BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/2/T2... · 2017-07-21 ·...

41
45 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perpajakan 1. Pengertian Pajak. Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti bahwa : “Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak”. Pernyataan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup bermasyarakat masing-masing individu membawa hak dan kewajibannya. Demikian juga terdapat proses timbale balik antara tiap individu tersebut dengan masyarakat. Artinya ada hak dan kewajiban individu terhadap masyarakat dan demikian sebaliknya ada kewajiban masyarakat terhadap individu. Bagi manusia yang memiliki falsafah hidup berdasarkan agama, bahwa semua kehidupan adalah anugrah Tuhan, sehingga patut menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kesejahteraan sesama manusia. Kewajiban individu individu terhadap masyarakat tersebut dalam konteks masyarakat dalam suatu negara dapat berupa pembayaran pajak.

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11649/2/T2... · 2017-07-21 ·...

45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perpajakan

1. Pengertian Pajak.

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu

masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania

Sugiharti bahwa : “Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak”.

Pernyataan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup

bermasyarakat masing-masing individu membawa hak dan kewajibannya.

Demikian juga terdapat proses timbale balik antara tiap individu tersebut

dengan masyarakat. Artinya ada hak dan kewajiban individu terhadap

masyarakat dan demikian sebaliknya ada kewajiban masyarakat terhadap

individu.

Bagi manusia yang memiliki falsafah hidup berdasarkan agama, bahwa

semua kehidupan adalah anugrah Tuhan, sehingga patut menyerahkan

sebagian pendapatannya untuk kesejahteraan sesama manusia.

Kewajiban individu – individu terhadap masyarakat tersebut dalam

konteks masyarakat dalam suatu negara dapat berupa pembayaran pajak.

46

Pembayaran pajak oleh individu kepada negara tersebut akan

digunakan oleh masyarakat atau negara untuk melaksanakan kewajibannya

kepada individu-individu warga negara.

Pajak ditinjau dari segi ekonomi merupakan peralihan sumber daya

ekonomi dari sektor rumah tangga dan swasta ke sektor pemerintah.

Kemudian pemerintah membelanjakan penerimaan dari sektor rumah tangga

dan swasta tersebut, baik berupa belanja pegawai maupun barang, ini berarti

penerimaan tersebut didistribusikan kembali oleh pemerintah ke sektor rumah

tangga dan sektor swasta.

Untuk memahami lebih lanjut pengertian pajak, maka perlu

dikemukakan beberapa definisi pajak, sebagai berikut :

Brotodiharjo memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa

pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh

yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya

adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan

tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1 Menurut Edi Slamet-

Syarifuddin, pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan

hak prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada

1 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika

Aditama, Bandung, 2003, h. 2.

47

undang-undang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat

ditunjuk.2

Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-

jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan

dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Dari beberapa definisi pajak yang telah dikemukan di atas terdapat

kesesuaian pandangan, hal mana bila ditarik unsur-unsurnya dapat

diintisarikan, yaitu : adanya pungutan yang bersifat wajib, pungutan

dilakukan berdasarkan undang-undang, tidak adanya kontraprestasi secara

langsung. Akan tetapi, bila dicermati akan terjadi kontraprestasi secara tidak

langsung melalui pembiayaan pengeluaran belanja rutin dan pembangunan

yang akan dinikmati kembali oleh masyarakat.

Selain berdasarkan pendapat para ahli hukum sesuai dengan jenis

penelitian normatif yang digunakan dalam penelitian ini dipandang perlu

mengkaji definisi pajak dari segi perundang-undangan. Dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, menyebutkan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

2 Irianto, Edi Slamet, - Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan, Membangun

Demokrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 63.

48

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik ciri-ciri yang ada

pada pengertian pajak. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai

berikut : Pertama, Pajak merupakan kontribusi yang bersifat wajib dari orang

atau badan kepada negara dan dipungut berdasarkan undang-undang serta

peraturan pelaksanaannya. Kedua, Dalam pembayaran pajak tidak dapat

ditunjukkan adanya kontraprestasi individual secara langsung oleh

pemerintah. Ketiga, Pajak dipungut oleh negara baik yang dipungut oleh

pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Keempat, Pajak

diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran dan biaya-biaya pemerintah

dalam menjalankan fungsinya, yang apabila dari pemasukannya masih

terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai pembangunan atau publik

investment. Kelima, Pajak dapat juga membiayai tujuan yang tidak budgeter,

yaitu pengaturan pajak oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi mengatur.

2. Asas - Asas dan Syarat - Syarat Pemungutan Pajak

Asas-asas prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas,

sebagai dasar, sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat untuk menjelaskan

sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasai

dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya

49

suatu pemungutan pajak. Dalam kaitan ini Mansury menyatakan sebagai

berikut :

“Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan

rancangan undang-undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah

sejalan dengan tujuan dan asas atau syarat yang harus dipegang teguh,

ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya

tidak sejalan dengan asas atau syarat yang harus dipegang teguh”.

Pajak sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak kepada negara yang

walaupun pada proses berikutnya ada suatu pendistribusian berupa hasil-hasil

pajak kepada masyarakat, dalam pemungutannya sudah seharusnya

memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Hal tersebut didasarkan pada

pertimbangan bahwa dalam pemungutan pajak agar tidak terjadi perlawanan

ataupun hal-hal lain yang kontra produktif dengan tujuan dilakukannya

pemungutan pajak.

Untuk mewujudkan tujuan dari pemungutan pajak tanpa menimbulkan

konflik asas-asas pemungutan wajib diperhatikan oleh pembuat undang-

undang pajak yang tampak secara tersirat dalam konsideran menimbang.

Adapun asas pemungutan pajak secara umum dalam ketentuan Undang-

undang perpajakan adalah :

1. Asas Keadilan

a. Menurut Teori yang Mendasari Pengertiannya

1) Asas Equality

50

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu

dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan

kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai

dengan manfaat yang diterima.

2) Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi

wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas

waktu pembayaran

3) Asas Convenience of Payment

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya

sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak,

misalnya pada saat memperoleh penghasilan.

4) Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban

pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin,

demikian pula beban yang dipikul.

b. Teori yang Memisahkan Hak Negara Memungut Pajak

1) Teori Asuransi

Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi.

Premi tersbut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha

melindungi orang dari segala kepentingannya, misalnya

51

keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini

menyamakan pembayaran premi dengan pajak. Walaupun

kenyataannya menyatakan hal tersebut dengan premi tidaklah

tepat.

2) Teori Kepentingan

Teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus

dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan

pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah

termasuk perlindungan jiwa dan raganya. Oleh karena itu,

pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan pada

masyarakat

3) Teori Gaya Pikul

Teori ini mengandung bahwa dasar keadilan pemungutan

pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara

kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta

bendanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan perlindungan,

maka masyarakat akan membayar pajak menurut daya pikul

seseorang.

4) Teori Asas Daya Beli

52

Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa penyelenggaraan

kepentingan masyarakat dianggap sebagai dasar keadilan

pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau

negara sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.

2. Asas Manfaat

Pengenaan pajak hendaknya seimbang dengan keuntungan (manfaat)

yang didapat wajib pajak dari jasa-jasa public yang diberikan oleh

pemerintah. Berdasarkan criteria ini, maka pajak dikatakan adil bila

seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa publik

yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi lebih besar. PBB

menggunakan prinsip benefit dalam mengukur aspek keadilan dalam

perpajakan. Fungsi negara adalah memberikan perlindungan terhadap

kekayaan warga, dan karenanya pemiliknya berkewajiban ikut membayar

keperluan-keperluan negara.

3. Asas Pembuatan Undang-undang

a. Asas Yuridis

Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan

jaminan hokum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan

pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan

pajak di Indonesia adalah pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

53

b. Asas Ekonomis

Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi regular dan

budgeter. Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara

menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk

itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran

ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.

c. Asas Finansial

Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi

budgeter nya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam

kas negara. Sehubungan dengan itu, agar diperoleh hasil yang besar, maka

biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.

4. Asas Yuridiksi Pemungutan Pajak

a. Asas Domisili,

Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara dengan tempat

tinggal wajib pajak. Menurut asas ini, wajib pajak yang bertempak tinggal di

Indonesia akan dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik penghasilan

yang didapat di Indonesia maupun penghasilan yang didapat di luar negeri.

b. Asas Sumber,

Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara dengan sumber

pendapatan tanpa melihat tempat tinggal. Wajib pajak menurut asas ini

54

adalah bagi siapapun yang memperoleh penghasilan di Indonesia akan

dikenakan pajak sekalipun tempat tinggalnya di luar negeri. Contohnya

adalah tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang

didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

c. Asas Kebangsaan,

Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara berdasarkan

kebangsaan wajib pajak. Contohnya: setiap warga Negara asing yang

bertempat tinggal di Indonesia harus membayar pajak..

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan

daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan

pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang

seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Dasar hukum terkait pajak daerah dan retribusi adalah Undang-undang

No.28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagai

pengganti Undang-undang No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan

55

Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut terdapat pengalihan pajak

dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Pajak daerah menurut Undang-undang

No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengalami

beberapa perubahan. Terdapat empat penambahan pajak daerah baru.

Penambahan pajak daerah yang baru tersebut adalah Pajak Air Tanah, Pajak

Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan, dan BPHTB.

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pemerintah pusat dan

digolongkan sebagai pajak langsung serta dipungut setiap tahun. Walaupun

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat tetapi dalam

pengelolaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor

Pelayanan Pajak Pratama dan hasilnya akan dibagi dua yaitu 10% untuk

pemerintah pusat dan 90% pemerintah daerah.

B. Pengertian, Subjek dan Objek BPHTB

1. Pengertian BPHTB

Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21

tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas

56

Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini masuk dalam Undang-Undang

Nomor. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93.

Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak

Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,

dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini

berarti BPHTB hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam

UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan

hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat tetapi tidak

diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB.3 Sedang dalam UU No. 28

tahun 2009 tentang PDRD, yang dimaksud dengan BPHTB adalah : “Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak

atas tanah dan/atau bangunan.”

2. Subjek dan Objek BPHTB

Subjek BPHTB seperti halnya dengan subjek PPh adalah orang pribadi

atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, yang

tercantum dalam ketentuan Pasal Pasal 86 UU PDRD yaitu:

3 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan

Praktek, Edisi

Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 41.

57

(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan

yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

(2) Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak

menurut Undang-Undang ini.

Sedangkan yang menjadi obyek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 85

ayat (2) UU PDRD adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:

a. pemindahan hak karena :

1) jual beli;

2) tukar menukar;

3) hibah;

4) hibah wasiat;

5) waris;

6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) penunjukkan pembeli dan lelang;

9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum

tetap;

10) penggabungan usaha;

11) peleburan usaha;

12) pemekaran usaha;

13) hadiah;

b. pemberian hak baru karena :

1) kelanjutan pelepasan hak;

2) di luar pelepasan hak.

Kemudian dalam Pasal 85 ayat (4) UU PDRD ditentukan obyek pajak

yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:

a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal

balik;

b. negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang diterapkan dengan

Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau

58

melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan

organisasi tersebut.

d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan

hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Dalam kaidah/norma yang lama (UU BPHTB), pengenaan BPHTB

karena waris dan hibah wasiat dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 mengatur Pengenaan Bea Perolehan Hak

atas Tanah Dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, dijelaskan

bahwa:

a. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris

meninggal dunia.

b. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat,

yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Namun dalam UU PDRB, peralihan karena proses pewarisan atau

hibah wasiat tidak diatur pengenaan BPHTB-nya. Namun demikian terhadap

persoalan ini dapat saja dimasukkan dalam pengkaidahannya dalam peraturan

daerah yang diamanatkan dalam Perda yang dibuat oleh Kebupaten/Kota.

Jadi terhadap penerima hibah atas tanah dan/atau bangunan dari

keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan tidak ada

hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak

59

yang bersangkutan, bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan tetapi

merupakan objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB).

BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas setiap perolehan hak

atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia, baik karena pemindahan hak dari

orang pribadi atau badan kepada orang pribadi atau badan lainnya maupun

karena pemberian hak baru oleh pemerintah atau negara kepada orang pribadi

atau badan. Karena perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan

perbuatan atau peristiwa hukum yang diperoleh orang pribadi atau badan.

3. Dasar Perhitungan BPHTB

Sesuai dengan Pasal 87 UU PDRD yang menjadi dasar pengenaan

pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Karena

pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan

yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus

ditentukan Nilai Perolehan Objek Pajaknya. Pasal 87 ayat (2) UU PDRD

menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada

masing-masing jenis perolehan hak, adalah:4

a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga

transaksi.

b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah

nilai pasar.

4 Marihot, Op. cit, h. 164-165.

60

c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai

pasar.

d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah

nilai pasar.

e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai

pasar.

f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan

hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan

peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan

hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP

adalah nilai pasar

i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai

kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar

pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.

k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP

adalah nilai pasar.

l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP

adalah nilai pasar.

m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP

adalah nilai pasar.

n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai

pasar.

o. Pada perolehan hak karena penunjuk pembeli dalam lelang, yang

menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah

lelang.

Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP

tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang

menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang

tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:5

5 Ibid., h. 165-166.

61

a. Harga transaksi adalah harga yang terjdi dan telah disepakati oleh

pihak-pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli), sebagaimana

dalam penjelesan Pasal 6 ayat (6) huru a UU BPHTB.

Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan

oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya

keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang

sangat penting pada hari trsanksi adalah bahwa harga transaksi

merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah

pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar

objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk

melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa

sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut.

b. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar

yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan, sebagaimana

dalam penjelesan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU BPHTB

Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima

oleh penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan dan yang seharusnya

diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah

dan bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan

oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas

objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan

62

oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti

yang sebenarnya.

c. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil

yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang

diajukan oleh peserta lelang.6

Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek

yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan

memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di

bawah harga pasar objek yang dilelang.

Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah

dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari

dasar pengenaan pajak yang riil (yang sebenarnya) sebagai cerminan

nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga

transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar

properti tersebut. hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya

harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan

transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya

pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu

pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak

6 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Lelang. Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

63

mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli

yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus

ditanggung oleh penjual dan pembeli.7

Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOPKP) adalah besaran

tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 87 UU PDRD

menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan

cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian

NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB.

Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB

terutang adalah tarif tunggal. Pasal 88 UU PDRD menetapkan bahwa

tarif pajak ditetapkan sebsar 5 persen. Dengan demikian besarnya tarif

pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan

sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

(NPOPKP), sebagai berikut:

Pajak terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak

BPHTB terutang = Tarif Pajak x NPOPKP

BPHTB terutang = 5% x NPOPKP.

7 Marihot P. Siahaan, Op. Cit., , h. 166-167.

64

Dengan demikian yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah

nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang ditentukan sebesar harga

transaksi. Namun apabila nilai NPOP (nilai transaksi) ternyata lebih

rendah dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB),

maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai pada NJOP

PBB.

Dasar pemikiran untuk menentukan dasar pengertian pajak

dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga manakala atas suatu

transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli

serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi

yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak

diketahui berapa besarnya. Untuk itu Undang-undang BPHTB

menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai penyangga dari dua

keadaan yang telah dikemukakan diatas. Hal ini dilakukan dengan cara

membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah

dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan

mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar

pengenaan pajak. Pada lelang dipandang tidak diperlukan penyangga

harga riil yang terjadi dari perolehan hak atas properti yang dilelang,

sehingga tidak perlu dilakukan perbandingan harga trsanksi dalam

lelang dengan NJOP.

65

C. Kewajiban Pendaftaran Jual Beli Tanah

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa setelah dilakukan

pembuatan akta jual beli selambat-lambatnya 7 hari PPAT wajib untuk

mendaftarkan jual belinya ke Kantor pertanahan. Hal ini dimaksudkan agar

pembeli segera dapat sertipikatnya sebagai tanda bukti pemilikan tanah.

Karena itu pembeli tak boleh mendaftar sendiri ke Kantor Pertanahan.

Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 jo PP No. 37 Tahun 1998,

kedudukan PPAT secara tegas dicantumkan sebagai Pejabat Umum dan akta-

akta yang dibuatnya merupakan akta otentik. Di sisi lain kehadiran PPAT

harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendaftaran tanah,

dimana BPN, PPAT, Panitia adjudikasi dan Pejabat lainnya menjalankan

kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing

dimana adanya saling mendukung antar kewenangannya itu.

Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk

membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor

Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari

kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.

Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang

dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP No.24

66

Tahun 1997 jo. PP No. 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum yang

berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan

Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang

menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum

dan bentuk akta otentik. Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang jabatan

Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang

Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.

Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris

adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana

kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang

Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan

oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian

tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan

atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh

undang-undang.

67

D. Hutang Pajak Sebagai Keuangan Negara

Pajak adalah hak negara maka dari itu setiap warga negara yang

menjadi objek dari pajak atau wajib pajak berkewajiban untuk membayar

pajak. Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat

dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan

umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang

langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk

menyelenggarakan pemerintahan.

Berdasarkan teori timbulnya hutang pajak, dalam ajaran materiil bahwa

hutang pajak timbul semata-mata karena berlakunya undang-undang, dimana

seseorang dikenakan pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Pemahaman

ini selaras dengan apa yang dikemukakan dalam bukunya Ridwan HR yang

berjudul “Hukum Administrasi Negara” yang mengemukakan adanya

ungkapan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa

(persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan; “Taxation without

representation is robbery”, pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah

perampokan.8 Ungkapan tersebut menekankan bahwa pada dasarnya

penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang

8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2013, h. 91.

68

mengaturnya, dengan demikian pajak timbul semata-mata karena undang-

undang, kemudian adalah menjadi konsekuensi logis bahwa pajak sifatnya

adalah memaksa.

Kedudukan pajak dalam keuangan negara juga lebih dipertegas lagi

dalam pengertian keuangan negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu

baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat

dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak

dan kewajiban tersebut.

Selanjutnya telan diperjelas dalam Pasal 2 huruf a, bahwa

keuangan negara juga meliputi “hak negara untuk memungut pajak,

mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.” Ketentuan ini

memberikan gambaran secara gamblang bahwa pajak adalah hak negara

yang harus dibayarkan oleh wajib pajak, bahwa kedudukan pajak yang

sudah terhitung walaupun belum dibayarkan sudah masuk dalam

kategori keuangan negara.

Dalam kaitannya dengan BPHTB yaitu pajak yang dikenakan

atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah sudah jelas

kedudukan (uang) BPHTB yang terhutang masuk dan dikategorikan

sebagai uang Negara. Yang menjadi pertanyaannya adalah sejak kapan

waktu pasti BPHTB tersebut menjadi keuangan negara.

69

Untuk mengetahui pasti kapan BPHTB resmi masuk dalam

kategori keuangan negara, maka dari itu perhitungan akuntansinya

harus didekati dengan system pembukuan pendapatan basis akrual

(accrual based system). Sebagaimana telah dipaparkan dalam landasan

teori bahwa basis akrual adalah dasar akuntansi yang mengakui

transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa

tersebut terjadi, bukan hanya pada saat kas atau setara kas diterima atau

dibayar. Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa

dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui dalam laporan keuangan

periode terjadinya.

Berdasarkan sistem di atas (uang) BPHTB telah menjadi uang

Negara pada saat peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut

terjadi, karena pada saat itulah telah terjadi pemenuhan hak dan

kewajiban, dimana transaksi peralihan hak atas tanah telah terjadi yang

kemudian menimbulkan kewajiban bagi negara untuk mengeluarkan

sertifikat peralihan hak atas tanah tersebut, dikarenakan negara telah

melaksanakan kewajibannya maka dari itu adalah menjadi hak negara

untuk menerima uang BPHTB tersebut. Dengan kata lain BPHTB sudah

masuk dalam kategori keuangan negara ketika taatsbestand sudah ada.

70

E. Tinjauan tentang Tindak Pidana Penggelapan dan Tindak

Pidana Korupsi

1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.

Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”

sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara

harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai ”

sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.9 Sedangkan

Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai

suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang

melanggar larangan tersebut.10

J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.11 Pandangan ini

9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1997, h. 181. 10 Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto, Semarang, 1990, h. 43. 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I. PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2002, h. 104.

71

berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban

pidana harus dipisahkan.

Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang

tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum

pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit.

straafbaarfeit adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan

dari Simon dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti

tersebut di atas, karena12 :

1) Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat

suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan

undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum;

2) Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan

undang-undang;

12 P.A.F. Lamintang , Op. cit, h. 185.

72

3) Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan

atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya

merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

onrechtmatige handeling.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (delik) bila

memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut13 :

1) Harus ada perbuatan manusia;

2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal

dari undang-undang yang bersangkutan;

3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);

4) Dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Satochid Kartanegara (dalam Leden Marpaung)

mengemukakan bahwa14 :

Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia,

yaitu berupa:

1) Suatu tindakan;

2) Suatu akibat dan;

3) Keadaan (omstandigheid).

13Lamintang Op. Cit, h. 184. 14 Leden Marpaung, Op. Cit, h. 10.

73

Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

Undang-Undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan

yang dapat berupa :

1) Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid);

2) Kesalahan (schuld).

Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap perbuatan

pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan

yang mengandung kelakuan dan akibat yang di timbulkan adalah

adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal

atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.15

2. Konsep Tindak Pidana Penggelapan

a. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan

diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan

(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.

Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan

yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah

pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan

pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan

15 Ibid

74

waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak

dengan jalan kejahatan.

Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah

penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang

yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur

melawan hukum.16

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV

(buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni

Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk

pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja

menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau

sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan

karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan

pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.".17

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan

sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,

menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada

16 http://blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-jenis-jenis-tindak.html. 17 http://blogspot.com//pengertian-yuridis-tindak-pidana-pengelapan-dalam-

bentuk-pokok.html.

75

ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan

dari hasil kejahatan.

b. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab

XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

1) Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan

yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan

sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich

toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan

karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

2) Penggelapan Ringan

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang

digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25.

Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

3) Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang

dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan

76

dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat

upah (Pasal 374 KUHP).

4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan

yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang

untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau

pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,

terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).18

c. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan

Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan

memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang

lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan

unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan

penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :

1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa

a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk

milik orang lain.

18 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta,

2011, Cet. 29, h.132.

77

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.

2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan

a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu bukan ternak.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk

milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.

3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan

a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk

milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

78

4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain.

a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk

milik orang lain.

d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.

f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat

wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya

benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan

karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya

disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya.

Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang

dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum

dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang

dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk

menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi

orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak

79

dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan

karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.

Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);

Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh

hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang

yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang

wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan

sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang

yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk

melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta

kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau

yayasan.

5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga

a. Dengan sengaja memiliki.

b. Memiliki suatu barang.

c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk

milik orang lain.

d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah

diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.

80

Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada

pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga

delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk

melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu

disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini

diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak

pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam

pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada

ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur

dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar

peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak

sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana

penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka.

Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai

delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah

atau telah bercerai harta kekayaan.

Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang

dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka,

yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang

didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta

81

gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta

suami atau harta istri. Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah

yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai

delik aduan.19 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga

dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang

bersengketa.

3. Konsep Tindak Pidana Korupsi

a. Definisi Korupsi

Menurut Bagir Manan, peraturan Perundang-Undangan adalah

keputusan tertulis yang dibuat oleh suatu jabatan atau pejabat yang

berwenang yang berisikan tingkah laku yang bersifat atau yang

mengikat secara umum.20

Peraturan ialah ketentuan umum yang ditujukan

kepada hal- hal yang masih abstrak atau suatu peraturan itu

dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat

diketahui lebih dahulu tetapi mungkin akan terjadi. Artinya

suatu putusan dari jabatan pemerintah itu keluar berupa

peraturan manakala putusan itu dimaksudkan untuk

mengatur hal-hal yang bersifat umum dan tindakan yang

demikian disebut tindakan pengaturan21.

19 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html.

diakses hari Kamis tanggal 01 Januari 2009 20 Bagir Manan, Sistem Perundang-undangan Indonesia, BPHn Departemen

Kehakiman, Jakarta, 1993, h. 14. 21 Soenobo Wirjosoegito, “Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan”,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h. 13.

82

Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu

corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu

com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau

jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak

jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu

pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima

uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan

administrasinya.

Arti korupsi menurut Poerwadarminta disimpulkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976): “Korupsi ialah perbuatan yang

buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya”.22

Menurut Pasal 2 Undang-undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 “korupsi

adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya

diri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan

keuangan Negara”.

Secara hukum pengertian Korupsi adalah tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

22 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Strategi Pemberantasan

Korupsi Nasional. Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawas BPKP, Jakarta, 1999, h. 267-268.

83

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Adapun tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari

hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang

berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan

dalam hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Maka

tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung

dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan

penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.

Tindak Pidana Korupsi memiliki pengertian yang hampir sama

dengan korupsi. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang No.

31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai

berikut:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara (Pasal 2 Undang-undang No.

31 Tahun 1999).

2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara (Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999).

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

84

Korupsi, dapat diuraikan mengenai jenis-jenis tindakan yang tergolong

suatu tindak pidana korupsi, sebagai berikut:

1) Korupsi yang terkait dengan kerugian Negara

a) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat

merugikan Negara adala korupsi;

b) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri

sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah

korupsi.

2) Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap

a) Menyuap pegawai negeri adalah korupsi;

b) Menyuap pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi;

c) Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi;

d) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan

jabatannya adalah korupsi;

e) Menyuap hakim adalah korupsi;

f) Menyuap advokat adalah korupsi;

g) Hakim dan advokat menerima suap adalah korupsi;

h) Hakim menerima suap adalah korupsi;

i) Advokat menerima suap adala korupsi.

3) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan

a) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan

penggelapan adalah korupsi;

b) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan

asministrasi adalah korupsi;

c) Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi;

d) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti

adalah korupsi.

4) Korupsi yang terkait degan perbuatan pemerasan

a) Pegawai negeri memeras adalah korupsi;

b) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah

korupsi.

85

5) Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang

a) Pemborong berbuat curang adalah korupsi;

b) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah

korupsi;

c) Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;

d) Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah

korupsi;

e) Penerima barabg TNI/Polri membiarkan perbuatan curang

adalah korupsi;

f) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga

merugikan orang lain adalah korupsi.

6) Korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam

pengadaan;

7) Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.