BAB II Refrat
-
Upload
micheliapallupi -
Category
Documents
-
view
94 -
download
0
Transcript of BAB II Refrat
BAB II
PATOMEKANISME DAN TATA LAKSANA MALARIA PADA
NEONATUS
2.1 Definisi Malaria pada Neonatus
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp,
yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles spp betina dimana Anopheles
gambiae adalah vektor yang paling efisien, pada neonatus penyakit ini dapat
ditransmisikan dari ibu yang menyebabkan kongenital malaria dan dapat pula
terjadi karena transfusi darah. Penyakit ini terjadi pada daerah tropis dan
subtropis di dunia.7-9
Malaria, yang dulu dikenal juga dengan “ague”, adalah penyakit yang
disebabkan karena invasi sel darah merah oleh parasit protozoa genus
Plasmodium. Hampir seluruh kematian dan penyakit berat karena malaria
disebabkan oleh P.falciparum.1
2.2 Etiologi Malaria pada Neonatus
Malaria disebabkan parasit protozoa intraselular dari genus
Plasmodium. 5 spesies yang menginfeksi manusia yaitu P.falciparum, P.vivax,
P.ovale, P.malariae dan morfologi yang sama dengan P.knowlesi. Nyamuk
Anopheles betina yang terinfeksi mentransmisikan parasit malaria dari satu
orang ke orang lain dan lebih atraktif pada wanita hamil dibandingkan wanita
tidak hamil.6
5
P.falciparum merupakan parasit malaria yang paling letal dengan
mortalitas dan morbiditas yang terkonsentrasi pada wanita hamil dan anak-
anak kecil, disebabkan oleh keparahan sindrom seperti malaria serebral, edem
pulmonum dan anemia berat. Efek sekunder dari malaria pada ibu termasuk
supresi respon imun terhadap vaksinasi, seperti tetanus toksoid dan penurunan
transfer plasenta terhadap antibodi spesifik ke janin, misalnya virus sinsitial
respiratorik, campak dan pneumokokus.6 Prevalensi yang tinggi dari malaria
congenital disebabkan oleh P.vivax dibandingkan dengan P.falciparum pada
daerah non-endemik.5
2.3 Klasifikasi Malaria pada Neonatus
Malaria pada neonatus terbagi menjadi 3 tipe, yaitu malaria kongenital,
malaria didapat dan malaria transfusional.1
a. Malaria kongenital
Malaria kongenital terjadi apabila parasit malaria melewati plasenta, baik
selama proses kehamilan normal maupun saat persalinan. Umumnya plasenta
dianggap menjadi barier yang efektif untuk mencegah masuknya plasmodium,
dan penyebab dari hilangnya fungsi barier pada plasenta yang menyebabkan
dapat masuknya parasit ke fetus tidak diketahui. Peneliti awal menyatakan
bahwa kerusakan mekanik adalah hal yang penting, sedangkan yang lain
menyatakan bahwa parasit yang menginduksi perubahan patologik. Schwetz
(1939) menduga bahwa demam akut disebabkan oleh kekakuan plasenta yang
besar. Sedangkan Tanner dan Hewlett (1939) menduga bahwa pemisahan
6
prematur plasenta sebagai faktor penting. Kegagalan profilaksis pirimetamin
selama kehamilan untuk melindungi bayi dengan sempurna dari malaria
congenital telah dilaporkan oleh banyak pihak.
b. Malaria didapat
Malaria yang didapat dihasilkan dari gigitan nyamuk pada berbagai waktu
setelah persalinan, dengan parasitemia aseksual yang terdeteksi setelah masa
inkubasi minimum selama seminggu.
c. Malaria transfusional
Malaria transfusional pada neonatus terjadi ketika parasit malaria terdeteksi
pada neonatus setelah mendapatkan transfusi darah, dimana sebelumnya pada
hapusan darah tepi dinyatakan negatif. Interval rata-rata diantara transfusi
darah dan munculnya gejala klinis adalah selama 3 hari. Masa inkubasi dari
malaria post-transfusi dapat bervariasi antara 12 hari (P.falciparum) dan 3-4
minggu (P.vivax), dan dapat lebih lama (P.malariae). Imunitas yang menurun,
karier malaria tanpa gejala klinis dapat menjadi risiko mayor untuk resipien
darah tersebut. Malaria transfusional selama masa neonatal merupakan
penyakit iatrogenik yang berakibat dari meningkatnya standar perawatan
neonatus, yang disebabkan sangat sulitnya menskrining donor dan tidak ada
biaya efektif dan ketersediaan alat untuk perlindungan lengkap resipien.
Kecurigaan klinis yang dini dipikirkan dari sejarah transfuse pada bayi yang
membuat ahli anak waspada untuk melakukan pemeriksaan dan memastikan
diagnosis. Saat malaria ditegakkan dan diterapi, malaria transfusional sembuh
secara cepat dan tidak mengalami relaps dikarenakan parasit tidak menetap di
7
hati. Salah satu cara untuk mencegah insidensi malaria transfusional adalah
dengan menyeleksi donor dengan riwayat malaria, ataupun tinggal di daerah
endemis malaria.10
2.4 Epidemiologi Malaria pada Neonatus
Malaria menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling
penting di seluruh dunia, dan merupakan 8% dari mortalitas anak di bawah 5
tahun.7
Malaria merupakan kasus infeksi terbanyak kedua yang berhubungan
dengan kematian di dunia, setelah tuberkulosis. Penyakit ini mengenai 350-
500 juta orang setiap tahunnya. Malaria menjadi endemis pada 90 negara dan
menyebabkan 1-3 juta kematian setiap tahunnya. Anak-anak, khususnya di
Afrika, merupakan penderita malaria. Di Gambia, malaria terjadi hampir 25%
kematian yang terjadi pada anak dibawah 5 tahun.1,11,12
Diperkirakan 50 juta wanita hamil dan lebih dari 40% dari seluruh
kelahiran di seluruh dunia terjadi di daerah endemis malaria pada daerah
tropis dan subtropis, termasuk negara yang paling tropis pada Afrika sub
Sahara, Asia Tenggara dan Amerika Latin.4
Pada penelitian Oshikoya (2007), anak berumur 0-1 tahun (neonatus)
merupakan persentasi yang paling kecil (1,3%) pada pasien di penelitian
tersebut. Malaria pada kelompok ini disebut malaria neonatal dan memiliki
gejala yang asimtomatik atau gejala ringan. Prevalensi dari malaria neonatus
8
(1,3%) pada penelitian ini lebih rendah dari laporan sebelumnya di Nigeria
(9,1%).8
Disamping tingginya prevalensi parasitemia maternal dan plasental di
daerah endemis malaria, malaria kongenital dilaporkan menjadi kasus yang
jarang pada bayi yang dilahirkan ibu yang memiliki semi imun.13
Neonatus pada daerah endemis terlindungi dari serangan malaria
dikarenakan terdapatnya perlindungan. Perlindungan tersebut dihasilkan oleh
beberapa mekanisme seperti diet ASI pada bayi yang defisiensi asam p-
amino benzoid, faktor hematologi sebagai penuaan populasi eritrosit, dan
gigitan selektif oleh nyamuk pada kelompok umur yang berbeda.
Perlindungan pada neonates juga disebabkan antibodi transplasental
(maternal).1
Laporan terbaru melaporkan bahwa perlindungan tersebut tidak
lengkap dan oleh karena itu gejala klinis malaria pada periode neonates, dan
beberapa bayi menunjukkan penyakit yang berat.1
Malaria menyebabkan anemia maternal dan berkontribusi sebesar
10.000 kematian maternal setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, infeksi malaria
berakhir pada 75.000-200.000 bayi dengan berat lahir rendah setiap
tahunnya, dengan kombinasi kelahiran preterm dan gangguan tumbuh
kembang janin. Bentuk yang paling berbahaya dari malaria pada ibu hamil
adalah P.falciparum. Sedangkan malaria P.vivax menyebabkan lahirnya bayi
dengan kondisi yang buruk.4
9
Malaria paling sering terjadi pada kehamilan pertama, antara minggu
ke-14 dan 16. Umur juga dapat menjadi faktor risiko independen, yaitu
wanita hamil usia muda lebih rentan terkena malaria selama hamil.14
Mc.Gregir (1984) menyatakan bahwa parasitemia yang terdeteksi pada
bayi berusia kurang dari 3 bulan sering terjadi selama musim dingin daripada
musim panas.1
2.5 Patomekanisme Malaria pada Neonatus
Ibu hamil merupakan resiko besar terkena infeksi malaria dan penyakit
malaria simtomatik dibandingkan wanita yang tidak hamil, hal ini dikarenakan
respon imun pada wanita hamil lebih lemah dibandingkan wanita yang tidak
hamil dan dikarenakan jumlah besar sequester parasit dalam plasenta.4
Mekanisme transmisi kongenital dari parasit malaria yaitu transfuse
maternal ke sirkulasi fetal pada saat proses persalinan atau selama kehamilan,
penetrasi langsung melalui vili khorionik, atau penetrasi melalui pemisahan
dini plasenta. Terdapat resistensi fetus terhadap infeksi, yaitu barier fisik pada
plasenta terhadap eritrosit yang terinfeksi, transfer pasif dari antibodi
maternal, dan lingkungan yang tidak baik yang disediakan oleh eritrosit fetal
untuk replikasi plasmodium yang menyebabkan komposisi hemoglobin fetal
dan menurunkan tekanan oksigen bebas.5
Peningkatan transmisi vertikal dari ibu ke janin, baik selama masa
kehamilan maupun persalinan telah didokumentasikan di daerah endemis
dengan angka prevalensi sampai sebesar 32%. Penyebaran dapat terjadi dari
10
transfusi darah yang terinfeksi ataupun melalui jarum yang terinfeksi.
Transmisi malaria dari air susu ibu tidak terjadi.6
Telah diketahui bahwa selama kehamilan pertama dan kedua, imunitas
wanita secara klinis dapat menurun sehingga dapat mengakibatkan densitas
tinggi terhadap parasitemia. Konsekuensi yang banyak didapatkan adalah bayi
berat lahir rendah dan peningkatan mortalitas. Bayi berat lahir rendah selalu
dihubungkan dengan terdapatnya parasit pada tali pusat.15
Malaria kongenital dapat terjadi meskipun tidak terdapat infeksi malaria
aktif pada ibu selama kehamilan. Hal ini diperkirakan bahwa ibu telah
mengalami episode rekrudesen dari malaria vivax selama trimester ketiga,
yang saat itu terjadi infeksi ringan dan hilang secara spontan, sehingga tidak
terdiagnosis.5
Hal tersebut juga dapat dijelaskan bahwa masa inkubasi yang panjang
dan manifestasi klinis yang ringan pada malaria P.vivax, yang kemudian
menyebabkan berlangsungnya episode selanjutnya pada maternal yang
kemudian tidak terdiagnosis dan tidak diterapi. Tambahan lain yang secara
potensial menentukan kontraindikasi obat-obatan selama kehamilan yang
dapat membasmi stadium hati pada parasit, yang kemudian sangat mungkin
dapat meningkatkan relaps yang terlambat.5
P.falciparum menyebabkan 3 perubahan spesifik pada plasenta. IEs yang
berisi trofozoit matur dan parasit skizon berakumulasi pada ruang intervilus
(struktur yang menyerupai danau yang berhubungan dengan sirkulasi darah
ibu), kadang-kadang terjadi densitas yang sangat tinggi. Malaria plasental
11
disebabkan infiltrasi monosit dan makrofag, beberapa berisi pigmen malaria
(hemozoin). Akhirnya, hemozoin terlihat sebagai deposit fibrin, dan fibrin
yang terpigmentasi tersebut dapat muncul setelah episode resolusi dari infeksi.
Perubahan-perubahan tersebut (parasit, monosit dan fibrin yang berisi pigmen)
dihubungkan dengan kelahiran bayi dengan kondisi yang buruk.4
Sekuestrasi dari IE merupakan jalur penting pada semua patologi yang
berhubungan dengan P.falciparum. Pada otak dan organ dalam lain, ICAM-1
dan CD36 merupakan ligan primer untuk IE. Sebaliknya, pada plasenta, IE
berikatan dengan chondroitin sulphate A (CSA) dan asam hialuronik, yang
diekspresikan oleh sinsitiotrofoblas yang membatasi ruang intervilus
plasenta.4
IE plasenta mengekspresikan bermacam-macam antigen permukaan/
variant surface antigens (VSAs), yang memediasi sitoaderen. VSAs mayor
adalah reseptor PfEMP1 (P.falciparum erythrocyte membrane protein 1),
mengkode gen plasmodial var. Salah satu gen var yaitu var2csa, muncul untuk
berikatan dengan CSA. Delesi var2csa secara besar atau sempurna
menghapuskan adhesi CSA, isolasi plasenta sering menghasilkan var2csa
dengan kadar tinggi, dan kadar antibody untuk rekombinan protein yang
berkorelasi dengan proteksi pada beberapa subkelompok. Sehingga,
VAR2CSA mungkin menjadi calon vaksin yang dapat diharapkan.4
Malaria dapat menyingkirkan respon imun host pada plasenta dengan
mengubah respon tersebut. Malaria plasenta menyebabkan peningkatan
sintesis dari sitokin inflamatorik seperti TNF, interleukin-2 dan interferon
12
gamma. Peningkatan TNF plasenta telah dihubungkan dengan berat badan
lahir rendah dan anemia. Beberapa mekanisme dimana malaria berakhir pada
persalinan prematur atau perkembangan janin terganggu diilustrasikan pada
gambar berikut.4
13
Gambar 1. Mekanisme patogenik potensial dimana malaria plasenta mempengaruhi fungsi plasenta dan mengakibatkan perkembangan intrauterin terhambat atau persalinan preterm. (Meshnick, 2008)
Keterangan: IRBC= infected red blood cell; CSA= chondroitin sulfate A; IUGR= intrauterine growth retardation; PTD= preterm delivery
Nutrisi ibu sebelum dan selama hamil merupakan faktor lain yang
menentukan berat lahir. Pada penelitian terbaru di Kinshasa, efek malaria
terlihat paling jelas pada ibu yang kurang nutrisi. Suplemen makronutrien
untuk ibu terlihat dapat meningkatkan berat lahir, dan kombinasi nutrisional
14
dan intervensi malaria dapat memberikan proteksi optimal pada fetus dari
hambatan pertumbuhan.4
Resistensi neonatus terhadap malaria disebabkan beberapa faktor,
seperti adanya imunitas pasif yang didapatkan dari semi-imun dari ibu,
persentasi yang tinggi dan resistensi relatif terhadap proses masuknya parasit
ke eritrosit fetus yang mengandung hemoglobin, dan diet susu defisiensi asam
p-amino benzoate.5
Namun menurut Khan dan Talibi (1972), imunitas pasif yang
ditransfer oleh ibu ke neonatus tidak berperan secara signifikan dalam
menghambat perkembangan parasit malaria pada neonatus.5
2.6 Manifestasi Klinis Malaria pada Neonatus
Onset manifestasi klinis pada malaria kongenital dapat bervariasi
antara segera setelah lahir sampai usia 10 minggu, namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa usia rata-rata munculnya manifestasi klinis adalah pada
usia 21 hari.5
Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik malaria pada neonates yaitu
anemia (77%), demam (74%), hepatosplenomegali (68%), penurunan nafsu
makan/letargi/iritabel dan ikterik. Trombositopenia berat tanpa perdarahan
sering dilaporkan terjadi pada malaria kongenital.5
Menurut penelitian Lesko et al (2007) yang meneliti kasus malaria
congenital di Amerika Serikat dalam kurun waktu 1966-2005, menemukan
gejala yang paling sering ditemukan adalah demem (86% kasus), sedangkan
tanda yang paling sering ditemukan adalah anemia (35%), splenomegali
15
(31%), hepatomegali (20%), trombositopenia (15%) dan ikterik (14%). Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut.16
Tabel 1. Kekerapan gejala klinis, tanda, dan penemuan laboratories pada 81 bayi yang didiagnosis malaria kongenital di Amerika Serikat, 1966-2005 (Lesko, 2007)
Pada penelitian Obu et al (2011), 85% pasien dengan malaria neonatal
bermanifestasi klinis berupa demam, didapatkan pula dalam persentasi yang
signifikan gejala-gejala lain seperti sulit makan, menangis keras, muntah,
distensi abdomen, sulit bernapas dan hepatomegali. Gejala klinis tersebut
sama dengan gejala yang ditemukan bayi dengan septikemia bakterial. Refleks
primitive (neonatus) yang menurun lebih jarang terjadi pada neonatus dengan
malaria jika dibandingkan dengan septicemia bacterial. Tidak ada penjelasan
yang pasti mengenai hal ini namun terdapat kemungkinan bahwa terdapat
16
keterlibatan system saraf sentral pada neonatus dengan septicemia yang dapat
menjelaskan tingginya kejadian penurunan reflex primitive.1
Efek yang merugikan pada kehamilan (anemia) dan outcome
kehamilan (lahir mati, aborsi, berat lahir rendah, prematuritas, perkembangan
janin terganggu, mortalitas perinatal, anemia pada bayi) berhubungan dengan
perpanjangan malaria plasenta dan bagian dari derajat anemia dan demam
pada ibu. Malaria kongenital bermanifestasi sebagai demam, anemia, ikterik,
hepatosplenomegali dan kematian dini.4
2.7 Pemeriksaan Penunjang Malaria pada Neonatus
Pemeriksaan darah tepi dengan pewarnaan Giemsa yang tipis dan
diperiksa dengan mikroskop cahaya adalah gold standard diagnosis. Lebih
jauh lagi, dapat dilakukan deteksi antigen secara cepat dalam 2-10 menit,
dengan variable yang akurat. Sebagai tambahan, beberapa pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan. Pemeriksaan yang paling akurat dan paling
mahal adalah PCR untuk mendeteksi asam nukleat parasit. Apabila terdapat
serologi yang mendeteksi antibodi menunjukkan infeksi yang sudah lama,
dapat pula pemeriksaan dengan indirect immunofluorescence (IFA) atau
ELISA.6
Pada daerah endemis malaria, malaria plasental memiliki karakteristik
berupa sel darah merah di darah plasenta yang mengandung parasit dalam
daerah intervilus, lebih sering didapatkan dibandingkan pada sirkulasi darah
tepi ibu, yang biasanya asimtomatik dikarenakan imunitas parsial yang
17
didapat. Spesies yang terlihat pada koloni di plasenta hanya P.falciparum.
Pencarian biomarker untuk mengidentifikasi inflamasi plasenta adalah kadar
darah perifer maternal yaitu interleukin-10 pada batas 15 pg/ml memiliki
sensitifitas sebesar 80% dan spesifitas sebesar 84% untuk mendeteksi malaria
plasental.6
Menurut penelitian Abiodun et al (2006), semua neonatus dengan
gejala klinis yang mengarah kepada infeksi neonatorum harus dilakukan
pemeriksaan darah tepi untuk mendeteksi parasit malaria sebagai bagian dari
skrining rutin.17
Pada infeksi malaria saat kehamilan, pemeriksaan histologis plasenta
dapat menunjukkan tanda infeksi aktif (terlihatnya eritrosit yang terinfeksi
(infected erythrocytes= IE pada ruang intervilus), infeksi yang telah lalu
(pigmen malaria, pada leukosit). Parasit plasenta umumnya ditemukan saat
stadium matur (trofozoit dan skizon) dah kadang parasitemia plasenta terjadi
dalam jumlah yang tinggi yaitu 50%.18
Pemeriksaan jaringan plasenta pada wanita hamil yang terinfeksi
malaria dapat dilihat pada gambar berikut.19
18
Gambar 2. Jaringan plasenta dari (A) wanita hamil yang normal dan (B) wanita hamil yang terinfeksi malaria (Rogerson, 2007)
Jaringan diwarnai dengan antibodi monoklonal yaitu CD68, yang spesifik terhadap monosit dan makrofag, dan berkembang dengan diaminobenzidin (warna coklat). Asterisk mengindikasikan CD68 yang mewarnai monosit/makrofag pada ruang intervilus. Panah menunjukkan eritrosit yang mengandung parasit. Garis menunjukkan garis terluar dari lapisan trofoblas
2.8 Diagnosis Malaria pada Neonatus
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopik pada film darah dimana ditemukan parasit pada film tersebut,
walaupun diagnosis tersebut tidak diperkirakan sebelumnya.5
Greenwood et al (1991) telah menduga bahwa kadar parasitemia harus
meningkat sampai kadar yang pasti sebelum diagnosis klinis malaria
tertegakkan, namun hal ini tidak diperlukan untuk diaplikasikan terhadap
neonatus dan bayi kecil.1
Gejala klasik malaria dapat tidak terlihat pada neonatus, sejak parasit
tersebut hanya dapat menggunakan retikulosit untuk bereplikasi dan sel-sel
tersebut jarang ditemukan pada neonatus dikarenakan depresi eritropoesis
setelah lahir. Pada situasi ini lebih sulit untuk menegakkan diagnosis dan
19
kecurigaan malaria neonatus, pemeriksaan fisik yang seksama dan
pengulangan pemeriksaan hapusan darah tepi dapat diperlukan. Kadang-
kadang parasitemia tidak dapat terlihat di hapusan darah tepi, sehingga deteksi
antigen plasmodial atau polymerase chain reaction (PCR) darah dapat
dilakukan.20
2.9 Diagnosis Banding Malaria pada Neonatus
Diagnosis malaria kongenital harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding yang penting pada sepsis neonatorum pada bayi yang lahir dari ibu
yang berasal dari daerah endemis malaria, dengan atau tanpa riwayat penyakit
malaria selama hamil.5
Malaria vivax merupakan spesies yang paling banyak pada infeksi
congenital di Eropa. Oleh karena itu penyakit ini harus menjadi diagnosis
banding pada sepsis neonatorum meskipun ibu tidak memiliki episode malaria
selama kehamilan.5
2.10 Tatalaksana Malaria pada Neonatus
Klorokuin adalah pilihan utama penatalaksanaan pada malaria
neonatal. Untuk kasus dengan resisten klorokuin, dapat diberikan artesunat
oral.3
Tatalaksana malaria vivax kongenital memerlukan skizontisid darah,
seperti klorokuin, dimana primakuin tidak diperlukan pada malaria congenital
disebabkan tidak ada stadium hepatik pada parasit.5
20
Pada penelitian Gurkan et al (2004), terapi pada pasien diutamakan
dengan penggunaan klorokuin. Sedangkan primakuin tidak diperlukan untuk
bayi baru lahir, dikarenakan tidak ada fase hati yang persisten pada infeksi
congenital yang didapat, dan hal tersebut dapat menyebabkan
metemoglobinemia yang dapat menyebabkan fatal pada usia tersebut. Terapi
profilaksis klorokuin direkomendasikan sekali seminggu sampai setelah
persalinan. Infeksi berulang atau kegagalan terapi telah dilaporkan sebagai hal
yang umum terjadi.20
Kasus malaria terbanyak pada kelompok usia neonatus disebabkan
oleh P.falciparum dan P.vivax, dan sensitif terhadap klorokuin. Manifestasi
klinis yang umum adalah anemia, demam, respiratory distress, apne, ikterik
dan hepatosplenomegali. Data mengenai terapi malaria P.falciparum pada
neonatus yang resisten terhadap klorokuin masih terbatas. Penelitian Al-
Arishi et al (1999) menunjukkan kasus P.falciparum yang resisten terhadap
klorokuin pada bayi prematur yang ekstrim yang memiliki parasitemia berat,
dan telah berhasil diterapi dengan kombinasi kuinin dan pirimetamin-
sulfodoksin.21
Pada penelitian Oshikoya (2007), sebagian besar kasus malaria
neonatal terjadi dalam 3-4 minggu pertama kehidupan sebagai hasil dari
peningkatan imunitas, yang berimplikasi bahwa kasus terbanyak dikarenakan
gigitan nyamuk. Terapi yang diberikan adalah parasetamol (79,8%) dan
vitamin B kompleks (76,8) yang diberikan bersamaan dengan antimalaria
telah dilaporkan di Nigeria8
21
WHO merekomendasikan kuinin atau derivat artemisinin (artemeter
atau artesunat) untuk terapi malaria berat. Kuinin adalah rekomendasi untuk
banyak Negara, kecuali di Asia tenggara dan Amazon. Terapi lini pertama
apapun yang digunakan WHO kini direkomendasikan secara kuat untuk terapi
kombinasi, menggunakan obat tambahan yang tidak memiliki resistensi
(sulfadoksin-pirimetamin, artemisin atau klindamisin yang dikombinasikan
dengan kuinin).22
Derivat artemisinin yaitu artemeter, artesunat, arteeter dan artelinat.
Komponen-komponen ini cepat diubah menjadi metabolit aktif
dihidroartemisinin dan berperan secara cepat melawan parasit dalam jumlah
yang banyak. Artemisinin dan derivatnya menghambat kalsium adenosine
trifosfat esensial, yaitu PfATPase.22
Artemisinin dan derivatnya adalah alternative kuinolon untuk anak
dan dewasa, khususnya pada daerah dengan resistensi multi obat. Artemisinin
dan derivatnya dianggap aman dan efektif untuk terapi malaria yang tidak
mengalami komplikasi pada dewasa dan anak, dan penelitian randomized
trials terbaru menmbandingkan artesunat dan kuinin di Asia Timur yang
memperlihatkan bukti dari keuntungan artesunat.22
Senyawa artemisin yang digunakan baik tunggal maupun secara
kombinasi dengan antimalaria lain menjadi terapi umum dan penting untuk
menentukan keamanan untuk semua kelompok umur. Terdapat suatu
penelitian yang meneliti keamanan derivat artemisinin pada neonatus.
Meskipun terdapat data yang mendukung keamanan derivate artemisinin
22
terhadap malaria tanpa komplikasi pada dewasa dan anak, terdapat syarat
mengenai penggunaannya pada malaria berat atau selama kehamilan. Tidak
ada penelitian yang meneliti spesifikasi keamanan pada masa neonatus.22
Penatalaksanaan yang tepat bagi wanita hamil dengan malaria
membutuhkan terapi yang dini dan efektif di daerah malaria bersama-sama
dengan skrining dan terapi yang sesuai untuk anemia. Peningkatan resistensi
terhadap obat yang efektif dengan keamanan pada wanita hamil seperti
sulfadoksin-pirimetamin membuat rekomendasi bahwa terapi kombinasi
artemisinin adalah strategi yang paling memiliki biaya efektif untuk
mengontrol malaria di Sub Sahara Afrika. Efeknya cepat dan dapat
diandalkan, dengan efikasi lebih dari 95% untuk artesunat-meflokuin,
artemeterlumefantrin dan dihidroartemisinin-piperakuin. Pada kehamilan, saat
terdapat malaria dengan tidak ada komplikasi, rekomendasi terbaru WHO
adalah terapi kombinasi artemisinin sebagai pilihan pertama untuk trimester
kedua dan ketiga (dan saat menyusui anak) dan kuinin oral selama 7 hari pada
trimester pertama.6
2.11 Komplikasi Malaria pada Neonatus
Morbiditas yang disebabkan malaria adalah luas, yaitu bayi berat lahir
rendah, perkembangan janin terganggu, dan bayi preterm yang meningkatkan
risiko kematian neonatal dan gangguan perkembangan kognitif yang
disebabkan masalah pada prenatal dan postnatal. Termasuk yang terakhir yaitu
hipoglikemi yang tidak terdeteksi dan tidak diterapi. Lebih jauhnya, sekitar
23
7% anak yang bertahan hidup dri malaria serebral karena P.falciparum
memiliki gangguan neurologis permanen dan ada pula yang mengalami
kesulitan belajar yang berdampak pada prestasi sekolah yang memburuk.
Demam dan yang rekuren yang disebabkan malaria yang eksaserbasi dari
resistensi obat juga demikian yang menyebabkan anak mengalami parasitemia
dan anemia lagi, sehingga mengganggu kesehatan dan prestasi sekolah.6
Infeksi malaria dalam kehamilan atau infeksi malaria dalam sel darah
merah pada wanita hamil dapat menyebabkan anemia maternal, kemungkinan
aborsi, kematian janin, bayi berat lahir rendah (BBLR). Rata-rata berat bayi
yang lahir dari ibu dengan malaria plasenta berkurang sebanyak 55-310 gram.
Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi yang dikarenakan hambatan
perkembangan janin dan persalinan prematur.23-27
Mekanisme parasit malaria sehingga menyebabkan perkembangan
janin terhambat dan prematur tidak diketahui secara pasti. Sitoaderen diduga
merupakan faktor kunci pada kasus infeksi P.falciparum namun cara
sitoaderen sehingga menurunkan fungsi plasenta tidak diketahui. Sejak infeksi
P.vivax, yang bukan merupakan sitoaderen, juga terjadi bayi berat lahir
rendah, maka faktor-faktor lain, yang diduga hormonal dan nutrisi, mungkin
juga terlibat.28
2.12 Pencegahan Malaria pada Neonatus
Infeksi Plasmodium sp pada wanita hamil dihubungkan dengan bayi
berat lahir rendah dan memiliki konsekuensi peningkatan risiko.16
24
Dahulu, wanita hamil mengkonsumsi klorokuin profilaksis untuk
mencegah malaria. namun klorokuin tidak lagi efektif sebagai antimalaria.
Menurut Harrington et al (2009) dan Gosling et al (2010), dugaan pengobatan
terbaru adalah dengan sulfadoksin/pirimetamin, yang akhir-akhir ini
digunakan untuk melindungi wanita hamil di Afrika, juga cepat kehilangan
efektifitasnya dikarenakan munculnya resistensi parasit terhadap obat. Tidak
ada obat lain yang diketahui aman dan efektif saat digunakan untuk
pencegahan malaria selama kehamilan.29
Cara efektif dan terjangkau untuk melindungi wanita hamil dari
malaria telah didiskusikan dalam artikel karangan Heather Jeffery. Sayangnya,
hanya 2-50% wanita hamil di daerah endemis malaria akhir-akhir ini tidur di
dalam kelambu dan relative sedikit wanita yang menerima intermittent
preventive treatment (IPT) yang telah direkomendasikan. Sebagai tambahan,
dikarenakan resistensi, maka diperlukan regimen IPT baru. Beberapa obat
diperlukan untuk dievaluasi secara seksama untuk keamanan kehamilan,
seperti untuk efikasi, dan farmakokinetik obat dapat mengubah radikal pada
kehamilan, penting untuk memastikan dosis optimal regimen.6
Wanita hamil yang non imun disarankan untuk mencegah malaria
pada daerah endemis. Pada umumnya, kemoprofilaksis tidak
direkomendasikan pada daerah dengan laporan kasus malaria falsiparum
kurang dari 10 kasus per 1000 orang pertahun. Pada daerah endemis di
Afrika, WHO merekomendasikan pendekatan dengan tiga cara untuk
mencegah dan mengontrol malaria pada wanita hamil.6
25
Kesulitannya adalah berhubungan dengan kontrol nyamuk dan
resistensi obat terhadap parasit, bersama-sama dengan beban yang berat pada
penyakit yang dikarenakan malaria, telah mendorong penelitian yang intens
mengenai vaksin yang sesuai. Baru baru ini tidak ada vaksin yang efektif dan
berlisensi, meskipun percobaan fase ketiga berlangsung. Vaksin preeritrosit
telah didemonstrasikan untuk melindungi anak dan melawan malaria berat
untuk 18 bulan dan episode malaria klinis pada dewasa.6
26