BAB II SENI, SIMBOL dan IDENTITAS SOSIALrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10541/2/T2... ·...

26
12 BAB II SENI, SIMBOL dan IDENTITAS SOSIAL 2.1 Pengantar Dalam bab sebelumnya telah dibahas tentang permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini dimana budaya dari suatu masyarakat yang terdapat dalam sebuah seni menjadi identitas sosial masyarakat tersebut, seperti yang terdapat di daerah Maluku, pulau Saparua, tepatnya di negeri Ouw, yang memiliki budaya sempe sebagai hasil kerajinan tangan yang dikenal dengan istilah seni kriya, yang menjadi identitas sosial. Negeri sempe merupakan istilah atau julukan nama bagi negeri Ouw yang merupakan pengrajin sempe yang digunakan oleh masyarakat Maluku pada umumnya sebagai tempat penyajian makanan khas orang Maluku yakni papeda. Kesenian sempe hasil dari budaya negeri Ouw menjadi identitas sosial. Negeri sempe nama lain dari negeri Ouw diberikan oleh masyarakat Maluku khususnya AmbonLease dikarenakan negeri Ouw merupakan penghasil atau pengrajin sempe satu-satunya di Maluku. Namun pada kenyataanya tidak semua masyarakat negeri Ouw adalah pengrajin sempe, adapun perkembangan zaman budaya sempe sudah mulai meredup dan hilang dikarenakan sempe bukan lagi satu-satunya tempat penyajian papeda karena sudah diganti dengan peralatan dapur yang lebih moderen, yang ingin dihubungkan adalah bagaimana identitas yang diberikan oleh masyarakat itu diterima dan dimaknai oleh masyarakat negeri Ouw. Hal yang menarik adalah budidaya sempe yang ada di negeri Ouw didapat melalui hubungan pela-gandong dengan negeri seith yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Oleh karena itu dalam bab ini penulis ingin menguraikan literatur yang berhubungan

Transcript of BAB II SENI, SIMBOL dan IDENTITAS SOSIALrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10541/2/T2... ·...

12

BAB II

SENI, SIMBOL dan IDENTITAS SOSIAL

2.1 Pengantar

Dalam bab sebelumnya telah dibahas tentang permasalahan yang diangkat dalam

penulisan tesis ini dimana budaya dari suatu masyarakat yang terdapat dalam sebuah seni

menjadi identitas sosial masyarakat tersebut, seperti yang terdapat di daerah Maluku, pulau

Saparua, tepatnya di negeri Ouw, yang memiliki budaya sempe sebagai hasil kerajinan tangan

yang dikenal dengan istilah seni kriya, yang menjadi identitas sosial. Negeri sempe

merupakan istilah atau julukan nama bagi negeri Ouw yang merupakan pengrajin sempe yang

digunakan oleh masyarakat Maluku pada umumnya sebagai tempat penyajian makanan khas

orang Maluku yakni papeda.

Kesenian sempe hasil dari budaya negeri Ouw menjadi identitas sosial. Negeri sempe

nama lain dari negeri Ouw diberikan oleh masyarakat Maluku khususnya Ambon–Lease

dikarenakan negeri Ouw merupakan penghasil atau pengrajin sempe satu-satunya di Maluku.

Namun pada kenyataanya tidak semua masyarakat negeri Ouw adalah pengrajin sempe,

adapun perkembangan zaman budaya sempe sudah mulai meredup dan hilang dikarenakan

sempe bukan lagi satu-satunya tempat penyajian papeda karena sudah diganti dengan

peralatan dapur yang lebih moderen, yang ingin dihubungkan adalah bagaimana identitas

yang diberikan oleh masyarakat itu diterima dan dimaknai oleh masyarakat negeri Ouw.

Hal yang menarik adalah budidaya sempe yang ada di negeri Ouw didapat melalui

hubungan pela-gandong dengan negeri seith yang memiliki latar belakang agama yang

berbeda. Oleh karena itu dalam bab ini penulis ingin menguraikan literatur yang berhubungan

13

dengan permasalahan yang diangkat dalam penulisan tesis ini. Dalam penulisannya, ada tiga

tema utama yang akan diuraikan dalam bab ini sebagai sebuah tinjauan literatur adalah diskusi

tentang seni, simbol dan identitas.

2.2 SENI

Menurut karya Nooryan Bahari dalam bukunya Kritik Seni, bahwa konsepsi

kebudayaan atas dasar teori evolusi yaitu kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks,

meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral adat dan berbagai kemampuan

serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.1 Secara tidak

langsung kesenian merupakan bagian dalam kehidupan manusia yang terdapat dalam budaya.

Hasil kebudayaan material atau artefak, biasanya selalu terkait dengan bentuk-bentuk seni

atau ekspresi estetik. Hal ini menunjukan, bahwa meskipun kehidupan sekelompok manusia

sangat sederhana atau primitif, di samping memenuhi kebutuhan pokoknya (primer), mereka

akan selalu mencari celah atau peluang untuk mengungkapkan dan memanfaatkan keindahan

itu sendiri, yakni melalui seni.2

Kehadiran seni di dunia ini telah sejalan lamanya dengan keberadaan manusia sebagai

pembuatnya. Betapa sering kita memuja dan mengagumi segala yang kita nilai sebagai “seni”.

Apa itu seni? Rupanya seni adalah konsep yang paling sulit didefinisikan. Kesulitan itu bukan

terletak pada bentuk-bentuk seni yang sangat beragam tetapi pada makna seni yang bisa saja

subjektif sesuai dengan indikator seorang penilai atau penikmat.3

Menurut Liliweri, istilah seni meliputi media atau beragam media seperti lukisan,

patung, seni grafis, gambar, seni dekoratif, fotografi dan instalasi. Berbagai seni visual ada

1 Nooryan Bahari. Kritik Seni, Wacana Apresiasi dan Kreasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 27. 2 Bahari. Kritik Seni, Wacana ……, 48. 3 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan. (Bandung: Nusa Media, 2014), 350.

14

dalam sebuah kontinum yang berkisar antara (di satu pihak) tujuan murni estetika dan (di

ujung lain ada) tujuan pemanfaatan atau daya guna. Dalam artian ini tujuan yang murni maka

seni tidak harus berarti atau dianggap sebagai skema yang kaku, namun, seni dalam konteks

budaya ditampilkan sebagai kebanyakan benda lain sehari-hari tetapi dikerjakan, dibentuk,

dan diciptakan dengan susah payah karena dijiwai dengan makna tertentu oleh pembuatnya.4

Berdasarkan New Oxford America Dictionary dan Marriam-Webster Dictionary;

Liliweri mencoba menguraikan definisi seni yakni; 5

a. Seni adalah usaha manusia untuk meniru, melengkapi, mengubah, atau berkarya

“melawan” alam.

b. Seni merupakan; (1) produksi atau pengaturan suara, warna, bentuk, gerakan, atau unsur-

unsur lain sedemikian rupa sehingga dapat mempengaruhi rasa keindahan, keindahan

karena diproduksi melalui media grafis atau pertunjukan, (2) seni adalah studi tentang

sebuah aktivitas, dan (3) produk dari sebuah kegiatan berupa karya-karya yang dianggap

indah oleh seseorang atau kelompok.

c. Suatu karya yang dianggap secara konseptual dinilai berkualitas tinggi seperti yang

ditemukan dalam karya yang indah dengan nilai estetika.

d. Seni merupakan ketrampilan yang cipai melalui belajar, praktek, pengamatan; misalnya

seni tukang roti, seni pandai besi, dan ketrampilan yang timbul kemudian diejawantahkan

secara intuitif.

Kata seni mencakup pengertian yang sangat luas, masing-masing definisi memiliki

tolak ukur yang berbeda. Liliweri menambahkan bahwa, apapun definisi tentang seni harus

4 Ibid., 351. 5 Ibid., 351-352.

15

terkait dengan; definisi klasik, untuk pertama kali seni itu didefinisikan dan bagaimana

definisi kerja dari seni itu sendiri. Definisi klasik atas seni dimulai dari kata art yang berasal

dari kata Latin ars (yang berarti skill atau kerajinan). Dalam artian luas, seni di definisikan

sebagai “produk dari tubuh pengetahuan, atau – yang paling sering digunakan adalah – satu

set ketrampilan”. Sedangkan memahami seni dari definisi kerja ialah seni tercipta ketika

seorang seniman membuat sebuah objek menjadi indah, atau menghasilkan pengalaman yang

merangsang para peminatnya (mendengar atau melihat) sesuatu sebagai yang memiliki nilai

artistik.6

Menurut Soedarso, seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksi realitet

(kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk

membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerimanya.7 Hal tersebut

menunjukkan bahwa seni merupakan stimulus yang dibuat seniman, untuk membangkitkan

perasaan seseorang ketika menghayatinya. Sejalan pula dengan Bastomi yang menyatakan

bahwa seni adalah pernyataan tentang keadaan batin pencipta, seni sebagai ungkapan batin

yang dinyatakan dalam bentuk rupa, gerak, nada, sastra, atau bentuk-bentuk lain yang

mempesonakan penciptanya sendiri maupun orang lain yang dapat menerimanya.8

Sejauh ini, dari berbagai pernyataan tentang seni lebih mengarah pada kesanggupan

manusia untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik (luar biasa) serta dapat

menggugah perasaan orang lain. Dengan kata lain, seni merupakan pengalaman batin manusia

yang disajikan secara indah sehingga dapat merangsang pengalaman batin orang lain.

6 Ibid., 355. 7 S. P. Soedorso. “Trilogi Seni”, Penciptaan, Eksistensi, dan Kegunaan Seni. (Yogyakarta: Badan Penerbit

ISI, 2006), 6. 8 Bastomi. Apresiasi Kesenian Tradisional (Semarang: IKIP Semarang Press, 1988), 6.

16

Bastomi menjelaskan kembali bahwa, seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman

estetis yang dinyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya membangkitkan rasa

takjub dan haru. Kata agung di sini merupakan pengejawantahan pribadi kreatif yang telah

matang dan masak. Sementara takjub adalah getaran emosi yang terjadi karena adanya

rangsangan yang kuat dari sesuatu yang agung, serta haru adalah rasa yang memiliki atau

dimulai dari simpati dan empati yang kemudian di lebur menjadi terpesona dan akhirnya

memuncak menjadi haru.9

Semua bentuk seni berserta ekspresi estetik yang hadir dan berkembang dalam setiap

kebudayaan, cenderung berbeda-berbeda dalam corak dan ungkapan, serta mempunyai cirri

khas masing-masing yang unik. Perbedaan corak dan ungkapan tidak hanya menyangkut

pemenuhan kebutuhan estetik saja, tetapi juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan primer

dan sekunder, misalnya pada masyarakat primitif, ekspresi estetik terkait dengan adat istiadat,

kebutuhan ekonomi dan religi.10

Secara garis besar, pembicaraan tentang kesenian dibagi menjadi beberapa kelompok,

yaitu seni rupa, seni musik, seni tari, seni sastra, seni drama, dan lain-lain. Masing-masing

kelompok tersebut masih dibagi lagi dalam sub kelompok kategori seni murni, desain dan

kria. Subkelompok ini masih dapat dibagi lagi dalam ketegori yang lebih kecil, seperti seni

murni yang dibagi atas seni lukis, seni patung dan seni grafis. Demikian juga dengan

subkelompok desain dapat di bagi lagi menjadi desain artsitektur, desain interior, desain grafis

atau komunikasi visual, desain tekstil dan desain produk industri. Sedangkan seni kria dapat di

9 Ibid., 11. 10 Bahari. Kritik Seni, Wacana ……, 48.

17

bagi berdasarkan bahan dan teknik pembuatannya, yaitu; kria keramik, kria kayu, kria logam,

kria kulit, kria rotan, kria bambu, dan anyam.11

Menurut Susanto, karya seni secara utuh dilihat dari segi: bentuk dan dimensi,

manfaat, fungsi, medium, desain, pokok isi dan gaya. Berdasarkan dimensinya karya seni rupa

dibagi menjadi dua yaitu: karya seni rupa dua dimensi dan karya seni rupa tiga dimensi. Karya

seni rupa dua dimensi adalah karya seni rupa yang hanya memiliki ukuran panjang dan lebar

atau karya yang hanya bisa dilihat dari satu arah pandang saja, seperti seni lukis, seni grafis,

dan seni gambar. Sedangkan karya seni rupa tiga dimensi adalah karya seni rupa yang

mempunyai ukuran panjang, lebar dan tinggi atau karya yang mempunyai volume dan

menempati suatu ruang, karya tiga dimensi dapat dipandang dari berbagai arah sudut pandang,

seperti seni patung, seni arsitektur dan lain sebagainya.12

Ditinjau dari fungsinya, karya seni rupa dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: seni

murni (fine art) dan seni pakai atau seni terapan (applied art). Menurut Soedarso, seni murni

atau fine art adalah seni yang lahir karena dorongan murni estetik, yaitu keinginan akan

pengkomunikasian atau pengekspresian hal-hal yang indah yang dirasakan atau dialami

seseorang tanpa adanya maksud-maksud lain di luarnya. Adapun seni terapan atau applied art

adalah jenis seni yang kehadirannya justru karena akan dimanfaatkan untuk kepentingan lain

selain ekspresi estetik, semisal kepentingan agama, politik, atau kebutuhan praktis dalam

kehidupan sehari-hari.13

Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa, karya seni adalah hasil cipta

seseorang dalam bidang seni yang tumbuh dari pemikiran kreatif untuk memenuhi kebutuhan

11 Ibid., 49-50. 12 M. Susanto. Diksi Rupa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 61. 13 Sadorso. Trilogi Seni”. Penciptaan, Eksistensi…., 101.

18

batin sekaligus agar dapat di apresiasi oleh masyarakat. Salah satu peluang untuk menyatakan

identitas diri maupun kelompok adalah melalui kegiatan seni. Kegiatan seni dianggap

potensial oleh karena mampu mengekpresikan identitas diri atau kelompok secara alamiah.

Melalui seni, simbol budaya, mitos, keyakinan, dan harapan dari suatu kelompok dapat

dinyatakan secara efektif dan otentik. Seni sebagai pemberi identitas maksudnya adalah

melalui kekayaan seni budaya negeri Ouw yang memiliki sempe sebagai kerajinan tangan

yang mampu menunjukkan jati diri masyarakat negeri Ouw di tengah budaya global. Identitas

adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, lembaga atau bangsa lainnya, dengan

adanya ciri-ciri yang berbeda itu maka akan muncul kekhasan serta keunikan tersendiri

sehingga akan mampu memberikan kebanggaan bagi pemiliknya identitas itu sendiri.

2.2.1 SENI KRIYA

Seni kriya/kria atau lebih dikenal dengan istilah seni rupa, dimana seni kriya

merupakan subkelompok dari seni rupa itu sendiri. Seni kriya adalah karya seni yang dibuat

dengan ketramplian tangan (hand skill) dengan memperhatikan aspek fungsional dan nilai seni

sehingga seni kriya termasuk dalam karya seni rupa terapan nusantara.14 Seni kria merupakan

kata khas dan asli Indonesia yang bermakna keahlian, kepiawaian, kerajinan, dan ketekunan.

Seni kria merupakan karya seni rupa Indonesia asli yang mempunyai akar kuat, dan

mempunyai ciri khas yang unik dan eksotik.15

Secara etimologi, istilah seni kriya berasal dari akar kata krya (bahasa Sansekerta)

yang berarti mengerjakan; dari akar kata tersebut kemudian menjadi kata: karya, kriya, kerja.

Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau objek. Kata

14 Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 392. 15 Bahari. Kritik Seni, Wacana ……, 53.

19

Kriya dalam bahasa Indonesia berarti pekerjaan (kerajinan tangan). Di dalam bahasa Inggris

disebut Craft yang mengandung arti: energi atau kekuatan, arti lain suatu ketrampilan

mengerjakan atau membuat sesuatu.16 Seni kriya merupakan cabang seni rupa yang

menekankan pada keterampilan tangan yang baik dalam proses pengerjaannya. Sehingga

dalam penciptaannya sangat memerlukan kekriyaan (craftsmanship) yang tinggi dari sang

seniman. Sedangkan orang yang terampil dalam pembuatan benda-benda kriya, atau orang

yang ahli membuat benda kriya disebut kriyawan. Konsep ini sejalan dengan pendapat

Susanto, kriya secara harfiah berarti kerajinan atau dalam bahasa Inggris disebut craft. Lebih

lanjut lagi seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan keahlian kekriyaan

(craftsmanship) yang tinggi seperti ukir, keramik, anyam dan lain sebagainya.17

Seni kriya dibuat menggunakan peralatan yang sederhana tetapi hasilnya dapat

menarik perhatian umum karena mengandung nilai estetis, mampu menyiratkan nilai-nilai

sosial, kepribadian dan sensasional sebagai simbol kepercayaan yang mengandung pesan-

pesan yang sangat kompleks, penuh arti dan sangat manusiawi. Seni kriya diminati dengan

fungsi dan tujuan yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan setiap orang

berbeda-beda pula. Karena itu para seniman kriya sering membuat bermacam-macam jenis

produk seni kriya. Menurut Rasjoyo, secara garis besar fungsi seni kriya terbagi atas tiga

golongan, yaitu: pertama, sebagai dekorasi (hiasan). Kedua, sebagai benda terapan (benda

pakai). dan Ketiga, sebagai mainan. Saat ini banyak produk seni kriya yang berfungsi sebagai

benda pajangan, jenis ini lebih menonjolkan segi rupa daripada segi fungsionalnya. Karena itu

16 Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…,393. 17 Susanto. Diksi Rupa….,67.

20

bentuk-bentuknya sering mengalami modifikasi. Bahkan tidak jarang benda kriya jenis ini

tidak dapat memenuhi fungsi terapan yang semestinya.18

Banyaknya jenis karya seni kriya pada saat ini yang merupakan hasil dari usaha

manusia untuk menciptakan suatu karya yang inovatif dengan menambahkan ekspresi di

dalamnya agar mampu bersaing di pasaran. Sehingga tidak jarang tanpa sengaja seniman telah

menciptakan seni kriya yang wujudnya lebih dekat dengan seni murni. Penciptaan karya kriya

yang seperti itu disebut sebagai “kriya seni”, yang tanpa disadari telah menghilangkan fungsi

praktis pada karya.

Kecenderungan kriya menjadi semata-mata karya yang berorientasi pada ekspresi

individu adalah fenomena yang terjadi pada masyarakat yang relatif terbuka, inilah yang

kemudian melahirkan istilah “kriya seni.”19 Sementara itu, Soedarso menyimpulkan bahwa

kriya seni adalah jenis seni kriya yang bagus buatannya (craftmanship-nya tinggi), bentuknya

indah dan dekoratif, namun satu syarat bagi eksistensi seni kriya telah hilang, yaitu bahwa

seni kriya jenis ini tidak lagi menyandang fungsi praktis, baik karena indahnya si pemilik lalu

merasa sayang untuk memakainya dalam kehidupan sehari-hari, maupun karena dari sejak di

desain memang sudah dilepaskan dari fungsi.20

Dari beberapa uraian tersebut dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan

pengertian kriya adalah; karya, kerja, pekerjaan, perbuatan, yang dalam hal ini bisa diartikan

sebagai penciptaan karya seni bernilai praktis yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang

tinggi. Seni kriya adalah cabang seni rupa terapan yang di dalam pembuatan karyanya

18 Rasjoyo. Pendidikan Seni Rupa…., 111-112 19 T. R. Rohid. “Mempersiapkan dan Mengarahkan Seni Kriya Indonesia dalam Era Globalisasi yang

Terbuka”. Seminar Internasional Seni Rupa 2002 Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

20 Sadorso. “Trilogi Seni”, Penciptaan, Eksistensi…., 113.

21

memerlukan keterampilan tangan (craftsmanship) tinggi didasari oleh wawasan dan

pengalaman berkarya sehingga menghasilkan bentuk-bentuk yang estetis.

2.3 SIMBOL

Dalam kehidupan setiap hari kita berurusan dengan simbol-simbol. Pada umumnya

jenis-jenis simbol merujuk pada simbol fisik karena dia hadir nyata, apalagi semua potensi

indera fisik maupun psikologis kita seperti penglihatan, penciuman, sentuhan serta perasaan

dipakai untuk menafsirkan simbol tersebut. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan

produk dari hasil interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk menerapkan makna

tertentu pada simbol tertertu. Melalui interaksi dengan orang lain individu-individu akan

mengembangkan konsep dirinya sendiri. konsep diri ini akan membentuk perilaku individu.

Secara etimologis istilah simbol berasal dari bahasa Yunani, yakni kata symboion dari

syimballo (menarik kesimpulan berarti memberi kesan). Simbol atau lambang sebagai sarana

atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi

dan keyakinan yang dianut.21 Dillistone, menguraikan definisi simbol melalui karyanya The

Power of Symbol menurut prespektif dari beberapa tokoh simbol untuk memperdalam

pemahaman dan memperkaya wawasan kita. Beberapa tokoh yang akan diuraikan

pandangannya tentang simbol antara lain; A. N. Whitehead, Gothe, Coleridge, Arnold

Toynbee, dan Erwin Goodenough.

A. N. Whitehead, dalam bukunya symbolism, sebagaimana yang dikutip oleh

Dillistone, mengukapkan bahwa;

Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lainnya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah simbol,

21 Sujono Soekamto, Sosioligi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 187.

22

dan perangkat komponen yang kemudian membentuk makna simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut referensi. 22

Menurut Gothe, bahwa dalam simbolisme sejati mengungkapkan bahwa yang-

universal bukan sebagai impian atau bayangan melainkan, sebagai wahyu yang hidup dari

yang tidak dapat diduga. Sedangkan Coleridge, menjelaksan bahwa sebuah simbol

sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti.23

Menurut Arnold Toynbee, yang memusatkan perhatianya pada dunia intelek beranggapan

bahwa, sebuah simbol tidak identik atau koekstensif dengan objek yang disimbolkannya.

Sebab baginya, seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak akan menjadi simbol objek

tersebut, melainkan objek itu sendiri.24

Sedangkan Erwin Goodenough, dalam Jewish Symbols in graeco-Roman Perio,

mendefinisikan simbol sebagai berikut: simbol adalah barang atau pola yang, apa pun

sebabnya, bekerja pada manusia dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan

semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu.

Goodenough menambahkan bahwa simbol memiliki maknanya sendiri atau nilainya sendiri

dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri untuk menggerakan kita.25

Dengan menyimak lima pandangan tokoh diatas secara bersamaan, kita dapat

menemukan kesepahaman bahwa simbol merupakan alat yang kuat untuk merangsang daya

imajinasi kita, dan memperdalam pemahaman dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan

relasi. Sebuah simbol pun pada umumnya disepakati sebagai sesuatu yang tidak berusaha

22 F. W. Dillistone, The power of symbols, (Yogakarta: Kanisius, 2002), 18. 23 Ibid., 18-19. 24 Ibid., 19 25 Ibid.

23

untuk mengungkapkan keserupaan yang persis atau mendokumentasikan sesuatu keadaan

yang setepatnya.

Pada umumnya kita kadang kala tidak dapat membedakan simbol, tanda, ikon, kode,

dan indeks secara spesifik. Alo Liliweri, mencoba untuk membedakan antara simbol, tanda,

ikon, kode dan indeks. Simbol berasal dari bahasa Latin symbolicum (semula dari bahasa

Yunani sumbolon berarti tanda untuk mengerti sesuatu). Sebuah simbol adalah sesuatu yang

terdiri dari atas sesuatu yang lain. Suatu makna dapat ditunjukan oleh simbol. Tanda (sign)

merupakan pengidentifikasi atau penamaan. Tanda merupakan sesuatu yang mewakili dirinya

dan tidak mewakili sesuatu yang lain. Ikon adalah sebuah gambar atau image tentang sesuatu.

Dimana sesuatu itu kita sebut ikon berarti sesuatu yang digunakan secara konvensional untuk

menjelaskan sesuatu seperti fitur pada objek. Kode adalah sistem yang mengorganisassikan

atau mengkodifikasi tanda-tanda. Kode merupakan aturan atau konvensi tentang bagaimana

kita mengkombinasikan tanda, bagaimana tanda berkaitan satu sama lain. Indeks dapat

diartikan sebagai fitur sensorik, seperti A yang lagsung terlihat, terdengar, dan tercium, karena

dia berkorelasi dengan objek yang sekaligus menyiratkan tentang sesuatu yang bukan B.26

Simbol dan tanda dianggap sepadan karena masing-masing menunjuk pada sesuatu

yang lain diluar dirinya. Dillistone dan Victor Turner membedakan simbol dan tanda secara

terminologis. Dillistone, menyatakan bahwa sebuah tanda beroperasi dalam lingkungan yang

relatif statis, bersifat arbitrer dan dapat diganti, karena tidak mempunyai hubungan iteristik

dengan sesuatu yang ditunjukannya; sedangkan sebuah simbol sungguh-sungguh mengambil

bagian dalam realitas yang ditunjukannya dan sampai pada tingkat tertentu diwakilinya. Bagi

Dillistone sebuah simbol berfungsi seperti ini tidak secara mandiri tetapi dalam hal yang

26 Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan,… 295-299.

24

ditunjukannya.27 Sedangkan bagi Turner, simbol memiliki semacam kemiripan (baik itu

bersifat metaphor, maupun bersifat metonimia) antara hal yang ditandai dan maknanya,

sedangkan tanda-tanda tidak memiliki kemiripan seperti itu.

Bagi Turner, tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem tertutup, sedangkan

simbol-simbol (khususnya simbol yang dominan) dari dirinya sendiri bersifat terbuka secara

semantik. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap, sebab makna-makna baru dapat saja

ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana-wahana simbol yang lama sehingga,

simbol itu lebih bersifat dinamis, sebab menurut Turner, individu-individu juga dapat

menambahkan makna pada sebuah simbol.28

Pandangan Raymond Firth, dalam bukunya Symbol; public and Private. Firth

membuat sejumlah pernyataan tentang simbol-simbol pada umumnya.29 Menurut Firth,

hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu mengacu kepada

(mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduannya pada hakikatnya adalah hubungan

yang kongkret dengan yang abstrak, hal yang khusus dengan hal yang umum. Hubungan

tersebut, bagi Firth, membuat simbol memiliki daya untuk menimbulkan dan menerima

akibat-akibat yang kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat.30 Itulah sebabnya

Firth percaya bahwa bagi banyak masyarakat, relevansi utama suatu pendekatan antropologis

kepeada studi tentang simbolisme adalah upaya untuk menghadapi secara seempiris mungkin

masalah manusia yang pokok.31

27 F. W. Dillistone, The power of symbols, (Yogakarta: Kanisius, 2002), 124. 28Victor Turner & Edith Turner, Image and Pilgramge in Christian Culture: Antrhropological Perspectives,

(New York: Columbia University Pres, 1978). 245 29 Raymond Firth, Symbols; Public and Private (New York: Cornell University Press, 1975), 15. 30 Ibid., 15. 31 Ibid., 26.

25

Masalah manusia yang pokok dalam kaitannya dengan simbolisme menurut Firth,

merupakan masalah putus hubungan, yang dimaksudkan adalah adanya suatu kesenjangan

antara pernyataan tindakan secara terbuka pada permukaan (simbol) dengan makna yang

mendasarinnya (subtansi).32 Firth memandang sebuah simbol memiliki peranan yang penting

dalam kehidupan manusia, sebab manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-

simbol dan bahkan merekontruksi realitasnya itu dengan simbol.33 Bukan hanya itu, Firth juga

berpendapat bahwa simbol tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan-fungsi yang dapat

dianggap pertama-tama bersifat intelektual - tetapi sebuah simbol juga dapat memusatkan

pada dirinya sendiri seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas terakhir

(tertinggi) yang diwakilinya.34

Mary Douglas, melihat bahwa simbol-simbol tidak hanya memiliki fungsi untuk

menata masyarakat tetapi juga untuk mengungkapkan kosmologinya. Di dalam bukunya

Natural Symbol, sebagaimana yang dicatat oleh Dillistone, Douglas berpendapat bahwa tubuh

merupakan analogi yang cocok sekali untuk diterapkan pada masyarakat umum; susunan, tata

kerja, dana tata hubungan antara pelbagai bagian tubu dapat disejajarkan dengan hidup setiap

masyarakat tertutup.35 Singkatnya, bagi Douglas, tubuh jasmani dapat mempunyai makna

universal hanya sebagai sistem.36 Artinya, apa yang disimbolkannya secara alami adalah

hubungan bagian-bagian sebuah organisme (individu) dengan keseluruhan (masyarakat).

Individu dan masyarakat dipahami sebagai dua tubuh. Dua tubuh yang kadang-kadang begitu

dekat sehingga hampir menjadi satu, namun biasannya juga terpisah jauh. Ketegangan antara

32 Dua istilah yang digunakan oleh Firth penting artinya simbol mancakup dua entitas; substansi berarti zat

atau bahan yang mendasari, tidak berbagi. Raymond Firth, symbols; public and private…, 20. 33 Firth, Symbols; Public and Private…, 132. 34 Ibid., 408. 35 Dillistone, The power of symbols…, 108. 36 Mary Douglas, Natural Symbol: Explorations in Cosmology, (London: Penguin Books, 1973), 112.

26

keduanya itulah, yang dipandang oleh Douglas memungkinkan pengembangan makna-

makna.37

Makna simbol menurut Turner, pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman

dan dapat dikatakan merupakan kritalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinya sekalipun

begitu, bagi Turner simbol-simbol yang lainya membentuk satuan perilaku yang lebih kecil,

tetapi bukan sekedar embel-embel; simbol-simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan

maknanya harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu.38

Menurut Clifford Geertz, kebudayaan berarti suatu pola makna yang ditularkan secara

historis, yang diwujudkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-konsep yang diwariskan

yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi,

melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap-sikap

terhadap kehidupan.39 Jadi makna yang diwujudkan dalam simbol, konsep yang terungkap

dalam bentuk simbol merupakan pusat minat penilitian Geertz. Bentuk-bentuk simbolis

dalam suatu konteks sosial yang khusus, dipahami oleh Geertz dapat mewujudkan suatu pola

atau sistem yang bisa disebut kebudayaan. Bagi Geertz, menafsirkan suatu kebudayaan adalah

menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang

otentik.40

Pada dasarnya dalam pemaknaan suatu simbol membutuhkan interaksi sosial, agar

pesan pada simbol dapat disampaikan oleh orang lain. Dalam interaksi sosial dijumpai

pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionosme simbolik (symbolic interactionism),

37 Ibid., 113. 38 Ibid. 39 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: kanisius, 1992), 51. 40 Ibid.

27

Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Menurut Mead, perilaku

seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku

orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan

perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan

oleh orang lain.41

Karya Mead yang paling terkenal ini menggaris bawahi tiga konsep kritis yang

dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga

konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari

itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk

menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal

dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul

dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman

individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik.

42

Konsep pertama Mead adalah pikiran (mind), kemampuan untuk menggunakan simbol

yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan

pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. Konsep kedua diri pribadi (self),

kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat

orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi

yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. Konsep ketiga ialah

masyarakat (society), di mana hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan

41 Dedi Mulyana, Metodologi Penilitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), 69. 42 Ardianto Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. (Bandung : Simbosa Rekatama Media),

136.

28

dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat

dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan

manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.43

Simbol pada umumnya memberikan gambaran bagi kita untuk menunjukan atau

menggambarkan suatu objek, dan melaui simbol, manusia dapat menarik suatu pemaknaan

dan berkomunikasi, serta beriteraksi seperti halnya interaksi simbolik. Dimana interaksi

simbolik merupakan hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu

benda atau lambang atau simbol, baik benda mati maupun benda hidup, melalui proses

komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal dan tujuan akhirnya adalah

memaknai lambang atau simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang

berlaku di wilayah atau kelompok masyarakat tertentu. Jika ditarik hubungannya simbol

dengan identitas ialah penggunaan simbol-simbol sangat penting untuk menjalin komunikasi

yang efisien dan untuk memelihara itegritas dari suatu identitas.

2.4 IDENTITAS SOSIAL

Dalam pengantar bab dua buku Richard Jenkins, Social Identity, menjelaskan bahwa

ada banyak pertanyaan tentang identitas dan penentuan identitas (identifikasi). Bagaimana kita

tahu siapa kita, dan bagaimana orang lain mengenal kita? bagaimana kita merasa diri sebagai

individu yang unik dengan kesadaran bahwa, kita selalu dan ada di mana-mana, kita berbagi

aspek identitas dengan banyak orang (orang lain)? bagaimana kita dapat menyelaraskan

perasaan yang rutin tentang diri kita sebagai orang konsisten dengan pengetahuan yang kita

dapat dari hal yang berbeda untuk membedakan orang dan dalam situasi yang berbeda?

43 Ibid,. 138.

29

sampai sejauh itu mungkin untuk menjadi seseorang, atau sesuatu, selain apa sekarang? Dan

itu kemungkinan untuk hanya menjadi diriku sendiri?44

Lebih jauh untuk memahami teori identitas sosial, Jenkins mengawali pemahaman

identitas dari sudut pandang etimologi yang berdasarkan pada Kamus Inggris Oxford

menawarkan akar kata Latin – Identitas, dari idem, ‘sama’ – dan dua makna dasar;

Pada kesamaan objek seperti pada A1 adalah identik dengan A2, tetapi tidak

identik dengan B1. (analogi tersbut mungkin dipakai untuk menerangkan identitas

seseorang tidak sama persis dengan identitas orang lain, begitu pula identitas

kelompok/sosial).

Selaras atau berkesinambungan dari waktu ke waktu yang merupakan dasar untuk

menangkap dan menetapkan kepastian dan kekhasan dari sesuatu.45

Bagi Jenkins, identitas adalah pemahaman kita akan siapa kita dan siapa orang lain,

serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain.

Identitas adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan dibuat dalam proses interaksi manusia.

Menurutnya identitas tentang ‘arti’ (meaning) yang lebih mengarah kepada dikonstruksi

secara sosial, dari pada mengenai perbedaan mendasar antar manusia, karena identitas yang

berbeda memberikan indikasi dengan orang seperti apa seseorang berhubungan, dan karena itu

bagaimana seseorang bisa berhubungan dengan mereka (ada setelah motif). Identitas juga

merupakan klasifikasi multi-dimensi atau pemetaan dunia manusia dimana kita ada di

dalamnya, baik sebagai individu atau sebagai kelompok.

44 Richard Jenkis, Social Identity, Third Edition. (London: Routledge, 2008), 16. 45 Ibid., 17.

30

Berdasarkan penjelasan ini maka komponen penting dalam sebuah upaya untuk

mengerti identitas adalah proses identifikasi. Mengidentifikasi diri sendiri atau

mengidentifikasi orang lain adalah persoalan makna, dan pemaknaan ini selalu melibatkan

interaksi yang akan meliputi persetujuan atau ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi,

komunikasi, dan negosiasi.46 Bagi Jenkins, pembentukan identitas melalui tiga hal, yakni;

pertama, identitas individual dan kolektif berkembang secara sistematis, dan berkembang atas

keterlibatan satu sama lain. Kedua, identitas individu dan kolektif merupakan produk

interaksional “eksternal” yang diidentifikasi oleh orang lain sebagai identitfikasi “internal”.

Ketiga, proses terjadinya identitas dihasilkan baik dalam wacana – narasi, retrorika dan

representasi – dan dalam materi, seringkali bersifat sangat praktis, yang merupakan

konsukuensi dari penetapan identitas.47

Jenkins, menambahkan bahwa identitas personal berbeda dengan identitas sosial yang

merupakan internalisasi terhadap identifikasi kolektif yang seringkali stereotipikal.48 Identitas

sosial erat hubungannya dengan keanggotaan terhadap suatu kelompok dan proses identifikasi

kolektif. Setiap individu memiliki beragam identitas sosial, di antaranya yang di dasarkan

pada keanggotaan terhadap kelompok yang penting dan memiliki batasan yang jelas, maupun

kelompok dengan batasan yang abstrak dan mungkin ambigu. Seseorang menjadi anggota

kelompok karena mengidentifikasi dirinya memiliki kesamaan dengan kelompok tersebut atau

perbedaan dengan kelompok yang bukan kelompok tersebut.49

Dalam The Symbolic Construction of Community karya Anthony P. Cohen, ia melihat

budaya sebagai identitas yang mengacu pada uapaya mewakili seseorang atau kelompok yang

46 Ibid., 4-5. 47 Ibid., 200 – 201. 48 Ibid., 102. 49 Ibid., 122.

31

dibatasi oleh nilai-nilai. Masyarakat, dalam perspektif Cohen, merupakan konstruksi sosial

yang secara kolektif dibayangkan. Dimana menurut Cohen, kita harus melihat budaya sebagai

hasil dan produk interaksi, atau dengan kata lain melihat orang-orang aktif dalam terciptanya

budaya, bukannya pasif dalam menerima hal itu. Berbicara tentang komunitas, Cohen

membawa kita untuk lebih memmahami komunitas atau masyarakat itu sendiri. ia

menjelaskan bahwa 'Komunitas' seperti budaya, mitos, ritual, serta simbol.50

Menurut Cohen, untuk memahami komunitas dengan mencari atau menangkap

pengalaman dari tiap anggota komunitas. Bukanya bertanya,' apa yang terlihat seperti kita?

Apa implikasi teoritis? kita bertanya, 'Apa yang tampak berarti untuk anggotanya? "kita

sedang berusaha untuk menembus struktur, untuk melihat keluar dari intinya. Mencari

kesamaan bentuk (cara berperilaku) yang isinya (makna) mungkin bervariasi di antara para

anggotanya. Masyarakat adalah entitas dimana seseorang berasal, lebih besar dari pada

kekerabatan tetapi lebih segera dari pada yang kita sebut abstraksi 'masyarakat'. Ini karena di

mana orang memperoleh pengalaman mereka paling mendasar dalam kehidupan sosial di luar

batas-batas lingkup kehidupan mereka.51 Masyarakat, adalah di mana kita belajar dan terus

berlatih bagaimana menjadi ‘sosial’. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat, dan pembiasan

melalui diri, menandai apa yang tidak, serta apa yang ada, menekankan sifat dan karakteristik,

sekaligus simbol dari kelompok solidaritas dan kontras identitas dan hubungan kelompok

dengan kelompok dalam ambil perbandingan.52

Cohen, menggambarkan bahwa tidak ada batas struktural yang tetap utuh, realitas

masyarakat terletak pada persepsi anggotanya dari vitalitas budaya. Orang membangun

50 Anthony P. Cohen. The Symbolic Construction of Community. (London and New York: Routledge, 1985), 11.

51 Ibid., 20. 52 Ibid., 110.

32

masyarakat secara simbolis, sehingga sumber daya dan repositori makna, dan rujukan dari

identitas mereka. Ada tiga prinsip cohen lihat yang saling terkait dan kuat yang terkandung

dalam formulasi yang tepat dan fasih dikemukakan oleh Clifford Geertz,53 yang pertama

adalah bahwa budaya ('jaring signifikansi') dibuat dan terus diciptakan oleh orang-orang

melalui interaksi sosial mereka, daripada dipaksakan pada mereka sebagai badan Durkheimian

fakta sosial atau suprastruktur sebagai Marxis. Kedua, menjadi terus menerus dalam proses,

budaya memiliki kekuatan tidak deterministik atau acuan obyektif dapat diidentifikasi

('hukum'). Ketiga, nyata, bukan, dalam kapasitas membantu orang untuk memahami makna

dalam perilaku sosial. Cohen melihat bahwa dalam struktur masyarakat terdapat sistem nilai-

nilai, norma, dan kode moral yang menyediakan suatu identitas yang dibatasi bagi seluruh

anggotanya.

Identitas direfleksikan sebagai simbol, secara tidak langsung simbol direkontrusikan

oleh masyarakat untuk memaknai masyarakat itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa budaya adalah cara kita membuat makna, dengan siapa membuat dunia yang berarti

bagi diri sendiri, dan diri kita berarti bagi dunia. Simbol menjadi pembawa makna, simbol

adalah kendaraan untuk budaya. Menurut Cohen, Simbol memiliki batas, batasan simbol

menyelimuti identitas masyarakat dan identitas individu, hai ini disebut menjadi (tuntutan)

interaksi sosial. Batas ditandai karena masyarakat berinteraksi dengan beberapa cara lain atau

dengan entitas dari mana mereka, yang tidak ingin dibedakan dengan entitas lain.54

Anthony Cohen memulai dengan memperlakukan masyarakat, bukan sebagai suatu

hal, tetapi sebagai proses relasional. mendefinisikan masyarakat baik apa yang sama dan apa

53 Ibid., 17. 54 Ibid., 23-25.

33

yang berbeda dalam satu himpunan fenomena. Untuk alasan ini, bagi Cohen, masyarakat

paling baik dipahami dengan berfokus pada batas dari apa pun yang sedang dibedakan, untuk

itu dalam batas-batas yang setiap komunitas mendefinisikan dirinya.55

Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam

konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial,

soal apa yang kamu miliki secara besama-sama dengan beberapa orang dan apa yang

membedakanmu dengan orang lain.56 Menurut Sherman, setiap orang berusaha membangun

sebuah identitas sosial (social identity), sebuah representasi diri yang akan membantu

mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengetahui siapa diri

kita, kita akan dapat mengetahui siapa diri (self) dan siapa yang lain (others).57 Soerjono

Soekanto, mengatakan bahwa sejak lahir individu (manusia) sudah memiliki dua keinginan

pokok yaitu: keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya (masyarakat)

dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.58

Teori identitas secara umum membahas tentang perilaku individu yang mereflesikan

unit-unit sosial yang lebih besar seperti kelompok sosial, organisasi, kebudayaan, dan

kelompok sosial yang menjadi rujukan bagi setiap perilaku individu tersebut.59 Teori ini

meyakinkan bahwa apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan individu merupakan

manifestasi dari nilai-nilai kolektif yang biasanya dilestarikan dalam organisasi sosial dan

55 Ibid., 12. 56 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005), 221. 57 Robert A. Baron & Donn Byrne, Psikologi Social, Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 2003), 162-163. 58 Soerjonon Soekanto, Sosiologi Satu Pengantar (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1990), 124-125. 59 S. Alexander Haslam, Psychology in Organization: The Social Identity Approach (London: Sage

Publication, 2001), 26-27.

34

kebudayaan tertentu di mana individu merupakan bagian di dalamnya.60 Dalam ensiklopedia

ilmu sosial, identitas atau konsep diri di definisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan

perasaan tentang dirinya sendiri.61

Para ahli membagi identitas menjadi empat tipe yaitu:62 pertama, identitas berdasarkan

pada perseorangan, yang lebih ditekankan pada tipe ini adalah bagaimana sifat diri dari bagian

kelompok di internalisasikan oleh anggota individu sebagai bagian dari konsep diri. Kedua,

identitas sosial berdasarkan korelasi. Tipe ini memberikan pemahaman bahwa individu

menggunakan identitas kelompok pada saat-saat tertentu. Dimana individu berhubungan

khusus dengan orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Hubungan relasional ini

biasanya sering dilakukan dalam hubungan antar kelompok.

Ketiga, identitas sosial berdasarkan kelompok, artinya perilaku individu dalam

berhubungan dengan kelompoknya. Pada kondisi seperti ini, individu harus menggunakan

identitas sosial untuk bisa bergabung dengan kelompok sosial lainnya. Empat, identitas

kolektif, identitas ini memiliki makna yang lebih praksis. Identitas sosial tidak hanya menjadi

sebuah pengetahuan bersama untuk mendefinisikan identitas diri dan kelompok.

Mempertahankan identitas kelompok yang positif adalah motif yang ada di balik setiap sikap

dan perilaku kelompok.

Oleh sebab itu menurut Tajfel, identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas

pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dan sebagainya. Biasanya pendekatan dalam

60 Adam Kuper dan Jesica Kuper, ed. The social Science Encyclopedia (London: Routlegde & Kegan Paul,

1985), 739. 61 A.M Padila, &W. Perez W. Accultutration, Social Identity, And Social Cognition: A New Perspective

(Hispanic Journal of Behavioral Sciences. Vil 25 No 1. Pp2003), 35-55. 62 Peter Burke & Jan Stets, Identity Theory and Social Identity (Pullman: Depertemen Sociology,

Washington State University, 1998), 17-19.

35

identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan sosial, serta kehidupan alamiah masyarakat

dan society. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep individu yang bersumber dari

pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial dengan berbagai jenis

nilai, latar belakang sejarah, norma, dan ikatan emosional yang berkembang dalam kelompok

tersebut.63

Pandangan yang sama juga datang dari Hogg dan Abram, identitas sosial mengacu

pada asumsi-asumsi mengenai sifat individu dan sifat masyarakat dan interaksi yang terjalin

antar keduanya. Di dalam masyarakat yang hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial

merupakan penggolangan orang menurut agama, ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, etnis,

agama, dan lain-lainnya. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat suatu

kekuasaan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya memunculkan suatu

sturuktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan

dan status hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri individu

berlangsung proses kognitif, efektif dan konatif yang dijadikan pertimbangan individu untuk

mengerti dan berprilaku.64

Bingkai kerja sosiologi, menjelaskan identitas sebagai sebuah pandangan yang muncul

dari tradisi interaksionisme simbolis struktural (structural symbolic interractionism).

Beberapa hal penting identitas sosial dalam pandangan ini, yaitu: 65 pertama, perilaku yang

tergantung pada kata bernama atau diklasifikasikan bahwa nama-nama ini membawa makna

dalam bentuk respon bersama yang bersumber dari interaksi sosial. Kedua, bahwa di antara

63 Henry Tajfel, “Social Categorization”, dalam S Moscovici (ed) Introduction a la psychilogic sociale, Vol

1 (Paris: Larousse, 1972), 31. 64 Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A Social Pshchology of Intergroup Relation

and Group Processes, (London: Routledge, 1998), 61-62. 65 Jan E. Stects and Peter J. Burke, A Sociological Approach to self and Identity (Departement of Sociology:

Washington State University, tanpa tahun), 9-10.

36

kelas-kelas yang bernama ialah simbol yang digunakan untuk menunjuk posisi dalam struktur

sosial. Ketiga, bahwa orang-orang yang bertindak dalam konteks satu nama yang lain pada

struktur sosial dalam arti mengakui satu sama lain sebagai penghuni posisi dan datang untuk

memiliki harapan bagi orang lain ini. Keempat, bahwa orang yang bertindak dalam konteks

struktur sosial juga menamai diri mereka sendiri dan menciptakan makna terinternalisasi dan

harapan berkaitan dengan perilaku mereka sendiri. Kelima, bahwa harapan dan makna dari

dasar penuntun untuk perilaku sosial dan dengan persimpangan menyelidik antara aktor ini

membentuk dan membentuk kembali isi dari interaksi, serta kategori, nama-nama dan arti

yang digunakan.

Berdasarkan pemaparan tentang konsep identitas di atas dari para ahli dapat dilihat

bahwa, Jenkins dalam konsep identitas sosial adalah suatu proses individu dan kolektif

membedakan dirinya dalam relasi sosial mereka. Jenkins mendifinisikan identitas adalah “our

understanding of who we are and of who other people are, and reciprocally, other’s people

understanding of themselves and of other (which includes us)”. Dengan demikian identitas

sosial merupakan suatu proses yang saling berlawanan satu sama lain. Lebih lanjut Jenkins,

mengatakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang jadi, melainkan suatu proses yang terus

berkelanjutan (dinamis).66

Secara umum penulis melihat bahwa Cohen, mengutamakan hubungan dalam suatu

masyarakat dengan memaknai simbol sebagai sistem nilai-nilai, norma, dan kode moral yang

menyediakan suatu identitas yang dibatasi bagi seluruh anggotanya. Dengan secara tidak

langsung Cohen merefleksikan identitas sebagai sebuah simbol yang didalamnya terdapat

nilai-nilai, norma dan kode moral yang terkandung dalam suatu masyarakat. Simbol memiliki

66 Richard Jenkins, Social Identity…, 3-5.

37

batasan yang menekankan pada makna masalah defenisi yang ditimbulkan untuk mencari

sebuah model struktural masyarakat secara spesifik dalam bentuk organisasi sosial,

menunjukkan bahwa struktur tidak dalam diri mereka sendiri tetapi juga bermakna bagi

orang-orang. Tujuannya untuk membangun sebuah komunitas simbolis yang menyediakan

makna dari identitas yang dimiliki oleh masyarakat.