif. Bakteri ini cenderung sulit untuk
diwarnai, akan tetapi ia akan dengan mudah mengikat zat warna Ziehl Niehlsen
yang tidak larut dalam alcohol (Crofton et al., 2002). Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae
dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan
gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TBC (Infodatin tuberkulosis, 2018)
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis. Ini biasanya menginfeksi paru-paru (TB paru) tetapi
juga dapat menyerang jaringan lain (TB ekstra paru). Penyakit ini menyebar saat
orang yang terinfeksi TB paru sedang mengeluarkan bakteri ke udara , misalnya
dengan batuk. Seluruh keseluruhan, dalam proporsi yang relative kecil (5-15%) dari
perkiraan 1,7 miliar orang yang terinfeksi M. tuberkulosis akan mengembangkan
penyakit TB selama hidupnya. Namun, kemungkinan pengembangan penyakit TB
jauh lebih tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV dan juga diantara orang-orang
yang terkena dampak faktor risiko seperti gizi buruk, diabetes, merokok dan
konsumsi alcohol (WHO, 2017).
6
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana menyebabkan jutaan orang
meninggal setiap tahun akibat penyakit TB. Menurut badan kesehatan dunia World
Health Organization (WHO) Tuberkulosis (TB) adalah salah satu dari 10 penyebab
kematian terbesar di dunia. Selain itu juga TB paru merupakan salah satu pembunuh
utama pada penderita human immunodeficiency virus (HIV) (WHO, 2018).
2.2 Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosisi merupakan peringkat ke-9 penyebab kematian di seluruh
dunia dan penyebab utama dari satu agen infeksius,, berada di atas HIV/AIDS.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2016,
diperkirakan ada sekitar 1,3 juta kematian TB dengan HIV-negatif (turun dari 1,7
juta pada tahun 2000) dan tambahan 374.000 kematian TB dengan HIV-positif.
Diperkirakan 10,4 juta orang (90% dewasa, 65% laki-laki, 10% dengan infeksi
HIV) yang terserang TB pada tahun 206 (WHO,2017).
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8
juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara
dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan
seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.2.1 Estimasi Incidence Rate TBC per 100.000 penduduk, 2016
Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan
Asia Tenggara (45%)—dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan
7
25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara
dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3
indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk
dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut,
atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara
lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia
memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi
TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Gambar 2.2.2 Estimasi Jumlah Kasus Baru (incidence) TBC di
Negara yang Memiliki Paling Sedikit 100.000 Kasus Baru, 2016
(Infodatin Tuberkulosis, 2018).
Secara epidemiologi, sebaran TB lebih banyak menyerang orang dewasa
pada usia produktif. Akan tetapi, semua kelompok usia berisiko TB. Pada kelompok
anak-anak ditemukan satu juta anak-anak (0-14 tahun) jatuh sakit karena TB, dan
170.000 anak-anak meninggal karena TB pada tahun 2015. Risiko TB aktif lebih
besar pada orang yang menderita kondisi yang mengganggu sistem kekebalan
tubuh. Selain itu, perilaku penggunaan tembakau sangat meningkatkan risiko
8
penyakit TBC dan kematian. Lebih dari 20% kasus TB di seluruh dunia disebabkan
oleh merokok (WHO, 2015).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia tahun 2017 ditemukan
jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan
semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729
kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus
tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di
Indonesia . Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur terdapat jumlah penderita
TB BTA Positif 23.183 orang, yang tersebar di seluruh kabupaten maupun kota
dengan urutan terbanyak antara lain Kota Surabaya sebanyak 2.382, Kabupaten
Jember sebanyak 2.153, dan Kabupaten Sidoarjo sebanyak 1.215. Kasus TB pada
anak juga ditemukan dengan umur berkisar antara (0-14 tahun) di Kabupaten
Sidoarjo, dan juga ditemukan 37 orang (1,77%) dari perkiraan pasien anak yang
ada di Sidoarjo 353 orang. Melihat masih banyak anak yang belum di temukan
maka perlunya investigasi kontak yang lebih intensif pada pasien TB terutama
pasien TB terkonfirmasi bakteriologi Target angka keberhasilan pengobatan TB
Paru Tahun 2017 adalah sebesar 90%. Angka keberhasilan pengobatan TB Paru
(TSR) selama Tahun 2017 tercapai 89,64% sedangkan pada tahun 2016 tercapai
sebesar 89,48% (Dinkes Jatim, 2017).
2.3 Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat
beberapa spesies Mycobacterium, M, tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
leprae dan sebagainya yang juga di kenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
(Kemenkes RI, 2014).
TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Mtb), penyebaran
bakteri tersebut melalui udara yang mengandung suatu gelembung cairan (droplet
nuclei) yang didapat dari penderita aktif TB. Partikel tersebut berukuran 1-5 μm
sehingga tidak dapat dilihat oleh mata dan dapat bertahan di udara selama beberapa
jam. Saat droplet terhirup melalui mulut atau saluran hidung selanjutnya saluran
pernapasan atas dan masuk ke bronkus kemudian menuju alveolus. Bakteri Mtb
9
menyerang paru-paru bagian atas dimana terdapat aliran udara yang baik karena
bakteri Mtb merupakan organisme aerobik obligat sehingga membutuhkan oksigen
untuk tumbuh. Selain itu, bakteri Mtb bersifat parasit intraseluler fakultatif, yaitu
patogen yang dapat hidup serta bereplikasi di dalam maupun di luar sel hospes (sel
fagositik), seperti monosit dan makrofag. Kemampuan ini diatur dengan baik oleh
ESX-1 sebagai sistem sekresi protein bakteri (CDC, 2016; Sakamoto, 2012).
Penularan bakteri Mycobacterium Tuberculosis terjadi ketika pasien TB
paru mengalami batuk atau bersin sehingga bakteri Mycobacterium Tuberculosis
juga tersebar ke udara dalam bentuk percikan dahak atau droplet yang dikeluarkan
penderita TB paru. Jika penderita TB paru sekali mengeluarkan batuk maka akan
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan percikan dahak tersebut telah
mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pasien suspek TB paru yang
mengalami gejala batuk lebih dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang
yang kontak dengan pasien suspek TB paru, sedangkan pasien suspek TB paru yang
mengalami batuk kurang dari 12 kali/malam maka akan dapat menginfeksi 28%
dari orang yang kontak dengan pasien yang suspek TB paru (Kemenkes RI, 2016).
2.4 Patofisiologi Tuberkulosis
Basil tuberkel yang terhirup dan bersarang pada alveoli. Seringkali,
organisme ini dengan segera hancur, tanpa gejala sisa kekebalan dan patologis lebih
lanjut. Jika organisme tidak hancur, mereka berkembang biak dan melukai dan
menghancurkan jaringan alveolus sekitarnya. Hal ini pada gilirannya
menghancurkan sitokin dan faktor kemotaktik yang menarik makrofag, neutrofil,
dan monosit. Biasanya, pertumbuhan organisme akan diperiksa sekali ada respons
imunitas seluler yang adekuat (imunitas bermedia seluler, CMI), yang terjadi dalam
2-6 minggu. Sel dan bakteri membentuk sebuah nodul, sebuah granuloma yang
mengandung basil TB, yang disedut sebagai suatu tuberkel. Pada titik ini,
tergantung pada faktor peamu dan virulensi dari strain, beberapa hasil akhir yang
berbeda dapat dicapai. Kedua, Jika ada pertumbuhan lebih lanjut, basil memasuki
kelejar limfe dan menginfeksi kelenjar getah bening hilus, menyebabkan
limfadenopati. Tuberkel maupun kelenjar getah bening mengalami kasifikasi,
sebagia konsekuensi jangka panjang proses jaringan perut dan penahan.
10
Gabungan tuberkel perifer dan kelenjar limfe hilus yang membesar dan
mengalami klasifikasi disebut komples Ghon. Sebagain besar infeksi yang
berembang sampai titik ini biasanya menunda pemeriksaan, menciptakan infeksi
laten. Sebagian kecil pasien mengalami penyakit primer progresif di paru, dan
sangat sedikit pasien (sering kali kekebalan ditekan melalui satu mekanisme atau
hal lainnya) mengalami penyebaran hematogen, dengan produksi tuberkel yang tak
terhitung di saluran tubuh. Keadaan ini disebut tuberkulosis militer dan
berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Pasien yang memiliki respons
CMI sukses akan mencerminkan memori imunologi infeksi dengan tes mantoux
positif. Tes ini terdiri dari suntikan protein TB intradermal steril ada mengamati
tanda-tanda respon kekebalan, indurasi dari tempat suntikan 48-72 jam setelah
suntikan. Tes mantoux merupakan andalan tes paparan, yang tercakup dalam
rincian lebih besar pada bagian pengobatan dan pencegahan di awal. Infeksi laten
tidak selalu tetap laten.
Sekitar 10% dari pasien akan mengaktifkan kembali infeksi laten mereka
dalam 3 tahun pertama setelah ifeksi, berlanjut menjadi infeksi nekrotik destruktif
dengan gejala konstitusi yang menonjol. Kerusakan jaringan terlihat sebagai efek
dari organisme dan respons kekealan pajemu. Sekelompok tambahan pasien akan
terus berlangsung untuk di kemudian hari megaktifkan kembali dekade setelah
paparan, karena usia, pengobatan, atau penyakit kambuhan mengubah
keseimbangan di antara pejamu dan organisme (Ringel, 2012).
2.5 Manifestasi Klinis Tuberkulosis
Gejala tuberkulosis paru adalah demam 40-41°c, sertaada batuk/batuk
darah, sesak napas dan nyeri dada, malaise, keringat malam, suara khas pada
perkursi dada, bunyi dada, peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit,
pada anak terjadi berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
atau gagal tumbuh, demam tanpa sesab jelas, dengan atau tanpa wheeze, batuk
kronik > 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze, riwayat kontak dengan pasien TB
paru dewasa (Amin, H, 2015).
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
11
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan
merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama
2 minggu atau lebih (Infodatin Tuberkulosis, 2018).
2.6 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis M. tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik atau jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Diagnosis TB paru
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
c. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
d. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
fototoraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang
khaspada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
2. Diagnosis TB ekstra paru
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kudukpada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesarankelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
b. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena
(Kemenkes RI, 2011).
2.6.1 Pemeriksaan Mikroskopis Cara Ziehl Neelsen
Pemeriksaan sputum secara mikroskopis untuk diagnosis merupakan
pemeriksaan yang mudah, cepat dan murah. Hasil yang baik didapatkan dengan
membuat sediaan diwarnai dengan cara Tan Thiam Hok (Kinyoun-Gabbett) atau
12
cara Ziehl-Neelsen. Pewarnaan tahan asam terlihat bakteri berwarna merah dan
latar belakang berwarna biru, hasil positif ditentukan oleh jumlah bakteri 5.000-
10.000/ml sampel dahak/sputum, hasil negatif belum tentu tidak ada bakteri. Daya
mikroskop cahaya biasa sangat terbatas untuk dapat mendeteksi jumlah bakteri
yang sedikit. Mikroskop fluoresens daya melihat diperbesar sedikit dengan luas
pandangan yang lebih besar karena lensa obyektif yang lebih besar dan gambar
yang terlihat cukup jelas karena berfluoresensi zat warna auramin rhodamin. Hasil
positif secara mikroskop tidak berarti diagnosis definitif (Utji, 2013).
Kendala pada pemeriksaan mikroskopik bergantung pada kualitas
pengambilan sputum. Sputum yang dihasilkan pada pagi hari sering menunjukkan
jumlah konsentrasi Mycobacterium Tuberculosis yang lebih tinggi. Persiapan yang
tepat dan interpretasi atau penafsiran hasil pemeriksanya merupakan hal terpenting
dalam pemeriksaan ini. Dengan demikian, teknisi laboratorium harus dilatih dan
terus diawasi kualitasnya (Kemenkes RI, 2012).
2.6.2 Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi bertujuan menegakkan diagnosis dan menentukan
klasifikasi/tipe, menilai kemajuan pengobatan, dan menentukan tingkat penularan.
Pemeriksaan bakteriologi penting untuk menemukan M. tuberculosis, semua pasien
yang dicurigai tuberkulosis paru diperiksa tiga spesimen dahak dalam dua hari
kunjungan, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) (PDPI, 2011). Pemerksaan ini di
rekomedasikan untuk semua pasien yang di duga menderita TB paru. Pemeriksaan
sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhsilan pengobatan
dan menenttukan potensi penularan :
S (sewaktu) : dahak ditampung saat pasien terduga TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Saat pulang, pasien membawa sebuah pot dahak
untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur, pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
fasyankes.
S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Kemenkes RI, 2014).
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan
13
ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan
BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+)
disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011).
2.6.3 Pemeriksaan Kultur (Biakan)
Perbenihan padat menggunakan media Kudoh atau Lowenstein Jensen,
dimana media ini mengandung telur, gliserol, garam-garam mineral, malachite
green dan dicampur dengan penicillin untuk membunuh bakteri lainnya. pH media
antara 6,4 - 6,8. Setelah penambahan dengan NaOH bakteri langsung ditanam pada
perbenihan dan dieramkan pada suhu 37oC. Pertumbuhan bakteri aerob obligat
tampak setelah 3 – 6 minggu. Koloni cembung, kering dan berwarna kuning gading
(Girsang, at all , 2006).
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah
untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
- Pasien TB Ekstra Paru
- Pasien Tb Anak
- Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2011).
2.6.4 Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax memegang peran penting sebagai pendeteksi dini TB paru.
Tuberkulosis sering kali didapatkan pada foto thorax yang awalnya diperiksa untuk
kepentingan medical check-up dan pemeriksaan untuk toleransi operasi. Pada
pasien dengan sputum BTA positif, foto thorax berperan penting dalam menilai luas
lesi serta komplikasi yang terjadi. Pada akhir pengobatan TB, foto thorax berperan
dalam penilaian sekuele di paru serta di pleura. Ada beberapa gambaran radiologi
thorax yang khas pada Tuberkulosis paru. Pola kelainan tersebut yaitu kelainan di
apek berupa infiltrat, ditemukan kavitas atau ditemukannya nodul retikuler.
Sensitivitas dan spesifisitas foto thorax dalam mendiagnosis Tuberkulosis yaitu
86% dan 83% apabila ditemukan ketiga pola kelainan diatas. Tuberkulosis paru
minimal ditemukan 1 dari 3 pola kelainan diatas (Majdanawati, 2016).
2.6.5 Uji Tuberkulin atau Tuberculin Skin Test (TST)
Test ini dilakukan oleh dokter, dimana dokter menyuntikkan kuman TBC
yang sudah dilemahkan dibawah kulit anda. Pembawa kuman TBC akan
14
memperlihatkan bercak kemerahan dibagian suntikan tersebut dalam waktu 2 hari.
Tetapi sayangnya test ini tidak bisa menjadi sumber informasi untuk mengetahui
apakah infeksi ini bisa menyebar ke orang lain (Andareto, 2015).
TST ini digunakan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi dengan
M. Tuberkulosis. Pada kebanyaan orang yang terinfeksi TB, sisten kekebalan tubh
akan mengenali tuberculin ini karena tuberculine diekstraksi dari basil tuberkulum
yang menyebabkan infeksi. Dibutuhkan 2 sampai8 minggu setelah infeksi awal oleh
M. Tuberculosis agar sistemkekebalan tubuh dapat bereaksi terhadap tuberculin dan
infeksi akan terdeteksi oleh TST (CDC, 2013).
2.6.6 Uji Kepekaan Obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap
OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang
tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA).
Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria
suspek TB-MDR (Kemenkes RI, 2011).
2.7 Faktor Risiko Tuberkulosis
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan malnutrisi
(gizi buruk).HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan
tubuh seluler, sehingga jika terjadi infeksi penyerta, seperti tuberkulosis, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula (Depkes, 2008).
Berikut ini adalah beberapa faktor risiko TB :
1. Umur
Insidensi tertinggi biasanya mengenai usia dewasa muda (usia
produktif).
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak
menderita TB Paru.Hal ini disebabkan laki-laki lebih banyak melakukan
mobilisasi dan mengkonsumsi alkohol dan rokok.
15
3. Gizi
Penyakit TB dihubungkan dengan keadaan gizi yang buruk, dimana
daya tahan tubuh akan menurun sejalan dengan penurunan status gizi.
Seseorang dengan status gizi dan kekebalan tubuh yang buruk akan mudah
terserang penyakit TB.
4. Merokok
Kasus TB meningkat pada pasien perokok dibandingkan dengan
pasien yang tidak merokok.
5. Status ekonomi
Kemiskinan menghalangi manusia mendapatkan kebutuhan dasar
untuk hidup dan menyebabkan daya tahan tubuh menurun yang
memudahkan terjadinya penyakit infeksi.
6. Penyakit lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS
menyebabkan lebih mudah penderitanya terserang penyakit TB Paru.
Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun, pasien akan
50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang
tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes, 2008).
2.8 Komplikasi Tuberkulosis
Penderita TB sering terjadi komplikasi dan resistensi. Komplikasi berikut
sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1. Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal,
dan sebagainya.
16
6. Insufisiensi Kardio Pululmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
7. Gagal ginjal : Pasien TB dengan gagal ginjal sebaiknya tidak
menggunakan streptomisin dan etambutol dalam pengobatannya. Hal ini karena
kedua obat tersebut diekskresi melalui ginjal. Jika tetap diberikan memungkinkan
obat tersebut tidak dapat dieksresikan dari dalam tubuh karena ketidakmampuan
ginjal. Akibatnya akan menimbulkan efek toksik dalam tubuh. Oleh karena itu
dapat diberikan pengobatan dengan INH, rifampisin, dan pirazinamid untuk pasien
TB dengan gagal ginjal. Ketiga obat tersebut diekskresi melalui empedu dan dapat
diubah menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. Paduan OAT yang paling
aman untuk pasien TB dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu perawatan di rumah sakit.
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA
Negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan
dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak
diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis. Bila perdarahan berat,
penderita harus dirujuk ke unit spesialistik (Departemen Kesehatan RI, 2005).
2.9 Klasifikasi Tuberkulosis
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
1) Tuberkulosis paru
adalah Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB
dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleuratanpa terdapat
gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru
adalah Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita
17
TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada
organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya
atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau
lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
I. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
II. Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
III. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat /default).
IV. Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
1) Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
2) Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
3) Multi drug resistan (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
18
4) Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin) 5) Resistan Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko – infeksi TB/HIV) adalah pasien
TB dengan :
a. Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapat ART
b. Hasil HIV positif pada saat diagnosis TB
2) Pasien dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan :
a. Hasil HIV negatif sebelumnya
b. Hasil HIV negatif pada saat dignosis TB
3) Pasien dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan (Kemenkes RI,
2014).
2.10 Penatalaksanaan Terapi Tuberkulosis
Tujuan pengobatan TB adalah :
1. menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien
2. mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
3. mencegah kekambuhan TB
4. mengurangi penularan TB kepada orang lain
5. mencegah perkambangan dan penularan resisten obat
2.11 Tahap Pengobatan Tuberkulosis
2.11.1 Tahap Intensif
Pada tahap ini, penderita mendapatkan OAT setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung. Penderita TB tidak akan menular dalam kurun
waktu dua minggu jika pengobatan yang diberikan pada tahap intensif ini
tepat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam
dua bulan (Depkes, 2014).
19
2.11.2 Tahap Lanjutan
Pada tahap ini, penderita mendapatkan obat yang lebih sedikit dari
tahap awal namun pengobatan yang dilakukan lebih lama yaitu selama 4-6
bulan. Tahap lanjutan diperuntukkan agar kuman persister (dormant) mati
sehingga tidak menyebabkan kekambuhan. (Depkes, 2014).
2.12 Terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
2.12.1 Terapi Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis aktif diobati dengan terapi kombinasi yang
terdiri atas 3 atau lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan TB
aktif umumnya diberikan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid
(PZA) dan etambutol (EMB) selama 2 minggu yang merupakan fase intensif.
Kemudian terapi dilanjutkan dengan pemberian isoniazid dan rifampisin
selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri yang
telah masuk kedalam kondisi dormant. Tujuan awal dari terapi kombinasi
tersebut adalah untuk meminimalkan perkembangan resistensi terhadap
streptomisin setelah obat tersebut diperkenalkan pertama kali. Saat ini,
standar terapi untuk infeksi TB sensitif obat sangat efektif dalam pembersihan
bakteri (Hoagland dkk, 2016).
20
Gambar 2.2.3 Obat lini pertama saat ini untuk terapi MTB
sensitif obat (Hoagland dkk, 2016).
2.13 Terapi Obat Anti Tuberkulosis KDT
Obat anti tuberkulosis KDT (Kombinasi Dosis Tetap) adalah sebuah
pil yang mengandung lebih dari satu bahan aktif. Obat ini kemungkinan berisi
dua, tiga, atau empat bahan aktif yang ada dalam satu tablet. Terdapat sebuah
penelitian yang menunjukkan bahwa farmakokinetik, konsentrasi plasma, dan
absorbsi dari KDT sama dengan obat anti tuberkulosis tunggal. Standar
internasional untuk Perawatan TB (ISTC 2014), merekomendasikan
penggunaan KDT untuk pasien yang menderita tuberkulosis (Gallardo et al,
2016).
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
(Depkes RI, 2011).
Tabel I.I Klasifikasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
Obat anti-TB lini pertama Kelompok 1
Oral: isoniazid (INH/H),
rifampisin/rifampin (RIF/R),
pirazinamid (PZA/Z), etambutol
(EMB/E), rifapentin (RPT/P) atau
rifabutin (RFB)
Kelompok 2
Aminoglikosida injeksi: streptomisin
(STM/S), kanamisin (Km), amikasin
(Amk).
21
Polipeptida injeksi: kapreomisin (Cm),
viomisin (Vim)
Obat anti-TB lini kedua
Kelompok 3
Fluoroquinolon oral dan injeksi:
ciprofloksasin (Cfx), levofloksasin
(Lfx), moxifloksasin (Mfx), ofloksasin
(Ofx), gatifloksasin (Gfx)
Kelompok 4
Oral: asam para-aminosaslisilat (Pas),
sikloserin (Dcs), terizidon (Trd),
etionamid (Eto), protionamid (Pto),
Obat anti-TB lini ketiga Kelompok 5
Clofazimin (Cfz), linezolid (Lzd),
amoksisilin plus klavulanat
(Amx/Clv), imipenem plus cilastatin
(Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).
(Zumla dkk., 2013)
Tabel I.2 OAT Golongan Pertama
Nama obat Sifat Efek samping
Isoniasid (H) Bakterisidal Neuropati perifer, psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome, gangguan
gastrointestinal, urine berwarna merah,
gangguan fungsi hati, trombositopeni,
demam, skinrash, sesak nafas, anemia
hemolitik
22
Pirazinamide(Z) Bakterisidal Gangguan gatrointestinal, gangguan
fungsi hati, gout artritis
Streptomisin(S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran,
renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni
Etambutol(E) Bakteriostatiki Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer
(Kemenkes RI, 2014).
Table I. 3 Kisaran Dosis OAT lini pertama bagai pasien dewasa
OAT Dosis
Harian 3x/ minggu
Kisaran Dosis
(mg/kg BB)
Maksimum
(mg)
Kisaran Dosis
(mg/kg BB)
Maksimum/h
ari (mg)
Isoniasid 5 ( 4 – 6 ) 300 10 ( 8 – 12 ) 900
Rifampisin 10 ( 8 – 12 ) 600 10 ( 8 – 12 ) 600
Pirazinamid 25 ( 20 – 30 ) - 35 ( 30 – 40 ) -
Straptomisin 15 ( 15 – 20 ) - 30 ( 25 – 35 ) -
Etambutol 15 ( 12 – 18 ) - 15 ( 12 – 18 ) 1000
(Kemenkes RI, 2014 ).
Catatan : pemberian streptomisi untuk yang berumur >60 tahun atau pasien dengan
berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis >500 mg/hari.
23
Tabel. I.4 Efek Samping OAT Golongan Pertama dan Penatalaksanaan
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Minor
Tidak nafsu makan,
mual, sakit perut
( gangguan GI)
Isoniazid,
Rifampisisn,
Pirazinamid.
Obat diminum malam sebelum
tidur. Apabila masih ada keluhan,
OAT ditelan dengan sedikit
makanan. Apabila keluhan
semakin hebat disertai muntah ,
waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Nyeri Sendi Pirazinamid Beri Aspirin, Parasetamol atau
obat anti radang non steroid
Kesemutan hingga
rasa terbakar di
telapak kaki atau
tangan
Isoniazid Beri vitamin B6 (Piridoxin) 50-75
mg/hari
Warna kemerahan
pada air seni (urin)
Rifampisin Tidak membahayakan dan tidak
perlu diberi obat penawar tapi
perlu penjelasan kepada pasien
Flu sindrom
(demam, menggigil,
lemas, sakit kepala,
nyeri tulang)
Rifampisin
dosis
intermiten
Pemberian R diubah dari
intermiten menjadi setiap hari
Mayor
Bercak kemerahan
kulit (rash) dengan
atau tanpa rasa gatal
Isoniazid,
Rifampisisn,
Pirazinamid,
Streptomisin.
Bila keluhan gatal tanparash dan
tidak ada penyebab lain, maka
diberikan antihistamin, namun jika
keluhan disertai rash semua OAT
harus dihentikan dan segeera rujuk
ke dokter.
24
Gangguan
pendengaran (tanpa
ditemukan serumen)
gangguan
keseimbangan,
penurunan produksi
urine
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterus tanpa
penyebab lain (
penyakit kuning)
Isoniazid,
Rifampisisn,
Pirazinamid.
Semua OAT dihentikan sampai
ikterus menghilang
Bingung, mual
muntah (dicurigai
terjadi gangguan
fungsihati apabila
disertai ikterus)
Smua jenis
OAT (RHZ)
Semua OAT dihentikan dan segera
melakukan pemeriksaan fungsi hati
Gangguan
penglihatan
Etambutol Etambutol dihentikan
Pupura, renjatan
(syok), gagagl ginjal
akut
Rifampisin Rifampisin dihentikan
(Kemenkes RI, 2014).
2.13 Terapi Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama
2.13.1 Isoniazid
Gambar 2.2.4 Struktur Kimia Isoniazid (Pubcem.com)
Dosis. Dewasa : 5 mg/kgBB/ hari (4-6 mg/kgBB/hari), anak :10 mg/kgBB
per hari (10-15 mg/kgBB/hari). Untuk dewasa dengan BB 30-45 kg, dosis per hari
25
200 mg diberikan dalam dosis tunggal. Untuk pasien dengan BB > 45 kg, per hari
300 mg diberikan dalam dosis tunggal (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
Mekanisme Kerja. Isoniazid merupakan asam isonikotinat hydrazide,
dimana sebuah molekul kecil yang larut dalam air yang mudah menembus sel.
Mekanisme kerjanya melibatkan penghambatan sintesis asam sel dinding mycolic
melalui jalur oksigen seperti reaksi katalase-peroksidase (Wiener et al., 2012).
Farmakokinetik. Dari. usus sangat cepat difusinya ke dalam
jaringanmdan cairan tubuh, di dalam hati, Isoniazid diasetilasi oleh enzim
asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. t ½ nya antara 1 jam dan 4 jam
tergantung pada kecepatan asetilasi. Eksresinya terutama melalui ginjal dan
sebagian besar sebagai asetilisoniazid (Brunton et al., 2011).
Interaksi Obat. Obat antasida dapat meningkatkan pH lambung dan
memperlambat absorbsi dari isoniazid sehingga obat ini dapat di berikan 1 jam
setelah mengkonsumsi isonazid. Isoniazid merupaakan inhibitor darisitkom P450
(CYP450) sehingga dapat meningkatkan kadar plasma dalam obat-batan tertentu
yang memiliki toksisitas yang tinggi. Diantaranya obat-obat tersebut yaitu obat
antikonvulsan, golongan benzodiazepin (diazepam dan triazolam), teofilin, asam
valproat, disulfiram, paracetamol, dan antikoagulan oral. Pada penggunaan
bersamaan antara isoiazid dengan levodopa dapat menyebabkan hipertensi,
palpitasi dan flushing pada wajah (Arbex et al, 2010)..
Efek Samping. mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala,
vertigo, neuritis perifer, neuritis optik, kejang, episode psikosis; reaksi
hipersensitivitas seperti eritema multiform, demam, purpura, anemia,
agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom SLE,
pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia, pendengaran berkurang,
hipotensi, flushing (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015). Efek samping INH
yaitu kesemutan sampai dengan rasa terbakar di telapak kaki atau tangan,
tatalaksana terapi untuk efek samping ini diberikan vitamin B6, (Depkes RI,
2014).
26
2.13.2 Rifampisin
Gambar 2.2.5 Struktur Kimia Rifampisin
(drugbank.com)
Dosis. Dewasa dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB >50kg
adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari 8mg/kgBB).
Anak : 10-20 mg/kgBB sebagai dosis harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg)
(Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
Mekanisme Kerja. Rifampisin adalah bakterisidal terhadap bakteri yang
langsung menembus sebagian besar jaringan dan sel fagosit. Rifampisin dapat
membunuh organisme yang resisten terhadap berbagai jenis obat, seperti
organisme intra-sel dan yang berada di rongga abses dan paru-paru. Mekanisme
kerja Rifampisin dengan menghambat sintesa RNA dari mikrobakterium (Juwita
et al, 2013).
Farmakokinetika. Rifampisin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna.
Untuk masuk ke dalam darah, rifampisin harus melewati membran enterosit.
Membran ini mengandung Pglycoprotein (PGP) yang merupakan transporter
efflux. PGP akan mengikat dan selanjutnya menghidrolisa ATP untuk
menghasilkan energi yang digunakan untuk transport rifampisin melintasi
membran sel (Sampurno, 2015).
Interaksi Obat. Rifampisin merupakan antibiotik semisintetik yang
mempunyai efek bakterisid terhadap mikobakteri dan organisme gram positif.
Pada dosis tinggi juga efektif terhadap organisme gram negatif. Rifampisin
memiliki efek samping gangguan gastrointestinal (saluran cerna) seperti rasa
panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang
perut dan diare (Sari, 2014).
27
Efek Samping. Gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia,
diare, pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi
(napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut,
purpura trombo-sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam;
gangguan sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia,
lemah otot, psikosis. Efek samping lain seperti udema, kelemahan otot, miopati,
lekopenia,, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna kemerahan pada urin, saliva
dan cairan tubuh lainnya : tromboplebitis pada pemberian per infus jangka
panjang (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015). Rifampisin juga dapat berefek
menghilangkan nafsu makan, untuk itu diperlukan pemberian obat penambah
nafsu makan yaitu curcuma (Depkes RI, 2014).
2.13.3 Pirazinamid
Gambar 2.2.6 Struktur Kimia Pirazinamid
(drugbank.com)
Dosis. Pasien dewasa, kisaran dosis harian yang digunakan adalah
25mg/kgBB (20-30 kg/BB) dengan dosis maksimumumnya 2000 mg. untuk dosis
yang di gunakan pada frekuensi pengobatan 3 kali per minggu sebesar 35mg/kgBB
(30-40/kgBB) (Kemenkes RI, 2014).
Mekanisme Kerja. Pirazinamid mirip dengan isoniazid yaitu memiliki
aktivitas antibakteri dan merupakan spektrum sempit. Obat bakterisida ini aktif
dalam lingkungan asam (pH ± 6). Pirazinamid dianggap prodrug dan diubah oleh
basil tuberkel ke bentuk asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase. Begitu pH
dalam makrofag di turunkan, maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang
menjadi asam akan mati (Wiener et al., 2012).
Farmakokinetik. Reabsorpsinya cepat & sempurna, kadar maksimal
dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam . Distribusinya ke jaringan dan cairan
28
serebrospinal baik. Kurang lebih 70% pirazinamida diekskresikan lewat urin
(Wiener et al., 2012).
Interaksi Obat. Gangguan fungsi hati: pasien dan keluarga diberitahu cara
mengenal gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan
obat dan memeriksakan diri bila timbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau
ikterus. Penggunaan bersama dengan probenesid, allopurinol, ofloksasin dan
levofloksasin, obat hepatotoksik. Pirazinamid dapat efek obat antidiaberik oral,
serta mengganggu tes untuk menentukan keton urin (Pusat Informasi Obat
Nasional, 2015).
Efek Samping. hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus, gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik,
urtikaria, flushing, sakit kepala, pusing, insomnia, gangguan vaskular : hipertensi,
hiperurikemia, arthralgia (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
2.13.4 Etambutol
Gambar 2.2.7 Struktur Kimia Etambutol
(drugbank.com)
Dosis. Dewasa 15-25 mg/kg/hari dengan dosis maksimum 2500 mg. Dosis
yang lebih tinggi harus diberikan pada bulan-bulan awal terapi. Untuk terapi
berkepanjangan, kisaran dosis yang di gunakan harus mendekati 15 mg/kg/hari
untuk menghindari terjadinya toksisitas (WHO, 2014).
Mekanisme Kerja. Etambutol menghambat arabinosyl transferase III,
sehingga mengganggu transfer arabinose dalam biosintesis arabinogalactan, yang
pada gilirannya mengganggu perakitan dinding sel mikobakteri sehingga
metabolisme sel terhambat dan sel mati (Brunton et al., 2011).
Farmakokinetik. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol di serap
dari saluran cerna. Kadar puncak dari plasma di capai dalam waktu 2-4 jam setelah
29
pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB menghasilkan kadar plasmsekitar 5 ml pada
2-4 jam (Preston, 2010).
Interaksi Obat. Garam aluminium seperti dalam obat maag (Aluminium
Hidroksida), dapat menunda dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan
garam alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam (Departemen
Kesehatan RI, 2005).
Efek Samping. Etambutol dapat mengakibatkan kebutaan akibat optik
neuritis jika pemberian etambutol tidak dihentikan. Tajam penglihatan akan
kembali normal secara perlahan setelah etambutol dihentikan (Chan, 2007).
2.13.5 Streptomisin
Gambar 2.2.8 Struktur Kimia Streptomisin
(Drugbank.com)
Dosis. injeksi dewasa: 15 mg/kgBB (12-18 mg/kgBB) per hari
(maksimal 1 g) selama 5 hari dalam seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali
seminggu. Anak : 20-40 mg/kgBB sehari (maksimal 1 g) atau 25-30 mg/kgBB 2
kali dalam seminggu. Selama masa pengobatan dosis kumulatif tidak boleh lebih
dari 120 g (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
Mekanisme Kerja. Streptomisin bersifat bakterisida dengan mekanisme
kerja yaitu menghambat pembentukan protein dengan berikatan pada ribosom S12
dan 16S rRNA merupakan konstituen dari 30S subunit ribosom pada bakteri
(Jagielski et al, 2014). Bila pasien mengalamai alergi terhadap streptomisisn, maka
streptomisin dapat digantikan dengan kanamisisn (Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, 2006).
30
Farmakokinetika. Absorpsi dari streptomisin adalah kadar plasma dicapai
sesudah suntikan im 1 – 2 jam, sebanyak 5 – 20 mcg/ml pada dosis tunggal 500 mg,
dan 25 – 50 mcg/ml pada dosis pertama. Didistribusikan kedalam jaringan tubuh
dan cairan otak, dan akan dieliminasi dengan waktu paruh 2 – 3 jam kalau ginjal
normal, namun 110 jam jika ada gangguan ginjal (Departemen Kesehatan RI,
2005).
Interaksi Obat. Interaksi dari streptomisin adalah dengan kolistin,
siklosporin, Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas, kapreomisin, dan
vankomisin menaikkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan
risiko hipokalsemia, toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,
diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan efek relaksan otot
yang non depolarising, melawan efek parasimpatomimetik dari neostigmen dan
Piridostigmin (Satari, et al., 2013)
Efek Samping. Gangguan kulit/alergi: ruam, indurasi, atau abses di sekitar
lokasi suntikan, mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut, vertigo (Pusat Informasi
Obat Nasional, 2015).
2.14 Terapi Obat Anti Tuberkuloss Lini Kedua
2.14.1 Etionamid
Gambar 2.2.9 Struktur Kimia Etionamid (Marriner dkk., 2011).
Dosis. Dewasa oral: 15-20 mg / kg / hari; memulai dosis 250 mg / hari
selama 1-2 hari, kemudian meningkat menjadi 250 mg dua kali sehari selama 1-2
hari, dengan peningkatan bertahap, untuk dosis tertinggi dapat ditoleransi. Rata -
rata dosis orang dewasa: 750 mg / hari (maksimum: 1 g / hari dalam 3-4 dosis
terbagi) (Alsultan and Peloquin, 2014).
Mekanisme Kerja. Etionamid merupakan turunan dari INH (Isoniazid),
yaitu menghambat sintesis asam mikolat (Preston, 2010).
31
Farmakokinetik. Bioavailabilitas dari etionamid oral yaitu mendekati
100%. Setelah pemberian oral 500 mg etionamid, diketahui Cmax sebesar 1,4 mg /
L dicapai dalam 2 jam. T½ adalah ~2 jam. Konsentrasi dalam darah dan berbagai
organ kurang lebih sama. Etionamid dimetabolisme di hati. Metabolit akan
dieliminasi dalam urin, dan <1% dari etionamid diekskresikan dalam bentuk aktif
(Brunton et al., 2011).
Efek Samping. Reaksi yang paling umum terhadap etionamid adalah
anoreksia, mual dan muntah, iritasi lambung, dan berbagai macam gejala
neurologis. Hipotensi postural yang parah, depresi mental, kantuk, dan asthenia
adalah umum. Kejang dan neuropati perifer jarang terjadi. Reaksi lain yang
mengacu pada sistem saraf termasuk gangguan penciuman, penglihatan kabur,
diplopia, pusing, parestesia, sakit kepala, gelisah, dan tremor. Pyridoxine (vitamin
B6) meringankan gejala neurologis dan pemberian yang bersamaan dianjurkan.
Ruam kulit alergi yang parah, purpura, stomatitis, ginekomastia, impotensi,
menoragia, jerawat, dan alopecia juga telah diamati. Rasa logam juga dapat dicatat.
Hepatitis telah dikaitkan dengan penggunaan obat sekitar 5% kasus. Tanda dan
gejala hepatotoksisitasjelas ketika pengobatan dihentikan. Fungsi hati seharusnya
dinilai secara berkala pada pasien yang menerima etionamid (Bruton et al., 2011).
2.14.2 Asam Aminosalisilat (PAS)
Gambar 2.2.10 Struktur Kimia Asam Aminosalisilat (PAS)
(Marriner dkk., 2011)
Dosis. Tablet : 500 mg, granul : 4 dalam sachet (Depkes RI, 2005).
Mekanisme Kerja. Asam aminosilisilat sebagai kalsium atau garam
natrium menghambat pertumbuhan M. tuberculosis dengan merusak sintesi folat.
Dikarenakan hal tersebut, Asam aminosilisilat jarang diindikasikan untuk
pengobatan TB dkarenakan memiliki aktivitas antituberkulosis yang rendah dan
32
aktivitas toksisitas gastrointestinal yang tinggi (dapat menyebabkan mual, muntah
dan diare) (Brunton et al., 2011).
Farmakokinetik. Obat ini memiliki waktu paruh pendek (1 jam), dan 80%
dari dosis diekskresikan dalam urin (Wiener et al., 2012).
Efek Samping. Efek samping aminosalisilat meliputi diare, mual, muntah,
nyeri lambung, memperburuk gejala kolitis, sakit kepala, reaksi hipersensitif
(termasuk ruam dan urtikaria) ; efek samping yang jarang terjadi adalah pankreatitis
akut, hepatitis, miokarditis, perikarditis, gangguan paru-paru (eosinofilia
dan fibrosing alveolitis), neuropati perifer, gangguan darah (agranulositosis,
anemia aplastik, leukopenia, methemoglobinemia, lihat juga rekomendasi di atas),
disfungsi ginjal (nefritis interstisial, sindrom nefrotik), mialgia, artralgia, reaksi
kulit (sindrom seperti lupus erithematous, sindrom Stevens Johnson), alopesia
(Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
2.14.3 Sikloserin
Gambar 2.2.11 Struktur Kimia Sikloserin (Anastasia dkk., 2012)
Dosis. Dosis awal 250 mg setiap 12 jam selama 2 minggu, naikkan sesuai
dengan kadar darah dan respons sampai maksimal 500 mg setiap 12 jam. Anak :
dosis awal 10 mg/kg bb/hari disesuaikan menurut kadar darah dan respon.Catatan:
diperlukan pemantauan terhadap kadar dalam darah terutama pada kelainan fungsi
ginjal atau jika dosis lebih dari 500 mg per hari atau jika tanda-tanda toksisitas;
kadar darah tidak boleh melebihi 30 mg/liter (Pusat Informasi Obat Nasional,
2015).
Mekanisme Kerja. Sikloserin Menghambat ikatan dari dari lapisan
peptidoglikan (Murray, P. R., 2015).
33
Interaksi Obat Isoniazid: Sikloserin dapat meningkatkan efek depresan
dari isoniazid pada SSP. Vaksin Tifus: Antibiotik dapat mengurangi efek terapi dari
vaksin tipus (Alsultan and Peloquin, 2014).
Efek Samping. Terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing,
vertigo, mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi; ruam; anemia megaloblastik;
perubahan pada uji fungsi hati (Pusat Informasi Obat Nasional, 2015).
2.14.4 Kanamisin
Gambar 2.2.12 Struktur Kimia Kanamisin (Song et al, 2011)
Adalah antibiotik yang aktif terhadap bakteri gram-negatif termasuk bakteri
M.Tuberculosis. Kanamisin sama dengan aminoglikosida lainnya yang tidak dapat
di absorbsi secara oral sehingga kanamisin diberikan dengan rute intramuskular
(IM). Cmax dari kanamisin ini adalah 1 jam setelah diinjeksikan dengan t ½ nya 4-
6 jam. Kanamisin diekskresikan melalui ginjal, sehingga dosis untuk kanamisin ini
harus diatur ulang pada pasien gagal ginjal. Efek samping berupa gangguan pada
pendengaran lebih sering terjadi. Sebanyak 20% pasien mengalami gangguan pada
pendengaran setelah 3 bulan pemakaian kanamisin dan sebanyak 60% pasien
mengalami gangguan pendengaran setelah 6 bulan pemakaian kanamisin. Dosis
dari kanamisin ini adalah 15 mg/ kg/ hari (Seth & Kabra, 2011).
Kanamisin telah lama digunakan sebagai obat anti tuberkulosis lini-kedua
untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri yang sudah resisten
terhadap streptomisin, tetapi sejak ditemukan amikasin dan kapreomisin yang
relatif kurang toksik maka kanamisin kini mulai ditinggalkan (Syarif et al, 2012).
34
2.14.5 Amikasin
Gambar 2.2.13 Struktur Kimia Amikasin (Brennan dkk., 2008)
Dosis. Dosis dewasa 15 mg/kg/hari, 5-7 hari/minggu (dosisi maksimum
dari amikasin ini pada umumnya sebesar 1 gram). Dosis pada pasien dengan umur
> 59 tahun adalah 10 mg/kg/dosis (maksimal 750 mg) 5-7 kali per minggu (WHO,
2014).
Mekanisme Kerja. Amikasin merupakan golongan antibiotic yang bersifat
bakteriasidal yang bekerja dengan cara mengikat subunit ribosom 30S bakteri
sehingga dapat mempengaruhi sintesis polipeptida dan akhirnya menghambat
proses translasi dari baktri tuberkulosis (Kolyva & Karakousis, 2012).
Farmakokinetik. Amikasin berinteraksi apabila di gunakan bersamaan
dengan furosemide. Sekitar 4% amikasin akan berikatan dengan protein plasma,
pada Cmax dari amikasin sendiri yaitu 10-30 µg/ml (WHO, 2014).
Efek Samping. Amikasin lebih mempengaruhi fungsi pendengaran.
Neurotoksisitas (paralisis otot dan apnea), nefrotoksisitas, demam, sakit kepala,
tremor, mual, anemia, hipotensi, dan rash juga telah dilaporkan (Brenann dkk.,
2008).
2.14.6 Kapreomisin
Gambar 2.2.14 Struktur Kimia Kaepromisin (Brennan dkk., 2008)
35
Kapreomisin merupakan antibiotik golongan polipeptida makrosiklik yang
diisolasi dari Streptomices kaprelous. Kaepromisin dapat digunakan pada pasien
pengobatan tuberkulosis yang mengalami resisten obat dan juga pada pasien yang
mengalami kegagalan pengobatan yang menggunakan kombinasi Isoniazid dan
Etambutol (Kolyva & Karakousis, 2012).
Dosis. Dosis untuk pasien BB > 50 kg: 1 g/hari. Sedangkan pasien dengan
BB < 50 kg: 500-750 mg/hari dengan kurun waktu penggunaan sekitar 6 sampai 8
bulan (Departemen Health Republic of South Africa, 2014).
Mekanisme Kerja. Kapreomisin sama seperti streptomisin dan kanamisin
yaitu dengan menghambat sintesis protein melalui modifikasi pada struktur ribosom
16S rRNa. Terjadinya resistensi pada kapreomisin umumnya disebabkan karena
adanya penambahan gugus metil ke dalam Rrna (Kolyva & Karakousis, 2012).
Terdapat sekitar 80-90% resistensi silang antara aminoglikosida dengan
kapreomisin. Kapreomisin umumnya tidak digunakan apabila pasien mengalami
resistensi terhadap golongan obat aminoglikosida (Department Health of South
Africa, 2014).
Efek Samping. Kapreomisin menunjukkan banyak efek samping terhadap
pendengaran. Selain itu, 36% dari 722 pasien pengguna kapreomisin mengalami
elevasi blood urea nitrogen (BUN) di atas 20 mg/100 mL. Adanya elevasi BUN
atau gejala kerusakan ginjal lainnya mengindikasikan bahwa pemberian
kapreomisin harus dikurangi dosisnya atau dihentikan. Penentuan fungsi ginjal
secara periodik direkomendasikan selama terapi dengan kapreomisin. Gejala efek
samping yang potensial akibat penggunaan kapreomisin adalah nefrotoksisitas,
hipersensitifitas, hypokalemia, penyumbatan neuromuscular, ototoksisitas
pendengaran dan vestibular, nyeri, pendarahan tidak biasa, dan nyeri pada tempat
injeksi. Luka bernanah dan trombositipenia juga pernah terjadi. Kemungkinan efek
samping lainnya adalah kelainan darah, rash (reaksi alergi), perubahan hasil uji
fungsi liver, dan gangguan konsentrasi komponen kimia (elektrolit) dalam darah
(Brennan dkk., 2008).
36
2.14.7 Golongan Fluoroquinolon
Gambar 2.2.15 Struktur Kimia Fluoroquinolon
( Ghosh & Manish, 2011)
Mekanisme Kerja. Fluorokuinolon bekerja menghambat topoisomerase II
(DNA gyrase) dan topoisomerase IV yang diperlukan oleh bakteri untuk replikasi
DNA (Mariana, 2016).
Farmakokinetik. Fluorokuinolon cepat diabsorbsi di saluran pencernaan
dan kadar serum puncak dicapai sekitar 1–3 jam setelah pemberian oral. Kadar
serum puncak yang diperoleh setelah pemberian oral sangat dekat dengan
pemberian secara intra vena. Oleh karena itu, pemberian secara oral lebih disukai.
Fluorokuinolon generasi baru mempunyai perbaikan terhadap parameter
farmakokinetik dibandingkan dengan generasi pertama, untuk siprofloksasin,
bioavailabilitas sekitar 70%, dan pada generasi yang lebih baru (contoh
gatifloksasin, levofloksasin dan moksifloksasin) mempunyai bioavailabilitas
sekitar 85–95%. Waktu paruh golongan fluorokuinolon bervariasi dari sekitar 60–
90 menit untuk asam nalidiksat, 3–5,4 jam untuk siprofloksasin dan 21 jam untuk
sparfloksasin.17 Fluorokuinolon generasi baru juga mempunyai waktu paruh yang
lebih panjang sekitar 5–83 jam dan tidak banyak terpengaruh oleh adanya makanan
dalam saluran pencernaan.17,18 Fluorokuinolon mempunyai ikatan dengan protein
plasma relatif rendah dan menghasilkan penetrasi ke jaringan yang sangat baik,
volume distribusi luas untuk generasi baru sekitar 1,2– 5,5 L/kg dan siprofloksasin
sekitar 3 L/kg. Obat ini dapat berpenetrasi ke jaringan dengan kadar tinggi
khususnya di serebral spinal, ginjal, paruparu, prostat, bronchial, hidung, empedu,
usus, dan saluran kelamin. Penetrasi fluorokuinolon pada cairan serebral spinal
dapat melebihi 50% dari dosis. Oleh karena itu, obat ini sangat baik digunakan
untuk terapi meningitis yang disebabkan bakteri patogen (Mariana, 2016).
37
Interaksi Obat. Pada Antasida yang mengandung kalsium, aluminium
atau magnesium yang menyebabkan menggangu absorbs dan konsentrasi dari
fluoroquinolon sehingga fluorokuinolon dapat diberikan 2 jam setelah pemberian
antacid. Suplemen vitamin juga mengandung zink atau besi yang menggangu
absorbs fluoroquinolon. Fluoroquinolon dapat meningkatkan kadar serum pada
teofilin, cyclosporine, glibenklamid serta antikoagulan oral. Pada penggunaan
secara bersamaan dengan golongan NSAID dapat meningkatkan stimulasi CNS dan
mempotensi timbulnya kejang (Arbex et al., 2010).
Efek Samping. Daapat menimbulkan gangguan pencernaan, gangguan
SSP, gangguan ginjal, gangguan penglihatan, gangguan kulit, gangguan hati, atropi
dan tendinitis, gangguan kardiovaskular, gangguan hematologi, reaksi imunologi,
gangguan metabolik, dan teratogenik (Mariana, 2016).
2.15 Kategori Pemberian Obat Anti Tuberkulosis KDT
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO).
Panduan OAT yang digunakan oleh program Nasional Pengendalian Tuberculosis
di Indonesia adalah:
a. Kategori 1 : 2 (HRZE)/4(HR)3
b. Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
c. Kategori Anak : 2 (HRS)/4(HR) atau 2HRZA(s)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksan pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kepreomisin, levofloksasin, etionamide,
sikloserine, moksifloksasin, sarta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
38
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk
satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan (Depkes RI, 2011).
2.16 Panduan KDT Lini pertama dan peruntukannya
2.16.1 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
1. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
2. Pasien TB paru terdiagnosis klinis
3. pasienTB ekstra paru
Tabel II.1 Dosis Panduan OAT KDT kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama
56 hari RHZE ( 150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 kali
seminggu selama 16
minggu 4 RH (150/150 )
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 4 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT
≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT
(Kemenkes RI, 2014).
Tabel II.1.2 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Dosis per
hari/kali
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300
mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet
Etambutol
@ 250
mg
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
(Depkes RI, 2011).
39
2.16.2 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BAT positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) :
i. Pasien kambuh
ii. Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT
kategori 1 sebelumnya
iii. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
Tabel II.2 Dosis Panduan OAT KDT kategori
2:2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)
Berat Badan Tahap Intensif tiap
hari
RHZE(150/75/400/275)
+ S
Tahap Lanjut 3
kali seminggu
RH(150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28
minggu
Selama 20 hari
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg
streptomisin inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT + 2
tab etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg
streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2 KDT + 3
tab etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg
streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2 KDT + 4
tab etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 100 mg
streptomisin inj.
5 tab 4KDT
(>dosis maks)
5 tab 2 KDT + 5
tab etambutol
(Kemenkes RI, 2014).
Tabel II.2.1 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300
mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg
Etambutol
Strepto
misin
injeksi
Jumlah
Hari
/kali
menela
n
Tablet @
250
mg
Tablet @
440
mg
Tahap
Intensif
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75g
Tahap
Lanjutan
4 bulan 2 1 - 1 2 -
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
40
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)
(Depkes RI, 2011).
2.16.3 Kategori Anak
Untuk mempermudah dalam pemberian OAT pada Anak dan
meningkatkan keteraturan dan kepatuhan minum obat, panduan OAT disediakan
dalam bentuk paket KDT atau FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk sat
masa pengobatan. Paket KDT berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg,
isoniazid (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu
rimfapisin (R) 75 mg dan Isoniazid (H) 50 mg dalam satu paket. Dosis yang
dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel II.3. Dosis Panduan OAT KDT Kategori Anak
Berat Badan 2 bulan RHZ
(75/50/150 )
4 bulan RH
(75/50)
5 -7 kg 1 tablet 1 tablet
8 – 11 kg 2 tablet 2 tablet
12 – 16 kg 3 tablet 3 tablet
17 – 22 kg 4 tablet 4 tablet
23 – 30 kg 5 tablet 5 tablet
(Kemenkes RI, 2014).
Tabel II.3.1 Dosis OAT Kombipak pada anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 19 kg BB 20 -37 kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisisn 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Keterangan :
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
41
digerus sesaat sebelum diminum
(Depkes RI, 2011).
2.17 Terapi Penunjang Tuberkulosis
2.17.1 Piridoksin (Vitamin B6)
Penggunaan Piridoksin direkomendasikan untuk semua pasien dewasa yang
memulai pengobatan TB untuk mencegah neuropati perifer yang paling sering
disebabkan oleh Isoniazid. Dosis Pyridoxine: 25 mg setiap hari. Jika pasien
mengalami neuropati perifer pada setiap tahap selama pengobatan TB, dosis dapat
ditingkatkan sampai 50 – 75 mg (hingga maksimum 200 mg) sampai gejala mereda,
kemudian dosis diturunkan ke 25 mg setiap hari (Department of Health, 2014).
2.17.2 Vitamin D
Peran vitamin D sangat penting dalam pertahanan tubuh terhadap TB
melalui aksinya pada peningkatan fagositosis makrofag. Vitamin D baik secara
endogen diproduksi (vitamin D3) atau dikonsumsi (vitamin D2 atau vitamin D3),
harus diaktifkan untuk menghasilkan efek. Pada kasus TB yang menggunakan obat
anti tuberkulosis menjadikan TB resisten pada sebagian pasien, vitamin D sebagai
hormon imunomodulator dijadikan sebagai salah satu terapi penyembuhannya
(Sutaria, 2014).
2.17.3 Steroid
Penggunaan kortikosteroid dianjurkan dalam TB ekstra-paru, terutama
untuk meningitis TB dan perikarditis. Dosis tinggi pengobatan steroid selama 2-4
minggu dan taper off secara bertahap selama beberapa minggu, tergantung pada
kemajuan klinis dianjurkan. Respon terhadap pengobatan dinilai secara klinis
(Department of Health, 2014).
Pada pasien TB yang resistan terhadap obat, penggunaan terapi
kortikosteroid sebagai penunjang telah terbukti tidak meningkatkan mortalitas
ketika pasien pada rejimen yang efektif. Kortikosteroid dapat bermanfaat dalam
kondisi seperti sistem saraf pusat yang parah atau keterlibatan perikardial. Pendapat
ahli adalah bahwa mereka juga dapat membantu dalam insufisiensi pernapasan dan
TB milier. Kortikosteroid dapat melemahkan respon tubuh untuk melawan TB dan
karena itu seharusnya hanya digunakan jika diindikasikan dengan jelas dan jika
42
pasien pada rejimen yang efektif.. Jika kortikosteroid digunakan dalam rejimen
yang tidak memadai, ini bisa meningkatkan keparahan pada pasien (WHO, 2014).
2.18 Terapi Non Farmakologi Tuberkulosis
Selain terapi farmakologi, pasien TB juga membutuhkan terapi non
farmakologi yang bertujuan untuk menunjang terapi selain terapi dengan OAT
yang sedang di jalankan oleh pasien. Terapi non farakologi yang diberikan antara
lain :
1. Pemberian O2 atau memberikan fisioterapi dada untuk pengaturan jalan
nafas adalah tindakan utama yang dapat dilakukan bagi pasien TB, untuk
melonggarkan saluran napas, menembalikan kondisi spasme bronkus dan
mengencerkan dahak sehingga dapat mengurangi sesak napas (Hanendya,
2016).
2. Operasi
Operasi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan sebagai terapi penunjang
bagi pasien tuberkulosis. Operasi hanya akan dilakukan apabila terdapat
fasilitas yang memadai dan dilakukan oleh ahli bedah toraks yang terlatih.
Fasilitas yang memadahi mencakup langkah-langkah pengendalian bakteri
M.tuberculosis yang kemungkinan besar akan banyak dihasilkan selama
berjalanya proses operasi. Indikasi umum untuk operasi adalah untuk pasien
yang mengalami resistensi terhadap banyak obat-obatan tuberkulosis.
Operasi dapat dilakukan setelah pasien menjalani pengobatan selama dua
sampai enam bulan. Operasi tidak harus dianggap sebagai jalan terakhir dari
pengobatan tuberkulosis (Varaine & Rich, 2014).
3. Pemenuhan kebutuhan gizi pasien (Nutrisi)
Pada pengobatan TB, dapat menyebabkan kekurangan gizi (malnutrisi)
tanpa dukungan nutrisi, dan pasien khususnya yang sudah menderita
kelaparan. Pada pengobatan OAT ini lini kedua juga dapat lebih mengurangi
nafsu makan. Dan pemenuhan nutrisis yang cukup dapat meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan (WHO, 2014).
4. Pengendalian Lingkungan
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi konsentrasi
droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan benda- benda yang
43
terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Lingkungan yang sehat
akan membantu penderita TB untuk segera sembuh, karena penyakit ini
disebabkan oleh virus sehingga jika penderita berada di lingkungan yang
kotor makan akan menyebabkan virus tersebut semakain berkembang
sehingga akan memperburuk keadaan (Depkes, 2013).
5. Edukasi kepada pasien dan keluarga
Pemberian edukasi kepada pasien serta keluarga pasien mengenai
transmisi/penularan tuberkulosis. Edukasi kepada pasien untuk selalu
menutup mulut ketika batuk/bersin. Idealnya, pasien harus tidur di ruang
yang terpisah dengan pintu tertutup dan jendela yang selalu terbuka. Untuk
pasien dengan BTA (+) maka edukasikan untuk menggunakan masker
apabila berada di daerah yang mempunyai sirkulasi udara yang terbatas
(CDC, 2013).