BAB II Refrat

33
BAB II PATOMEKANISME DAN TATA LAKSANA MALARIA PADA NEONATUS 2.1 Definisi Malaria pada Neonatus Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp, yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles spp betina dimana Anopheles gambiae adalah vektor yang paling efisien, pada neonatus penyakit ini dapat ditransmisikan dari ibu yang menyebabkan kongenital malaria dan dapat pula terjadi karena transfusi darah. Penyakit ini terjadi pada daerah tropis dan subtropis di dunia. 7-9 Malaria, yang dulu dikenal juga dengan “ague”, adalah penyakit yang disebabkan karena invasi sel darah merah oleh parasit protozoa genus Plasmodium. Hampir seluruh kematian dan penyakit berat karena malaria disebabkan oleh P.falciparum. 1 2.2 Etiologi Malaria pada Neonatus 5

Transcript of BAB II Refrat

Page 1: BAB II Refrat

BAB II

PATOMEKANISME DAN TATA LAKSANA MALARIA PADA

NEONATUS

2.1 Definisi Malaria pada Neonatus

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp,

yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles spp betina dimana Anopheles

gambiae adalah vektor yang paling efisien, pada neonatus penyakit ini dapat

ditransmisikan dari ibu yang menyebabkan kongenital malaria dan dapat pula

terjadi karena transfusi darah. Penyakit ini terjadi pada daerah tropis dan

subtropis di dunia.7-9

Malaria, yang dulu dikenal juga dengan “ague”, adalah penyakit yang

disebabkan karena invasi sel darah merah oleh parasit protozoa genus

Plasmodium. Hampir seluruh kematian dan penyakit berat karena malaria

disebabkan oleh P.falciparum.1

2.2 Etiologi Malaria pada Neonatus

Malaria disebabkan parasit protozoa intraselular dari genus

Plasmodium. 5 spesies yang menginfeksi manusia yaitu P.falciparum, P.vivax,

P.ovale, P.malariae dan morfologi yang sama dengan P.knowlesi. Nyamuk

Anopheles betina yang terinfeksi mentransmisikan parasit malaria dari satu

orang ke orang lain dan lebih atraktif pada wanita hamil dibandingkan wanita

tidak hamil.6

5

Page 2: BAB II Refrat

P.falciparum merupakan parasit malaria yang paling letal dengan

mortalitas dan morbiditas yang terkonsentrasi pada wanita hamil dan anak-

anak kecil, disebabkan oleh keparahan sindrom seperti malaria serebral, edem

pulmonum dan anemia berat. Efek sekunder dari malaria pada ibu termasuk

supresi respon imun terhadap vaksinasi, seperti tetanus toksoid dan penurunan

transfer plasenta terhadap antibodi spesifik ke janin, misalnya virus sinsitial

respiratorik, campak dan pneumokokus.6 Prevalensi yang tinggi dari malaria

congenital disebabkan oleh P.vivax dibandingkan dengan P.falciparum pada

daerah non-endemik.5

2.3 Klasifikasi Malaria pada Neonatus

Malaria pada neonatus terbagi menjadi 3 tipe, yaitu malaria kongenital,

malaria didapat dan malaria transfusional.1

a. Malaria kongenital

Malaria kongenital terjadi apabila parasit malaria melewati plasenta, baik

selama proses kehamilan normal maupun saat persalinan. Umumnya plasenta

dianggap menjadi barier yang efektif untuk mencegah masuknya plasmodium,

dan penyebab dari hilangnya fungsi barier pada plasenta yang menyebabkan

dapat masuknya parasit ke fetus tidak diketahui. Peneliti awal menyatakan

bahwa kerusakan mekanik adalah hal yang penting, sedangkan yang lain

menyatakan bahwa parasit yang menginduksi perubahan patologik. Schwetz

(1939) menduga bahwa demam akut disebabkan oleh kekakuan plasenta yang

besar. Sedangkan Tanner dan Hewlett (1939) menduga bahwa pemisahan

6

Page 3: BAB II Refrat

prematur plasenta sebagai faktor penting. Kegagalan profilaksis pirimetamin

selama kehamilan untuk melindungi bayi dengan sempurna dari malaria

congenital telah dilaporkan oleh banyak pihak.

b. Malaria didapat

Malaria yang didapat dihasilkan dari gigitan nyamuk pada berbagai waktu

setelah persalinan, dengan parasitemia aseksual yang terdeteksi setelah masa

inkubasi minimum selama seminggu.

c. Malaria transfusional

Malaria transfusional pada neonatus terjadi ketika parasit malaria terdeteksi

pada neonatus setelah mendapatkan transfusi darah, dimana sebelumnya pada

hapusan darah tepi dinyatakan negatif. Interval rata-rata diantara transfusi

darah dan munculnya gejala klinis adalah selama 3 hari. Masa inkubasi dari

malaria post-transfusi dapat bervariasi antara 12 hari (P.falciparum) dan 3-4

minggu (P.vivax), dan dapat lebih lama (P.malariae). Imunitas yang menurun,

karier malaria tanpa gejala klinis dapat menjadi risiko mayor untuk resipien

darah tersebut. Malaria transfusional selama masa neonatal merupakan

penyakit iatrogenik yang berakibat dari meningkatnya standar perawatan

neonatus, yang disebabkan sangat sulitnya menskrining donor dan tidak ada

biaya efektif dan ketersediaan alat untuk perlindungan lengkap resipien.

Kecurigaan klinis yang dini dipikirkan dari sejarah transfuse pada bayi yang

membuat ahli anak waspada untuk melakukan pemeriksaan dan memastikan

diagnosis. Saat malaria ditegakkan dan diterapi, malaria transfusional sembuh

secara cepat dan tidak mengalami relaps dikarenakan parasit tidak menetap di

7

Page 4: BAB II Refrat

hati. Salah satu cara untuk mencegah insidensi malaria transfusional adalah

dengan menyeleksi donor dengan riwayat malaria, ataupun tinggal di daerah

endemis malaria.10

2.4 Epidemiologi Malaria pada Neonatus

Malaria menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling

penting di seluruh dunia, dan merupakan 8% dari mortalitas anak di bawah 5

tahun.7

Malaria merupakan kasus infeksi terbanyak kedua yang berhubungan

dengan kematian di dunia, setelah tuberkulosis. Penyakit ini mengenai 350-

500 juta orang setiap tahunnya. Malaria menjadi endemis pada 90 negara dan

menyebabkan 1-3 juta kematian setiap tahunnya. Anak-anak, khususnya di

Afrika, merupakan penderita malaria. Di Gambia, malaria terjadi hampir 25%

kematian yang terjadi pada anak dibawah 5 tahun.1,11,12

Diperkirakan 50 juta wanita hamil dan lebih dari 40% dari seluruh

kelahiran di seluruh dunia terjadi di daerah endemis malaria pada daerah

tropis dan subtropis, termasuk negara yang paling tropis pada Afrika sub

Sahara, Asia Tenggara dan Amerika Latin.4

Pada penelitian Oshikoya (2007), anak berumur 0-1 tahun (neonatus)

merupakan persentasi yang paling kecil (1,3%) pada pasien di penelitian

tersebut. Malaria pada kelompok ini disebut malaria neonatal dan memiliki

gejala yang asimtomatik atau gejala ringan. Prevalensi dari malaria neonatus

8

Page 5: BAB II Refrat

(1,3%) pada penelitian ini lebih rendah dari laporan sebelumnya di Nigeria

(9,1%).8

Disamping tingginya prevalensi parasitemia maternal dan plasental di

daerah endemis malaria, malaria kongenital dilaporkan menjadi kasus yang

jarang pada bayi yang dilahirkan ibu yang memiliki semi imun.13

Neonatus pada daerah endemis terlindungi dari serangan malaria

dikarenakan terdapatnya perlindungan. Perlindungan tersebut dihasilkan oleh

beberapa mekanisme seperti diet ASI pada bayi yang defisiensi asam p-

amino benzoid, faktor hematologi sebagai penuaan populasi eritrosit, dan

gigitan selektif oleh nyamuk pada kelompok umur yang berbeda.

Perlindungan pada neonates juga disebabkan antibodi transplasental

(maternal).1

Laporan terbaru melaporkan bahwa perlindungan tersebut tidak

lengkap dan oleh karena itu gejala klinis malaria pada periode neonates, dan

beberapa bayi menunjukkan penyakit yang berat.1

Malaria menyebabkan anemia maternal dan berkontribusi sebesar

10.000 kematian maternal setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, infeksi malaria

berakhir pada 75.000-200.000 bayi dengan berat lahir rendah setiap

tahunnya, dengan kombinasi kelahiran preterm dan gangguan tumbuh

kembang janin. Bentuk yang paling berbahaya dari malaria pada ibu hamil

adalah P.falciparum. Sedangkan malaria P.vivax menyebabkan lahirnya bayi

dengan kondisi yang buruk.4

9

Page 6: BAB II Refrat

Malaria paling sering terjadi pada kehamilan pertama, antara minggu

ke-14 dan 16. Umur juga dapat menjadi faktor risiko independen, yaitu

wanita hamil usia muda lebih rentan terkena malaria selama hamil.14

Mc.Gregir (1984) menyatakan bahwa parasitemia yang terdeteksi pada

bayi berusia kurang dari 3 bulan sering terjadi selama musim dingin daripada

musim panas.1

2.5 Patomekanisme Malaria pada Neonatus

Ibu hamil merupakan resiko besar terkena infeksi malaria dan penyakit

malaria simtomatik dibandingkan wanita yang tidak hamil, hal ini dikarenakan

respon imun pada wanita hamil lebih lemah dibandingkan wanita yang tidak

hamil dan dikarenakan jumlah besar sequester parasit dalam plasenta.4

Mekanisme transmisi kongenital dari parasit malaria yaitu transfuse

maternal ke sirkulasi fetal pada saat proses persalinan atau selama kehamilan,

penetrasi langsung melalui vili khorionik, atau penetrasi melalui pemisahan

dini plasenta. Terdapat resistensi fetus terhadap infeksi, yaitu barier fisik pada

plasenta terhadap eritrosit yang terinfeksi, transfer pasif dari antibodi

maternal, dan lingkungan yang tidak baik yang disediakan oleh eritrosit fetal

untuk replikasi plasmodium yang menyebabkan komposisi hemoglobin fetal

dan menurunkan tekanan oksigen bebas.5

Peningkatan transmisi vertikal dari ibu ke janin, baik selama masa

kehamilan maupun persalinan telah didokumentasikan di daerah endemis

dengan angka prevalensi sampai sebesar 32%. Penyebaran dapat terjadi dari

10

Page 7: BAB II Refrat

transfusi darah yang terinfeksi ataupun melalui jarum yang terinfeksi.

Transmisi malaria dari air susu ibu tidak terjadi.6

Telah diketahui bahwa selama kehamilan pertama dan kedua, imunitas

wanita secara klinis dapat menurun sehingga dapat mengakibatkan densitas

tinggi terhadap parasitemia. Konsekuensi yang banyak didapatkan adalah bayi

berat lahir rendah dan peningkatan mortalitas. Bayi berat lahir rendah selalu

dihubungkan dengan terdapatnya parasit pada tali pusat.15

Malaria kongenital dapat terjadi meskipun tidak terdapat infeksi malaria

aktif pada ibu selama kehamilan. Hal ini diperkirakan bahwa ibu telah

mengalami episode rekrudesen dari malaria vivax selama trimester ketiga,

yang saat itu terjadi infeksi ringan dan hilang secara spontan, sehingga tidak

terdiagnosis.5

Hal tersebut juga dapat dijelaskan bahwa masa inkubasi yang panjang

dan manifestasi klinis yang ringan pada malaria P.vivax, yang kemudian

menyebabkan berlangsungnya episode selanjutnya pada maternal yang

kemudian tidak terdiagnosis dan tidak diterapi. Tambahan lain yang secara

potensial menentukan kontraindikasi obat-obatan selama kehamilan yang

dapat membasmi stadium hati pada parasit, yang kemudian sangat mungkin

dapat meningkatkan relaps yang terlambat.5

P.falciparum menyebabkan 3 perubahan spesifik pada plasenta. IEs yang

berisi trofozoit matur dan parasit skizon berakumulasi pada ruang intervilus

(struktur yang menyerupai danau yang berhubungan dengan sirkulasi darah

ibu), kadang-kadang terjadi densitas yang sangat tinggi. Malaria plasental

11

Page 8: BAB II Refrat

disebabkan infiltrasi monosit dan makrofag, beberapa berisi pigmen malaria

(hemozoin). Akhirnya, hemozoin terlihat sebagai deposit fibrin, dan fibrin

yang terpigmentasi tersebut dapat muncul setelah episode resolusi dari infeksi.

Perubahan-perubahan tersebut (parasit, monosit dan fibrin yang berisi pigmen)

dihubungkan dengan kelahiran bayi dengan kondisi yang buruk.4

Sekuestrasi dari IE merupakan jalur penting pada semua patologi yang

berhubungan dengan P.falciparum. Pada otak dan organ dalam lain, ICAM-1

dan CD36 merupakan ligan primer untuk IE. Sebaliknya, pada plasenta, IE

berikatan dengan chondroitin sulphate A (CSA) dan asam hialuronik, yang

diekspresikan oleh sinsitiotrofoblas yang membatasi ruang intervilus

plasenta.4

IE plasenta mengekspresikan bermacam-macam antigen permukaan/

variant surface antigens (VSAs), yang memediasi sitoaderen. VSAs mayor

adalah reseptor PfEMP1 (P.falciparum erythrocyte membrane protein 1),

mengkode gen plasmodial var. Salah satu gen var yaitu var2csa, muncul untuk

berikatan dengan CSA. Delesi var2csa secara besar atau sempurna

menghapuskan adhesi CSA, isolasi plasenta sering menghasilkan var2csa

dengan kadar tinggi, dan kadar antibody untuk rekombinan protein yang

berkorelasi dengan proteksi pada beberapa subkelompok. Sehingga,

VAR2CSA mungkin menjadi calon vaksin yang dapat diharapkan.4

Malaria dapat menyingkirkan respon imun host pada plasenta dengan

mengubah respon tersebut. Malaria plasenta menyebabkan peningkatan

sintesis dari sitokin inflamatorik seperti TNF, interleukin-2 dan interferon

12

Page 9: BAB II Refrat

gamma. Peningkatan TNF plasenta telah dihubungkan dengan berat badan

lahir rendah dan anemia. Beberapa mekanisme dimana malaria berakhir pada

persalinan prematur atau perkembangan janin terganggu diilustrasikan pada

gambar berikut.4

13

Page 10: BAB II Refrat

Gambar 1. Mekanisme patogenik potensial dimana malaria plasenta mempengaruhi fungsi plasenta dan mengakibatkan perkembangan intrauterin terhambat atau persalinan preterm. (Meshnick, 2008)

Keterangan: IRBC= infected red blood cell; CSA= chondroitin sulfate A; IUGR= intrauterine growth retardation; PTD= preterm delivery

Nutrisi ibu sebelum dan selama hamil merupakan faktor lain yang

menentukan berat lahir. Pada penelitian terbaru di Kinshasa, efek malaria

terlihat paling jelas pada ibu yang kurang nutrisi. Suplemen makronutrien

untuk ibu terlihat dapat meningkatkan berat lahir, dan kombinasi nutrisional

14

Page 11: BAB II Refrat

dan intervensi malaria dapat memberikan proteksi optimal pada fetus dari

hambatan pertumbuhan.4

Resistensi neonatus terhadap malaria disebabkan beberapa faktor,

seperti adanya imunitas pasif yang didapatkan dari semi-imun dari ibu,

persentasi yang tinggi dan resistensi relatif terhadap proses masuknya parasit

ke eritrosit fetus yang mengandung hemoglobin, dan diet susu defisiensi asam

p-amino benzoate.5

Namun menurut Khan dan Talibi (1972), imunitas pasif yang

ditransfer oleh ibu ke neonatus tidak berperan secara signifikan dalam

menghambat perkembangan parasit malaria pada neonatus.5

2.6 Manifestasi Klinis Malaria pada Neonatus

Onset manifestasi klinis pada malaria kongenital dapat bervariasi

antara segera setelah lahir sampai usia 10 minggu, namun beberapa penelitian

menyatakan bahwa usia rata-rata munculnya manifestasi klinis adalah pada

usia 21 hari.5

Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik malaria pada neonates yaitu

anemia (77%), demam (74%), hepatosplenomegali (68%), penurunan nafsu

makan/letargi/iritabel dan ikterik. Trombositopenia berat tanpa perdarahan

sering dilaporkan terjadi pada malaria kongenital.5

Menurut penelitian Lesko et al (2007) yang meneliti kasus malaria

congenital di Amerika Serikat dalam kurun waktu 1966-2005, menemukan

gejala yang paling sering ditemukan adalah demem (86% kasus), sedangkan

tanda yang paling sering ditemukan adalah anemia (35%), splenomegali

15

Page 12: BAB II Refrat

(31%), hepatomegali (20%), trombositopenia (15%) dan ikterik (14%). Hal ini

dapat dilihat pada tabel berikut.16

Tabel 1. Kekerapan gejala klinis, tanda, dan penemuan laboratories pada 81 bayi yang didiagnosis malaria kongenital di Amerika Serikat, 1966-2005 (Lesko, 2007)

Pada penelitian Obu et al (2011), 85% pasien dengan malaria neonatal

bermanifestasi klinis berupa demam, didapatkan pula dalam persentasi yang

signifikan gejala-gejala lain seperti sulit makan, menangis keras, muntah,

distensi abdomen, sulit bernapas dan hepatomegali. Gejala klinis tersebut

sama dengan gejala yang ditemukan bayi dengan septikemia bakterial. Refleks

primitive (neonatus) yang menurun lebih jarang terjadi pada neonatus dengan

malaria jika dibandingkan dengan septicemia bacterial. Tidak ada penjelasan

yang pasti mengenai hal ini namun terdapat kemungkinan bahwa terdapat

16

Page 13: BAB II Refrat

keterlibatan system saraf sentral pada neonatus dengan septicemia yang dapat

menjelaskan tingginya kejadian penurunan reflex primitive.1

Efek yang merugikan pada kehamilan (anemia) dan outcome

kehamilan (lahir mati, aborsi, berat lahir rendah, prematuritas, perkembangan

janin terganggu, mortalitas perinatal, anemia pada bayi) berhubungan dengan

perpanjangan malaria plasenta dan bagian dari derajat anemia dan demam

pada ibu. Malaria kongenital bermanifestasi sebagai demam, anemia, ikterik,

hepatosplenomegali dan kematian dini.4

2.7 Pemeriksaan Penunjang Malaria pada Neonatus

Pemeriksaan darah tepi dengan pewarnaan Giemsa yang tipis dan

diperiksa dengan mikroskop cahaya adalah gold standard diagnosis. Lebih

jauh lagi, dapat dilakukan deteksi antigen secara cepat dalam 2-10 menit,

dengan variable yang akurat. Sebagai tambahan, beberapa pemeriksaan

laboratorium dapat dilakukan. Pemeriksaan yang paling akurat dan paling

mahal adalah PCR untuk mendeteksi asam nukleat parasit. Apabila terdapat

serologi yang mendeteksi antibodi menunjukkan infeksi yang sudah lama,

dapat pula pemeriksaan dengan indirect immunofluorescence (IFA) atau

ELISA.6

Pada daerah endemis malaria, malaria plasental memiliki karakteristik

berupa sel darah merah di darah plasenta yang mengandung parasit dalam

daerah intervilus, lebih sering didapatkan dibandingkan pada sirkulasi darah

tepi ibu, yang biasanya asimtomatik dikarenakan imunitas parsial yang

17

Page 14: BAB II Refrat

didapat. Spesies yang terlihat pada koloni di plasenta hanya P.falciparum.

Pencarian biomarker untuk mengidentifikasi inflamasi plasenta adalah kadar

darah perifer maternal yaitu interleukin-10 pada batas 15 pg/ml memiliki

sensitifitas sebesar 80% dan spesifitas sebesar 84% untuk mendeteksi malaria

plasental.6

Menurut penelitian Abiodun et al (2006), semua neonatus dengan

gejala klinis yang mengarah kepada infeksi neonatorum harus dilakukan

pemeriksaan darah tepi untuk mendeteksi parasit malaria sebagai bagian dari

skrining rutin.17

Pada infeksi malaria saat kehamilan, pemeriksaan histologis plasenta

dapat menunjukkan tanda infeksi aktif (terlihatnya eritrosit yang terinfeksi

(infected erythrocytes= IE pada ruang intervilus), infeksi yang telah lalu

(pigmen malaria, pada leukosit). Parasit plasenta umumnya ditemukan saat

stadium matur (trofozoit dan skizon) dah kadang parasitemia plasenta terjadi

dalam jumlah yang tinggi yaitu 50%.18

Pemeriksaan jaringan plasenta pada wanita hamil yang terinfeksi

malaria dapat dilihat pada gambar berikut.19

18

Page 15: BAB II Refrat

Gambar 2. Jaringan plasenta dari (A) wanita hamil yang normal dan (B) wanita hamil yang terinfeksi malaria (Rogerson, 2007)

Jaringan diwarnai dengan antibodi monoklonal yaitu CD68, yang spesifik terhadap monosit dan makrofag, dan berkembang dengan diaminobenzidin (warna coklat). Asterisk mengindikasikan CD68 yang mewarnai monosit/makrofag pada ruang intervilus. Panah menunjukkan eritrosit yang mengandung parasit. Garis menunjukkan garis terluar dari lapisan trofoblas

2.8 Diagnosis Malaria pada Neonatus

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

mikroskopik pada film darah dimana ditemukan parasit pada film tersebut,

walaupun diagnosis tersebut tidak diperkirakan sebelumnya.5

Greenwood et al (1991) telah menduga bahwa kadar parasitemia harus

meningkat sampai kadar yang pasti sebelum diagnosis klinis malaria

tertegakkan, namun hal ini tidak diperlukan untuk diaplikasikan terhadap

neonatus dan bayi kecil.1

Gejala klasik malaria dapat tidak terlihat pada neonatus, sejak parasit

tersebut hanya dapat menggunakan retikulosit untuk bereplikasi dan sel-sel

tersebut jarang ditemukan pada neonatus dikarenakan depresi eritropoesis

setelah lahir. Pada situasi ini lebih sulit untuk menegakkan diagnosis dan

19

Page 16: BAB II Refrat

kecurigaan malaria neonatus, pemeriksaan fisik yang seksama dan

pengulangan pemeriksaan hapusan darah tepi dapat diperlukan. Kadang-

kadang parasitemia tidak dapat terlihat di hapusan darah tepi, sehingga deteksi

antigen plasmodial atau polymerase chain reaction (PCR) darah dapat

dilakukan.20

2.9 Diagnosis Banding Malaria pada Neonatus

Diagnosis malaria kongenital harus dipertimbangkan sebagai diagnosis

banding yang penting pada sepsis neonatorum pada bayi yang lahir dari ibu

yang berasal dari daerah endemis malaria, dengan atau tanpa riwayat penyakit

malaria selama hamil.5

Malaria vivax merupakan spesies yang paling banyak pada infeksi

congenital di Eropa. Oleh karena itu penyakit ini harus menjadi diagnosis

banding pada sepsis neonatorum meskipun ibu tidak memiliki episode malaria

selama kehamilan.5

2.10 Tatalaksana Malaria pada Neonatus

Klorokuin adalah pilihan utama penatalaksanaan pada malaria

neonatal. Untuk kasus dengan resisten klorokuin, dapat diberikan artesunat

oral.3

Tatalaksana malaria vivax kongenital memerlukan skizontisid darah,

seperti klorokuin, dimana primakuin tidak diperlukan pada malaria congenital

disebabkan tidak ada stadium hepatik pada parasit.5

20

Page 17: BAB II Refrat

Pada penelitian Gurkan et al (2004), terapi pada pasien diutamakan

dengan penggunaan klorokuin. Sedangkan primakuin tidak diperlukan untuk

bayi baru lahir, dikarenakan tidak ada fase hati yang persisten pada infeksi

congenital yang didapat, dan hal tersebut dapat menyebabkan

metemoglobinemia yang dapat menyebabkan fatal pada usia tersebut. Terapi

profilaksis klorokuin direkomendasikan sekali seminggu sampai setelah

persalinan. Infeksi berulang atau kegagalan terapi telah dilaporkan sebagai hal

yang umum terjadi.20

Kasus malaria terbanyak pada kelompok usia neonatus disebabkan

oleh P.falciparum dan P.vivax, dan sensitif terhadap klorokuin. Manifestasi

klinis yang umum adalah anemia, demam, respiratory distress, apne, ikterik

dan hepatosplenomegali. Data mengenai terapi malaria P.falciparum pada

neonatus yang resisten terhadap klorokuin masih terbatas. Penelitian Al-

Arishi et al (1999) menunjukkan kasus P.falciparum yang resisten terhadap

klorokuin pada bayi prematur yang ekstrim yang memiliki parasitemia berat,

dan telah berhasil diterapi dengan kombinasi kuinin dan pirimetamin-

sulfodoksin.21

Pada penelitian Oshikoya (2007), sebagian besar kasus malaria

neonatal terjadi dalam 3-4 minggu pertama kehidupan sebagai hasil dari

peningkatan imunitas, yang berimplikasi bahwa kasus terbanyak dikarenakan

gigitan nyamuk. Terapi yang diberikan adalah parasetamol (79,8%) dan

vitamin B kompleks (76,8) yang diberikan bersamaan dengan antimalaria

telah dilaporkan di Nigeria8

21

Page 18: BAB II Refrat

WHO merekomendasikan kuinin atau derivat artemisinin (artemeter

atau artesunat) untuk terapi malaria berat. Kuinin adalah rekomendasi untuk

banyak Negara, kecuali di Asia tenggara dan Amazon. Terapi lini pertama

apapun yang digunakan WHO kini direkomendasikan secara kuat untuk terapi

kombinasi, menggunakan obat tambahan yang tidak memiliki resistensi

(sulfadoksin-pirimetamin, artemisin atau klindamisin yang dikombinasikan

dengan kuinin).22

Derivat artemisinin yaitu artemeter, artesunat, arteeter dan artelinat.

Komponen-komponen ini cepat diubah menjadi metabolit aktif

dihidroartemisinin dan berperan secara cepat melawan parasit dalam jumlah

yang banyak. Artemisinin dan derivatnya menghambat kalsium adenosine

trifosfat esensial, yaitu PfATPase.22

Artemisinin dan derivatnya adalah alternative kuinolon untuk anak

dan dewasa, khususnya pada daerah dengan resistensi multi obat. Artemisinin

dan derivatnya dianggap aman dan efektif untuk terapi malaria yang tidak

mengalami komplikasi pada dewasa dan anak, dan penelitian randomized

trials terbaru menmbandingkan artesunat dan kuinin di Asia Timur yang

memperlihatkan bukti dari keuntungan artesunat.22

Senyawa artemisin yang digunakan baik tunggal maupun secara

kombinasi dengan antimalaria lain menjadi terapi umum dan penting untuk

menentukan keamanan untuk semua kelompok umur. Terdapat suatu

penelitian yang meneliti keamanan derivat artemisinin pada neonatus.

Meskipun terdapat data yang mendukung keamanan derivate artemisinin

22

Page 19: BAB II Refrat

terhadap malaria tanpa komplikasi pada dewasa dan anak, terdapat syarat

mengenai penggunaannya pada malaria berat atau selama kehamilan. Tidak

ada penelitian yang meneliti spesifikasi keamanan pada masa neonatus.22

Penatalaksanaan yang tepat bagi wanita hamil dengan malaria

membutuhkan terapi yang dini dan efektif di daerah malaria bersama-sama

dengan skrining dan terapi yang sesuai untuk anemia. Peningkatan resistensi

terhadap obat yang efektif dengan keamanan pada wanita hamil seperti

sulfadoksin-pirimetamin membuat rekomendasi bahwa terapi kombinasi

artemisinin adalah strategi yang paling memiliki biaya efektif untuk

mengontrol malaria di Sub Sahara Afrika. Efeknya cepat dan dapat

diandalkan, dengan efikasi lebih dari 95% untuk artesunat-meflokuin,

artemeterlumefantrin dan dihidroartemisinin-piperakuin. Pada kehamilan, saat

terdapat malaria dengan tidak ada komplikasi, rekomendasi terbaru WHO

adalah terapi kombinasi artemisinin sebagai pilihan pertama untuk trimester

kedua dan ketiga (dan saat menyusui anak) dan kuinin oral selama 7 hari pada

trimester pertama.6

2.11 Komplikasi Malaria pada Neonatus

Morbiditas yang disebabkan malaria adalah luas, yaitu bayi berat lahir

rendah, perkembangan janin terganggu, dan bayi preterm yang meningkatkan

risiko kematian neonatal dan gangguan perkembangan kognitif yang

disebabkan masalah pada prenatal dan postnatal. Termasuk yang terakhir yaitu

hipoglikemi yang tidak terdeteksi dan tidak diterapi. Lebih jauhnya, sekitar

23

Page 20: BAB II Refrat

7% anak yang bertahan hidup dri malaria serebral karena P.falciparum

memiliki gangguan neurologis permanen dan ada pula yang mengalami

kesulitan belajar yang berdampak pada prestasi sekolah yang memburuk.

Demam dan yang rekuren yang disebabkan malaria yang eksaserbasi dari

resistensi obat juga demikian yang menyebabkan anak mengalami parasitemia

dan anemia lagi, sehingga mengganggu kesehatan dan prestasi sekolah.6

Infeksi malaria dalam kehamilan atau infeksi malaria dalam sel darah

merah pada wanita hamil dapat menyebabkan anemia maternal, kemungkinan

aborsi, kematian janin, bayi berat lahir rendah (BBLR). Rata-rata berat bayi

yang lahir dari ibu dengan malaria plasenta berkurang sebanyak 55-310 gram.

Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi yang dikarenakan hambatan

perkembangan janin dan persalinan prematur.23-27

Mekanisme parasit malaria sehingga menyebabkan perkembangan

janin terhambat dan prematur tidak diketahui secara pasti. Sitoaderen diduga

merupakan faktor kunci pada kasus infeksi P.falciparum namun cara

sitoaderen sehingga menurunkan fungsi plasenta tidak diketahui. Sejak infeksi

P.vivax, yang bukan merupakan sitoaderen, juga terjadi bayi berat lahir

rendah, maka faktor-faktor lain, yang diduga hormonal dan nutrisi, mungkin

juga terlibat.28

2.12 Pencegahan Malaria pada Neonatus

Infeksi Plasmodium sp pada wanita hamil dihubungkan dengan bayi

berat lahir rendah dan memiliki konsekuensi peningkatan risiko.16

24

Page 21: BAB II Refrat

Dahulu, wanita hamil mengkonsumsi klorokuin profilaksis untuk

mencegah malaria. namun klorokuin tidak lagi efektif sebagai antimalaria.

Menurut Harrington et al (2009) dan Gosling et al (2010), dugaan pengobatan

terbaru adalah dengan sulfadoksin/pirimetamin, yang akhir-akhir ini

digunakan untuk melindungi wanita hamil di Afrika, juga cepat kehilangan

efektifitasnya dikarenakan munculnya resistensi parasit terhadap obat. Tidak

ada obat lain yang diketahui aman dan efektif saat digunakan untuk

pencegahan malaria selama kehamilan.29

Cara efektif dan terjangkau untuk melindungi wanita hamil dari

malaria telah didiskusikan dalam artikel karangan Heather Jeffery. Sayangnya,

hanya 2-50% wanita hamil di daerah endemis malaria akhir-akhir ini tidur di

dalam kelambu dan relative sedikit wanita yang menerima intermittent

preventive treatment (IPT) yang telah direkomendasikan. Sebagai tambahan,

dikarenakan resistensi, maka diperlukan regimen IPT baru. Beberapa obat

diperlukan untuk dievaluasi secara seksama untuk keamanan kehamilan,

seperti untuk efikasi, dan farmakokinetik obat dapat mengubah radikal pada

kehamilan, penting untuk memastikan dosis optimal regimen.6

Wanita hamil yang non imun disarankan untuk mencegah malaria

pada daerah endemis. Pada umumnya, kemoprofilaksis tidak

direkomendasikan pada daerah dengan laporan kasus malaria falsiparum

kurang dari 10 kasus per 1000 orang pertahun. Pada daerah endemis di

Afrika, WHO merekomendasikan pendekatan dengan tiga cara untuk

mencegah dan mengontrol malaria pada wanita hamil.6

25

Page 22: BAB II Refrat

Kesulitannya adalah berhubungan dengan kontrol nyamuk dan

resistensi obat terhadap parasit, bersama-sama dengan beban yang berat pada

penyakit yang dikarenakan malaria, telah mendorong penelitian yang intens

mengenai vaksin yang sesuai. Baru baru ini tidak ada vaksin yang efektif dan

berlisensi, meskipun percobaan fase ketiga berlangsung. Vaksin preeritrosit

telah didemonstrasikan untuk melindungi anak dan melawan malaria berat

untuk 18 bulan dan episode malaria klinis pada dewasa.6

26