BAB II LANDASAN TEORI 2.1 2.1.1 Pengertian Kecerdasan...

12
7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Sosial 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Sedangkan menurut Thorndike (dalam Goleman, 2006) kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat memulai suatu interaksi dengan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak dan bahasa tubuhnya untuk “membaca” teman bicaranya. Kesimpulannya adalah kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang disekitarnya. 2.1.2 Aspek- aspek Kecerdasan Sosial Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu kesadaran sosial dan social facility. Kesadaran sosial, yaitu kesadaran sosial atau kepekaan seseorang terhadap sesama dan social facility, yaitu apa yang kita lakukan dengan kesadaran itu sendiri.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 2.1.1 Pengertian Kecerdasan...

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kecerdasan Sosial

2.1.1 Pengertian Kecerdasan Sosial

Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri

seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial

dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya.

Sedangkan menurut Thorndike (dalam Goleman, 2006) kecerdasan sosial

adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak

bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Orang dengan kecerdasan sosial tinggi tidak akan menemui kesulitan saat

memulai suatu interaksi dengan seseorang atau sebuah kelompok baik kelompok

kecil maupun besar. Ia dapat memanfaatkan dan menggunakan kemampuan otak

dan bahasa tubuhnya untuk “membaca” teman bicaranya.

Kesimpulannya adalah kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri

seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial

dengan orang-orang disekitarnya.

2.1.2 Aspek- aspek Kecerdasan Sosial

Menurut Goleman (2006) kecerdasan sosial dapat dikategorikan menjadi

dua kategori, yaitu kesadaran sosial dan social facility. Kesadaran sosial, yaitu

kesadaran sosial atau kepekaan seseorang terhadap sesama dan social facility,

yaitu apa yang kita lakukan dengan kesadaran itu sendiri.

8

1) Kesadaran Sosial

Kesadaran sosial mengarah pada sebuah spectrum dan yang secara tidak

langsung merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, memahami perasaan

dan pikirannyauntuk ikut terlibat dalam situasi yang sulit. Kesadaran sosial ini

meliputi:

a) Primal Empathy (empati terpenting); perasaan terhadap seseorang yang

lain, merasakan tanda isyarat emosi.

b) Attuntment (penyesuaian atau adaptasi); mendengarkan dengan kemauan

penuh, membiasakan diri mendengarkan seseorang.

c) Empathic accuracy (empati yang tepat); memahami pikiran gagasan,

perasaan dan kehendak orang lain.

d) Social cognition (kesadaran sosial); mengetahui bagaimana kehidupan

bersosialisasi terjadi.

2) Kecakapan Sosial

Secara sederhana yakni merasakan perasaan orang lain, atau sekedar tahu apa

yang mereka pikirkan ataupun inginkan, tidak sama sekali menjamin sebuah

keberhasilan dalam suatu interaksi. Kecakapan sosial terbentuk dalam kesadaran

sosial untuk memenuhi sebuah interaksi yang lancar dan efektif. Spektrum

kecakapan sosial meliputi:

a) Synchrony (Sinkroni) : Menginteraksikan dengan lancar pada level non verbal.

b) Self Presentation (Presentasi Diri Pribadi) : Mempresentasikan diri sendiri

dengan efektif.

c) Influence ( Pengaruh) : Menghadirkan jalan keluar dari interaksi sosial.

9

d) Concern ( Peduli) : Peduli terhadap orang lain sesuai dengan kebutuhan dan

perilaku masing-masing individu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran sosial dan kecakapan sosial

dua-duanya mencakup jangkauan mulai dari dasar, kapasitas yang rendah,

hingga mencakup artikulasi yang kompleks. Oleh karena itu, sinkroni dan

primal empati tergolong dalam kapasitas rendah, sementara empati yang tepat

dan pengaruh bercampur antara tinggi dan rendah, dan sama „lembutnya‟

dengan beberapa keterampilan yang mungkin terlihat, terdapat jumlah yang

mengejutkan tentang ujian-ujian dan skala untuk menilainya. Kedua aspek

tersebut merupakan hal yang mempengaruhi seseorang memiliki kecerdasan

sosial dalam bermasyarakat kesadaran sosial adalah perasaan seseorang

dimana dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain disekitarnya, dan

kecakapan sosial adalah suatu perasaan seseorang dimana dirinya cepat

tanggap dalam merasakan atau hanya sekedar tahu apa yang dirasakan orang

disekitarnya, kedua hal ini melahirkan suatu kecerdasan yang disebut dengan

kecerdasan sosial.

2.1.3 Faktor Kecerdaan Sosial

Perkembangan sosial berarti seseorang memiliki kemampuan untuk

memahami dan bergaul dengan orang lain. Perkembangan sosial siswa juga

berarti proses perkembangan sosial siswa dalam berhubungan dengan orang lain

di masyarakat (Syah, 2004). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan (2004)

dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah.

10

a. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dalam belajar untuk kehidupan

sosial. Dari keluarga seseorang belajar bagaimana norma-norma lingkungan,

internalisasi norma-norma, perilaku dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman

berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi dengan

masyarakat luas. Pola asuh, status sosio-ekonomi, keutuhan keluarga, sikap orang

tua dapat mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak. Faktor sosioekonomi

bukan suatu faktor mutlak yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, hal itu

semua tergantung kepada sikap orang tua dan interaksinya di dalam keluarga.

Namun, kesempatan bagi siswa yang memiliki latar belakang keluarga

sosioekonominya tinggi, akan lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan

potensi-potensi di dalam dirinya.

Keutuhan keluarga baik dari struktur keluarga seperti perceraian maupun

orang tua yang tidak harmonis, itu sangat penting perannya dalam perkembangan

sosial seorang siswa. Siswa yang memiliki keluarga yang tidak utuh seperti salah

satu orang tua tidak ada, atau bercerai maupun orang tua yang sering bertengkar

itu akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan sosial siswa. Dalam

penelitian Pengasuhan Otoriter berpotensi menurunkan Kecerdasan Sosial, Self-

Esteem dan Prestasi Akademik Remaja, memberikan hasil bahwa kecerdasan

sosial dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Skor kecerdasan sosial akan semakin

tinggi jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoritatif juga tinggi

dan jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter tinggi, maka

skor kecerdasan sosial yang dihasilkan rendah. Selain itu, seseorang yang berasal

dari keluarga besar, atau seorang anak bungsu dalam keluarga, seorang anak yang

11

masuk playgroup atau taman kanak-kanak, akan memiliki inteligensi

interpersonal atau inteligensi sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak

tunggal yang kurang memiliki kesempatan bergaul dengan anak-anak lain (Alder,

2001).

b. Sekolah

Pendidikan selain untuk memiliki ilmu pengetahuan, juga efektif untuk

keterampilan negosiasi, konseling, pidato, atau berbicara di muka umum,

mengajar, mewawancarai, dan keterampilan-keterampilan lain yang termasuk

dalam kategori inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial. (Alder, 2001).

Sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menambah ilmu pengetahuan saja

tetapi juga perkembangan sosial anak. Anak yang berinteraksi dengan teman

sebaya, guru, staf yang lebih tua dari dirinya akan dapat mengajarkan sesuatu

yang tidak hanya sekedar pengembangan intelektualitas saja. Di sekolah akan

dapat bekerja sama dalam kelompok, aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang

semuanya termasuk dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan sosial anak.

Selain itu, empati sebagai aspek dari kecerdasan sosial juga dipengaruhi oleh

teman sebaya seorang anak.

2.2 Perilaku Bullying

2.2.1 Pengertian Bullying

Bullying merupakan salah satu dari manifestasi perilaku agresif, Krahe

(dalam Suharto, 2014) menyebutkan bahwa terdapat 3 jenis manifestasi perilaku

agresif yaitu agresi ringan (bullying), agresi sedang, dan agresi berat.

Menurut Coloroso (2007) bullying adalah tindakan intimidasi yang

dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah. Tindakan

12

penindasan ini diartikan sebagai penggunaan kekerasan atau kekuatan untuk

menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan

tidak berdaya. Bentuknya bisa berupa fisik seperti memukul, menampar, dan

memalak. Bersikap verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek serta

psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan

mendiskriminasi.

Sejiwa (2008) menyatakan kata bullying diilhami dari kata bull (bahasa

Inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Masih dalam Sejiwa (2008)

mendefinisikan bullying sebagai sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan

kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seseorang atau kelompok. Pihak yang kuat

dalam tindakan bullying ini tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga mental dari

sang pelaku bullying (bully), dalam hal ini korban tindak mampu

mempertahankan dan melindungi dirinya baik secara fisik ataupun mentalnya

karena korban merasa tidak berdaya dan tidak mampu untuk melawan pelaku

bullying tersebut, dan yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bukan hanya

sekedar tindakan yang dilakukan, namun juga dampak tindakan tersebut bagi si

korban.

Sedangkan menurut Olweus (1993) telah mendefinisikan bullying yang

mengandung tiga unsur dasar perilaku, yaitu :

1) Bersifat menyerang (agresif) dan negatif

2) Dilakukan secara berulang kali

3) Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat.

13

Jadi dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan salah satu dari perilaku

agresif yang bersifat negatif yang dilakukan secara berulang kali dimana terdapat

ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.

2.2.2 Bentuk-bentuk Bullying

Bentuk bullying menurut Coloroso (2007) dibagi menjadi empat jenis,

sebagai berikut:

1) Bullying fisik. Penindasan fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak

dan paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk penindasan lainnya,

namun kejadian penindasan fisik terhitung kurang dari sepertiga insiden

penindasan yang di laporkan siswa. Jenis penindasan secara fisik adalah

memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, mengigit, memiting,

mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang

menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta barang-barang

milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas

semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan

untuk mencederai secara serius. Anak yang secara teratur memainkan peranan

ini kerap merupakan penindasan yang paling bersalah diantara penindasan

yang lainnya, dan yang paling cenderung beralih pada tindakan-tindakan

kriminal yang lebih serius.

2) Bullying verbal. Kata-kata adalah alat yang kuat dan dapat mematahkan

semangat seorang anak yang menerimannya. Kekerasan verbal adalah bentuk

penindasan yang paling umum digunakan, baik oleh anak perempuan maupun

anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikan di

hadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi . Penindasan

14

verbal dapat diteriakkan di teman bermain bercampur hungga binar yang

terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya di anggap sebagai dialog

yang bodoh dan tidak simpatik diantara teman sebaya. Penindasan verbal

dapat berupa julukan nama, celan, fitnahan, kritik kejam, penghinaan, dan

pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual.

3) Bullying relasional. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri korban

penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian

atau penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang

terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu,

namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan

untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja

ditunjukkan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap

sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas,

bahu yang bergidik, cibiran, tawa, mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.

4) Bullying elektronik. Pelakunya menggunakan sarana ekektronik dan fasilitas

internet seperti komputer, hadphone, kamera dan website atau situs

pertemanan jejaring sosial diantarannya, chatting, e-mail, facebook, twitter,

dan sebagainya. Hal tersebut ditunjukkan untuk meneror korban bullying

dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar, vidio, atau film yang sifatnya

mengitimidasi, menyakiti, dan menyudutkan.

Menurut Olweus (2003), ada 3 pengelompokan bentuk bullying:

1) Bullying Verbal

Tindakan bullying jenis ini terjadi melalui kata-kata (verbal) dari pelaku

bullying, biasanya pelaku melakukan kekerasan jenis ini didepan teman-

15

teman agar dapat disaksikan oleh siswa lain di sekolah. Contoh bullying

verbal diantaranya memaki, menghina, meneriaki, menuduh, menyoraki,

mefitnah, mengosip.

2) Bullying Fisik

Jenis bullying ini paling dapat terdeteksi oleh indera, karena terjadi kontak

fisik secara langsung antara korban dan pelaku. Contoh dari bullying fisik

adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi,

memalak, memukul.

3) Bullying Relasional atau Mental

Bullying jenis ini paling susah terdeteksi oleh indera, karena bullying

relasional atau mental ini bersifat melemahkan harga diri seseorang.

contoh dari bullying relasional atau mental ini adalah memandang sinis,

memandang penuh ancaman, mempermalukan didepan umum,

mendiamkan, mengucilkkan, memelototi, meneror.

Jadi dapat disimpulkan terdapat 3 jenis bullying yaitu bullying verbal

dimana dalam bullying jenis ini dilakukan melalui kata-kata yang dapat membuat

korbannya sakit hati, malu, dan terpojok. Yang kedua adalah bullying fisik dimana

bullying jenis ini pelaku melakukan kekerasan dengan kontak fisik secara

langsung kepada korban seperti memukul, menendang, menampar, dan yang

terakhir adalah bullying mental, dimana bullying jenis ini bersifat melemahkan

harga diri seseorang sehingga menurunkan mental seseorang seperti mengucilkan,

memelototi, meneror.

16

Melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa (2007)

terangkum pendapat orang tua tentang alasan anak-anak menjadi pelaku bullying,

diantaranya:

a) Karena mereka pernah menjadi korban bullying.

b) Ingin menunjukkan eksistensi diri.

c) Ingin diakui.

d) Pengaruh tayangan TV yang negatif.

e) Senioritas.

f) Menutup kekurangan diri.

g) Mencari perhatian.

h) Balas dendam.

i) Iseng.

j) Sering mendapatkan perlakuan kasar dari pihak lain.

k) Ingin terkenal.

l) Ikut-ikutan.

2.2.3 Pelaku-pelaku dalam Bullying

Olweus (dalam Suharto, 2014) menyatakan terdapat beberapa pelaku yang

terlibat dalam tindakan bullying diantaranya :

1) Pelaku Bullying

Pelaku bullying adalah pemeran utama dalam tindakan bullying, remaja

pelaku bullying mempunyai kepribadian otoriter, ingindipatuhi secara mutlak

dan kebutuhan kuat untuk mengontrol dan mengusai orang lain.

17

2) Korban Bullying

Bullying terjadi pasti terdapat orang yang menjadi sasaran dalam tindakan

kekerasan ini. Umumnya orang yang menjadi sasaran dalam tindakan ini

memiliki kelemahan baik secara fisik maupun mental, korban merasa tidak

berdaya melawan pelaku bullying, sehingga hal ini membuat pelaku semakin

mudah dalam melancarkan aksinya.

3) Bystander Bullying

Dalam tindakan bullying, selain terdapat pelaku dan korban, tentu di

dalamnya pasti terdapat penonton yang menyaksikan tindakan bullying

tersebut atau yang kita sebut dengan bystander. Bystander dalam tindakan

bullying terbagi menjadi 3 yaitu penonton yang ikut aktif menjadi pendukung

pelaku, penonton yang membela korban, dan penonton yang bersikap netral

atau diam saja, merasa acuh tak acuh dengan kejadian tersebut.

Sementara itu Lipkins (2008) menyebutkan terdapat beberapa pihak yang

ikut menjadi pelaku-pelaku dalam kegiatan bullying, diantaranya :

1) Pelaku Bullying (Perpetrator)

2) Korban Bullying

3) Penonton (Bystander)Penonton aktif, dan penonton pasif

4) Para Penyelia

5) Para pengurus

6) Masyarakat

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perilaku bullying terdapat 3 komponen

yang terlibat didalamnya yaitu pelaku bullying itu sendiri yang berusaha

menyakiti korban, kemudian ada korban bullying dalam hal ini jelas sebagai

18

individu yang dijadikan sasaran pelaku, dan yang terakhir adalah bystander

bullying atau sering kita sebut sebagai penonton yang menyaksikan secara

langsung atau melihat saat tindakan bullying tersebut terjadi.

2.3 Penelitian yang Relevan

Wulandari (2010) melakukan penelitian dengan judul Hubungan

kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah

Piyungan Yogyakarta dengan hasil yang menunjukkan nilai rxy –0,421 dengan p=

0,001(p<0,01) dengan angka tersebut membuktikan bahwa ada hubungan negatif

dan signifikan antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK

Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta.

Dari penelitian mengenai hubungan kecerdasan sosial dengan perilaku

agresif pada siswa kelas Xl PM SMK T & I Kristen Kota Salatiga yang dilakukan

oleh Susanto (2014) menunjukkan nilai rxy 0,632 dengan p=0, 000. Dengan hasil

tersebut membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara

kecerdasan sosial dan perilaku agresif pada siswa SMK T&I Kristen Kota

Salatiga.

2.4 Hipotesis

Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis atau jawaban sementara atas

hubungan keterkaitan antar variabel dalam penelitian yang masih perlu diuji.

Hipotesis yang penulis rumuskan adalah: “Ada hubungan yang negatif dan

signifikan antara kecerdasan sosial dengan perilaku bullying”.