BAB II ku

210
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam era globalisasi atau era keterbukaan baik politik, ekonomi, budaya, teknologi, komunikasi dan bidang kehidupan lainnya. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dicanangkan pada tahun 2015 merupakan sebuah keniscayaan, dimana akan ada persaingan ketat dengan sumber daya manusia di negara Asean sebagai konsekuensinya diberlakukannya MEA. Dunia kerja disegala sektor pada tahun 2015 semakin ketat, persaingan tidak hanya datang dari tenanga dalam negeri namun juga tenaga asing akan masuk ke Indonesia. Berbagai kepentingan antar negara akan mewarnai dinamika penyepakatan,salah satunya AFTA 2015 atau ASEAN Free Trade Area. Sektor jasa yang telah disepakati

description

tinjauan teori

Transcript of BAB II ku

Page 1: BAB II ku

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam era globalisasi atau era

keterbukaan baik politik, ekonomi, budaya, teknologi, komunikasi dan bidang

kehidupan lainnya. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dicanangkan pada

tahun 2015 merupakan sebuah keniscayaan, dimana akan ada persaingan ketat

dengan sumber daya manusia di negara Asean sebagai konsekuensinya

diberlakukannya MEA. Dunia kerja disegala sektor pada tahun 2015 semakin

ketat, persaingan tidak hanya datang dari tenanga dalam negeri namun juga tenaga

asing akan masuk ke Indonesia. Berbagai kepentingan antar negara akan

mewarnai dinamika penyepakatan,salah satunya AFTA 2015 atau ASEAN Free

Trade Area. Sektor jasa yang telah disepakati oleh negara ASEAN salah satunya

termasuk jasa kesehatan (Suroso, 2015).

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan mempengaruhi segala aspek.

Saat ini daya apresiasi dan antisipasi bangsa Indonesia terhadap tantangan global

di sektor kesehatan khususnya di bidang pelayanan kesehatan. Salah satu pemberi

layanan kesehatan dengan banyak tenaga kesehatan ialah rumah sakit. Rumah

sakit menghadapi tantangan dalam jasa pelayanan kesehatan, dimana kesehatan

merupakan hak yang bisa diperoleh oleh setiap manusia (Priyadi, 2015).

Kesehatan adalah hak azazi bagi setiap manusia seperti dalam Undang-

Undang Dasar 1945 Pasal 8 yang telah diamandemen bahwa setiap penduduk

Page 2: BAB II ku

2

berhak atas pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan hal yang menjadi dasar

(fundamental) dibangun oleh negara. Praktek pelayanan kesehatan pada

masyarakat, rumah sakit menjadi simpul utama yang berfungsi sebagai pusat

rujukan. Rumah sakit menjadi sistem kesehatan yang strategis, namun hal tersebut

sangat tergantung pada kekuatan ekonomi dan kemauan pemerintah dalam suatu

negara untuk mewujudkannya. Berbagai faktor yang mempengaruhi mekanisme

kerja rumah sakit (Ariyani,2011).

Salah satu pelayanan kesehatan adalah Rumah Sakit. Rumah sakit adalah

salah satu institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai peran penting dalam

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit memberikan pelayanan

yang bersifat holistik mulai dari preventif, kuratif hingga rehabilitatif masalah

kesehatan atau penyakit. Telah terjadi perubahan paradigma tentang pelayanan

kesehatan khususnya rumah sakit. Pada awalnya, rumah sakit didirikan dengan

tujuan sosial tetapi seiring waktu, rumah sakit tidak hanya pelayanan sosial

namun mengarah pada tujuan ekonomi bahkan komersial (Kemenkes, 2002).

Rumah sakit yang ingin bertahan ke depan, maka rumah sakit swasta

mempunyai rumusan strategi. Di antaranya adalah pelayanan rumah sakit swasta

akan mengarah ke rumah sakit negeri. Menurut Taurany (2007), hal pemecahan

masalah untuk menghadapi globalisasi adalah menyiapkan daya saing yang tinggi

menajemen perubahan, peningkatan manajemen mutu, pengembangan sumber

daya manusia, sarana dan teknologi, peningkatan kepuasan konsumen,

peningkatan budaya organisasi, pemasaran yang efektif, peningkatan mekanisme

Page 3: BAB II ku

3

dan kegiatan mengantisipasi, memantau dan menganalisis perubahan- perubahan

lingkungan yang dampaknya dapat berupa ancaman dan berupa peluang.

Rumah Sakit yang ingin bertahan harus bisa menjaga kualitas atau mutu

pelayanan rumah sakit tersebut. Mutu pelayanan dapat ditentukan oleh fungsi

manajemen sehingga dibutuhkan suatu sistem yang baik yang dapat mengatur dan

mengelola segala sumber rumah sakit dengan sebaik- baiknya. Menurut Soeroso

(2003) menjelaskan bahwa dalam pengorganisasian di rumah sakit tidak akan

terlepas dari sumber daya manusia (SDM) yang ada dalam organisasi rumah sakit

tersebut. Oleh sebab itu, sumber daya manusia merupakan modal (asset) dan

kekayaan yang terpenting dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan di rumah sakit.

Manusia sebagai komponen terpenting untuk dianalisis dan dikembangkan

sehingga waktu, tenaga, dan kemampuannya dapat dimanfaatkan secara optimal

bagi kepentingan organisasi rumah sakit maupun kepentingan individu (Fathoni,

2006).

Pengelolaan Sumber Daya Manusia yang baik akan menjadikan rumah

sakit yang unggul. Hal tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan, ketrampilan,

kreativitas dan motivasi staf dan karyawannya. Kebutuhan tenaga- tenaga terampil

didalam berbagai bidang dalam sebuah rumah sakit sudah merupakan tuntutan

dunia global yang tidak bisa ditunda. Kemajuan teknologi dan sumber daya lain

ialah pendukung pelaksanaan kegiatan rumah sakit, karena pada akhirnya sumber

daya manusia yang paling menentukan (Danin, 2004).

Sumber daya manusia di rumah sakit salah satunya adalah tenaga perawat.

Tenaga perawat merupakan ”the caring profession” memiliki kedudukan yang

Page 4: BAB II ku

4

penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan dirumah sakit dengan

pendekatan bio-psiko-sosial-spritual. Pelayanan keperawatan ialah pelayanan

yang unik dilaksanakan selama 24 jam dan berkesinambungan merupakan

kelebihan tersendiri dibanding pelayanan lainnya. Pelayanan keperawatan adalah

bantuan yang diberikan kepada individu yang sedang sakit untuk memenuhi

kebutuhannya sebagai mahluk hidup dan beradaptasi terhadap stres dengan

menggunakan potensi yang tersedia pada individu tersebut (Djojodibroto, 1997).

Pelayanan profesional yang diberikan dalam pelayanan keparawatan dan

asuhan keperawatan bertujuan untuk membantu pasien dalam pemulihan dan

peningkatan kemampuan diri perawat secara komprehensif dan berkesinambungan

hingga pasien mampu melakukan kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan. Oleh

karena itu, diharapkan perawat memiliki kemampuan serta sikap dan kepribadian

yang sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan maka tenaga keperawatan ini

harus dipersiapkan dan ditingkatkan secara teratur, terencana, dan berkelanjutan

(Darmawan, 2008).

Pengelolaan keperawatan yang dilaksanakan di rumah sakit melalui

perawat kepada pasien diharapkan berdaya guna dan berhasil guna. Hal tersebut

dapat tercapai apabila perawat tersebut memiliki pengetahuan mengenai

menajemen keperawatan dan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan klinis.

Pelayanan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang

diberikan kepada pasien sesuai dengan standar dan kriteria profesi keperawatan.

(Nurachmah,2001).

Page 5: BAB II ku

5

Tercapainya pelayanan keperawatan yang optimal di rumah sakit maka

parawat harus mampu melaksanakan tugas- tugasnya secara efektif. Perawat yang

memiliki efektivitas kerja baik mampu menyelesaiakan tugas atau pekerjaannya

sesuai waktu. Efektivitas kerja adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa

jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar

presentase target yang di capai, makin tinggi efektivitasnya (Hidayat, 1986).

Efektifitas kerja dapat dilihat melalui bagaimana perawat atau karyawan

mampu menyesuaikan diri, kepuasan kerja dan prestasi kerja. Kemampuan

menyesuaikan diri atau keluwesan dalam organisasi sangatlah penting, dimana

dengan mampu menyesuaikan diri pegawai akan dapat bekerjasama dengan orang

lain sehingga pemenuhan kebutuhan dan tujuan organisasi tercapai. Kepuasan

kerja karyawan merupakan faktor yang berhubungan langsung dengan Sumber

Daya Manusia (SDM) dalam pencapaian tujuan organisasi. Tingkat rasa puas

individu, bahwa mereka dapat imbalan yang setimpal, dari bermacam-macam

aspek situasi pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Prestasi kerja adalah

suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan target

yang telah ditentukan, bahkan ada yang melebihi target yang telah ditentukan

sebelumnya (Steers, 1985).

Upaya untuk mencapai efektivitas di rumah sakit ada beberapa faktor yang

mempengaruhi. Menurut Relly (2003) menjelaskan bahwa faktor- faktor yang

mempengaruhi efektivitas kerja adalah ketepatan waktu menyelesaikan tugas,

delegasi tugas yang jelas, produktivitas, motivasi, evaluasi kerja, pengawasan,

lingkungan kerja, dan perlengkapan serta fasilitas. Sedangkan menurut Robbins

Page 6: BAB II ku

6

(1996) bahwa disiplin juga merupakan faktor yang menentukan tercapainya

efektivitas kerja.

Disiplin yang kuat terdorong karena adanya motivasi dari karyawan itu

sendiri. Motivasi mendorong seseorang lebih giat dalam menjalankan tugasnya.

Adanya motivasi yang tinggi dari karyawan akan meningkatkan disiplin kerja

sehingga melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma- norma/ peraturan yang

ditetapkan. Semakin termotivasi karyawan untuk bekerja secara positif semakin

baik pula kinerja yang dihasilkan dan lingkungan serta iklim kerja yang

mendukung akan menambah kerja yang lebih efektif. Adanya pengawasan maka

pegawai dapat terus terpantau, hal ini dapat memperkecil resiko kesalahan dalam

pelaksanaan tugas sehingga semakin meningkatkan efektivitas kerja. Lingkungan

kerja adalah menyangkut tata ruang, cahaya alam, dan pengaruh suara yang

mempengaruhi konsentrasi seseorang pegawai sewaktu bekerja (Relly, 2003).

Menurut Hafizurachman (2009) berpendapat bahwa motivasi kerja adalah

dorongan dalam diri seseorang untuk melaksanakan pekerjaan di dalam mencapai

tujuan organisasi. Samap seperti yang dijelaskan oleh Husaini (2006) bahwa

motivasi ialah salah satu alasan agar bawahan ingin bekerja keras dan bekerja

cerdas sesuai dengan yang diharapkan. Kebutuhan dasar yang membuat seseorang

untuk melakukan suatu pekerjaan adalah motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi,

dan motivasi mencapai kekuasaan (Newstrom, 1999).

Motivasi yang tinggi dari seorang karyawan juga akan mendukung

karyawan tersebut untuk lebih disiplin dalam melaksanakan pekerjaannya. Syafri

Mangkuprawira dan Aida Vitayala Hubieis (2007) mendefinisikan disiplin kerja

Page 7: BAB II ku

7

adalah sifat seseorang karyawan yang secara sadar mematuhi aturan dan peraturan

organisasi tertentu, kedisiplinan sangat mempengaruhi kinerja karyawan atau

perusahaan. Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu

organisasi dan mempertahankan kehidupannya. Mengukur disiplin kerja perawat

dapat ditentukan beberapa indikator yaitu disiplin waktu, disiplin tugas, dan

disiplin tingkah laku (Hafizurachman, 2011).

Pengawasan merupakan hal yang sangat penting karena masing- masing

instansi memerlukan pengawasan yang tergantung dari faktor- faktor situasional

seperti ukuran organisasi, sejumlah perubahan yang terjadi, kompleksitas objek

yang dikontrol dan suasana pendelegasian yang ada didalam suatu instansi

(Saylees, 1998). Menurut Moekijat (1994) pengawasan berperanan penting bagi

manajemen kepegawaian karena hubungan terdekat dengan para pegawai melalui

bagaimana cara mengawasi cara kerja pegawai dan pendekatan kepada pegawai

agar melaksanakan pekerjaannya dengan baik tanpa unsur paksaan hanya karena

mereka diawasi. Pengawasan adalah proses yang dilakukan dalam mengawasi,

menilai, dan mengevaluasi daripada seluruh kegiatan organisasi agar pekerjaan

terlaksana dengan baik. Faktor- faktor yang mempengaruhi karyawan adalah

penetapan standar kerja, penilaian kerja, dan mengoreksi pekerjaan. Apabila

faktor- faktor tersebut dilaksanakan oleh kepala perawat dalam melakukan

pengawasan baik maka disiplin kerja perawat secara tidak langsung dan dapat

meningkat (Sinambela, 2013).

Penunjang organisasi atau instansi yang tidak kalah penting adalah

lingkungan kerja. Lingkungan kerja adalah keadaan fisik dan non fisik

Page 8: BAB II ku

8

(psikologis) di tempat kerja seseorang di dalam mencapai tujuan organisasi yang

telah ditetapkan (Hafizurrachman, 2009). Fungsi lingkungan kerja agar pegawai

melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan lebih

cepat dan lebih baik (efektif). Lingkungan kerja dapat terbentuk dari beberapa

unsur lingkungan kerja, meliputi sarana dan prasarana (fasilitas kerja) seperti

peraturan kerja, tata ruang kerja, dan suhu ruangan. Sarana adalah segala sesuatu

yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan, beberapa

yang mempengaruhi yaitu: warna, kebersihan, penerangan, pertukaran udara,

keamanan, musik dan kebisingan (Suryati, 1995).

Menurut Siagian (1983) menjelaskan bahwa untuk mencapai efektifitas

kerja yang optimal meliputi faktor motivasi, disiplin kerja, lingkungan. Motivasi

akan mendorong seseorang untuk lebih giat dalam menjalankan pekerjaannya.

disiplin yang diterapkan pegawau menyakibatkan dorongan kepada pegawai untuk

berbuat dan melakukan kegiatan pekerjaan sesuai dengan peraturan yang telah

ditetapkan serta lingkungan yang mendukung akan menambah kerja lebih

semangat sehingga efektivitas tercapai.

Berdasarkan uraian di atas maka terdapat keterkaitan antara motivasi kerja,

disiplin, lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap tercapainya efektifitas kerja

pegawai atau perusahaan. Oleh karena itu tanpa adanya disiplin, motivasi kerja,

lingkungan kerja, pengawasan yang baik maka segala kegiatan yang dilakukan

akan mendatangkan hasil yang kurang memuaskan dan tidak sesuai dengan

harapan.

Page 9: BAB II ku

9

Berdasarkan para ahli diatas, diperkuat dengan hasil penelitian dan

didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa disiplin, motivasi, pengawasan dan

lingkungan kerja memiliki pengaruh terhadap pewarat. Penelitian Rita Sugiarti

Marlian dan Dadang Kusnadi dengan judul: pengaruh motivasi dan kemampuan

terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan, didapatkan bahwa ada pengaruh

yang signifikan antara motivasi t- value (5,553) dan kemampuan t- value (6,230)

terhadap pendokumentasian asuhan keperawatan di instalansi rawat inap RSUD

Cibabat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Manjas, Menkher dan Bachtiar, Hafni

(2011) tentang analisis efektivitas kerja perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Mayjen H.A Thalib Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi Tahun 2011

bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan efektivitas kerja

perawat adalah produksi, efisiensi, perkembangan dengan nilai p< 0,05.

Sedangkan variabel kepuasan dan adaptasi tidak memiliki hubungan yang

bermakna dengan efektivitas kerja dengan nilai p> 0,05. Implikasi yang

diharapkan peneliti dari penetian tersebut adalah diharapkan rumah sakit

memperhatikan aspek yang bisa meningkatkan efektivitas kerja perawat serta

melakukan pembenahan terhadap aspek tersebut sehingga pencapaian tujuan

rumah sakit memang bisa terukur dari efektivitas kerja perawatnya.

Mayawati (2010) yang meneliti tentang hubungan antara motivasi dengan

kepuasan kerja perawat di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Klaten. Hasil dari

penelitian ini bahwa ada hubungan antara motivasi (p=0.001) dengan kepuasan

kerja perawat Puskesmas Rawat Inap Kab. Klaten. Rancangan penelitian yang

Page 10: BAB II ku

10

dipakai adalah deskripsi korelatif dengan teknik pengambilan data secara cross

sectional. Hal yang sama dilakukan oleh Halim, dan Hayulinanda Sartika (2012)

tentang pengaruh motivasi dan lingkungan kerja non fisik terhadap kinerja

karyawan bahwa lingkungan kerja non fisikberpengaruh positif terhadap kinerja

karyawan (T hitung = 8,237 > T tabel = 1,667).

Pemantauan kesehatan khususnya pelayanan rumah sakit mempunyai arti

bagaimana memberikan kebutuhan dan kepuasan kepada pelanggan atau

masyarakat yang akan datang berobat. Studi pendahuluan, ditemukan bahwa

pelayanan yang cepat, tepat dan teliti merupakan hal yang pasien atau pelanggan

harapkan. RS. Puri Cinere adalah salah satu Rumah Sakit swasta di wilayah

Cinere, dimana diketahui RS tersebut berada di wilayah yang berbatasan dengan

wilayah Jakarta Selatan. Oleh karena itu, RS. Puri Cinere sangat strategis dan

menjadi alternatif pilihan warga untuk berobat atau mendapat pelayanan

kesehatan sehingga penting sekali bagi rumah sakit untuk menjaga kualitas

pelayanan kesehatan yang diberikan. RS.Puri Cinere berdiri 15 Desember 1991,

memiliki 22 fasilitas klinik yaitu klinik psikologi, umum, bedah, kebidanan/

kandungan, kesehatan anak, penyakit dalam, penyakit syaraf, kesehatan jiwa,

THT, mata, kulit dan perawatan wajah, jantung, paru, gigi dan mulut, gizi klinik,

akupuntur, rehabilitasi medik, medikal check up, klinik laktasi, hearing center,

klinik stroke, serta klinik edukasi diabetes. Fasilitas rawat inap yaitu ruang

anggrek, ruang mawar, ruang melati, ruang seruni, ruang aster, kamar bayi, ICU

dan HCU. Berdasarkan hal yang disebutkan diatas, maka penulis tertarik untuk

Page 11: BAB II ku

11

mengetahui Pengaruh disiplin, motivasi, lingkungan kerja, dan pengawasan

terhadap efektifitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

1.2 Rumusan Masalah

Hasil yang dijadikan sebagai output penilaian tercapainya tujuan

organisasi dapat berupa terjadinya efektifitas kerja karyawan. Efektivitas perawat

RS. Puri Cinere sebagai pemberi layanan jasa dapat dipengaruhi oleh beberapa

variabel baik variabel finansial maupun variabel non finansial. Selain itu, karena

adanya penurunan kinerja pelayanan sampai saat ini dan dalam kurun waktu

beberapa tahun terakhir telah berdiri beberapa pelayanan kesehatan lainnya yang

menjadi pesaing yang kompetitor bagi RS. Puri Cinere di wilayah Depok.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah efektivitas kerja perawat sedangkan

yang menjadi variabel terikatnya yaitu meliputi disipin, motivasi kerja,

lingkungan kerja dan pengawasan kerja.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 10 pengunjung yang

diwawancarai, didapatkan hasil bahwa 1 responden menyatakan tarif tidak jelas, 1

reponden lain menjawab susternya sedikit judes dalam menjawab, 1 responden

pelayanan administrasi sedikit bertele-tele (ribet), 6 responeden menyatakan

bahwa bahwa RS dekat dengan rumah, 2 responden menyatakan bahwa biaya RS

cukup mahal dan 10 responden mengatakan RS.Puri Cinere bersih dan nyaman.

Hal ini didukung oleh pernyataan dari kepala divisi humas dan pemasaran: “ rata-

rata pasien yang yang datang ke RSPC masih yang tinggalnya di RS dari kalangan

menengah ke atas dan biasanya sudah lama berobat disini”, lalu pernyataan

dikuatkan oleh responden: “Saya lebih berobat di RSPC karena cukup dekat dari

Page 12: BAB II ku

12

rumah, hanya 30 menitan. Dokternya sudah cocok dengan anak/ keluarga saya.

Masalahnya biaya, saya pikit tadinya mahal tapi lumayan sebanding dengan

pelayanan, hanya saja kadang kalau sangat ramai, perawat/ susternya agak judes,

terburu- buru dan lama melayaninya”. Dilanjutkan dengan mewancarai kepala

bagian keperawatan didapatkan bahwa ada peraturan yaitu denda kepada perawat

yang datang terlambat atau kurang disiplin yaitu sebesar Rp 10.000,-. Hasil

didapatkan dari seorang perawat di ruang melati bahwa ada saja perawat yang

terlambat, maka perawat yang tersebut membayar denda yang akan diberikan

kepada kepala ruangan. Kelalaian lain yang biasa dilakukan oleh perawat antara

lain keterlambatan pemberian obat, lupa menempelkan stiker resiko jatuh. Hal

tersebut juga dikuatkan dengan penurunan jumlah kunjungan rawat jalan: tahun

2008 sebanyak 11.4013 jiwa, tahun 2009 menurun menjadi 11.3627 jiwa, tahun

2010 menjadi 11.2297 dan tahun 2012 menjadi 11.2012 jiwa.

Penetapan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah perlunya

pengukuran disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja dan pengawasan terhadap

efektivitas kerja perawat RS. Puri Cinere.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh langsung atau tidak langsung serta besarannya

disiplin, motivasi, lingkungan kerja dan pengawasan kerja terhadap efektivitas

kerja perawat Rumah Sakit Puri Cinere ?

Page 13: BAB II ku

13

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya disiplin, motivasi,

lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat

Rumah Sakit Puri Cinere.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya motivasi

terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

2. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya disiplin terhadap

efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

3. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya lingkungan kerja

terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

4. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya pengawasan

terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

5. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya motivasi dan

disiplin terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri

Cinere.

6. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya lingkungan kerja

dan motivasi terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit

Puri Cinere.

7. Mengetahui pengaruh langsung serta besarannya pengawasan dan

disiplin terhadap efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri

Cinere.

Page 14: BAB II ku

14

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Teoritis

Penelitian ini tidak menghasilkan teori baru tetapi konfirmasi bahwa

variabel pada pengaruh disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja, dan

pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere

dengan teori yang ada pada tinjauan pustaka sudah sesuai. Penelitian

ditujukan untuk mengetahui pengaruh antara disiplin, motivasi kerja,

lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di

Rumah Sakit Puri Cinere. Hasil penelitian yang diperoleh digunakan

sebagai pembuktian atas hipotesis yang diajukan.

2. Metodologis

Pendekatan ini dapat diterapkan untuk perbaikan dan pengembangan

Rumah Sakit Puri Cinere.

3. Praktis

Hasil yang didapatkan dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh

langsung maupun tidak langsung pada variabel pengaruh disiplin, motivasi

kerja, lingkungan kerja, dan pengawasan dengan efektivitas kerja perawat

di Rumah Sakit Puri Cinere dapat lebih memfokuskan pengembangan

sesuai dengan hasil penelitian. Bagi instansi rumah sakit akan digunakan

untukmenerapkan kebijakan pengelolaan ketenagakerjaan terutama di

bidang peningkatan kinerja perawat.

Page 15: BAB II ku

15

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan

pendekatan kuantitatif. Padapenelitian ini peneliti mengambil sampel dari suatu

populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data.

Pada akhir penelitian dilakukan analisis untuk menguji hipotesis yang

diajukan pada awal penelitian. Analisis yang digunakan dengan pendekatan

analisis jalur (Path Analysis). Dilakukan uji analisis jalur antara variabel bebas

(eksogen) terhadap variabel terikat (endogen) yang terdapat pada disiplin,

motivasi, lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap efektivitas kerja perawat

Rumah Sakit Puri Cinere. Uji ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh langsung

dan tidak langsung antara disiplin, motivasi kerja, lingkungan kerja, dan

pengawasan dengan efektivitas kerja perawat di Rumah Sakit Puri Cinere.

Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Data primer diperoleh

melalui kuesioner di Rumah Sakit Puri Cinere.

Page 16: BAB II ku

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Efektivitas Kerja Perawat

2.1.1 Definisi Efektivitas Kerja

Efektivitas kerja adalah suatu keadaan dimana aktivitas- aktivitas

jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan oleh manusia dalam mencapai hasil

atau akibat sesuai yang dikehendakinya (Sutarto, 1978: 95).

Efektivitas kerja merupakan suatu ukuran tentang pencapaian suatu

tugas atau tujuan (Schermerhorn, 1998: 5).

Menurut Handayaningrat (1996: 16):

“Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya”.

Menurut Siagian, efektivitas kerja adalah penyelesaian pekerjaan

tepat waktunya yang telah ditetapkan (Siagian, 1983: 151). Sedangkan

menurut ( The Liang Gie, 1981: 21) yang disebut efektivitas kerja adalah

suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari sejumlah rangkaian aktivitas

jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan manusia untuk mencapai tujuan

tertentu.

Pengertian efektivitas kerja menurut Susanto (2004: 41):

Page 17: BAB II ku

17

“Efektivitas artinya informasi harus sesuai dengan kebutuhan

pemakai dalam mendukung suatu proses bisnis, termasuk di dalam

informasi tersebut harus disajikan dalam waktu yang tepat, format

yang tepat sehingga dapat dipahami, konsisten dengan format

sebelumnya, isinya sesuai dengan kebutuhan saat ini dan lengkap

atau sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan”.

Sedangkan menurut Amsyah (2003: 131), efektivitas kerja

didefinisikan sebagai berikut:

“Efektifitas adalah kegiatan dengan mulai adanya fakta kegiatan

sehingga menjadi data, baik yang berasal dari hubungan dan

transaksi internal dan eksternal maupun berasal dari hubungan antar

unit dan didalam unit itu sendiri”.

Pengertian yang dikemukakan para ahli diatas mengenai efektivitas

pada dasarnya hanya mengenai tujuan organisasi/ instansi terhadap kinerja

pegawai sebagai keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dari sudut

pandang: pertama dari segi hasil, tujuan atau akibat yang dikehendaki dapat

dicapai, dan kedua dari segi usaha yang ditempuh dan dilaksanakan telah

tercapai dan keduanya secara maksimal.

Berdasarkan berbagai pendapat mengenai efektivitas tersebut, dapat

ditarik suatu kesimpulan bahwa efektivitas kerja pegawai dapat dikatakan

sebagai taraf tercapainya suatu tujuan tertentu secara maksimal, baik

ditinjau dari segi proses, jumlah format, serta ketepatan waktu sesuai

Page 18: BAB II ku

18

prosedur, kebutuhan, dan ketentuan yang ditetapkan dalam organisasi

tersebut.

Upaya untuk mendefinisikan yang umum dan sering digunakan

adalah bertumpu pada pendekatan efektifitas dari segi optimasi tujuan,

yakni kemampuan organisasi memanfaatkan sumber daya untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, definisi yang bertumpu pada

optimasi tujuan haruslah diberi makna sebagai tujuan yang diukur menurut

konsep organisasi, yaitu ukuran mengenai seberapa jauh suatu organisasi

mencapai tujuan yang hendak capai. Efektivitas organisasi terdiri dari

efektivitas individu dan kelompok. Hal ini disebabkan adanya beberapa

pandangan mengenai efektivitas itu sendiri. Kata efektif berasal dari bahasa

inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan

berhasil dengan baik.

Menurut Harbani Pasolong (2007:4), efektivitas pada dasarnya

berasal dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab

akibat. Efektivitas menurut arti harfiahnya adalah suatu efek atau akibat

yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.

Kata efektivitas tidak dapat disamakan dengan efisien. karena

keduanya memiliki arti yang berbeda walupun dalam berbagai penggunaan

kata efisien lekat dengan efektivitas. Efisiensi mengandung pengertian

perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan efektivitas secara langsung

dihubungkan dengan pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu

dimensi dari produktivitas, yaitu mengarah kepada pencapaian unjuk kerja

Page 19: BAB II ku

19

yang maksimal, yaitu mengarah kepada pencapaian target yang berkaitan

dengan kualitas, kuantitas dan waktu.

Menurut Patron (1986: 157): Efektifitas kerja adalah sebuah kriteria

evaluasi tentang pengukuran keberhasilan dari suatu kebijaksanaan atau

perencanaan dibandingkan dengan akibat atau hasil yang diharapkan. Jadi

antara hasil pekerjaan yang dicapai dengan tujuan perencanaan harus

sinkron, karena itu sebagai indikator dari efektifitas kerja dalam sebuah

kantor atau organisasi.

Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa

jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut

sesuai dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (1986) menjelaskan

bahwa:

“Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh

target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah tercapai. Dimana makin

besar presentase target yang di capai, makin tinggi efektivitasnya”.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa efektivitas kerja berarti

penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Artinya,

apakah pelaksanaan suatu kegiatan/ tugas dinilai baik atau tidak sangat

tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan dan tidak terutama

menjawab pertanyaan bagaimana cara pelaksanaan dan biaya yang

dikeluarkan untuk itu. Efektivitas kerja pegawai dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat dapat dicapai apabila organisasi itu juga

Page 20: BAB II ku

20

mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan. Dalam

hal ini efektivitas harus termasuk juga efisiensinya.

Berdasarkan pengertian tentang efektivitas dan kerja diatas jika

digabungkan akan memperoleh suatu pengertian yaitu efektivitas kerja

adalah akibat atau efek yang timbul akibat sejumlah rangkaian aktivitas

jasmani dan rohani yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai tujuan

tertentu. Disisi lain suatu pekerjaan dikatakan efektif bila dapat diselesaikan

tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan kerja adalah suatu keadaan yang menunjukkan aktivitas pekerjaan

yang memberikan hasil atau akibat seperti yang dikehendaki sesuai dengan

waktu yang telah ditetapkan.

2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas kerja, seperti yang

dikemukakan oleh Ricard M. Steers (1985) yang menyatakan adanya empat

faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas kerja yaitu :

a. Karakteristik organisasi

Terdiri dari struktur dan teknologi organisasi dimana yang

dimaksud struktur adalah hubungan yang relatif tetap sifatnya, sehubungan

dengan susunan sumber daya manusianya. Struktur meliputi bagaimana

organisasi menyusun orang- orang atau mengelompokkan orang-orang

Page 21: BAB II ku

21

dalam menyelesaikan pekerjaannnya. Teknologi adalah mekanisme suatu

organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi.

Teknologi yang tepat akan menunjang kelancaran organisasi didalam

mencapai sasaran, disamping juga dituntut adanya penempatan orang yang

tepat pada tempat yang tepat pula.

b. Karakteristik Lingkungan

Lingkungan mempunyai pengaruh penting di dalam organisasi.

Lingkungan itu mencakup dua aspek yang berhubungan, yaitu lingkungan

ekstern dan intern. Karakteristik organisasi berpengaruh terhadap efektivitas

disamping lingkungan luar dan dalam telah dinyatakan berpengaruh

terhadap efektivitas. Lingkungan luar yang dimaksud adalah luar organisasi

misalnya hubungan dengan masyarakat sekitar, sedang lingkungan dalam

lingkup organisasi misalnya karyawan atau pegawai di perusahaan tersebut.

Keberhasilan hubungan organisasi lingkungan tampaknya amat tergantung

pada tiga variabel yaitu :

1) Tingkat keterdugaan keadaan lingkungan

2) Ketepatan persepsi atas keadaan lingkungan

3) Tingkat rasionalitas organisasi.

Ketiga faktor ini mempengaruhi ketepatan tanggapan organisasi

terhadap perubahan lingkungan makin tepat tanggapannya, makin berhasil

adaptasi yang dilakukan oleh organisasi.

c. Karakteristik Pekerja

Page 22: BAB II ku

22

Merupakan karakteristik yang penting, karena pekerja merupakan

sumber daya yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya

yang ada di dalam organisasi. Pekerja merupakan modal utama didalam

organisasi yang akan berpengaruh terhadap efektivitas kerja, karena

walaupun teknologi yang canggih dan didukung adanya struktur yang baik,

tanpa adanya pekerja maka semuanya itu tidak berguna. Kenyataannya, para

karyawan atau pekerja perusahaan merupakan faktor pengaruh yang paling

penting atas efektivitas karena prilaku pekerja yang dalam jangka panjang

akan memperlancar atau merintangi tercapainya tujuan organisasi. Pekerja

merupakan sumber daya yang langsung berhubungan dengan pengelolaan

semua sumber daya yang ada didalam organisasi, oleh sebab itu perilaku

pekerja sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi.

d. Karakteristik Kebijaksanaan dan Managemen

Kebijaksanaan dan praktek managemen dapat mempengaruhi

pencapaian hasil atau dapat juga merintangi pencapaian tujuan. Hal ini

mencakup bagaimana kebijaksanaan dan praktek pimpinan dalam tanggung

jawabnya terhadap para pekerja dan organisasi. Semakin rumitnya proses

teknologi dan makin rumit atau kejamnya lingkungan, maka peranan

manajemen dalam mengkoordinasi orang dan proses demi keberhasilan

organisasi semakin sulit. Kebijaksanaan dan praktek manajemen dapat

mempengaruhi atau dapat merintangi pencapaian tujuan, ini tergantung

bagaimana kebijaksanaan dan praktek manajemen dalam tanggung jawab

terhadap para karyawan dan organisasi. Penjelasan tentang faktor-faktor

Page 23: BAB II ku

23

yang mempengaruhi efektivitas kerja, seperti yang dikemukakan oleh

(Henry Fanyol dalam Sutarto) yang menamakan asasnya dengan “Prinsiples

of Organisasi” (asas-asas organisasi) sebagai berikut:

1) Devision of work (pembagian kerja)

2) Authority and responsibility (wewenang dan tanggung jawab)

3) Disiplin (disiplin)

4) Unity of commond (kesatuan perintah)

5) Unityof direction (kesatuan arah)

6) Subordination of individual interest general interest (kepentingan

individu dibawah kepentingan umum)

7) Remunaration (pay) of personnel (gaji pegawai/karyawan)

8) Centralization (sentralisasi)

9) Scalarchain (rangkaian skala)

10) Order (ketertiban)

11) Equity (keadilan)

12)Stability of tenure of personnel (kestabilan masa kerja

pegawai/karyawan)

13) Initiative (inisiatif)

14) Espritdecorp (kesatuan jiwa korp)

Setiap orang ingin mengembangkan potensi yang ada pada dirinya,

dengan diberikan kesempatan berprestasi maka pegawai akan dapat

meningkatkan efektivitas kerjanya (Siagian, 1983: 154). Faktor- faktor yang

dapat mempengaruhi efektivitas kerja pegawai adalah :

Page 24: BAB II ku

24

a. Ketrampilan

Ketrampilan banyak pengaruhnya terhadap efektivitas kerja pegawai.

Keterampilan pegawai dalam suatu instansi dapat ditingkatkan melalui

latihan- latihan.

b. Motivasi

Adanya motivasi mendorong seseorang untuk lebih giat dalam

menjalankan tugasnya. Disiplin kerja merupakan keadaan yang

menyebabkan/ memberikan dorongan kepada pegawai untuk berbuat dan

melakukan segala kegiatan sesuai dengan norma- norma/ peraturan yang

telah ditetapkan.

c. Sikap dan etika kerja

Etika dalam hubungan kerja sangat penting karena akan menciptakan

hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang antara pelaku dalam proses

yang akan meningkatkan efektivitas kerja.

d. Gizi dan kesehatan

Apabila ada pegawai yang mengalami gangguan kesehatan dan

pegawai tersebut tidak dapat melaksanakan pekerjaannya maka secara

otomatis tidak akan ada efektivitas kerja.

e. Tingkatan penghasilan

Penghasilan atau gaji yang cukup berdasarkan prestasi kerja akan

memberi semangat sehingga efektivitas kerja akan tercapai.

f. Lingkungan dan iklim kerja

Page 25: BAB II ku

25

Lingkungan dan iklim kerja yang mendukung akan menambah kerja

yang lebih efektif.

g. Sarana/ alat

Tersedianya peralatan dan perlengkapan yang memadai dalam

organisasi akan menunjang peningkatkan efektivitas kerja.

h. Manajemen

Di dalam organisasi jika manajemen berjalan baik maka pegawai akan

terorganisasi dengan baik sehingga akan mendukung suatu efektivitas kerja.

i. Kesempatan berprestasi.

Menurut Stephen P.Robbins (1996 : 24) menyatakan bahwa faktor-

faktor yang mendorong peningkatan efektivitas kerja pegawai,adalah:

1. Sikap (disiplin)

2. Kepentingan atau minat

3. Motif

4. Pengalaman masa lalu

5. Penerapan (dispektasi)

Masih Stephen P.Robbins (1996:225), dalam halaman berikutnya

mengemukakan terdapat empat faktor yang dapat mendukung atau

mendorong tingkat efektifitas kerja pegawai, yaitu:

1. Kendali (kontrol pengawasan)

2. Motivasi

3. pengungkapan emosional

Page 26: BAB II ku

26

4. Informasi

Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (2000: 73), Mengatakan bahwa

faktor- faktor yang dapat mendorong efektivitas pegawai adalah:

1. Pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahliannya.

2. Pekerjaan yang menyediakan perlengkapan yang baik.

3. Pekerjaan yang menyediakan informasi yang lengkap.

4. Pengawasan yang tidak terlalu ketat.

5. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang memadai.

6. Pekerjaan yang memberikan rasa aman dan tenang.

7. Harapan yang dikandung pegawai itu sendiri.

Kemudian Sondang P.Siagian (1995:101), menyatakan bahwa

faktor- faktor yang menentukan efektivitas kerja pegawai (seseorang)

adalah:

1. Karakteristik individual

2. Sikap

3. Motif

4. Kepentingan

5. Minat

6. Pengalaman

7. Harapan

Menurut Stan Kossen (1993: 228) dikatakan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi efektivitas kerja pegawai adalah:

1. Organisasi itu sendiri

Page 27: BAB II ku

27

2. Kegiatan- kegiatan itu sendiri

3. Sifat pekerjaan

4. Teman- teman/ rekan sejawat mereka

5. Majikan- majikan/ atasan mereka

6. Konsep- konsep mereka sendiri

7. Pemenuhan keperluan mereka

Menurut Relly (2003:119) Faktor-faktor yang mempengaruhi

efektivitas kerja dalam organisasi :

1. Waktu

Ketepatan waktu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan

faktor utama. Semakin lama tugas yang dibebankan itu dikerjakan, maka

semakin banyak tugas lain menyusul dan hal ini akan memperkecil tingkat

efektivitas kerja karena memakan waktu yang tidak sedikit.

2. Tugas

Bawahan harus diberitahukan maksud dan pentingnya tugas- tugas yang

didelegasikan kepada pegawainya.

3. Produktivitas

Seorang pegawai mempunyai produktivitas kerja yang tinggi dalam

bekerja tentunya akan dapat menghasilkan efektivitas kerja yang baik

demikian pula sebaliknya.

Page 28: BAB II ku

28

4. Motivasi

Pimpinan dapat mendorong pegawainya melalui perhatian pada

kebutuhan dan tujuan mereka yang sensitif. Semakin termotivasi karyawan

untuk bekerja secara positif semakin baik pula kinerja yang dihasilkan.

5. Evaluasi Kerja

Pimpinan memberikan dorongan, bantuan, dan informasi kepada

pegawainya, sebaliknya pegawai harus melaksanakan tugas dengan baik

dan menyelesaikan untuk dievaluasi tugas terlaksana dengan baik atau tidak.

6. Pengawasan

Pengawasan maka kinerja pegawai dapat terus terpantau dan hal ini

dapat memperkecil resiko kesalahan dalam pelaksanaan tugas.

7. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah menyangkut tata ruang, cahaya alam, dan

pengaruh suara yang mempengaruhi konsentrasi seseorang pegawai sewaktu

bekerja.

8. Perlengkapan dan Fasilitas

Adalah suatu sarana dan peralatan yang disediakan oleh pimpinan

dalam bekerja. Fasilitas yang kurang lengkap akan mempengaruhi

kelancaran pegawai dalam bekerja. Semakin baik sarana yang disediakan

oleh pemerintah akan mempengaruhi semakin baiknya kerja seorang dalam

mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan.

Page 29: BAB II ku

29

1.1.3 Indikator Efektivitas Kerja

Indikator untuk mengukur efektivitas kerja karyawan, penulis

menggunakan kriteria ukuran yang dikemukakan oleh Richard M. Steers,

yaitu dalam usaha membina pengertian efektivitas yang semula bersifat

abstrak itu menjadi sedikit banyak mengidentifikasi segi- segi yang lebih

menonjol yang berhubungan dengan konsep ini (Steers, 1985:20). Meski

ada sederetan panjang kriteria evaluasi yang dipakai, namun kriteria yang

paling banyak digunakan adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan menyesuaikan diri

Kemampuan kerja manusia terbatas baik fisik, waktu, tempat,

pendidikan serta faktor lain yang membatasi kegiatan manusia. Adanya

keterbatasan ini yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai

pemenuhan semua kebutuhannya tanpa melalui yang lain. Setiap orang yang

masuk ke dalam organisasi dituntut untuk menyesuaikan diri dengan orang-

orang yang bekerjadi dalamnya maupun dengan tugas pekerjaan yang ada

dalam organisasi tersebut. Kemampuan menyesuaikan diri ini sangat

penting karena hal tersebut merupakan sarana tercapainya kerjasama antara

karyawan yang dapat mendukung tercapainya tujuan organisasi. Hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Richard M. Steers berikut ini : “Pada

kenyataannya mudah dijelaskan bahwa kunci keberhasilan organisasi bagi

pencapian tujuan” (Richard M. Steers, terjemahan Magdalena 1985: 134-

135).

Page 30: BAB II ku

30

Kemampuan menyesuaikan diri sangatlah penting, karena hal ini

merupakan tujuan organisasi, dimana dengan mampu menyesuaikan diri

pegawai akan dapat bekerjasama dengan orang lain sehingga pemenuhan

kebutuhan dan tujuan organisasi tercapai.

Kemampuan manusia terbatas dalam sagala hal, sehingga dengan

keterbatasannya itu menyebabkan manusia tidak dapat mencapai

pemenuhan kebutuhannya tanpa melalui kerjasama dengan orang lain. Hal

ini sesuai pendapat Ricard M. Steers yang menyatakan bahwa kunci

keberhasilan organisasi adalah kerjasama dalam pencapaian tujuan. Setiap

orang yang masuk dalam organisasi dituntut untuk dapat menyesuaikan diri

dengan orang yang bekerja didalamnya maupun dengan pekerjaan dalam

organisasi tersebut. Jika kemampuan menyesuaikan diri tersebut dapat

berjalan maka tujuan organisasi dapat tercapai. yaitu:

Indikator-indikator penilaian kemampuan menyesuaikan diri pegawai yaitu:

1) Situasi: Situasi baik di dalam kantor maupun di luar yang kondusif dapat

menimbulkan rasa nyaman bagi para pegawai untuk melaaksanakan

tugasnya.

2) Komunikasi: Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak

manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Hal ini

karena adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami

dan mengakui pendapat ataupun prestasi pegawainya sangat berperan

dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.

Page 31: BAB II ku

31

3) Kerjasama: Saling bekerja sama antar pegawai dapat menjadikan

pekerjaan semakin mudah. Setiap pegawai mampu bekerjasama dengan

baik dengan sesamanya sehingga tujuan organisasi dapat terwujud.

b. Kepuasan kerja

Merupakan tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peran

atau pekerjaannya dalam organisasi. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kepeuasan kerja tersebut antara lain: kesempatan untuk

maju, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, pengawasan, faktor

intrinsik, kondisi kerja, komunikasi dan fasilitas (Moh. As’ad, 1991:115-

116). Disimpulkan bahwa kepuasan adalah tingkat kesenangan dalam

melaksanakan pekerjaan yang dibebankan sebagai akibat dari imbalan yang

diterima untuk memenuhi kebutuhannya, jika kebutuhan pegawai terpenuhi

maka mereka akan merasa senang dan puas.

Kepuasan kerja adalah faktor yang berhubungan langsung dengan

Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai karyawan dalam pencapaian tujuan

organisasi. Richard M. Steers (1985) mengemukakan hal sebagai berikut :

Kepuasan kerja adalah tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas

peranan atau pekerjaan dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu, bahwa

mereka dapat imbalan yang setimpal, dari bermacam-macam aspek situasi

pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Berdasarkan uraian diatas,

maka kepuasan kerja adalah tingkat kesenangan dalam melaksanakan

pekerjaan yang dibebankan sebagai akibat dari imbalan yang diterima untuk

Page 32: BAB II ku

32

memenuhi kebutuhan, bila kebutuhan karyawan terpenuhi maka mereka

akan merasa puas dan senang.

Tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peranan atau

pekerjaannya dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu bahwa mereka

mendapat imbalan yang setimpal, dari bermacam- macam aspek situasi

pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada. Adapun indikator-indikator

penilaian kepuasan kerja pegawai:

1) Isi pekerjaaan: Penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai

kontrol terhadap pekerjaan.

2) Supervisi: Keadilan dalam kompetensi penugasan managerial oleh

pimpinan.

3) Organisasi dan manajemen: Mampu memberikan situasi dan kondisi

kerja yang stabil.

4) Kesempatan untuk maju: Dalam hal ini setiap pegawai diberikan

kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan

kemampuan selama keja.

5) Gaji dan finansial lainnya: Gaji lebih banyak menyebabkan

ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya

dengan sejumlah uang yag diperolehnya.

c. Prestasi kerja

Menurut penjelasan Richard M. Steers (1985) prestasi kerja yaitu

suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan

target yang telah ditentukan bahkan ada yang melebihi target yang telah

Page 33: BAB II ku

33

ditentukan sebelumnya. Lebih lanjut Richard M. Steers mengemukakan hal

sebagai berikut ini: “secara sederhana umumnya orang percaya bahwa

prestasi kerja individu merupakan fungsi gabungan dari tiga faktor penting

yaitu :

1. Kemampuan dan minat seorang pekerja.

2. Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan.

3. Peranan seorang pekerja dan tingkat motivasi kerja

Guna mencapai prestasi seperti yang diinginkan maka diperlukan

kerja keras sesuai dengan fungsi peranan di dalam organisasi yang

dimasukinya. Prestasi kerja dapat dirasakan bila seseorang telah berhasil

melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan

sebelumnya. Prestasi kerja yang telah dicapai akan mempengaruhi orang

lain untuk dapat melakukan hal yang sama dengan demikian maka hasil

kerja di dalam organisasipun mungkin lebih baik. Prestasi kerja juga

merupakan faktor penting dalam rangka mencapai tujuan organisasi, karena

tanpa adanya prestasi kerja keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi

akan sulit. Hal ini sesuai yang dikemukakan Richard M. Steers (1985: 140)

yaitu tanpa prestasi yang baik di semua tingkat organisasi pencapaian tujuan

dan keberhasilan organisasi menjadi suatu yang sulit. Prestasi kerja adalah

suatu penyelesaian tugas pekerjaan yang sudah dibebankan sesuai dengan

target yang telah ditentukan, bahkan ada yang melebihi target yang telah

ditentukan sebelumnya.

Page 34: BAB II ku

34

Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam

melaksanakan tugas- tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan

atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, dan waktu (Hasibuan, 2001:94).

Apabila karyawan memiliki kecakapan, pengalaman, kesungguhan

waktu yang dimiliki oleh pegawai maka tugas yang diberikan dapat

dilaksanakan sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.

Prestasi kerja merupakan gambaran hasil kerja yang dicapai seseorang

dalam melaksanakan tugas- tugas yang dibebankan kepadanya dalam jangka

waktu tertentu, dengan kata lain prestasi kerja pegawai adalah kemampuan

kerja pegawai untuk melaksanakan tugasnya sehingga dapat menghasilkan

sesuatu yang menunjukkan pada pengetahuan dan keterampilan yang

mereka miliki. Pengertian prestasi kerja disebut juga sebagai kinerja atau

dalam bahasa inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada

istilah lain yang yang lebih menggambarkan pada “prestasi” dalam bahasa

inggris yaitu kata “to achieve” yang berarti “mencapai”, maka dalam bahasa

Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian” atau “apa yang dicapai’.

Hal utama yang dituntut oleh rumah sakit dari pegawainya seperti

perawat adalah prestasi kerja mereka yang sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Prestasi kerja perawat akan membawa dampak bagi perawat

yang bersangkutan maupun rumah sakit tempat mereka bekerja. Prestasi

kerja yang tinggi akan meningkatkan prodiktivitas, sebaliknya prestasi kerja

perawat yang rendah dapat menurunkan tingkat kualitas dan produktivitas

Page 35: BAB II ku

35

kerja perawat dan menurunkan kinerja rumah sakit. Adapun indikator-

indikator penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut:

1) Keterampilan, kemampuan, dan keahlian: Dapat menyelesaikan tugas

tepat waktu, mampu mengoperasikan komputer dengan baik dan

menguasai salah satu bahasa asing.

2) Kedisiplinan: Penilai menilai disiplin pegawai dalam mematuhi

peraturan- peraturan yang ada dan melalukan pekerjaannya dengan

instruksi yang diberikan kepadanya.

3) Kepribadian: Penilai menilai pegawai dari sikap perilaku, kesopanan,

periang, disukai, memberi kesan menyenangkan, memperlihatkan sikap

yang baik, serta berpenampilan simpatik dan wajar.

4) Tanggung jawab: Penilai mnenilai kesediaan pegawai dalam

mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaannya, dan hasil

kerjanya, sarana dan prasarana yang dipergunakannya, serta perilaku

kerjanya.

d. Kemampuan berlaba.

Kemampuan pekerja memberikan sumbangan pada suatu organisasi,

sebagai imbangan motivasi pekerja yang sangat menentukan kehendak

pekerja untuk menyumbang. Sifat-sifat ini dianggap relatif mantap

sepanjang waktu, walaupun mungkin akan timbul beberapa perubahan

akibat intervensi dari luar (misalnya latihan).

Hasil riset menunjukkan bahwa keberhasilan manajemen erat

hubungannya dengan tingkat kemampuan intelektual seseorang. Organisasi

Page 36: BAB II ku

36

yang orientasinya terpusat pada laba akan mengarahkan tenaga kerjanya

untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai pembagian tugas agar

tercapainya efisiensi kerja sehingga meningkatkan profit organisasi yang

akan berdampak pada tercapainya efektivitas.

e. Pencapaian Sumber Daya.

Sehubungan dengan pencapaian sumber daya telah diidentifikasi tiga

bidang yang saling berhubungan. Pertama, mengintegrasikan dan

mengkoordinasi berbagai sub sistem organisasi (yaitu produktif, pendukung

pemeliharaan, penyesuai, dan manajemen) sehingga setiap sub sistem

mempunyai sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas

utamannya. Jika sub sistem ini dikoordinasikan dengan tepat, energi yang

tersedia untuk kegiatan- kegiatan yang diarahkan ketujuan menjadi lebih

efesien.

Kedua, berhubungan dengan penetapan, pengimplementasian dan

pemeliharaan pedoman- pedoman kebijakan. Pedoman kebijakan dapat

mendukung efektifitas organisasi dengan memastikan bahwa organisasi

menarik manfaat dari keputusan dan tindakan yang lalu dan menekan

pemborosan energi atau fungsi ganda dalam beberapa bagian sampai

seminimal mungkin.

Ketiga, setiap rancangan sistem pada penelaah organisasi mengakui

adanya serangkaian umpan balik dan lingkaran kendali yang menjalankan

fungsi gyroskopik demi menjamin agar organisasi tetap pada terjadinya

dalam usaha pencapaian tujuan. Meskipun sistem pengendalian dapat

Page 37: BAB II ku

37

bermacam- macam bentuknya (keuangan, fisik atau barang, manusia),

namun dalam penelitian ini tertutama diperhatikan aspek manusia dari

sistem pengendalian. Teknik- teknik seperti akunting manusia menunjukkan

potensi untuk lebih mengakui pentingnya tingkah laku manusia sebagai

faktor penentu efektifitas. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai

indikator variabel Efektifitas Kerja adalah :

1) Kemampuan menyesuaikan diri (keluwesan).

2) Prestasi Kerja

3) Kepuasan Kerja

Page 38: BAB II ku

38

1.1.4 Teori Model Efektivitas Kerja

Menurut Steers, (1985) ada empat model karakteristik variabel

yang mempengaruhi efektivitas kerja yaitu: karakteristik organisasi,

karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, dan karakteristik

kebijaksanaan dan manajemen. Terdapat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1

Teori Model yang Mempengaruhi Efektivitas Kerja

Sumber: Steers, Ricard M. 1985. Efektivitas Organisasi: Erlangga

Karakteristik Pekerja:

1. Pekerja (SDM)

Karakteristik Kebijaksanaan & Manajemen:

Azaz Organisasi

1. Pembagian kerja2. Wewenang &

tanggungjawab3. Disiplin4. Kesatuan perintah5. Kesatuan arah6. Kepentingan individu

dibawah kepentingan umum

7. Gaji pegawai8. Sentralisasi9. Rangkaian skala10. Ketertiban11. Keadilan12. Kestabilan masa kerja

pegawai13. Kesatuan jiwa korp

Efektivitas Kerja:

1. Kemampuan menyesuaikan diri

2. Kepuasan kerja3. Prestasi kerja4. Kamampuan berlaba5. Pencapaian sumber

daya

Karakteristik Lingkungan:1. Tingkat keterdugaan keadaan

lingkungan2. Ketepatan persepsi atas

keadaan lingkungan3. Tingkat rasionalitas

organisasi

Karakteristik Organisasi:

1. Struktur organisasi2. Teknologi organisasi

Page 39: BAB II ku

39

1.1.5 Pelayanan Keperawatan

1.1.5.1 Pengertian Pelayanan Keperawatan

Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang

terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain

atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan,

pelayanan juga dapat diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan

orang lain (Hasyim, 2006).

Menurut Handerson (1980) dalam Ali (2002) pelayanan

keperawatan merupakan upaya untuk membantu individu baik yang

sakit maupun yang sehat, dari lahir sampai meninggal dunia dalam

bentuk peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki

sehingga individu tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan

sehari-hari secara mandiri.

Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit

merupakan sistem pengelolaan asuhan keperawatan yang diberikan

kepada klien agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna,

keberhasilan pelayanan keperawatan akan menimbulkan

keberhasilan asuhan keperawatan. Pelayanan keperawatan berfokus

pada berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan klien melalui

intervensi keperawatan yang berlandaskan kiat dan ilmu

keperawatan (Nurrachmah, 2001).

Page 40: BAB II ku

40

1.1.5.2 Faktor yang mempangaruhi

Mutu pelayanan keperawatan Menurut Nurrachmah (2001)

kelancaran pelayanan keperawatan di suatu ruang rawat baik rawat

inap maupun rawat jalan dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain

adanya:

a. Visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dijabarkan secara lokal

ruang rawat.

b. Struktur organisasi lokal, mekanisme kerja (standar-standar) yang

dilakukan di ruang rawat.

c. Sumber daya manusia keperawatan yang memadai baik kuantitas

maupun kualitas.

d. Metoda penugasan/pemberi asuhan dan landasan model

pendekatan kepada klien yang ditetapkan.

e. Tersediannya berbagai sumber/fasilitas yang mendukung

pencapaian kualitas pelayanan yang diberikan.

f. Kesadaran dan motivasi dari seluruh tenaga keperawatan yang

ada

g. Komitmen dari pimpinan rumah sakit.

Menurut Djunaidi, dkk (2006) kepuasan terhadap

pelayanan yang diberikan dapat dilihat dari lima dimensi antara lain:

a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik,

perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.

Page 41: BAB II ku

41

b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan

pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan

yang telah dijanjikan.

c. Responsiveness (daya tangkap), yaitu keinginan para staf untuk

membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan

tanggap.

d. Assurance (jaminan), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan

dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari

bahaya maupun resiko.

e. Empaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,

komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap

kebutuhan pelanggan.

1.1.6 Sintesis Efektifitas Kerja

Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa efektivitas

kerja adalah aktivitas jasmaniah dan rohaniah yang dilakukan untuk

mencapai sasaran dan tujuan tertentu dengan tepat waktu sesuai yang telah

ditetapkan. Efektivitas kerja diukur dengan indikator motivasi, pengawasan,

disiplin kerja dan lingkungan kerja.

Page 42: BAB II ku

42

1.2. Motivasi Kerja

2.2.1 Definisi Motivasi

Dalam Notoatmodjo (2007) motif atau motivasi berasal dari kata

Latin moreve yang berarti dorongan dari dalam diri manusia untuk bertindak

atau berperilaku. Pengertian motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau

needs atau want. Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang

perlu ditanggapi atau direspon.

Menurut Hanafi (2003), motivasi adalah sesuatu yang mendorong

seseorang bertindak atau berperilaku tertentu. Motivasi membuat seseorang

menilai, melaksanakan dan mempertahankan kegiatan tertentu.

Menurut Nawawi (2005), motivasi adalah suatu kondisi yang

mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau

kegiatan yang berlangsung secara sadar. Motivasi dapat diartikan juga

sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat

persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik

yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)

maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Akhmad, 2008).

Motivasi sering kali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan

atau tenaga tersebut merupakan jiwa dan jasmani untuk berbuat mencapai

tujuan, sehingga motivasi merupakan suatu driving force yang menggerakan

manusia untuk bertingkah laku, dan didalam perbuatanya itu mempunyai

tujuan tertentu. Motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan proses

Page 43: BAB II ku

43

pemberian dorongan bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa

sehingga mereka mau bekerja ikhlas demi mencapai tujuan organisasi secara

efisien. (Harianja, 2009).

Menurut Hafizurrachman (2011) motivasi kerja adalah dorongan

dalam diri seseorang untuk melaksanakan pekerjaan didalam mencapai

tujuan organisasi.

Menurut Stoner (1986) motivasi adalah hal yang menyebabkan dan

mendukung perilaku seseorang. Motivasi merupakan unsur yang sangat

penting dalam memacu karyawan agar berbuat lebih baik dalam rangka

pencapaian tujuan organisasi. Tanpa adanya motivasi seorang karyawan

tidak akan bekerja secara optimal karena ketiadaan dorongan bagi dirinya

dalam melaksanakan berbagai tugas yang akan dibebankan kepadanya.

Menurut Robbins (1996), motivasi kerja sebagai suatu kerelaan

untuk berusaha seoptimal mungkin dalam pencapaian tujuan organisasi

yang dipengaruhi oleh kemampuan usaha untuk memuaskan beberapa

kebutuhan individu. Sementara Gibson (1987) menyebutkan motivasi kerja

merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang

menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Disimpulkan bahwa motivasi

kerja perawat adalah segala sesuatu yang mendorong perawat untuk

menunjukkan kesediaannya yang tinggi untuk berupaya mencapai tujuan

pelayanan rumah sakit dalam melakukan pelayanan asuhan keperawatan di

rumah sakit.

Page 44: BAB II ku

44

2.2.2 Indikator Motivasi yang Mempengaruhi Efektivitas Kerja

Menurut Handoko (2001) jika dilihat atas fungsi motivasi terbagi

atas motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu motivasi

yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah

ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Motivasi ekstrinsik yaitu

motivasi yang berfungsi dengan adanya faktor dorongan dari luar individu.

Teori motivasi lain dikembangangkan oleh Herzberg yang

merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.

Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan

organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit

dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara

kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan

model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Sumantri, 2012). Berdasarkan hasil

penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai

Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut teori

ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu

faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau

instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut

disatisfier atau ekstrinsic motivation (Handoko, 2000).

Teori Herzberg yang dikembangkan oleh Frederick Hesberg

melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor

intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-

Page 45: BAB II ku

45

masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar

diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja (Hasibuan,

2005). Faktor-faktor yang termasuk dalam motivasi intrinsik yaitu tanggung

jawab, penghargaan, pekerjaan itu sendiri, pengembangan dan kemajuan.

Motivasi ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang,

terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Faktor-faktor yang termasuk

dalam motivasi ekstrinsik adalah gaji, kebijakan, hubungan kerja,

lingkungan kerja, supervisi (Manullang, 2001)

2.2.2.1 Motivasi Instrinsik (Internal)

Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang timbul dari

dalam diri individu. Motivasi perawat meliputi karakteristik

individu, lama pekerjaan, tanggung jawab, penghargaan, pekerjaan

itu sendiri, pengembangan dan kemajuan.

a. Karakteristik Individu

Karakteristik individu dalam penelitian ini adalah segala

sesuatu ciri yang melekat pada individu baik ciri biologis

maupun ciri sosio demografinya. Adapun variabel yang

termasuk dalam karakteristik individu tersebut adalah umur,

jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, dan masa kerja.

1) Umur

Umumnya umur sangat mempengaruhi didalam

pelayanan pada pasien, karena hal tersebut merupakan suatu

Page 46: BAB II ku

46

ukuran untuk menilai tanggung jawab seseorang dalam

melakukan suatu kegiatan ataupun aktivitas (Hurlock, 1980).

Umur adalah jumlah tahun hidup perawat sejak lahir

sampai ulang tahun terakhir yang dihitung berdasarkan tahun.

Umumnya motivasi kerja meningkat sejalan dengan

peningkatan usia pekerja. Wexley (1977), mengemukakan

bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai motivasi kerja

relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua,

karena pekerja lebih muda belum berpijak pada realitas,

sehingga seringkali mengalami kekecewaan dalam bekerja.

Hal ini menyebabkan rendahnya motivasi kerja dan kepuasan

kerja.

Menurut Siagian (1995), semakin lanjut usia seseorang

semakin meningkat pula kedewasaan tehnisnya, demikian

pula psikologis serta menunjukkan kematangan jiwa. Usia

yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan

kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berpikir

rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi terhadap

pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap

peningkatan motivasinya

2) Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan. Perbedaan

jenis kelamin dapat berdampak terhadap perbedaan motivasi

Page 47: BAB II ku

47

kerja perawat. Shye (1991, dalam Ilyas, 1999)

mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan produktivitas

kerja antara perawat wanita dan perawat pria. Walupun

demikian jenis kelamin perlu diperhatikan karena sebahagian

besar tenaga keperawatan berjenis kelamin wanita dan

sebagian kecil berjenis kelamin pria. Pada pria dengan beban

keluarga tinggi akan meningkatkan jam kerja perminggu,

sebaliknya wanita dengan beban keluarga tinggi akan

mengurangi jam kerja perminggu.

3) Status Pernikahan

Status perkawinan seseorang turut pula memberikan

gambaran tentang cara, dan tehnik yang sesuai untuk

digunakan bagi perawat yang telah berkeluarga untuk

melakukan pekerjaan diluar rumah dibandingkan dengan

perawat yang tidak atau belum berkeluarga. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa karyawan yang telah berkeluarga

memiliki potensi untuk memperlihatkan motivasi yang

berbeda daripada yang belum berkeluarga.

4) Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang tinggi yang dimiliki seseorang akan

lebih mudah memahami suatu informasi. Sebaliknya dengan

pendidikan rendah sangat sulit menterjemahkan informasi

Page 48: BAB II ku

48

yang didapatkan, baik dari petugas kesehatan maupun dari

media- media lain.

Perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan

tinggi akan mewujutkan motivasi kerja yang berbeda

dengan pendidikan yang lebih rendah. Menurut Siagian

(1995) mengatakan bahwa latar belakang pendidikan

mempengaruhi motivasi kerja seseorang. Tenaga

keperawatan yang berpendidikan tinggi motivasinya akan

lebih baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan

yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang

berpendidikan rendah. Perawat dengan pendidikan lebih

tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa

saran-saran yang bermanfaat terhadap manajer keperawatan

dalam upayanya meningkatkan motivasi perawat.

Hal serupa dikemukakan oleh Notoadmodjo (1993)

bahwa melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan

kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan

dalam bertindak. Simanjuntak (1985) mengatakan bahwa

semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi

produktivitas kerjanya.

5) Masa Kerja

Kinerja masa lalu cenderung dihubungkan pada hasil

seseorang, semakin lama ia bekerja maka semakin terampil

Page 49: BAB II ku

49

dalam melaksanakan tugasnya sehingga senioritas dalam

bekerja akan lebih terfokus jika dibandingkan dengan orang

yang baru bekerja (Robbins, 1996).

Masa kerja adalah lamanya seseorang bekerja pada suatu

organisasi. Setiap organisasi pelayanan kesehatan

menginginkan turn overnya rendah dalam arti tenaga/

karyawan aktif yang lebih lama bekerja di rumah sakit

tersebut tidak pindah ke rumah sakit lain, sebab dengan turn

over yang tinggi menggambarkan kinerja rumah sakit

tersebut.

Siagian (1995), mengatakan bahwa semakin banyak

tenaga aktif yang meninggalkan organisasi dan pindah

keorganisasi lain mencerminkan ketidak beresan organisasi

tersebut. Lebih lanjut Siagian (1995) mengatakan bahwa

semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi

maka semakin tinggi motivasi kerjanya.

b. Pekerjaan itu sendiri (Beban Kerja)

Gillies (1994) menyatakan bahwa variasi tugas atau

jenis kegiatan yang meliputi kegiatan perawatan langsung

dan tindakan perawatan tidak langsung yang dilakukan oleh

perawat dapat meningkatkan kecakapan perawat dalam

menerapakan proses keperawatan. Selanjutnya variasi tugas

Page 50: BAB II ku

50

adalah jumlah jenis kegiatan lain yang dilakukan oleh

perawat diluar tugas yang berhubungan dengan kegiatan

proses keperawatan.

Beban kerja adalah upaya merinci komponen dan target

volume pekerjaan dalam satuan waktu dan satuan hasil

tertentu (Hasibuan, 1996). Beban kerja perawat merupakan

hal yang penting yang harus diketahui oleh pimpinan atau

manajer keperawatan dan perawat pelaksana dalam

melaksanakan tindakan keperawatan. Hal ini, karena

mempunyai kaitan erat dengan bebagai segi organisasi.

Beban kerja memeliki beberapa komponen menurut Gillies

(1994) yang meliputi: (1) Jumlah pasien yang dirawat perhari

atau perbulan atau pertahun, (2) Kondisi atau tingkat

ketergantungan pasien, (3) Rata-rata hari perawatan pasien,

(4) Pengukuran/ jenis kegiatan tindakan keperawatan

langsung dan tindakan keperawatan tidak langsung, (5)

Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus

dilakukan, (6) Rata-rata waktu yang diperlukan untuk

melaksanakan masing-masing kegiatan tindakan keperawatan

langsung dan kegiatan tindakan keperawatan tidak langsung.

c. Tanggung Jawab

Karakteristik pekerjaan adalah segala sesuatu ciri dan

sifat pekerjaan yang dilakukan individu dalam suatu

Page 51: BAB II ku

51

organisasi. Karakteristik pekerjaan dalam penelitian ini

mencakup tanggung jawab, variasi tugas, dan beban kerja.

Ketiga variabel tersebut diduga berpengaruh terhadap

motivasi kerja perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien di rumah sakit.

Tanggung jawab adalah perilaku dan sikap untuk

melakukan tugas sesuai dengan harapan yang telah diberikan

oleh atasan. Melaksanakan asuhan keperawatan perawat

memikul tanggung jawab untuk memperhatikan hak pasien

seperti yang dijelaskan pada ayat 2 dan 4 pasal 53 Undang-

Undang Kesehatan No 23 tahun1992.

Menurut Ilyas (1999) bahwa tanggung jawab merupakan

kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan

pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat

waktu serta berani mengambil resiko untuk keputusan yang

dibuat atau tindakan yang dilakukan. Suatu tanggung jawab

dalam melaksanakan tindakan akan memperlihatkan ciri-ciri

sesuai yang diuraikan Ilyas (1999) sebagai berikut: (1) Dapat

menyelesaikan tugas dengan baik, (2) berada di tempat tugas

dalam semua keadaan yang bagaimanapun, (3)

mengutamakan kepentingan dinas dari kepentingan diri dan

golongan, (4) tidak berusaha melemparkan kesalahan yang

Page 52: BAB II ku

52

dibuatnya kepada orang lain, dan (5) berani memikul resiko

dari keputusan yang dibuatnya.

d. Pengembangan dan Kemajuan

Menurut As’ad (2000), menyatakan bahwa pelatihan

dimaksud untuk mempertinggi motivasi kerja karyawan

dengan mengembangkan cara- cara berpikir dan bertindak

yang tepat serta pengetahuan tentang tugas pekerjaan.

Dengan perkatan lain pelatihan dan pengembangan dapat

menambah keterampilan kerja karyawan.

Stoner (1993) mengatakan bahwa pelatihan dimaksudkan

untuk mempertahankan dan memperbaiki prestasi kerja yang

sedang berjalan. Menurut Green (1980) pelatihan merupakan

faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang

memungkinkan petugas dapat bekerja dengan baik. Selain

pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan,

Green menegaskan bahwa diperlukan sarana yang

memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Notoatmodjo

(1993) mengatakan bahwa pelatihan juga dapat dipandang

sebagai salah satu metoda peningkatan mutu pegawai (Staf

Development).

Notoatmodjo (1993) mengatakan bahwa pelatihan

adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan melalui

pelatihan sasaran belajar akan memperoleh pengalaman yang

Page 53: BAB II ku

53

akhirnya akan menimbulkan perubahan perilaku. Pelatihan

mempunyai dua tujuan utama yaitu : (1) Meningkatkan

keterampilan pekerja agar dapat menutup kesenjangan antara

kecapan atau kemampuan pekerja dengan permitaan jabatan

dan (2) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja dari

pekerja dalam mencapai tujuan organisasi.

e. Penghargaan

Penghargaan adalah sesuatu yang diberikan pada

perorangan atau kelompok jika mereka melakukan suatu

keulungan atau prestasi di bidang tertentu.

Menurut Anthony dan Govindarajan (2005),

penghargaan adalah suatu hasil yang meningkatkan kepuasan

dari kebutuhan individual. Sedangkan menurut Mulyadi dan

Setyawan (2001), sistem penghargaan berbasis kinerja

mendorong personel untuk mengubah kecenderungan mereka

dari semangat untuk memenuhi kepentingan sendiri ke

semangat untuk memenuhi tujuan organisasi.

Perawat hendaknya mendapat pengakuan dan

penghargaan yang wajar dan tulus. Semua orang memerlukan

pengakuan atas keberadaannya dan statusnya oleh orang lain.

Keberadaan dan status seseorang tercermin pada berbagai

lambang yang penggunanya sering di pandang sebagai hak

seseorang (Siagian, 1995).

Page 54: BAB II ku

54

Menurut Ranupandojo dan Husnan (1993) penghargaan

terhadap pekerjaan yang dijalankan, merupakan keinginan

dari kebutuhan egoistis, yang diwujudkan dalam pujian,

hadiah (dalam bentuk uang ataupun tidak).

2.2.2.2 Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan yang berasal

dari luar individu berpengaruh terhadap efektifitas kerja perawat,

yang meliputi gaji, kebijakan, lingkungan kerja, insentif, dan

supervisi.

a. Gaji

Gaji, jaminan kerja dan kondisi kerja hal yang mutlak harus

dipenuhi. Jika hal ini tidak memadai akan berakibat buruk

terhadap sikap seseorang. Seorang pegawai/karyawan yang bekerja

disebuah organisasi, baik diperusahaan swasta maupun instansi

pemerintah, tentunya berharap akan memperoleh penghasilan yang

cukup guna memenuhi kebutuhannya yang paling dasar atau primer

yaitu kebutuhan fisiologis atau kebutuhan untuk hidup terus seperti

kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan maupun untuk

berprestasi, afiliasi, kekuatan atau aktualisasi diri. Oleh karena itu

penghasilan yang dikenal dengan Imbalan/ kompensasi yang

menjadi hak setiap karyawan, menjadi faktor yang sangat penting

dalam kehidupan individu, sebagaimana pendapat para psikolog

Page 55: BAB II ku

55

yang menyatakan bahwa individu mempunyai banyak kebutuhan,

tetapi hanya sebagian yang dapat secara langsung dipuaskan

dengan uang, sedangkan kebutuhan lainnya dapat dipuaskan secara

tidak langsung dengan uang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 3 Tahun 1996, imbalan mencakup semua pengeluaran yang

dikeluarkan oleh perusahaan untuk pegawainya dan diterima atau

dinikmati oleh pekerja baik secara langsung, rutin atau tidak

langsung.

b. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja mencakup segala material dan rangsangan

di dalam dan di luar diri pribadi, baik yang bersifat psikologis,

sosial, dan budaya. Lingkungan sangat berperan pada pertumbuhan

dan perkembangan efektifitas dan kinerja seseorang.

Lingkungan kerja menyangkut ciri lingkungan fisik seperti

temperatur, kondisi penerangan, dan sistem sosial seperti: interaksi

sosial, dan suasana kerja. Semua aspek lingkungan berpengaruh

pada perilaku seseorang, pengembangan emosional, kesehatan

mental, dan motivasi kerja.

Fasilitas menjadi bagian dalam lingkungan kerja perawat.

Fasilitas merupakan ketersediaan sarana dan pra sarana yang

mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan di rumah sakit.

Azwar (1996) mengatakan bahwa sarana alat merupakan suatu

unsur dari organisasi untuk mencapai suatu tujuan, sarana termasuk

Page 56: BAB II ku

56

salah satunya adalah unsur-unsur pelayanan yang dibutuhkan

untuk mencapai penyelenggaraan pelayanan.

Menurut Timpe (1992) menyebutkan bahwa sarana/fasilitas

kerja berhubungan dengan kinerja dan motivasi kerja, dimana

sarana diperlukan agar keterampilan petugas bisa dilaksanakan

sehingga motivasi petugas meningkat. Selanjutnya juga

dikemukakan bahwa penempatan sejumlah tenaga perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan perlu dikaitkan dengan rencana

penggunaan sarana atau peralatan. Selanjutnya Green (1980)

mengatakan bahwa diperlukan sarana dan fasilitas kerja yang

memungkinkan keterampilan dilaksanakan. Menurut Simanjuntak

(1985), fasilitas/ sarana kerja diperlukan agar keterampilan yang

didapat petugas bisa dilaksanakan sehingga kinerja dan motivasi

petugas meningkat.

c. Supervisi

Menurut Azwar (1996), supervisi adalah adalah upaya yang

dilakukan manajemen terhadap pelaksanaan pekerjaan bawahan

melalui pengamatan secara langsung dan berkala sebagai informasi

untuk evaluasi dan perbaikan. Tujuan supervisi adalah untuk

melakukan orientasi kerja, melatih kerja, memimpin, memberi

arahan dan mengembangkan kemampuan personil. Fungsi supervisi

untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme

pelaksanaan kebijaksanaan diskripsi dan standar kerja. Supervisi

Page 57: BAB II ku

57

dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang berlangsung, pada

supervisi modern diharapkan supervisor terlibat dalam kegiatan

agar pengarahan dan pemberian petunjuk tidak dirasakan sebagai

perintah. Umpan balik dan perbaikan dapat dilakukan saat

supervisi.

Supervisi dapat juga dilakukan secara tidak langsung yaitu

melalui laporan baik tertulis maupun lisan, supervisor tidak melihat

langsung apa yang terjadi di lapangan sehingga mungkin terjadi

kesenjangan fakta. Umpan balik dapat diberikan secara tertulis.

Menurut Azwar (1996), manfaat supervisi adalah: (a) Dapat lebih

meningkatkan efektivitas kerja, (b) Peningkatan efektivitas kerja

erat kaitannya dengan makin meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan staf, serta makin terbinanya hubungan dan suasana

kerja yang lebih harmonis antara atasan dengan bawahan, (c)

Dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja, (d) Peningkatan efisiensi

kerja erat hubungannya dengan makin berkurangnya kesalahan

yang dilakukan oleh bawahan, sehingga pemakaian sumber daya

yang sia-sia akan dapat dicegah.

d. Insentif

Insentif adalah salah satu jenis penghargaan yang dikaitkan

dengan prestasi kerja (Mutiara, 2002). Pemberian insentif

merupakan bayaran pokok untuk memotivasi para pegawai agar

Page 58: BAB II ku

58

lebih maju dalam pekerjaan dengan keterampilan dan tanggung

jawab yang lebih besar (Davis, 1995).

Insentif menurut Ilyas (2000) yang mengutip pendapat

siagian (1993) bahwa imbalan atau insentif erat kaitannya dengan

prestasi kerja seorang karyawan. Imbalan merupakan salah satu

faktor ekternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, disamping

faktor ekternal lainnya, seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok

kerja dimana seseorang bergabung dalam organisasi tempat bekerja

dan situsi lingkungan pada umumnya. Siagian (1995) berpendapat

bahwa insentif erat kaitannya dengan prestasi kerja seorang

karyawan. Insentif merupakan salah satu faktor eksternal yang

mempengaruhi motivasi seseorang, disamping faktor lainnya,

seperti jenis dan sifat pekerjaan, kelompok kerja dimana seseorang

bergabung dalam organisasi tempat bekerja dan situasi lingkungan

pada umumnya.

Insentif merupakan motivator paling penting, untuk itu suatu

organisasi dituntut untuk dapat menetapkan kebijakan

imbalan/kompensasi yang paling tepat, agar kinerja petugas dapat

terus ditingkatkan sekaligus untuk mencapai tujuan dari organisasi.

Stoner (1986), menyatakan bahwa insentfi merupakan faktor

eksternal yang dapat meningkatkan motivasi kerja. Siagian (1995)

berpendapat bahwa imbalan erat kaitannya dengan prestasi kerja

seseorang. Notoadmodjo (1993) melalui achieve dimana incentive

Page 59: BAB II ku

59

baik material maupun non material akan mempengaruhi motivasi

kerja seseorang.

Indikator yang akan digunakan dalampenelitian tentang

motivasi adalah:

1. Karakteristik individu,

2. Tanggung jawab, dan

3. Insentif

2.2.2.3 Konsep Motivasi

Banyak para ahli dari berbagai disiplin ilmu merumuskan

konsep atau teori tentang motivasi dan beberapa konsep sebagai

dasar motivasi kerja.

2.2.2.4 Teori Abraham Maslow (Teori Kebutuhan)

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H.

Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia

mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu :

1. Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti: rasa

lapar, haus, istirahat dan sex.

2. Kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik

semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual.

3. Kebutuhan akan kasih sayang (love needs)

4. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umunya

tercermin dalam berbagai simbol-simbol status.

Page 60: BAB II ku

60

5. Aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya

kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi

yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi

kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan

kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara

lain, misalnya dengan menggolongkan sebagai kebutuhan frimer,

sedangkan yang lainya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan

sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan

manusia itu, yang jelas bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan

manusia berbeda satu orang dengan yang lainya karena manusia

merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan

manusia itu tidak hanya bersifat materi,akan tetapi bersifat

psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.

Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya

organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin

mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan

organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan,

bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau

“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki

kebutuhan” yang dikemukakan oleh Maslow.

Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatkan, atau

secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki

Page 61: BAB II ku

61

suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama,

kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan

pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan

berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini

keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang,

pangan dan papan terpenuhi, yang ketiga tidak akan diusahakan

pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula

seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang

berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan

“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang

diperlukan karena pengalaman menunjukan bahwa usaha pemuasan

berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya,

sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang

bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai,

memerlukan teman serta ingin berkembang.

2.2.2.5 Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk

mencapai prestasi atau Need For Acievement yang

menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan

kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Menurut

Winardi (2000) bahwa kebutuhan akan prestasi tersebut

Page 62: BAB II ku

62

sebagai keinginan. Melaksanakan sesuatu tugas atau

pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau

mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide

melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan

seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku.

Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi.

Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu

menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan

kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.

Menurut McClelland karakteristik orang yang

berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga cara umum

yaitu : (1) sebuah referensi untuk mengerjakan tugas-tugas

dengan derajat kesulitan moderat, (2) menyukai situasi-situasi

dimana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka

sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti

kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik

tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan

dengan mereka yang berpestasi rendah.

2.2.2.6 Teori Clyton Alderfer (teori EGR)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim ERG. Akronim

“ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama

dari tiga istilah yaitu: E = Existence (kebutuhan akan

Page 63: BAB II ku

63

eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan

dengan pihak lain), dan G = Growth (kebutuhan akan

pertumbuhan).

Jika makna tiga istilah tersebut di dalami akan tampak

dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat

persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh

Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan

identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori

Maslow, “Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan

ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth”

mengandung makna sama dengan “Self Actualization”

menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa

berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan

pemuasanya secara serentak.

Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak

bahwa :

1. Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu,

makin besar pula keinginan untuk memuaskanya.

2. Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih

tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah

telah dipuaskan.

3. Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang

Page 64: BAB II ku

64

tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk

memuaskan kebutuhan yang lebih mendasar.

Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat

pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari

keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada

kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain

memusatkan perhatianya kepada hal-hal yang mungkin

dicapainya.

2.2.2.7 Teori Herzberg ( Teori Dua Faktor)

Ilmuan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi

penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang

dikembangkannya dikenal dengan Model Dua Faktor dari

motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau

“pemeliharaan”.

Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional

adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya

intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang,

sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau

pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik

yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menetukan

perilaku seseorang dalam kehidupan.

Page 65: BAB II ku

65

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor

motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang,

keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan

dalan karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-

faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status

seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu

dengan atasanya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan

sekerjanya, sistem administrasi dalam organisasai, kondisi

kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan

teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor

mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan

seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang

bersifat ekstrinsik.

Ada sejumlah teori lain tentang motivasi kerja, yaitu

sebagai berikut :

1. Teori Keadilan (equity)

Teori ini menonjolkan kenyataan bahwa motivasi

seseorang mungkin dipengaruhi oleh perasaan seberapa baikkah

mereka diperlakukan didalam organisasi apabila dibandingkan

dengan orang lain. Kalau orang merasa perlakuan orang-orang

terhadapnya tidak sebaik perlakukan orang-orang itu terhadap

Page 66: BAB II ku

66

orang lain yang sebanding, kemungkinan besar orang itu kurang

terdorong untuk menampilkan kinerja yang baik.

2. Teori Sasaran (goal)

Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa sasaran

orang ditentukan oleh cara mereka berperilaku dalam pekerjaan

dan jumlah upaya yang mereka gunakan. Ada indikasi bahwa

memiliki sasaran yang benar-benar jelas memang membantu

mendorong minat seseorang dan hal tersebut cenderung untuk

mendorong organisasi berupaya mengembangkan rencana

kinerja manajemen yang lengkap.

3. Teori perlambangan (attribution)

Teori ini menyatakan bahwa motivasi tergantung pada

faktor-faktor internal, seperti atribut pribadi seseorang dan

faktor-faktor luar yang mungkin berupa kebijakan organisasi,

derajat kesulitan pekerjaan yang ditangani dan sebagainya.

Berdasarkan teori-teori motivasi yang telah dikemukakan di

atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu kondisi

yang mendorong seseorang bertindak yang timbul oleh adanya

rangsangan dari dalam maupun dari luar sehingga seorang

perawat berkeinginan untuk dapat melakukan suatu aktivitas

atau tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dengan

sasaran sebagai berikut: (a) mendorong manusia untuk

melakukan suatu aktivitas yang didasarkan atas pemenuhan

Page 67: BAB II ku

67

kebutuhan. Dalam hal ini, motivasi merupakan motor penggerak

dari setiap kebutuhan yang akan dipenuhi, (b) menetukan arah

tujuan yang hendak dicapai, dan (c) menetukan perbuatan yang

harus dilakukan.

2.2.3 Intervensi Motivasi Kerja

Kebanyakan orang berpendapat bahwa gaji atau insentif adalah

alat yang paling ampuh untuk meningkatkan motivasi kerja, dan

selanjutnya dapat meningkatkan kinerja karyawan di suatu

organisasi kerja. Pendapat tersebut mungkin benar atau mungkin

salah, tetapi seandainya benar atau salah, tidak selalu benar atau

tidak selalu salah. Karena motivasi kerja terlalu banyak terlalu

banyak variabel penentunya, demikian juga kinerja karyawan

juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun demikian dalam

kenyataanya, dari banyak penelitian membuktikan bahwa faktor

gaji merupakan faktor yang dominan dalam mencapai kepuasan

kerja (job satisfaction) bagi seorang pegawai. Tanpa pembuktian

empiris pun sebenarnya secara logika, gaji bagi seorang

karyawan merupakan motivator yang penting karena:

a. Dengan gaji yang diterima oleh seorang karyawan,

memungkinkan karyawan tersebut untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara

fisik.

Page 68: BAB II ku

68

b. Apabila gaji yang diterima tersebut melebihi untuk

memenuhi kebutuhan dasar manusia, maka kelebihannya

dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lain yang

lebih tinggi, misalnya untuk televisi, mobil, untuk rekreasi,

rumah mewah, dan sebagainya.

c. Dari gaji yang berlebih dapat digunakan oleh seseorang

untuk meningkatkan kedudukanya dalam masyarakat, untuk

mencapai aktualisasi diri dan prestise dalam masyarakat.

2.2.4 Sintesis Motivasi Kerja

Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa

motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong perawat atau

karyawan untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan untuk

mengadakan perubahan tingkah laku dalam mencapai tujuan.

Yang diukur dengan indikator intrinsik dan ekstrinsik,

diantaranya:

1.Karakteristik individu

2.Tanggung jawab

3.Insentif

3.1. Disiplin Kerja

2.3.1 Pengertian

Disiplin berasal dari bahasa latin Discere yang berarti belajar. Dari

kata ini timbul kata Disciplina yang berarti pengajaran atau pelatihan.

Page 69: BAB II ku

69

Sekarang kata disiplin mengalami perkembangan makna dalam beberapa

pengertian. Pertama, disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peraturan

atau tunduk pada pengawasan, dan pengendalian. Kedua disiplin sebagai

latihan yang bertujuan mengembangkan diri agar dapat berperilaku tertib. 

Siagian dalam Hasibuan (2003) menyatakan bahwa disiplin kerja

adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku

seseorang, kelompok masyarakat berupa ketaatan (obedience) terhadap

peraturan, norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Gie dalam

Hasibuan (2003) disiplin diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana

orang-orang tergabung dalam organisasi tunduk pada peraturan yang telah

ditetapkan dengan senang hati orang/sekelompok orang. Kedisiplinan

adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan

perusahaan/lembaga dan norma sosial yang berlaku. Dari beberapa

pendapat itu dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah sikap ketaatan

dan kesetiaan seseorang/sekelompok orang terhadap peraturan tertulis /tidak

tertulis yang tercermin dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan pada suatu

organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Tujuan disiplin baik kolektif maupun perorangan yang sebenarnya

adalah untuk mengarahkan tingkah laku pada realita yang harmonis. Untuk

menciptakan kondisi tersebut, terlebih dahulu harus diwujudkan keselerasan

antara hak dan kewajiban pegawai/karyawan. Menurut Davis (2004) bahwa,

“Disiplin adalah suatu tindakan manajemen memberikan semangat kepada

pelaksanaan standar organisasi, ini adalah pelatihan mengarah kepada

Page 70: BAB II ku

70

upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan dan prilaku

petugas sehingga ada kedisiplinan pada diri petugas, untuk menuju pada

kerjasama dan prestasi yang lebih baik”. Disiplin adalah kondisi kendali diri

karyawan dan prilaku tertib yang menunjukkan tingkat kerjasama tim yang

sesungguhnya dalam suatu organisasi. Salah satu aspek hubungan internal

kekaryawanan yang penting namun sering kali sulit dilaksanakan adalah

penerapan tindakan disipliner oleh Mondy (2008).

Kamus umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta (1982)

disiplin diartikan sebagai (a) latihan batin dan watak dengan maksud supaya

segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib, (b) ketaatan pada aturan dan

tata tertib. Dengan kata lain disiplin adalah suatu sikap dan perbuatan untuk

selalu menaati tata tertib. Disiplin kerja adalah suatu bentuk tindakan

manajemen untuk menengakkan standar-standar organisasi (Davis &

Newstrom, 1985).

Hal serupa juga dikemukakan oleh Gibson (2006) bahwa disiplin

adalah penggunaan beberapa hukuman atau sanksi jika karyawan

menyimpang dari peraturan. Disiplin (discipline) adalah bentuk

pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan

tingkat kesungguhan tim kerja dalam suatu organisasi (Simamora, 1995).

Menurut Nitisemito (1982) bahwa kedisiplinan bukan hanya menyangkut

masalah kehadiran yang tepat waktu di tempat kerja namun lebih tepat

diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai

dengan peraturan dari perusahaan baik tertulis maupun tidak. Jadi,

Page 71: BAB II ku

71

kedisiplinan dalam suatu perusahan dapat ditegakkan bilamana sebagian

besar peraturan-peraturannya ditaati oleh sebagian besar karyawan.

Disiplin kerja akan membawa dampak positif bagi karyawan

maupun organisasi. Disiplin yang tinggi akan membuat karyawan

bertanggungjawab atas semua aspek pekerjaannya dan meningkatkan

prestasi kerjanya yang berarti akan meningkatkan pula efektivitas dan

efisiensi kerja serta kualitas dan kuantitas kerja. Disiplin adalah kesadaran

dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-

norma sosial yang berlaku. Adapun arti kesadaran adalah sikap seseorang

yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan

tanggungjawabnya. Sedangkan kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku

dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik

yang tertulis maupun tidak (Hasibuan, 1994).

Siswanto (dalam Hapsari, 1998) disiplin adalah suatu sikap

menghormati, menghargai, patuh dan taat pada peraturan-peraturan yang

berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankan

dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar

tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Berdasarkan pemahaman di

atas, maka pengertian disiplin kerja merupakan kesadaran dan kesediaan

seseorang untuk menaati peraturan perusahaan atau organisasi baik yang

tertulis maupun yang tidak tertulis dan tidak mengelak untuk menerima

sanksi apabila melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.

Sehingga hal ini membuat karyawan bertanggungjawab atas semua aspek

Page 72: BAB II ku

72

pekerjaannya dan meningkatkan prestasi kerjanya yang berarti akan

meningkatkan pula efektivitas dan efisiensi kerja serta kualitas dan kuantitas

kerja.

Heidjrachman dan Husnan (2002: 15) mengungkapkan “Disiplin

adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya

kepatuhan terhadap perintah” dan berinisiatif untuk melakukan suatu

tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah”. Kedisiplinan

adalah fungsi operatif keenam dari Manajemen Sumber Daya manusia.

Kedisiplinan ini merupakan fungsi operatif Manajemen Sumber Daya

Manusia yang terpenting, karena semakin baik disiplin karyawan, semakin

tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin karyawan, yang

baik, sulit bagi organisasi perusahaan mencapai basil yang optimal.

2.3.2 Nilai-Nilai Dalam Disiplin Kerja

Menurut Handoko, (2001) menyatakan ada beberapa hal yang dapat

dipakai, sebagai indikasi tinggi rendahnya kedisiplinan kerja karyawan,

yaitu ketepatan waktu, kepatuhan terhadap atasan, peraturan terhadap

perilaku terlarang, ketertiban terhadap peraturan yang berhubungan

langsung dengan produktivitas kerja. Robbins (2001) mengemukakan tipe

permasalahan dalam kedisiplinan, antara lain kehadiran, perilaku dalam

bekerja (dalam lingkungan kerja), ketidak jujuran, dan aktivitas di luar

lingkungan kerja.

Gibson (2001) mengemukakan beberapa perilaku karyawan tidak

disiplin yang dapat dihukum adalah keabsenan, kelambanan, meninggalkan

Page 73: BAB II ku

73

tempat kerja, mencuri, tidur ketika bekerja, berkelahi, mengancam

pimpinan, mengulangi prestasi buruk, melanggar aturan dan kebijaksanaan

keselamatan kerja, pembangkangan perintah, memperlakukan pelanggaran

secara tidak wajar, memperlambat pekerjaan, menolak kerja sama dengan

rekan, menolak kerja lembur, memiliki dan menggunakan obat-obatan

ketika bekerja, merusak peralatan, menggunakan bahasa atau kata-kata

kotor, pemogoan secara ilegal.

Beberapa pengertian di atas, disiplin terutama ditinjau dari perspektif

organisasi, dapat dirumuskan sebagai ketaatan setiap anggota organisasi

terhadap semua aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, yang

terwujud melalui sikap, perilaku dan perbuatan yang baik sehingga tercipta

keteraturan, keharmonisan, tidak ada perselisihan, serta keadaan-keadaan

baik lainnya. Untuk menciptakan disiplin kerja dalam organisasi atau

perusahaan dibutuhkan adanya tata tertib atau peraturan yang jelas,

penjabaran tugas dari wewenang yang cukup jelas dan tata kerja yang

sederhana, dan mudah diketahui oleh setiap anggota dalam organisasi.

2.3.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja menurut Steers

(1985), Harris (1994) dan Nitisemito (1982) (dalam Suharsih, 2001) secara

umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor dari dalam individu dan

faktor dari luar individu.

Page 74: BAB II ku

74

1. Faktor dari dalam individu meliputi: kepribadian, semangat kerja,

motivasi kerja intrinsik serta kepuasan kerja.

2. Faktor dari luar individu meliputi : motivasi kerja ekstrinsik, kepuasan

kerja, kepemimpinan, lingkungan kerja dan tindakan indisipliner yang

diberikan. Kepribadian dari para karyawan menentukan perilaku disiplin

kerja.

Penelitian Yuspratiwi (1990), menemukan bahwa individu yang

memiliki locus of control internal lebih mampu mengontrol waktunya, lebih

bersungguh-sungguh dalam bekerja dan lebih menunjukkan performansi

kerja yang lebih baik pada situasi yang kompleks. Selain itu faktor

kepribadian juga akan berpengaruh pada persepsi karyawan terhadap gaya

kepemimpinan atasan, bagaimana atasan memperlakukan karyawannya akan

dinilai secara langsung oleh karyawan. Persepsi tersebut dapat

mempengaruhi performansi kerja seseorang, dalam hal ini disiplin kerja diri

karyawan (Spriegel dalam Yuspratiwi,1990).

Disiplin kerja dapat pula terbentuk bila karyawan benar- benar

mampu mempunyai semangat kerja yang tinggi, apabila terdapat semangat

kerja diantara karyawan, dapat diharapkan tugas yang diberikan kepada

mereka akan dilakukan dengan baik dan cepat, Harris (dalam Suharsih

2001). Dengan adanya semangat kerja yang tinggi maka akan timbul

kesetiaan, kegembiraan, kerja sama, dan ketaatan atau disiplin terhadap

peraturan-peraturan perusahaan.

Page 75: BAB II ku

75

Faktor motivasi kerja dan kepuasan kerja juga sangat mempengaruhi

disiplin kerja. Motivasi kerja dan kepuasan kerja dimasukkan sebagai faktor

dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu. Motivasi kerja

intrinsik dalam hal ini yaitu adanya perasaan bangga dari dalam diri

individu terhadap pribadi dan organisasi tempat dia bekerja sehingga hal ini

akan membangun kepercayaan diri karyawan, karyawan sendiri akan secara

sukarela melaksanakan apa yang menjadikewajibannya di perusahaan

tersebut. Sedangkan untuk motivasi kerja ekstrinsik yaitu adanya

penghargaan dan pujian dari atasan, hal ini bisa dijadikan sebagai reward

untuk bekerja lebih baik. Penghargaan dan pujian tersebut akan mendorong

karyawan untuk bekerja secara maksimal dengan memperhatikan ketentuan-

ketentuan dan aturan-aturan yang berlaku di dalam perusahaan, Soejono dan

Djono(dalam Suharsih, 2001). Kepuasan kerja sendiri juga mempengaruhi

disiplin kerja seorang karyawan. Kepuasan kerja yang berasal dari dalam

diri individu yaitu arti dari pekerjaan itu sendiri bagi karyawan. Dengan

adanya kepuasan kerja yang tumbuh dalam diri individu membuat karyawan

lebih giat bekerja secara suka rela tanpa adanya paksaan. Faktor dari luar

individu berupa gaji yang cukup maka akan mendorong karyawan untuk

meningkatkan disiplin kerjanya (Wexley & Yukl dan Davis & Newstrom

dalam Hapsari, 1998).

Faktor lain yang merupakan faktor dari luar individu berupa

kepemimpinan, dimana keteladanan pimpinan mempunyai pengaruh yang

sangat besar dan memberi efek yang positif dalam menengakkan disiplin.

Page 76: BAB II ku

76

Ketika karyawan dituntut untuk menaati peraturan maka pimpinan

diharapkan juga mentaati peraturan yang berlaku. Ketaatan pimpinan ini

akan menjadi contoh untuk diikuti karyawan (Nitisemito,1982).

Lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap perilaku disiplin kerja.

Lingkungan kerja yang berpengaruh pada perilaku disiplin kerja dapat

dikatakan sebagai lingkungan dalam organisasi yang menciptakan

lingkungan cultural dan sosial tempat berlangsungnya kegiatan organisasi.

Lingkungan selain memberikan rangsangan terhadap individu untuk

berperilaku, termasuk perilaku tidak disiplin, juga memberikan tekanan

terhadap individu seperti tuntutan yang berlebihan dari lingkungan (rekan

kerja, organisasi, pekerjaan masyarakat, dan sebagainya). Lebih jauh hal ini

dapat membawa pada situasi yang merangsang timbulnya perilaku tidak

patuh, melanggar aturan, dan kurangnya rasa tanggungjawab (Steers, 1985).

Usaha meningkatkan disiplin juga diperlukan kebiasan yang terus

menerus. Tindakan tegas untuk setiap tindakan indisipliner diperlukan untuk

membentuk disiplin kerja. Tindakan indisipliner bukan semata-mata berupa

hukuman tetapi lebih ditekankan agar karyawan melakukan kebiasaan yang

dianggap baik oleh perusahaan. Hal ini bisa menjadi pendamping

peningkatan kesejahteraan sehingga diharapkan pencapaian disiplin akan

lebih berhasil (Nitisemito, 1982).

Penegakan disiplin/tindakan indisipliner dapat dibagi menjadi dua

yaitu positif dan negatif. Tindakan disiplin positif adalah dengan diberi

nasehat untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Sedangkan tindakan

Page 77: BAB II ku

77

disiplin yang negatif adalah dengan cara-cara (a) memberikan peringatan

lisan, (b) memberikan peringatan tertulis, (c) dihilangkan sebagai haknya,

(d) didenda, (e) dirumahkan sementara, (f) diturunkan pangkatnya, (g)

dipecat. Urutan-urutan tindakan disiplin negatif ini disusun berdasarkan

tingkat kekerasannnya dari yang paling lunak sampai yang paling berat

(Ranupandojo dan Husnan, 1990).

Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan

perilaku jika dilihat dari formula Kurt Lewin adalah interaksi antara faktor

kepribadian dan faktor lingkungan (situasional).

1. Faktor Kepribadian

Faktor yang penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai

yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini yang berkaitan langsung dengan

disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau

ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai

kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan

terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam

perilaku. menurut Brigham (2000), perubahan sikap ke dalam perilaku

terdapat tiga tingkatan yaitu :

a. Disiplin karena kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan

takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk

mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki

Page 78: BAB II ku

78

wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat disiplin kerja

tidak tampak.

b. Disiplin karena identifikasi

Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adalah adanya

perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang

kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat

identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan-

aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan tersebut

tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa

tidak enak jika tidak mentaati peraturan. Penghormatan dan

penghargaan karyawan pada pemimpin dapat disebabkan karena

kualitas kepribadian yang baik atau mempunyai kualitas profesional

yang tinggi di bidangnya. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka

disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.

c. Disiplin karena internalisasi

Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai

sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan.

Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri. 

2. Faktor Lingkungan

Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan

suatu proses belajar yang terus-menerus. Proses pembelajaran agar dapat

efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu

memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil  bersikap positif, dan terbuka.

Page 79: BAB II ku

79

Konsisten adalah memperlakukan aturan secara konsisten dari waktu

ke waktu. Sekali aturan yang telah disepakati dilanggar, maka rusaklah

sistem aturan tersebut.

Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan

tidak membeda-bedakan. Bersikap positif dalam hal ini adalah setiap

pelanggaran yang dibuat seharusnya dicari fakta dan dibuktikan terlebih

dulu, selama fakta dan bukti belum ditemukan, tidak ada alasan bagi

pemimpin untuk menerapkan tindakan disiplin. Dengan bersikap positif,

diharapkan pemimpin dapat mengambil tindakan secara tenang, sadar, dan

tidak emosional.  

Upaya menanamkan disiplin pada dasarnya adalah menanamkan nilai-

nilai dan komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi

mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, termasuk di dalamnya

sangsi dan hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila

aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. 

2.3.4 Proses Pembentukan Disiplin Kerja

Ada dua jenis disiplin kerja berdasarkan terbentuknya yaitu disiplin

diri dan disiplin kelompok (Helmi, 1996).

a) Disiplin diri

Disiplin diri merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang atas

prakarsa sendiri dalam melaksanakan tugas. Disiplin diri menurut Jasin

(dalam Helmi, 1996) merupakan disiplin yang dikembangkan atau

dikontrol oleh diri sendiri berwujud pada kontrol terhadap tingkah laku

Page 80: BAB II ku

80

yang berupa ketaatan terhadap peraturan baik yang ditetapkan sendiri

maupun oleh pihak lain.

Davis & Newstrom (1985) mengungkapkan bahwa pembentukan

disiplin pribadi merupakan tujuan disiplin preventif yang ditetapkan

oleh organisasi sehingga disiplin diri ditujukan pula demi pencapaian

tujuan organisasi. Disiplin diri pada tiap karyawan bila telah tumbuh

dengan baik akan merupakan kebanggaan bagi setiap organisasi, karena

pengawasan yang terus menerus tidak dibutuhkan lagi. Melalui disiplin

diri, karyawan-karyawan merasa bertanggungjawab dan dapat mengatur

diri sendiri untuk kepentingan organisasi.

Disiplin diri merupakan hasil proses belajar (sosialisasi) dari

keluarga dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai yang menjunjung

disiplin, baik yang ditanamkan oleh orang tua, guru atau pun

masyarakat merupakan bekal positif bagi tumbuh dan berkembangnya

disiplin diri. Penanaman nilai-nilai disiplin dapat berkembang apabila

didukung oleh situasi lingkungan yang kondusif yaitu situasi yang

diwarnai perlakuan yang konsisten dari orang tua, guru atau pimpinan.

Selain itu, orang tua, guru dan pimpinan yang berdisiplin tinggi

merupakan model peran yang efektif bagi berkembangnya disiplin diri.

Disiplin diri sangat besar perannya dalam mencapai tujuan

organisasi. Melalui disiplin diri seorang karyawan selain menghargai

dirinya sendiri juga menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan

mengerjakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan, pada

Page 81: BAB II ku

81

dasarnya karyawan telah sadar melaksanakan tanggungjawab yang telah

dipikulnya. Hal itu berarti karyawan sanggup melaksanakan tugasnya.

Pada dasarnya ia menghargai potensi dan kemampuannya. Disisi

lain, bagi rekan sejawat, dengan diterapkannya disiplin diri akan

memperlancar kegiatan yang bersifat kelompok. Apalagi jika tugas

kelompok tersebut terkait dalam dimensi waktu; suatu proses kerja yang

dipengaruhi urutan waktu pengerjaannya. Ketidakdisiplinan dalam

suatu bidang kerja akan menghambat bidang kerja lain.

b) Disiplin kelompok

Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individual

semata. Selain disiplin diri masih diperlukan disiplin kelompok.

Disiplin kelompok akan tercapai jika disiplin diri telah tumbuh dalam

diri karyawan. Artinya kelompok akan menghasilkan pekerjaan yang

optimal jika masing- masing anggota kelompok dapat memberikan

andil yang sesuai dengan hak dan tanggungjawabnya. Karyawan juga

dituntut untuk mampu mengatur sikap dan perilaku yang sesuai dengan

peraturan kerja sehingga hal ini menjadi sarana untuk mempertahankan

eksistensi organisasi.

Pimpinan juga bertanggungjawab untuk menciptakan iklim

organisasi dalam rangka pendisiplinan preventif. Dalam upaya ini

pimpinan berusaha agar karyawan mengetahui dan memahami standar

yang berlaku, karena apabila karyawan tidak mengetahui standar yang

Page 82: BAB II ku

82

diharapkan untuk mereka lakukan, perilaku mereka cenderung tidak

menentu dan salah arah.

Kedisiplinan tidak lahir dengan sendirinya. Disiplin lahir, tumbuh

dan berkembang melalui akumulasi pengalaman dan proses sosialisasi.

Disiplin dibangun dari kepribadian yang matang dan identifikasi

terhadap norma-norma kelompok masyarakat. Norma kelompok

berfungsi menegakkan disiplin melalui fungsi pengawasan dan kontrol

sosial disebut dengan pengawasan ekternal yaitu berupa pengawasan

pimpinan, orang tua atau teman sekerja.

Pengawasan internal datang dari dalam individu dan menghasilkan

kontrol diri. Oleh karena itu kontrol diri mempunyai peran penting

dalam membangun disiplin secara internal. Kontrol diri dibutuhkan

untuk mengaktifkan proses pendisiplinan (Davis & Newstrom, 1985).

Kaitan antara disiplin diri dan disiplin kelompok dilukiskan oleh Jasin

(dalam Helmi, 1996) seperti dua sisi dari satu mata uang. Keduanya

saling melengkapi dan menunjang sifatnya komplementer. Disiplin diri

tidak dapat dikembangkan secara optimal tanpa dukungan disiplin

kelompok. Sebaliknya, disiplin kelompok tidak dapat ditegakkan tanpa

adanya dukungan disiplin pribadi.

Page 83: BAB II ku

83

Menurut Handoko (2001), kegiatan pendisiplinan dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu  preventif dan korektif.

a. Disiplin Preventif

Preventive discipline merupakan tindakan yang diambil untuk

mendorong para pekerja mengikuti atau mematuhi norma-norma dan

aturan-aturan sehingga pelanggaran tidak terjadi. Tujuannya adalah

untuk mempertinggi kesadaran pekerja tentang kebijaksanaan dan

peraturan pengalaman kerjanya.  Sasaran pokoknya adalah untuk

mendorong disiplin diri, diantara para karyawan. Manajemen

mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan suatu iklim disiplin

preventif, dimana berbagai standar diketahui dan dipahami. Bila

karyawan tidak mengetahui standar-standar apa yang harus dicapai,

mereka cenderung salah arah. Selain itu mereka juga perlu mengetahui

alasan-alasan yang melatar belakangi suatu standar agar mereka dapat

memahaminya.

b. Disiplin Korektif

Corrective discipline merupakan suatu tindakan yang mengikuti

pelanggaran dari aturan-aturan, hal tersebut mencoba untuk

mengecilkan pelanggaran lebih lanjut sehingga diharapkan untuk

perilaku dimasa mendatang dapat mematuhi norma-norma peraturan.

Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk hukuman yang disebut

sebagai tindakan pendisiplinan. Sebagai contoh peringatan atau scoring.

Page 84: BAB II ku

84

Tujuan tindakan pendisiplinan hendaknya positif, mendidik dan

memperbaiki, bukan tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang

berbuat salah. Maksud pendisiplinan adalah untuk memperbaiki

kegiatan dimasa yang akan datang, bukan menghukum kegiatan dimasa

lalu. Pendekatan negatif yang bersifat menghukum, biasanya

mempunyai berbagai pengaruh sampingan yang merugikan, seperti

hubungan emosional terganggu, absensi meningkat, apatis, kelesuan

dan ketakutan.

Disiplin hendaknya dilakukan dengan peringatan segera, konsisten

dan tidak bersifat pribadi. Selain itu para manajer hendaknya

mempertimbangkan perasaan karyawan dalam tindakan pendisiplinan,

yaitu melalui pelaksanaan disiplin secara pribadi, bukan didepan orang

banyak atau para karyawan lain.

c. Disipline  Progresif

Disiplin progresif adalah memberikan hukuman-hukuman yang

lebih berat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berulang dengan

tujuan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil

tindakankorektif, sebelum hukuman-hukuman yang lebih serius

dilaksanakan. Disiplin progresif juga memungkinkan manajemen untuk

membantu karyawan agar memperbaiki kesalahan, yang prosedurnya

dilakukan sebagai berikut:

1) Peringatan lisan

Page 85: BAB II ku

85

Langkah ini dilakukan, dengan menjelaskan tentang apa yang

sudah dilanggar dan apa yang harus dilakukan. Pernyataan

seharusnya bersifat khusus dan dikaitkan dengan peraturan-

peraturan yang telah dilanggar, atau suatu pedoman yang tidak

dapat dicapai oleh karyawan. Selain itu, teguran/ peringatan

tersebut, juga menunjukkan bukti-bukti yang harus dilakukan bila

mungkin. Sebaiknya dibuat catatan-catatan tentang peringatan ini.

2) Peringatan tertulis

Tindakan ini ditempuh, jika prestasi atau perilaku tidak

membaik, setelah diberikan teguran secara lisan. Disini kembali

diberikan penegasan mengenai pokok-pokok permasalahan, yang

dikaitkan dengan peraturan-peraturan yang dicapai dan

mengingatkan karyawan, tentang teguran lisan yang telah

diberikan. Teguran tertulis dalam bentuk surat dan jika tidak ada

perbaikan juga, maka diberikan batas waktu, yang diharapkan

untuk melakukan suatu tindakan perbaikan. 

3) Peringatan terakhir

Tindakan ini diambil, jika surat teguran atau peringatan

tertulis tidak berhasil dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

Dalam surat ini menyatakan akibat yang akan timbul, jika

masalahnya berkelanjutan dan memberikan peringatan tindakan-

tindakan disiplin yang akan diambil, seperti penurunan jabatan atau

bahkan pemecatan, bila masalahnya tidak bisa diatasi.

Page 86: BAB II ku

86

2.3.5 Aspek-aspek Disiplin kerja

Aspek-aspek yang terdapat dalam disiplin kerja berdasarkan dari

definisi disiplin kerja menurut Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari,

1998) dan Nitisemito (1982) antara lain:

a) Aspek pemahaman terhadap peraturan yang berlaku

Sebelum mematuhi suatu peraturan perlu diketahui apakah karyawan

sudah mengetahui atau memahami standar atau peraturan dengan jelas.

Seorang karyawan menunjukkan kedisiplinan yang baik bila perilakunya

menunjukkan usaha-usaha untuk memahami secara jelas suatu

peraturan, berarti karyawan secara proaktif berusaha mendapatkan

informasi tentang peraturan sehingga karyawan akan rajin mengikuti

briefing, membaca pengumuman atau menanyakan ketidakjelasan suatu

peraturan.

b) Aspek kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan standar

Karyawan mempunyai disiplin tinggi jika tidak memiliki catatan

pelanggaran selama kerjanya, mentaati suatu peraturan tanpa ada

paksaan dan secara sukarela dapat menyesuaikan diri dengan aturan

organisasi yang telah ditetapkan. Senantiasa menghargai waktu sehingga

membuat bekerja tepat waktu, tahu kapan memulai dan mengakhiri

suatu pekerjaan, tahu membedakan kapan waktu istirahat dan kapan

waktu bekerja serius, menyelesaikan suatu pekerjaan yang telah

Page 87: BAB II ku

87

ditetapkan merupakan contoh dari bentuk-bentuk kepatuhan terhadap

aturan standar.

c) Aspek pemberian hukuman jika terjadi pelanggaran

Disiplin sering dikonotasikan sebagai hukuman namun tidak semua

ketentuan disiplin berbentuk hukuman. Hukuman hanya diberikan ketika

seseorang karyawan melakukan pelanggaran. Pemberian hukuman juga

dilakukan sesuai jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Lateiner dan Lavine (1985) mengemukakan kurang lebih sama seperti

Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998) dan Nitisemito (1982)

bahwa aspek disiplin kerja karyawan diantaranya:

a) Bahwa umumnya disiplin yang sejati terdapat apabila para karyawan

datang ke kantor dengan teratur dan tepat pada waktunya.

b) Berpakaian seragam di tempat kerja.

c) Menggunakan bahan dan perlengkapan dengan hati-hati.

d) Menghasilkan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang memuaskan.

e) Mengikuti cara bekerja yang ditentukan oleh kantor atau perusahaan dan

menyelesaikan pekerjaan dengan semangat yang baik.

Dalam Anoraga & Suyati (1995) juga ada kesamaan seperti yang

diungkapkan oleh Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998) dan

Nitisemito (1982) serta Lateiner dan Lavine (1985). Menurut Anoraga &

Suyati (1995) untuk mengetahui tingkat kedisiplinan kerja yang baik yaitu :

a) Kepatuhan tenaga kerja pada jam-jam kerja.

Page 88: BAB II ku

88

b) Kepatuhan tenaga kerja terhadap perintah atasan serta tata tertib yang

berlaku.

c) Penggunaan dan pemeliharaan bahan-bahan dan alat kantor dengan hati-

hati.

d) Bekerja dengan mengikuti cara-cara kerja yang telah ditetapkan telah

organisasi atau perusahaan

Anoraga & Suyati (1995) hanya menambahkan yaitu berkaitan

dengan kegairahan kerja. Menurut Anoraga & Suyati (1995), kegairahan

kerja termasuk salah satu faktor yang penting di dalam bekerja. Tenaga

kerja yang sudah tidak mempunyai gairah dalam bekerja akan malas dalam

bekerja sehingga hasilnya kurang optimal. Tugas dari organisasi atau

perusahaan adalah membuat perubahan-perubahan agar tenaga kerjanya

tidak merasa jenuh dalam bekerja. Perubahan-perubahan yang dibuat

hendaknya berdampak positif bagi kinerja karyawan.

2.3.6 Konsep Disiplin Kerja dalam Manajemen Keperawatan

Para Perawat dituntut untuk dapat melaksanakan tugas yang

dibebankan kepadanya lebih profesional, yang berarti perawat yang

mempunyai pandangan untuk selalu berfikir, kerja keras, bekerja sepenuh

waktu, disiplin, jujur, loyalitas tinggi dan penuh dedikasi. Untuk itu,

diperlukan adanya pembinaan dan ditumbuhkan kesadaran juga kemampuan

kerja yang tinggi. Dalam menjalankan aktifitas sebagai seorang perawat

bertanggung jawab untuk menjalankan kegiatannya sesuai standar

Page 89: BAB II ku

89

keperawatan. Suatu tindakan perawat yang tidak disiplin akan menimbulkan

kelalaian atau malpraktik, dan dapat dituntut di pengadilan.

2.3.7 Indikator Disiplin

Aspek-aspek disiplin kerja berdasarkan dari teori Alfred R. Lateiner

dan I. E. Lavine (1985), Siswanto dan Prijodarminto (dalam Hapsari, 1998)

dan Nitisemito (1982) sebagai berikut:

a) Disiplin terhadap peraturan-peraturan

Disiplin terhadap peraturan-peraturan dapat diartikan sebagai ketaatan

karyawan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan

kerjanya, hal ini meliputi peraturan yang tertulis maupun yang tidak

tertulis. Disiplin ini dapat berupa ketaatan untuk memberitahukan bila

tidak masuk kerja, berpakaian sesuai dengan ketentuan, ketaatan dalam

menggunakan alat-alat perlengkapan yang ada.

b) Disiplin Waktu

Disiplin waktu dapat diberi pengertian sebagai ketaatan karyawan

terhadap waktu kerja. Hal ini meliputi ketaatan karyawan terhadap jam

masuk kerja, jam pulang kerja dan kehadiran di tempat kerja.

c) Disiplin terhadap tugas dan tanggung jawab

Disiplin terhadap tugas dan tanggung jawab ini dapat diberi pengertian

sebagai ketaatan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung

Page 90: BAB II ku

90

jawab yang dibebankan kepadanya. Hal ini meliputi ketaatan karyawan

untuk mematuhi cara-cara kerja yang telah ditentukan, menerima tugas

yang dibebankan dan ketaatan untuk menyelesaikan setiap tugas.

d) Menerima sanksi-sanksi apabila melanggar peraturan dan juga apabila

melanggar tugas dan wewenang yang diberikan. Hal ini diberi

pengertian bahwa karyawan yang melanggar peraturan-peraturan yang

telah ditetapkan organisasi ataupun tidak menyelesaikan tugas dan

tanggung jawab yang diembannya akan diberikan sanksi sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Berdasarkan hal yang tersebut diatas maka indikator dalam penelitian

yaitu:

1. Disiplin tingkah laku (peraturan),

2. Disiplin waktu, dan

3. Disiplin tugas

2.3.8 Sintesis Disiplin

Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa disiplin

adalah suatu bentuk kesadaran dan kesediaan seseorang (perawat)

untuk taat pada peraturan organisasi baik yang tertulis atau tidak

tertulis serta bersedia menerima sanksi apabila melanggar tugas dan

wewenang yang diberikan kepadanya. Disiplin diukur dengan

indikator, diantaranya:

1. Disiplin tingkah laku (peraturan)

2. Disiplin waktu

Page 91: BAB II ku

91

3. Disiplin tugas

2.4 Lingkungan Kerja

2.4.1 Pengertian Lingkungan Kerja

Menurut Mardiana (2005) “Lingkungan kerja adalah lingkungan

dimana pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari”. Lingkungan kerja

yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai

untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi

pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja,

maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan

aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis

prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut mencakup

hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pegawai dan hubungan kerja

antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja.

Menurut Nitisemito (2001) ”Lingkungan kerja adalah segala sesuatu

yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam

menjalankan tugastugas yang diembankan”.

Lingkungan kerja banyak didefinisikan oleh para ahli, beberapa

diantaranya adalah Menurut Nitisemito (2000:183), lingkungan kerja adalah

segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi

dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan.

Definisi mengenai lingkungan kerja juga dikemukakan oleh

Sedarmayanti (2001:1) lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas

Page 92: BAB II ku

92

dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana seseorang bekerja,

metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan

maupun sebagai kelompok dapat ditarik kesimpulannya bahwa kondisi

lingkungan kerja baik akan menunjang produktivitas karyawan yang pada

akhirnya berdampak pada kenaikan tingkat kinerja karyawan.

Swastha dan Sukotjo (2004:26-27) menyatakan lingkungan

perusahaan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari faktor-faktor ekstern

yang mempengaruhi baik organisasi maupun kegiatannya. Sedangkan arti

lingkungan kerja secara luas mencakup semua faktor-faktor ekstern yang

mempengaruhi individu, perusahaan, dan masyarakat.

Sedangkan Heijrachman dan Husnan (1997:34) menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan pengaturan lingkungan kerja adalah pengaturan

penerangan tempat kerja, pengontrolan terhadap suara gaduh dalam pabrik,

pengontrolan terhadap udara, pengaturan kebersihan tempat kerja, dan

pengaturan tentang keamanan kerja.

Menurut Sedarmayanti (2001:21), lingkungan kerja fisik adalah semua

keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat

mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak

langsung. Lingkungan kerja fisik adalah sesuatu yang berada di sekitar para

pekerja yang meliputi cahaya, warna, udara, suara, serta musik yang

mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang dibebankan

(Moekijat, 1995:135).

Page 93: BAB II ku

93

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan lingkungan kerja fisik adalah keadaan di sekitar kantor

atau tempat bekerja seperti penerangan, warna, udara, musik, kebersihan

dan keamanan yang mempengaruhi karyawan dalam menjalankan tugas-

tugasnya atau pekerjaannya.

Menurut Sedarmayanti (2001:31), lingkungan kerja non fisik adalah

semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik

hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun

hubungan dengan bawahan, Lingkungan non fisik ini juga merupakan

kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan. Sedangkan menurut

Nitisemito (2000:171) perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi

yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan, maupun yang

memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya

diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik dan

pengendalian diri.

Pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan lingkungan kerja non fisik adalah keadaan di dalam tempat bekerja

yang mencerminkan hubungan antara atasan dengan bawahan sehingga

menciptakan suasana yang baik dan komunikasi yang baik juga dalam

menjalankan tugas-tugasnya atau pekerjaannya.

Pernyataan dari para ahli diatas secara garis besar dapat ditarik kesimpulan.

Bahwa lingkungan kerja merupakan situasi atau keadaan di sekitar para

karyawan. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa situasi atau keadaan

Page 94: BAB II ku

94

di sekitar karyawan tersebut mempengaruhi dirinya dalam menjalankan

tugas-tugas yang dibebankannya.

2.4.2 Jenis-jenis Lingkungan Kerja

Menurut Sedarmayanti (2001:21) menyatakan bahwa secara garis

besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu lingkungan kerja fisik,

yaitu semua keadaan yang berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat

kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun

tidak langsung dan lingkungan kerja non fisik, yaitu semua keadaan yang

terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja baik hubungan dengan atasan

maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.

Lingkungan kerja yang baik dapat mendukung pelaksanaan kerja sehingga

karyawan memiliki semangat bekerja dan meningkatkan kinerjanya.

Sedangkan menurut Mangkunegara (2005:105), menyatakan bahwa

ada beberapa jenis lingkungan kerja, yaitu:

1) Kondisi lingkungan kerja fisik yang meliputi faktor lingkungan tata

ruang kerja dan faktor kebersihan dan kerapian ruang kerja,

2) Kondisi lingkungan kerja non fisik yang meliputi lingkungan social,

status sosial, hubungan kerja, dan sistem informasi,

3) kondisi psikologis lingkungan kerja yang meliputi rasa bosan dan

keletihan dalam bekerja.

2.4.2.1 Lingkungan Kerja Fisik

Page 95: BAB II ku

95

a. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Fisik

Ada banyak hal yang tercakup dalam lingkungan kerja fisik.

Menurut Handoko lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan yang

terdapat di sekitar tempat kerja, yang meliputi temperatur, kelembaban

udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-

bauan, warna dan lain- lain yang dalam hal ini berpengaruh terhadap

hasil kerja manusia tersebut.

Menurut Sedarmayanti (2001:21) Lingkungan kerja fisik adalah

semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang

dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara

tidak langsung. Berikut ini beberapa jenis lingkungan kerja yang

diuraikan oleh Sedarmayanti sebagai berikut:

1) Penerangan/Cahaya di Tempat Kerja

Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan

guna mendapat keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh sebab itu

perlu diperhatikan adanya penerangan (cahaya) yang terang tetapi

tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas, sehingga pekerjaan

akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya

menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan,

sehingga tujuan organisasi sulit dicapai. Pada dasarnya, cahaya dapat

dibedakan menjadi empat yaitu : cahaya langsung, cahaya setengah

langsung, cahaya tidak langsung, dan cahaya setengah tidak

langsung.

Page 96: BAB II ku

96

2) Temperatur di Tempat Kerja (suhu)

Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai

temperature berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk

mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang

sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang

terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri

tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh manusia masih dapat

menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan

temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan

35% untuk kondisi dingin, dari keadaan normal tubuh. Menurut hasil

penelitian, untuk berbagai tingkat temperatur akan memberi pengaruh

yang berbeda. Keadaan tersebut tidak mutlak berlaku bagi setiap

karyawan karena kemampuan beradaptasi tiap karyawan berbeda,

tergantung di daerah bagaimana karyawan dapat hidup.

3) Kelembaban di Tempat Kerja

Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara,

biasa dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan

atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan secara bersama-sama

antara temperatur, kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi

panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia

pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu

keadaan dengan temperatur udara sangat panas dan kelembaban

tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara

Page 97: BAB II ku

97

besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain adalah makin

cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah

untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu

berusaha untuk mencapai keseimbangan antar panas tubuh dengan

suhu disekitarnya.

4) Sirkulasi Udara di Tempat Kerja

Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk

menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme. Udara

di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut

telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan yang

berbahaya bagi kesehatan tubuh. Sumber utama adanya udara segar

adalah adanya tanaman di sekitar tempat kerja. Tanaman merupakan

penghasil oksigen yang dibutuhkan olah manusia. Dengan cukupnya

oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara

psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya

akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk

dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan

tubuh akibat lelah setelah bekerja.

5) Kebisingan di Tempat Kerja

Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk

mengatasiny adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki

oleh telinga. Tidak dikehendaki, karena terutama dalam jangka

panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja,

Page 98: BAB II ku

98

merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi,

bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius bisa menyebabkan

kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara

bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat

dilakukan dengan efisien sehingga produktivitas kerja meningkat.

Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang bisa

menentukan tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu : lamanya

kebisingan, intensitas kebisingan, dan frekuensi kebisingan.

6) Getaran Mekanis di Tempat Kerja

Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis,

yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat

menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada

umumnya sangat menggangu tubuh karena ketidak teraturannya, baik

tidak teratur dalam intensitas maupun frekwensinya. Gangguan

terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terdapat apabila frekwensi

alam ini beresonansi dengan frekwensi dari getaran mekanis. Secara

umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam hal:

konsentrasi bekerja, datangnya kelelahan, dan timbunya beberapa

penyakit.

7) Bau-bauan di Tempat Kerja

Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai

pencemaran, karena dapat menganggu konsentrasi bekerja, dan bau-

bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan

Page 99: BAB II ku

99

penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat merupakan salah

satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau-bauan

yang menganggu di sekitar tempat kerja.

8) Tata Warna di Tempat Kerja

Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan

dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat

dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi

karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. Sifat

dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih,

dan lain-lain, karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan

manusia.

9) Dekorasi di Tempat Kerja

Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu

dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hasil ruang kerja saja tetapi

berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna,

perlengkapan, dan lainnya untuk bekerja.

10) Musik di Tempat Kerja

Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan

suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang

karyawan untuk bekerja. Oleh karena itu lagu-lagu perlu dipilih

dengan selektif untuk dikumandangkan di tempat kerja. Tidak

sesuainya musik yang diperdengarkan di tempat kerja akan

mengganggu konsentrasi kerja.

Page 100: BAB II ku

100

11) Keamanan di Tempat Kerja

Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam

keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya keberadaannya. Salah

satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat

memanfaatkan tenaga Satuan Petugas Keamanan (SATPAM).

2.4.2.2 Lingkungan Kerja Non Fisik

a. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Non Fisik

Menurut Wursanto (2009:269) menyatakan bahwa ada 3 jenis

lingkungan kerja yang bersifat non fisik yaitu:

1) Perasaan aman karyawan

Perasaan aman karyawan merupakan rasa aman dari berbagai

bahaya yang dapat mengancam keadaan diri karyawan. Perasaan

aman tersebut terdiri dari sebagai berikut:

a) Rasa aman dari bahaya yang mungkin timbul pada saat

menjalankan tugasnya.

b) Rasa aman dari pemutusan hubungan kerja yang dapat

mengancam penghidupan diri dan keluarganya.

c) Rasa aman dari bentuk intimidasi ataupun tuduhan dari adanya

kecurigaan antar karyawan.

2) Loyalitas karyawan

Loyalitas merupakan sikap karyawan untuk setia terhadap

perusahaan atau organisasi maupun terhadap pekerjaan yang

Page 101: BAB II ku

101

menjadi tanggung jawabnya. Loyalitas ini terdiri dari dua macam,

yaitu loyalitas yang bersifat vertikal dan horizontal. Loyalitas yang

bersifat vertikal yaitu loyalitas antara bawahan dengan atasan atau

sebaliknya antara atasan dengan bawahan. Loyalitas ini dapat

terbentuk dengan berbagai cara. Untuk menunjukkan loyalitas

tersebut dilakukan dengan cara :

a) Kunjungan atau silaturahmi ke rumah karyawan oleh pimpinan

atau sebaliknya, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan

seperti arisan.

b) Keikutsertaan pimpinan untuk membantu kesulitan karyawan

dalam berbagai masalah yang dihadapi karyawan.

c) Membela kepentingan karyawan selama masih dalam koridor

hukum yang berlaku.

d) Melindungi bawahan dari berbagai bentuk ancaman.

Sementara itu, loyalitas bawahan dengan atasan dapat dibentuk

dengan kegiatan seperti open house, memberi kesempatan kepada

bawahan untuk bersilaturahmi kepada pimpinan, terutama pada

waktu-waktu tertentu seperti hari besar keagamaan seperti lebaran,

hari natal atau lainnya. Loyalitas yang bersifat horisontal

merupakan loyalitas antar bawahan atau antar pimpinan. Loyalitas

horisontal ini dapat diwujudkan dengan kegiatan seperti kunjung

Page 102: BAB II ku

102

mengunjungi sesama karyawan, bertamasya bersama, atau kegiatan-

kegiatan lainnya.

3) Kepuasan karyawan

Kepuasan karyawan merupakan perasaan puas yang muncul dalam

diri karyawan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Perasaan puas ini meliputi kepuasan karena kebutuhannya

terpenuhi, kebutuhan sosialnya juga dapat berjalan dengan baik,

serta kebutuhan yang bersifat psikologis juga terpenuhi.

Lingkungan kerja non fisik ini adalah lingkungan kerja yang hanya

dapat dirasakan oleh karyawan. Oleh karena itu, lingkungan kerja

non fisik yang dapat memberikan perasaan-perasaan aman dan puas

dapat mempengaruhi perilaku Karyawan ke arah yang positif

sebagaimana yang dapat meningkatkan kinerja karyawan

sebagaimana yang diharapkan oleh perusahaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, lebih lanjut berpendapat bahwa

“tugas pimpinan organisasi adalah menciptakan suasana kerja yang

harmonis dengan menciptakan human relations sebaik-baiknya”.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka pimpinan menjadi faktor

penting yang dapat menciptakan lingkungan kerja non fisik dalam

lingkup perusahaan.

b. Manfaat Lingkungan Kerja

Page 103: BAB II ku

103

Menurut Ishak dan Tanjung (2003), manfaat lingkungan kerja adalah

menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas dan prestasi kerja

meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan

orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan

tepat. Yang artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standard yang benar

dan dalam skala waktu yang ditentukan. Prestasi kerjanya akan dipantau

oleh individu yang bersangkutan, dan tidak akan menimbulkan terlalu

banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi.

2.4.3 Indikator Lingkungan Kerja

2.4.3.1 Indikator Lingkungan Kerja Fisik

Penjelasan teori sebelumnya maka dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan indikator untuk mengetahui lingkungan kerja

fisik karyawan. Adapun indikator yang dimaksud adalah :

1) Keadaan udara didalam ruangan

2) Kebisingan dilingkungan tempat bekerja

3) Vibrasi atau getaran-getaran yang dapat mempengaruhi kinerja

4) Tingkat pencahayaan dalam ruangan

5) Penataan ruangan (tata ruang)

Page 104: BAB II ku

104

2.4.3.2 Indikator Lingkungan Kerja Non Fisik

Kajian lingkungan kerja non fisik bertujuan untuk membentuk

sikap karyawan yang positif yang dapat mendukung kinerja karyawan.

Wursanto (2009:270) berpendapat bahwa ada beberapa unsur penting

dalam pembentukan sikap dan perilaku karyawan dalam lingkungan

kerja non fisik, yaitu sebagai berikut:

1) Pengawasan yang dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan

system pengawasan yang ketat.

2) Suasana kerja yang dapat memberikan dorongan dan semangat

kerja yang tinggi.

3) Sistem pemberian imbalan (baik gaji maupun perangsang lain)

yang menarik.

4) Perlakuan dengan baik, manusiawi, tidak disamakan dengan robot

atau mesin, kesempatan untuk mengembangkan karier semaksimal

mungkin sesuai dengan batas kemampuan masing-masing anggota.

5) Ada rasa aman dari para anggota, baik di dalam dinas maupun di

luar dinas.

6) Hubungan berlangsung secara serasi, lebih bersifat informal, penuh

kekeluargaan.

7) Para anggota mendapat perlakuan secara adil dan objektif.

Beberapa hal tersebut kemudian digunakan sebagai indikator untuk

mengetahui keadaan lingkungan kerja fisik dan non fisik. Jadi, penelitian

Page 105: BAB II ku

105

ini menggunakan indikator untuk mengetahui lingkungan kerja yaitu:

peraturan kerja, tata ruang kerja, kelembaban ruangan.

2.4.4 Sintesis Lingkungan Kerja

Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa

lingkungan kerja adalah keseluruhan faktor- faktor baik keadaan fisik

atau non fisik di tempat kerja seseorang yang dapat mempengaruhi

dirinya dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Indikator tersebut diantarany: peraturan kerja, tata ruang, dan

kelembaban ruangan.

2.5 Pengawasan

2.5.1 Pengertian Pengawasan

Menurut Moekijat, pengawasan adalah hal yang dilakukan, artinya

hasil pekerjaan, menilai hasil pekerjaan tersebut, dan apabila perlu

mengadakan tindakan-tindakan perbaikan sehingga hasil pekerjaan sesuai

dengan rencana (Moekijat, 1990:80).

Sedangkan menurut Soewarno Handayaningrat “ pengawasan dapat

diartikan sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah

dilaksanakan, menilainya dan mengoreksinya bila perlu dengan maksud

Page 106: BAB II ku

106

supaya pekerjaan sesuai dengan rencana semula (Handayaningrat,

1985:142).

Pengawasan kerja adalah kegiatan manajer yang mengharuskan atau

mengusahakan agar pekerjaan terlaksananya sesuai dengan rencana yang

telah ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki (Lubis, 1985: 154).

Pendapat lain menyatakan bahwa pengawasan adalah penilaian

koreksi atas pelaksanaan kerja yang dilakukan oleh bawahan dengan

maksud untuk mendapatkan keyakinan untuk menjamin bahwa tujuan

perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk mencapainya harus

dilaksanakan ( Harold Koontz dan Cyrril o’Donnel dalam Lubis, 1985:156-

157).

Pengawasan kerja adalah memilih orang yang tetap untuk setiap

pekerjaan, menimbulkan minat terhadap pekerjaannya pada tiap-tiap orang

dan mengajarkan bagaimana ia harus melakukan pekerjaannya, mengukur

dan menilai hasil kerjanya untuk mendapatkan keyakinan apakah pekerjaan

itu telah dipahami dengan wajar.

Dari beberapa pendapat yang memberikan pengertian tentang

pengawasan kerja maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan kerja

merupakan salah satu pekerjaan yang dilaksanakan dalam kegiatan

manajerial untuk menjamin terealisasinya semua rencana yang telah

ditetapkan sebelumnya serta pengambilan tindakan perbaikan bila

diperlukan.Tindakan perbaikan diartikan tindakan yang diambil untuk

menyesuaikan hasil pekerjaan dengan standar. Tindakan perbaikan ini

Page 107: BAB II ku

107

membutuhkan waktu dan proses agar terwujud untuk mencapai hasil yang

diinginkan. Karena laporan-laporan berkala sangat penting sebab dalam

laporan itu dapat diketahui situasi yang nyata. Apabila terjadi

penyimpangan, tindakan perbaikan segera dapat diambil, sehingga

kemungkinan resiko dan kerugian perusahaan dapat diminimalkan.

2.5.2 Tujuan pengawasan

Tujuan utama dari pengawasan yaitu mengusahakan supaya apa

yang direncanakan menjadi kenyataan. Mencari dan memberitahu

kelemahan- kelemahan yang dihadapi. Adapun tujuan pengawasan menurut

(Sukarna, 1993:112) antara lain:

a. Untuk mengetahui jalannya pekerjaan lancar atau tidak

b. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan

mengusahakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan yang

serupa atau timbulnya kesalahan baru.

c. Untuk mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan

dalam planning terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah

ditentukan.

d. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan biaya telah sesuai dengan

program seperti yang telah ditetapkan dalam planning atau tidak.

e. Untuk mengetahui hasil pekerjaan dengan membandingkan dengan apa

yang telah ditetapkan dalam rencana (standar) dan sebagai tambahan.

Page 108: BAB II ku

108

f. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan kerja sesuai dengan prosedur

atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.

2.5.3 Tipe-tipe Pengawasan

a. Pengawasan Pendahuluan (Freedforward Control)

Bentuk pengawasan pra kerja ini dirancang untuk mengantisipasi

masalah-masalah atau penyimpangan dari standar atau tujuan dan

memungkinkan korelasi dibuat sebelum tahap tertentu diselesaikan. Jadi

pendekatan pengawasan ini lebih aktif dan agresif, dengan mendeteksi

masalah-masalah dan mengambil tindakan yang diperlukan sebelum

suatu masalah terjadi.

b. Pengawasan selama kegiatan berlangsung (Concurrent Control)

Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan berlangsung.

Pengawasan ini merupakan proses dimana aspek tertentu dari dari suatu

prosedur disetujui terlebih dahulu sebelum kegiatan-kegiatan

dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan “Double Check” yang

lebih menjamin ketepatan pelaksanaan suatu kegiatan.

c. Pengawasan umpan balik (Feedback Control)

Mengukur hasil-hasil dari suatu kegiatan yang telah diselesaikan.

Sebab-sebab penyimpangan dari rencana atau standar yang telah

ditentukan, dan penemuan-penemuan diterapkan untuk kegiatan-

kegiatan serupa dimasa yang akan datang. Pengawasan ini bersifat

Page 109: BAB II ku

109

histories, pengukuran dilakukan setelah kegiatan terjadi (Handoko,

1991:361).

2.5.4 Proses Pengawasan

Proses pengawasan adalah serangkaian kegiatan didalam

melaksanakan pengawasan terhadap suatu tugas atau pekerjaan dalam suatu

organisasi. Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah

pokok) yang bersifat fundamental bagi semua pengawasan menurut T. Hani

handoko (1995):

a. Penetapan standar pelaksanaan/perencanaan

Tahap pertama dalam pengawasan adalah menetapkan standar

pelaksanaan, standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran

yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil.

b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan

Penetapan standar akan sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk

mengukur pelaksanaan kegiatan nyata.Tahap kedua ini menentukan

pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.

c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan

Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:

1) Pengamatan.

2) Laporan-laporan baik lisan ataupun tertulis.

3) Metode-metode otomatis.

4) Pengujian atau dengan pengambilan sampel.

Page 110: BAB II ku

110

d. Perbandingan pelaksanaan dengan standar analisis penyimpangan

Tahap kritis dari proses pengawasan adalah membandingkan

pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang telah direncanakan atau

standar yang telah ditetapkan.

e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan

Bila hasil analisa menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini

harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk.

Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya

dilakukan bersamaan. Sementara itu Ranu Pandoyo merumuskan proses

atau langkah-langkah pengawasan meliputi:

1) Menentukan ukuran atau pedoman baku atau standar.

2) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang

sudah dikerjakan.

3) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau

pedoman baku yang telah ditetapkan untuk mengetahui

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

4) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang

terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang

direncanakan (Pandoyo, 1990:109).

Pendapat dari para ahli di atas cukuplah jelas, yang dimaksud

dengan proses pengawasan yaitu serangkaian tindakan dalam mengadakan

pengawasan. Sedangkan langkah awal dari rangkaian tindakan yang

Page 111: BAB II ku

111

tercantum dalam proses pengawasan itu adalah menetapkan standar

pengawasan dan yang dimaksud penyimpangan disini adalah penyimpangan

terhadap standar. Dari proses pengawasan tersebut maka dapat diambil

beberapa pernyataan dari pendapat Pandoyo (1990) untuk dijadikan sebagai

indikator yang dapat mengukur pengawasan yaitu:

1) Menentukan ukuran (pedoman baku standart)

Pelaksanaan/perencanaan Tahap pertama dalam pengawasan adalah

menetapkan ukuran standar pelaksanaan, standar mengandung arti

sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai patokan

untuk penilaian hasil-hasil.

2) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah

dikerjakan yaitu suatu penilaian yang dilakukan oleh pengawas dengan

melihat hasil kerjanya dan laporan tertulisnya.

3) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau

pedoman baku yang ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi saat bekerja.

4) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang

terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang

direncanakan. Melakukan tindakan koreksi / perbaikan Bila hasil analisa

menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil.

Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar

mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan

bersamaan.

Page 112: BAB II ku

112

2.5.5 Teknik Pengawasan

Teknik pengawasan adalah cara melaksanakan pengawasan dengan

terlebih dahulu menentukan titik-titik pengawasan sehingga dapat ditarik

suatu kesimpulan mengenai keadaan keseluruhan kegiatan organisasi.

Teknik pengawasan menurut Manullang sebagai berikut:

a. Peninjauan pribadi

Peninjauan pribadi adalah mengawasi dengan jalan meninjau secara

pribadi, sehingga dapat dilihat sendiri pelaksanaan pekerjaan.

b. Pengawasan melalui laporan lisan

Pengawasan ini dilakukan dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui

laporan lisan yang diberikan bawahan, dilakukan dengan cara

wawancara kepada orang-orang tertentu yang dapat memberi gambaran

dari hal-hal yang ingin diketahui terutama tentang hasil yang

sesungguhnya yang ingin dicapai bawahan.

c. Pengawasan melalui laporan tertulis

Merupakan suatu pertanggung jawaban bawahan kepada atasannya

mengenai pekerjaan yang dilaksanakan, sesuai dengan intruksi dan

tugas-tugas yang diberikan.

d. Pengawasan melalui hal-hal yang bersifat khusus, didasarkan

kekecualian atau control by exeption. Merupakan sistem atau teknik

pengawasan dimana ini ditujukan kepada soal-soal kekecualian. Jadi

Page 113: BAB II ku

113

pengawasan hanya dilakukan bila diterima laporan yang menunjukkan

adanya peristiwa-peristiwa istimewa.

2.5.6 Indikator Pengawasan

Menurut T. Hani handoko (1995), pengawasan dilakukan melalui

proses:

a. Penetapan standar pelaksanaan/perencanaan

Tahap pertama dalam pengawasan adalah menetapkan standar

pelaksanaan, standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran

yang dapat digunakan sebagai patokan untuk penilaian hasil-hasil.

b. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan

Penetapan standar akan sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk

mengukur pelaksanaan kegiatan nyata.Tahap kedua ini menentukan

pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat.

c. Pengukuran pelaksanaan kegiatan

Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan yaitu:

5) Pengamatan.

6) Laporan-laporan baik lisan ataupun tertulis.

7) Metode-metode otomatis.

8) Pengujian atau dengan pengambilan sampel.

d. Perbandingan pelaksanaan dengan standar analisis penyimpangan

Page 114: BAB II ku

114

Tahap kritis dari proses pengawasan adalah membandingkan

pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang telah direncanakan atau

standar yang telah ditetapkan.

e. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan

Bila hasil analisa menunjukkan adanya tindakan koreksi, tindakan ini

harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk.

Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya

dilakukan bersamaan. Sementara itu Ranu Pandoyo merumuskan proses

atau langkah-langkah pengawasan meliputi:

5) Menentukan ukuran atau pedoman baku atau standar.

6) Mengadakan penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang

sudah dikerjakan.

7) Membandingkan antara pelaksanaan pekerjaan dengan ukuran atau

pedoman baku yang telah ditetapkan untuk mengetahui

penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

8) Mengadakan perbaikan atau pembetulan atas penyimpangan yang

terjadi, sehingga pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan apa yang

direncanakan (Pandoyo, 1990:109).

Berdasarkan hal diatas, indikator yang digunakan dalam penelitian

antara lain: penetapan standar kerja, penilaian pekerjaan, dan

mengoreksi pekerjaan.

2.5.7 Sintesis Pengawasan

Page 115: BAB II ku

115

Berdasarkan paparan diatas dapat disintesakan bahwa pengawasan

adalah proses menetapkan pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya,

dan mengoreksi atau merencanakan rencana perbaikan agar mencapai hasil

yang telah direncakan sebelumnya. Pengawasan diukur dengan indikator,

diantaranya: penetapan standar kerja, penilaian pekerjaan dan mengoreksi

pekerjaan.

BAB III

KERANGKA, DEFENISI, PENGUKURAN DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Teori

Berdasarkan landasan teori dan sintesa setiap variabel, maka dibuat bagan

kerangka teoritis dalam penelitian ini sebagai beriku :

Menurut Relly (2003) bahwa :

1. Waktu 2. Tugas 3. Produktivitas4. Motivasi 5. Evaluasi kerja6. Pengawasan 7. Lingkungan kerja8. Perlengkapan dan

fasilitas

Menurut Stephen P. Robbins (1996) bahwa :

1. Disiplin2. Kepentingan/ minat3. Motif4. Pengalaman masa lalu5. Penerapan (dispektasi)

Menurut Richard M. Steers (1985)

Efektivitas Kerja

1. Kemampuan menyesuaikan diri

2. Kepuasan kerja3. Prestasi kerja4. Kemampuan

berlaba5. Pencapaian

sumber daya

Page 116: BAB II ku

116

3.2. Kerangka konsep

Model II

Model III

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan pada Bab II, dan

kerangka teori diatas, disesuaikan dengan tujuan penelitian serta batasan

penelitian yang ditentukan oleh penulis, maka daoat dikembangkan kerangka

konsep dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Motivasi

Efektivitas Kerja Perawat

Disiplin perawat

M1 M2 M3

EK 1

Page 117: BAB II ku

117

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

KETERANGAN :

EK1 = Kemampuan menyesuaikan diri D1 = Waktu

EK2 = Kepuasan Kerja D2 = Tugas

EK3 = Prestasi Kerja D3 = Tingkah Laku

M1 = Karakteristik Individu LK1 = Peraturan Kerja

M2 = Tanggung Jawab LK2 = Tata Ruang Kerja

M3 = Insentif LK3 = Kelembaban Ruangan

P1 = Penetapan Standar Kerja

P2 = Penilaian Pekerjaan

P3 = Mengoreksi Pekerjaan

Lingkungan Kerja

Pengawasan

D1 D2 D3

LK1 LK2 LK3

P1 P2 P3

EK 1

EK 1

Page 118: BAB II ku

118

3.3. Kerangka Analisis

Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan dari penelitian yang telah

dikemukakan sebelumnya, maka kerangka analisis dapat digambarkan sebagai

berikut :

Motivasi

Efektivitas Kerja Perawat

Disiplin perawat

M1 M2 M3

D1 D2 D3EK 1

Page 119: BAB II ku

119

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

Keterangan

ξ : Ksi, Variabel latent eksogen

ŋ : Eta, Variabel latent endogen

λx : Lamnda (kecil), loading factor variable latent eksogen

λy : Lamnda (besar), loading factor variable latent endogen

Ʌx : Matriks loading factor variable latent eksogen

Ʌy : Matriks loading factor variable latent endogen

β : Beta (kecil), koefisien pengaruh variable endogen terhadap endogen

γ :Gamma (kecil), koefisien pengaruh variable eksogen terhadap endogen

ζ : Zeta kecil, galat model

δ : Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen

ε : Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen

Lingkungan Kerja

Pengawasan

LK1 LK2 LK3

P1 P2 P3

EK 1

EK 1

Page 120: BAB II ku

120

Page 121: BAB II ku

121

3.4 Variabel, Definisi Konsep, Definisi Operasional dan Pengukuran

N

o

Variabel Indikator Defenisi konsep Defenisi operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

ukur

1

Page 122: BAB II ku

122

2

3

Page 123: BAB II ku

123

3.5 Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh langsung dan tidak langsung antara motivasi, disiplin perawat,

lingkungan kerja, dan pengawasan terhadap efektifitas kerja perawat di Rumah Sakit

Puri Cinere.

Page 124: BAB II ku

124

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Desain Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Proses yang

dilaksanakan melalui survei ditujukan untuk menguji dan memperoleh konfirmasi dari

variabel yang diuji berdasarkan model teoritis. Alat yang digunakan untuk mengukur

ialah kuesioner. Sedangkan proses analisis dengan pendekatan analisis jalur (Path

Analysis). Setelah semua tahapan dilalui, diharapkan diketahui pengaruh fokus tenaga

kerja dan proses pengelolaan proses layanan terhadap kinerja pelayanan Rumah Sakit.

Page 125: BAB II ku

125

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Bhineka Bhakti Husada.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua karyawan yang bekerja baik medis

maupun non medis yang mempunyai masa kerja diatas 1 tahun.

4.3.2. Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 75 orang dengan

Kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi :

- Laki – laki atau perempuan yang berusia ≥ 60 tahun saat penelitian

dimulai

- Bersedia menjadi responden

Kriteria ekslusi adalah :

- Lansia yang buta huruf

- Mengalami gangguan kesadaran saat dilakukan pemeriksaan

4.4. Metode Pengukuran

Metode pengukuran baik untuk variabel eksogen maupun endogen yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal dan interval, sedangkan

teknik pengukuranya menggunakan semantic differential, yang mempunyai skala 5

Page 126: BAB II ku

126

point. Pada skala ini sifat positif diberi nilai paling besar dan sifat negative diberi

nilai paling kecil tetap dipertahankan, demikian juga prinsip menggabungkan

positif-negatif dan negative-positif.

Skala perbedaan Semantic yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah

sebagai berikut :

Baik/ Buruk/

Positif Negatif

4.5. Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto, 2006 validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan

tingkan kevalidan atau kesahian suatu instrument. Sebuah instrument dikatakan

valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data

variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrument

menjunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran

tentang variabel yang dimaksud. Sedangkan reliabilitas menunjukkan pada satu

pengertian bahwa suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai

alat pengumpul data karena instrument tersebut baik. Instrument yang baik tidak

akan bersifat tendesius yang mengarahkan responden untuk memilih jawaban –

jawaban tertentu. Instrument yang sudap dapat dipercaya yang reliable akan dapat

menghasilkan data yang dapat dipercaya ( Taniredja, 2011) .

Page 127: BAB II ku

127

Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan

instrument dalam mengunpulkan data. (Nursalam, 2008). Uji validitas dalam

penelitian ini dilihat dari validitas kovergen dengan parameter factor loading dengan

nilai > 0,7, Community > 0,5 dan Average Variance Extracted (AVE) > 0,5.

Sedangkan bila dilihat dari uji validitas diskriminan dengan parameter akar AVE >

korelasi variabel laten dan cross loading lebih dari 0,7 dalam satu variable

(Jogiyanto,2009).

Setelah melakukan uji validitas, langkah selanjutnya adalah uji reliabilitas.

Menurut Sumartiningsih (2007) untuk mengetahui reliabilitas instrument caranya

adalah : membandingkan nilai r hasil dengan nilai r tabel. Dalam uji reliabilitas

sebagai r hasil adalah nilai alpha. Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka

pertanyaan tersebut reliabel. Uji reliabilitas kuesioner menggunakan Uji Cronbach

(alpha). (Hastono, 2010).

4.6. Pengambilan Data

4.6.1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer merupakan materi atau kumpulan fakta yang dikumpulkan

sendiri oleh peneliti pada saat berlangsungnya suatu penelitian

(Chandra B, 2005).

Page 128: BAB II ku

128

b. Data skunder

Data skunder merupakan data yang bersumber dari catatan yang ada

pada instansi dan dari sumber lainnya yaitu dengan mengadakan studi

kepustakaan dengan mempelajari buku-buku yang ada hubungannya

dengan objek penelitian atau dapat dilakukan dengan menggunakan

data dari biro pusat statistic (BPS) (Sunyotno D, 2012).

4.6.2. Cara pengumpulan data

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari

lokalisasi Kota Bekasi tentang banyaknya jumlah Lansia. Cara

pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini melalui alat

bantu (instrument) berupa angket/pertanyaan diperoleh melalui penyebaran

kuesioner, yang dilakukan oleh peneliti kepada responden yang telah sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan.

Alat bantu (instrument) berupa angket/pertanyaan yang

mengandung masing-masing indikator dalam empat variabel. Adapun

variabel yang dimaksud mencakup variabel yang terdiri dari dukungan

Keluarga, Gaya Hidup, dan Social Engagement. Sedangkan kisi-kisi dalam

pembuatan butir pertanyaan dapat dijelaskan melalui Blue Print kuesioner

sebagai berikut :

Tabel 4.1. Blue Print Kuesioner Penelitian

No Variabel Indikator Sebaran Butirjumlah

Butir

1 Dukungan keluarga 1. Nasehat 1,2,3,4,5 5

2. Perhatian 6,7,8,9,10 5

Page 129: BAB II ku

129

3. Bantuan 11,12,13,14,15 5

2 Social Engagement 1. Kehadiran pasangan

hidup

16,17 2

1. Kontak visual (VIS) 18,19,20,21,22,2

3,24

7

2. Kontak non Visual

( NON VIS )

25,26,27,28,29

30,31,32,33,34

10

2. Kunjungan ketempat

ibadah

35 1

3. Keanggotaan lain 36 1

4. Partisipasi teratur pada

aktivitas sosial

37,38,39,40,41

42,43,44,45,46

47,48,49,50,51

15

3 Fungsi Kognitif 1. Memori 52,53,54 3

2. Emosional 55,56,57 3

3. Bahasa 58 1

Total Butir 58

Page 130: BAB II ku

130

4.7. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil kuesioner direkap dengan menggunakan

program Excel dan selanjutnya akan diolah menggunakan program PLS (Partial

Least Square) melalui tahapan :

1. Menyunting data (Editing)

Dilakukan pemeriksaan kuesioner yang telah dikumpulkan. Dalam

melakukan editing ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni :

a) Memeriksa kelengkapan data

Pemeriksaan kelengkapan kuesioner, apakah semua pernyataan yang

dilakukan telah dijawab dengan lengkap dan benar.

b) Memeriksa kesinambungan data

Memeriksa apakah semua data berkesinambungan atau tidak, dalam

arti tidak ditemukan data atau keterangan yang bertentangan antara

satu dengan yang lainnya.

c) Memeriksa keseragaman data

Memeriksa apakah ukuran yang dipergunakan dalam mengumpulkan

data telah seragam atau tidak

2. Mengkode data (Coding)

Adalah proses untuk mengklasifikasikan data dan member kode untuk

masing-masing variabel kelas sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Kode

angka untuk setiap jawaban adalah 1–5 dalam rangka mempercepat proses

input data.

3. Processing perintah

Setelah isian kuesioner telah diisi penuh, benar dan telah di coding, maka

selanjutnya memproses data dengan cara meng-entry data dari kuesioner ke

Page 131: BAB II ku

131

dalam program Ms. Excel dengan perintah save as csv (commo separated

value).

4. Membersihkan data (Cleaning data)

Proses pembersihan data dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-

variabel dan menilai kelogisannya. Data yang sudah di entry kemudian

dilakukan pembersihan data untuk melihat kesalahan yang mungkin terjadi.

5. Transforming

Setelah dipastikan tidak ada kesalahan dalam entri data, maka dilakukan

Transforming yaitu perubahan dari excel csv ke program smart PLS.

4.8. Analisa Data

1. Analisis Data Univariat

Analisis univariat menggunakan analisis statistika deskriptif. Analisis

statistika deskriptif ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai demografi

responden. Gambaran tersebut meliputi ukuran tendensi sentral seperti rata-rata,

kisaran standar deviasi diungkapkan untuk memperjelas deskripsi karakteristik

dari masing-masing variabel eksogen dan variabel endogen.

2. Analisis SEM

Tekhnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan Structural

Equation Modelling (SEM) dengan Partial Least Square (PLS). PLS merupakan

metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua skala data,

tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar. PLS

selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk

membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian

proporsi. PLS juga dapat digunakan untuk pemodelan structural dengan indicator

bersifat reflektif ataupun formatif.

Page 132: BAB II ku

132

PLS dilakukan untuk menjelaskan secara menyeluruh hubungan antar

variabel yang ada dalam penelitian. SEM digunakan bukan untuk merancang

suatu teori, tetapi lebih ditujukan untuk memeriksa dan membenarkan suatu

model. Oleh karena itu, syarat utama menggunakan SEM adalah membangun

suatu model hipotesis yang terdiri dari model structural dan model pengukuran

dalam bentuk diagram jalur yang berdasarkan justifikasi teori. SEM adalah

merupakan sekumpulan tekhnik-tekhnik statistic yang memungkinkan pengujian

sebuah rangkaian hubungan secara simultan. Hubungan itu dibangun antara satu

atau beberapa variable independen.

Dikemukakan oleh Ferdinand (2002), bahwa model persamaan structural

merupakan jawaban yang layak untuk kombinasi antara analisis factor dan

analisis regresi berganda karena pada saat peneliti mengidentifikasi dimensi-

dimensi sebuah konsep atau konstruk, pada saat yang sama peneliti juga ingin

mengukur pengaruh atau derajat antar factor yang telah diidentifikasikan

dimensi-dimensinya itu. Dengan demikian SEM merupakan kombinasi antara

analisis faktor dan analisis regresi berganda.

Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Ferdinand (2000) bahwa SEM

sangat tepat digunakan untuk merancang penelitian manajemen serta menjawab

pertanyaan yang bersifat regresif dan dimensional dalam waktu yang bersamaan.

Regresif artinya pengujian hubungan antar konstruk, sedang dimensional berarti

pengujian dimensi-dimensi yang terdapat dalam konstruk. Demikian juga

Solimun (2002) mengemukakan bahwa di dalam SEM peneliti dapat melakukan

tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrument

(setara dengan analisis factor konfirmatori), pengujian model hubungan antar

Page 133: BAB II ku

133

variable laten (setara dengan analisis path) dan mendapatkan model yang

bermanfaat untuk prediksi (setara dengan model structural atau analisis regresi).

Adapun langkah-langkahnya dalam analisis data dengan PLS adalah

sebagai berikut :

a) Merancang model structural (inner model)

Inner model atau model structural menggambarkan hubungan antar

variabel laten berdasarkan pada substantive teori. Perancangan model

structural hubungan antar variabel laten didasarkan pada rumusan masalah

atau hipotesis penelitian.

b) Merancang Model Pengukuran (Outher Model)

Outer Model atau Model Pengukuran mendefinisikan bagaimana setiap

blok indicator berhubungan dengan variable latennya. Perancangan Model

Pengukuran menentukan sifat indicator dari masing-masing variable laten,

apakah reflektif atau formatif, berdasarkan definisi operasional variabel.

3. Konstruksi Diagram Alur

ζ1

η2

x1 x2 x3

y7

y8

y9

λx1ƛx2

ƛx3

γ 1

ζ1

ε7

ε8

ε9

λy8

λy7

Page 134: BAB II ku

134

Gambar 4.1

Konversi Diagram Jalur ke Sistem Persamaan.

4. Konversi diagram jalur ke sistem persamaan

(1) Outer Model

Untuk variabel laten eksogen 1 (Reflektif)

X1 : λx1. ξ 1+ δ1

X2 : λx2. ξ 2 + δ2

X3 : λx3. ξ 2 + δ3

Untuk variabel laten endogen 1 (Formatif)

Y1 : λγ1.η1+ ε1

Y2 : λγ2. η1+ ε2

Y3 : λγ3. η1+ ε3

γ2ζ2

λy9

η1

Page 135: BAB II ku

135

Y4 : λγ3. η2+ ε4

Y5 : λγ3. η2+ ε5

Y6 : λγ3. η2+ ε6

Untuk variabel laten endogen 2 (Reflektif)

Y7 : λγ3. η2+ ε7

Y8 : λγ4. η2 + ε8

Y9 : λγ5. η2+ ε9

(2). Inner Model

ŋ1= ξ1.γ2 + ξ1.γ4 + ζ1

ŋ2= ξ1.γ1 + ξ1.γ3 + ŋ1. β + ζ2

5. Estimasi : Weight, Koefisien Jalur dan loading

Metode pendugaan parameter (estimasi) didalam PLS adalah metode kuadrat

terkecil (least square models). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi,

dimana iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi kenvergen. Pendugaan

dalam parameter meliputi 3 hal, yaitu :

(1) Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten

(2) Path estimate yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading

antara variabel laten dengan indikatornya

Page 136: BAB II ku

136

(3) Means dan parameter lokasi (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indicator

dan variabel laten.

6. Evaluasi Goodness of fit

Goodness of fit model diukur menggunakan R2 variabel laten dependen dengan

interprestasi yang sama dengan regresi. Q2 prediktif relevance untuk model

structural mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga

estimasi parameternya.

7. Pengujian Hipotesis (Resampling Bootstraping)

Pengujian hipotesis (β, γ, λ) dilakukan dengan model resampling bootstrap yang

dikembangkan oleh Geisser & Stone. Statistic uji yang digunakan adalah statistic

t ataui uji t. penerapan metode resampling memungkinkan berlakunya data

terdistribusi bebas tidak memerlukan asumsi yang besar.

Kriteria penerimaan atau penolakan hipotesis pada penelitian ini adalah dengan

ketentuan sebagai berikut :

(1) Jika nilai t statistic < t- tabel dengan taraf signifikan sebesar 0,05 (one –

tailed, maka menolak H0 dan menerima Ha

(2) Jika nilai t statistic > t – tabel dengan taraf signifikan sebesar 0,05 (one –

tailed), maka menerima H0 dan menolak Ha.

4.9. Konstruksi Diagram Jalur

Hasil perancangan inner model dan outer model yang sudah dibuat kemudian

perlu dinyatakan dalam bentuk diagram jalur. Diagram jalur adalah sebuah

diagram yang menggambarkan hubungan kausal antar variabel. Pembangunan

diagram jalur dimaksudkan untuk memvisualisasikan keseluruhan hubungan

variabel yang dihipootesiskan.

Page 137: BAB II ku

137

4.10. Model Spesifikasi dengan PLS

Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set

hubungan : (1) inner model yang spesifikasinya hubungan antar variabel laten

(structural model), diukur dengan menggunakan Q-Square Predictive

Relavance dengan rumus Q² = 1-(1-Ri²) (1-Rp²), (2) outer model yang

menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikatornya atau

variabel manifestasinya (measurement model), diukur dengan melihat

convergent validity dan discriminant validity, convergent validity dengan nilai

loading 0,5 sampai 0,6 dianggap cukup, untuk jumlah indikator dari variabel

laten berkisar 3 sampai 7, sedangkan descriminant validity direkomendasikan

nilai AVE lebih besar dari 0,5 dan juga dengan melihat (3) weight relation

dimana nilai kasus dari variabel laten tetap diestimasi. Tanpa kehilangan

generalisasi, dapat diasumsikan bahwa variabel laten dan indicator atau

manifest variabel diskala zero means dan unit variance sehingga parameter

lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model.

4.11.. Penyajian Data

Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel tekstular. Penyajian data

dalam bentuk tabel adalah suatu penyajian sistematik data numeric yang tersusun

dari kolom dan baris. Penyajian ini digunakan untuk menyajikan hasil analisis

data primer dan data skunder. Selain itu, disajikan pula dalam bentuk dalam

bentuk diagram untuk mempermudah pembacaan hasil penelitian yang

didapatkan. Sedangkan interpretasi data disajikan dalam bentuk narasi sehingga

memudahkan pemahaman terhadap hasil penelitian.