BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI Hakekat Pendidikan...
1
1
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hakekat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD
1. Pengertian
Pendidikan Kewarganegaraan secara teori dapat dinyatakan sebagai;
”seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan,
humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara
psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS “ (Somantri,
2001:159).
Labih lanjut Muhammad Nu’man Somantri (2001:154) mengemukakan
bahwa:
“ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta
didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan
hubungan antara warga negara dengan negara serta pendidikan bela negara agar
menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara’.
Sedangkan Djahiri (2002:91) menjelaskan secara lebih luas tentang makna
PKn sebagai berikut:
”PPKN sebagai bagian pendidikan ilmu kewarganegaraan atau PKn di manapun dan kapanpun sama/mirip, yakni program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law) , demokratis dan partisipatif, aktif-kreatif-positif dalam kebhinnekaan kehidupan masyarakat-bangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya”.
2
2
Pendapat lain tentang Pedidikan Kewarganegaraan dijelaskan Sanusi (1999)
dengan menawarkan model pendidikan yang didasarkan pada sepuluh pilar
demokrasi meliput: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Hak Asasi Manusia, (3)
Kedaulatan rakyat, (4) Kerakyatan yang cerdas, (5) Pembagian kekuasaan negara,
(6) Otonomi Daerah, (7) Rule of law, (8) Pengadilan yang merdeka, (9)
Kemakmuran umum, dan (10) Keadilan sosial.
Sedang menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ditegaskan bahwa :
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik
dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara
warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar
menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara.
Sementara dalam Kurikulum 2004 disebutkan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan (citizenship), adalah merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio
kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa yang menjadi warganegara Indonesia yang
cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945
(Depniknas, 2003:7).
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah merupakan bagian dari ilmu pendidikan sosial (IPS)
yang dipersiapkan untuk membekali peserta didiknya dengan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang berkenaan dengan hubungan antara warga negara
dengan negara yang dilaksanakan dengan proses pembinaan dan pembelajaran
agar menjadi warganegara yang baik, iman, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta
3
3
mampu melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga
masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law), demokratis
dan partisipatif, aktif serta kreatif dalam kebhinekaan kehidupan masyarakat-
bangsa-negara madani (civil sociaty) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan modern tanpa melupakan
jati diri masyarakat bangsa dan negaranya.
1. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Dilihat dari segi materi dan tujuan pembelajarannya, Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) merupakan bagian atau salah satu tujuan Pendidikan IPS,
yaitu bahan pendidikan yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari
berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945,
dan perundang-undangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan pada
hubungan warga negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan
dengan bela negara (Soemantri,2001: 161)
Labih lanjut Nu’man Somantri (2001:166) menjelaskan tentang fungsi
Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai:
“Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik agar terjadi internalisasi moral Pancasila dan pengetahuan kewarganegaraan untuk melandasi tujuan pendidikan nasional, yang diwujudkan dalam integritas pribadi dan prilaku sehari-hari”.
Sematara itu secara teoretik keilmuan, Djahiri (1994:1) menyatakan bahwa:
‘Target harapan dan isi utama PKn adalah memanusiakan dan mendewasakan serta membudayakan anak manusia (siswa) secara paripurna berdasarkan nilai, moral Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa Indonesia sehingga kelak di kemudian hari akam hidup suatu generasi “Manusia Indonesia Pancasila Sejati” dalam tatanan kehidupan budaya pancasila”
4
4
Kemudian secara rinci A. Kosasih Djahiri (1994:10) menjelaskan
tujuan PKn adalah sebagai berikut:
a. Secara umum, tujuan PKn harus ajeg dan medukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan “.
b. Secara khusus, tujuan PKn yaitu; “membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepen-tingan perorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat ataupun kepentingan dapat diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
adalah sebagai berikut bahwa tujuan Pendidikan Kewarganegraan adalah:
1) Berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti korupsi
3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain
4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi.
Sejalan dengan isi dari petikan peraturan Permendiknas di atas Bunyamin
Maftuh (2008:96) menjelaskan tentang tujuan utama Pendidikan
Kewarganegaraan, “adalah untuk mendidik siswa yang baik dan bertanggung
jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan masalah masyarakatnya,
5
5
termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar kelompok, dalam cara-cara
yang damai dan demokratis”.
Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan mengenai tujuan
dari Pendidikan Kewarganegaraan dapat di bagi pada sekala umum, adalah
merupakan bagian dari tujuan Ilmu Pendidikan Sosial yaitu bahan pendidikan
yang diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu
sosial, humaniora, dokumen negara, pancasila, UUD 1945, dan perundang-
undangan negara, dengan tekanan, bahan pendidikan pada hubungan warga
negara dengan negara dan bahan pendidikan yang berkenan dengan bela negara.
Sedangkan dalam sekala khusus adalah tujuan yang bangun dalam bingkai
pembinaan, pengajaran dan pembelajaran terhadap anak didik (di tingkat
pendidikan dasar dan menengah) yaitu bertujuan untuk mendidik siswa yang baik
dan bertanggung jawab, mampu memecahkan masalah mereka sendiri dan
masalah masyarakatnya, termasuk memecahkan konflik antar pribadi dan antar
kelompok, dalam cara-cara yang damai dan demokratis.
Adapun karakter peserta didik setelah mengikuti pendidikan
kewarganegaraan tersebut adalah, diharapkan mampu mengembangkan peserta
didik yang berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan, berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab serta
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
serta anti korupsi, berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lain, serta mampu berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
6
6
percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi dan
komunikasi.
2. Metode Pembelajaran PKn
Dalam membelajarkan siswa, guru dituntut untuk menggunakan metode
yang bervariasi agar tidak menimbulkan kejenuhan dan kebosanan para siswa.
Kosasih Djahiri (1995) memaparkan beberapa metode yang digunakan dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yakni: metode ceramah, metode
ekspositorik, metode pengajaran konsep, metode tanya jawab, metode
partisipatori, metode diskusi dan kelompok belajar, metode inquiri dan pemecahan
masalah serta pengajaran VCT.
Demikian pula dalam Suplemen PKN dan Kurikulum Berbasis Kompetensi,
Kosasih Djahiri (2002), mengembangkan pendekatan pembelajaran kontekstual
menjadi beberapa metode pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam
Pendidikan Kewarganegaraan antara lain:
”Pola Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning), Penemuan (discovery), Metode Pemecahan Masalah (problem solving), Inquiry, Interactif, Eksploratif, Berpikir Kritis, Catatan Kegiatan, Skala Sikap, Koleksi Tugas, Diskusi, Portofolio, Pola Pemberdayaan Media cetak dan Praktikum PKn. Sejalan dengan pendapat di atas, Depdiknas (2003:5) menyatakan sebagai
berikut:
”Pembelajaran dalam mata pelajaran PKn merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan dan karakter warga negara. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara lain dengan metode: 1) kooperatif, 2) penemuan, 3) inkuiri, 4) interaktif, 5) eksloratif, 6) berpikir kritis dan 7) pemecahan masalah”.
7
7
Dengan beberapa metode pembelajaran di atas, diharapkan dapat
menjadikan strategi alternatif sehingga para guru mampu meningkatkan motivasi,
kreasi berpikir bahkan partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, tentunya tidak secara serempak semua metode itu
dipergunakan dalam setiap pelaksanaan proses pembelajaran, melainkan sangat
ditentukan oleh tingkat/jenjang pendidikan bahkan usia pekembangan peserta
didik.
Akhirnya dengan tetap memperhatikan berbagai aspek yang terkait guna
terciptanya proses pembelajaran yang efektif, dan kompetitif, salah satunya
adalah dengan pemilihan metode pembelajaran yang tepat, produktif dan
kualitatif sehingga tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat
tercapai secara maksimal.
B. Hakekat Metode Pembelajaran Pemecahan Masalah (Problem Solving)
1. Pengertian metode pemecahan masalah (problem solving)
Problem solving atau memecahkan masalah adalah suatu istilah yang biasa
terjadi dalam kehidupan manusia termasuk didalamnya memecahkan masalah di
sekolah, karena di sekolah senantiasa para siswa dihadapkan dengan berbagai
masalah terutama bekaitan dengan kesulitan, gangguan dalam mengikuti proses
pembelajaran.
Berkaitan dengan proses pembelajaran teresebut Metode Pemecahan
masalah (problem solving) dapat didefinisikan sebagai penyajian bahan pelajaran
dengan menjadikan masalah tersebut sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau
8
8
jawabannya oleh siswa (Sudirma dkk, 1987 :146). Pemasalahan itu dapat diajukan
atau diberikan guru kepada siswa, dari siswa bersama guru,atau dari siswa
sendiri,yang kemudian dijadikan pembahasan dan dicari pemecahannya sebagai
kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula
sebagai problem solving method, reflective thinking methode,atau scientific
method.
Lalu apa sebenarnya masalah itu ? Masalah ialah segala sesuatu yang
mengandung keragu-raguan, ketidak pastian atau kesulitan yang harus
dipecahkan, dikuasai dan dijinakan
Ada dua pandangan tentang pengertian pemecahan masalah (problem
solving); pertama, sebagai system atau metode ilmiah untuk memecahkan
masalah, hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Cormik (1990) yang
mengartikan problem solving kedalam empat pengertian; " a) a teaching method
that ancourages active learning, b) a generic ability to deal with problem
solution, a) method used subject as mathematics and science or d) an empirical
investigation" (Syariful, 2004: 26).
Berkaitan dengan problem solving sebagai sistem atau metode ilmiah, secara
mendalam John Dewey (1970) menggambarkan metode problem solving kedalam
pengetian metode ilmiah dengan berdasarkan lima langkah yaitu :
"a) felt difficulty, b) clarification of the problem, c) identification of possible
solution, d) testing the suggested solution, and e) verification of the result.
Tokoh lain Polya (1957) menyatakan empat langkah dalam pemecahan
masalah yaitu; "a) understanding the problem , b) devising a plan, c) carring out
plan, and d) looking back-checking the result and evaluating the solution "
9
9
Kedua pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran, dijelaskan
oleh Sellwod (1989) "..The problem solving immerses student in active, and
investigation learning". Hal itu menunjukan bahwa problem solving dipahami
bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode
berpikir, sebab dalam problem solving dapat pula menggunakan metode-metode
lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan
(Sudjana, 2005:85).
Lebih jelasnya lagi Sudirman dkk (1987: 146 ) mengemukakan bahwa :
"Metode problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam upaya mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa. Permasalahan itu dapat diajukan kepada siswa, dari siswa bersama guru, atau dari siswa sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan yang dicari pemecahannya dalam sebuah kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut pula sebagai problem solving method, reflective thinking method, atau scientific method."
Dengan demikian Metode Pemecahan Masalah (problem solving) adalah
merupakan suatu strategi pemecahan untuk menghasilkan suatu jawaban
(kesimpulan) tentang suatu permasalahan yang dihadapi seseorang, adapun
metode pemecahan masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah penelitian
tertentu dalam bentuk, pendidentifikasian, pencarian, penetapan hipotesis dan
pengujian kembali tentang hipotesis sehingga menghasilkan tesa-tesa yang baru.
2. Langkah-langkah Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem
solving)
Guna mencapai hasil (keputusan) yang tepat, sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, maka dalam pelaksanaan metode pemecahan masalah ini harus
10
10
melalui beberapa langkah yang teratur. John Dewey dalam Nasution (1982: 47)
menjelaskan beberapa langkah dalam memecahkan masalah secara sederhana
adalah sebagai berikut :
1) Merumuskan dan menegaskan masalah
2) Mencari fakta pendukung dan meneruskan hipotesis
3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan
4) Mengadakan pengujian atau verifikasi
Selanjutnya Gagne yang dikutip Winatapura (1993:159) mengemukakan
bahwa dalam prakteknya proses pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah
yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; 2) Menyatakan masalah dralam bentuk yang lebih operasional; 3) Menyusun hipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik; 4) Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memeroleh hasilnya; 5) Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh
3. Pelaksanaan Metode Pemecahan Masalah (problem solving) dalam Proses
Pembelajaran
Model pengajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah pada
dasarnya adalah model pengajaran yang menekankan pada upaya peningkatan
kemampuan siswa untuk mengatasi masalah dengan cara-cara sistematis dan
ilmiah. Berkenaan dengan hal tersebut maka harus dilakukan langkah-langkah
strategis dalam pelaksanaannya.
Frederiksen dalam Slavin (1991: 187) mengusulkan enam elmen dalam
suatu strategi menagajarkan Pemecahan Masalah yaitu;
1) Allow time for incubation; yang terpenting disini adalah jangan cepat menuju pada suatu solusi, tetapi lebih tepatnya adanya ketenangan,
11
11
menerawang dan memikirkan pada masalah melalui beberapa solusi alternatif sebelum memilih suatu tindakan.
2) Suspens judgment; dalam pemecahan masalah kreatif, siswa harus didorong untuk mendukung penilaian, dan mempertimbangkan semua kemungkinan sebelum mencoba suatu solusi.
3) Establish approriate climates; pemecahan masalah bisa dipengaruhi oleh suatu lingkungan yang tenang (rileks)
4) Analize and juxtapose elemen; mendata karakteristik utama atau elmen-elmen spesifik dari suatu masalah.
5) Teach the underlying cognitive abilities; para siswa dapat diajari strategi-strategi spesifik untuk mendekati probel solving secara kreatif, seperti pemikiran tentang gagasan-gagasan baru, munculnya gagasan/ide-ide, merencanakan, memetakan kemungkinan, merangkai kata-kata, atau memasukan mesalah yang sudah jelas/benar kepada pikiran kita.
6) Provide practice with feedback; yaitu dengan banyak memberikan praktik dan umpan balik kepada siswa sebagai cara yang paling efektif untuk mengajarkan pemecahan masalah.
Dalam kaitanya dengan pemecahan masalah maka menurut John Dewey
(dalam Nana Syaodih, 1997:43) dapat dilakukan dengan langkah-langkah berpikir
reflektif yaitu:
1) Merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah, 2) Mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis), 3) Mengadakan penelitian atau menggunakan data yang cermat, 4) Memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, 5) Hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
Kelima langkah di atas oleh John Dewey dalam Abin Syamsuddin (1996)
disebut sebagai proses belajara masalah, yaitu:
1) Become a ware of the problem, dalam hal ini individu menyadari masalah kalau ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan, sehingga merasakan adanya semacam kesulitan,
2) Clarifeing and defining problem, yaitu invidu melokalisasikan di mana letak kesulitan tersebut untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan dengan menggunakan prinsip atau dalil atau rule yang diketahui sebagai pegangan,
3) Searching for fact and formulating hypotesis, yaitu individu menghimpun berbagai informasi yang relevan, termasuk bagaimana pengalaman orang lain dalam mengdapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasikan dengan berbagai alternatif kemungkinan
12
12
pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan atau pernyataan jawaban sementara bagi pembuktian (hipotesys).
4) Evaluating proposed solution, yaitu setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya, dan selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
5) Experimental verification, dalam hal ini alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktekan. Dari hasil pelaksanaan itu akan diperoleh informasi untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan.
Selajan dengan pendapat diatas, Sudjana (2005:86) menjelaskan tentang
metode problem solving untuk tujuan proses pembelajaran harus menempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan, masalah tersebut harus tumbuh dari siswa sesuai dengan tarap kemampuannya;.
2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, misalnya dengan membaca buku-buku, meneliti, bertanya berdiskusi, dal lain-lain;
3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah diperoleh, pada langkah kedua di atas;
4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut, dalam langkah ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-betul yakin bahwa jabawaban tersebut itu betul-betul cocok. Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan metode-metode lainnya seperti; demontrasi, tugas diskusi dan lain-lain;
5) Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada simpulan terahir tentang jawaban dari masalah tadi.
Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk mengaplikasikan
metode pemecahan masalah dalam proses pembelajaran seperti telah dijelaskan di
atas, hal yang paling prinsip adalah upaya pendekatan guru dalam ikut mendorong
para siswa untuk mampu berpikir lebih maju, kritis dan rasional, sehingga
berbagai pemasalahan (kesulitan) yang mereka hadapi terutama berbagai masalah
yang bekaitan dengan aktivitas belajar-mengajar secara bertahap mampu ia
pecahkan dan akhirnya mereka mampu memahami, mengkoreksi dan
menyimpulkanya.
13
13
Hal tersebut paling tidak sesuai dengan penjelasan Sapriya (2002 :87) tentang
langkah-langkah proses pembelajaran dengan teknik problem solving yang harus
dilakukan dengan tahapan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Mengenali adanya masalah
2) Mencari alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah tersebut.
3) Memilih dan menerapkan pendekatan
4) Mencapai kesimpulan
C. Hakekat Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi
Istilah motivasi menunjukan kepada semua gelaja yang terkandung dalam
stimulasi tindakan di mana sebelumnya tidak ada gerakan menjadi timbulnya
dorongan-dorongan dasar atau internal dan intensif menuju ke arah tujuan
tertentu .
Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang
memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi
aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi
pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang
motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali
dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas
manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap
(attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984).
Motivasi berasal dari kata motif diartikan sebagai daya upaya yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Hal itu seperti yang
dikemukakan oleh Mc. Donald, mendifinisikan motivasi adalah : ”Motivasi is a
14
14
energy change within the person characterized by affective arousal and
anticipatory goal reactions.” Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam
pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk
mencapai tujuan (Hamalik, 2004: 173)
Dari definisi yang dikemukakan Mc. Donald di atas mengandung tiga
elmen penting yaitu :
1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap
individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa
perubahan neurophysiological yang ada pada organisme manusia. Walaupun
motivasi itu muncul dari dalam diri manusia, namun penampakannya akan
menyangkut kegiatan fisik manusia.
2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi seseorang dalam hal
ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan,afeksi dan emosi
yang dapat menentukan tingkahlaku manusia.
3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini
sebagai respon dari satu aksi (tujuan). Motivasi itu mucul karena
terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain yaitu tujuan yang dibutuhkan
(Sardiman AM, 2008 :74).
Sementara itu, komponen motivasi memiliki dua komponen, yaitu
komponen dalam (inner component) dan komponen luar (outer component).
Komponen dalam ialah perubahan di dalam diri seseorang, seperti keadaan merasa
tidak puas, dan ketegangan psikologis. Sedangkan komponen luar ialah apa yang
diinginkan seseorang, yakni tujuan yang menjadi arah prilakunya. Dengan
demikian komponen dalam berarti kebutuhan-kebutuhan yang hendak dipuaskan,
15
15
sedangkan komponen luar adalah tujuan yang hendak dicapai. (Hamalik, 2004:
174)
2. Motivasi Dalam Belajar
Pentingnya peranan motivasi dalam proses pembelajaran perlu dipahami
oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau bantuan
kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik diakibatkan faktor
dari dalam maupun luar siswa, untuk mencapai tujuan tertentu guna memenuhi/
memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks pembelajaran maka kebutuhan
tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk pelajaran.
Peran motivasi dalam proses pembelajaran, motivasi belajar siswa dapat
dianalogikan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin motivasi belajar
yang memadai akan mendorong siswa berperilaku aktif untuk berprestasi dalam
kelas, tetapi motivasi yang terlalu kuat justru dapat berpengaruh negatif terhadap
kefektifan usaha belajar siswa.
Dengan demikian esensi dari motivasi belajar adalah apa yang memberikan
energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas
belajar siswa. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan Sardiman A.M
(2008:75) bahwa kaitannya dengan kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan,
menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga tujuan
yang diharapkan oleh subyek belajar itu dapat tercapai.
16
16
Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat
mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk
belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.
Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan
sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social
learning, dan social cognition. (http://iwanps.wordpress.com/2008/04/17/teori-
motivasi).
3. Teori-teori Motivasi Kaitannya Dengan Pelaksanaan Belajar
a. Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan
Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat motivasi optimal, yang
menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan kinerja
(performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan
rangsangan tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan
menjadi terlalu tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat
rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang
menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya
(Budiningsih, 2005).
Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup
menghasilkan suatu dorongan (drive) untuk melakukan aktivitas memenuhi
17
17
kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa makhluk hidup
ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response).
Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement
bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang
sesuai (Wortman, 2004).
Pada periode 1935 - 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang
dipengaruhi oleh prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa
perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh environment (E):
Behaviour = f (P, E)
Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai
suatu tujuan yang sesuai dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor:
tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan
jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e). Force = f (t, G)/e
Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik
dengan besar gaya (motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan
tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang
sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish.
Teori Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang
untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner &
Calfee, 1996).
b. Teori-teori Cognitive
Berkaitan dengan Teori Cognitive maka terdapat beberapa pendapat,
daiantarnyan; pertama, pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive
Dissonance Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua
18
18
keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan
bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal
ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah
tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian
mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt,
2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution
Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971),
dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan bahwa setiap individu
mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain
dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat
internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti
tampak pada diagram berikut.
Internal Eksternal
Tidak terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck)
Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan tugas
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa
mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika siswa memiliki
atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa mengalami
kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang melemah
(Huitt, 2001).
Ketiga, pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang
secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang
19
19
sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) ×
Nilai dari tujuan (Value)
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga
variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh
karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya terdapat motivasi.
Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada
suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan
kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai,
maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam aktivitas belajar.
c. Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah
Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud
(1856 - 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau perilaku merupakan
hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua kategori, yaitu
hidup (sexual) dan mati (aggression). Selanjutnya Erik Erikson yang merupakan
murid Freud yang menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of
Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa yang paling
mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial
(Huitt, 1997).
d. Teori-teori Humanistic
Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah
diantaranya: Theory of Human Motivation yang dikembangkan oleh Abraham
Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan manusia,
yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs.
20
20
Deficiency needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis,
kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan
akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang lebih bawah harus
dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs
meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan
kebutuhan self-transcendence. Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak
ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs sudah terpenuhi. Hirarki
kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan antara
motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson,
1983).
Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba
mengembangkan sebuah teori tentang motivasi yang memasukkan semua faktor
yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model (Grand Theory of Motivation),
misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995).
Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi,
yaitu 1) instrumental motivation (reward dan punishment), 2) Intrinsic Process
Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3) Goal Internalization (nilai-
nilai tujuan), 4) Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5)
External Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).
e. Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh
perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah
alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan pilihan, atau arah
tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam
21
21
psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan
cognitive atau field. Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation
dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk pada tingkat preferensi
terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).
f. Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui
berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi
tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran dapat terjadi melalui
proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain.
Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang
mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu: (1)
Attention, memperhatikan dari lingkungan; (2) Retention, mengingat apa yang
pernah dilihat atau diperoleh; (3) Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara
meniru dari apa yang dilihat; dan (4) Motivation, lingkungan memberikan
konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan muncul lagi
(reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).
g. Teori Curiosity Berlyne
Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity
atau rasa ingin tahu. Menurut Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita
mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan
menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon
manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan
curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada
perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne, 1985).
22
22
Dari berbagai penjelasan teori tersebut diatas maka jelaslah dengan
demikian bahwa motivasi itu bisa dikembangkan dalam berbagai sudut psikologi
belajar, misalnya dari teori behavioral, motivasi itu akan timbul manakan
ditumbuhkannya rangsangan belajar dan pemenuhan kepuasan (biologis) dengan
demikian proses pembelajaran harus lebih menyentuh kenyamanan pisik maupun
psikis peserta didik, bila itu dipenuhi maka akan timbul motivasi belajar yang
terus berkembang.
Dilihat dari teori cognitif, pembelajaran harus dibangun pada penemuan
konsep-konsep baru yang meyakinkan akan kebenarannya, sehingga siswa tidak
dibuatnya ragu dalam mengikuti, memahami sebuah konsep dari proses
pembelajaran. Selain itu harus lebih bersifat rasional matematis, sehingga
persoalan dan jawaban dalam proses pembelajaran bisa diselesaikan dengan jelas
dan tepat serta penuh dengan argumen.
Dilihat dari teori Psychoanalytic, menyatakan bahwa motivasi belajar akan
timbul manakala terpenuhuinya i naluri (instinct) biologis internal yang terdiri
dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Sementara
Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) menyebutkan bahwa yang paling
mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah interaksi sosial.
Dipandang dari Teori-teori Humanistic, motivasi bisa timbul manakala
memenuhi kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta
dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Motivasi itupun akan
tumbuh bila memperdulikan pertumbuhan kebutuhan anak (growth needs)
meliputi kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan
kebutuhan self-transcendence.
23
23
Sementara bila dilihat dari sudut teori Social Learning, motivasi akan tubuh
manakala adanya pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan
pendekatan cognitive atau fiel, kemudian lebih dijelaskan lagi oleh Social
Cognition Theory karya Albert Bandura bahwa Pembelajaran dapat terjadi melalui
proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Yaitu dengan
penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif
dan pandangan belajar operan, yaitu: (1) Attention, memperhatikan dari
lingkungan, (2) Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau diperoleh, (3)
Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, (4)
Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan
perilaku yang akan muncul lagi (reinforcement and punishment)
Disudut lain motivasi belajar itu akan tumbuh manakala tumbuh rasa
keingintahuannya secara mendalam, hal tersebut merupakan prinsip Teori
Curiosity yang menganggap bahwa ketidakpastian muncul ketika kita mengalami
sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks. Ini akan
menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon
manusia ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan
curiosity atau rasa ingin tahu. Curiosity akan mengarahkan manusia kepada
perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian.
4. Fungsi Motivasi dalam belajar
Sehubungan dengan keberhasilan proses pembelajaran, maka paling tidak
motivasi mempunyai beberapa fungsi diantaranya:
24
24
1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari
setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan
sesuai dengan rumusan tujuannya.
3) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seorang siswa yang akan
menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan
belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain atau membaca
komik, sebab tudak serasi dengan tujuannya. (Sardiman AM, 2008 :85)
Dengan memperhatikan pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa diantara fungsi motivasi dalam proses belajar adalah:
1) Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan, seperti timbulnya
dorongan untuk belajar.
2) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan ke
pencapaian tujuan yang diinginkan.
3) Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya besar kecilnya motivasi akan
menentukan cepat atau lambatnya suatu perbuatan.
5. Cara-cara Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa
Adapun beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi siswa
(Sardiman, 2008: 92-95) menjelaskanya sebagai berikut:
1) Memberikan Angka (Nilai)
25
25
Banyak siswa belajar, tujuan utamanya ialah mendapatkan angka/nilai dari
hasil ulangan atau yang tertera dalam rapot adalah nilai yang baik. Oleh
karenanya, guru harus menempuh langkah-langkah evalutif yang
mengedepankan pemrolehan hasil belajar bermakna, salah satunya ialah
dengan memberikan angka/nilai yang baik dari hasil tes proses pebelajaran
siswanya. Supaya lebih vareatif, maka bagaimana cara guru memberikan
angka-angka yang dikaitkan dengan values yang terkadung dalam setiap
pengetahuan yang diajarkan kepada siswa tidak sekedar dari aspek kognitif
saja, melainkan juga menyentuk aspek keterampilan dan afeksi siswa.
2) Memberi Hadiah
Hadiah mungkin saja bisa juga membagkitkan motivasi belajar siswa,
walaupun tidak secara merata hadiah itu bisa dimiliki oleh semua siswa.
Misalnya guru kesenian akan memberikan hadiah kepada siswa yang
menghasilkan gambar terbaik, nyanyian merdu dan seterusnya, bagaimana
halnya dengan mereka yang tidak berbakat melukis maupu menyanyi secara
baik.
3) Persaingan/ kompetensi
Persaingan juga bisa mendorong siswa untuk berprestasi, namun
persaingan yang dimaksud adalah persaingan yang sehat, akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan
4) Ego- involvement
Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi
baiknya dan manjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah
26
26
simbol kebangga dan harga dirinya, begitupun dengan siswa, mereka akan
belajar dengan keras bisa jadi karena mempertaruhkan harga dirinya
5) Memberi Ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar manakala telah mengetahui akan ada
ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan ini juga merupakan sarana
meningkatkan motivasi belajar. Namun harus diingat jangan terlalu sering
(misalnya setiap hari ulangan) karena akan membuat siswa menjadi jenuh. Hal
lain yang juga harus diperhatikan adalah guru harus terbuka dan komunikatif;
yaitu memberitahukan dulu rencana ulangan kepada siswa pada saat
sebelumnya.
6) Mengetahui Hasil Belajar siswa
Dengan mengetahui hasil belajar siswa, apalagi kalau terjadi kemajuan,
akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa
grafik hasil belajarnya meningkat, maka akan ada motivasi pada diri siswa
untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat
7) Memberi Pujian
Dengan pujian yang tepat (reinforcement yang positif) pada setiap siswa
yang sukses menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka akan memupuk
suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar sekaligus akan
membangkitkan harga dirinya.
8) Memberi Hukuman
Dengan memberikan hukuman (reinforcement yang negatif) secara tepat
dan bijak, maka bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu guru harus
memahami prinsip-prinsip hukuman.
27
27
9) Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk
belajar. Hal ini akan lebih baik dibanding segala sesuatu kegiatan yang tanpa
tujuan. Hasrat untuk belajar berarti tumbuh pada diri anak didik untuk ingin
belajar, sehingga hasilnyapun dipastikan akan lebih baik.
10) Minat
Minat itu berarti kebutuhan, dan motivasi itu akan timbul manakala adaya
rasa butuh, begitupun belajar akan berjalan lancar kalau disertai minat yang
tinggi. Minat itu akan bangkit apabila dilakukan dengan cara-cara:
a. Membangkitkan adanya suatu kebutuhan
b. Menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau
c. Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik
d. Menggunakan berbagai macam bentuk mengajar
11) Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, akan
merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan
yang harus dicapai dalam suatu proses pembelajaran, maka gairah belajar akan
terus tebangun.
Dengan demikian makin jelaslah bahwa taugas guru harus senantiasa
mampu untuk mencoba menganalisa, memahami, menguji coba, bahkan
mengelaborasikan ke 11 unsur di atas yang banyak berpengaruh dalam
membangkitkan motivasi siswa untuk mengikuti proses pembelajarannya.
Akan tetapi yang harus menjadi catatan tidak setiap siswa sama akan
merespon terhadap semua unsur motivasi di atas, karena masing-masing siswa
28
28
akan sangat tergantung dari segi kematangannya dalam mengikuti proses
pembelajaran baik secara pisik maupun psikis. Oleh karenanya guru harus
jeli, sadan penuh tanggung jawab dalam menjalankan program pengajarannya.
Hal lain yang menarik dari penjelasan diatas adalah bahwa motivasi belajar
siswa juga bisa tumbuh apabila gurunya mampu menggunakan berbagai macam
bentuk mengajar, termasuk didalamnya memiliki keterampilan yang cukup untuk
mempraktekan berbagai metode dalam pelaksanaan proses pembelajarannya.
6. Prinsip-prinsip Motivasi Belajar.
Sebagai dasar pijakan untuk menumbuhkembangkan motivasi belajar siswa,
guru senantiasa harus mengetahui dan memahami beberapa prinsip dari motivasi
belajar.
Merujuk pada pendapat Keller (1983) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip
motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai
model ARCS, yaitu:
a. Attention (Perhatian)
Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab
itu, rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan
memberikan perhatian selama proses pembelajaran. Rasa ingin tahu tersebut dapat
dirangsang melalui elemen-elemen yang baru, aneh, lain dengan yang sudah ada,
kontradiktif atau kompleks.
Apabila elemen-elemen tersebut dimasukkan dalam rencana pembelajaran,
hal ini dapat menstimulus rasa ingin tahu peserta didik. Namun, perlu
29
29
diperhatikan agar tidak memberikan stimulus yang berlebihan, untuk menjaga
efektifitasnya.
b. Relevance (Relevansi)
Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pembelajaran dengan
kebutuhan dan kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara
apabila mereka menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan
pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.
Kebutuhan pribadi (basic need) dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu
motif pribadi, motif instrumental dan motif kultural. Motif nilai pribadi
(personal motif value), menurut McClelland mencakup tiga hal, yaitu (1)
kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), (2) kebutuhan untuk
berkuasa (needs for power), dan (3) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for
affiliation).
c. Confidence (Percaya diri)
Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat
berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini
adalah bahwa motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan
untuk berhasil. Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman sukses di
masa lampau. Motivasi dapat memberikan ketekunan untuk membawa
keberhasilan (prestasi), dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan
memotivasi untuk mengerjakan tugas berikutnya.
d. Satisfaction (Kepuasan)
Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan.
Kepuasan karena mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima,
30
30
baik yang berasal dari dalam maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan
memelihara motivasi peserta didik, dapat menggunakan pemberian penguatan
(reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan, dsb.
D. Hakekat Bepikir Kritis
1. Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir dengan mengemukakan penilain
dan menerapkan norma dan standar yang tepat (Sapriya dan Winataputra,
2003:196).
Adapun Spliter (1992:90-93) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah:
Keterampilan bernalar dan berpikir reflektif yang difokuskan untuk memutuskan hal-hal yang diyakini dan dilakukan, selain itu keterampilan berpikir kritis adalah keterampilan yang terarah pada tujuan, yaitu menghubung kognitif dengan dunia luar sehingga mampu membuat keputusan, pertimbangan, tindakan dan keyakinan. Pendapat lain Suryati (2001:11) mengemukakan bahwa; ”keterampilan
berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis terhadap berbagai persoalan yang
menyangkut mata pelajaran, memberikan argumentasi memunculkan wawasan
dan memberikan interpretasi”.
Berfikir kritis merupakan proses bertanya dan bernalar secara dinamik,
proses pengajuan dan pencarian pertanyaan tentang pernyataan dan kesimpulan
yang dibuat sendiri dan dibuat orang lain tentang keyakinan dan tindakan, yang
dalam pelaksanaannya kita melihat masa lampau dan masa yang akan datang,
dengan mempertimbangkan apa yang sudah ada dalam diri manusia. Jadi berpikir
kritis mencerminkan sifat atau kualitas pikiran, jiwa wan kritis atau skeptisme
reflektif (Cornbleth, 1982:3)
31
31
Kemampuan berpikir kritis merupakan istilah yang memiliki berbagai
sinonim. Para pakar psikologi lebih sering menggunakan istilah kemampuan
memecahkan masalah, sedangkan para pendidik cenderung menggunakan istilah
kemampuan berfikir (Khailir, 1996:3).
Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah :
"using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into
particular meanings and interpretation; also known as directed thinking"
R.Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas
mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah pernyataan.
Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima, menyangkal, atau
meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".
Matindas (1996:71) juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak
terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada
perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan untuk
membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk membuat
kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis
yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.
Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya
Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving ";
Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process of reasonably deciding what to
believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for meaning, not the
acquisition of knowledge" (Arendt,1977)
32
32
Ennis (dalam L.Costa,1985) dalam bentuk working definition
menggambarkan bahwa : "critical thinking is reasonable, reflective thinking that
is focused on deciding what to believe"
Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base sugesstion
and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan: menggunakan bukti untuk
mengukur kebenaran kesimpulan,,menunjukkan pendapat yang kadang
kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang
bertentangan dengan pendapatnya.
Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social
science Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis
sebagai " ... those behaviors associated with deciding what to believe and do"
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu
melipuri dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning)
yang diikuti dengan pengambilan keputusan/ pemecahan masalah
(deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tanpa
kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif dan
reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar.
2. Ciri-ciri Berpikir Kritis
Berfikir kritis merupakan fenomena yang abstrak, oleh karenanya sangat
sulit untuk menentukan seseorang telah berpikir kritis atau belum. Oleh karenanya
perlu adanya kriteria-kriteria yang menentukannya. LM Sartorelli dalam Zaleha
(2004:110) menyusun daftar penilaian terhadap tindakan bersifat kritis tersebut.
Kriteria-kriteria seseorang dapat dikatakan berpikir kiritis adalah apabila:
1) Menghadapi tantatangan demi tantangan dengan alasan-alasan
33
33
2) Memberikan contoh-contoh dan argumen yang berbeda dari yang sudah ada
3) Menerima saran dari orang lain untuk mengembangkan ideu-ideu baru 4) Mencari dan memaparkan hubungan antara masalah atau pengalaman lain
yang relevan 5) Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subyek diskusi dengan
prinsip yang lebih bersifat umum 6) Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dan beraturan 7) Meminta klarifikasi 8) Meminta elaborasi 9) Menanyakan sumber informasi 10) Berusaha untuk memahami 11) Mendengarkan dengan hati-hati 12) Mendengarkan agar pikiran terbuka 13) Berbicara bebas 14) Bersikap sopan 15) Mencari dan memberi ide pilihan variasi
Sementara itu Keterampilan perpikir kritis, sebagaimana di jelaskan oleh
Bayer (Andriani, 2005 :41) dikembangkan dengan beberapa indikator yaitu:
1) Mampu membedakan antara fakta yang dapat diverifikasi dan
tuntutan nilai yang sulit diverifakasi (diuji kebenarannya)
2) Membedakan antara informasi, tuntutan atau alasan yang relevan
dengan yang tidak relevan
3) Menentukan kecermatan factual (kebenaran) dari suatu pernyataan
4) Menentukan kredibilitas (dapat dipercaya) dari suatu pernyataan
5) Mengidentifikasi tuntutan atau argument yang mendua
6) Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan
7) Mendeteksi bias (menemukan penyimpangan)
8) Mengidentifikasi kekeliruan logika
9) Mengenali ketidak konsistenan logika dalam suatu alur
10) Menemukan kekuatan suatu argument atau tuntutan
3. Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
34
34
Seperti yang dijelaskan Panner, L.M Sartorelli dan R. Swatz dalam Zaleha
(2004:95) ada beberapa cara dan strategi dalam melatih siswa untuk berpikir kritis
diantaranya:
1) Membaca dengan kritis 2) Meningkatkan daya analisis 3) Mengembangkan kemampuan observasi 4) Meningkatkan rasai ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi 5) Metakognisi (merencankan cara berpikir, menyadari dan mengawasi cara
berpikir, menerima proses berpikir khusus, menjelaskan tahapan-tahapan berpikir untuk setiap proses yang dilalui dan mengevaliasi tahap berpikir menuju efesiensi
6) Mengamati model berpikir 7) Diskusi yang kaya
4. Langkah-langkah berpikir kritis
The Statewide History-social science Assesment Advisory commitee
(Kneedler dalam L. Costa,1985) mengemukakan bah wa langkah berpikir kritis itu
dapat dikelompokkan menjadi tiga langkah yaitu: pengenalan masalah masalah
(defining/ clarifying problems), menilai informasi (judging informations) dan
memecahkan masalah atau menarik kesimpulan (solving problems/drawing
conclusion).
Lebih rinci lembaga ini pun mengungkapkan bahwa untuk melakukan
langkah-langkah itu diperlukan keterampilan-keterampilan yang oleh mereka
dinamai Twelve Essential critical thinking skills (12 keterampilan essensial dalam
berpikir kritis), sebagai berikut:
a. Mengenali masalah (defining and clarifying problem):
1) Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok.
2) Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan
3) Memilih informasi yang relevan
35
35
4) merumuskan/memformulasi masalah.
b. Menilai informasi yang relevan:
1) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar /judgment.
2) Mengecek konsistensi
3) Mengidentifikasi asumsi
4) Mengenali kemungkinan faktor stereotip
5) Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran kalimat
(semantic slanting)
6) Mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideologi.
c. Pemecahan Masalah/ Penarikan kesimpulan:
1) Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data
2) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari keputusan/ pemecahan
masalah/kesimpulan yang diambil
Dengan lebih operasional dan sederhana Matindas (1996) menguraikan
langkah-langkah berpikir kritis berikut (contoh-contoh bukan sepenuhnya dari
Matindas):
1) Pahami dengan seksama pernyataan yang ada. Apa mungkin ditafsirkan lain ?
Contoh:"Pers pancasilais adalah pers yang bebas dan bertanggungjawab"
kalimat ini pendek dan sederhana tapi telah terbukti selama Orde Baru, kalimat
pendek itu telah membawa korban pembreidelan banyak penerbitan akibat
"penafsiran yang kompleks", yakni penafsiran pemerintah beda dengan penafsiran
kalangan pers , ya khan ?
2) Cermati maksud di balik pernyataan (sekedar informasi, mempengaruhi sikap,
ajakan dll.)
36
36
Cermati kalimat berikut: Seseorang yang diidentifikasi sebagai anggota
salah satu parpol mengatakan : " Telah terbukti bahwa sangat banyak pejabat yang
korupsi, dan mereka adalah anggota golkar" , dapatkah anda menebak apa maksud
dibalik pernyataannya ?
3) Cermati alasan yang diajukan untuk mendukung pernyataan. (gunakan logika)
Perhatikan pernyataan ini : "Orde baru menghendaki pelaksanaan Pancasila
dan UUD'45 secara murni dan konsekuen, karena itu maka menggugat ORBA
sama dengan menggugat Pancasila dan UUD'45",dalam era reformasi kini,
nalar apa tidak pernyataan tersebut ? (Pada masa ORBA walupun banyak
penyimpangan tentu logis, ya khan ?)
4) Cermati alasan dengan mengklasifikasikan alasan itu ke dalam: fakta,
penafsiran, keinginan,atau kesimpulan ahli atau bahkan mungkin ajaran agama.
Coba renungkan ungkapan seorang mantan pejabat: "Untuk menjaga
integritas negara dan bangsa Peristiwa tanjung Priok adalah masa lalu yang
tidak perlu diungkapkan lagi" Tafsirkan sendiri, ini fakta, keinginan, tafsiran
atau ungkapan ketakutan ? bingung ?
5) Ambil keputusan. Setelah menjalani proses-proses di atas silakan ambil
keputusan terima atau tolak; setuju atau tidak setuju. Selalu ada pilihan, dan
anda merdeka untuk memilih yang anda mau, tentu dengan resiko yang anda
perhitungkan. O'K ? selamat berpikir kritis dan nikmati kemerdekaan anda.
Contoh kasus: Dalam kasus meninggalnya aparat saat mengamankan
demonstrasi. Ada pihak tertentu yang mengeluarkan pernyataan bahwa
penyebab meninggalnya aparat tersebut adalah karena dianiaya oleh
37
37
mahasiswa. (Lakukan proses berpikir kritis, apakah anda dapat menerima
pernyataan tersebut ?)
d. Bagaimana upaya untuk mengembangkan berpikir kritis kita ?
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dapat dilakukan hal-hal
berikut:
a. Kuasai terlebih dahulu kemampuan-kemampuan berpikir dasar.(induktif,
deduktif dan reflektif)
b. Selalu bersikap skeptis tentang segala sesuatu!, benar/tidak ?,
cocok/tidakdll
c. Tanamkan dalam diri kita bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak selain
yang datang dari Allah.
d. Latihlah hal-hal berikut:
• Mengenali inti sebuah pernyataan
• Mengulang pernyataan dalam kalimat sendiri
• Mencari contoh untuk mengilustrasikan pernyataan
• Mengenali maksud di balik pernyataan
• Mencari kemungkinan penafsiran lain dari pernyataan
• Membedakan antara inti pernyataan dengan alasannya
• Memeriksa antara pernyataan denggan alasannya
• Merumuskan pertanyaan dengan jelas dan benar
• Membedakan antara fakta dengan opini atau penafsiran.
e. Yakini bahwa selalu ada kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dari suatu
pernyataan.
38
38
f. Yakini bahwa tidak ada larangan untuk berpikir kritis dan berpendapat lain.
g. Yakini bahwa pendapat orang banyak belum tentu benar.
h. Yakini bahwa berpikir kritis adalah juga kunci untuk maju
i. Selalu dahului keputusan yang kita ambil sekecil apapun dengan berpikir
nalar (menggunakan logika).
j. Jika kita ingin berpikir kritis, jangan lupa pula bahwa orang lain pun mau.
siapkah ?
E. Dampak Pemnggunaan Metode Pemecahan Masalah Terhadap
Keterampilan Berpikir Siswa dalam Pembelajaran PKn
Dengan penggunaan metode masalah tentunya akan memberikan dampak
suatu efek yang positif terhadap siswa. Hal tersebut karena dengan metode
pemecahan masalah siswa diajak untuk mencari, menganalis dan memecahkan
permasalah berdasarkan prinsifnya sendiri. Penggunaan prinsif berpikir menurut
masing-masing siswa, menimbulkan adanya perbedaan persepsi diantara mereka.
Dengan perbedaan persepsi tersebut akan menimbulkab suatu rangsangan
(stimulus) terhadap kemampuan dan keterampilan berpikir kritis.
Metode pemecahan masalah dengan keterampilan berpikir kritis memiliki
kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat dilihat dari manfaat metode pemecahan
masalah yang menurut Djahiri (1983:133) yakni:
a. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta mengambil keputusan secara obyektif dan mandiri
b. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa, dengan anggapan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan bertambah. Dan proses berpikir itu terdiri dari serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi/data, membaca data dan lain-lain) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan/pemberlakuan.
39
39
c. Melalui inkuiri/problem solving, kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi/keadaan yang benar-benar dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam alternatif.
d. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir obyektif-mandiri,kritis-analitis, baik secara individual maupun kelompok.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan metode
pemecahan masalah akan mengantarkan pada kemampuan siswa untuk berpikir
kritis dalam mengikuti proses pembelajaran PKn. Karena karakter dari
penggunaan metode pemecahan masalah menekankan adanya kemampuan siswa
untuk; (1) Mengenali adanya masalah, (2) Mencari alternatif pendekatan untuk
memecahkan masalah tersebut, (3) Memilih dan menerapkan pendekatan, (4)
Mencapai kesimpulan.
Dengan pembiasaan menggunakan ke 4 tahapan tahapan tadi, maka secara
otomatis siswa telah melakukan proses kemampuan berpikir kritis, pada sehingga
akhirnya akan mengembangkan pengetahuan siswa dalam materi-materi
pembelajaran PKn menjadi lebih kritis, analitis dan dapat menyimpulkan pada
suatu jawaban (pernyataan) yang argumentatif dan konprehensif
Untuk menjadi pengangan selaras dengan teori Peaget (Muhammad Ali,
2008: 13) bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis pada usia SD usia 7-
11 tahun) maka termasuk pada tahap konkrit-operasional, mereka baru mampu
berpikir sistematis mengenai benda-benda yang konkrit saja. Sementara untuk
memikirkan benda-benda yang abstrak anak baru mampu menguasaainya pada
tahap formal-operasional yaitu usia (11-15 tahun).
Dengan demikian untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada
usia kelas V SD baru pada tahap yang paling mendasar, dengan demikian guru
40
40
seyogianya memahami lebih dini dalam pengembangan berpikir kiritis jangan
mempolitisir pemikirannya sehingga harus berpikir seperti orang dewasa.
F. Penelitian Yang Relevan
Albert Richard Singal (2005) dalam penelitiannya “Kemapuan Menerapkan
Problem Solving dalam Proses Mengajar IPS” menyimpulkan bahwa :
(1) Adanya keterikatan tingkat pemahaman siswa, bahwa semakin baik siswa
memahami konsep problem solving akan membawa dampak positif bagi
siswa, karena siswa semakin aktif, responsive dan interaktif partisipatif dalam
kegiatan belajarnya di kelas
(2) Metode Problem Solving adalah strategi pembelajaran yang memposisikan
siswa sebagai titik pusat (student centerid), oleh karenanya guru lebih
berperan sebagai fasilitator dan mediator belajar siswa, memberikan
kemudahan siswa mendapatkan pengalaman belajarnya sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya sehuingga terjadi interaktif yang aktif.
(3) Dengan problem solving diharapkan siswa mampu menghadapi permasalahan
dan memecahkannya sendiri atau secara bersama-sama dengan teman dengan
berusaha mengerahkan segala kemampuannnya yang dimiliki siswa berupa
pikiran, kemampuan, perasaan serta semangat untuk mencari pemecahannya
sampai pada suatu kesimpulan yang diharapkan.
Nanang Rijono (200) dalam penelitiannya “Mengajarkan Strtegi Belajar
dan Berpikir kepada Siswa” yang menyimpulkan bahwa :
(1) Guru dan sekolah seharusnya melatihkan dan mengajarkan bagaimana cara
belajar (how to learn) dan bagaiamana cara berpikir (how to think) kepada
41
41
siswa semenjak sekolah dasar. Tanpa adanya kemampuan bagaimana cara
belajar dan bagaimana cara berpikir, siswa akan kemandegan dalam belajar
dan berpikir, sehingga mereka tidak akan dapat mengembangkan dirinya
sendiri di kemudian hari dan kurang kreatif karena kurang terlatih berpikir.
(2) Diantara cara mengikuti pembelajaran siswa harus bisa mempuh langkah-
langkah seperti:
- Bagaimana cara membaca buku
- Bagaimana cara mengikuti pelajaran, mendengarakn sajian guru, dan
membuatcatatan
- Bagimana cara bertanya dan menjawab
- Bagaimana cara mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan
(3) Diantara bagaimana cara siswa berpikir adalah dengan melakukan langkah-
langkah:
- Bagaimana cara menyimpan informasi dalam ingatan dan menyusun
informasi
- Bagaimana cara menghapal
- Bagaimana cara mencari kembali informasi yang telah disimpan dalam
ingatan dan menggunakannya untuk ditransfer ke pihak lain
Benny Ahmad Benyamin (2003) dalam penelitiannya “Efektivitas
Penggunaan Metode Problem Solving terhadap Peningkatan Motivasi Belajar
Siswa dalam Pembelajaran PPKn (Suatu Studi Penelitian Tindakan Kelas di
SMUN 1 Cianjur ) “, menyimpulkan bahwa:
(1) Penggunaan metode problem solving dengan menggunakan isu-isu
kontroversial sangat efektif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa, hal
42
42
itu akan membangkitkan pro dan kontra dalam mengikuti pembahasan isu-isu
kontoversi tadi.
(2) Metode problem solving dapat melibatkan aktivitas dan kreatifitas siswa
dalam proses berpikir untuk memecahkan permasalahan yang ada karena
mereka terdorong untuk saling berargumentasi dan saling menguji pendapat
temannya.
(3) Metode problem solving, juga bisa memposisikan guru menjadi penengah,
pengarah dan pembimbing dalam proses pembelajaran
(4) Metode problem solving, mengodisikan suasana kelas menjadi lebih
demokratis.
(5) Penggunaan metode problem solving efektif membantu anak untuk belajar
berfikir kritis, karena setiap pendapat siswa yang di ajukan dalam proses
pendalaman pembahasan materi akan diuji secara kolektif, biasanya dapat
ditemukan dalam pelaksanaan diskusi sesama teman di kelas.
Tin Rustini (2005) dalam penelitiannya; “Penerapan Model Problem
Solving untuk Meningkatkan Pengembangan Potinsi Berpikir dalam
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas pada KelasV
SDN Marga Endah Kecamatan Cimahi Kota Cimahi) menyimpulkan bahwa:
b) Penerapan strategi model problem solving mampu mengembangkan
kemampuan berpikir reflektif, kritis dan kreatif.
c) Model problem solving akan lebih berhasil dengan baik apabila dalam
pelaksanaanya menggunakan strategi pembelajaran yang bervareatif.
43
43
d) Model problem solving dapat memberikan kemudahan kepada guru dalam
melaksanakan pembelajaran.
e) Penerapan model pembelajaran problem solving , dapat meningkatkan
kualitas proses maupun hasil belajar.
44
44