BAB III SEJARAH PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DI PRAJA ... · Selanjutnya, Gerakan Turki Muda, revolusi...
Embed Size (px)
Transcript of BAB III SEJARAH PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DI PRAJA ... · Selanjutnya, Gerakan Turki Muda, revolusi...

47
BAB III
SEJARAH PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DI PRAJA
MANGKUNEGARAN TAHUN 1935-1942
Pada tahun 1905-1907, berita kemenangan Jepang atas Rusia yang gemilang
turut mendorong kebangkitan bangsa-bangsa yang masih terbelakang. Hal ini juga
melenyapkan kepercayaan pada sebagian besar bangsa Asia bahwa mereka tidak
dapat menang melawan bangsa Eropa.1 Sudah sewajarnya apabila pembangunan
nasional di Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya berhubungan erat
dengan kemenangan Jepang atas Rusia. Selanjutnya, Gerakan Turki Muda, revolusi
Cina, gerakan-gerakan nasional di negara-negara tetangga, seperti India dan Filipina
juga memberi pengaruh besar terhadap perkembangan nasionalisme tersebut serta
memperbesar kesadaran nasional dan menyebabkan bangsa Indonesia memiliki harga
dirinya kembali.2
Intervensi pemerintah kolonial Belanda semakin besar dengan membatasi atau
mengurangi kekuasaan, wewenang, pengaruh, wibawa dan hak-hak istimewa pada
raja-raja Jawa, termasuk Mangkunegaran pada awal abad 20. Mangkunegara VII
sendiri sejak dinobatkan sebagai raja dari praja Mangkunegaran juga mengalami dan
merasakan hal tersebut. Hal itu terbukti ketika Mangkunegara VII dinobatkannya
1 A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat, 1991), hlm. 35. 2
Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hlm. 59.

48
sebagai raja, beliau harus melepaskan jabatannya dalam kepengurusan Budi Utomo.3
Mangkunegara VII mulai menyadari bahwa untuk dapat mengimbangi dominasi
politik kolonial Belanda yang semakin kuat di Vorstenlanden, termasuk di
Mangkunegaran dibutuhkan kekuatan politik baru yang dikoordinasi secara formal
dan modern dalam organisasi yang mengikutsertakan seluruh lapisan kawula
mereka.4
A. Awal Berdirinya Pagoejoeban Moelat Sarira
Mangkunegara VII sudah mendapat bekal pendidikan dari lingkungan istana
sejak kecil. Sistem pendidikan istana menekankan pada pembekalan budaya Jawa
melalui pengajaran bahasa Jawa, wewarah, dan dongeng-dongeng yang berbentuk
tembang. Ajaran tersebut terutama mengenai Tri Dharma yang berdasarkan pada
teladan Raden Mas Said (Mangkunegara I). Filsafat Tri Dharma menjelaskan arti
penting hubungan kawula-gusti di praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan
Mangkunegara VII muncul perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi
yang beranggotakan kawula Mangkunegaran yang memegang teguh Tri Dharma.
Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKMN), Javansche Padvinders
Organisatie (JPO), Krida Muda dan Pagoejoeban Mulat Sarira hadir sebagai
organisasi para kawula. Organisasi-organisasi tersebut berfungsi sebagai alat, wadah
3 George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan
Politik di Surakarta 1912-1942, terjemahan A. B. Lapian, (Yogyakarta: UGM Press,
1990), hlm. 103-104. 4 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920, (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 1991), hlm. 78-79.

49
dan sarana untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh pemerintah praja
Mangkunegaran, baik dalam bidang sosial, budaya dan politik.5 Organisasi-organisasi
tersebut tumbuh dan berkembang di wilayah praja Mangkunegaran. PKMN, JPO,
Krida Muda, dan Pagoejoeban Moelat Sarira pada dasarnya memiliki fungsi yang
sama, yaitu bekerja sama untuk menciptakan suatu keseimbangan, mempertahankan
eksistensi dan memajukan masyarakat Mangkunegaran sebagai suatu sistem.
Sikap pemerintah kolonial Belanda yang membatasi gerak Mangkunegara VII
berpengaruh juga terhadap gerak organisasi-organisasi praja Mangkunegaran.
Kondisi politik ini juga semakin diperparah dengan adadnya dualisme kerajaan di
Surakarta, yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Kasunanan Surakarta membentuk
sebuah organisasi sosial yang diberi nama Pakumpulan Kawula Surakarta (PKS)
yang memiliki maksud tertentu. Maksud pendirian organisasi tersebut dianggap oleh
R. M. Noto Soeroto (sekertaris pribadi Mangkunegara VII) adalah sebagai niat
Kasunanan ingin mengambil alih Mangkunegaran dengan cara menghasut di dalam
praja Mangkunegaran. Akhirnya, R. M. Noto Soeroto membantu PKMN sebagai
reaksi terhadap Pakumpulan Kawulo Surakarta. R. M. Noto Soeroto menulis artikel-
artikel di koran, seperti Soerabajaas Handelsblad dan Soerabajasche Courant.6 Pada
tahun 1936, kedua perkumpulan itu sama-sama berjuang untuk memperoleh
5 Rahmawati, “Organisasi Sosial Di Gubernemen Surakarta Tahun 1932-
1942”, Dalam Skripsi, (Surakarta: UNS, 2008), hlm. 4. 6 Madelon Djajadiningrat, Noto Soeroto : Gagasannya dan Iklim Intelektual
Pada Akhir Zaman Penjajahan, terjemahan KRT. M. Hoesodo Pringgokoesoemo,
(Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, 1993), hlm. 39.

50
kekuasaan, tetapi setelah memperoleh 40.000 orang anggota, PKMN berakhir pada
tahun itu juga.
Mangkunegara VII menyadari bahwa untuk dapat mengimbangi dominasi
politik kolonial Belanda yang semakin kuat dan persaingannya dengan Kasunanan di
Surakarta, maka dibutuhkan kekuatan politik baru yang dikoordinasi secara formal
dan modern dalam organisasi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat
praja Mangkunegran. Kemudian, para kawula Mangkunegaran membentuk sebuah
organisasi berdasar rasa persaudaraan yang diberi nama Pagoejoeban Moelat Sarira
atas izin dari Mangkunegara VII. Pagoejoeban Moelat Sarira berdiri pada tahun 26
Syawal 1865 atau pada tanggal 1 Pebruari 1935.7 Sikap para kawula yang cinta
terhadap pemimpin dan kemajuan di praja Mangkunegaran tercetus dalam asas
berdirinya paguyuban ini. Janji untuk berbakti dan percaya akan perintah pemimpin
(raja) yang menduduki tahta, berdasarkan cinta dengan segala lahir dan batin demi
kemajuan para kawula.
Pagoejoeban Moelat Sarira terikat pada aturan bahwa ketua paguyuban ini
harus berasal dari jabatan Bupati Patih sehingga secara otomatis, Sarwoko
Mangoenkoesoemo ditunjuk sebagai ketua. Sarwoko Mangoenkoesoemo adalah salah
seorang yang cerdas dan mendapatkan studiefond kas daleman8 untuk melanjutkan
7 Anggaran Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira tanggal 1 Februari 1935,
Koleksi arsip Reksapustoko Mangkunegaran, No. MN 500. 8 Ada tiga macam Studiefonds di Mangkunegaran. Pertama, studiefonds A
(Rijks studiefonds) yang sumber pendanaannya diambil dari uang negara atau
anggaran praja. Kedua, studiefonds B yaitu suatu dana belajar yang sumber dana
pendanaannya diambil dari para peminjam yang telah lulus sekolah dan sudah bekerja.
Ketiga, studiefonds kas Daleman (Civiele Lijst) atau uang Mandrapura, yaitu dana

51
sekolahnya di Batavia. Pada tahun 1921, ia diangkat dan bekerja sebagai Bupati
Anom, kemudian tahun 1918 ia menjadi Bupati Karanganyar. Pada akhirnya tahun
1923, ia diangkat menjadi Bupati Patih praja Mangkunegaran.9
Sarwoko
Mangoenkoesoemo mempunyai gagasan untuk mendukung seluruh aktifitas masa
pemerintahan Mangkunegara VII dengan menyatukan seluruh kawula di
Mangkunegaran melalui Pagoejoeban Moelat Sarira.
Pada awal berdirinya, Pagoejoeban Moelat Sarira memiliki pemahaman
organisasi Jawa, yaitu tentang tanah air adalah tanah tumpah darah Jawa. Paguyuban
ini mendukung penuh pemerintahan K. G. P. A. A. Mangkunegara VII, termasuk
hubungan raja dengan organisasi Budi Utomo. Soeryo Soeparto (nama masa muda
Mangkunegoro VII) aktif dalam organisasi Budi Utomo dan diangkat sebagai ketua
umum yang dipilih oleh rapat umum organisasi tanggal 6 Agustus 1915 di Bandung.
Soeryo Soeparto adalah seorang tokoh yang mendapat pendidikan di negeri Belanda
sehingga berpengaruh pada organisasi yang dipegangnya dan tumbuh menjadi
organisasi yang bergerak dalam paham nasionalisme.10
Ketika Mangkunegara VII
mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh Budi Utomo seperti Sutatmo Suryokusumo,
Satiman Wirjosanjoyo, dan Radjiman Wedyadiningrat, di sinilah Mangkunegaran
belajar yang sumber pendanaannya berasal dari uang milik K.G.P.A.A.
Mangkunegoro pribadi. Berbeda dengan studiefonds A dan studiefonds B, studiefonds
kas Daleman ini tidak dipegang oleh Commisie Van Advies, tetapi dikelola oleh
Kabupaten Mandrapura. Sedangkan pelaksanaannya dimulai pada tahun 1919. Lihat,
Pengetan arta Warna-warni kas daleman tutup tahun 1937, Koleksi arsip
Mangkunegaran, No. A 673. 9 Majalah Soerya edisi bulan April-Mei 1940, Koleksi arsip Reksopustoko
Mangkunegaran, No. MN 149, hlm 18. 10
George D. Larson, op. cit., hlm. 92.

52
mulai bersentuhan dengan Gerakan Nasionalisme Jawa. Gerakan Nasionalisme Jawa
mempunyai arti yang utama dalam kebudayaan termanifestasi dalam berbagai
ungkapan seperti propaganda untuk seni Jawa, aksi untuk mempertahankan dan
mengembangkan bahasa Jawa, perjuangan melawan sistem pengajaran yang bersifat
ke-Belanda-an, reaksi tentang rencana melawan ditiadakannya beberapa adat tata cara
yang lama dan lain-lain.11
Langkah nyata Mangkunegara VII dalam memperjuangkan
Gerakan Nasionalisme Jawa diwujudkan ketika beliau memprakarsai adanya suatu
Kongres Kebudayaan Jawa.12
Pagoejoeban Moelat Sarira mendukung penuh gerakan Mangkunegara VII
dalam bidang kebudayaan. Pagoejoeban Moelat Sarira membantu menyebarkan
propaganda Gerakan Nasionalisme Jawa melalui bidang pers dan pendidikan.
Paguyuban ini mengelola sebuah majalah yang bernama Soerya dengan muatan dari
berita internasional, berita lokal atau seputar kehidupan praja Mangkunegaran hingga
perkembangan kebudayaan Jawa di Surakarta. Paguyuban ini juga mengelola
perpustakaan Sonopoestoko sebagai tempat untuk mengasah pengetahuan masyarakat.
B. Sistem Organisasi Pagoejoeban Moelat Sarira
Organisasi dapat memenuhi aneka macam kebutuhan manusia seperti
misalnya kebutuhan emosional, spiritual, intelektual, ekonomi, politik, psikologikal,
11
Nederland Indie Oud, Sumbangsih Buku Kenangan Budi Utomo 1908-20
Mei-1918, terjemahan Soendoro Widiodipoero dan Hilmiyah Darmawan P.,
(Surakarta: Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran, 2001), hlm. 56. 12
Susanto, “Gaya Hidup, Identitas, Dan Eksistensi Masyarakat dan
Kebudayaan Surakarta, 1871-1940”, Dalam Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 15.

53
sosiologikal, kultural, dan sebagainya.13
Organisasi bukanlah sesuatu yang kongkrit,
karena organisasi tidak berwujud, maka agar lebih kongkrit perlu diberi nama sesuai
dengan jenis kegiatan dan tujuan yang akan dicapai.14
Pagoejoeban Moelat Sarira
dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi karena memiliki nama yang sesuai dengan
tujuannya. Nama Pagoejoeban Moelat Sarira dapat diartikan sebagai berikut:
Paguyuban : perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat
kekeluargaan.
Mulat Sarira : mawas diri, mengendalikan diri atau mengolah rasa yang
dapat terjadi pada siapapun dengan secara sadar, baik
bersifat batiniah maupun dalam pakarti.15
Secara luas, arti nama Pagoejoeban Moelat Sarira adalah perkumpulan yang
dijiwai oleh rasa persatuan dan kesatuan dalam suasana kekeluargaan yang rukun dan
akrab dari para kawula yang berupaya dengan sungguh-sungguh secara lahir dan
batin dengan penuh keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk bersatu baik
dalam hubungannya dengan pemimpin (raja) dan seluruh masyarakat di lingkungan
praja Mangkunegaran. Hal itu tercermin dalam asas Pagoejoeban Moelat Sarira16
yang menyebutkan bahwa:
13
J. Winardi, Teori Organisasi dan Pengorganisasian, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 1-2. 14
Ig Wursanto, Dasar-Dasar Ilmu Organisasi, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2003), hlm. 107. 15
HKMN Suryasumirat, Peringatan 30 Tahun Mulat Sarira (Suatu Uraian
Singkat sebagai Pengiring Lahirnya Tri Darma Dalam Kalangan Kerabat Besar
Mangkunegaran), (Surakarta: Reksa Pustaka, 1999), hlm. 7. 16
Anggaran Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira tanggal 1 Februari 1935, loc.
cit.

54
1. Paguyuban ini berasas pada kekal bersatunya kawula (Rijksonderhoorigen) di
praja Mangkunegaran pada umumnya dan pihak lain yang mempunyai semangat
cinta kepada Mangkunegaran, yang seharusnya seasas dan sehaluan berdasar
persaudaraan.
2. Menyentosakan paham bakti dan percaya pada pemimpin yang bertahta untuk
praja Mangkunegaran, berdasar cinta dan mengamati pada negri (dibaca
Mangkunegaran) dan pemerintahannya, yang bercita-cita pada kemajuan kawula
baik lahir maupun batin.
Pagoejoeban Moelat Sarira merupakan salah satu organisasi Jawa yang berada
di praja Mangkunegaran. Organisasi yang dimaksud adalah penggabungan dari
orang-orang atau benda-benda alat-alat perlengkapannya, ruang kerja, dan segala
sesuatu yang berbatasan dengannya, yang dihimpun dalam hubungan yang teratur dan
efektif untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan bersama.17
Dengan demikian,
paguyuban ini harus memiliki sistem keanggotaan, struktur organisasi dan keuangan
yang jelas untuk mendukung keberjalanannya.
1. Keanggotaan Pagoejoeban Moelat Sarira
Pagoejoeban Moelat Sarira mempunyai anggota yang sudah terikat. Syarat
untuk menjadi anggota Pagoejoeban Moelat Sarira18
adalah:
17
Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1980),
hlm. 15. 18
Anggaran Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira tanggal 1 Februari 1935, loc.
cit.

55
a. Anggota Biasa (gewone leden) merupakan anggota yang berasal dari
golongan putra dalem, sentana, dan abdi dalem praja Mangkunegaran (tak
terkecuali yang sudah pensiun) yang masuk dan keluarnya harus mendapat
ijin dari pembesar atau pemimpinnya.
b. Anggota Luar Biasa (warga tresna atau buiten gewone leden) merupakan
anggota yang berasal dari luar anggota biasa (gewone leden) yang dapat
menjadi anggota Pagoejoeban Moelat Sarira dengan berdasarkan keputusan
musyawarah mufakat dari Panitia Agung.
c. Perkumpulan atau badan-badan yang ingin bergabung dengan Pagoejoeban
Moelat Sarira.
Pagoejoeban Moelat Sarira dapat juga dikatakan sebagai wadah organisasi lain
yang ingin bergabung dan mempunyai asas yang sejalan dengannya. Paguyuban ini
juga tidak membatasi anggotanya apabila ikut dalam organisasi lain. Salah satunya
adalah K. R. M. T. Sarwoko Mangoenkoesoemo yang menjadi Panitia Agung dalam
organisasi Krida Muda.
Anggota Pagoejoeban Moelat Sarira mempunyai hak untuk mengadakan rapat
besar. Rapat besar merupakan konggres penting dalam organisasi Pagoejoeban
Moelat Sarira. Titik tolak rapat besar adalah satu-satunya lembaga formal yang
mewadahi semua anggota Pagoejoeban Moelat Sarira. Melalui konggres ini, para
anggota memiliki peluang turut mengerahkan jalannya organisasi Pagoejoeban
Moelat Sarira serta mengevaluasi kinerja pengurus paguyuban ini, yaitu Panitya
Agung. Semua anggota Pagoejoeban Moelat Sarira berhak menyatakan pikiran dan

56
pendapatnya, baik secara lisan maupun tertulis pada rapat besar. Rapat besar
diselenggarakan sedikitnya satu tahun sekali guna membicarakan perjalanan kegiatan
Pagoejoeban Moelat Sarira selama satu tahun yang lampau. Pada setiap proses
mengadakan rapat besar harus mendapat surat persetujuan dari Panitia Agung.
2. Struktur Organisasi Pagoejoeban Moelat Sarira
Suatu organisasi dapat menjalankan tugas dengan lancar dan terarah serta
dengan mudah mewujudkan tujuan jika dalam organisasi terdapat struktur organisasi
yang dilengkapi dengan pembagian tugas dan kewajiban yang jelas. Agar struktur
organisasi tampak jelas, mudah dilihat, mudah dan cepat dibaca serta dimenegerti
orang lain, struktur organisasi perlu digambar dalam sebuah gambaran grafis.
Gambaran Grafis dari struktur organisasi dinamakan bagan organisasi.19
Struktur
organisasi menunjukkan susunan hubungan-hubungan antar satuan-satuan organisasi,
jabatan-jabatan, tugas-tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban-
pertanggungjawaban yang ada dalam organisasi.
Pagoejoeban Moelat Sarira sebagai suatu organisasi juga mempunyai alat
perlengkapan dalam mencapai tujuannya, sebagai mana tertuang pada Anggaran
Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira. Dengan adanya alat perlengkapan tersebut, ibarat
pilar-pilar yang menentukan tumbuh kembangnya paguyuban. Alat perlengkapan
organisasi paguyuban terdiri dari pengawas, pengurus, dan Rapat Panitia Agung.
19
Ig Wursanto, op. cit., hlm. 109.

57
Pengawas dari Pagoejoeban Moelat Sarira adalah langsung dari raja sendiri, yaitu K.
G. P. A. A. Mangkunegara VII.
a. Pengurus
Alat perlengkapan Pagoejoeban Moelat Sarira yang pertama adalah pengurus.
Pengurus paguyuban ini biasa disebut Panitya Agung, yang terdiri dari ketua umum,
wakil ketua, bendahara dan sekertaris. Ketua umum dari Panitya Agung biasa disebut
Wreda Wasesa, sedangkan wakilnya disebut dengan Muda Wasesa. Wredha Wasesa
ditunjuk harus berasal dari Bupati Patih Mangkunegaran. Muda Wasesa dipilih dari
anggota Pagoejoeban Moelat Sarira berdasarkan rapat Panitya Agung lengkap melalui
suara terbanyak. Masa jabatan Muda Wasesa adalah setiap 3 (tiga) tahun, namun
dapat dipilih kembali, kecuali berhenti atau diberhentikan sebelum masa jabatannya.
Bendahara dan sekertaris dipilih dari anggota berdasarkan rapat Panitya Agung dan
persetujuan Wredha Wasesa. Kewajiban serta pekerjaan bendahara dan sekertaris
Panitya Agung adalah menurut apa yang disuruh oleh Wreda Wasesa dan Muda
Wasesa. Adapun kepengurusan Panitya Agung Pagoejoeban Moelat Sarira pada tahun
193520
adalah :
1) Wreda Wasesa : K. R. M. T. Sarwoko Mangoenkoesoemo
2) Muda Wasesa : R. T. Hardjaprakosa
3) Bendahara I : R. M. T. Partana Handajanata
4) Bendahara II : R. Drs. Oemarsaid
20
Anggaran Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira tanggal 1 Februari 1935, loc.
cit.

58
5) Sekertaris I : R. Ng. Tjitrawatjana
6) Sekertaris II : M. Soerata Hardjahoebaja
7) Sekertaris III : R. Dm. Wira Soepadma
Semua keputusan tertinggi kebijakan-kebijakan Panitya Agung berasal dari
Wredha Wasesa. Wredha Wasesa haruslah memiliki sifat yang adil dan bijaksana,
maka dari itu dipilih dari golongan Bupati Patih. K. R. M. T. Sarwoko
Mangoenkoesoemo adalah seorang yang terdidik karena ia mendapat bekal
pendidikan yang cukup tinggi. Pengalamannya juga sudah sangat baik dalam
berorganisasi dan memperoleh jabatan-jabatan penting di praja Mangkunegaran.
Keputusan tertinggi dalam Pagoejoeban Moelat Sarira selain dari Wredha Wasesa
dapat juga melalui musyawarah dalam Rapat Panitya Agung.
b. Rapat Panitya Agung
Rapat Panitya Agung merupakan rapat internal untuk pengurus Pagoejoeban
Moelat Sarira atau Panitya Agung. Rapat ini juga dapat dilakukan apabila ada
permintaan dari Wredha Wasesa atau Muda Wasesa atau juga jika ada permintaan
dari Panitya Agung yang paling sedikit sepertiga dari Panitya Agung. Keputusan dan
Ketentuan musyawarah pada rapat sidang Panitya Agung ditentukan oleh Wredha
Wasesa, bila perlu Wredha Wasesa berhak mengadakan pungutan suara yang hasil
keputusannya ditetapkan dari dua pertiga suara terbanyak anggota Panitya Agung
selama sidang.

59
Tercatat pada tahun 1940, Pagoejoeban Moelat Sarira mengadakan Rapat
Panitya Agung untuk mengubah pengurus Pagoejoeban Moelat Sarira. Perubahan
pengurus ini disebabkan karena kurang efektif atau lambannya kepengurusan
sebelumnya dalam bekerja. Wredha Wasesa tetap harus berasal dari golongan Bupati
Patih Mangkunegaran yang ketika itu masih dijabat oleh K. R. M. T. Sarwoko
Mangoenkoesoemo. Wredha Wasesa mengeluarkan ketentuan perubahan pengurus
Panitya Agung tertanggal 23 Desember 194021
sebagai berikut:
1) Wredha Wasesa : K. R. M. T. Sarwoko Mangoenkoesoemo
2) Muda Wasesa : R. Ng. Soewarna H. Tjitrahoepaja
3) Sekertaris I : R. Ng. Soetantya Pantjarahardja
4) Sekertaris II : R. M. Ng. Tjitrawatjana
5) Pembantu Sekertaris : R. Ng. Wirosoepadma
6) Bendahara I : M. Ng. Tjitrohoebaja
7) Bendahara II : M. Ng. Hardjapranawa
8) Pembantu Bendahara :
a) M. D. Prawiradhiwana
b) M. Rg. Hatmawijana
9) Anggota : R. Soetapa Hadhisapoetra
Rapat Panitya Agung juga berhak untuk membuat dan merubah anggaran
dasar. Tercatat pada tanggal 12 Pebruari 1935, rapat Panitya Agung menetapkan
21
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 7 Panitya Agung Pagoejoeban
Moelat Sarira tanggal 23 Desember 1940, dalam majalah Soerya bulan Januari 1941,
Koleksi arsip Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 149.

60
Anggaran Dasar Pagoejoeban Moelat Sarira pertama. Anggaran dasar ini juga dapat
dirubah menurut keputusan rapat Panitya Agung lengkap dengan ketentuan paling
sedikit dua pertiga suara dari anggota Panitya Agung dan disetujui oleh Wredha
Wasesa.
3. Keuangan
Keuangan Pagoejoeban Moelat Sarira didapatkan dari beberapa sumber,
antara lain iuran anggota, menerima sumbangan, benda serta warisan dan lain-lain.
Iuran bagi anggota (gewone leden) adalah paling sedikit sejumlah f 0.10,- setiap
bulannya, sedangkan anggota luar biasa (warga tresna atau buitengewone leden)
paling sedikit sejumlah f 1,- setiap bulan.22
Iuran tersebut wajib untuk seluruh
anggota Pagoejoeban Moelat Sarira. Panitya Agung berhak memberikan sanksi untuk
mengeluarkan anggotanya apabila ada yang tidak bersedia membayar atau tiga bulan
terlambat membayar iuran. Hasil pendapatan kas Pagoejoeban Moelat Sarira selain
dari iuran anggota, juga menerima sumbangan dari pihak lain. Uang kas tersebut
dikelola dan dipegang oleh bendahara Panitya Agung serta pengeluarannya harus atas
ijin dari bendahara dan Wredha Wasesa.
Keuangan merupakan hal yang sangat vital untuk sebuah organisasi.
Keuangan yang tersedia dalam organisasi berguna untuk menyokong keberjalanan
kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Pagoejoeban Moelat Sarira membutuhkan dana
22
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 1 Panitya Agung Pagoejoeban
Moelat Sarira tanggal 21 Februari 1935 dan 8 Maret 1935, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 500.

61
untuk keperluan pengelolaan taman baca Sonopoestoko, majalah Soerya, dana sosial
dan keperluan lain. Dana yang dikeluarkan Pagoejoeban Moelat Sarira untuk
pengelolaan perpustakaan Sonopoestoko setiap tahun berkisar f 336,-.23
Subsidi dana
yang diberikan untuk perpustakaan Sonopoestoko tidak selalu sama nominalnya
karena disesuaikan pada kebutuhan taman baca tersebut setiap tahunnya. Majalah
Soerya membutuhkan dana yang tidak menentu setiap bulannya. Dana yang hanya
digunakan untuk biaya produksi cetak majalah untuk sekali penerbitannya, namun
jumlah tersebut dapat ditutup oleh hasil penjualan majalah. Dana dikeluarkan lainnya
adalah untuk keperluan sosial. Pagoejoeban Moelat Sarira mengurusi kematian
anggotanya sehingga dibentuk kepanitiaan serta memberikan dana sejumlah f 100,-
setiap bulan. Dana tersebut untuk keperluan pemakaman anggota Pagoejoeban
Moelat Sarira, seperti cetak lelayu, perangkat pemakaman dan juga santunan bagi
keluarga yang mendapat musibah tersebut.24
C. Tugas dan Fungsi Pagoejoeban Moelat Sarira
Tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh Pagoejoeban Moelat Sarira pada
hakekatnya bersifat sebagai sarana untuk kepentingan kawula Mangkunegaran,
khususnya anggota paguyuban ini sendiri dan juga untuk kepentingan umum. Tugas
23
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1936, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1387, hlm. 10. 24
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 2 Panitya Agung Pagoejoeban
Moelat Sarira tanggal 24 Maret 1935, Koleksi arsip Reksopustoko Mangkunegaran,
No. MN 500.

62
yang dilakukan paguyuban ini antara lain pengelolaan perpustakaan Sonopoestoko,
penerbitan majalah Soerya dan kegiatan di bidang sosial.
1. Pengelolaan Perpustakaan Sonopoestoko
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, pendidikan di Mangkunegaran
mengalami kemajuan. Ia mendirikan sekolah-sekolah dan mengoptimalkan
perpustakaan yang sudah ada untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Ia juga
membagi tiga perpustakaan yang ditujukan untuk fungsinya masing-masing.
Reksopoestoko diperuntukkan bagi para pegawai, Panti Poestoko diperuntukkan bagi
yang bukan pegawai namun tinggal di Pura Mangkunegaran, dan Sonopoestoko
untuk masyarakat umum. Sejak dikeluarkan verslag mengenai perpustakaan
Sonopoestoko, maka Mangkunegara VII dengan sungguh-sungguh memperhatikan
keadaanya. Sonopoestoko dijadikan sebagai perpustakaan umum bagi masyarakat
Surakarta. Pada tahun 1936, pembaharuan terhadap gedung baca Sonopoestoko yang
semula letaknya berada di depan praja Mangkunegaran tidak mencukupi, akhirnya
dipindahkan ke tempat lain yang tidak jauh, lebih nyaman dan penerangan yang
memadai. Gedung baca dipindah sebelah utara gedung lama yang tadinya disewa oleh
Perkumpulan Kristen (Bale Soedha-Sadana dan sekarang digunakan sebagai kantor
Perhutani Surakarta) yang terletak di jalan besar arah stasiun Balapan.25
25
Surat Permohonan Tambahnya Uang Subsidi kepada Panitya Agung
Moelat Sarira Mangkunegaran tanggal 28 Agustus 1936, Koleksi arsip Reksopustoko
Mangkunegaran, No. P 47.

63
Perpustakaan Sonopoestoko memiliki petugas harian yang terdiri dari
pustakawan, mandor, dan tukang kebun yang jumlahnya sesuai kebutuhan. Panitya
Agung menunjuk R. M. Noto Soeroto sebagai ketua pengelola perpustakaan
Sonopoestoko, sedangkan petugas harian dapat berasal dari golongan umum (bukan
anggota Pagoejoeban Moelat Sarira). Perpustakaan Sonopoestoko terbuka untuk
umum dan buka setiap hari. Pengunjung selain membaca di tempat juga dapat
meminjam buku-buku atau surat kabar dengan syarat membayar iuran setiap bulan
paling sedikit f 0.25,- namun bagi anggota Pagoejoeban Moelat Sarira dapat
meminjam buku hanya dengan menunjukkan kartu tanda anggota. Jadwal
peminjaman buku ditentukan waktu pagi hari (kecuali hari senin) akan dilayani
petugas mulai pukul 09.00-11.00 serta sore hari (kecuali hari sabtu dan minggu) akan
dilayani pukul 19.00-21.00. Lama peminjaman tidak boleh lebih dari satu bulan dan
juga tidak lebih dari dua macam koleksi.26
Sumber dana tiap bulan yang didapatkan Sonopoestoko untuk mengelola
sarana prasarana berasal dari subsidi pemerintah (praja Mangkunegaran), kontribusi,
serta subsidi dari Pagoejoeban Moelat Sarira. Pengeluaran dana perpustakaan
Sonopoestoko digunakan untuk membeli buku-buku, koran, majalah, gaji petugas,
penerangan, air, dan lain-lain. Pada tahun 1936 dan 1940, perpustakaan
Sonopoestoko membutuhkan banyak dana untuk pengeluaran tersebut, sehingga atas
ijin ketua pengelola Sonopoestoko meminta untuk tambahan subsidi dana kepada
26
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1936, op. cit, hlm. 8-9.

64
Panitya Agung Pagoejoeban Moelat Sarira.27
Pendanaan kebutuhan Sonopoestoko
salah satunya adalah untuk pembaharuan atau pengadaan buku, koran dan majalah.
Ada berbagai macam koleksi buku yang ada di Sonopoestoko. Tercatat pada laporan
akhir tahun 1936 Sonopoestoko memiliki sejumlah 3.111 koleksi buku, yang terdiri
dari :
Tabel 1.
Daftar Koleksi Buku Sonopoestoko Mangkunegaran Tahun 193628
No Koleksi Buku Dalam Berbagai Bahasa Jumlah Buku
1 Belanda 1727
2 Jawa 193
3 Melayu 300
4 Sunda 300
5 Inggris 104
6 Lain-lain 487
Total 3.111
Berdasarkan data tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1936
buku berbahasa Belanda masih jauh mendominasi koleksi Sonopoestoko, sedangkan
buku berbahasa Jawa masih terhitung sedikit. Hal yang menarik dalam koleksi buku
Sonopoestoko adalah asal buku tersebut. Sonopoestoko memang membeli buku untuk
menambah koleksinya, namun tak sedikit orang atau badan yang mau menyumbang
buku untuk Sonopoestoko. Salah satu penyumbang buku dalam bahasa Jawa adalah
organisasi Budi Utomo.29
Mangkunegara VII memiliki hubungan erat dengan Budi
Utomo, sehingga tidak mengherankan jika buku-buku dari Budi Utomo masuk dalam
koleksi Sonopoestoko. Tujuan sumbangan buku-buku tersebut tidak lain adalah untuk
27
Surat Angka : 47/Sp40/M tanggal 29 November 1940, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. P 47. 28
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1936, op. cit, hlm. 6. 29
Ibid, hlm. 5.

65
menambah koleksi Sonopoestoko dan alasan khusus untuk sarana menyebarkan
propaganda Gerakan Nasionalis Jawa.
Perpustakaan Sonopoestoko secara tidak langsung selain sebagai sarana
pengembang budaya Jawa juga menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat Surakarta. Masyarakat juga menyambut dengan antusias dengan datang
berkunjung untuk sekedar membaca, meminjam buku maupun untuk bertukar pikiran.
Semangat masyarakat dalam menyikapi hadirnya Sonopoestoko tersebut karena
menjelang awal tahun 1935, malaise yang melanda praja Mangkunegaran sudah
semakin surut dan kondisi perekonomian Mangkunegaran juga telah membaik. Praja
Mangkunegaran mulai menggalakkan kembali pembangunan sekolah-sekolah swasta
di wilayah Mangkunegaran, terutama sekolah-sekolah menengah dan lanjutan atas.
Hal ini berdampak pada jumlah golongan terpelajar di praja Mangkunegaran
meningkat dengan pesat, terutama di wilayah pedesaan sejak tahun 1935.30
Peningkatan jumlah golongan terpelajar mempengaruhi juga kehidupan
Sonopoestoko. Perpustakaan Sonopoestoko akhirnya mempunyai peran sentral dalam
pemenuhan kebutuhan kepustakaan di Surakarta. Perpustakaan Sonopoestoko setiap
tahunnya mengalami pertambahan jumlah pengunjung. Pada tahun 1939, rata-rata
pengunjung Sonopoestoko mencapai hingga sekitar 55 orang setiap harinya.
Pengunjung Sonopoestoko berasal dari berbagai golongan, termasuk kaum putri yang
pada tahun tersebut belum banyak yang mendapat pendidikan. Hal ini dibuktikan
dengan tabel berikut:
30
Rahmawati, op. cit., hlm. 65-66.

66
Tabel 2.
Laporan Jumlah Pengunjung Taman Baca Sonopoestoko Tahun 193931
No. Bulan Jumlah Pengunjung
(Orang)
Keterangan
1 Januari 1.077
Jumlah ini sudah
termasuk juga
banyaknya
pengunjung putri.
2 Februari 1.100
3 Maret 1.264
4 April 1.333
5 Mei 1.901
6 Juni 1.785
7 Juli 1.798
8 Agustus 2.098
9 September 2.943
10 Oktober 2.698
11 Nopember 1.870
12 Desember 2.172
Berdasarkan tabel di atas, Mangkunegara VII mempunyai pandangan khusus
bagi pengunjung pribumi khususnya dari kaum putri. Mangkunegara VII sejak awal
sudah menyoroti mengenai masalah pendidikan kaum putri di Mangkunegaran. Ia
mendirikan Sisworini, yaitu sekolah bagi kaum putri di Mangkunegaran. Masalah
perpustakaan Sonopoestoko untuk kaum putri juga tidak luput dari pandangannya.
Kaum putri masih merasa malu belajar atau membaca bersanding dengan kaum pria,
maka Mangkunegara VII meminjamkan sebuah ruangan khusus (leespaviljoen) di
Sonopoestoko untuk keperluan perkumpulan Taman Keputrian yang dipimpin oleh R.
Ayu Darmojono setiap Kamis sore.
Sonopoestoko jelas terbukti mengutamakan kenyamanan pengunjung untuk
semua golongan dengan fasilitas-fasilitas yang dimilikinya. Gedung yang luas,
fasilitas membaca yang memadai, serta koleksi-koleksi yang cukup banyak. Koleksi
31
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1939, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1388, hlm. 4.

67
bacaan di Sonopoestoko tidak hanya buku-buku terbitan, melainkan juga berbagai
macam surat kabar dan majalah, baik berlangganan maupun sumbangan dari para
penderma. Surat kabar yang berupa koran dan majalah koleksi Sonopoestoko pada
tahun 1936 juga didominasi oleh bahasa Belanda, seperti De Locomotief, Actueel
Wereld Nieuws, d’Orient, Overzicht, Politie Gids, Chineesche Pers, Ned. Fabrikaat,
Sprokkelingen, De Locale Ambtenaar, Ned. Ind. Fabrikaat, Cristelijk Vrouwenblad,
Cpgang, Themartheus, dan De Libels. Surat kabar serta majalah yang berbahasa Jawa
dan Melayu cenderung lebih sedikit, seperti Darmokondo, Pemimpin, Soerya,
Mataram, Mardi Raharja, Tempo, Suara Semarang, dan Matahari. Pada tahun 1941
terjadi peningkatan yang pesat terhadap koleksi surat kabar dari Sonopustoko ada
sekitar 195 koleksi, baik berbahasa Jawa, Melayu, dan Belanda.32
Pada tahun 1942 ketika pemerintah pendudukan militer Jepang masuk ke
Surakarta, Pagoejoeban Moelat Sarira dibubarkan sehingga Sonopoestoko diambil
alih oleh pemerintah Mangkunegaran. Bekas anggota Pagoejoeban Moelat Sarira
tidak dapat meminjam lagi buku di Sonopoestoko. Perpustakaan ini sempat ditutup
sementara oleh pemerintah Mangkunegaran atas usul pemerintah pendudukan Jepang
di Surakarta, mulai dari tanggal 24 Juni 1942 hingga 16 Juli 1942. Penutupan taman
baca ini bertujuan untuk memeriksa ulang buku-buku bacaan yang ada di
Sonopoestoko oleh Kempeitai. Tercatat ada 558 buku yang diambil serta diperiksa
oleh Kempeitai dan hanya 52 buku yang dikembalikan. Perpustakaan Sonopoestoko
dibuka kembali pada bulan Juli 1942 dengan pembaharuan koleksinya. Buku-buku
32
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1941, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1389, hlm. 3-6.

68
yang berbau Belanda diganti dan dihilangkan dari daftar koleksi Sonopoestoko,
sedangkan surat kabar harian diganti dengan Asia Raya, Soeara Asia, dan Sinar
Matahari serta surat berkala Pandji Poestaka.33
Kehadiran Sonopoestoko pada masa pemerintahan Mangkunegara VII
ditujukan untuk peningkatan wawasan bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat
Surakarta. Mangkunegara VII menyadari betul pentingnya kebiasaan membaca bagi
perkembangan pribadi dan masyarakat. Beliau juga memiliki sebuah perpustakaan
pribadi. Setelah beliau wafat, sebagian koleksi bukunya yang berbahasa asing
diserahkan kepada Perpustakaan Pertamina (sekarang sudah berada di Perpustakaan
Nasional). Koleksi buku Mangkunegara VII yang berbahasa Jawa dan sebagian kecil
berbahasa asing disimpan ke Reksopoestoko Mangkunegaran. Koleksi Sonopoestoko
juga dipindahkan ke Reksopoestoko Mangkunegaran.34
2. Penerbitan Majalah Soerya
Pagoejoeban Moelat Sarira memiliki tugas pokok selain mengelola
perpustakaan Sonopoestoko, yaitu pada bidang penerangan atau pers. Pagoejeoban
Moelat Sarira pada tahun 1935 menerbitkan majalah Soerya. Majalah ini terbit pada
33
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1942, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1390, hlm. 1-2. 34
Reksopustoko dibangun pada tanggal 11 Agustus 1867. Awalnya,
Reksopustoko digunakan sebagai tempat menyimpan arsip pada masa pemerintahan
Mangkunegara IV. Kemudian pada masa pemerintahan Mangkunegara VII,
Reksopustoko beralih fungsi menjadi perpustakaan yang diperuntukkan bagi abdi
dalem (pegawai) yang terletak di Pura Mangkunegaran. Lihat Panitia Peringatan
Ulang Tahun Ke 125 Rekso Pustoko Mangkunegaran, Rekso Pustoko
Mangkunegaran 125 Tahun (1867-1992), (Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran,
1992), hlm. 26-30.

69
setiap bulan sekali dan muatan isi seputar berita umum dan suara persatuan Moelat
Sarira di Mangkunegaran. Kantor redaksi dan administrasi majalah Soerya berada di
Jalan Kestalan nomor 201, telepon 332. Susunan redaksi majalah Soerya35
antara
lain:
a. Kepala Redaksi : R. M. Noto Soeroto
b. Bagian Administrasi : Darmono Sastrohoebojo
c. Dewan Redaksi :
1) R. Soetapa Hadisapoetra sebagai Ketua Dewan Redaksi.
2) R. T. Hardjaprakosa sebagai Anggota Dewan Redaksi.
3) R. T. Hardjasoekasta sebagai Anggota Dewan Redaksi.
4) R. M. Ir. Sarsita Mangoenkoesoema sebagai Anggota Dewan Redaksi.
5) R. Ng. Jasawidagda sebagai Anggota Dewan Redaksi.
R. M. Noto Soeroto merupakan seorang tokoh besar berasal dari Paku Alaman,
namun ia juga tokoh yang tidak disukai dalam kerabat Paku Alaman sendiri karena
sikap kritisnya. Awal pertemuannya dengan Soeryo Soeparto adalah ketika ia
menempuh pendidikan di negeri Belanda. Ia adalah sahabat sekaligus orang
kepercayaan Mangkunegara VII sehingga ia dijadikan sekertaris pribadi
Mangkunegara VII. Kiprah R. M. Noto Soeroto dalam dunia pers sangat mumpuni,
hal itu sudah terlihat jelas ketika ia membantu PKMN dengan menulis artikel-artikel
di koran, seperti Soerabajaas Handelsblad dan Soerabajasche Courant. Kepiawaian
R. M. Noto Soeroto juga terlihat dari jabatannya sebagai sekertaris pribadi
35
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 1 Panitya Agung Pagoejoeban
Moelat Sarira tanggal 21 Februari 1935 dan 8 Maret 1935, loc. cit.

70
Mangkunegara VII. Berdasar kepiawaiannya dalam menulis, akhirnya R. M. Noto
Soeroto dipilih menjadi pemimpin atau kepala redaksi majalah bulanan Soerya.
Majalah Soerya dicetak sejumlah 3.000 eksemplar setiap terbitnya sebulan
sekali sejak tahun 1935.36
Majalah ini diperuntukkan gratis bagi anggota Pagoejoeban
Moelat Sarira, sedangkan bagi masyarakat umum yang ingin berlangganan dapat
membayar sejumlah f 1.25,- per tahun. Pagoejoeban Moelat Sarira sebulan sekali juga
menyumbangkan majalah Soerya sebagai bahan bacaan dan koleksi di Sonopoestoko.
Majalah ini menggunakan percampuran bahasa Jawa, Melayu dan Belanda dalam
tulisannya. Muatan majalah ini berisi berita umum dari internasional hingga lokal
serta sebagai sarana memuat berita keperluan untuk anggota Pagoejoeban Moelat
Sarira sendiri.
Majalah Soerya lebih banyak menyuguhkan tentang berita lokal yang terfokus
pada kebudayaan Jawa khususnya mengenai bahasa Jawa, seni tari, seni wayang, dan
ketoprak. Tulisan dalam majalah ini selain memuat tentang kebudayaan Jawa, juga
memuat mengenai opini beberapa tokoh tentang kondisi dan tugas masyarakat Jawa,
baik dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. Tulisan semacam ini
menumbuhkan rasa cinta nasionalisme masyarakat terhadap budaya Jawa. Para
penulis yang gemar mengisi di rubrik majalah Soerya lebih banyak dari golongan
terpelajar pada masa itu. Hal tersebut bisa dilihat dari gelar penulis yang
disandangnya, seperti A. H. Noto, R. M. Mr. Soemardhi Mangoenkoesoema, dan K.
R. T. Dr. Mangoendiningrat. Para penulis tersebut merupakan orang yang
36
Majalah Soerya edisi bulan Nopember 1940, Koleksi arsip Reksopustoko
Mangkunegaran, No. MN 149.

71
berpengaruh dan pandai dalam menulis sehingga masyarakat yang membaca tulisan
mereka akan merasa tergugah. Sebagai contoh, A. H. Noto menulis artikel yang
berjudul “Keprije Intelect Kita Ben Saja Akeh Pitulunge Marang Rakjat Awake
Dewe”. Tulisan A. H. Noto ini menjelaskan peran dan tugas seharusnya seorang yang
terpelajar untuk mengangkat derajat bangsa pribumi. Tulisan ini menggugah dan
mengajak masyarakat praja untuk menempuh pendidikan supaya tidak tertinggal
dengan bangsa lain.
Majalah Soerya juga mengajak masyarakat umum untuk mengikuti
Sayembara dalam majalah Soerya. Sayembara ini mencari kesalahan penulisan
bahasa Jawa dalam bagian opini dan juga pada bagian iklan saja. Pemenang
sayembara ini akan mendapat hadiah uang sejumlah f 1.50,- dari pengurus redaksi
majalah Soerya.37
Masyarakat selain sebagai pembaca, mereka juga diajak untuk
belajar menulis di majalah Soerya. Majalah Soerya membuka kesempatan bagi
masyarakat yang ingin tulisannya dimuat dalam majalah, seperti pada iklan ajakan
berikut: “Ingkang sami kapareng kintoen pandjoeroeng kangge “Soerya”, kasoeowen
kaserata mawi basa Djawa sastra Latin, edjahan Mangkunegaran.”38
Tujuan majalah
Soerya melakukan hal-hal tersebut supaya masyarakat lebih mencintai budaya bahasa
Jawa dan menghidupkan suasana intelektual dalam menulis pers.
Majalah Soerya selain memuat tulisan juga menawarkan berbagai iklan-iklan
komersil bagi yang mempunyai produk atau usaha. Dengan demikian, terjalin
37
Majalah Soerya edisi bulan September 1940, Koleksi arsip Reksopustoko
Mangkunegaran, No. MN 149. 38
Majalah Soerya Januari 1941, op. cit.

72
hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara majalah Soerya dengan
produsen barang atau jasa. Pada satu sisi, majalah Soerya akan mendapatkan
keuntungan uang, di sisi lain produk dari para produsen akan diiklankan pada majalah
Soerya baik berupa media gambar ataupun tulisan. Ada berbagai produk barang dan
jasa yang bekerja sama dengan majalah Soerya, seperti rokok, obat balsem, jamu, alat
tulis, jasa pembuatan stempel, jasa bank dan lan-lain.
Gambar 1.
Contoh iklan komersil pada masa kolonial
Sumber: Majalah Soerya Tahun 1940 dan 1941
3. Peranan di Bidang Sosial
Kehidupan tradisional orang Jawa dalam hubungan antara kawula-gusti
(hamba dan tuan) bukan tak bersifat pribadi dan akrab, saling menghormati,
sebaliknya hubungan ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling hormat
serta bertanggung jawab. Secara ideal, hubungan ini menuruti contoh kasih-sayang
dalam ikatan keluarga. Hal ini juga berlaku dalam hubungan sosial pada umumnya.

73
Sikap yang demikian terlihat dari kenyataan bahwa orang Jawa pada umumnya sering
menyapa orang dengan panggilan ki-sanak atau saderek, kedua kata itu berarti
kerabat.39
Sistem kekerabatan orang Jawa masih dipegang teguh oleh anggota
Pagoejoeban Moelat Sarira. Setiap anggota paguyuban ini sudah seperti saudara
sedarah, diaplikasikan jika satu anggota mengalami musibah maka yang lain juga
akan merasakan hal yang sama. Paguyuban ini merupakan organisasi yang
mementingkan kepentingan kawula dan mempunyai peran sosial yang tinggi dalam
mengurusi masalah kematian anggotanya di praja Mangkunegaran. Dalam urusan
kematian anggota, Pagoejoeban Moelat Sarira membentuk susunan panitia, antara
lain:
a. Ketua : M. T. Marmahoesada
b. Sekertaris : R. Ng. Sastranarjatma
c. Anggota :
1) R. Drs. Oemarsaid
2) M. P. H. Imamrosidhie
3) M. Ng. Martasoewita
Kegiatan-kegiatan sosial Pagoejoeban Moelat Sarira pada dasarnya meliputi
beberapa bantuan atau pertolongan bagi mereka yang membutuhkan dan meminta
bantuan. Kematian anggota akan mendapat santunan dari kas Pagoejoeban Moelat
Sarira. Seorang anggota yang meninggal akan mendapat santunan sejumlah f 20,-,
39
Soemarsaid Moertono, Negara Dan Usaha Bina Negara Di Jawa Masa
Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1986), hlm. 7.

74
sedangkan jika istri yang meninggal akan mendapat santunan f 10,-. Semua itu
dengan syarat adanya saksi atau bukti surat kematian yang kemudian dicatat
sekertaris panitia urusan kematian.40
Pagoejoeban Moelat Sarira juga berusaha membantu anggotanya beserta
keluarganya yang memang benar-benar membutuhkan bantuan. Panitia dalam urusan
kematian bertugas membuat wara-wara atau pengumuman kemudian disebarkan,
menyediakan pangrukti layon dan trebelo (peti mati).41
Anggota Pagoejoeban Moelat
Sarira yang meninggal tidak dibedakan satu sama lain dalam hal sarana prasarana
urusan kematian, hanya saja tata cara pemakamannya yang berbeda. Golongan putra
dalem, sentana dalem dan seluruh keluarga raja berbeda tata cara pemakamannya
dengan para abdi dalem.42
Hal yang dilakukan Pagoejoeban Moelat Sarira tersebut
diharapkan memperingan musibah yang dialami oleh anggotanya, karena mereka
yang terkena musibah sudah dianggap sebagai saderek.
40
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 2 Panitya Agung Pagoejoeban
Moelat Sarira Bab 4 tanggal 24 Maret 1935, loc. cit. 41
Ibid. 42
Sejak Mangkunegara VI proses pemerintahan serta penghormatan,
meninggalnya garwa, putra dan ibu dalem, serta meninggalnya sentana dan abdi
dalem di Mangkunegaran sudah ditentukan dan di atur sesuai dengan tata acara atau
adat Mangkunegaran. Lihat, Suroyo Tarusuwardjo, Peraturan Proses Penghormatan
Kepada Meninggalnya Istri, Putra dan Ibu Dalem serta Meninggalnya Sentana dan
Abdi Dalem di Mangkunegaran + Peringatan Wafatnya Para Leluhur di
Mangkunegaran, terjemahan Hartini, (Surakarta: Koleksi Reksopustoko
Mangkunegaran no. MN 920, 1987), hlm. 2-14.