BAB II ku
-
Upload
riadinnialita -
Category
Documents
-
view
236 -
download
7
description
Transcript of BAB II ku
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam era globalisasi atau era
keterbukaan baik politik, ekonomi, budaya, teknologi, komunikasi dan bidang
kehidupan lainnya. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dicanangkan pada
tahun 2015 merupakan sebuah keniscayaan, dimana akan ada persaingan ketat
dengan sumber daya manusia di negara Asean sebagai konsekuensinya
diberlakukannya MEA. Dunia kerja disegala sektor pada tahun 2015 semakin
ketat, persaingan tidak hanya datang dari tenanga dalam negeri namun juga tenaga
asing akan masuk ke Indonesia. Berbagai kepentingan antar negara akan
mewarnai dinamika penyepakatan,salah satunya AFTA 2015 atau ASEAN Free
Trade Area. Sektor jasa yang telah disepakati oleh negara ASEAN salah satunya
termasuk jasa kesehatan (Suroso, 2015).
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan mempengaruhi segala aspek.
Saat ini daya apresiasi dan antisipasi bangsa Indonesia terhadap tantangan global
di sektor kesehatan khususnya di bidang pelayanan kesehatan. Salah satu pemberi
layanan kesehatan dengan banyak tenaga kesehatan ialah rumah sakit. Rumah
sakit menghadapi tantangan dalam jasa pelayanan kesehatan, dimana kesehatan
merupakan hak yang bisa diperoleh oleh setiap manusia (Priyadi, 2015).
Kesehatan adalah hak azazi bagi setiap manusia seperti dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 8 yang telah diamandemen bahwa setiap penduduk
2
berhak atas pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan hal yang menjadi dasar
(fundamental) dibangun oleh negara. Praktek pelayanan kesehatan pada
masyarakat, rumah sakit menjadi simpul utama yang berfungsi sebagai pusat
rujukan. Rumah sakit menjadi sistem kesehatan yang strategis, namun hal tersebut
sangat tergantung pada kekuatan ekonomi dan kemauan pemerintah dalam suatu
negara untuk mewujudkannya. Berbagai faktor yang mempengaruhi mekanisme
kerja rumah sakit (Ariyani,2011).
Salah satu pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit. Rumah sakit adalah
salah satu institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai peran penting dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit memberikan pelayanan
yang bersifat holistik mulai dari preventif, kuratif hingga rehabilitatif masalah
kesehatan atau penyakit. Telah terjadi perubahan paradigma tentang pelayanan
kesehatan khususnya rumah sakit. Pada awalnya, rumah sakit didirikan dengan
tujuan sosial tetapi seiring waktu, rumah sakit tidak hanya pelayanan sosial
namun mengarah pada tujuan ekonomi bahkan komersial (Kemenkes, 2002).
Rumah sakit yang ingin bertahan ke depan, maka rumah sakit swasta
mempunyai rumusan strategi. Di antaranya adalah pelayanan rumah sakit swasta
akan mengarah ke rumah sakit negeri. Menurut Taurany (2007), hal pemecahan
masalah untuk menghadapi globalisasi adalah menyiapkan daya saing yang tinggi
menajemen perubahan, peningkatan manajemen mutu, pengembangan sumber
daya manusia, sarana dan teknologi, peningkatan kepuasan konsumen,
peningkatan budaya organisasi, pemasaran yang efektif, peningkatan mekanisme
3
dan kegiatan mengantisipasi, memantau dan menganalisis perubahan- perubahan
lingkungan yang dampaknya dapat berupa ancaman dan berupa peluang.
Rumah Sakit yang ingin bertahan harus bisa menjaga kualitas atau mutu
pelayanan rumah sakit tersebut. Mutu pelayanan dapat ditentukan oleh fungsi
manajemen sehingga dibutuhkan suatu sistem yang baik yang dapat mengatur dan
mengelola segala sumber rumah sakit dengan sebaik- baiknya. Menurut Soeroso
(2003) menjelaskan bahwa dalam pengorganisasian di rumah sakit tidak akan
terlepas dari sumber daya manusia (SDM) yang ada dalam organisasi rumah sakit
tersebut. Oleh sebab itu, sumber daya manusia merupakan modal (asset) dan
kekayaan yang terpenting dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan di rumah sakit.
Manusia sebagai komponen terpenting untuk dianalisis dan dikembangkan
sehingga waktu, tenaga, dan kemampuannya dapat dimanfaatkan secara optimal
bagi kepentingan organisasi rumah sakit maupun kepentingan individu (Fathoni,
2006).
Pengelolaan Sumber Daya Manusia yang baik akan menjadikan rumah
sakit yang unggul. Hal tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan, ketrampilan,
kreativitas dan motivasi staf dan karyawannya. Kebutuhan tenaga- tenaga terampil
didalam berbagai bidang dalam sebuah rumah sakit sudah merupakan tuntutan
dunia global yang tidak bisa ditunda. Kemajuan teknologi dan sumber daya lain
ialah pendukung pelaksanaan kegiatan rumah sakit, karena pada akhirnya sumber
daya manusia yang paling menentukan (Danin, 2004).
Sumber daya manusia di rumah sakit salah satunya adalah tenaga perawat.
Tenaga perawat merupakan ”the caring profession” memiliki kedudukan yang
4
penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan dirumah sakit dengan
pendekatan bio-psiko-sosial-spritual. Pelayanan keperawatan ialah pelayanan
yang unik dilaksanakan selama 24 jam dan berkesinambungan merupakan
kelebihan tersendiri dibanding pelayanan lainnya. Pelayanan keperawatan adalah
bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk memenuhi
kebutuhannya sebagai mahluk hidup dan beradaptasi terhadap stres dengan
menggunakan potensi yang tersedia pada individu tersebut (Djojodibroto, 1997).
Pelayanan profesional yang diberikan dalam pelayanan keparawatan dan
asuhan keperawatan bertujuan untuk membantu pasien dalam pemulihan dan
peningkatan kemampuan diri perawat secara komprehensif dan berkesinambungan
hingga pasien mampu melakukan kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan. Oleh
karena itu, diharapkan perawat memiliki kemampuan serta sikap dan kepribadian
yang sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan maka tenaga keperawatan ini
harus dipersiapkan dan ditingkatkan secara teratur, terencana, dan berkelanjutan
(Darmawan, 2008).
Pengelolaan keperawatan yang dilaksanakan di rumah sakit melalui
perawat kepada pasien diharapkan berdaya guna dan berhasil guna. Hal tersebut
dapat tercapai apabila perawat tersebut memiliki pengetahuan mengenai
menajemen keperawatan dan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan klinis.
Pelayanan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan standar dan kriteria profesi keperawatan.
(Nurachmah,2001).
5
Tercapainya pelayanan keperawatan yang optimal di rumah sakit maka
parawat harus mampu melaksanakan tugas- tugasnya secara efektif. Perawat yang
memiliki efektivitas kerja baik mampu menyelesaiakan tugas atau pekerjaannya
sesuai waktu. Efektivitas kerja adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa
jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar
presentase target yang di capai, makin tinggi efektivitasnya (Hidayat, 1986).
Efektifitas kerja dapat dilihat melalui bagaimana perawat atau karyawan
mampu menyesuaikan diri, kepuasan kerja dan prestasi kerja. Kemampuan
menyesuaikan diri atau keluwesan dalam organisasi sangatlah penting, dimana
dengan mampu menyesuaikan diri pegawai akan dapat bekerjasama dengan orang
lain sehingga pemenuhan kebutuhan dan tujuan organisasi tercapai. Kepuasan
kerja karyawan merupakan faktor yang berhubungan langsung dengan Sumber
Daya Manusia (SDM) dalam pencapaian tujuan organisasi. Tingkat rasa puas
individu, bahwa mereka dapat imbalan yang setimpal, dari bermacam-macam
aspek situasi pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Prestasi kerja adalah
suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan target
yang telah ditentukan, bahkan ada yang melebihi target yang telah ditentukan
sebelumnya (Steers, 1985).
Upaya untuk mencapai efektivitas di rumah sakit ada beberapa faktor yang
mempengaruhi. Menurut Relly (2003) menjelaskan bahwa faktor- faktor yang
mempengaruhi efektivitas kerja adalah ketepatan waktu menyelesaikan tugas,
delegasi tugas yang jelas, produktivitas, motivasi, evaluasi kerja, pengawasan,
lingkungan kerja, dan perlengkapan serta fasilitas. Sedangkan menurut Robbins
6
(1996) bahwa disiplin juga merupakan faktor yang menentukan tercapainya
efektivitas kerja.
Disiplin yang kuat terdorong karena adanya motivasi dari karyawan itu
sendiri. Motivasi mendorong seseorang lebih giat dalam menjalankan tugasnya.
Adanya motivasi yang tinggi dari karyawan akan meningkatkan disiplin kerja
sehingga melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma- norma/ peraturan yang
ditetapkan. Semakin termotivasi karyawan untuk bekerja secara positif semakin
baik pula kinerja yang dihasilkan dan lingkungan serta iklim kerja yang
mendukung akan menambah kerja yang lebih efektif. Adanya pengawasan maka
pegawai dapat terus terpantau, hal ini dapat memperkecil resiko kesalahan dalam
pelaksanaan tugas sehingga semakin meningkatkan efektivitas kerja. Lingkungan
kerja adalah menyangkut tata ruang, cahaya alam, dan pengaruh suara yang
mempengaruhi konsentrasi seseorang pegawai sewaktu bekerja (Relly, 2003).
Menurut Hafizurachman (2009) berpendapat bahwa motivasi kerja adalah
dorongan dalam diri seseorang untuk melaksanakan pekerjaan di dalam mencapai
tujuan organisasi. Samap seperti yang dijelaskan oleh Husaini (2006) bahwa
motivasi ialah salah satu alasan agar bawahan ingin bekerja keras dan bekerja
cerdas sesuai dengan yang diharapkan. Kebutuhan dasar yang membuat seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan adalah motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi,
dan motivasi mencapai kekuasaan (Newstrom, 1999).
Motivasi yang tinggi dari seorang karyawan juga akan mendukung
karyawan tersebut untuk lebih disiplin dalam melaksanakan pekerjaannya. Syafri
Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubieis (2007) mendefinisikan disiplin kerja
7
adalah sifat seseorang karyawan yang secara sadar mematuhi aturan dan peraturan
organisasi tertentu, kedisiplinan sangat mempengaruhi kinerja karyawan atau
perusahaan. Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu
organisasi dan mempertahankan kehidupannya. Mengukur disiplin kerja perawat
dapat ditentukan beberapa indikator yaitu disiplin waktu, disiplin tugas, dan
disiplin tingkah laku (Hafizurachman, 2011).
Pengawasan merupakan hal yang sangat penting karena masing- masing
instansi memerlukan pengawasan yang tergantung dari faktor- faktor situasional
seperti ukuran organisasi, sejumlah perubahan yang terjadi, kompleksitas objek
yang dikontrol dan suasana pendelegasian yang ada didalam suatu instansi
(Saylees, 1998). Menurut Moekijat (1994) pengawasan berperanan penting bagi
manajemen kepegawaian karena hubungan terdekat dengan para pegawai melalui
bagaimana cara mengawasi cara kerja pegawai dan pendekatan kepada pegawai
agar melaksanakan pekerjaannya dengan baik tanpa unsur paksaan hanya karena
mereka diawasi. Pengawasan adalah proses yang dilakukan dalam mengawasi,
menilai, dan mengevaluasi daripada seluruh kegiatan organisasi agar pekerjaan
terlaksana dengan baik. Faktor- faktor yang mempengaruhi karyawan adalah
penetapan standar kerja, penilaian kerja, dan mengoreksi pekerjaan. Apabila
faktor- faktor tersebut dilaksanakan oleh kepala perawat dalam melakukan
pengawasan baik maka disiplin kerja perawat secara tidak langsung dan dapat
meningkat (Sinambela, 2013).
Penunjang organisasi atau instansi yang tidak kalah penting adalah
lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah keadaan fisik dan non fisik
8
(psikologis) di tempat kerja seseorang di dalam mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan (Hafizurrachman, 2009). Fungsi lingkungan kerja agar pegawai
melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih
cepat dan lebih baik (efektif). Lingkungan kerja dapat terbentuk dari beberapa
unsur lingkungan kerja, meliputi sarana dan prasarana (fasilitas kerja) seperti
peraturan kerja, tata ruang kerja, dan suhu ruangan. Sarana adalah segala sesuatu
yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan, beberapa
yang mempengaruhi yaitu: warna, kebersihan, penerangan, pertukaran udara,
keamanan, musik dan kebisingan (Suryati, 1995).
Menurut Siagian (1983) menjelaskan bahwa untuk mencapai efektifitas
kerja yang optimal meliputi faktor motivasi, disiplin kerja, lingkungan. Motivasi
akan mendorong seseorang untuk lebih giat dalam menjalankan pekerjaannya.
disiplin yang diterapkan pegawau menyakibatkan dorongan kepada pegawai untuk
berbuat dan melakukan kegiatan pekerjaan sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan serta lingkungan yang mendukung akan menambah kerja lebih
semangat sehingga efektivitas tercapai.
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat keterkaitan antara motivasi kerja,
disiplin, lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap tercapainya efektifitas kerja
pegawai atau perusahaan. Oleh karena itu tanpa adanya disiplin, motivasi kerja,
lingkungan kerja, pengawasan yang baik maka segala kegiatan yang dilakukan
akan mendatangkan hasil yang kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan
harapan.
9
Berdasarkan para ahli diatas, diperkuat dengan hasil penelitian dan
didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa disiplin, motivasi, pengawasan dan
lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap pewarat. Penelitian Rita Sugiarti
Marlian dan Dadang Kusnadi dengan judul: pengaruh motivasi dan kemampuan
terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan, didapatkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara motivasi t- value (5,553) dan kemampuan t- value (6,230)
terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan di instalansi rawat inap RSUD
Cibabat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Manjas, Menkher dan Bachtiar, Hafni
(2011) tentang analisis efektivitas kerja perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Mayjen H.A Thalib Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi Tahun 2011
bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan efektivitas kerja
perawat adalah produksi, efisiensi, perkembangan dengan nilai p< 0,05.
Sedangkan variabel kepuasan dan adaptasi tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan efektivitas kerja dengan nilai p> 0,05. Implikasi yang
diharapkan peneliti dari penetian tersebut adalah diharapkan rumah sakit
memperhatikan aspek yang bisa meningkatkan efektivitas kerja perawat serta
melakukan pembenahan terhadap aspek tersebut sehingga pencapaian tujuan
rumah sakit memang bisa terukur dari efektivitas kerja perawatnya.
Mayawati (2010) yang meneliti tentang hubungan antara motivasi dengan
kepuasan kerja perawat di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Klaten. Hasil dari
penelitian ini bahwa ada hubungan antara motivasi (p=0.001) dengan kepuasan
kerja perawat Puskesmas Rawat Inap Kab. Klaten. Rancangan penelitian yang
10
dipakai adalah deskripsi korelatif dengan teknik pengambilan data secara cross
sectional. Hal yang sama dilakukan oleh Halim, dan Hayulinanda Sartika (2012)
tentang pengaruh motivasi dan lingkungan kerja non fisik terhadap kinerja
karyawan bahwa lingkungan kerja non fisikberpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan (T hitung = 8,237 > T tabel = 1,667).
Pemantauan kesehatan khususnya pelayanan rumah sakit mempunyai arti
bagaimana memberikan kebutuhan dan kepuasan kepada pelanggan atau
masyarakat yang akan datang berobat. Studi pendahuluan, ditemukan bahwa
pelayanan yang cepat, tepat dan teliti merupakan hal yang pasien atau pelanggan
harapkan. RS. Puri Cinere adalah salah satu Rumah Sakit swasta di wilayah
Cinere, dimana diketahui RS tersebut berada di wilayah yang berbatasan dengan
wilayah Jakarta Selatan. Oleh karena itu, RS. Puri Cinere sangat strategis dan
menjadi alternatif pilihan warga untuk berobat atau mendapat pelayanan
kesehatan sehingga penting sekali bagi rumah sakit untuk menjaga kualitas
pelayanan kesehatan yang diberikan. RS.Puri Cinere berdiri 15 Desember 1991,
memiliki 22 fasilitas klinik yaitu klinik psikologi, umum, bedah, kebidanan/
kandungan, kesehatan anak, penyakit dalam, penyakit syaraf, kesehatan jiwa,
THT, mata, kulit dan perawatan wajah, jantung, paru, gigi dan mulut, gizi klinik,
akupuntur, rehabilitasi medik, medikal check up, klinik laktasi, hearing center,
klinik stroke, serta klinik edukasi diabetes. Fasilitas rawat inap yaitu ruang
anggrek, ruang mawar, ruang melati, ruang seruni, ruang aster, kamar bayi, ICU
dan HCU. Berdasarkan hal yang disebutkan diatas, maka penulis tertarik untuk
11
mengetahui Pengaruh disiplin, motivasi, lingkungan kerja, dan pengawasan
terhadap efektifitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
1.2 Rumusan Masalah
Hasil yang dijadikan sebagai output penilaian tercapainya tujuan
organisasi dapat berupa terjadinya efektifitas kerja karyawan. Efektivitas perawat
RS. Puri Cinere sebagai pemberi layanan jasa dapat dipengaruhi oleh beberapa
variabel baik variabel finansial maupun variabel non finansial. Selain itu, karena
adanya penurunan kinerja pelayanan sampai saat ini dan dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir telah berdiri beberapa pelayanan kesehatan lainnya yang
menjadi pesaing yang kompetitor bagi RS. Puri Cinere di wilayah Depok.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah efektivitas kerja perawat sedangkan
yang menjadi variabel terikatnya yaitu meliputi disipin, motivasi kerja,
lingkungan kerja dan pengawasan kerja.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 10 pengunjung yang
diwawancarai, didapatkan hasil bahwa 1 responden menyatakan tarif tidak jelas, 1
reponden lain menjawab susternya sedikit judes dalam menjawab, 1 responden
pelayanan administrasi sedikit bertele-tele (ribet), 6 responeden menyatakan
bahwa bahwa RS dekat dengan rumah, 2 responden menyatakan bahwa biaya RS
cukup mahal dan 10 responden mengatakan RS.Puri Cinere bersih dan nyaman.
Hal ini didukung oleh pernyataan dari kepala divisi humas dan pemasaran: “ rata-
rata pasien yang yang datang ke RSPC masih yang tinggalnya di RS dari kalangan
menengah ke atas dan biasanya sudah lama berobat disini”, lalu pernyataan
dikuatkan oleh responden: “Saya lebih berobat di RSPC karena cukup dekat dari
12
rumah, hanya 30 menitan. Dokternya sudah cocok dengan anak/ keluarga saya.
Masalahnya biaya, saya pikit tadinya mahal tapi lumayan sebanding dengan
pelayanan, hanya saja kadang kalau sangat ramai, perawat/ susternya agak judes,
terburu- buru dan lama melayaninya”. Dilanjutkan dengan mewancarai kepala
bagian keperawatan didapatkan bahwa ada peraturan yaitu denda kepada perawat
yang datang terlambat atau kurang disiplin yaitu sebesar Rp 10.000,-. Hasil
didapatkan dari seorang perawat di ruang melati bahwa ada saja perawat yang
terlambat, maka perawat yang tersebut membayar denda yang akan diberikan
kepada kepala ruangan. Kelalaian lain yang biasa dilakukan oleh perawat antara
lain keterlambatan pemberian obat, lupa menempelkan stiker resiko jatuh. Hal
tersebut juga dikuatkan dengan penurunan jumlah kunjungan rawat jalan: tahun
2008 sebanyak 11.4013 jiwa, tahun 2009 menurun menjadi 11.3627 jiwa, tahun
2010 menjadi 11.2297 dan tahun 2012 menjadi 11.2012 jiwa.
Penetapan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perlunya
pengukuran disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja dan pengawasan terhadap
efektivitas kerja perawat RS. Puri Cinere.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana pengaruh langsung atau tidak langsung serta besarannya
disiplin, motivasi, lingkungan kerja dan pengawasan kerja terhadap efektivitas
kerja perawat Rumah Sakit Puri Cinere ?
13
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya disiplin, motivasi,
lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat
Rumah Sakit Puri Cinere.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya motivasi
terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
2. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya disiplin terhadap
efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
3. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya lingkungan kerja
terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
4. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya pengawasan
terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
5. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya motivasi dan
disiplin terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri
Cinere.
6. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya lingkungan kerja
dan motivasi terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit
Puri Cinere.
7. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya pengawasan dan
disiplin terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri
Cinere.
14
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Teoritis
Penelitian ini tidak menghasilkan teori baru tetapi konfirmasi bahwa
variabel pada pengaruh disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja, dan
pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere
dengan teori yang ada pada tinjauan pustaka sudah sesuai. Penelitian
ditujukan untuk mengetahui pengaruh antara disiplin, motivasi kerja,
lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di
Rumah Sakit Puri Cinere. Hasil penelitian yang diperoleh digunakan
sebagai pembuktian atas hipotesis yang diajukan.
2. Metodologis
Pendekatan ini dapat diterapkan untuk perbaikan dan pengembangan
Rumah Sakit Puri Cinere.
3. Praktis
Hasil yang didapatkan dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh
langsung maupun tidak langsung pada variabel pengaruh disiplin, motivasi
kerja, lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat
di Rumah Sakit Puri Cinere dapat lebih memfokuskan pengembangan
sesuai dengan hasil penelitian. Bagi instansi rumah sakit akan digunakan
untukmenerapkan kebijakan pengelolaan ketenagakerjaan terutama di
bidang peningkatan kinerja perawat.
15
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif. Padapenelitian ini peneliti mengambil sampel dari suatu
populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data.
Pada akhir penelitian dilakukan analisis untuk menguji hipotesis yang
diajukan pada awal penelitian. Analisis yang digunakan dengan pendekatan
analisis jalur (Path Analysis). Dilakukan uji analisis jalur antara variabel bebas
(eksogen) terhadap variabel terikat (endogen) yang terdapat pada disiplin,
motivasi, lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap efektivitas kerja perawat
Rumah Sakit Puri Cinere. Uji ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh langsung
dan tidak langsung antara disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja, dan
pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.
Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data primer diperoleh
melalui kuesioner di Rumah Sakit Puri Cinere.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Efektivitas Kerja Perawat
2.1.1 Definisi Efektivitas Kerja
Efektivitas kerja adalah suatu keadaan dimana aktivitas- aktivitas
jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan oleh manusia dalam mencapai hasil
atau akibat sesuai yang dikehendakinya (Sutarto, 1978: 95).
Efektivitas kerja merupakan suatu ukuran tentang pencapaian suatu
tugas atau tujuan (Schermerhorn, 1998: 5).
Menurut Handayaningrat (1996: 16):
“Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya”.
Menurut Siagian, efektivitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan
tepat waktunya yang telah ditetapkan (Siagian, 1983: 151). Sedangkan
menurut ( The Liang Gie, 1981: 21) yang disebut efektivitas kerja adalah
suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari sejumlah rangkaian aktivitas
jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan
tertentu.
Pengertian efektivitas kerja menurut Susanto (2004: 41):
17
“Efektivitas artinya informasi harus sesuai dengan kebutuhan
pemakai dalam mendukung suatu proses bisnis, termasuk di dalam
informasi tersebut harus disajikan dalam waktu yang tepat, format
yang tepat sehingga dapat dipahami, konsisten dengan format
sebelumnya, isinya sesuai dengan kebutuhan saat ini dan lengkap
atau sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan”.
Sedangkan menurut Amsyah (2003: 131), efektivitas kerja
didefinisikan sebagai berikut:
“Efektifitas adalah kegiatan dengan mulai adanya fakta kegiatan
sehingga menjadi data, baik yang berasal dari hubungan dan
transaksi internal dan eksternal maupun berasal dari hubungan antar
unit dan didalam unit itu sendiri”.
Pengertian yang dikemukakan para ahli diatas mengenai efektivitas
pada dasarnya hanya mengenai tujuan organisasi/ instansi terhadap kinerja
pegawai sebagai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dari sudut
pandang: pertama dari segi hasil, tujuan atau akibat yang dikehendaki dapat
dicapai, dan kedua dari segi usaha yang ditempuh dan dilaksanakan telah
tercapai dan keduanya secara maksimal.
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai efektivitas tersebut, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa efektivitas kerja pegawai dapat dikatakan
sebagai taraf tercapainya suatu tujuan tertentu secara maksimal, baik
ditinjau dari segi proses, jumlah format, serta ketepatan waktu sesuai
18
prosedur, kebutuhan, dan ketentuan yang ditetapkan dalam organisasi
tersebut.
Upaya untuk mendefinisikan yang umum dan sering digunakan
adalah bertumpu pada pendekatan efektifitas dari segi optimasi tujuan,
yakni kemampuan organisasi memanfaatkan sumber daya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, definisi yang bertumpu pada
optimasi tujuan haruslah diberi makna sebagai tujuan yang diukur menurut
konsep organisasi, yaitu ukuran mengenai seberapa jauh suatu organisasi
mencapai tujuan yang hendak capai. Efektivitas organisasi terdiri dari
efektivitas individu dan kelompok. Hal ini disebabkan adanya beberapa
pandangan mengenai efektivitas itu sendiri. Kata efektif berasal dari bahasa
inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan
berhasil dengan baik.
Menurut Harbani Pasolong (2007:4), efektivitas pada dasarnya
berasal dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab
akibat. Efektivitas menurut arti harfiahnya adalah suatu efek atau akibat
yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.
Kata efektivitas tidak dapat disamakan dengan efisien. karena
keduanya memiliki arti yang berbeda walupun dalam berbagai penggunaan
kata efisien lekat dengan efektivitas. Efisiensi mengandung pengertian
perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan efektivitas secara langsung
dihubungkan dengan pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu
dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian unjuk kerja
19
yang maksimal, yaitu mengarah kepada pencapaian target yang berkaitan
dengan kualitas, kuantitas dan waktu.
Menurut Patron (1986: 157): Efektifitas kerja adalah sebuah kriteria
evaluasi tentang pengukuran keberhasilan dari suatu kebijaksanaan atau
perencanaan dibandingkan dengan akibat atau hasil yang diharapkan. Jadi
antara hasil pekerjaan yang dicapai dengan tujuan perencanaan harus
sinkron, karena itu sebagai indikator dari efektifitas kerja dalam sebuah
kantor atau organisasi.
Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa
jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut
sesuai dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (1986) menjelaskan
bahwa:
“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh
target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin
besar presentase target yang di capai, makin tinggi efektivitasnya”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa efektivitas kerja berarti
penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Artinya,
apakah pelaksanaan suatu kegiatan/ tugas dinilai baik atau tidak sangat
tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan dan tidak terutama
menjawab pertanyaan bagaimana cara pelaksanaan dan biaya yang
dikeluarkan untuk itu. Efektivitas kerja pegawai dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat dapat dicapai apabila organisasi itu juga
20
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan. Dalam
hal ini efektivitas harus termasuk juga efisiensinya.
Berdasarkan pengertian tentang efektivitas dan kerja diatas jika
digabungkan akan memperoleh suatu pengertian yaitu efektivitas kerja
adalah akibat atau efek yang timbul akibat sejumlah rangkaian aktivitas
jasmani dan rohani yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan
tertentu. Disisi lain suatu pekerjaan dikatakan efektif bila dapat diselesaikan
tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kerja adalah suatu keadaan yang menunjukkan aktivitas pekerjaan
yang memberikan hasil atau akibat seperti yang dikehendaki sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan.
2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Kerja
Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas kerja, seperti yang
dikemukakan oleh Ricard M. Steers (1985) yang menyatakan adanya empat
faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kerja yaitu :
a. Karakteristik organisasi
Terdiri dari struktur dan teknologi organisasi dimana yang
dimaksud struktur adalah hubungan yang relatif tetap sifatnya, sehubungan
dengan susunan sumber daya manusianya. Struktur meliputi bagaimana
organisasi menyusun orang- orang atau mengelompokkan orang-orang
21
dalam menyelesaikan pekerjaannnya. Teknologi adalah mekanisme suatu
organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi.
Teknologi yang tepat akan menunjang kelancaran organisasi didalam
mencapai sasaran, disamping juga dituntut adanya penempatan orang yang
tepat pada tempat yang tepat pula.
b. Karakteristik Lingkungan
Lingkungan mempunyai pengaruh penting di dalam organisasi.
Lingkungan itu mencakup dua aspek yang berhubungan, yaitu lingkungan
ekstern dan intern. Karakteristik organisasi berpengaruh terhadap efektivitas
disamping lingkungan luar dan dalam telah dinyatakan berpengaruh
terhadap efektivitas. Lingkungan luar yang dimaksud adalah luar organisasi
misalnya hubungan dengan masyarakat sekitar, sedang lingkungan dalam
lingkup organisasi misalnya karyawan atau pegawai di perusahaan tersebut.
Keberhasilan hubungan organisasi lingkungan tampaknya amat tergantung
pada tiga variabel yaitu :
1) Tingkat keterdugaan keadaan lingkungan
2) Ketepatan persepsi atas keadaan lingkungan
3) Tingkat rasionalitas organisasi.
Ketiga faktor ini mempengaruhi ketepatan tanggapan organisasi
terhadap perubahan lingkungan makin tepat tanggapannya, makin berhasil
adaptasi yang dilakukan oleh organisasi.
c. Karakteristik Pekerja
22
Merupakan karakteristik yang penting, karena pekerja merupakan
sumber daya yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya
yang ada di dalam organisasi. Pekerja merupakan modal utama didalam
organisasi yang akan berpengaruh terhadap efektivitas kerja, karena
walaupun teknologi yang canggih dan didukung adanya struktur yang baik,
tanpa adanya pekerja maka semuanya itu tidak berguna. Kenyataannya, para
karyawan atau pekerja perusahaan merupakan faktor pengaruh yang paling
penting atas efektivitas karena prilaku pekerja yang dalam jangka panjang
akan memperlancar atau merintangi tercapainya tujuan organisasi. Pekerja
merupakan sumber daya yang langsung berhubungan dengan pengelolaan
semua sumber daya yang ada didalam organisasi, oleh sebab itu perilaku
pekerja sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi.
d. Karakteristik Kebijaksanaan dan Managemen
Kebijaksanaan dan praktek managemen dapat mempengaruhi
pencapaian hasil atau dapat juga merintangi pencapaian tujuan. Hal ini
mencakup bagaimana kebijaksanaan dan praktek pimpinan dalam tanggung
jawabnya terhadap para pekerja dan organisasi. Semakin rumitnya proses
teknologi dan makin rumit atau kejamnya lingkungan, maka peranan
manajemen dalam mengkoordinasi orang dan proses demi keberhasilan
organisasi semakin sulit. Kebijaksanaan dan praktek manajemen dapat
mempengaruhi atau dapat merintangi pencapaian tujuan, ini tergantung
bagaimana kebijaksanaan dan praktek manajemen dalam tanggung jawab
terhadap para karyawan dan organisasi. Penjelasan tentang faktor-faktor
23
yang mempengaruhi efektivitas kerja, seperti yang dikemukakan oleh
(Henry Fanyol dalam Sutarto) yang menamakan asasnya dengan “Prinsiples
of Organisasi” (asas-asas organisasi) sebagai berikut:
1) Devision of work (pembagian kerja)
2) Authority and responsibility (wewenang dan tanggung jawab)
3) Disiplin (disiplin)
4) Unity of commond (kesatuan perintah)
5) Unityof direction (kesatuan arah)
6) Subordination of individual interest general interest (kepentingan
individu dibawah kepentingan umum)
7) Remunaration (pay) of personnel (gaji pegawai/karyawan)
8) Centralization (sentralisasi)
9) Scalarchain (rangkaian skala)
10) Order (ketertiban)
11) Equity (keadilan)
12)Stability of tenure of personnel (kestabilan masa kerja
pegawai/karyawan)
13) Initiative (inisiatif)
14) Espritdecorp (kesatuan jiwa korp)
Setiap orang ingin mengembangkan potensi yang ada pada dirinya,
dengan diberikan kesempatan berprestasi maka pegawai akan dapat
meningkatkan efektivitas kerjanya (Siagian, 1983: 154). Faktor- faktor yang
dapat mempengaruhi efektivitas kerja pegawai adalah :
24
a. Ketrampilan
Ketrampilan banyak pengaruhnya terhadap efektivitas kerja pegawai.
Keterampilan pegawai dalam suatu instansi dapat ditingkatkan melalui
latihan- latihan.
b. Motivasi
Adanya motivasi mendorong seseorang untuk lebih giat dalam
menjalankan tugasnya. Disiplin kerja merupakan keadaan yang
menyebabkan/ memberikan dorongan kepada pegawai untuk berbuat dan
melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma- norma/ peraturan yang
telah ditetapkan.
c. Sikap dan etika kerja
Etika dalam hubungan kerja sangat penting karena akan menciptakan
hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara pelaku dalam proses
yang akan meningkatkan efektivitas kerja.
d. Gizi dan kesehatan
Apabila ada pegawai yang mengalami gangguan kesehatan dan
pegawai tersebut tidak dapat melaksanakan pekerjaannya maka secara
otomatis tidak akan ada efektivitas kerja.
e. Tingkatan penghasilan
Penghasilan atau gaji yang cukup berdasarkan prestasi kerja akan
memberi semangat sehingga efektivitas kerja akan tercapai.
f. Lingkungan dan iklim kerja
25
Lingkungan dan iklim kerja yang mendukung akan menambah kerja
yang lebih efektif.
g. Sarana/ alat
Tersedianya peralatan dan perlengkapan yang memadai dalam
organisasi akan menunjang peningkatkan efektivitas kerja.
h. Manajemen
Di dalam organisasi jika manajemen berjalan baik maka pegawai akan
terorganisasi dengan baik sehingga akan mendukung suatu efektivitas kerja.
i. Kesempatan berprestasi.
Menurut Stephen P.Robbins (1996 : 24) menyatakan bahwa faktor-
faktor yang mendorong peningkatan efektivitas kerja pegawai,adalah:
1. Sikap (disiplin)
2. Kepentingan atau minat
3. Motif
4. Pengalaman masa lalu
5. Penerapan (dispektasi)
Masih Stephen P.Robbins (1996:225), dalam halaman berikutnya
mengemukakan terdapat empat faktor yang dapat mendukung atau
mendorong tingkat efektifitas kerja pegawai, yaitu:
1. Kendali (kontrol pengawasan)
2. Motivasi
3. pengungkapan emosional
26
4. Informasi
Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (2000: 73), Mengatakan bahwa
faktor- faktor yang dapat mendorong efektivitas pegawai adalah:
1. Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahliannya.
2. Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang baik.
3. Pekerjaan yang menyediakan informasi yang lengkap.
4. Pengawasan yang tidak terlalu ketat.
5. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang memadai.
6. Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan tenang.
7. Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.
Kemudian Sondang P.Siagian (1995:101), menyatakan bahwa
faktor- faktor yang menentukan efektivitas kerja pegawai (seseorang)
adalah:
1. Karakteristik individual
2. Sikap
3. Motif
4. Kepentingan
5. Minat
6. Pengalaman
7. Harapan
Menurut Stan Kossen (1993: 228) dikatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi efektivitas kerja pegawai adalah:
1. Organisasi itu sendiri
27
2. Kegiatan- kegiatan itu sendiri
3. Sifat pekerjaan
4. Teman- teman/ rekan sejawat mereka
5. Majikan- majikan/ atasan mereka
6. Konsep- konsep mereka sendiri
7. Pemenuhan keperluan mereka
Menurut Relly (2003:119) Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas kerja dalam organisasi :
1. Waktu
Ketepatan waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan
faktor utama. Semakin lama tugas yang dibebankan itu dikerjakan, maka
semakin banyak tugas lain menyusul dan hal ini akan memperkecil tingkat
efektivitas kerja karena memakan waktu yang tidak sedikit.
2. Tugas
Bawahan harus diberitahukan maksud dan pentingnya tugas- tugas yang
didelegasikan kepada pegawainya.
3. Produktivitas
Seorang pegawai mempunyai produktivitas kerja yang tinggi dalam
bekerja tentunya akan dapat menghasilkan efektivitas kerja yang baik
demikian pula sebaliknya.
28
4. Motivasi
Pimpinan dapat mendorong pegawainya melalui perhatian pada
kebutuhan dan tujuan mereka yang sensitif. Semakin termotivasi karyawan
untuk bekerja secara positif semakin baik pula kinerja yang dihasilkan.
5. Evaluasi Kerja
Pimpinan memberikan dorongan, bantuan, dan informasi kepada
pegawainya, sebaliknya pegawai harus melaksanakan tugas dengan baik
dan menyelesaikan untuk dievaluasi tugas terlaksana dengan baik atau tidak.
6. Pengawasan
Pengawasan maka kinerja pegawai dapat terus terpantau dan hal ini
dapat memperkecil resiko kesalahan dalam pelaksanaan tugas.
7. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah menyangkut tata ruang, cahaya alam, dan
pengaruh suara yang mempengaruhi konsentrasi seseorang pegawai sewaktu
bekerja.
8. Perlengkapan dan Fasilitas
Adalah suatu sarana dan peralatan yang disediakan oleh pimpinan
dalam bekerja. Fasilitas yang kurang lengkap akan mempengaruhi
kelancaran pegawai dalam bekerja. Semakin baik sarana yang disediakan
oleh pemerintah akan mempengaruhi semakin baiknya kerja seorang dalam
mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan.
29
1.1.3 Indikator Efektivitas Kerja
Indikator untuk mengukur efektivitas kerja karyawan, penulis
menggunakan kriteria ukuran yang dikemukakan oleh Richard M. Steers,
yaitu dalam usaha membina pengertian efektivitas yang semula bersifat
abstrak itu menjadi sedikit banyak mengidentifikasi segi- segi yang lebih
menonjol yang berhubungan dengan konsep ini (Steers, 1985:20). Meski
ada sederetan panjang kriteria evaluasi yang dipakai, namun kriteria yang
paling banyak digunakan adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan menyesuaikan diri
Kemampuan kerja manusia terbatas baik fisik, waktu, tempat,
pendidikan serta faktor lain yang membatasi kegiatan manusia. Adanya
keterbatasan ini yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai
pemenuhan semua kebutuhannya tanpa melalui yang lain. Setiap orang yang
masuk ke dalam organisasi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan orang-
orang yang bekerjadi dalamnya maupun dengan tugas pekerjaan yang ada
dalam organisasi tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri ini sangat
penting karena hal tersebut merupakan sarana tercapainya kerjasama antara
karyawan yang dapat mendukung tercapainya tujuan organisasi. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Richard M. Steers berikut ini : “Pada
kenyataannya mudah dijelaskan bahwa kunci keberhasilan organisasi bagi
pencapian tujuan” (Richard M. Steers, terjemahan Magdalena 1985: 134-
135).
30
Kemampuan menyesuaikan diri sangatlah penting, karena hal ini
merupakan tujuan organisasi, dimana dengan mampu menyesuaikan diri
pegawai akan dapat bekerjasama dengan orang lain sehingga pemenuhan
kebutuhan dan tujuan organisasi tercapai.
Kemampuan manusia terbatas dalam sagala hal, sehingga dengan
keterbatasannya itu menyebabkan manusia tidak dapat mencapai
pemenuhan kebutuhannya tanpa melalui kerjasama dengan orang lain. Hal
ini sesuai pendapat Ricard M. Steers yang menyatakan bahwa kunci
keberhasilan organisasi adalah kerjasama dalam pencapaian tujuan. Setiap
orang yang masuk dalam organisasi dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
dengan orang yang bekerja didalamnya maupun dengan pekerjaan dalam
organisasi tersebut. Jika kemampuan menyesuaikan diri tersebut dapat
berjalan maka tujuan organisasi dapat tercapai. yaitu:
Indikator-indikator penilaian kemampuan menyesuaikan diri pegawai yaitu:
1) Situasi: Situasi baik di dalam kantor maupun di luar yang kondusif dapat
menimbulkan rasa nyaman bagi para pegawai untuk melaaksanakan
tugasnya.
2) Komunikasi: Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak
manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Hal ini
karena adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami
dan mengakui pendapat ataupun prestasi pegawainya sangat berperan
dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.
31
3) Kerjasama: Saling bekerja sama antar pegawai dapat menjadikan
pekerjaan semakin mudah. Setiap pegawai mampu bekerjasama dengan
baik dengan sesamanya sehingga tujuan organisasi dapat terwujud.
b. Kepuasan kerja
Merupakan tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peran
atau pekerjaannya dalam organisasi. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kepeuasan kerja tersebut antara lain: kesempatan untuk
maju, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, pengawasan, faktor
intrinsik, kondisi kerja, komunikasi dan fasilitas (Moh. As’ad, 1991:115-
116). Disimpulkan bahwa kepuasan adalah tingkat kesenangan dalam
melaksanakan pekerjaan yang dibebankan sebagai akibat dari imbalan yang
diterima untuk memenuhi kebutuhannya, jika kebutuhan pegawai terpenuhi
maka mereka akan merasa senang dan puas.
Kepuasan kerja adalah faktor yang berhubungan langsung dengan
Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai karyawan dalam pencapaian tujuan
organisasi. Richard M. Steers (1985) mengemukakan hal sebagai berikut :
Kepuasan kerja adalah tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas
peranan atau pekerjaan dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu, bahwa
mereka dapat imbalan yang setimpal, dari bermacam-macam aspek situasi
pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Berdasarkan uraian diatas,
maka kepuasan kerja adalah tingkat kesenangan dalam melaksanakan
pekerjaan yang dibebankan sebagai akibat dari imbalan yang diterima untuk
32
memenuhi kebutuhan, bila kebutuhan karyawan terpenuhi maka mereka
akan merasa puas dan senang.
Tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peranan atau
pekerjaannya dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu bahwa mereka
mendapat imbalan yang setimpal, dari bermacam- macam aspek situasi
pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Adapun indikator-indikator
penilaian kepuasan kerja pegawai:
1) Isi pekerjaaan: Penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai
kontrol terhadap pekerjaan.
2) Supervisi: Keadilan dalam kompetensi penugasan managerial oleh
pimpinan.
3) Organisasi dan manajemen: Mampu memberikan situasi dan kondisi
kerja yang stabil.
4) Kesempatan untuk maju: Dalam hal ini setiap pegawai diberikan
kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan
kemampuan selama keja.
5) Gaji dan finansial lainnya: Gaji lebih banyak menyebabkan
ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya
dengan sejumlah uang yag diperolehnya.
c. Prestasi kerja
Menurut penjelasan Richard M. Steers (1985) prestasi kerja yaitu
suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan
target yang telah ditentukan bahkan ada yang melebihi target yang telah
33
ditentukan sebelumnya. Lebih lanjut Richard M. Steers mengemukakan hal
sebagai berikut ini: “secara sederhana umumnya orang percaya bahwa
prestasi kerja individu merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor penting
yaitu :
1. Kemampuan dan minat seorang pekerja.
2. Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan.
3. Peranan seorang pekerja dan tingkat motivasi kerja
Guna mencapai prestasi seperti yang diinginkan maka diperlukan
kerja keras sesuai dengan fungsi peranan di dalam organisasi yang
dimasukinya. Prestasi kerja dapat dirasakan bila seseorang telah berhasil
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Prestasi kerja yang telah dicapai akan mempengaruhi orang
lain untuk dapat melakukan hal yang sama dengan demikian maka hasil
kerja di dalam organisasipun mungkin lebih baik. Prestasi kerja juga
merupakan faktor penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi, karena
tanpa adanya prestasi kerja keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi
akan sulit. Hal ini sesuai yang dikemukakan Richard M. Steers (1985: 140)
yaitu tanpa prestasi yang baik di semua tingkat organisasi pencapaian tujuan
dan keberhasilan organisasi menjadi suatu yang sulit. Prestasi kerja adalah
suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan
target yang telah ditentukan, bahkan ada yang melebihi target yang telah
ditentukan sebelumnya.
34
Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas- tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan waktu (Hasibuan, 2001:94).
Apabila karyawan memiliki kecakapan, pengalaman, kesungguhan
waktu yang dimiliki oleh pegawai maka tugas yang diberikan dapat
dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Prestasi kerja merupakan gambaran hasil kerja yang dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas- tugas yang dibebankan kepadanya dalam jangka
waktu tertentu, dengan kata lain prestasi kerja pegawai adalah kemampuan
kerja pegawai untuk melaksanakan tugasnya sehingga dapat menghasilkan
sesuatu yang menunjukkan pada pengetahuan dan keterampilan yang
mereka miliki. Pengertian prestasi kerja disebut juga sebagai kinerja atau
dalam bahasa inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada
istilah lain yang yang lebih menggambarkan pada “prestasi” dalam bahasa
inggris yaitu kata “to achieve” yang berarti “mencapai”, maka dalam bahasa
Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian” atau “apa yang dicapai’.
Hal utama yang dituntut oleh rumah sakit dari pegawainya seperti
perawat adalah prestasi kerja mereka yang sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Prestasi kerja perawat akan membawa dampak bagi perawat
yang bersangkutan maupun rumah sakit tempat mereka bekerja. Prestasi
kerja yang tinggi akan meningkatkan prodiktivitas, sebaliknya prestasi kerja
perawat yang rendah dapat menurunkan tingkat kualitas dan produktivitas
35
kerja perawat dan menurunkan kinerja rumah sakit. Adapun indikator-
indikator penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut:
1) Keterampilan, kemampuan, dan keahlian: Dapat menyelesaikan tugas
tepat waktu, mampu mengoperasikan komputer dengan baik dan
menguasai salah satu bahasa asing.
2) Kedisiplinan: Penilai menilai disiplin pegawai dalam mematuhi
peraturan- peraturan yang ada dan melalukan pekerjaannya dengan
instruksi yang diberikan kepadanya.
3) Kepribadian: Penilai menilai pegawai dari sikap perilaku, kesopanan,
periang, disukai, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap
yang baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar.
4) Tanggung jawab: Penilai mnenilai kesediaan pegawai dalam
mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaannya, dan hasil
kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakannya, serta perilaku
kerjanya.
d. Kemampuan berlaba.
Kemampuan pekerja memberikan sumbangan pada suatu organisasi,
sebagai imbangan motivasi pekerja yang sangat menentukan kehendak
pekerja untuk menyumbang. Sifat-sifat ini dianggap relatif mantap
sepanjang waktu, walaupun mungkin akan timbul beberapa perubahan
akibat intervensi dari luar (misalnya latihan).
Hasil riset menunjukkan bahwa keberhasilan manajemen erat
hubungannya dengan tingkat kemampuan intelektual seseorang. Organisasi
36
yang orientasinya terpusat pada laba akan mengarahkan tenaga kerjanya
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai pembagian tugas agar
tercapainya efisiensi kerja sehingga meningkatkan profit organisasi yang
akan berdampak pada tercapainya efektivitas.
e. Pencapaian Sumber Daya.
Sehubungan dengan pencapaian sumber daya telah diidentifikasi tiga
bidang yang saling berhubungan. Pertama, mengintegrasikan dan
mengkoordinasi berbagai sub sistem organisasi (yaitu produktif, pendukung
pemeliharaan, penyesuai, dan manajemen) sehingga setiap sub sistem
mempunyai sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas
utamannya. Jika sub sistem ini dikoordinasikan dengan tepat, energi yang
tersedia untuk kegiatan- kegiatan yang diarahkan ketujuan menjadi lebih
efesien.
Kedua, berhubungan dengan penetapan, pengimplementasian dan
pemeliharaan pedoman- pedoman kebijakan. Pedoman kebijakan dapat
mendukung efektifitas organisasi dengan memastikan bahwa organisasi
menarik manfaat dari keputusan dan tindakan yang lalu dan menekan
pemborosan energi atau fungsi ganda dalam beberapa bagian sampai
seminimal mungkin.
Ketiga, setiap rancangan sistem pada penelaah organisasi mengakui
adanya serangkaian umpan balik dan lingkaran kendali yang menjalankan
fungsi gyroskopik demi menjamin agar organisasi tetap pada terjadinya
dalam usaha pencapaian tujuan. Meskipun sistem pengendalian dapat
37
bermacam- macam bentuknya (keuangan, fisik atau barang, manusia),
namun dalam penelitian ini tertutama diperhatikan aspek manusia dari
sistem pengendalian. Teknik- teknik seperti akunting manusia menunjukkan
potensi untuk lebih mengakui pentingnya tingkah laku manusia sebagai
faktor penentu efektifitas. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai
indikator variabel Efektifitas Kerja adalah :
1) Kemampuan menyesuaikan diri (keluwesan).
2) Prestasi Kerja
3) Kepuasan Kerja
38
1.1.4 Teori Model Efektivitas Kerja
Menurut Steers, (1985) ada empat model karakteristik variabel
yang mempengaruhi efektivitas kerja yaitu: karakteristik organisasi,
karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, dan karakteristik
kebijaksanaan dan manajemen. Terdapat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2.1
Teori Model yang Mempengaruhi Efektivitas Kerja
Sumber: Steers, Ricard M. 1985. Efektivitas Organisasi: Erlangga
Karakteristik Pekerja:
1. Pekerja (SDM)
Karakteristik Kebijaksanaan & Manajemen:
Azaz Organisasi
1. Pembagian kerja2. Wewenang &
tanggungjawab3. Disiplin4. Kesatuan perintah5. Kesatuan arah6. Kepentingan individu
dibawah kepentingan umum
7. Gaji pegawai8. Sentralisasi9. Rangkaian skala10. Ketertiban11. Keadilan12. Kestabilan masa kerja
pegawai13. Kesatuan jiwa korp
Efektivitas Kerja:
1. Kemampuan menyesuaikan diri
2. Kepuasan kerja3. Prestasi kerja4. Kamampuan berlaba5. Pencapaian sumber
daya
Karakteristik Lingkungan:1. Tingkat keterdugaan keadaan
lingkungan2. Ketepatan persepsi atas
keadaan lingkungan3. Tingkat rasionalitas
organisasi
Karakteristik Organisasi:
1. Struktur organisasi2. Teknologi organisasi
39
1.1.5 Pelayanan Keperawatan
1.1.5.1 Pengertian Pelayanan Keperawatan
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang
terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain
atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan,
pelayanan juga dapat diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan
orang lain (Hasyim, 2006).
Menurut Handerson (1980) dalam Ali (2002) pelayanan
keperawatan merupakan upaya untuk membantu individu baik yang
sakit maupun yang sehat, dari lahir sampai meninggal dunia dalam
bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
sehingga individu tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan
sehari-hari secara mandiri.
Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit
merupakan sistem pengelolaan asuhan keperawatan yang diberikan
kepada klien agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna,
keberhasilan pelayanan keperawatan akan menimbulkan
keberhasilan asuhan keperawatan. Pelayanan keperawatan berfokus
pada berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan klien melalui
intervensi keperawatan yang berlandaskan kiat dan ilmu
keperawatan (Nurrachmah, 2001).
40
1.1.5.2 Faktor yang mempangaruhi
Mutu pelayanan keperawatan Menurut Nurrachmah (2001)
kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat
inap maupun rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain
adanya:
a. Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal
ruang rawat.
b. Struktur organisasi lokal, mekanisme kerja (standar-standar) yang
dilakukan di ruang rawat.
c. Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas
maupun kualitas.
d. Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model
pendekatan kepada klien yang ditetapkan.
e. Tersediannya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung
pencapaian kualitas pelayanan yang diberikan.
f. Kesadaran dan motivasi dari seluruh tenaga keperawatan yang
ada
g. Komitmen dari pimpinan rumah sakit.
Menurut Djunaidi, dkk (2006) kepuasan terhadap
pelayanan yang diberikan dapat dilihat dari lima dimensi antara lain:
a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
41
b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan
pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan
yang telah dijanjikan.
c. Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan
tanggap.
d. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari
bahaya maupun resiko.
e. Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap
kebutuhan pelanggan.
1.1.6 Sintesis Efektifitas Kerja
Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa efektivitas
kerja adalah aktivitas jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan untuk
mencapai sasaran dan tujuan tertentu dengan tepat waktu sesuai yang telah
ditetapkan. Efektivitas kerja diukur dengan indikator motivasi, pengawasan,
disiplin kerja dan lingkungan kerja.
42
1.2. Motivasi Kerja
2.2.1 Definisi Motivasi
Dalam Notoatmodjo (2007) motif atau motivasi berasal dari kata
Latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak
atau berperilaku. Pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau
needs atau want. Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang
perlu ditanggapi atau direspon.
Menurut Hanafi (2003), motivasi adalah sesuatu yang mendorong
seseorang bertindak atau berperilaku tertentu. Motivasi membuat seseorang
menilai, melaksanakan dan mempertahankan kegiatan tertentu.
Menurut Nawawi (2005), motivasi adalah suatu kondisi yang
mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau
kegiatan yang berlangsung secara sadar. Motivasi dapat diartikan juga
sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat
persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik
yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Akhmad, 2008).
Motivasi sering kali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan
atau tenaga tersebut merupakan jiwa dan jasmani untuk berbuat mencapai
tujuan, sehingga motivasi merupakan suatu driving force yang menggerakan
manusia untuk bertingkah laku, dan didalam perbuatanya itu mempunyai
tujuan tertentu. Motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan proses
43
pemberian dorongan bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa
sehingga mereka mau bekerja ikhlas demi mencapai tujuan organisasi secara
efisien. (Harianja, 2009).
Menurut Hafizurrachman (2011) motivasi kerja adalah dorongan
dalam diri seseorang untuk melaksanakan pekerjaan didalam mencapai
tujuan organisasi.
Menurut Stoner (1986) motivasi adalah hal yang menyebabkan dan
mendukung perilaku seseorang. Motivasi merupakan unsur yang sangat
penting dalam memacu karyawan agar berbuat lebih baik dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi. Tanpa adanya motivasi seorang karyawan
tidak akan bekerja secara optimal karena ketiadaan dorongan bagi dirinya
dalam melaksanakan berbagai tugas yang akan dibebankan kepadanya.
Menurut Robbins (1996), motivasi kerja sebagai suatu kerelaan
untuk berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi
yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa
kebutuhan individu. Sementara Gibson (1987) menyebutkan motivasi kerja
merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang
menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Disimpulkan bahwa motivasi
kerja perawat adalah segala sesuatu yang mendorong perawat untuk
menunjukkan kesediaannya yang tinggi untuk berupaya mencapai tujuan
pelayanan rumah sakit dalam melakukan pelayanan asuhan keperawatan di
rumah sakit.
44
2.2.2 Indikator Motivasi yang Mempengaruhi Efektivitas Kerja
Menurut Handoko (2001) jika dilihat atas fungsi motivasi terbagi
atas motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu motivasi
yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah
ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Motivasi ekstrinsik yaitu
motivasi yang berfungsi dengan adanya faktor dorongan dari luar individu.
Teori motivasi lain dikembangangkan oleh Herzberg yang
merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.
Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan
organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit
dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara
kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan
model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Sumantri, 2012). Berdasarkan hasil
penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai
Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori
ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu
faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau
instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut
disatisfier atau ekstrinsic motivation (Handoko, 2000).
Teori Herzberg yang dikembangkan oleh Frederick Hesberg
melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor
intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-
45
masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar
diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja (Hasibuan,
2005). Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik yaitu tanggung
jawab, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, pengembangan dan kemajuan.
Motivasi ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang,
terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Faktor-faktor yang termasuk
dalam motivasi ekstrinsik adalah gaji, kebijakan, hubungan kerja,
lingkungan kerja, supervisi (Manullang, 2001)
2.2.2.1 Motivasi Instrinsik (Internal)
Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang timbul dari
dalam diri individu. Motivasi perawat meliputi karakteristik
individu, lama pekerjaan, tanggung jawab, penghargaan, pekerjaan
itu sendiri, pengembangan dan kemajuan.
a. Karakteristik Individu
Karakteristik individu dalam penelitian ini adalah segala
sesuatu ciri yang melekat pada individu baik ciri biologis
maupun ciri sosio demografinya. Adapun variabel yang
termasuk dalam karakteristik individu tersebut adalah umur,
jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan masa kerja.
1) Umur
Umumnya umur sangat mempengaruhi didalam
pelayanan pada pasien, karena hal tersebut merupakan suatu
46
ukuran untuk menilai tanggung jawab seseorang dalam
melakukan suatu kegiatan ataupun aktivitas (Hurlock, 1980).
Umur adalah jumlah tahun hidup perawat sejak lahir
sampai ulang tahun terakhir yang dihitung berdasarkan tahun.
Umumnya motivasi kerja meningkat sejalan dengan
peningkatan usia pekerja. Wexley (1977), mengemukakan
bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai motivasi kerja
relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua,
karena pekerja lebih muda belum berpijak pada realitas,
sehingga seringkali mengalami kekecewaan dalam bekerja.
Hal ini menyebabkan rendahnya motivasi kerja dan kepuasan
kerja.
Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang
semakin meningkat pula kedewasaan tehnisnya, demikian
pula psikologis serta menunjukkan kematangan jiwa. Usia
yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan
kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir
rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi terhadap
pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap
peningkatan motivasinya
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan. Perbedaan
jenis kelamin dapat berdampak terhadap perbedaan motivasi
47
kerja perawat. Shye (1991, dalam Ilyas, 1999)
mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan produktivitas
kerja antara perawat wanita dan perawat pria. Walupun
demikian jenis kelamin perlu diperhatikan karena sebahagian
besar tenaga keperawatan berjenis kelamin wanita dan
sebagian kecil berjenis kelamin pria. Pada pria dengan beban
keluarga tinggi akan meningkatkan jam kerja perminggu,
sebaliknya wanita dengan beban keluarga tinggi akan
mengurangi jam kerja perminggu.
3) Status Pernikahan
Status perkawinan seseorang turut pula memberikan
gambaran tentang cara, dan tehnik yang sesuai untuk
digunakan bagi perawat yang telah berkeluarga untuk
melakukan pekerjaan diluar rumah dibandingkan dengan
perawat yang tidak atau belum berkeluarga. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa karyawan yang telah berkeluarga
memiliki potensi untuk memperlihatkan motivasi yang
berbeda daripada yang belum berkeluarga.
4) Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang tinggi yang dimiliki seseorang akan
lebih mudah memahami suatu informasi. Sebaliknya dengan
pendidikan rendah sangat sulit menterjemahkan informasi
48
yang didapatkan, baik dari petugas kesehatan maupun dari
media- media lain.
Perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan
tinggi akan mewujutkan motivasi kerja yang berbeda
dengan pendidikan yang lebih rendah. Menurut Siagian
(1995) mengatakan bahwa latar belakang pendidikan
mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Tenaga
keperawatan yang berpendidikan tinggi motivasinya akan
lebih baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan
yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang
berpendidikan rendah. Perawat dengan pendidikan lebih
tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa
saran-saran yang bermanfaat terhadap manajer keperawatan
dalam upayanya meningkatkan motivasi perawat.
Hal serupa dikemukakan oleh Notoadmodjo (1993)
bahwa melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan
kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan
dalam bertindak. Simanjuntak (1985) mengatakan bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi
produktivitas kerjanya.
5) Masa Kerja
Kinerja masa lalu cenderung dihubungkan pada hasil
seseorang, semakin lama ia bekerja maka semakin terampil
49
dalam melaksanakan tugasnya sehingga senioritas dalam
bekerja akan lebih terfokus jika dibandingkan dengan orang
yang baru bekerja (Robbins, 1996).
Masa kerja adalah lamanya seseorang bekerja pada suatu
organisasi. Setiap organisasi pelayanan kesehatan
menginginkan turn overnya rendah dalam arti tenaga/
karyawan aktif yang lebih lama bekerja di rumah sakit
tersebut tidak pindah ke rumah sakit lain, sebab dengan turn
over yang tinggi menggambarkan kinerja rumah sakit
tersebut.
Siagian (1995), mengatakan bahwa semakin banyak
tenaga aktif yang meninggalkan organisasi dan pindah
keorganisasi lain mencerminkan ketidak beresan organisasi
tersebut. Lebih lanjut Siagian (1995) mengatakan bahwa
semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi
maka semakin tinggi motivasi kerjanya.
b. Pekerjaan itu sendiri (Beban Kerja)
Gillies (1994) menyatakan bahwa variasi tugas atau
jenis kegiatan yang meliputi kegiatan perawatan langsung
dan tindakan perawatan tidak langsung yang dilakukan oleh
perawat dapat meningkatkan kecakapan perawat dalam
menerapakan proses keperawatan. Selanjutnya variasi tugas
50
adalah jumlah jenis kegiatan lain yang dilakukan oleh
perawat diluar tugas yang berhubungan dengan kegiatan
proses keperawatan.
Beban kerja adalah upaya merinci komponen dan target
volume pekerjaan dalam satuan waktu dan satuan hasil
tertentu (Hasibuan, 1996). Beban kerja perawat merupakan
hal yang penting yang harus diketahui oleh pimpinan atau
manajer keperawatan dan perawat pelaksana dalam
melaksanakan tindakan keperawatan. Hal ini, karena
mempunyai kaitan erat dengan bebagai segi organisasi.
Beban kerja memeliki beberapa komponen menurut Gillies
(1994) yang meliputi: (1) Jumlah pasien yang dirawat perhari
atau perbulan atau pertahun, (2) Kondisi atau tingkat
ketergantungan pasien, (3) Rata-rata hari perawatan pasien,
(4) Pengukuran/ jenis kegiatan tindakan keperawatan
langsung dan tindakan keperawatan tidak langsung, (5)
Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus
dilakukan, (6) Rata-rata waktu yang diperlukan untuk
melaksanakan masing-masing kegiatan tindakan keperawatan
langsung dan kegiatan tindakan keperawatan tidak langsung.
c. Tanggung Jawab
Karakteristik pekerjaan adalah segala sesuatu ciri dan
sifat pekerjaan yang dilakukan individu dalam suatu
51
organisasi. Karakteristik pekerjaan dalam penelitian ini
mencakup tanggung jawab, variasi tugas, dan beban kerja.
Ketiga variabel tersebut diduga berpengaruh terhadap
motivasi kerja perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
Tanggung jawab adalah perilaku dan sikap untuk
melakukan tugas sesuai dengan harapan yang telah diberikan
oleh atasan. Melaksanakan asuhan keperawatan perawat
memikul tanggung jawab untuk memperhatikan hak pasien
seperti yang dijelaskan pada ayat 2 dan 4 pasal 53 Undang-
Undang Kesehatan No 23 tahun1992.
Menurut Ilyas (1999) bahwa tanggung jawab merupakan
kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan
pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat
waktu serta berani mengambil resiko untuk keputusan yang
dibuat atau tindakan yang dilakukan. Suatu tanggung jawab
dalam melaksanakan tindakan akan memperlihatkan ciri-ciri
sesuai yang diuraikan Ilyas (1999) sebagai berikut: (1) Dapat
menyelesaikan tugas dengan baik, (2) berada di tempat tugas
dalam semua keadaan yang bagaimanapun, (3)
mengutamakan kepentingan dinas dari kepentingan diri dan
golongan, (4) tidak berusaha melemparkan kesalahan yang
52
dibuatnya kepada orang lain, dan (5) berani memikul resiko
dari keputusan yang dibuatnya.
d. Pengembangan dan Kemajuan
Menurut As’ad (2000), menyatakan bahwa pelatihan
dimaksud untuk mempertinggi motivasi kerja karyawan
dengan mengembangkan cara- cara berpikir dan bertindak
yang tepat serta pengetahuan tentang tugas pekerjaan.
Dengan perkatan lain pelatihan dan pengembangan dapat
menambah keterampilan kerja karyawan.
Stoner (1993) mengatakan bahwa pelatihan dimaksudkan
untuk mempertahankan dan memperbaiki prestasi kerja yang
sedang berjalan. Menurut Green (1980) pelatihan merupakan
faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang
memungkinkan petugas dapat bekerja dengan baik. Selain
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan,
Green menegaskan bahwa diperlukan sarana yang
memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Notoatmodjo
(1993) mengatakan bahwa pelatihan juga dapat dipandang
sebagai salah satu metoda peningkatan mutu pegawai (Staf
Development).
Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pelatihan
adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan melalui
pelatihan sasaran belajar akan memperoleh pengalaman yang
53
akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan
mempunyai dua tujuan utama yaitu : (1) Meningkatkan
keterampilan pekerja agar dapat menutup kesenjangan antara
kecapan atau kemampuan pekerja dengan permitaan jabatan
dan (2) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dari
pekerja dalam mencapai tujuan organisasi.
e. Penghargaan
Penghargaan adalah sesuatu yang diberikan pada
perorangan atau kelompok jika mereka melakukan suatu
keulungan atau prestasi di bidang tertentu.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005),
penghargaan adalah suatu hasil yang meningkatkan kepuasan
dari kebutuhan individual. Sedangkan menurut Mulyadi dan
Setyawan (2001), sistem penghargaan berbasis kinerja
mendorong personel untuk mengubah kecenderungan mereka
dari semangat untuk memenuhi kepentingan sendiri ke
semangat untuk memenuhi tujuan organisasi.
Perawat hendaknya mendapat pengakuan dan
penghargaan yang wajar dan tulus. Semua orang memerlukan
pengakuan atas keberadaannya dan statusnya oleh orang lain.
Keberadaan dan status seseorang tercermin pada berbagai
lambang yang penggunanya sering di pandang sebagai hak
seseorang (Siagian, 1995).
54
Menurut Ranupandojo dan Husnan (1993) penghargaan
terhadap pekerjaan yang dijalankan, merupakan keinginan
dari kebutuhan egoistis, yang diwujudkan dalam pujian,
hadiah (dalam bentuk uang ataupun tidak).
2.2.2.2 Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan yang berasal
dari luar individu berpengaruh terhadap efektifitas kerja perawat,
yang meliputi gaji, kebijakan, lingkungan kerja, insentif, dan
supervisi.
a. Gaji
Gaji, jaminan kerja dan kondisi kerja hal yang mutlak harus
dipenuhi. Jika hal ini tidak memadai akan berakibat buruk
terhadap sikap seseorang. Seorang pegawai/karyawan yang bekerja
disebuah organisasi, baik diperusahaan swasta maupun instansi
pemerintah, tentunya berharap akan memperoleh penghasilan yang
cukup guna memenuhi kebutuhannya yang paling dasar atau primer
yaitu kebutuhan fisiologis atau kebutuhan untuk hidup terus seperti
kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan maupun untuk
berprestasi, afiliasi, kekuatan atau aktualisasi diri. Oleh karena itu
penghasilan yang dikenal dengan Imbalan/ kompensasi yang
menjadi hak setiap karyawan, menjadi faktor yang sangat penting
dalam kehidupan individu, sebagaimana pendapat para psikolog
55
yang menyatakan bahwa individu mempunyai banyak kebutuhan,
tetapi hanya sebagian yang dapat secara langsung dipuaskan
dengan uang, sedangkan kebutuhan lainnya dapat dipuaskan secara
tidak langsung dengan uang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 3 Tahun 1996, imbalan mencakup semua pengeluaran yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk pegawainya dan diterima atau
dinikmati oleh pekerja baik secara langsung, rutin atau tidak
langsung.
b. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja mencakup segala material dan rangsangan
di dalam dan di luar diri pribadi, baik yang bersifat psikologis,
sosial, dan budaya. Lingkungan sangat berperan pada pertumbuhan
dan perkembangan efektifitas dan kinerja seseorang.
Lingkungan kerja menyangkut ciri lingkungan fisik seperti
temperatur, kondisi penerangan, dan sistem sosial seperti: interaksi
sosial, dan suasana kerja. Semua aspek lingkungan berpengaruh
pada perilaku seseorang, pengembangan emosional, kesehatan
mental, dan motivasi kerja.
Fasilitas menjadi bagian dalam lingkungan kerja perawat.
Fasilitas merupakan ketersediaan sarana dan pra sarana yang
mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan di rumah sakit.
Azwar (1996) mengatakan bahwa sarana alat merupakan suatu
unsur dari organisasi untuk mencapai suatu tujuan, sarana termasuk
56
salah satunya adalah unsur-unsur pelayanan yang dibutuhkan
untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan.
Menurut Timpe (1992) menyebutkan bahwa sarana/fasilitas
kerja berhubungan dengan kinerja dan motivasi kerja, dimana
sarana diperlukan agar keterampilan petugas bisa dilaksanakan
sehingga motivasi petugas meningkat. Selanjutnya juga
dikemukakan bahwa penempatan sejumlah tenaga perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan perlu dikaitkan dengan rencana
penggunaan sarana atau peralatan. Selanjutnya Green (1980)
mengatakan bahwa diperlukan sarana dan fasilitas kerja yang
memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Menurut Simanjuntak
(1985), fasilitas/ sarana kerja diperlukan agar keterampilan yang
didapat petugas bisa dilaksanakan sehingga kinerja dan motivasi
petugas meningkat.
c. Supervisi
Menurut Azwar (1996), supervisi adalah adalah upaya yang
dilakukan manajemen terhadap pelaksanaan pekerjaan bawahan
melalui pengamatan secara langsung dan berkala sebagai informasi
untuk evaluasi dan perbaikan. Tujuan supervisi adalah untuk
melakukan orientasi kerja, melatih kerja, memimpin, memberi
arahan dan mengembangkan kemampuan personil. Fungsi supervisi
untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme
pelaksanaan kebijaksanaan diskripsi dan standar kerja. Supervisi
57
dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung, pada
supervisi modern diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan
agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai
perintah. Umpan balik dan perbaikan dapat dilakukan saat
supervisi.
Supervisi dapat juga dilakukan secara tidak langsung yaitu
melalui laporan baik tertulis maupun lisan, supervisor tidak melihat
langsung apa yang terjadi di lapangan sehingga mungkin terjadi
kesenjangan fakta. Umpan balik dapat diberikan secara tertulis.
Menurut Azwar (1996), manfaat supervisi adalah: (a) Dapat lebih
meningkatkan efektivitas kerja, (b) Peningkatan efektivitas kerja
erat kaitannya dengan makin meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan staf, serta makin terbinanya hubungan dan suasana
kerja yang lebih harmonis antara atasan dengan bawahan, (c)
Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja, (d) Peningkatan efisiensi
kerja erat hubungannya dengan makin berkurangnya kesalahan
yang dilakukan oleh bawahan, sehingga pemakaian sumber daya
yang sia-sia akan dapat dicegah.
d. Insentif
Insentif adalah salah satu jenis penghargaan yang dikaitkan
dengan prestasi kerja (Mutiara, 2002). Pemberian insentif
merupakan bayaran pokok untuk memotivasi para pegawai agar
58
lebih maju dalam pekerjaan dengan keterampilan dan tanggung
jawab yang lebih besar (Davis, 1995).
Insentif menurut Ilyas (2000) yang mengutip pendapat
siagian (1993) bahwa imbalan atau insentif erat kaitannya dengan
prestasi kerja seorang karyawan. Imbalan merupakan salah satu
faktor ekternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, disamping
faktor ekternal lainnya, seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok
kerja dimana seseorang bergabung dalam organisasi tempat bekerja
dan situsi lingkungan pada umumnya. Siagian (1995) berpendapat
bahwa insentif erat kaitannya dengan prestasi kerja seorang
karyawan. Insentif merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi motivasi seseorang, disamping faktor lainnya,
seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang
bergabung dalam organisasi tempat bekerja dan situasi lingkungan
pada umumnya.
Insentif merupakan motivator paling penting, untuk itu suatu
organisasi dituntut untuk dapat menetapkan kebijakan
imbalan/kompensasi yang paling tepat, agar kinerja petugas dapat
terus ditingkatkan sekaligus untuk mencapai tujuan dari organisasi.
Stoner (1986), menyatakan bahwa insentfi merupakan faktor
eksternal yang dapat meningkatkan motivasi kerja. Siagian (1995)
berpendapat bahwa imbalan erat kaitannya dengan prestasi kerja
seseorang. Notoadmodjo (1993) melalui achieve dimana incentive
59
baik material maupun non material akan mempengaruhi motivasi
kerja seseorang.
Indikator yang akan digunakan dalampenelitian tentang
motivasi adalah:
1. Karakteristik individu,
2. Tanggung jawab, dan
3. Insentif
2.2.2.3 Konsep Motivasi
Banyak para ahli dari berbagai disiplin ilmu merumuskan
konsep atau teori tentang motivasi dan beberapa konsep sebagai
dasar motivasi kerja.
2.2.2.4 Teori Abraham Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H.
Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia
mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :
1. Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti: rasa
lapar, haus, istirahat dan sex.
2. Kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik
semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual.
3. Kebutuhan akan kasih sayang (love needs)
4. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umunya
tercermin dalam berbagai simbol-simbol status.
60
5. Aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya
kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi
yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi
kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan
kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara
lain, misalnya dengan menggolongkan sebagai kebutuhan frimer,
sedangkan yang lainya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan
sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan
manusia itu, yang jelas bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan
manusia berbeda satu orang dengan yang lainya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan
manusia itu tidak hanya bersifat materi,akan tetapi bersifat
psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya
organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin
mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan
organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,
bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau
“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki
kebutuhan” yang dikemukakan oleh Maslow.
Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatkan, atau
secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki
61
suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama,
kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan
pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan
berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini
keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang,
pangan dan papan terpenuhi, yang ketiga tidak akan diusahakan
pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula
seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan
“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang
diperlukan karena pengalaman menunjukan bahwa usaha pemuasan
berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya,
sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang
bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai,
memerlukan teman serta ingin berkembang.
2.2.2.5 Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk
mencapai prestasi atau Need For Acievement yang
menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan
kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Menurut
Winardi (2000) bahwa kebutuhan akan prestasi tersebut
62
sebagai keinginan. Melaksanakan sesuatu tugas atau
pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau
mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide
melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan
seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku.
Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi.
Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu
menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan
kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.
Menurut McClelland karakteristik orang yang
berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga cara umum
yaitu : (1) sebuah referensi untuk mengerjakan tugas-tugas
dengan derajat kesulitan moderat, (2) menyukai situasi-situasi
dimana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka
sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik
tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan
dengan mereka yang berpestasi rendah.
2.2.2.6 Teori Clyton Alderfer (teori EGR)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim ERG. Akronim
“ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama
dari tiga istilah yaitu: E = Existence (kebutuhan akan
63
eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan
dengan pihak lain), dan G = Growth (kebutuhan akan
pertumbuhan).
Jika makna tiga istilah tersebut di dalami akan tampak
dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat
persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh
Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan
identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori
Maslow, “Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan
ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”
mengandung makna sama dengan “Self Actualization”
menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa
berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasanya secara serentak.
Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak
bahwa :
1. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu,
makin besar pula keinginan untuk memuaskanya.
2. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih
tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah
telah dipuaskan.
3. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang
64
tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk
memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat
pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari
keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada
kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain
memusatkan perhatianya kepada hal-hal yang mungkin
dicapainya.
2.2.2.7 Teori Herzberg ( Teori Dua Faktor)
Ilmuan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi
penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang
dikembangkannya dikenal dengan Model Dua Faktor dari
motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau
“pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional
adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya
intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang,
sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau
pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik
yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menetukan
perilaku seseorang dalam kehidupan.
65
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor
motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang,
keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan
dalan karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-
faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status
seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu
dengan atasanya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, sistem administrasi dalam organisasai, kondisi
kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan
teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor
mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan
seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang
bersifat ekstrinsik.
Ada sejumlah teori lain tentang motivasi kerja, yaitu
sebagai berikut :
1. Teori Keadilan (equity)
Teori ini menonjolkan kenyataan bahwa motivasi
seseorang mungkin dipengaruhi oleh perasaan seberapa baikkah
mereka diperlakukan didalam organisasi apabila dibandingkan
dengan orang lain. Kalau orang merasa perlakuan orang-orang
terhadapnya tidak sebaik perlakukan orang-orang itu terhadap
66
orang lain yang sebanding, kemungkinan besar orang itu kurang
terdorong untuk menampilkan kinerja yang baik.
2. Teori Sasaran (goal)
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa sasaran
orang ditentukan oleh cara mereka berperilaku dalam pekerjaan
dan jumlah upaya yang mereka gunakan. Ada indikasi bahwa
memiliki sasaran yang benar-benar jelas memang membantu
mendorong minat seseorang dan hal tersebut cenderung untuk
mendorong organisasi berupaya mengembangkan rencana
kinerja manajemen yang lengkap.
3. Teori perlambangan (attribution)
Teori ini menyatakan bahwa motivasi tergantung pada
faktor-faktor internal, seperti atribut pribadi seseorang dan
faktor-faktor luar yang mungkin berupa kebijakan organisasi,
derajat kesulitan pekerjaan yang ditangani dan sebagainya.
Berdasarkan teori-teori motivasi yang telah dikemukakan di
atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu kondisi
yang mendorong seseorang bertindak yang timbul oleh adanya
rangsangan dari dalam maupun dari luar sehingga seorang
perawat berkeinginan untuk dapat melakukan suatu aktivitas
atau tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dengan
sasaran sebagai berikut: (a) mendorong manusia untuk
melakukan suatu aktivitas yang didasarkan atas pemenuhan
67
kebutuhan. Dalam hal ini, motivasi merupakan motor penggerak
dari setiap kebutuhan yang akan dipenuhi, (b) menetukan arah
tujuan yang hendak dicapai, dan (c) menetukan perbuatan yang
harus dilakukan.
2.2.3 Intervensi Motivasi Kerja
Kebanyakan orang berpendapat bahwa gaji atau insentif adalah
alat yang paling ampuh untuk meningkatkan motivasi kerja, dan
selanjutnya dapat meningkatkan kinerja karyawan di suatu
organisasi kerja. Pendapat tersebut mungkin benar atau mungkin
salah, tetapi seandainya benar atau salah, tidak selalu benar atau
tidak selalu salah. Karena motivasi kerja terlalu banyak terlalu
banyak variabel penentunya, demikian juga kinerja karyawan
juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun demikian dalam
kenyataanya, dari banyak penelitian membuktikan bahwa faktor
gaji merupakan faktor yang dominan dalam mencapai kepuasan
kerja (job satisfaction) bagi seorang pegawai. Tanpa pembuktian
empiris pun sebenarnya secara logika, gaji bagi seorang
karyawan merupakan motivator yang penting karena:
a. Dengan gaji yang diterima oleh seorang karyawan,
memungkinkan karyawan tersebut untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara
fisik.
68
b. Apabila gaji yang diterima tersebut melebihi untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia, maka kelebihannya
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lain yang
lebih tinggi, misalnya untuk televisi, mobil, untuk rekreasi,
rumah mewah, dan sebagainya.
c. Dari gaji yang berlebih dapat digunakan oleh seseorang
untuk meningkatkan kedudukanya dalam masyarakat, untuk
mencapai aktualisasi diri dan prestise dalam masyarakat.
2.2.4 Sintesis Motivasi Kerja
Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa
motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong perawat atau
karyawan untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan untuk
mengadakan perubahan tingkah laku dalam mencapai tujuan.
Yang diukur dengan indikator intrinsik dan ekstrinsik,
diantaranya:
1.Karakteristik individu
2.Tanggung jawab
3.Insentif
3.1. Disiplin Kerja
2.3.1 Pengertian
Disiplin berasal dari bahasa latin Discere yang berarti belajar. Dari
kata ini timbul kata Disciplina yang berarti pengajaran atau pelatihan.
69
Sekarang kata disiplin mengalami perkembangan makna dalam beberapa
pengertian. Pertama, disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peraturan
atau tunduk pada pengawasan, dan pengendalian. Kedua disiplin sebagai
latihan yang bertujuan mengembangkan diri agar dapat berperilaku tertib.
Siagian dalam Hasibuan (2003) menyatakan bahwa disiplin kerja
adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku
seseorang, kelompok masyarakat berupa ketaatan (obedience) terhadap
peraturan, norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Gie dalam
Hasibuan (2003) disiplin diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana
orang-orang tergabung dalam organisasi tunduk pada peraturan yang telah
ditetapkan dengan senang hati orang/sekelompok orang. Kedisiplinan
adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan
perusahaan/lembaga dan norma sosial yang berlaku. Dari beberapa
pendapat itu dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah sikap ketaatan
dan kesetiaan seseorang/sekelompok orang terhadap peraturan tertulis /tidak
tertulis yang tercermin dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan pada suatu
organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Tujuan disiplin baik kolektif maupun perorangan yang sebenarnya
adalah untuk mengarahkan tingkah laku pada realita yang harmonis. Untuk
menciptakan kondisi tersebut, terlebih dahulu harus diwujudkan keselerasan
antara hak dan kewajiban pegawai/karyawan. Menurut Davis (2004) bahwa,
“Disiplin adalah suatu tindakan manajemen memberikan semangat kepada
pelaksanaan standar organisasi, ini adalah pelatihan mengarah kepada
70
upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan dan prilaku
petugas sehingga ada kedisiplinan pada diri petugas, untuk menuju pada
kerjasama dan prestasi yang lebih baik”. Disiplin adalah kondisi kendali diri
karyawan dan prilaku tertib yang menunjukkan tingkat kerjasama tim yang
sesungguhnya dalam suatu organisasi. Salah satu aspek hubungan internal
kekaryawanan yang penting namun sering kali sulit dilaksanakan adalah
penerapan tindakan disipliner oleh Mondy (2008).
Kamus umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta (1982)
disiplin diartikan sebagai (a) latihan batin dan watak dengan maksud supaya
segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib, (b) ketaatan pada aturan dan
tata tertib. Dengan kata lain disiplin adalah suatu sikap dan perbuatan untuk
selalu menaati tata tertib. Disiplin kerja adalah suatu bentuk tindakan
manajemen untuk menengakkan standar-standar organisasi (Davis &
Newstrom, 1985).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Gibson (2006) bahwa disiplin
adalah penggunaan beberapa hukuman atau sanksi jika karyawan
menyimpang dari peraturan. Disiplin (discipline) adalah bentuk
pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan
tingkat kesungguhan tim kerja dalam suatu organisasi (Simamora, 1995).
Menurut Nitisemito (1982) bahwa kedisiplinan bukan hanya menyangkut
masalah kehadiran yang tepat waktu di tempat kerja namun lebih tepat
diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai
dengan peraturan dari perusahaan baik tertulis maupun tidak. Jadi,
71
kedisiplinan dalam suatu perusahan dapat ditegakkan bilamana sebagian
besar peraturan-peraturannya ditaati oleh sebagian besar karyawan.
Disiplin kerja akan membawa dampak positif bagi karyawan
maupun organisasi. Disiplin yang tinggi akan membuat karyawan
bertanggungjawab atas semua aspek pekerjaannya dan meningkatkan
prestasi kerjanya yang berarti akan meningkatkan pula efektivitas dan
efisiensi kerja serta kualitas dan kuantitas kerja. Disiplin adalah kesadaran
dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-
norma sosial yang berlaku. Adapun arti kesadaran adalah sikap seseorang
yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan
tanggungjawabnya. Sedangkan kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku
dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik
yang tertulis maupun tidak (Hasibuan, 1994).
Siswanto (dalam Hapsari, 1998) disiplin adalah suatu sikap
menghormati, menghargai, patuh dan taat pada peraturan-peraturan yang
berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankan
dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar
tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Berdasarkan pemahaman di
atas, maka pengertian disiplin kerja merupakan kesadaran dan kesediaan
seseorang untuk menaati peraturan perusahaan atau organisasi baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis dan tidak mengelak untuk menerima
sanksi apabila melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.
Sehingga hal ini membuat karyawan bertanggungjawab atas semua aspek
72
pekerjaannya dan meningkatkan prestasi kerjanya yang berarti akan
meningkatkan pula efektivitas dan efisiensi kerja serta kualitas dan kuantitas
kerja.
Heidjrachman dan Husnan (2002: 15) mengungkapkan “Disiplin
adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya
kepatuhan terhadap perintah” dan berinisiatif untuk melakukan suatu
tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah”. Kedisiplinan
adalah fungsi operatif keenam dari Manajemen Sumber Daya manusia.
Kedisiplinan ini merupakan fungsi operatif Manajemen Sumber Daya
Manusia yang terpenting, karena semakin baik disiplin karyawan, semakin
tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan, yang
baik, sulit bagi organisasi perusahaan mencapai basil yang optimal.
2.3.2 Nilai-Nilai Dalam Disiplin Kerja
Menurut Handoko, (2001) menyatakan ada beberapa hal yang dapat
dipakai, sebagai indikasi tinggi rendahnya kedisiplinan kerja karyawan,
yaitu ketepatan waktu, kepatuhan terhadap atasan, peraturan terhadap
perilaku terlarang, ketertiban terhadap peraturan yang berhubungan
langsung dengan produktivitas kerja. Robbins (2001) mengemukakan tipe
permasalahan dalam kedisiplinan, antara lain kehadiran, perilaku dalam
bekerja (dalam lingkungan kerja), ketidak jujuran, dan aktivitas di luar
lingkungan kerja.
Gibson (2001) mengemukakan beberapa perilaku karyawan tidak
disiplin yang dapat dihukum adalah keabsenan, kelambanan, meninggalkan
73
tempat kerja, mencuri, tidur ketika bekerja, berkelahi, mengancam
pimpinan, mengulangi prestasi buruk, melanggar aturan dan kebijaksanaan
keselamatan kerja, pembangkangan perintah, memperlakukan pelanggaran
secara tidak wajar, memperlambat pekerjaan, menolak kerja sama dengan
rekan, menolak kerja lembur, memiliki dan menggunakan obat-obatan
ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata
kotor, pemogoan secara ilegal.
Beberapa pengertian di atas, disiplin terutama ditinjau dari perspektif
organisasi, dapat dirumuskan sebagai ketaatan setiap anggota organisasi
terhadap semua aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, yang
terwujud melalui sikap, perilaku dan perbuatan yang baik sehingga tercipta
keteraturan, keharmonisan, tidak ada perselisihan, serta keadaan-keadaan
baik lainnya. Untuk menciptakan disiplin kerja dalam organisasi atau
perusahaan dibutuhkan adanya tata tertib atau peraturan yang jelas,
penjabaran tugas dari wewenang yang cukup jelas dan tata kerja yang
sederhana, dan mudah diketahui oleh setiap anggota dalam organisasi.
2.3.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja menurut Steers
(1985), Harris (1994) dan Nitisemito (1982) (dalam Suharsih, 2001) secara
umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor dari dalam individu dan
faktor dari luar individu.
74
1. Faktor dari dalam individu meliputi: kepribadian, semangat kerja,
motivasi kerja intrinsik serta kepuasan kerja.
2. Faktor dari luar individu meliputi : motivasi kerja ekstrinsik, kepuasan
kerja, kepemimpinan, lingkungan kerja dan tindakan indisipliner yang
diberikan. Kepribadian dari para karyawan menentukan perilaku disiplin
kerja.
Penelitian Yuspratiwi (1990), menemukan bahwa individu yang
memiliki locus of control internal lebih mampu mengontrol waktunya, lebih
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan lebih menunjukkan performansi
kerja yang lebih baik pada situasi yang kompleks. Selain itu faktor
kepribadian juga akan berpengaruh pada persepsi karyawan terhadap gaya
kepemimpinan atasan, bagaimana atasan memperlakukan karyawannya akan
dinilai secara langsung oleh karyawan. Persepsi tersebut dapat
mempengaruhi performansi kerja seseorang, dalam hal ini disiplin kerja diri
karyawan (Spriegel dalam Yuspratiwi,1990).
Disiplin kerja dapat pula terbentuk bila karyawan benar- benar
mampu mempunyai semangat kerja yang tinggi, apabila terdapat semangat
kerja diantara karyawan, dapat diharapkan tugas yang diberikan kepada
mereka akan dilakukan dengan baik dan cepat, Harris (dalam Suharsih
2001). Dengan adanya semangat kerja yang tinggi maka akan timbul
kesetiaan, kegembiraan, kerja sama, dan ketaatan atau disiplin terhadap
peraturan-peraturan perusahaan.
75
Faktor motivasi kerja dan kepuasan kerja juga sangat mempengaruhi
disiplin kerja. Motivasi kerja dan kepuasan kerja dimasukkan sebagai faktor
dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu. Motivasi kerja
intrinsik dalam hal ini yaitu adanya perasaan bangga dari dalam diri
individu terhadap pribadi dan organisasi tempat dia bekerja sehingga hal ini
akan membangun kepercayaan diri karyawan, karyawan sendiri akan secara
sukarela melaksanakan apa yang menjadikewajibannya di perusahaan
tersebut. Sedangkan untuk motivasi kerja ekstrinsik yaitu adanya
penghargaan dan pujian dari atasan, hal ini bisa dijadikan sebagai reward
untuk bekerja lebih baik. Penghargaan dan pujian tersebut akan mendorong
karyawan untuk bekerja secara maksimal dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan dan aturan-aturan yang berlaku di dalam perusahaan, Soejono dan
Djono(dalam Suharsih, 2001). Kepuasan kerja sendiri juga mempengaruhi
disiplin kerja seorang karyawan. Kepuasan kerja yang berasal dari dalam
diri individu yaitu arti dari pekerjaan itu sendiri bagi karyawan. Dengan
adanya kepuasan kerja yang tumbuh dalam diri individu membuat karyawan
lebih giat bekerja secara suka rela tanpa adanya paksaan. Faktor dari luar
individu berupa gaji yang cukup maka akan mendorong karyawan untuk
meningkatkan disiplin kerjanya (Wexley & Yukl dan Davis & Newstrom
dalam Hapsari, 1998).
Faktor lain yang merupakan faktor dari luar individu berupa
kepemimpinan, dimana keteladanan pimpinan mempunyai pengaruh yang
sangat besar dan memberi efek yang positif dalam menengakkan disiplin.
76
Ketika karyawan dituntut untuk menaati peraturan maka pimpinan
diharapkan juga mentaati peraturan yang berlaku. Ketaatan pimpinan ini
akan menjadi contoh untuk diikuti karyawan (Nitisemito,1982).
Lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap perilaku disiplin kerja.
Lingkungan kerja yang berpengaruh pada perilaku disiplin kerja dapat
dikatakan sebagai lingkungan dalam organisasi yang menciptakan
lingkungan cultural dan sosial tempat berlangsungnya kegiatan organisasi.
Lingkungan selain memberikan rangsangan terhadap individu untuk
berperilaku, termasuk perilaku tidak disiplin, juga memberikan tekanan
terhadap individu seperti tuntutan yang berlebihan dari lingkungan (rekan
kerja, organisasi, pekerjaan masyarakat, dan sebagainya). Lebih jauh hal ini
dapat membawa pada situasi yang merangsang timbulnya perilaku tidak
patuh, melanggar aturan, dan kurangnya rasa tanggungjawab (Steers, 1985).
Usaha meningkatkan disiplin juga diperlukan kebiasan yang terus
menerus. Tindakan tegas untuk setiap tindakan indisipliner diperlukan untuk
membentuk disiplin kerja. Tindakan indisipliner bukan semata-mata berupa
hukuman tetapi lebih ditekankan agar karyawan melakukan kebiasaan yang
dianggap baik oleh perusahaan. Hal ini bisa menjadi pendamping
peningkatan kesejahteraan sehingga diharapkan pencapaian disiplin akan
lebih berhasil (Nitisemito, 1982).
Penegakan disiplin/tindakan indisipliner dapat dibagi menjadi dua
yaitu positif dan negatif. Tindakan disiplin positif adalah dengan diberi
nasehat untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Sedangkan tindakan
77
disiplin yang negatif adalah dengan cara-cara (a) memberikan peringatan
lisan, (b) memberikan peringatan tertulis, (c) dihilangkan sebagai haknya,
(d) didenda, (e) dirumahkan sementara, (f) diturunkan pangkatnya, (g)
dipecat. Urutan-urutan tindakan disiplin negatif ini disusun berdasarkan
tingkat kekerasannnya dari yang paling lunak sampai yang paling berat
(Ranupandojo dan Husnan, 1990).
Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan
perilaku jika dilihat dari formula Kurt Lewin adalah interaksi antara faktor
kepribadian dan faktor lingkungan (situasional).
1. Faktor Kepribadian
Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai
yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan
disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau
ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai
kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan
terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam
perilaku. menurut Brigham (2000), perubahan sikap ke dalam perilaku
terdapat tiga tingkatan yaitu :
a. Disiplin karena kepatuhan
Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan
takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk
mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki
78
wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat disiplin kerja
tidak tampak.
b. Disiplin karena identifikasi
Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya
perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang
kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat
identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan-
aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut
tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa
tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan
penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena
kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas profesional
yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka
disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.
c. Disiplin karena internalisasi
Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai
sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan.
Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri.
2. Faktor Lingkungan
Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan
suatu proses belajar yang terus-menerus. Proses pembelajaran agar dapat
efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu
memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil bersikap positif, dan terbuka.
79
Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu
ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah
sistem aturan tersebut.
Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan
tidak membeda-bedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap
pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan dibuktikan terlebih
dulu, selama fakta dan bukti belum ditemukan, tidak ada alasan bagi
pemimpin untuk menerapkan tindakan disiplin. Dengan bersikap positif,
diharapkan pemimpin dapat mengambil tindakan secara tenang, sadar, dan
tidak emosional.
Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-
nilai dan komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya
sangsi dan hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila
aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan.
2.3.4 Proses Pembentukan Disiplin Kerja
Ada dua jenis disiplin kerja berdasarkan terbentuknya yaitu disiplin
diri dan disiplin kelompok (Helmi, 1996).
a) Disiplin diri
Disiplin diri merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang atas
prakarsa sendiri dalam melaksanakan tugas. Disiplin diri menurut Jasin
(dalam Helmi, 1996) merupakan disiplin yang dikembangkan atau
dikontrol oleh diri sendiri berwujud pada kontrol terhadap tingkah laku
80
yang berupa ketaatan terhadap peraturan baik yang ditetapkan sendiri
maupun oleh pihak lain.
Davis & Newstrom (1985) mengungkapkan bahwa pembentukan
disiplin pribadi merupakan tujuan disiplin preventif yang ditetapkan
oleh organisasi sehingga disiplin diri ditujukan pula demi pencapaian
tujuan organisasi. Disiplin diri pada tiap karyawan bila telah tumbuh
dengan baik akan merupakan kebanggaan bagi setiap organisasi, karena
pengawasan yang terus menerus tidak dibutuhkan lagi. Melalui disiplin
diri, karyawan-karyawan merasa bertanggungjawab dan dapat mengatur
diri sendiri untuk kepentingan organisasi.
Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari
keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menjunjung
disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru atau pun
masyarakat merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya
disiplin diri. Penanaman nilai-nilai disiplin dapat berkembang apabila
didukung oleh situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi yang
diwarnai perlakuan yang konsisten dari orang tua, guru atau pimpinan.
Selain itu, orang tua, guru dan pimpinan yang berdisiplin tinggi
merupakan model peran yang efektif bagi berkembangnya disiplin diri.
Disiplin diri sangat besar perannya dalam mencapai tujuan
organisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan selain menghargai
dirinya sendiri juga menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan
mengerjakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan, pada
81
dasarnya karyawan telah sadar melaksanakan tanggungjawab yang telah
dipikulnya. Hal itu berarti karyawan sanggup melaksanakan tugasnya.
Pada dasarnya ia menghargai potensi dan kemampuannya. Disisi
lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkannya disiplin diri akan
memperlancar kegiatan yang bersifat kelompok. Apalagi jika tugas
kelompok tersebut terkait dalam dimensi waktu; suatu proses kerja yang
dipengaruhi urutan waktu pengerjaannya. Ketidakdisiplinan dalam
suatu bidang kerja akan menghambat bidang kerja lain.
b) Disiplin kelompok
Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individual
semata. Selain disiplin diri masih diperlukan disiplin kelompok.
Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam
diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang
optimal jika masing- masing anggota kelompok dapat memberikan
andil yang sesuai dengan hak dan tanggungjawabnya. Karyawan juga
dituntut untuk mampu mengatur sikap dan perilaku yang sesuai dengan
peraturan kerja sehingga hal ini menjadi sarana untuk mempertahankan
eksistensi organisasi.
Pimpinan juga bertanggungjawab untuk menciptakan iklim
organisasi dalam rangka pendisiplinan preventif. Dalam upaya ini
pimpinan berusaha agar karyawan mengetahui dan memahami standar
yang berlaku, karena apabila karyawan tidak mengetahui standar yang
82
diharapkan untuk mereka lakukan, perilaku mereka cenderung tidak
menentu dan salah arah.
Kedisiplinan tidak lahir dengan sendirinya. Disiplin lahir, tumbuh
dan berkembang melalui akumulasi pengalaman dan proses sosialisasi.
Disiplin dibangun dari kepribadian yang matang dan identifikasi
terhadap norma-norma kelompok masyarakat. Norma kelompok
berfungsi menegakkan disiplin melalui fungsi pengawasan dan kontrol
sosial disebut dengan pengawasan ekternal yaitu berupa pengawasan
pimpinan, orang tua atau teman sekerja.
Pengawasan internal datang dari dalam individu dan menghasilkan
kontrol diri. Oleh karena itu kontrol diri mempunyai peran penting
dalam membangun disiplin secara internal. Kontrol diri dibutuhkan
untuk mengaktifkan proses pendisiplinan (Davis & Newstrom, 1985).
Kaitan antara disiplin diri dan disiplin kelompok dilukiskan oleh Jasin
(dalam Helmi, 1996) seperti dua sisi dari satu mata uang. Keduanya
saling melengkapi dan menunjang sifatnya komplementer. Disiplin diri
tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin
kelompok. Sebaliknya, disiplin kelompok tidak dapat ditegakkan tanpa
adanya dukungan disiplin pribadi.
83
Menurut Handoko (2001), kegiatan pendisiplinan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu preventif dan korektif.
a. Disiplin Preventif
Preventive discipline merupakan tindakan yang diambil untuk
mendorong para pekerja mengikuti atau mematuhi norma-norma dan
aturan-aturan sehingga pelanggaran tidak terjadi. Tujuannya adalah
untuk mempertinggi kesadaran pekerja tentang kebijaksanaan dan
peraturan pengalaman kerjanya. Sasaran pokoknya adalah untuk
mendorong disiplin diri, diantara para karyawan. Manajemen
mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan suatu iklim disiplin
preventif, dimana berbagai standar diketahui dan dipahami. Bila
karyawan tidak mengetahui standar-standar apa yang harus dicapai,
mereka cenderung salah arah. Selain itu mereka juga perlu mengetahui
alasan-alasan yang melatar belakangi suatu standar agar mereka dapat
memahaminya.
b. Disiplin Korektif
Corrective discipline merupakan suatu tindakan yang mengikuti
pelanggaran dari aturan-aturan, hal tersebut mencoba untuk
mengecilkan pelanggaran lebih lanjut sehingga diharapkan untuk
perilaku dimasa mendatang dapat mematuhi norma-norma peraturan.
Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk hukuman yang disebut
sebagai tindakan pendisiplinan. Sebagai contoh peringatan atau scoring.
84
Tujuan tindakan pendisiplinan hendaknya positif, mendidik dan
memperbaiki, bukan tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang
berbuat salah. Maksud pendisiplinan adalah untuk memperbaiki
kegiatan dimasa yang akan datang, bukan menghukum kegiatan dimasa
lalu. Pendekatan negatif yang bersifat menghukum, biasanya
mempunyai berbagai pengaruh sampingan yang merugikan, seperti
hubungan emosional terganggu, absensi meningkat, apatis, kelesuan
dan ketakutan.
Disiplin hendaknya dilakukan dengan peringatan segera, konsisten
dan tidak bersifat pribadi. Selain itu para manajer hendaknya
mempertimbangkan perasaan karyawan dalam tindakan pendisiplinan,
yaitu melalui pelaksanaan disiplin secara pribadi, bukan didepan orang
banyak atau para karyawan lain.
c. Disipline Progresif
Disiplin progresif adalah memberikan hukuman-hukuman yang
lebih berat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berulang dengan
tujuan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil
tindakankorektif, sebelum hukuman-hukuman yang lebih serius
dilaksanakan. Disiplin progresif juga memungkinkan manajemen untuk
membantu karyawan agar memperbaiki kesalahan, yang prosedurnya
dilakukan sebagai berikut:
1) Peringatan lisan
85
Langkah ini dilakukan, dengan menjelaskan tentang apa yang
sudah dilanggar dan apa yang harus dilakukan. Pernyataan
seharusnya bersifat khusus dan dikaitkan dengan peraturan-
peraturan yang telah dilanggar, atau suatu pedoman yang tidak
dapat dicapai oleh karyawan. Selain itu, teguran/ peringatan
tersebut, juga menunjukkan bukti-bukti yang harus dilakukan bila
mungkin. Sebaiknya dibuat catatan-catatan tentang peringatan ini.
2) Peringatan tertulis
Tindakan ini ditempuh, jika prestasi atau perilaku tidak
membaik, setelah diberikan teguran secara lisan. Disini kembali
diberikan penegasan mengenai pokok-pokok permasalahan, yang
dikaitkan dengan peraturan-peraturan yang dicapai dan
mengingatkan karyawan, tentang teguran lisan yang telah
diberikan. Teguran tertulis dalam bentuk surat dan jika tidak ada
perbaikan juga, maka diberikan batas waktu, yang diharapkan
untuk melakukan suatu tindakan perbaikan.
3) Peringatan terakhir
Tindakan ini diambil, jika surat teguran atau peringatan
tertulis tidak berhasil dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Dalam surat ini menyatakan akibat yang akan timbul, jika
masalahnya berkelanjutan dan memberikan peringatan tindakan-
tindakan disiplin yang akan diambil, seperti penurunan jabatan atau
bahkan pemecatan, bila masalahnya tidak bisa diatasi.
86
2.3.5 Aspek-aspek Disiplin kerja
Aspek-aspek yang terdapat dalam disiplin kerja berdasarkan dari
definisi disiplin kerja menurut Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari,
1998) dan Nitisemito (1982) antara lain:
a) Aspek pemahaman terhadap peraturan yang berlaku
Sebelum mematuhi suatu peraturan perlu diketahui apakah karyawan
sudah mengetahui atau memahami standar atau peraturan dengan jelas.
Seorang karyawan menunjukkan kedisiplinan yang baik bila perilakunya
menunjukkan usaha-usaha untuk memahami secara jelas suatu
peraturan, berarti karyawan secara proaktif berusaha mendapatkan
informasi tentang peraturan sehingga karyawan akan rajin mengikuti
briefing, membaca pengumuman atau menanyakan ketidakjelasan suatu
peraturan.
b) Aspek kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan standar
Karyawan mempunyai disiplin tinggi jika tidak memiliki catatan
pelanggaran selama kerjanya, mentaati suatu peraturan tanpa ada
paksaan dan secara sukarela dapat menyesuaikan diri dengan aturan
organisasi yang telah ditetapkan. Senantiasa menghargai waktu sehingga
membuat bekerja tepat waktu, tahu kapan memulai dan mengakhiri
suatu pekerjaan, tahu membedakan kapan waktu istirahat dan kapan
waktu bekerja serius, menyelesaikan suatu pekerjaan yang telah
87
ditetapkan merupakan contoh dari bentuk-bentuk kepatuhan terhadap
aturan standar.
c) Aspek pemberian hukuman jika terjadi pelanggaran
Disiplin sering dikonotasikan sebagai hukuman namun tidak semua
ketentuan disiplin berbentuk hukuman. Hukuman hanya diberikan ketika
seseorang karyawan melakukan pelanggaran. Pemberian hukuman juga
dilakukan sesuai jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Lateiner dan Lavine (1985) mengemukakan kurang lebih sama seperti
Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998) dan Nitisemito (1982)
bahwa aspek disiplin kerja karyawan diantaranya:
a) Bahwa umumnya disiplin yang sejati terdapat apabila para karyawan
datang ke kantor dengan teratur dan tepat pada waktunya.
b) Berpakaian seragam di tempat kerja.
c) Menggunakan bahan dan perlengkapan dengan hati-hati.
d) Menghasilkan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang memuaskan.
e) Mengikuti cara bekerja yang ditentukan oleh kantor atau perusahaan dan
menyelesaikan pekerjaan dengan semangat yang baik.
Dalam Anoraga & Suyati (1995) juga ada kesamaan seperti yang
diungkapkan oleh Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998) dan
Nitisemito (1982) serta Lateiner dan Lavine (1985). Menurut Anoraga &
Suyati (1995) untuk mengetahui tingkat kedisiplinan kerja yang baik yaitu :
a) Kepatuhan tenaga kerja pada jam-jam kerja.
88
b) Kepatuhan tenaga kerja terhadap perintah atasan serta tata tertib yang
berlaku.
c) Penggunaan dan pemeliharaan bahan-bahan dan alat kantor dengan hati-
hati.
d) Bekerja dengan mengikuti cara-cara kerja yang telah ditetapkan telah
organisasi atau perusahaan
Anoraga & Suyati (1995) hanya menambahkan yaitu berkaitan
dengan kegairahan kerja. Menurut Anoraga & Suyati (1995), kegairahan
kerja termasuk salah satu faktor yang penting di dalam bekerja. Tenaga
kerja yang sudah tidak mempunyai gairah dalam bekerja akan malas dalam
bekerja sehingga hasilnya kurang optimal. Tugas dari organisasi atau
perusahaan adalah membuat perubahan-perubahan agar tenaga kerjanya
tidak merasa jenuh dalam bekerja. Perubahan-perubahan yang dibuat
hendaknya berdampak positif bagi kinerja karyawan.
2.3.6 Konsep Disiplin Kerja dalam Manajemen Keperawatan
Para Perawat dituntut untuk dapat melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya lebih profesional, yang berarti perawat yang
mempunyai pandangan untuk selalu berfikir, kerja keras, bekerja sepenuh
waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi. Untuk itu,
diperlukan adanya pembinaan dan ditumbuhkan kesadaran juga kemampuan
kerja yang tinggi. Dalam menjalankan aktifitas sebagai seorang perawat
bertanggung jawab untuk menjalankan kegiatannya sesuai standar
89
keperawatan. Suatu tindakan perawat yang tidak disiplin akan menimbulkan
kelalaian atau malpraktik, dan dapat dituntut di pengadilan.
2.3.7 Indikator Disiplin
Aspek-aspek disiplin kerja berdasarkan dari teori Alfred R. Lateiner
dan I. E. Lavine (1985), Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998)
dan Nitisemito (1982) sebagai berikut:
a) Disiplin terhadap peraturan-peraturan
Disiplin terhadap peraturan-peraturan dapat diartikan sebagai ketaatan
karyawan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan
kerjanya, hal ini meliputi peraturan yang tertulis maupun yang tidak
tertulis. Disiplin ini dapat berupa ketaatan untuk memberitahukan bila
tidak masuk kerja, berpakaian sesuai dengan ketentuan, ketaatan dalam
menggunakan alat-alat perlengkapan yang ada.
b) Disiplin Waktu
Disiplin waktu dapat diberi pengertian sebagai ketaatan karyawan
terhadap waktu kerja. Hal ini meliputi ketaatan karyawan terhadap jam
masuk kerja, jam pulang kerja dan kehadiran di tempat kerja.
c) Disiplin terhadap tugas dan tanggung jawab
Disiplin terhadap tugas dan tanggung jawab ini dapat diberi pengertian
sebagai ketaatan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung
90
jawab yang dibebankan kepadanya. Hal ini meliputi ketaatan karyawan
untuk mematuhi cara-cara kerja yang telah ditentukan, menerima tugas
yang dibebankan dan ketaatan untuk menyelesaikan setiap tugas.
d) Menerima sanksi-sanksi apabila melanggar peraturan dan juga apabila
melanggar tugas dan wewenang yang diberikan. Hal ini diberi
pengertian bahwa karyawan yang melanggar peraturan-peraturan yang
telah ditetapkan organisasi ataupun tidak menyelesaikan tugas dan
tanggung jawab yang diembannya akan diberikan sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Berdasarkan hal yang tersebut diatas maka indikator dalam penelitian
yaitu:
1. Disiplin tingkah laku (peraturan),
2. Disiplin waktu, dan
3. Disiplin tugas
2.3.8 Sintesis Disiplin
Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa disiplin
adalah suatu bentuk kesadaran dan kesediaan seseorang (perawat)
untuk taat pada peraturan organisasi baik yang tertulis atau tidak
tertulis serta bersedia menerima sanksi apabila melanggar tugas dan
wewenang yang diberikan kepadanya. Disiplin diukur dengan
indikator, diantaranya:
1. Disiplin tingkah laku (peraturan)
2. Disiplin waktu
91
3. Disiplin tugas
2.4 Lingkungan Kerja
2.4.1 Pengertian Lingkungan Kerja
Menurut Mardiana (2005) “Lingkungan kerja adalah lingkungan
dimana pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari”. Lingkungan kerja
yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai
untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi
pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja,
maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan
aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis
prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut mencakup
hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pegawai dan hubungan kerja
antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja.
Menurut Nitisemito (2001) ”Lingkungan kerja adalah segala sesuatu
yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugastugas yang diembankan”.
Lingkungan kerja banyak didefinisikan oleh para ahli, beberapa
diantaranya adalah Menurut Nitisemito (2000:183), lingkungan kerja adalah
segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan.
Definisi mengenai lingkungan kerja juga dikemukakan oleh
Sedarmayanti (2001:1) lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas
92
dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja,
metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan
maupun sebagai kelompok dapat ditarik kesimpulannya bahwa kondisi
lingkungan kerja baik akan menunjang produktivitas karyawan yang pada
akhirnya berdampak pada kenaikan tingkat kinerja karyawan.
Swastha dan Sukotjo (2004:26-27) menyatakan lingkungan
perusahaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari faktor-faktor ekstern
yang mempengaruhi baik organisasi maupun kegiatannya. Sedangkan arti
lingkungan kerja secara luas mencakup semua faktor-faktor ekstern yang
mempengaruhi individu, perusahaan, dan masyarakat.
Sedangkan Heijrachman dan Husnan (1997:34) menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan pengaturan lingkungan kerja adalah pengaturan
penerangan tempat kerja, pengontrolan terhadap suara gaduh dalam pabrik,
pengontrolan terhadap udara, pengaturan kebersihan tempat kerja, dan
pengaturan tentang keamanan kerja.
Menurut Sedarmayanti (2001:21), lingkungan kerja fisik adalah semua
keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Lingkungan kerja fisik adalah sesuatu yang berada di sekitar para
pekerja yang meliputi cahaya, warna, udara, suara, serta musik yang
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang dibebankan
(Moekijat, 1995:135).
93
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan lingkungan kerja fisik adalah keadaan di sekitar kantor
atau tempat bekerja seperti penerangan, warna, udara, musik, kebersihan
dan keamanan yang mempengaruhi karyawan dalam menjalankan tugas-
tugasnya atau pekerjaannya.
Menurut Sedarmayanti (2001:31), lingkungan kerja non fisik adalah
semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik
hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun
hubungan dengan bawahan, Lingkungan non fisik ini juga merupakan
kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan. Sedangkan menurut
Nitisemito (2000:171) perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi
yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan, maupun yang
memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya
diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik dan
pengendalian diri.
Pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan lingkungan kerja non fisik adalah keadaan di dalam tempat bekerja
yang mencerminkan hubungan antara atasan dengan bawahan sehingga
menciptakan suasana yang baik dan komunikasi yang baik juga dalam
menjalankan tugas-tugasnya atau pekerjaannya.
Pernyataan dari para ahli diatas secara garis besar dapat ditarik kesimpulan.
Bahwa lingkungan kerja merupakan situasi atau keadaan di sekitar para
karyawan. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa situasi atau keadaan
94
di sekitar karyawan tersebut mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
tugas-tugas yang dibebankannya.
2.4.2 Jenis-jenis Lingkungan Kerja
Menurut Sedarmayanti (2001:21) menyatakan bahwa secara garis
besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu lingkungan kerja fisik,
yaitu semua keadaan yang berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat
kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun
tidak langsung dan lingkungan kerja non fisik, yaitu semua keadaan yang
terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja baik hubungan dengan atasan
maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.
Lingkungan kerja yang baik dapat mendukung pelaksanaan kerja sehingga
karyawan memiliki semangat bekerja dan meningkatkan kinerjanya.
Sedangkan menurut Mangkunegara (2005:105), menyatakan bahwa
ada beberapa jenis lingkungan kerja, yaitu:
1) Kondisi lingkungan kerja fisik yang meliputi faktor lingkungan tata
ruang kerja dan faktor kebersihan dan kerapian ruang kerja,
2) Kondisi lingkungan kerja non fisik yang meliputi lingkungan social,
status sosial, hubungan kerja, dan sistem informasi,
3) kondisi psikologis lingkungan kerja yang meliputi rasa bosan dan
keletihan dalam bekerja.
2.4.2.1 Lingkungan Kerja Fisik
95
a. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Fisik
Ada banyak hal yang tercakup dalam lingkungan kerja fisik.
Menurut Handoko lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan yang
terdapat di sekitar tempat kerja, yang meliputi temperatur, kelembaban
udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-
bauan, warna dan lain- lain yang dalam hal ini berpengaruh terhadap
hasil kerja manusia tersebut.
Menurut Sedarmayanti (2001:21) Lingkungan kerja fisik adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang
dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Berikut ini beberapa jenis lingkungan kerja yang
diuraikan oleh Sedarmayanti sebagai berikut:
1) Penerangan/Cahaya di Tempat Kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan
guna mendapat keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh sebab itu
perlu diperhatikan adanya penerangan (cahaya) yang terang tetapi
tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas, sehingga pekerjaan
akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya
menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan,
sehingga tujuan organisasi sulit dicapai. Pada dasarnya, cahaya dapat
dibedakan menjadi empat yaitu : cahaya langsung, cahaya setengah
langsung, cahaya tidak langsung, dan cahaya setengah tidak
langsung.
96
2) Temperatur di Tempat Kerja (suhu)
Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai
temperature berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang
sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang
terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri
tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat
menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan
temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan
35% untuk kondisi dingin, dari keadaan normal tubuh. Menurut hasil
penelitian, untuk berbagai tingkat temperatur akan memberi pengaruh
yang berbeda. Keadaan tersebut tidak mutlak berlaku bagi setiap
karyawan karena kemampuan beradaptasi tiap karyawan berbeda,
tergantung di daerah bagaimana karyawan dapat hidup.
3) Kelembaban di Tempat Kerja
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara,
biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan
atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan secara bersama-sama
antara temperatur, kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi
panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia
pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu
keadaan dengan temperatur udara sangat panas dan kelembaban
tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara
97
besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain adalah makin
cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu
berusaha untuk mencapai keseimbangan antar panas tubuh dengan
suhu disekitarnya.
4) Sirkulasi Udara di Tempat Kerja
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk
menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme. Udara
di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut
telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan yang
berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar
adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan
penghasil oksigen yang dibutuhkan olah manusia. Dengan cukupnya
oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara
psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya
akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk
dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan
tubuh akibat lelah setelah bekerja.
5) Kebisingan di Tempat Kerja
Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk
mengatasiny adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki
oleh telinga. Tidak dikehendaki, karena terutama dalam jangka
panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja,
98
merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi,
bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius bisa menyebabkan
kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara
bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat
dilakukan dengan efisien sehingga produktivitas kerja meningkat.
Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang bisa
menentukan tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu : lamanya
kebisingan, intensitas kebisingan, dan frekuensi kebisingan.
6) Getaran Mekanis di Tempat Kerja
Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis,
yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada
umumnya sangat menggangu tubuh karena ketidak teraturannya, baik
tidak teratur dalam intensitas maupun frekwensinya. Gangguan
terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekwensi
alam ini beresonansi dengan frekwensi dari getaran mekanis. Secara
umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal:
konsentrasi bekerja, datangnya kelelahan, dan timbunya beberapa
penyakit.
7) Bau-bauan di Tempat Kerja
Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai
pencemaran, karena dapat menganggu konsentrasi bekerja, dan bau-
bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan
99
penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat merupakan salah
satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan
yang menganggu di sekitar tempat kerja.
8) Tata Warna di Tempat Kerja
Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan
dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat
dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi
karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat
dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih,
dan lain-lain, karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan
manusia.
9) Dekorasi di Tempat Kerja
Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu
dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hasil ruang kerja saja tetapi
berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna,
perlengkapan, dan lainnya untuk bekerja.
10) Musik di Tempat Kerja
Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan
suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang
karyawan untuk bekerja. Oleh karena itu lagu-lagu perlu dipilih
dengan selektif untuk dikumandangkan di tempat kerja. Tidak
sesuainya musik yang diperdengarkan di tempat kerja akan
mengganggu konsentrasi kerja.
100
11) Keamanan di Tempat Kerja
Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam
keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya keberadaannya. Salah
satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat
memanfaatkan tenaga Satuan Petugas Keamanan (SATPAM).
2.4.2.2 Lingkungan Kerja Non Fisik
a. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Non Fisik
Menurut Wursanto (2009:269) menyatakan bahwa ada 3 jenis
lingkungan kerja yang bersifat non fisik yaitu:
1) Perasaan aman karyawan
Perasaan aman karyawan merupakan rasa aman dari berbagai
bahaya yang dapat mengancam keadaan diri karyawan. Perasaan
aman tersebut terdiri dari sebagai berikut:
a) Rasa aman dari bahaya yang mungkin timbul pada saat
menjalankan tugasnya.
b) Rasa aman dari pemutusan hubungan kerja yang dapat
mengancam penghidupan diri dan keluarganya.
c) Rasa aman dari bentuk intimidasi ataupun tuduhan dari adanya
kecurigaan antar karyawan.
2) Loyalitas karyawan
Loyalitas merupakan sikap karyawan untuk setia terhadap
perusahaan atau organisasi maupun terhadap pekerjaan yang
101
menjadi tanggung jawabnya. Loyalitas ini terdiri dari dua macam,
yaitu loyalitas yang bersifat vertikal dan horizontal. Loyalitas yang
bersifat vertikal yaitu loyalitas antara bawahan dengan atasan atau
sebaliknya antara atasan dengan bawahan. Loyalitas ini dapat
terbentuk dengan berbagai cara. Untuk menunjukkan loyalitas
tersebut dilakukan dengan cara :
a) Kunjungan atau silaturahmi ke rumah karyawan oleh pimpinan
atau sebaliknya, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan
seperti arisan.
b) Keikutsertaan pimpinan untuk membantu kesulitan karyawan
dalam berbagai masalah yang dihadapi karyawan.
c) Membela kepentingan karyawan selama masih dalam koridor
hukum yang berlaku.
d) Melindungi bawahan dari berbagai bentuk ancaman.
Sementara itu, loyalitas bawahan dengan atasan dapat dibentuk
dengan kegiatan seperti open house, memberi kesempatan kepada
bawahan untuk bersilaturahmi kepada pimpinan, terutama pada
waktu-waktu tertentu seperti hari besar keagamaan seperti lebaran,
hari natal atau lainnya. Loyalitas yang bersifat horisontal
merupakan loyalitas antar bawahan atau antar pimpinan. Loyalitas
horisontal ini dapat diwujudkan dengan kegiatan seperti kunjung
102
mengunjungi sesama karyawan, bertamasya bersama, atau kegiatan-
kegiatan lainnya.
3) Kepuasan karyawan
Kepuasan karyawan merupakan perasaan puas yang muncul dalam
diri karyawan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Perasaan puas ini meliputi kepuasan karena kebutuhannya
terpenuhi, kebutuhan sosialnya juga dapat berjalan dengan baik,
serta kebutuhan yang bersifat psikologis juga terpenuhi.
Lingkungan kerja non fisik ini adalah lingkungan kerja yang hanya
dapat dirasakan oleh karyawan. Oleh karena itu, lingkungan kerja
non fisik yang dapat memberikan perasaan-perasaan aman dan puas
dapat mempengaruhi perilaku Karyawan ke arah yang positif
sebagaimana yang dapat meningkatkan kinerja karyawan
sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut berpendapat bahwa
“tugas pimpinan organisasi adalah menciptakan suasana kerja yang
harmonis dengan menciptakan human relations sebaik-baiknya”.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka pimpinan menjadi faktor
penting yang dapat menciptakan lingkungan kerja non fisik dalam
lingkup perusahaan.
b. Manfaat Lingkungan Kerja
103
Menurut Ishak dan Tanjung (2003), manfaat lingkungan kerja adalah
menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas dan prestasi kerja
meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan
orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan
tepat. Yang artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standard yang benar
dan dalam skala waktu yang ditentukan. Prestasi kerjanya akan dipantau
oleh individu yang bersangkutan, dan tidak akan menimbulkan terlalu
banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi.
2.4.3 Indikator Lingkungan Kerja
2.4.3.1 Indikator Lingkungan Kerja Fisik
Penjelasan teori sebelumnya maka dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan indikator untuk mengetahui lingkungan kerja
fisik karyawan. Adapun indikator yang dimaksud adalah :
1) Keadaan udara didalam ruangan
2) Kebisingan dilingkungan tempat bekerja
3) Vibrasi atau getaran-getaran yang dapat mempengaruhi kinerja
4) Tingkat pencahayaan dalam ruangan
5) Penataan ruangan (tata ruang)
104
2.4.3.2 Indikator Lingkungan Kerja Non Fisik
Kajian lingkungan kerja non fisik bertujuan untuk membentuk
sikap karyawan yang positif yang dapat mendukung kinerja karyawan.
Wursanto (2009:270) berpendapat bahwa ada beberapa unsur penting
dalam pembentukan sikap dan perilaku karyawan dalam lingkungan
kerja non fisik, yaitu sebagai berikut:
1) Pengawasan yang dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan
system pengawasan yang ketat.
2) Suasana kerja yang dapat memberikan dorongan dan semangat
kerja yang tinggi.
3) Sistem pemberian imbalan (baik gaji maupun perangsang lain)
yang menarik.
4) Perlakuan dengan baik, manusiawi, tidak disamakan dengan robot
atau mesin, kesempatan untuk mengembangkan karier semaksimal
mungkin sesuai dengan batas kemampuan masing-masing anggota.
5) Ada rasa aman dari para anggota, baik di dalam dinas maupun di
luar dinas.
6) Hubungan berlangsung secara serasi, lebih bersifat informal, penuh
kekeluargaan.
7) Para anggota mendapat perlakuan secara adil dan objektif.
Beberapa hal tersebut kemudian digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui keadaan lingkungan kerja fisik dan non fisik. Jadi, penelitian
105
ini menggunakan indikator untuk mengetahui lingkungan kerja yaitu:
peraturan kerja, tata ruang kerja, kelembaban ruangan.
2.4.4 Sintesis Lingkungan Kerja
Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa
lingkungan kerja adalah keseluruhan faktor- faktor baik keadaan fisik
atau non fisik di tempat kerja seseorang yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Indikator tersebut diantarany: peraturan kerja, tata ruang, dan
kelembaban ruangan.
2.5 Pengawasan
2.5.1 Pengertian Pengawasan
Menurut Moekijat, pengawasan adalah hal yang dilakukan, artinya
hasil pekerjaan, menilai hasil pekerjaan tersebut, dan apabila perlu
mengadakan tindakan-tindakan perbaikan sehingga hasil pekerjaan sesuai
dengan rencana (Moekijat, 1990:80).
Sedangkan menurut Soewarno Handayaningrat “ pengawasan dapat
diartikan sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah
dilaksanakan, menilainya dan mengoreksinya bila perlu dengan maksud
106
supaya pekerjaan sesuai dengan rencana semula (Handayaningrat,
1985:142).
Pengawasan kerja adalah kegiatan manajer yang mengharuskan atau
mengusahakan agar pekerjaan terlaksananya sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki (Lubis, 1985: 154).
Pendapat lain menyatakan bahwa pengawasan adalah penilaian
koreksi atas pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh bawahan dengan
maksud untuk mendapatkan keyakinan untuk menjamin bahwa tujuan
perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk mencapainya harus
dilaksanakan ( Harold Koontz dan Cyrril o’Donnel dalam Lubis, 1985:156-
157).
Pengawasan kerja adalah memilih orang yang tetap untuk setiap
pekerjaan, menimbulkan minat terhadap pekerjaannya pada tiap-tiap orang
dan mengajarkan bagaimana ia harus melakukan pekerjaannya, mengukur
dan menilai hasil kerjanya untuk mendapatkan keyakinan apakah pekerjaan
itu telah dipahami dengan wajar.
Dari beberapa pendapat yang memberikan pengertian tentang
pengawasan kerja maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan kerja
merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan dalam kegiatan
manajerial untuk menjamin terealisasinya semua rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya serta pengambilan tindakan perbaikan bila
diperlukan.Tindakan perbaikan diartikan tindakan yang diambil untuk
menyesuaikan hasil pekerjaan dengan standar. Tindakan perbaikan ini
107
membutuhkan waktu dan proses agar terwujud untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Karena laporan-laporan berkala sangat penting sebab dalam
laporan itu dapat diketahui situasi yang nyata. Apabila terjadi
penyimpangan, tindakan perbaikan segera dapat diambil, sehingga
kemungkinan resiko dan kerugian perusahaan dapat diminimalkan.
2.5.2 Tujuan pengawasan
Tujuan utama dari pengawasan yaitu mengusahakan supaya apa
yang direncanakan menjadi kenyataan. Mencari dan memberitahu
kelemahan- kelemahan yang dihadapi. Adapun tujuan pengawasan menurut
(Sukarna, 1993:112) antara lain:
a. Untuk mengetahui jalannya pekerjaan lancar atau tidak
b. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan
mengusahakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan yang
serupa atau timbulnya kesalahan baru.
c. Untuk mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan
dalam planning terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah
ditentukan.
d. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan biaya telah sesuai dengan
program seperti yang telah ditetapkan dalam planning atau tidak.
e. Untuk mengetahui hasil pekerjaan dengan membandingkan dengan apa
yang telah ditetapkan dalam rencana (standar) dan sebagai tambahan.
108
f. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan kerja sesuai dengan prosedur
atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.
2.5.3 Tipe-tipe Pengawasan
a. Pengawasan Pendahuluan (Freedforward Control)
Bentuk pengawasan pra kerja ini dirancang untuk mengantisipasi
masalah-masalah atau penyimpangan dari standar atau tujuan dan
memungkinkan korelasi dibuat sebelum tahap tertentu diselesaikan. Jadi
pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi
masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum
suatu masalah terjadi.
b. Pengawasan selama kegiatan berlangsung (Concurrent Control)
Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung.
Pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu dari dari suatu
prosedur disetujui terlebih dahulu sebelum kegiatan-kegiatan
dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan “Double Check” yang
lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.
c. Pengawasan umpan balik (Feedback Control)
Mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan.
Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar yang telah
ditentukan, dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-
kegiatan serupa dimasa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat
109
histories, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi (Handoko,
1991:361).
2.5.4 Proses Pengawasan
Proses pengawasan adalah serangkaian kegiatan didalam
melaksanakan pengawasan terhadap suatu tugas atau pekerjaan dalam suatu
organisasi. Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah
pokok) yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan menurut T. Hani
handoko (1995):
a. Penetapan standar pelaksanaan/perencanaan
Tahap pertama dalam pengawasan adalah menetapkan standar
pelaksanaan, standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran
yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil.
b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Penetapan standar akan sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata.Tahap kedua ini menentukan
pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.
c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan
Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:
1) Pengamatan.
2) Laporan-laporan baik lisan ataupun tertulis.
3) Metode-metode otomatis.
4) Pengujian atau dengan pengambilan sampel.
110
d. Perbandingan pelaksanaan dengan standar analisis penyimpangan
Tahap kritis dari proses pengawasan adalah membandingkan
pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang telah direncanakan atau
standar yang telah ditetapkan.
e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan
Bila hasil analisa menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini
harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk.
Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya
dilakukan bersamaan. Sementara itu Ranu Pandoyo merumuskan proses
atau langkah-langkah pengawasan meliputi:
1) Menentukan ukuran atau pedoman baku atau standar.
2) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang
sudah dikerjakan.
3) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau
pedoman baku yang telah ditetapkan untuk mengetahui
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
4) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang
terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang
direncanakan (Pandoyo, 1990:109).
Pendapat dari para ahli di atas cukuplah jelas, yang dimaksud
dengan proses pengawasan yaitu serangkaian tindakan dalam mengadakan
pengawasan. Sedangkan langkah awal dari rangkaian tindakan yang
111
tercantum dalam proses pengawasan itu adalah menetapkan standar
pengawasan dan yang dimaksud penyimpangan disini adalah penyimpangan
terhadap standar. Dari proses pengawasan tersebut maka dapat diambil
beberapa pernyataan dari pendapat Pandoyo (1990) untuk dijadikan sebagai
indikator yang dapat mengukur pengawasan yaitu:
1) Menentukan ukuran (pedoman baku standart)
Pelaksanaan/perencanaan Tahap pertama dalam pengawasan adalah
menetapkan ukuran standar pelaksanaan, standar mengandung arti
sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan
untuk penilaian hasil-hasil.
2) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah
dikerjakan yaitu suatu penilaian yang dilakukan oleh pengawas dengan
melihat hasil kerjanya dan laporan tertulisnya.
3) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau
pedoman baku yang ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi saat bekerja.
4) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang
terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang
direncanakan. Melakukan tindakan koreksi / perbaikan Bila hasil analisa
menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil.
Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar
mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan
bersamaan.
112
2.5.5 Teknik Pengawasan
Teknik pengawasan adalah cara melaksanakan pengawasan dengan
terlebih dahulu menentukan titik-titik pengawasan sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan mengenai keadaan keseluruhan kegiatan organisasi.
Teknik pengawasan menurut Manullang sebagai berikut:
a. Peninjauan pribadi
Peninjauan pribadi adalah mengawasi dengan jalan meninjau secara
pribadi, sehingga dapat dilihat sendiri pelaksanaan pekerjaan.
b. Pengawasan melalui laporan lisan
Pengawasan ini dilakukan dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui
laporan lisan yang diberikan bawahan, dilakukan dengan cara
wawancara kepada orang-orang tertentu yang dapat memberi gambaran
dari hal-hal yang ingin diketahui terutama tentang hasil yang
sesungguhnya yang ingin dicapai bawahan.
c. Pengawasan melalui laporan tertulis
Merupakan suatu pertanggung jawaban bawahan kepada atasannya
mengenai pekerjaan yang dilaksanakan, sesuai dengan intruksi dan
tugas-tugas yang diberikan.
d. Pengawasan melalui hal-hal yang bersifat khusus, didasarkan
kekecualian atau control by exeption. Merupakan sistem atau teknik
pengawasan dimana ini ditujukan kepada soal-soal kekecualian. Jadi
113
pengawasan hanya dilakukan bila diterima laporan yang menunjukkan
adanya peristiwa-peristiwa istimewa.
2.5.6 Indikator Pengawasan
Menurut T. Hani handoko (1995), pengawasan dilakukan melalui
proses:
a. Penetapan standar pelaksanaan/perencanaan
Tahap pertama dalam pengawasan adalah menetapkan standar
pelaksanaan, standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran
yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil.
b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Penetapan standar akan sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata.Tahap kedua ini menentukan
pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.
c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan
Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:
5) Pengamatan.
6) Laporan-laporan baik lisan ataupun tertulis.
7) Metode-metode otomatis.
8) Pengujian atau dengan pengambilan sampel.
d. Perbandingan pelaksanaan dengan standar analisis penyimpangan
114
Tahap kritis dari proses pengawasan adalah membandingkan
pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang telah direncanakan atau
standar yang telah ditetapkan.
e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan
Bila hasil analisa menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini
harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk.
Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya
dilakukan bersamaan. Sementara itu Ranu Pandoyo merumuskan proses
atau langkah-langkah pengawasan meliputi:
5) Menentukan ukuran atau pedoman baku atau standar.
6) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang
sudah dikerjakan.
7) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau
pedoman baku yang telah ditetapkan untuk mengetahui
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
8) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang
terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang
direncanakan (Pandoyo, 1990:109).
Berdasarkan hal diatas, indikator yang digunakan dalam penelitian
antara lain: penetapan standar kerja, penilaian pekerjaan, dan
mengoreksi pekerjaan.
2.5.7 Sintesis Pengawasan
115
Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa pengawasan
adalah proses menetapkan pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya,
dan mengoreksi atau merencanakan rencana perbaikan agar mencapai hasil
yang telah direncakan sebelumnya. Pengawasan diukur dengan indikator,
diantaranya: penetapan standar kerja, penilaian pekerjaan dan mengoreksi
pekerjaan.
BAB III
KERANGKA, DEFENISI, PENGUKURAN DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teori dan sintesa setiap variabel, maka dibuat bagan
kerangka teoritis dalam penelitian ini sebagai beriku :
Menurut Relly (2003) bahwa :
1. Waktu 2. Tugas 3. Produktivitas4. Motivasi 5. Evaluasi kerja6. Pengawasan 7. Lingkungan kerja8. Perlengkapan dan
fasilitas
Menurut Stephen P. Robbins (1996) bahwa :
1. Disiplin2. Kepentingan/ minat3. Motif4. Pengalaman masa lalu5. Penerapan (dispektasi)
Menurut Richard M. Steers (1985)
Efektivitas Kerja
1. Kemampuan menyesuaikan diri
2. Kepuasan kerja3. Prestasi kerja4. Kemampuan
berlaba5. Pencapaian
sumber daya
116
3.2. Kerangka konsep
Model II
Model III
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan pada Bab II, dan
kerangka teori diatas, disesuaikan dengan tujuan penelitian serta batasan
penelitian yang ditentukan oleh penulis, maka daoat dikembangkan kerangka
konsep dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Motivasi
Efektivitas Kerja Perawat
Disiplin perawat
M1 M2 M3
EK 1
117
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
KETERANGAN :
EK1 = Kemampuan menyesuaikan diri D1 = Waktu
EK2 = Kepuasan Kerja D2 = Tugas
EK3 = Prestasi Kerja D3 = Tingkah Laku
M1 = Karakteristik Individu LK1 = Peraturan Kerja
M2 = Tanggung Jawab LK2 = Tata Ruang Kerja
M3 = Insentif LK3 = Kelembaban Ruangan
P1 = Penetapan Standar Kerja
P2 = Penilaian Pekerjaan
P3 = Mengoreksi Pekerjaan
Lingkungan Kerja
Pengawasan
D1 D2 D3
LK1 LK2 LK3
P1 P2 P3
EK 1
EK 1
118
3.3. Kerangka Analisis
Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan dari penelitian yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka kerangka analisis dapat digambarkan sebagai
berikut :
Motivasi
Efektivitas Kerja Perawat
Disiplin perawat
M1 M2 M3
D1 D2 D3EK 1
119
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Keterangan
ξ : Ksi, Variabel latent eksogen
ŋ : Eta, Variabel latent endogen
λx : Lamnda (kecil), loading factor variable latent eksogen
λy : Lamnda (besar), loading factor variable latent endogen
Ʌx : Matriks loading factor variable latent eksogen
Ʌy : Matriks loading factor variable latent endogen
β : Beta (kecil), koefisien pengaruh variable endogen terhadap endogen
γ :Gamma (kecil), koefisien pengaruh variable eksogen terhadap endogen
ζ : Zeta kecil, galat model
δ : Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen
ε : Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen
Lingkungan Kerja
Pengawasan
LK1 LK2 LK3
P1 P2 P3
EK 1
EK 1
120
121
3.4 Variabel, Definisi Konsep, Definisi Operasional dan Pengukuran
N
o
Variabel Indikator Defenisi konsep Defenisi operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala
ukur
1
122
2
3
123
3.5 Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh langsung dan tidak langsung antara motivasi, disiplin perawat,
lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap efektifitas kerja perawat di Rumah Sakit
Puri Cinere.
124
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Desain Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Proses yang
dilaksanakan melalui survei ditujukan untuk menguji dan memperoleh konfirmasi dari
variabel yang diuji berdasarkan model teoritis. Alat yang digunakan untuk mengukur
ialah kuesioner. Sedangkan proses analisis dengan pendekatan analisis jalur (Path
Analysis). Setelah semua tahapan dilalui, diharapkan diketahui pengaruh fokus tenaga
kerja dan proses pengelolaan proses layanan terhadap kinerja pelayanan Rumah Sakit.
125
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Bhineka Bhakti Husada.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua karyawan yang bekerja baik medis
maupun non medis yang mempunyai masa kerja diatas 1 tahun.
4.3.2. Sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 75 orang dengan
Kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
- Laki – laki atau perempuan yang berusia ≥ 60 tahun saat penelitian
dimulai
- Bersedia menjadi responden
Kriteria ekslusi adalah :
- Lansia yang buta huruf
- Mengalami gangguan kesadaran saat dilakukan pemeriksaan
4.4. Metode Pengukuran
Metode pengukuran baik untuk variabel eksogen maupun endogen yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal dan interval, sedangkan
teknik pengukuranya menggunakan semantic differential, yang mempunyai skala 5
126
point. Pada skala ini sifat positif diberi nilai paling besar dan sifat negative diberi
nilai paling kecil tetap dipertahankan, demikian juga prinsip menggabungkan
positif-negatif dan negative-positif.
Skala perbedaan Semantic yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut :
Baik/ Buruk/
Positif Negatif
4.5. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian
Menurut Arikunto, 2006 validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkan kevalidan atau kesahian suatu instrument. Sebuah instrument dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data
variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrument
menjunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran
tentang variabel yang dimaksud. Sedangkan reliabilitas menunjukkan pada satu
pengertian bahwa suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai
alat pengumpul data karena instrument tersebut baik. Instrument yang baik tidak
akan bersifat tendesius yang mengarahkan responden untuk memilih jawaban –
jawaban tertentu. Instrument yang sudap dapat dipercaya yang reliable akan dapat
menghasilkan data yang dapat dipercaya ( Taniredja, 2011) .
127
Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan
instrument dalam mengunpulkan data. (Nursalam, 2008). Uji validitas dalam
penelitian ini dilihat dari validitas kovergen dengan parameter factor loading dengan
nilai > 0,7, Community > 0,5 dan Average Variance Extracted (AVE) > 0,5.
Sedangkan bila dilihat dari uji validitas diskriminan dengan parameter akar AVE >
korelasi variabel laten dan cross loading lebih dari 0,7 dalam satu variable
(Jogiyanto,2009).
Setelah melakukan uji validitas, langkah selanjutnya adalah uji reliabilitas.
Menurut Sumartiningsih (2007) untuk mengetahui reliabilitas instrument caranya
adalah : membandingkan nilai r hasil dengan nilai r tabel. Dalam uji reliabilitas
sebagai r hasil adalah nilai alpha. Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka
pertanyaan tersebut reliabel. Uji reliabilitas kuesioner menggunakan Uji Cronbach
(alpha). (Hastono, 2010).
4.6. Pengambilan Data
4.6.1. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan materi atau kumpulan fakta yang dikumpulkan
sendiri oleh peneliti pada saat berlangsungnya suatu penelitian
(Chandra B, 2005).
128
b. Data skunder
Data skunder merupakan data yang bersumber dari catatan yang ada
pada instansi dan dari sumber lainnya yaitu dengan mengadakan studi
kepustakaan dengan mempelajari buku-buku yang ada hubungannya
dengan objek penelitian atau dapat dilakukan dengan menggunakan
data dari biro pusat statistic (BPS) (Sunyotno D, 2012).
4.6.2. Cara pengumpulan data
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
lokalisasi Kota Bekasi tentang banyaknya jumlah Lansia. Cara
pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini melalui alat
bantu (instrument) berupa angket/pertanyaan diperoleh melalui penyebaran
kuesioner, yang dilakukan oleh peneliti kepada responden yang telah sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan.
Alat bantu (instrument) berupa angket/pertanyaan yang
mengandung masing-masing indikator dalam empat variabel. Adapun
variabel yang dimaksud mencakup variabel yang terdiri dari dukungan
Keluarga, Gaya Hidup, dan Social Engagement. Sedangkan kisi-kisi dalam
pembuatan butir pertanyaan dapat dijelaskan melalui Blue Print kuesioner
sebagai berikut :
Tabel 4.1. Blue Print Kuesioner Penelitian
No Variabel Indikator Sebaran Butirjumlah
Butir
1 Dukungan keluarga 1. Nasehat 1,2,3,4,5 5
2. Perhatian 6,7,8,9,10 5
129
3. Bantuan 11,12,13,14,15 5
2 Social Engagement 1. Kehadiran pasangan
hidup
16,17 2
1. Kontak visual (VIS) 18,19,20,21,22,2
3,24
7
2. Kontak non Visual
( NON VIS )
25,26,27,28,29
30,31,32,33,34
10
2. Kunjungan ketempat
ibadah
35 1
3. Keanggotaan lain 36 1
4. Partisipasi teratur pada
aktivitas sosial
37,38,39,40,41
42,43,44,45,46
47,48,49,50,51
15
3 Fungsi Kognitif 1. Memori 52,53,54 3
2. Emosional 55,56,57 3
3. Bahasa 58 1
Total Butir 58
130
4.7. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil kuesioner direkap dengan menggunakan
program Excel dan selanjutnya akan diolah menggunakan program PLS (Partial
Least Square) melalui tahapan :
1. Menyunting data (Editing)
Dilakukan pemeriksaan kuesioner yang telah dikumpulkan. Dalam
melakukan editing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni :
a) Memeriksa kelengkapan data
Pemeriksaan kelengkapan kuesioner, apakah semua pernyataan yang
dilakukan telah dijawab dengan lengkap dan benar.
b) Memeriksa kesinambungan data
Memeriksa apakah semua data berkesinambungan atau tidak, dalam
arti tidak ditemukan data atau keterangan yang bertentangan antara
satu dengan yang lainnya.
c) Memeriksa keseragaman data
Memeriksa apakah ukuran yang dipergunakan dalam mengumpulkan
data telah seragam atau tidak
2. Mengkode data (Coding)
Adalah proses untuk mengklasifikasikan data dan member kode untuk
masing-masing variabel kelas sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Kode
angka untuk setiap jawaban adalah 1–5 dalam rangka mempercepat proses
input data.
3. Processing perintah
Setelah isian kuesioner telah diisi penuh, benar dan telah di coding, maka
selanjutnya memproses data dengan cara meng-entry data dari kuesioner ke
131
dalam program Ms. Excel dengan perintah save as csv (commo separated
value).
4. Membersihkan data (Cleaning data)
Proses pembersihan data dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-
variabel dan menilai kelogisannya. Data yang sudah di entry kemudian
dilakukan pembersihan data untuk melihat kesalahan yang mungkin terjadi.
5. Transforming
Setelah dipastikan tidak ada kesalahan dalam entri data, maka dilakukan
Transforming yaitu perubahan dari excel csv ke program smart PLS.
4.8. Analisa Data
1. Analisis Data Univariat
Analisis univariat menggunakan analisis statistika deskriptif. Analisis
statistika deskriptif ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai demografi
responden. Gambaran tersebut meliputi ukuran tendensi sentral seperti rata-rata,
kisaran standar deviasi diungkapkan untuk memperjelas deskripsi karakteristik
dari masing-masing variabel eksogen dan variabel endogen.
2. Analisis SEM
Tekhnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan Structural
Equation Modelling (SEM) dengan Partial Least Square (PLS). PLS merupakan
metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua skala data,
tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar. PLS
selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk
membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian
proporsi. PLS juga dapat digunakan untuk pemodelan structural dengan indicator
bersifat reflektif ataupun formatif.
132
PLS dilakukan untuk menjelaskan secara menyeluruh hubungan antar
variabel yang ada dalam penelitian. SEM digunakan bukan untuk merancang
suatu teori, tetapi lebih ditujukan untuk memeriksa dan membenarkan suatu
model. Oleh karena itu, syarat utama menggunakan SEM adalah membangun
suatu model hipotesis yang terdiri dari model structural dan model pengukuran
dalam bentuk diagram jalur yang berdasarkan justifikasi teori. SEM adalah
merupakan sekumpulan tekhnik-tekhnik statistic yang memungkinkan pengujian
sebuah rangkaian hubungan secara simultan. Hubungan itu dibangun antara satu
atau beberapa variable independen.
Dikemukakan oleh Ferdinand (2002), bahwa model persamaan structural
merupakan jawaban yang layak untuk kombinasi antara analisis factor dan
analisis regresi berganda karena pada saat peneliti mengidentifikasi dimensi-
dimensi sebuah konsep atau konstruk, pada saat yang sama peneliti juga ingin
mengukur pengaruh atau derajat antar factor yang telah diidentifikasikan
dimensi-dimensinya itu. Dengan demikian SEM merupakan kombinasi antara
analisis faktor dan analisis regresi berganda.
Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Ferdinand (2000) bahwa SEM
sangat tepat digunakan untuk merancang penelitian manajemen serta menjawab
pertanyaan yang bersifat regresif dan dimensional dalam waktu yang bersamaan.
Regresif artinya pengujian hubungan antar konstruk, sedang dimensional berarti
pengujian dimensi-dimensi yang terdapat dalam konstruk. Demikian juga
Solimun (2002) mengemukakan bahwa di dalam SEM peneliti dapat melakukan
tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrument
(setara dengan analisis factor konfirmatori), pengujian model hubungan antar
133
variable laten (setara dengan analisis path) dan mendapatkan model yang
bermanfaat untuk prediksi (setara dengan model structural atau analisis regresi).
Adapun langkah-langkahnya dalam analisis data dengan PLS adalah
sebagai berikut :
a) Merancang model structural (inner model)
Inner model atau model structural menggambarkan hubungan antar
variabel laten berdasarkan pada substantive teori. Perancangan model
structural hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah
atau hipotesis penelitian.
b) Merancang Model Pengukuran (Outher Model)
Outer Model atau Model Pengukuran mendefinisikan bagaimana setiap
blok indicator berhubungan dengan variable latennya. Perancangan Model
Pengukuran menentukan sifat indicator dari masing-masing variable laten,
apakah reflektif atau formatif, berdasarkan definisi operasional variabel.
3. Konstruksi Diagram Alur
ζ1
η2
x1 x2 x3
y7
y8
y9
λx1ƛx2
ƛx3
γ 1
ζ1
ε7
ε8
ε9
λy8
λy7
134
Gambar 4.1
Konversi Diagram Jalur ke Sistem Persamaan.
4. Konversi diagram jalur ke sistem persamaan
(1) Outer Model
Untuk variabel laten eksogen 1 (Reflektif)
X1 : λx1. ξ 1+ δ1
X2 : λx2. ξ 2 + δ2
X3 : λx3. ξ 2 + δ3
Untuk variabel laten endogen 1 (Formatif)
Y1 : λγ1.η1+ ε1
Y2 : λγ2. η1+ ε2
Y3 : λγ3. η1+ ε3
γ2ζ2
λy9
η1
135
Y4 : λγ3. η2+ ε4
Y5 : λγ3. η2+ ε5
Y6 : λγ3. η2+ ε6
Untuk variabel laten endogen 2 (Reflektif)
Y7 : λγ3. η2+ ε7
Y8 : λγ4. η2 + ε8
Y9 : λγ5. η2+ ε9
(2). Inner Model
ŋ1= ξ1.γ2 + ξ1.γ4 + ζ1
ŋ2= ξ1.γ1 + ξ1.γ3 + ŋ1. β + ζ2
5. Estimasi : Weight, Koefisien Jalur dan loading
Metode pendugaan parameter (estimasi) didalam PLS adalah metode kuadrat
terkecil (least square models). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi,
dimana iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi kenvergen. Pendugaan
dalam parameter meliputi 3 hal, yaitu :
(1) Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten
(2) Path estimate yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading
antara variabel laten dengan indikatornya
136
(3) Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indicator
dan variabel laten.
6. Evaluasi Goodness of fit
Goodness of fit model diukur menggunakan R2 variabel laten dependen dengan
interprestasi yang sama dengan regresi. Q2 prediktif relevance untuk model
structural mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga
estimasi parameternya.
7. Pengujian Hipotesis (Resampling Bootstraping)
Pengujian hipotesis (β, γ, λ) dilakukan dengan model resampling bootstrap yang
dikembangkan oleh Geisser & Stone. Statistic uji yang digunakan adalah statistic
t ataui uji t. penerapan metode resampling memungkinkan berlakunya data
terdistribusi bebas tidak memerlukan asumsi yang besar.
Kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis pada penelitian ini adalah dengan
ketentuan sebagai berikut :
(1) Jika nilai t statistic < t- tabel dengan taraf signifikan sebesar 0,05 (one –
tailed, maka menolak H0 dan menerima Ha
(2) Jika nilai t statistic > t – tabel dengan taraf signifikan sebesar 0,05 (one –
tailed), maka menerima H0 dan menolak Ha.
4.9. Konstruksi Diagram Jalur
Hasil perancangan inner model dan outer model yang sudah dibuat kemudian
perlu dinyatakan dalam bentuk diagram jalur. Diagram jalur adalah sebuah
diagram yang menggambarkan hubungan kausal antar variabel. Pembangunan
diagram jalur dimaksudkan untuk memvisualisasikan keseluruhan hubungan
variabel yang dihipootesiskan.
137
4.10. Model Spesifikasi dengan PLS
Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set
hubungan : (1) inner model yang spesifikasinya hubungan antar variabel laten
(structural model), diukur dengan menggunakan Q-Square Predictive
Relavance dengan rumus Q² = 1-(1-Ri²) (1-Rp²), (2) outer model yang
menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikatornya atau
variabel manifestasinya (measurement model), diukur dengan melihat
convergent validity dan discriminant validity, convergent validity dengan nilai
loading 0,5 sampai 0,6 dianggap cukup, untuk jumlah indikator dari variabel
laten berkisar 3 sampai 7, sedangkan descriminant validity direkomendasikan
nilai AVE lebih besar dari 0,5 dan juga dengan melihat (3) weight relation
dimana nilai kasus dari variabel laten tetap diestimasi. Tanpa kehilangan
generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan indicator atau
manifest variabel diskala zero means dan unit variance sehingga parameter
lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model.
4.11.. Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel tekstular. Penyajian data
dalam bentuk tabel adalah suatu penyajian sistematik data numeric yang tersusun
dari kolom dan baris. Penyajian ini digunakan untuk menyajikan hasil analisis
data primer dan data skunder. Selain itu, disajikan pula dalam bentuk dalam
bentuk diagram untuk mempermudah pembacaan hasil penelitian yang
didapatkan. Sedangkan interpretasi data disajikan dalam bentuk narasi sehingga
memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian.