BAB II LANDASAN TEORI - repository.bsi.ac.id fileBanyaknya pengertian pajak yang disampaikan oleh...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - repository.bsi.ac.id fileBanyaknya pengertian pajak yang disampaikan oleh...
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pajak
2.1.1 Definisi pajak
Banyaknya pengertian pajak yang disampaikan oleh para ahli menyebabkan
sulitnya untuk memasukkan definisi pajak yang tepat ke dalam Undang-Undang
Perpajakan. Meskipun demikian, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian
pajak yang disampaikan oleh para ahli tersebut hampir sama dan saling
melengkapi.
Menurut Bastable dalam Rahayu (2017:26), menyatakan “tax is a
compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons for the
service of the public powers, dalam bukunya Public Finance. Pajak dikatakan
sebagai kontribusi kesejahteraan personal untuk kekuatan pelayanan kepada
publik.”
Menurut Lubis (2018:10) menjelaskan bahwa
“Pajak adalah dana kemandirian bersama atau dana kegotongroyongan
untuk kepentingan bersama berdasarkan aturan kesepakatan bersama untuk
membiayai barang-barang pulik (public goods) dan jasa-jasa publik
(service public) agar tercapai kesejahteraan bersama baik seluruh
masyarakat dan negara dan bukan untuk membayar utang.”
Menurut Suanday dalam Sabil (2017a:65) mendefinisikan, “Pajak adalah
prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang
dapat dipaksakan, tanpa ada kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal
yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”
Menurut Adriani dalam Phaureula,Iryanie (2018:39) menjelaskan bahwa,
9
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut Peraturan-Peraturan Umum
(Undang-Undang), dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Yulianto (2009:49), menjelaskan bahwa
“Pajak adalah konstribusi wajib pajak kepada negara yang tertuang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Rahayu (2017:31) menyatakan bahwa pengertian fungsi dalam
fungsi pajak adalah pengertian fungsi sebgai kegunaan atas suatu hal. Maka fungsi
pajak adalah kegunaan pokok, manfaat pokok atas pajak.. Umumnya fungsi pajak
dikenal dengan 4 macam fungsi yaitu :
1. Fungsi Budgetair, bahwa pajak berfungsi untuk memenuhi biaya-biaya yang
harus dikeluarkan pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya.
Maka pengenaan pajak dipandang dari sudut ekonomi harus diatur sentral-
netralnya dan tidak boleh dibelokkan untuk mencapai tujuan-tujuan negara
yang menyimpang. Negara dalam menghimpun dana keuangannya sebagai
sarana bagi sumber pembiayaan untuk pemenuhan tujuan negara menjadikan
fenomena pengumpulan pajak terjadi secara berulang untuk sebagian besar
negara yang mengandalkan penerimaan pajaknya sebagai penerimaan utama
negara. Optimalisasi penerimaan pajak memerlukan perhatian pada faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang berperan penting dalam
10
mempengaruhi dan menentukan optimalisasi pemasukan dana ke kas Negara
melalui pemungutan pajak kepada warna negara antara lain adalah sebagai
berikut:
a. Kejelasan dan kepastian peraturan perundang-undangan.
b. Tingkat intelektual masyarakat
c. Kualitas fiskus
d. Sistem administrasi perpajakan yang tepat
2. Fungsi Regulerend disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak merupakan alat
kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Fungsi regulerend
merupakan fungsi lain dari pajak sebagai fungsi budgetair. Disamping usaha
untuk memasukan uang untuk kegunaan kas negara, pajak dimaksudkan pula
sebagai usaha pemerintah untuk ikut ambil andil dalam hal mengatur dan
bilamana perlu mengubah susunan pendapat dan kekayaan dalam sektor
swasta.
3. Fungsi Stabilitas, bahwa fungsi pajak dalam hal ini adalah sebagai alat
kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga di masyarakat sehingga
inflasi dapat dikendalikan sesuai kebutuhan perekonomian negara. Dengan
pajak maka pemerintah dapat mengatur peredaran uang di masyarakat melalui
pemungutan pajak dari masyarakat kepada negara dan selanjutnya
menggunakan pajak dengan efektif dan efisien.
4. Fungsi Retribusi Pendapatan merupakan salah satu sumber penerimaan
negara terbesar yang digunakan untuk membiaya semua kepentingan umm
dan untuk membiayai pembangunan. Pembiayaan pembangunan dapat
membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan
11
pendapatan masyarakat. Pembangunan yang memberikan perkembangan
proses produksi akan membuat perubahan pada perkembangan teknologi
produksi, seterusnya menuntut perubahan pola konsumsi masyarakat. Pasar
akan berkembang dengan baik dan menjadikan perubahan sosial
perekonomian masyarakat juga.
Menurut Sambodo dalam Phaureula,Iryanie (2018:41), pajak memiliki
lima macam fungsi yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (budgetair), dasar pemungutan pajak adalah adanya
kepentingan dari masing-masing warga negara, termasuk kepentingan dalam
perlindungan jiwa dan harta.
2. Fungsi mengatur (reguleren), pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
3. Fungsi stabilitas, dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga
inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan
pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan dimana pajak yang sudah dipungut negara
akam digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga
untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja,
yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
5. Fungsi demokarasi merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem
gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan.
12
2.1.3 Asas Pengenaan Pajak
Menurut Rahayu (2017:45) menyatakan bahwa dalam pemungutan pajak
didasarkan pada asas-asas tertentu bagi fiskus sehingga dengan asas ini negara
memberi hak kepada dirinya sendiri untuk memungut pajak dari penduduknya,
yang pada hakekatnya memungut dengan paksa (berdasarkan undang-undang)
sebagian dari harta yang dimiliki penduduknya. Asas-asas tersebut dijelaskan
dibawah ini.
1. Asas Domisili
Pengenaan pajak tergantung pasa tempat tinggal (domisili) Wajib Pajak.
Wajib Pajak tinggal disuatu negara maka negara itulah yang berhak
mengenakan pajak atas segala hal yang berhubungan dengan obyek yang
dimiliki Wajib Pajak yang menurut Undang-Undang dikenakan pajak. Wajib
Pajak dalam negeri maupun luar negeri yang bertempat tinggal di Indonesia,
maka dikenakan pajak di Indonesia atas seluruh penghasilan yang
diperolehnya baik penghasilan yang diterima dari dalam negeri maupun dari
luar negeri, di Indonesia
2. Asas Sumber
Cara pemungutan pajak yang bergantung pada sumber dimana obyek pajak
diperoleh. Tergantung di negara mana obyek pajak tersebut diperoleh. Jika di
suatu negara terdapat suatu sumber penghasilan, negara tersebut berhak
memungut pajak tanpa melihat Wajib Pajak itu bertempat tinggal. Baik Wajib
Pajak Dalam Negeri maupuan Luar Negeri yang memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia, akan dikenakan pajak di Indonesia.
3. Asas Kebangasaan
13
Cara yang berdasarkan kebangasaan menghubungkan pengenaan pajak
dengan kebangsaan dari suatu negara. Asas kebangsaan atau asas nasional,
adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan
kebangsaan dari suatu negara. Cara ini dipergunakan untuk menetapkan pajak
objektif. Dalam asas ini yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status
kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan
(Brotodihardjo dalam Rahayu, 2017:46).
Menurut Langen dalam Phaureula,Iryanie (2018:50), asas pengumutan
pajak adalah sebagai berikut:
1. Asas daya pikul
Berdasarkan asas ini, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka
semakain tinggi pajak yang dibebankan.
2. Asas manfaat
Pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
3. Asas kesejahteraan
Pjak yang dipungut oleh negara digunakan unutk meningkatkan kesejahteraan
rakyat
4. Asas kesamaan
Dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dan yang lain harus
dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
5. Asas beban yang sekecil-kecilnya
14
Pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika
dibandingkan dengan nilai objek pajak sehingga tidak memberatkan para
wajib pajak.
2.1.4 Pengelompokan Pajak
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:43) bahwa pajak diberikan menurut
golongan, sifat dan lembaga pemungutnya. Pengelompokan pajak dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.
Gambar II.1
Sumber : Phaureula,Iryanie (2018:43)
1. Jenis pajak menurut golongannya, pajak terdiri atas :
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung. Wajib
pajak yang bersangkutan. Contoh Pajak Penghasilan (PPh) merupakan
pajak langsung karena pengenaan pajaknya adalah langsung ke Wajib
Pajak yang menerima penghasilan, tidak dapat dilimpahkan ke Wajib
Pajak lain.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
adalah contoh dari pajak tak langsung sebab yang menjadi Wajib Pajak
Jenis Pajak
Menurut Golongan
Pajak Langsung
Pajak Tak Langsung
Menurut Sifat
Pajak Subjektif
Pajak Objektif
Menurut Pemungut
Pajak Pusat Pajak
Daerah
15
PPN seharusnya adalah penjualnya, karena penjualnya yang
mengakibatkan adanya pertambahan nilai, tetapi pengenaan PPN dapat
dilimpahkan ke pembeli (pihak lain).
2. Jenis pajak menurut sifatnya, pajak terdiri atas :
a. Pajak Subyektif yaitu pajak yang didasarkan atas keadaan subyeknya,
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak yang selanjutnya dicari syarat
objektifnya (memperhatikan keadaan WP). Contoh : Pajak Penghasilan
(PPh) adalah pajak subjektif, karena pengenaan pajak penghasilan
memperhatikan keadaan diri WP yang menerima penghasilan.
b. Pajak Obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya tanpa
memperhatikan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dimana peningkatan nilai dari suatu barang, bukan pada penjual
yang meningkatkan nilai barang dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) karena
PBB dikenakan terhadap keadaan dari tanah dan bangunan, bukan dari
keadaan pemiliknya.
3. Jenis pajak menurut lembaga pemungutannya, pajak terdiri atas :
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contoh : PPh, PPN,
PPnBM, PBB, Bea Materai dan BPHTB.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Menurut PP
No.18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam
Phaureula,Iryanie (2018:45), Pajak Daerah dibedakan menjadi 2 yaitu :
16
1) Pajak oleh Pemerintah Daerah Tingkat I/Provinsi, contoh : Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan Kendaran di atas Air, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaran di atas Air
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
2) Pajak oleh Pemerintah Daerah Tingkat II/Kabupaten/Kota, contoh :
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dan
Pajak Parkir.
2.2 Wajib Pajak
2.2.1 Defiinisi Wajib Pajak
Menurut Hartati (2015:133), menjelaskan bahwa “Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Dijelaskan pula mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
yang diatur pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam Yulianto
(2009:49), Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
17
2.2.2 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Menurut Hartati (2015:130) pembayaran pajak merupakan perwujudan
dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai filsafah Undang-Undang
Perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, melainkan hak
dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta
terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2.3 Pajak Daerah
2.3.1 Definisi Pajak Daerah
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:58), menjelaskan bahwa “Pajak Daerah
merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling besar
berkontribusi dalam membangun daerah. Pajak daerah yang bisa dikelola oleh
suatu daerah dengan daerah lainnya bisa berdeda, hal ini tergantung potensi
daerah tersebut.”
Menurut Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Pajak Daerah dalam Samudra (2016:43), menyebutkan bahwa
“Pajak Daerah adalah pungutan daerah menurut Peraturan Pajak yang ditentukan
oleh daerah untuk pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik.”
Menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi dalam Sabil (2016:158) menyatakan bahwa “Pajak Daerah adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
18
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
Menurut Davey dalam Anggoro (2017:45) mengemukakan bahwa pajak
daerah dapat diartikan sebagai:
1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah
sendiri;
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya
dilakukan oleh pemerintah daerah;
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut Pemerintah Daerah;
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil
pemungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani
pungutan tambahan oleh Pemerintah Daerah.
2.3.2 Jenis-jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dalam Samudra (2016:68), Pajak Daerah dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis yaitu:
1. Pajak Provinsi, antara lain:
a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan;
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten, antara lain:
a. Pajak Hotel;
19
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Sarang Burung Walet
i. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaaan dan Perkotaan;
j. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.4 Pajak Reklame
2.4.1 Definisi Pajak Reklame
Menurut Samudra (2016:216) menjelaskan bahwa,
Reklame ialah benda, alat atau perbuatan, yang menurut bentuk susunan
dan/atau corak ragamnya dengan maksud untuk mencarikeuntungan (sales
promotion) dipergunakan untuk memperkenalkan, manganjurkan atau
memujikan suatu barang, jasa atau seseorang ataupun untuk menarik
perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau seseorang yang
ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari sesuatu
tempat oleh uumum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan definisi pajak reklame berdasarkan Perda Nomor 24 Tahun
2010 dalam tentang Pajak Reklame Phaureula,Iryanie (2018:74), menjelaskan
bahwa “Pajak Relame adalah pajak terhadap penyelenggaraan reklame yang
dilakukan oleh orang atau badan.”
Tercantum pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dalam Anggoro (2017:54) menyimpulkan bahwa
“Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.”
20
2.4.2 Sejarah dan Perkembangan Pajak Reklame
Menurut Samudra (2016:215) menyimpulkan bahwa Pajak atas Reklame
sudah ada sejak Tahun 1937. Pada waktu itu Pajak atas Reklame hanya berlaku
untuk wilayah Batavia (Jakarta) saja, dengan nama Bataviasche
Reclameverordening, 1937 yang diundangkan tanggal 16 November 1936
(Lembaran Kotapradja Jakarta Raya 1958 Nomor 3). Tahun 1967 dengan
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1967, dperbarui peraturan tersebut. Tahun
1977, dengan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1977 Peraturan Pajak Reklame
kembali mengalami perubahan. Terakhir dasar hukum Pajak Reklame dapat
diurutkan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
2.4.3 Objek, Subjek dan Wajib Pajak Reklame
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:75), menjelaskan bahwa Objek Pajak
Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. Objek Pajak reklame meliputi :
1. Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya;
2. Reklame kain;
3. Reklame melekat, stiker;
4. Reklame selebaran;
5. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
6. Reklame udara;
7. Reklame apung;
21
8. Reklame suara;
9. Reklame film/slide; dan
10. Reklame peragaan.
Menurut (Samudra, 2016:220) “Subjek Pajak Reklame ialah
penyelenggara Pajak Reklame menurut jenisnya. Subjek pajak reklame
merupakan orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau memesan
reklame.
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:76) “Wajib Pajak reklame adalah orang
pribadi atau Badan tersebut, dan jika Reklame diselenggarakan melalui pihak
ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak.
2.4.4 Pengecualian Objek Pajak Reklame
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:75) menjelaskan beberapa objek reklame
yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah:
1. Penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian,
warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
2. Label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang
berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
3. Nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan
tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang
mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
4. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
yang tidak ada pesan sponsor.
22
Menurut Samudra (2016:221) menyimpulkan bahwa daerah dapat
menambahkan dalam aturan-aturan yang sejalan dengan Undang-Undang. Aturan-
aturan itu dimasukan dalam Peraturan Daerah, misalnya:
1. Penyelenggaraan reklame yang semata-mata memuat tempat ibadah dan panti
asuhan.
2. Penyelenggaraan reklame yang semata-mata kepemilikan dan/atauperuntukan
tanah denganketentuan luasnya tidak lebih dari 1/4 M
2 dan diselenggarakan
diatas tanah tersebut.
3. Penyelenggaraan reklame yang semata-mata memuat nama dan/atau
pekerjaan atau perusahaan yang menempati tanah bangunan di mana reklame
tersebut diselenggarakan dengan ketentuan pada:
a. Ketinggian 0-15 M luasnya tidak melebihi ¼ m2
b. Ketinggian 15-30 M luasnya tidak melebihi ½ m2
c. Ketinggian 30-40 M luasnya tidak melebihi ¾ m2
d. Ketinggian 45 M luasnya tidak melebihi 1 m2
Poin-poin di atas (1,2 dan 3) diberlakukan di Provinsi Jakarta.
2.4.5 Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Reklame
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:76) menyimpulkan bahwa dasar
pengenaan pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame (NSR), NSR didasarkan
atas Nilai Jual Objek Pajak Reklame (NJOPR), NJOPR ditentukan oleh faktor-
faktor:
1. Bahan yang digunakan;
2. Ukuran media reklame;
3. Biaya pembuatan;
23
4. Biaya pemeliharaan reklame;
5. Biaya pemasangan reklame;
6. Jenis reklame yang dipasang;
7. Jumlah;
8. Waktu dan jangka waktu penyelenggaraan.
Dalam hal ini Phaureula,Iryanie (2018:76) menjelaskan bahwa reklame
yang diselenggarkan oleh pihak ketiga, NSR ditetapkan berdasarkan Nilai
Kontrak Reklame, jika Reklame diselenggarakan sendiri, NSR dihitung
berdasarkan NJOPR dan/atau NSPR, tetapi jika Nilai Sewa Reklame tidak
diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, NSR ditetapkan degnan menggunakan
faktor-faktor NJOPR dan Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR), Nilai
Strategis Pemasangan Reklame (NSPR) ditentukan berdasarkan kategori kawasan
dan kelas jalan serta nilai strategis.
Besaran tarif pajak reklame adalah 25% (dua puluh lima persen).
2.4.6 Perhitungan Pajak Reklame
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:77) mengungkapkan bahwa “besarnya
pajak yang terutang adalah dengan mengalikan tarif pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak.”
Menurut Samudra, (2016:223) untuk perhitungan reklame, maka perlu
diperhatikan beberapa ketentuan yaitu sebagai berikut:
1. Terhadap penyelenggaraan reklame papan/billboard dengan ukuran luas
sampai 24m2, maka besarnya Nilai Sewa Reklame (NSR) per m
2/tahun
ditetapkan sebgaimana tercantum dalam kolom 3 lampiran Keputusan
Gubernur.
24
2. Terhadap penyelenggaraan reklame megatron, videotron, large electronic,
display, papan/billboard dengan ukuran luas di atas 24m2, maka besarnya
Nilai Sewa Reklame (NSR) per m2/tahun diperoleh dengan cara
menjumlahkan perkalian luas reklame yang dimohon dengan Nilai Strategis
Pemasangan Reklame (NSPR) yang tercantum pada kolom 4 lampiran
Keputusan Gubernur ditambah dengan 1/3 Rencana Anggaran Biaya (RAB)
yang dipakai sebagai perhitungan retribusi Ijin Mendirikan Bangunan-
Bangunan Reklame (IMB BR) dan RAB dihitung oleh pemegang Surat Ijin
Bangunan Permanen (SIBP) dan dinilai oleh Dinas Pengawasan
Pembangunan Kota.
3. Tambahan pajak karena ketinggian melebihi batas normal 15m ditetapkan
sebagai berikut:
a. 0-15 M = 0%
b. <15 M - 30 M = 20%
c. <30 M - 45 M = 40%
d. <45 M - 60 M = 60%
4. Tambahan pajak, karena reklame alkohol dan rokok ditetapkan masing-
masing 20%
5. Adapun proses permohonan penyelenggaraan reklame/billboard ialah sebagai
berikut:
a. Dinas Pendapatan Daerah untuk julmah luas seluruh bidang muka
reklame di atas 24m2.
b. Suku Dinas Pendapatan Daerah untuk jumlah luas seluruh bidang muka
reklame di atas 6m2
-24m2.
25
c. Seksi Pendapatan Daerah Kecamatan untuk jumlah luas seluruh bidang
muka reklame sampai 6m2.
2.4.7 Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pajak Reklame
Menurut Samudra (2016:220) mejelaskan bahwa izin penyelenggaraan
reklame dapat dicabut apabila:
1. Reklame tersebut pertimbangan Gubernur Kepala Daerah tidak sesuai dengan
syarat-syarat keindahan, kesopanan, ketertiban umum, keamanan, kesusilaan,
keagamaan dan kesehatan.
2. Jika permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana telah ditetapkan,
yaitu terdapat perubahan sehingga tidak sesuai lagi dengan yang diizinkan.
3. Penyelenggaraan reklame tidak melakukan kewajibannya seperti
menempelkan penning, memelihara benda-benda dan alat-alat yang
digunakan untuk reklame, membongkar reklame beserta bangunan konstruksi
setelah berakhirnya izin atau izin dicabut dan menanggung segala akibat yang
disebakan penyelenggaraan reklame itu menimbulkan kerugian pada pihak
lain.
2.4.8 Masa Pajak dan Saat Terhutang Pajak Reklame
Menurut Phaureula,Iryanie (2018:77) “Masa pajak adalah jangka waktu
yang lamanya sama dengan jangka waktu penyelenggaraan Reklame. Pajak
terutang dalam masa pajak terjadi pada saat kegiatan penyelenggaraan Reklame.
Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang berdasarkan penetapan Walikota, dan
dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.”
Menurut Samudra (2016:222) “Masa pajak adalah jangka waktu yang
lamanya 1 (satu) bulan atau ditetapkan lain oleh Gubernur Kepala Daerah. Pajak
26
terutang dalam masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan reklame atau
diterbitkan SKPD.”
2.4.9 Pelaporan Pajak Reklame
Menurut Samudra (2016:223) Pelaporan pajak dilakukan dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Reklame (SPPR) atau Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan wajib diisi dengan jelas, lengkap dan
ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
2.4.10 Pembayaran Pajak Reklame
Menurut Samudra (2016:222), menjelaskan bahwa pajak terutang dalam
masa pajak terjadi pada saat penyelenggaraan reklame atau diterbitkan Surat
Keputusan Pajak Daerah (SKPD).
2.4.11 Penagihan Pajak Reklame
Pengertian penagihan pajak menurut Mardiasmo dalam Fajar (2014:200)
adalah: “Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan peyanderaan, menjual barang yang telah disita”.
Proses penagihan pajak akan dilakukan bila terdapat utang pajak yang
belum lunas sampai dengan tanggal jatuh tempo, seperti dengan adanya Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan lainnya.
27
2.5 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2.5.1 Dasar Hukum Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sabil (2017a:68)
menyatakan bahwa Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban. Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang
Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena
jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan
keuangan daerah.
Hak dan kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan
subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen
pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah
juga harus dilakukan dengan cara yang baik dan bijak agak keuangan daerah
tersebut bisa menjadi efisien penggunaanya yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
2.5.2 Definisi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Anggoro (2017:18), menyimpulkan bahwa “Pendapatan Asli
Daerah merupakan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah atas
28
pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, serta
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki pemerintah daerah.
Menurut Halim dalam Phaureula,Iryanie (2018:23), menerangkan bahwa:
”Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang
diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilahnya sendiri yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sektor pendapatan daerah memegang
peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh
mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan
pembangunan daerah.”
Berdasarkan Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam
Sabil (2017a:68), menyatakan bahwa “Pendapatan Asli Daerah, yang selanjutnya
disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
2.5.3 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Anggoro (2017:18) menjelaskan bahwa sumber-sumber yang bisa
dikembangakan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah adalah:
1. Pajak Daerah, yaitu pajak-pajak yang ditentukan pemungutannya dalam
Peraturan Daerah, dan para pembayar pajak (wajib pajak) tidak menerima
imbalan secara langsung dari pemerintah.
2. Retribusi Daerah, yaitu pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang
menikmati secara langsung fasilitas tertentu yang disediakan pemerintah
daerah. Pemungutannya juga harus dituangkan dalam Peraturan Daerah.
29
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yaitu pendaptan yang
diperoleh dari pengelolaan badan-badan usaha milik daerah maupun lembaga-
lembaga lainnya yang dimiliki Pemerintah Daerah.
4. Lain-lain PAD yang sah, yaitu pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah
selain tiga jenis pendapatan tersebut di atas. Pendapatan ini antara lain adalah
hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, serta
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang/atau jasa oleh daerah.
2.5.4 Upaya Peningkatan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
Menurut Sabil (2017b:147) menjelaskan bahwa sebagai upaya yang perlu
ditempuh untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah, misalnya:
1. Melakukan pendataan secara lengkap dan akurat
2. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) pengelola dan
pelaksana di bidang keuangan daerah melalui pendidikan dan pelatihan
3. Meningkatkan koordinasi eksternal (antarinstansi terkait) dan koordinasi
internal (antar bagian/unit dalam instansi)
4. Memperbaiki sistem pengelolaan selain tunggu bola harus pula secara aktif
jemput bola.
5. Memberi hadiah kepada wajib pajak yang membayar pajak dalam jumlah
terbesar dan yang melunasi pajaknya sebelum batas waktu yang telah
ditetapkan.
6. Penguatan kelembagaan
7. Meningkatkan rasio cakupan (coverage ratio) mendekati potensi
30
8. Meningkatkan sarana dan prasarana penagihan
9. Peningkatan pengawasan melekat, fungsional dan masyarakat
10. Pemberian insentif (perangsang) bagi petugas pemungut yang berprestasi
11. Pemberian sanksi pada petugas penagih pajak dan retribusi yang melakukan
kesalahan
12. Melakukan kampanye, antara lain melalui spanduk dan pamflet
13. Meningkatkan kesadaran wajib pajak dan wajib retribusi melalui kegiatan
sosialisasi manfaat pajak dan retribusi bagi masyarakat.
14. Melakukan kerja sama dengan pihak ketiga atau instansi lain untuk
memudahkan dalam penagihan kepada wajib pajak dan wajib retribusi.