BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA PAGOEJOEBAN … · Masa pemerintahan Mangkunegara I diwarnai dengan...
Transcript of BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA PAGOEJOEBAN … · Masa pemerintahan Mangkunegara I diwarnai dengan...
18
BAB II
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PAGOEJOEBAN MOELAT
SARIRA DI PRAJA MANGKUNEGARAN
A. Sejarah dan Perkembangan Praja Mangkunegaran Hingga Masa
Pemerintahan Mangkunegara VII
1. Sejarah Berdirinya Mangkunegaran
Sejarah berdirinya praja Mangkunegaran sebenarnya tidak lepas dari sejarah
Kerajaan Mataram yang didirikan pada akhir abad 16 oleh Panembahan Senopati dan
mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Wilayahnya hampir seluruh Jawa kecuali wilayah Kasultanan Cirebon dan Banten
serta daerah Kompeni yang terletak diantara kedua Kasultanan itu.1
Kerajaan
Mataram Islam ketika mendekati awal keruntuhan, pasca meninggalnya Sultan
Agung, gejolak pemberontakan tidak lagi dapat diredam. Berbagai pertempuran terus
terjadi terutama setelah perpindahan ibukota Mataram ke Kartasura.
Salah satu peristiwa yang paling besar adalah Geger Pacina yang merupakan
imbas peristiwa serupa yang terjadi di Batavia. Pada bulan Oktober 1740, orang-
orang Cina di Batavia memberontak kepada Belanda. Pemberontakan ini menjalar ke
kota-kota lain, khususnya di tempat orang-orang Cina tinggal, di Semarang
kedudukan Belanda semakin kritis. Peristiwa yang disebabkan oleh ketidakpuasan
masyarakat Tionghoa terhadap kebijakan pihak kolonial tersebut juga menyebar
1 Th. M. Metz, Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa, terjemahan
Moh. Husodo, (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1987), hlm. 1.
19
hingga ke Kartasura sehingga benteng Belanda di Kartasura diduduki oleh para
pemberontak.2
Paku Buwono II selaku penguasa saat itu melihat sebuah kesempatan untuk
melepaskan diri dari pengaruh Belanda jika pasukan pemberontak tersebut bisa
memperluas wilayah pendudukannya. Fakta yang terjadi sebaliknya, pasukan
pemberontak tidak dapat menduduki Semarang, Paku Buwono II memilih untuk
kembali memihak kepada Belanda. Saat Kartasura akhirnya jatuh dalam kekuasaan
pemberontak, Raden Mas Garendi salah satu cucu Amangkurat III dinobatkan sebagai
raja dengan gelar Sunan Kuning sehingga memaksa Paku Buwono II serta anggota
keluarganya menyingkir ke Ponorogo. Kartasura yang ditinggalkan oleh para
penguasanya, kemudian diduduki oleh para pemberontak yang didukung oleh para
bangsawan seperti Raden Suryakusuma (Raden Mas Said), Pangeran Haryo Buminata
dan Pangeran Haryo Singosari. Pada tahun 1743, Kartasura dapat direbut kembali
dari pemberontak, namun Paku Buwono II tidak lagi berminat menempati istana
karena telah terjadi sejumlah kerusakan. Hal ini merupakan salah satu penyebab
perpindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke wilayah yang saat ini dikenal dengan
nama Sala.
Pasca perpindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke desa Sala, Paku Buwono
II diributkan dengan permasalahan dengan pihak Kompeni karena keinginan untuk
mengambil alih sebagian wilayah kekuasaannya, terutama Pasisiran. Melalui
perjanjian tanggal 11 Nopember 1747, wilayah Pasisiran dan Bang Wetan Mataram
2
Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat,
(Surakarta : Toko Buku Krida, 1984), hlm. 20.
20
mulai digerogoti oleh Kompeni. Daerah Madura, Sumenep, Surabaya, serta
Panarukan adalah wilayah-wilayah strategis yang diambil alih oleh Kompeni. Selain
itu Paku Buwono II memberikan monopoli dagang kepada pihak Kompeni.3 Hal ini
semakin mengokohkan kedudukan Kompeni di Jawa. Bertambahnya kekuasaan
Kompeni tersebut menjadi latar belakang pemberontakan sejumlah tokoh yang
merasa dirugikan oleh tindakan Paku Buwuno II di atas. Salah satu keluarga istana
yang melakukan pemberontakan adalah Pangeran Mangkubumi. Perlawanan ini
dinamakan Perang Suksesi Jawa III. Selama masa tersebut Pangeran Mangkubumi
membentuk struktur pemerintahan sendiri terutama setelah berhasil merebut beberapa
tempat di Pasisiran Utara. Perang tersebut berlangsung hingga Paku Buwono II wafat
dan digantikan puteranya sebagai Paku Buwono III.
Pada masa pemerintahan Paku Buwono III atas inisiatif Belanda untuk
memecah belah Mataram, maka pada tanggal 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian
Giyanti. Pangeran Mangkubumi meminta separuh bagian Jawa yang selanjutnya akan
berpusat di Yogyakarta dan pemberian gelar Sultan kepada Mangkubumi. Perjanjian
Giyanti merupakan akhir dari sejarah kekuasaan Mataram yang secara langsung
dikuasai oleh Belanda dan dua daerah yang dikuasai secara tidak langsung adalah
Kasunanan dan Kasultanan.4
Rekan seperjuangan Pangeran Mangkubumi yang masih meneruskan
perlawanan terhadap Paku Buwono III dan Kompeni adalah Raden Mas Said.
Pasukan Paku Buwono III bersekutu dengan Kompeni serta memperoleh bantuan dari
3 Ibid., hlm. 31.
4 Th. M. Metz, Op. cit., hlm. 1.
21
Sultan Hamengkubuwono I (Mangkubumi) kemudian menggempur daerah
persembunyian Raden Mas Said dan melalui utusan khusus memintanya untuk
menyerah. Pada tanggal 24 februari 1757 Raden Mas Said menyerah kepada Sunan
Paku Buwono III, dan dengan perantaraan Hartingh (wakil Belanda) mengadakan
perjanjian yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret
1757. Hasil dari perjanjian tersebut mengangkat Raden Mas Said menjadi Pangeran
Miji dengan upacara istimewa dan diberi tanah lungguh (apanage) seluas 4000 karya
(960 Jung). Pangeran Miji berarti Pangeran Panilih yang berarti langsung di bawah
raja dan kedudukannya sama dengan Adipati Anom.5
Raden Mas Said kemudian menyandang gelar Pangeran Adipati
Mangkunegara I dan memiliki otonomi sendiri. Kedudukannya bebas, namun
statusnya lebih rendah daripada Sunan. Kekuasaan Mangkunegaran awalnya hanya
berupa tanah seluas 4000 cacah (460 jung) yang diterima dari Sunan pada tahun 1757
(pasca perjanjian Salatiga). Adapun wilayah seluas 4000 karya tersebut meliputi:
Keduwang 141 jung, Nglaroh 115,5 jung, Matesih 218 jung, Wiraka 60,5 jung,
Haribaya 82,5 jung, Hanggabayan 25 jung, Sembuyan 133 jung, Gunung kidul 71,5
jung, Pajang 58,5 jung, Mataram 1 jung, dan Kedu 8,5 jung.6 Dengan demikian
jumlah seluruhnya seluas 979.075 jung atau 4000 karya.7 Ditambah lagi dengan
5
A. K. Pringgodigdo, Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan
Mangkunegaran, (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1939), hlm. 16. 6 G.P. Rouffaer, Vorstenlanden dalam Encyclopedie Van Nederlandche-Indie,
hlm. 240-241. 7 Perbandingan ukuran karya atau cacah adalah: 1 cacah = 4 bau, 1 bau =
0,7096 Ha = 7.096 m2, 1 jung = 4 karya = 16 bau, lihat Ibid., hlm. 302-307.
22
pemberian dari Raffles sebanyak 1000 cacah pada tahun 1813 dan pada tahun 1830
sebanyak 500 cacah, sehingga akhirnya berjumlah 5500 cacah.
Persetujuan pembagian kekuasaan dengan Paku Buwono III melalui Acte van
Verband yang secara khusus mengatur aktifitas Mangkunegara I, antara lain
kewajiban untuk menghadap Paku Buwono pada hari Senin, Kamis dan Sabtu.8
Perkembangan selanjutnya, berbagai hak istimewa dikenakan terhadap wilayah baru
yang dinamakan Mangkunegaran. Mangkunegaran merupakan wilayah setingkat
kadipaten yang penguasanya bergelar setingkat Pangeran Miji (Putra Mahkota
Kerajaan) dan mendapatkan tanah lungguh (apanage). Seperti disebutkan di atas
hingga sekitar masa pemerintahan Mangkunegara II (1830), luas wilayah
Mangkunegaran semakin bertambah. Status tanah tersebut berubah dari apanage
menjadi erf-grond atau tanah turun-temurun atau warisan.9 Dapat disebutkan di sini
beberapa wilayah yang termasuk Mangkunegaran antara lain Karanganyar,
Karangpandan, Matesih, Wonogiri, dan Tawangmangu.
2. Perkembangan Praja Mangkunegaran Hingga Masa Pemerintahan
Mangkunegara VII
Pada awal berdirinya, Mangkunegaran diperintah oleh Pangeran
Sambernyawa yang bergelar K. G. P. A. A. Mangkunegara I, yang memerintah mulai
tahun 1757 hingga 1795. K. G. P. A. A. Mangkunegara I sebagai Pangeran Miji bagi
8 G.P. Rouffaer, Vorstenladen, disadur menjadi “Swapraja” oleh R. Tmg.
Husodo Pringgokusumo, (Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran), hlm. 6. 9 Ibid., hlm., 9.
23
Sunan, maksudnya pangeran yang berada langsung di bawah Sunan. Menurut Acte
Van Verbond (surat penobatan) yang menjadi dasar pengangkatan dari K. G. P. A. A.
Mangkunegara I, disebutkan hak-hak yang diberikan oleh sunan Paku Buwono III
kepada K.G.P.A.A. Mangkunegara I ini. Beliau mendapat gelar pembentuk kerajaan
Mangkunegaran atau Stichter.10
Dalam hal ini, Mangkunegara I dianggap sebagai
pencetus konsep dasar pemerintahan rakyat.
Masa pemerintahan Mangkunegara I diwarnai dengan berbagai macam
peristiwa politik, ekonomi, dan budaya. Salah satu yang patut dicatat adalah adanya
“Korps Pasukan Mangkunegaran” yang merupakan cikal bakal dari “Legiun
Mangkunegaran” termasuk didalamnya korps prajurit wanita (estri).11
Sebagai
budayawan peranan Mangkunegara I sebagai pengembang kebudayaan Jawa pada
umumnya, sekaligus peletak dasar kebudayaan khas Mangkunegaran khususnya
cukup besar. Ia menciptakan beberapa tarian bedhaya dan serimpi antara lain
Bedhaya Anglir Mendhung, Bedhaya Dirodometo, dan Bedhaya Sukohetomo yang
kesemuanya bertemakan perjuangan.12
K.G.P.A.A. Mangkunegara I juga
menghasilkan suatu karya yang tak ternilai yakni penulisan 8 surat Al Quran dalam
aksara Jawa yang disalin sendiri dengan tulisan tangan dari Al Quran beraksara Arab-
pegon. Karya besar yang usianya lebih dari 200 tahun ini, sampai saat ini masih
tersimpan dengan baik di perpustakaan Reksopustaka Surakarta.
10
A. K. Pringgodigdo, Op. cit., hlm. 18. 11
Ann Kumar, Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad XVIII,
(Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1990), hlm. 8-9. 12
Ibid, hlm. 19.
24
Pengganti K.G.P.A.A. Mangkunegara I adalah cucunya, yang bernama Raden
Mas Sahdat lahir hari Senin Pon 14 Ruwah Jimawal 1693. Pada usia 14 tahun
dianugerahi gelar Kanjeng Pangeran Haryo Suryamataram dan menikah dengan Putri
Tumenggung Mangkuyudo di Kedu serta lulus dengan gelar Surya Prangwedana.13
Pada tanggal 25 Januari naik tahta dengan gelar Pangeran Ario Prabu Prangwedana.
K.G.P.A.A. Mangkunegara II mulai menduduki tahta dari 25 Januari 1796 - 26
Januari 1835. Pergantian dari Mangkunegara I ke Mangkunegara II lebih banyak
karena campur tangan dari pihak Belanda. Kerajaan Belanda yang kalah dari Prancis
berusaha memperkuat kedudukan di wilayah jajahan, termasuk Jawa. Penempatan
Daendels di Jawa dengan upayanya untuk melindungi Jawa dari serangan Inggris
membutuhkan bantuan kekuatan militer dalam hal ini Legiun Mangkunegaran. Saat
Mangkunegaran terbentuk, salah satu hak khusus yang dimiliki oleh wilayah ini
adalah pembentukan pasukan sendiri yang bernama Legiun Mangkunegaran.
Kekuatan militer Legiun Mangkunegaran dibentuk pada tahun 1798. Sejak
pembentukannya, pucuk komando dipegang oleh Prangwedana selaku calon
pemegang tahta Mangkunegaran. Ketika kekuasaan Daendels berakhir di Jawa,
pasukan Mangkunegaran ini mengalami imbas yang tidak mengenakkan. Dalam masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles, Legiun Mangkunegaran sempat dilucuti dan
dibubarkan, namun tidak berlangsung lama. Persetujuan baru dibuat dengan berbagai
fasilitas bagi pasukan ini. Raffles pada tahun 1812 memerintahkan Mangkunegara
untuk menyediakan subsidi setiap bulan sebanyak 1200 ringgit kepada Legiun
13
R.M. Ng. Soemahatmaka, Riwayatipun Sri Mangkunegoro I-VII,
(Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1940), hlm. 58.
25
Mangkunegaran yang akan direorganisasi menjadi 900 orang infanteri, 200 orang
kavaleri dan 50 orang artileri berkuda sebanyak 2 unit.14
Hubungan baiknya dengan Raffles dan bantuannya dalam menghadapi Sultan
Hamengku Buwono II, menghadiahkan sebagian daerah Kasultanan Yogyakarta
sebagai daerah milik Mangkunegaran, karena keberanian dan hubungan baik ini
pulalah, Mangkunegoro II memperoleh penghargaan Ridder in de Militaire Willems
Orde. Beliau merupakan orang Jawa pertama yang menerima penghargaan militer
setinggi itu.15
Penguasa Mangkunegaran selanjutnya adalah cucu dari Mangkunegara II
yang bernama Raden Mas Sarengat yang di wisuda dengan nama Pangeran Haryo
Prabu Prangwedana serta menikah dengan Putri Paku Buwono V dari Kanjeng Ratu
Emas.16
Mangkunegara III memerintah tanggal 25 Mei 1835 hingga 6 Januari 1853.
Mangkunegara III diangkat dengan Acte van Verband (surat penobatan) yang
menyebutkan bahwa pengangkatan ini atas sepengetahuan atau ijin Sunan. Beliau
mewarisi kerajaan yang lebih stabil dibandingkan periode sebelumnya. Namun
kondisi Vorstenlanden khususnya dan Nusantara pada umumnya sedang mengalami
perubahan besar saat Gubernur Jenderal Van Den Bosch datang pada tahun 1830 dan
hingga tahun 1863 menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).17
Hal ini
berpengaruh pada sistem persewaan tanah milik Mangkunegaran.
14
G.P. Rouffaer, Op.cit, hlm., 30. 15
Th. M. Metz, Op. cit, hlm. 5. 16
R.M. Ng. Soemahatmaka, Op. cit., hlm. 30.
17
Cultuur Stelsel adalah sebuah kewajiban bagi penduduk pribumi untuk
menanam tanaman untuk pasar Eropa seperti kopi, tebu, kapas dan sebagainya.
26
Keadaan ekonomi yang sedemikian buruk tersebut ternyata tidak menghalangi
langkah-langkah reformasi tata praja sebagai keunggulan periode pemerintahan ini.
Mangkunegara III mensederhanakan struktur pemerintahan. Dengan mengangkat
Patih Kerajaan, Wedana Gunung (kepala Kabupaten Anom, wilayah Onder
Regentschap Mangkunegaran), yang dibantu oleh gunung atau panewu atau mantri
sebagai struktur pejabat kerajaan (pusat). Sementara di tingkat yang lebih rendah
dipegang oleh bekel dengan perantaraan demang (kepala desa).18
Masa Pemerintahan
Mangkunegoro III merupakan masa dimana keadaan sosial ekonomi sangat buruk.
Hal itu disebabkan tanah yang diperuntukan bagi perkebunan kopi belum
dimanfaatkan dengan baik.19
Pengganti Mangkunegoro III adalah kemenakannya, cucu dari Mangkunegoro
II yang bernama Raden Mas Soedira yang lahir pada Ahad Legi, 8 Sapar Jumakir
1738 Windu Sancaya. Mangkunegoro IV naik tahta dan mendapat gelar Pangeran
Adipati Aryo Prabu Prang Wedono serta memerintah mulai tanggal 25 Maret 1853 –
5 September 1881.20
Langkah awal yang dilakukan Mangkunegoro IV adalah
melakukan pembangunan ekonomi onderneming, yaitu melalui perbaikan di bidang
Rencana van den Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian
tanahnya guna ditanami komoditi ekspor (khususnya kopi, tebu, dan nila) untuk
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah pasti. Lihat M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991), hlm. 183.
18 W. E. Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunagara IV sebagai Penguasa dan
Pujangga (1853-1881), (Semarang : Aneka Ilmu,2006), hlm. 71. 19
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1990), hlm. 354. 20
R.M. Ng. Soemahatmaka, Op. cit., hlm. 71-80.
27
sosial ekonomi yang memburuk pada masa pemerintahan Mangkunegoro III.
Mangkunegoro IV dikenal bukan saja sebagai raja yang bijaksana, tetapi juga dikenal
sebagai ahli ekonomi, penuh inisiatif, dan daya cipta. Di bidang pemerintahan Ia
meneliti kembali dan mempertegas batas-batas daerah kekuasaan Mangkunegaran
dengan milik Kasunanan serta Kasultanan Yogyakarta. Dalam bidang kemiliteran ia
mewajibkan setiap kerabat Mangkunegaran yang telah dewasa menjalani pendidikan
militer (wajib militer). Syarat menjalani wajib militer ini diberlakukan pula pada
mereka yang hendak menjadi pegawai praja.
Di bidang sosial ekonomi, Ia banyak menciptakan usaha komersil menjadi
sumber penghasilan praja. Keberhasilannya di bidang ini diwujudkan dalam bentuk
pendirian pabrik-pabrik antara lain pabrik gula di Tasikmadu, Colomadu, dan
Gembongan, pabrik sisal di Mentotulakan, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik bata
dan genting di Kemiri. Memperluas usaha perkebunan dengan mengusahakan jenis
tanaman selain kopi seperti palawija, padi, rempah-rempah, tebu, kina, di samping
mencanangkan gerakan penanaman kopi sampai di pelosok-pelosok.21
Setelah Mangkunegara IV turun tahta digantikan oleh putra sulungnya yang
bernama Raden Mas Sunita. Memerintah mulai tahun 1881-1896 dan mendapat gelar
seperti ayahnya. Masa pemerintahan Mangkunegara V yang tergolong singkat sempat
mengalami krisis ekonomi (1875-1890) yang melanda berbagai negara termasuk
Praja Mangkunegaran.22
21
A. K. Pringgodigdo, Op. cit., hlm. 20. 22
Th. M. Metz, Op. cit, hlm. 6.
28
Pemerintah selanjutnya digantikan oleh saudaranya yang bernama Raden Mas
Suyitno. Mangkunegoro VI memerintah tahun 1896-1916, pada masanya pengaruh
kraton Kasunanan serta kewajiban untuk mengirimkan dua pangeran untuk mengabdi
di kraton dihapuskan.23
Pada tahun 1896, praja Mangkunegaran sudah lepas sama
sekali dari Kasunanan, Mangkunegara VI sudah menjadi Pangeran Amardiko
(Pangeran Merdeka) terhadap Sunan dan menjadi Pangeran Miji terhadap pemerintah
kolonial.24
Mangkunegoro VI merasa mempunyai kewajiban untuk memperbaiki
perekonomian akibat krisis ekonomi yang terjadi pada masa Mangkunegoro V.
Mangkunegoro VI merupakan raja yang sangat berhati-hati dalam mengeluarkan
uang, terbukti dengan adanya pemisah antara keuangan kerajaan dan keuangan
pribadi raja dan tahun 1916 Pemerintah Mangkunegaran membentuk sebuah komisi
yang bertugas sebagai pengawas hak milik Praja Mangkunegaran.25
Pada tahun 1916 Mangkunegoro VI turun tahta dan digantikan oleh Raden
Mas Suryo Soeparto, putra dari Mangkunegoro V. Raden Mas Suryo Soeparto naik
tahta tahun 1916-1944 dengan gelar Pangeran Prangwedana. Raden Mas Suryo
Suparto sejak lama menjalin kedekatan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Raden
Mas Suryo Suparto bahkan diberi kesempatan untuk menjadi seorang penerjemah
bangsa bumiputera untuk membantu tugas pemerintah setempat. Pemerintah Hindia
Belanda bahkan memberikan kesempatan kepada Raden Mas Suryo Suparto untuk
melanjutkan pendidikan di negeri Belanda. Dengan demikian pengaruh pemikiran
23
R.M. Ng. Soemahatmaka, Op. cit., hlm. 102. 24
A. K. Pringgodigdo, Op. cit., hlm. 19. 25
Th. M. Metz., Op. cit, hlm. 6-7.
29
Barat cukup besar dalam kebijakan-kebijakan yang nantinya dikeluarkan oleh
Mangkunegara VII.26
Masa pemerintahan Mangkunegara VII seringkali disebut sebagai masa
keemasan Praja Mangkunegaran. Hal ini dilatar belakangi dengan sejumlah kebijakan
baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun pembangunan
perkotaan yang mengubah wajah Praja Mangkunegaran menjadi lebih modern.
Reformasi yang dilakukan oleh Mangkunegara VII sehubungan dengan tata keuangan
dalam Praja Mangkunegaran dinilai cukup berhasil. Hal itu terbukti dengan adanya
peningkatan produksi pada pabrik gula di Tasikmadu dan Colomadu. Selain faktor
eksternal yaitu naiknya harga gula di pasaran, perbaikan dan modernisasi peralatan
juga menjadi pendukung kemajuan kedua pabrik tersebut. Peningkatan-peningkatan
lain juga terjadi pada pabrik-pabrik lain.
Legiun Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII ikut
terlibat menangani beberapa peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tahun 1921 dan
1926. Mangkunegara VII juga merupakan seorang Panglima Legiun dengan pangkat
Colonel Comandant. Kondisi Surakarta pada awal abad 20 tersebut disebutkan penuh
gejolak. Kemerosotan dalam bidang ekonomi, dalam konteks Surakarta,
menimbulkan kegusaran rakyat yang ditandai dengan adanya aksi pembakaran dan
pemogokan massa. Dalam mengatasi kondisi ini, penguasa Hindia Belanda setempat
membutuhkan tambahan personil untuk menghadapi massa. Legiun Mangkunegaran
26
R.M. Suryo Suparto melakukan perjalanan ke Belanda pada 14 Juni 1913
yang catatan-catatannya dibukukan dalam “Kekesahan dhateng Nagari Walandi /
Perjalanan dari Tanah Jawa menuju Negeri Belanda”.
30
dianggap berjasa dalam keikutsertaannya melindungi pegawai-pegawai bumiputera
serta aset ekonomi swapraja. Kedekatan hubungan Legiun Mangkunegaran dengan
pihak kolonial saat itu juga dapat dilihat pada kegiatan latihan bersama yang sering
diadakan.27
Pembangunan perkotaan juga menjadi aspek perhatian dari Mangkunegara
VII. Pembangunan dan perbaikan rel serta lori yang ditujukan untuk pengangkutan
hasil-hasil produksi juga memperlancar lalu lintas di wilayah Praja Mangkunegaran.
Pembangunan rumah sakit pusat Ziekenzorg di Mangkubumen pada tahun 1921
dengan bantuan dana dari pihak Swapraja melengkapi proyek penataan kota yang
dilakukan Mangkunegara VII. Penambahan tenaga kesehatan seperti dokter, perawat,
bidan serta mantri merupakan usaha untuk mengatasi berbagai wabah penyakit yang
muncul pada saat itu.28
Dalam hal saluran air, Mangkunegara VII memiliki kepekaan
yang tinggi dalam permasalahan lingkungan untuk mencegah bencana yang tidak
diinginkan. Hal ini sejalan dengan pemerintahan periode sebelumnya yang telah
membangun tanggul dan pintu-pintu air agar aliran dari Bengawan Solo tidak meluap
saat hujan.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII kegiatan olahraga dan rekreasi
difasilitasi dengan baik oleh pihak Praja. Kemunculan berbagai tempat rekreasi baik
di wilayah Kasunanan maupun Mangkunegaran menunjukkan bahwa pola kehidupan
seperti bangsa Eropa. Jika awalnya hanya kelompok tertentu, khususnya priyayi, yang
27
Th. M. Metz., Op. cit., hlm. 73 28
Ibid., hlm. 71.
31
mengenal kegiatan-kegiatan tersebut, maka pada awal abad 20 masyarakat umum
mulai dibuatkan sejumlah fasilitas hiburan dan olahraga. Pada akhir tahun 1921
dibuka taman hiburan yang dinamakan Partini Tuin, yang artinya taman Partini.
Partini adalah nama puteri Kangjeng Gusti Mangkunegoro VII, yang paling tua.
Tetapi rakyat biasa menyebutnya Balekambang. Di taman tersebut diadakan hiburan
pertunjukkan wayang orang.29
Taman Balekambang merupakan sarana rekreasi yang
juga dilengkapi dengan lapangan olahraga dan pemandian. Mangkunegara VII juga
membangun tempat pacuan kuda bernama Manahan yang dilengkapi dengan tribun
penonton.
Pada bidang media komunikasi, Mangkunegara VII membuat siaran yang bisa
diterima oleh masyarakat umum dengan menggunakan bahasa Jawa dan sesuai
dengan budaya Jawa. Untuk mewujudkan ide tersebut maka ditunjuklah sebuah
perkumpulan kesenian Mangkunegaran yang bernama Mardi Laras untuk melakukan
siaran karawitan dan wayang wong dari Balekambang dengan dibekali sebuah
transmittor radio.30
Mangkunegara VII turut berperan dalam pengembangan kebudayaan Jawa.
Hal ini dapat dilihat dengan pendirian Java Instituut, yaitu sebuah lembaga
kebudayaan yang memiliki fokus pada pengembangan budaya Jawa. Revitalisasi tari
dan wayang purwa merupakan karya yang bisa dilacak dari tokoh ini. Meskipun
29
R.M. Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, 2001),
hlm. 74. 30
Ibid., hlm. 81.
32
demikian, proses dan latar belakang pengembangan budaya Jawa yang menjadi salah
satu agenda pembangunan masyarakat dan Praja Mangkunegaran.
Pada awal abad 20, di Jawa banyak bermunculan para priyayi baru.31
dampak
berkembangnya pendidikan. Mangkunegara VII sendiri merupakan contohnya. Oleh
karena itu beliau juga memiliki kepedulian tinggi pada hal tersebut. Hal tersebut
ditandai dengan dibukanya sejumlah sekolah dengan tujuan untuk memajukan rakyat.
Salah satu jenis sekolah yang cukup menarik untuk dibahas adalah kemunculan
sekolah-sekolah wanita di Praja Mangkunegaran. Beberapa sekolah yang cukup
terkenal adalah Siswo Rini dan Van Deventer School.32
B. Birokrasi Praja Mangkunegaran
Birokrasi merupakan alat atau instrumen pemerintah untuk melaksanakan
keputusan dan kebijaksanaan. Dengan kata lain birokrasi adalah suatu sistem untuk
mengatur jalannya pemerintahan dengan salah satu cirinya ialah adanya hirarki
jabatan-jabatan (atasan dengan bawahan) yang diatur menurut undang-undang.33
31
Bila di tahun 1900 kelompok priyayilah yang menjadi kaum bangsawan dan
administrator, menjelang tahun 1914 kelompok ini bertambah dengan sejumlah
pegawai pemerintah, teknisi-teknisi pemerintah dan cendekiawan yang sama-sama
memerankan peran elit dan yang dimata rakyat biasa di desa-desa tercakup ke dalam
yang umumnya disebut “priyayi”. Lihat Robert van Niel, Munculnya Elit Modern
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 75. 32
Insiwi Febriary Setiasih, “Pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunegara VII
Tentang Pendidikan Wanita Dan Kebudayaan (1916-1944)”, Dalam Tesis,
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2009), hlm. 41. 33
Lance Castles, Nurhadiantomo, Suyatno, Birokrasi Kepemimpinan Dan
Perubahan Sosial Di Indonesia, (Surakarta: Penerbit Hapsara, 1986), hlm. 26.
33
Sehubungan dengan birokrasi tersebut di praja Mangkunegaran pada garis
besarnya terdiri atas dua golongan, yaitu birokrasi berdasarkan pangkat (kekuasaan)
dan birokrasi berdasarkan jabatan (lembaga). Bentuk birokrasi tersebut merupakan
unsur-unsur yang berdasar dari budaya dan politik kerajaan yang diwarnai dengan
sifat-sifat yang masih tradisional. Pola hubungan antara atasan dengan bawahan
bersifat paternalistik seperti hubungan antara patron dan klien. Hal yang sama juga
terjadi pada hubungan antara para pejabat dengan rakyat yang dipimpinnya, dimana
patron adalah gusti dan klien adalah kawula.34
1. Birokrasi Berdasarkan Pangkat (Kekuasaan)35
Yang dimaksud birokrasi menurut pangkat atau kekuasaan ialah susunan atau
urutan kepangkatan dalam pemerintahan praja Mangkunegaran mulai pangkat teratas
hingga pangkat yang terendah, yang sekaligus menunjukan kekuasaan yang
dipegangnya. Secara hirarkis birokrasi menurut pangkat itu sebagai berikut:
a. Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran)
Jabatan Adipati merupakan puncak hirarki dari birokrasi di
Mangkunegaran. Gelar yang di pakai seorang Adipati ialah Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro. Adipati bertugas menangani seluruh
kekuasaan Praja Mangkunegaran. Dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh
para pejabat dibawahnya.
34
Dorodjatun Koentjarajakti, “Birokrasi Di Dunia Ketiga: Alat Rakyat, Alat
Penguasa Atau Panguasa”, dalam Prisma No. 10 Oktober 1980, hlm. 31. 35
Serat Wewatoning Para Abdi Dalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi,
(Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran).
34
b. Bupati Patih
Di Praja Mangkunegaran jabatan patih dipegang oleh Bupati sehingga
disebut Bupati Patih. Kedudukan Bupati Patih ini langsung di bawah Adipati
Mangkunegoro. Bupati Patih ini diangkat oleh Adipati Mangkunegoro dan
bertugas sebagai pelaksana pertama perintah Adipati.
c. Bupati
Bupati adalah jabatan yang memimpin suatu kadipaten. Di Praja
Mangkunegaran terdapat beberapa kabupaten dengan nama dan tugas yang
berbeda-beda. Para Bupati ini di bawah koordinasi penguasa Bupati Patih
Mangkunegaran.
d. Wedana
Seorang Wedana berkewajiban melaksanakan tugas secara operasional,
dan secara hirarki kedudukannya di bawah Bupati. Wedana akan menerima
perintah dari Bupati dan meneruskannya kepada pejabat dibawahnya.
e. Kaliwon
Pangkat Kaliwon kedudukannya di bawah wedana, namun ia diangkat
langsung oleh Bupati. Tugas Kaliwon adalah meneruskan perintah dari
Wedana kepada pejabat dibawahnya.
f. Panewu
Pangkat Panewu akan menerima perintah dari Kaliwon dan akan
meneruskannya kepada pejabat dibawahnya. Selain itu Panewu harus
melaporkan semua tugasnya kepada Kaliwon.
35
g. Mantri
Pangkat Mantri bertugas menyampaikan perintah dari Panewu kepada
para pejabat dibawahnya.
h. Lurah
Pangkat Lurah ini bertugas menerima perintah dari kadipaten yang
diterimanya lewat Mantri untuk diteruskan kepada pejabat dibawahnya. Di
Praja Mangkunegaran pangkat Lurah ini dijabat oleh Demang dan Rangga.
Demang bertugas mengurusi pekerjaan di tingkat desa yang menjadi
bawahannya. Sedangkan Rangga bertanggung jawab atas baik buruknya
wilayah bawahannya.
i. Bekel
Bekel bertugas meneruskan perintah dari Lurah kepada pejabat
dibawahnnya. Dan Bekel juga bertanggung jawab atas baik buruknya
pelaksanaan tugas-tugas di desa.
j. Jajar
Jajar merupakan pelaksana perintah yang datang dari Bekel. Dalam
struktur birokrasi, jajar merupakan pangkat yang terendah.
2. Birokrasi Berdasarkan Jabatan (Lembaga)36
:
Birokrasi menurut jabatan atau lembaga ialah susunan dari jabatan-jabatan
dalam pemerintahan praja Mangkunegaran, sedangkan lembaga di sini merupakan
36
Honggopati Tjitrohoepojo, Serat Najakatama, (Surakarta: Reksa Pustaka
Mangkunegaran, 1930), hlm. 58-62.
36
nama-nama dari dinas-dinas perkantoran di praja Mangkunegaran. Adapun nama-
nama jabatan (lembaga) tersebut ialah:
a. Kabupaten Hamong Praja (Pemerintahan Pusat)
Dinas ini langsung di bawah pejabat Bupati Patih. Kedudukannya sebagai
pemerintahan pusat yang mengawasi semua kegiatan Praja. Dinas ini dibagi
dalam tiga golongan yaitu:
1) Kawedanan / Kantor Nata Praja:
Tugasnya mengurusi surat-menyurat, membuat dan memeriksa
undang-undang peraturan praja. Dibawahnya terdapat beberapa
kapanewon yaitu:
a) Kapanewon / Kantor Hagnya Praja adalah tugasnya mengerjakan
surat-menyurat dari kadipaten.
b) Kapanewon / Kantor Reksa Wilapa adalah tugasnya menerima,
merawat, dan menyerahkan semua surat-menyurat pemerintahan
praja.
c) Kapanewon / Kantor Reksa Pustaka adalah tugasnya merawat
buku-buku dan surat-surat milik Praja Mangkunegaran.
2) Kawedanan / Kantor Niti Praja:
Tugasnya memeriksa harta kekayaan praja. Dinas ini membawahi
beberapa kantor yakni:
a) Kapanewon / Kantor Niti Wara adalah tugasnya memeriksa
peredaran keuangan praja.
37
b) Kapanewon / Kantor Marta Praja adalah tugasnya memeriksa kas
praja.
c) Kapanewon / Kantor Karta Praja adalah tugasnya mengurusi
bidang pertanahan.
3) Kawedanan Reksa Hartana:
Tugasnya menerima dan mengeluarkan keuangan praja. Juga
mengurusi beasiswa dan dana pensiun para pegawai.
b. Kabupaten Pangreh Praja (Pemerintahan Dalam Negeri)
Dinas ini di bawah pejabat Bupati Pangreh Praja. Tugasnya menangani
kepangreh-prajaan dan kepolisian.
c. Kabupaten Mandrapura (Dinas Istana)
Dinas ini di bawah pejabat Kaliwon (Bupati Anom). Tugasnya menangani
urusan dalam istana (Pura Mangkunegaran)
d. Kabupaten Parimpuna (Kapasaran)
Kabupaten ini di bawah pejabat seorang Kaliwon. Tugasnya mengurusi
bidang kapasaran.
e. Kabupaten Karti Praja (Pekerjaan Umum)
Kabupaten ini dikepalai seorang Belanda dengan pangkat direktur.
Tugasnya mengurusi bidang pekerjaan umum di Praja Mangkunegaran.
f. Kabupaten Sindumarta (Bidang Irigasi)
Kabupaten ini dipimpin seorang inspektur yang berpangkat chef (sep).
Tugasnya mengurusi bidang pengairan.
38
g. Kabupaten Wanamarta (Kehutanan Mangkunegaran)
Dinas ini dikepalai oleh seorang Belanda yang berpangkat
opperhoutvester (kepala kehutanan). Tugasnya mengurusi soal kehutanan.
h. Kabupaten Yogiswara (Keagamaan)
Kabupaten ini dikepalai seorang Wedana (Pengulu). Tugasnya mengurusi
bidang keagamaan.
i. Kabupaten Kartahusada (Perusahaan Mangkunegaran)
Dinas ini dikepalai seorang Belanda berpangkat superintendent. Sedang
tugasnya mengurusi perusahaan milik Praja Mangkunegaran.
j. Kabupaten Sinatriya
Dinas ini dikepalai oleh seorang Wedana, sedang tugasnya ialah
mengurusi para putra sentana.
k. Pemerintahan Bidang Pertanahan
Dinas ini dikepalai oleh seorang Kaliwon. Tugasnya ialah mengatur soal
tanah.
l. Pemerintahan Kedokteran
Dinas ini dikepalai oleh seoarang dokter dengan sebutan Arts. Tugasnya
menjaga kesehatan bagi para putra dan nara praja.
m. Pemerintah Martanimpuna (Kantor Inspektur Pajak)
Dinas ini dikepalai oleh seorang Kaliwon. Tugasnya ialah memeriksa dan
meningkatkan pemasukan uang dalam praja.
39
n. Pemerintah Legiun
Dinas ini dikepalai oleh seorang Letnan Kolonel dari bangsa Belanda.
Sedangkan tugasnya mengurusi bidang keprajuritan.
o. Pasinaon Dhusun (Pendidikan Desa)
Dinas ini dikepalai seorang sinder sekolah rakyat. Tugasnya mengurusi
dan memajukan pendidikan di desa.
C. Filsafat Tri Dharma Praja Mangkunegaran
Sejarah lahirnya Tri Dharma Mangkunegaran tidak jauh dari sejarah
perjuangan pendirinya, yakni Raden Mas Said atau K. G. P. A. A. Mangkunegara I.
Raden Mas Said sejak kecil telah mengalami hidup yang prihatin karena selain telah
ditinggal sang ibu, sedangkan ayahnya juga telah di buang ke Ceylon kemudian ke
Tanjung Harapan hingga wafat. R. M. Said ketika usia 16 keluar dari Kraton
Kartasura, tepatnya tanggal 3 Rabi’ul awal tahun Jimakir, Windu Sangara, 1666
(1741 M). Sejak saat inilah R.M. Said memulai perjuangannya, keluar dari keraton
diikuti oleh 18 pembantu utamanya yang dengan gigih telah membantu
perjuangannya.37
Perjuangannya R.M. Said bersama para pembantu utamanya
mempunyai ikrar Tiji Tibeh yang berarti mati siji mati kabeh atau juga mukti siji
mukti kabeh. Ikrar bersama ini kemudian dikenal dengan Sumpah Kawula Gusti atau
37
Ng. Satyapranawa, Babad Mangkunegaran, (Surakarta: Reksa Pustaka
Mangkunegaran, 1950), hlm. 29.
40
Pamoring Kawulo Gusti maksudnya yaitu berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,
berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.38
Keberanian dan strategi pertempuran Raden Mas Said yang banyak berhasil
tersebut, menyebabkan ia dikenal dengan sebutan Pangeran Sumbernyawa (Pangeran
penyebar maut).39
Pertempuran baru berhenti setelah Raden Mas Said mendapat
perintah dari Sunan Paku Buwono III untuk kembali ke Surakarta guna mendampingi
Sunan Paku Buwono III. Setelah berada di Surakarta, pada tanggal 27 Maret 1757 R.
M. Said menerima piagam dari Sunan Paku Buwono III sebagai pengukuhan atas
penyerahan tanah seluas 4000 karya. Pada tanggal 28 Desember 1757 R. M. Said
dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I.
Sesaat setelah penobatan berlangsung, Mangkunegara I sebagai pendiri Praja
Mangkunegaran bersama 18 punggawa (sebelumnya adalah 18 pengikut dalam
perjuangan) menjalin satu janji bersama atau prasetya, Mangkunegara I menyatakan
“Bumi Mangkunegaran iki padha melu handar beni lan padha dipangan ing anak
putu buri, yen turunku ora mikir nganti dadi rusaking turune punggawa ora dak
pangestoni.”40
Hal tersebut mempunyai arti bumi atau praja Mangkunegaran ini kita
(seluruh penghuni praja Mangkunegaran) ikut memiliki hendaknya dapat
dimanfaatkan untuk hidup anak cucu di kemudian hari, apabila keturunanku tidak
38
RIW Dwidjosunana, R. Ng. Sastradihardjo, RMF Dwidjosaputra, Sejarah
Perjuangan Raden Mas Said, (Surakarta: Reksa Pustaka, 1972), hlm. 11. 39
Yayasan Mangadeg, Pangeran Sumbernyawa Ringkasan Sejarah
Perjuangannya, (Surakarta: Yayasan Mangadeg, 1988) hlm. 17. 40
HKMN Suryasumirat, Peringatan 30 Tahun Mulat Sarira (Suatu Uraian
Singkat sebagai Pengiring Lahirnya Tri Darma Dalam Kalangan Kerabat Besar
Mangkunegaran), (Surakarta: Reksa Pustaka, 1999), hlm. 7.
41
memperhatikannya sampai menimbulkan rusaknya keturunan para punggawa, hal itu
tidak kami restui.
Pada bagian bawah dari janji bersama tersebut ditutup dengan prasetya dari
para punggawa, yang berbunyi “Menawi tedhak turunipun punggawa niyat ngendhih
ingkang jumeneng, utawi boten rumeksa praja badhe manggih papa lan cures.”41
Artinya “Barang siapa di antara keturunan punggawa berniat menjongkeng
kedudukan yang bertahta dan tidak menjaga Praja niscaya akan menemui sengsara
dan habis punah daya”.
Janji bersama atau prasetya antara Mangkunegara I dengan 18 punggawa
praja merupakan tonggak sejarah yang tidak dapat diabaikan, khususnya di kalangan
Mangkunegaran. Janji bersama tersebut merupakan jalinan penyaturagaan antara
pimpinan dengan yang dipimpin, antara pembina dengan yang dibina, antara raja
dengan rakyat. Jiwa yang tertanam di dalam prasetya antara pimpinan praja dan
punggawa Mangkunegaran terus menerus dirasakan, dicamkan, dihayati, diolah
dalam batin, sikap, pakarti yang akhirnya menjadi Tri Dharma, yaitu Mulat Sarira
Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Hanggondheli, Wajib Melu Hanggondheli.
1. Mulat Sarira Hangrasa Wani
Serangkaian kata-kata tersebut terbabar saat R. M. Said bersama pengikutnya
turun dari kancah peperangan. Kata-kata sederhana tersebut digoreskan sebagai suatu
kenang-kenangan yang kemudian dapat menjiwai kehidupan Praja Mangkunegaran.
41
Ibid.
42
Mulat Sarira dapat diartikan mawas diri dalam arti luas. Kesanggupan untuk mawas
diri merupakan modal yang sangat berharga bagi setiap pribadi, karena dengan
adanya kesadaran untuk mawas diri berarti ada kesanggupan untuk menguakkan
berbagai hambatan yang dapat menghalang langkah-langkah untuk maju. Dengan
mawas diri memungkinkan seseorang untuk menengok dirinya, sanggup melihat
kembali pengalaman dirinya, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan,
dan memungkinkan dapat belajar dari pengalamannya. Kesediaan dan ketajaman
dalam pemahaman terhadap diri sendiri akan menimbulkan kesadaran tentang
kemampuannya, kesadaran dalam kedudukannya dalam arti yang luas (hubungan
dirinya sendiri, hubungan dengan masyarakatnya, hubungan dengan alam sekitar,
hubungan dengan sesamanya, hubungan dengan Tuhan Pencipta Alam Semesta).
Akhirnya akan menyadari bahwa manusia mempunyai berbagai sifat, antara lain salah
atau khilaf. Atas dasar kesadaran tersebut akhirnya akan disadari pula bahwa
kesemuanya itu merupakan akibat atau buah dari perbuatannya sendiri.
Mulat sarira hangrasa wani mengandung arti mawas diri masing-masing
akan mempunyai kesadaran terhadap kebenaran, kesediaan dan keberanian berbuat
benar, berani membela kebenaran, berani menderita, berani berbuat dan
bertanggungjawab, berani berwibawa serta berani hidup sejahtera yang ditopang oleh
kebenaran.42
Perilaku yang disebut mulat sarira atau mawas diri dapat terjadi pada
siapapun juga pada bangsa manapun juga. Kesanggupan untuk mawas diri tetapi tidak
semudah mengucapkan atau mendengarkan kata-kata tersebut. Kesanggupan mawas
42
Ibid., hlm. 9.
43
diri bertalian erat dengan tingkat kesadaran. Timbulnya kesadaran tersebut berkaitan
erat dengan tingkat kematangan pribadi. Tingkat kematangan pribadi memerlukan
berbagai macam dan tingkat pengolahan diri, baik bersifat batiniah maupun dalam
rohaniah. Di kalangan Mangkunegaran, mulat sarira hangrasa wani banyak dikenal
bukan hanya sebagai semboyan dan bukan sebagai kata-kata upacara, tetapi menjadi
sumber aspirasi yang senantiasa dapat dikaji dan dihayati. Mengingat arti dan nilai
mulat sarira hangrasa wani begitu dalam dan tinggi, maka makna dan jiwa daripada
kata-kata tersebut menyalur di berbagai segi kehidupan.
2. Rumangsa Melu Handarbeni
Janji bersama atau prasetya antara Mangkunegara I dengan 18 punggawa
praja merupakan suasana hidup kebersamaan. Hidup dalam kebersamaan yang dijiwai
dengan pola manunggaling kawula lan Gusti adalah menjadi watak orang-orang
Mangkunegaran. Orang-orang Mangkunegaran merasa tumbuh dan berkembang dari
satu sumber dan satu induk, satu sama lain merasa senada dan sejiwa. Itulah yang
sering disebut dengan istilah bahasa Jawa Tebu Sauyun atau Nebu Sauyun yang
artinya serumpun tebu. Kekeluargaan di kalangan Mangkunegaran dapat
diungkapkan: “Serumpun bagai serai, seliang bagai tebu”, artinya bersama dan
bersatu hati di dalam segala hal.43
43
Ibid., hlm. 11.
44
3. Wajib Melu Hanggondheli
Kalimat tersebut mempunyai arti “merasa wajib ikut menjaga dan
mempertahankan”. Makna yang terkandung dalam kalimat tersebut bertalian erat
dengan kalimat yang lain, yaitu mulat sarira hangrasa wani dan rumangsa melu
handarbeni. Kalau masing-masing menyadari tentang berdirinya praja, dan masing-
masing menyadari hikmah apa yang dapat diterima atau diambil dengan adanya praja,
dengan sendirinya akan mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjaga dan
mempertahankannya. Kesadaran sikap hanggondheli praja (menjaga dan
mempertahankan negara) tersebut adalah sikap terhormat yang sejak awal mungkin
telah diamanatkan oleh pendiri Praja Mangkunegaran, ialah Mangkunegoro I. Kata-
kata hanggondheli praja ditanamkan di dalam piagam janji bersama yang dibuat
sesaat sesudah penobatan R.M. Said sebagai K.G.P.A.A. Mangkunegoro I, yang
bunyinya “Mbesuk yen ana rusaking praja sanadyan kari saeyubing payung janji isih
katon wujuding praja padha gondhelana”. Artinya “Kelak kalau sampai terjadi praja
mengalami kerusakan meskipun tinggal seluas daun payung asal masih tampak
wujudnya hendaklah dipertahankan”.44
Itulah sikap moral kenegaraan yang
ditanamkan oleh pendiri praja Mangkunegaran. Bertumpu pada sikap rumangsa melu
handarbeni akan tumbuh sikap rukun (bersatu hati) dan rumeksa (menjaga) praja,
untuk mencapai raharja (aman, tentram, damai, dan sejahtera).
Tri Dharma adalah filsafat yang bisa memperbesar rasa pengabdian para
kawula kepada praja Mangkunegaran. Kewajiban untuk menjaga praja bukan harus
44
Ibid., hlm. 12.
45
timbul karena diminta, dipaksa atau disuruh, tetapi rasa wajib itu timbul dari
kesadaran masing-masing secara hakiki. Atas dasar itulah maka masing-masing
hendaklah mempunyai tanggung jawab moral sedalam-dalamnya sehingga
mempunyai kesanggupan untuk mulat sarira, berpandangan luas, sanggup
menyesuaikan diri dengan arus situasi dan zaman. Jelaslah bahwa tiga filsafat yang
tersirat di dalam Tri Dharma merupakan satu kesatuan tunggal, satu dengan yang lain
saling melengkapi dan saling menjiwai, satu dengan yang lain mempunyai sambung
makna, sambung rasa, dan sambung guna.
Falsafah Tri Dharma ini jarang ditulis dan tidak pernah diucapkan, tetapi
dimasukkan ke dalam hati sanubari kerabat dan rakyat Mangkunegaran melalui
pendidikan mental, pelaksanaan tugas pekerjaan sehari-hari, dimanifestasikan dalam
bentuk pikiran, tutur kata, tingkah laku, dan perbuatan. Tri Dharma secara tidak sadar
menjadi darah daging pada setiap insan Mangkunegaran di dalam menunaikan
tugasnya untuk landasan pengabdian untuk praja Mangkunegaran, raja, dan rakyat.
Tri Dharma mempunyai arti penting dalam hubungan antara kawula dan raja.
Semangat Tri Dharma inilah yang juga menjadi pilar tegak berdirinya praja
Mangkunegaran hingga masa K. G. P. A. A. Mangkunegara VII.
Pada awal abad 20, kondisi politik praja Mangkunegaran terusik karena
adanya campur tangan pemerintah kolonial Belanda. Intervensi pemerintah kolonial
terdengar dari isu tentang akan dihapuskannya Vorstenlanden, Zelfbestuur, serta
46
kebijakan reorganisasi tanah dan pengadilan.45
Masalah politik yang lain juga muncul
untuk menyudutkan posisi Mangkunegara VII, yaitu persaingan antara
Mangkunegaran dengan Kasunanan. Kasunanan membuat sebuah organisasi yang
mengancam posisi pemerintahan Mangkunegara VII.
Hal ini mendapat reaksi dari kaum elit tradisional. Reaksi ini dalam
perkembangannya sangat didukung oleh Mangkunegara VII. Untuk reaksi atas
kondisi-kondisi politik tersebut, pada masa pemerintahan Mangkunegara VII tumbuh
subur organisasi-organisasi beranggotakan kawula yang loyal terhadap praja
Mangkunegaran. Salah satu organisasi tersebut adalah Pagoejoeban Moelat Sarira
yang memiliki asas sehaluan dengan Tri Dharma Mangkunegaran. Organisasi ini setia
pada raja dan bertugas untuk mempertahankan tegak berdirinya praja Mangkunegaran.
Hal ini menunjukkan pola hubungan antara raja Mangkunegara VII dengan
Pagoejoeban Moelat Sarira bersifat patron dan klien, dimana patron adalah Gusti atau
raja dan klien adalah kawula.
45
Susanto, “Gaya Hidup, Identitas, dan Eksistensi Masyarakat dan
Kebudayaan Surakarta, 1871-1940”, dalam Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 15.