BAB II Konflik Politik Domestik di Thailand - sinta.unud.ac.id II.pdf27 Program ini memberikan...
Transcript of BAB II Konflik Politik Domestik di Thailand - sinta.unud.ac.id II.pdf27 Program ini memberikan...
25
BAB II
Konflik Politik Domestik di Thailand
2.1 Kebijakan Pemerintahan Thaksin Sinawatra dan Ketidakpuasan Kelas
Menengah di Thailand
Permasalahan politik yang terjadi di Thailand merupakan bentuk
ketidakpuasan dari masyarakat kelas menengah terhadap jalannya pemerintahan
yang dipimpin oleh Thaksin Sinawatra yang menjabat sebagai perdana menteri di
negeri gajah putih dari tahun 2001-2006. Thaksin berhasil menduduki kursi
perdana menteri di Thailand setelah memenangi pemilu pada tahun 2001 melalui
Partai Thai Rak Thai (TRT). Sejak saat itulah nilai-nilai demokrasi di negeri gajah
putih lebih berkembang dengan adanya kebebasan untuk berekspresi, kebebasan
terhadap media, dan kebebasan bagi kelompok atau organisasi sipil dalam
menyampaikan aspirasi demi memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. Dalam
masa pemerintahannya, Thaksin sangat dicintai oleh masyarakat miskin pedesaan
akibat kebijakannya yang merakyat yang disebut dengan Thaksinomics
(perpaduan antara kata Thaksin dan economics). Kebijakan itu merupakan hasil
dari konsultasi yang dilakukan secara luas sebagai solusi untuk mengatasi krisis
ekonomi Asia pada 1997 (Ungpakorn, 2010, hal. 15).
Dalam prakteknya, kebijakan Thaksinomics disebut juga dengan kebijakan
dua arah. Kebijakan pertama mengarah kepada masyarakat miskin pedesaan
dengan tujuan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik dan
memajukan pemulihan ekonomi melalui program jaminan kesehatan universal,
penghapusan beban utang petani, bantuan untuk desa, bank rakyat, program
26
pengembangan inisiatif untuk kewirausahaan, serta dana pinjaman bagi
pengembangan usaha kecil dan menengah. Selanjutnya, kebijakan kedua
mengarah kepada para pengusaha melalui program pemulihan terhadap dunia
bisnis di Thailand dan melindungi pengusaha nasional dari kompetisi pihak asing
dengan memberikan ruang atau kesempatan yang cukup untuk meningkatkan daya
saingnya. Setelah kondisi ekonomi dianggap kondusif dan pengusaha domestik
telah memiliki modal yang kuat untuk bersaing, pemerintah kemudian mulai
menjalin kerjasama perdagangan bebas dan melakukan privatisasi terhadap
perusahaan negara (Kitirianglarp dan Hewison, 2009, hal. 458).
Selain itu, pemerintahan Thaksin juga menggalakkan mega proyek untuk
pembangunan dalam menunjang aktivitas ekonomi di daerah. Seperti pada 2003
pemerintah menganggarkan dana sebesar 28 miliar baht (650 juta dollar) untuk
membangun Kota Chiang Mai bagian utara sebagai pusat penerbangan
internasional. Ini bertujuan untuk menjadikan Chiang Mai sebagai daerah
alternatif selain Bangkok untuk perdagangan dan investasi asing (Looney, 2004,
hal. 75-76). Melalui berbagai kebijakannya tersebut, Thaksin berhasil melunasi
seluruh utang luar negeri Thailand yang mencapai 4,8 miliar dollar dan berhasil
menurunkan angka kredit macet di Thailand yang awalnya sebesar 68% menjadi
20%. Ekonomi negeri gajah putih mampu tumbuh dengan positif pasca krisis
ekonomi Asia 1997 dengan arus investasi asing yang relatif lancar (Maghribi,
2006).
Namun, ada sejumlah kebijakan pemerintahan Thaksin Sinawatra yang
dianggap kontroversial antara lain seperti program jaminan kesehatan universal.
27
Program ini memberikan jaminan kepada masyarakat khususnya yang kurang
mampu untuk berobat ke rumah sakit milik pemerintah dengan hanya membayar
sebesar 30 baht (sekitar Rp.6000 rupiah). Kebijakan ini menuai protes karena
jaminan tersebut berlaku untuk seluruh penyakit atau keluhan kesehatan yang
dialami pasien. Dalam prakteknya, kebijakan ini malahan membebani anggaran
rumah sakit sehingga berpengaruh terhadap pendapatan para tenaga kesehatan
yang bekerja di dalamnya. Hal itu mendorong para dokter terutama yang bertugas
di rumah sakit pemerintah yang ada di daerah-daerah untuk pindah kerja ke rumah
sakit swasta karena gaji yang ditawarkan lebih tinggi.
Meski program tersebut berhasil membuat para pasien miskin yang
mengidap penyakit serius menjadi bisa berobat, tetapi pada akhirnya mereka tidak
akan mendapatkan dokter yang bisa melayaninya di rumah sakit. Kelas menengah
mengkritik program jaminan kesehatan universal itu yang dianggap hanya
menimbulkan ketidakstabilan pada kondisi keuangan negara. Mereka menyatakan
seharusnya pemerintah hanya menjamin biaya 30 baht untuk beberapa jenis
penyakit saja dan bukan untuk semua keluhan kesehatan pasien. Apalagi belum
jelas mengenai kemampuan pemerintah untuk bisa menalangi segala pengeluaran
yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan itu (Pye dan Schaffar, 2008, hal. 50).
Kebijakan kontroversial lainnya adalah ketika pada tahun 2003 pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk memerangi narkoba. Kebijakan ini telah
menyebabkan setidaknya 3000 orang terbunuh yang membuat kelompok oposisi
semakin yakin bahwa Thaksin tidak lagi layak memerintah. Ketika pemerintah
28
pertama kali mengumumkan “perang terhadap narkoba”, pembunuhan terhadap
para pengedar dan pecandu obat-obatan terlarang langsung meningkat. Menurut
pemerintah, kebijakan ini merupakan peringatan keras bagi para gembong
narkoba untuk tidak menjadikan Thailand sebagai wilayah operasinya. Namun,
pihak oposisi menganggap pemerintah telah melakukan kesalahan yang besar
dengan membunuh orang tanpa terlebih dahulu menjalani proses pengadilan.
Kebijakan ini kemudian membuat kelompok pengacara, politisi, akademisi,
jurnalis, dan para aktivis menganggap Thaksin sebagai seorang pemimpin yang
otoriter (Connors, 2008, hal. 482).
Pada Februari 2004, pemerintah mengumumkan rencana untuk melakukan
privatisasi terhadap perusahaan listrik negara dengan mendaftarkannya sebagai
perusahaan yang dijual pada bursa perdagangan di Thailand. Hal ini memicu aksi
demonstrasi dari puluhan ribu pegawai perusahaan yang memblokir jalan raya,
melakukan mogok kerja, dan berencana untuk mengepung gedung pemerintahan.
Aksi ini merupakan unjuk rasa terbesar yang pernah dilakukan oleh pegawai dari
sebuah perusahaan negara dan bahkan cenderung telah menjadi kelompok oposisi
yang ikut menentang pemerintahan Thaksin di tengah kecaman dari berbagai
kelompok masyarakat yang sebelumnya telah terlanjur kecewa dengan kebijakan
“perang terhadap narkoba”. Demonstrasi tersebut mendapat dukungan dari
pegawai perusahaan negara lainnya yang juga merasa khawatir akan mengalami
nasib yang sama. Peristiwa ini mendorong semua pegawai perusahaan negara di
Thailand ikut bergabung ke dalam gerakan anti-Thaksin (Pye dan Schaffar, 2008,
hal. 53)
29
Thaksin juga dianggap mengingkari prinsip kebebasan berekspresi
rakyatnya melalui media di Thailand. Itu terjadi ketika sekretaris jenderal dari
Kampanye untuk Reformasi Media Populer yakni Supinya Klangnarong menulis
sebuah artikel pada 16 Juli 2003 di koran Thai Post. Ia mencurigai adanya kaitan
yang erat antara berbagai kebijakan pemerintah dengan meningkatnya pendapatan
Shin Corp yang merupakan perusahaan telekomunikasi milik keluarga Thaksin
Sinawatra. Pendapatan perusahaan itu melonjak hampir 40 miliar baht antara
tahun 2001 sampai 2003. Namun, Thaksin malah menggugat Supinya dan tiga
orang editor Thai Post untuk membayar uang ganti rugi sebesar 400 juta baht
karena dianggap telah melakukan fitnah. Publik di Thailand menganggap hal itu
merupakan upaya Thaksin untuk membungkam pihak-pihak yang telah berani
melawan pemerintahannya (Pye dan Schaffar, 2008, hal. 51)
Kebijakan yang represif dari Perdana Menteri Thaksin dalam menangani
kasus separatis di Thailand Selatan juga tidak luput dari kecaman. Thaksin
mengeluarkan dekrit pada Juli 2005 yang memberikan kewenangan terhadap
pemerintah dalam menentukan secara bebas berlakunya zona darurat bagi setiap
wilayah yang sedang mengalami konflik atau kerusuhan. Selain itu, pemerintah
juga memberikan hak imunitas atau kekebaan hukum bagi aparat keamanan yang
sedang bertugas pada zona itu. Pemerintah bebas melakukan apapun terhadap aksi
yang dinilai menggangu keamanan dan kedaulatan negara di wilayah tersebut
(Maghribi, 2006). Amnesti Internasional mencatat bahwa pada masa
pemerintahan Thaksin Sinawatra terjadi pelanggaran HAM paling besar yakni
mencapai 1.700 orang meninggal sampai pada Januari 2006. Kaum muslim telah
30
lama mengalami marjinalisasi dan perlakuan diskriminatif dari pemerintah pusat
sehingga melecutkan gerakan pemberontakan untuk melepaskan diri dari
Thailand. Provinsi Narathiwat, Pattani, Yala, dan Songkha merupakan wilayah
yang didominasi oleh warga muslim yang pembangunan ekonominya jauh
tertinggal dari propinsi lainnya di Thailand (Issundari, 2008, hal. 209-210).
Meski pemerintahannya banyak mendapat kritikan, namun Thaksin
Sinawatra berhasil memenangkan kembali pemilu pada Februari 2005 untuk masa
jabatannya yang kedua. Partai Thai Rak Thai berhasil memperoleh kemenangan
mutlak yakni 375 dari 500 kursi di parlemen. Thaksin menjadi satu-satunya
perdana menteri dalam sejarah Thailand yang mampu memerintah selama empat
tahun penuh dan mampu memperoleh suara mayoritas di parlemen dengan hanya
menyisakan Partai Demokrat sebagai pesaing terdekatnya. Namun, pasca pemilu
kemudian terbentuk suatu koalisi bersama untuk melawan pengaruh Thaksin yang
dimotori oleh kelas menengah perkotaan yang setia kepada kerajaan (Marshall,
2014, hal. 158-159).
Demonstrasi menentang Thaksin meningkat setelah pemerintah
memutuskan untuk menjual Shin Corp pada akhir Januari 2006 kepada Temasek
Holding sebesar $1,8 miliar dollar yang merupakan perusahaan asal Singapura.
Sebelumnya, pemerintah telah melonggarkan peraturan yang mengatur tentang
kepemilikan pihak asing terhadap perusahaan nasional. Meski Shin Corp
merupakan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Thaksin, namun publik di
Thailand telah menganggapnya sebagai aset negara yang sangat penting. Apalagi
31
penjualannya tidak dikenakan pajak sehingga memberikan keuntungan bagi
Temasek dan sebaliknya sangat merugikan negara 2(Connors, 2008, hal. 156).
2.2 Respon Kelas Menengah Sebagai Cikal Bakal Terbentuknya Gerakan
PAD Tahun 2005-2006
Pada Februari 2005, Thaksin Sinawatra berhasil memenangkan pemilihan
umum di Thailand. Partai Thai Rak Thai berhasil memperoleh kemenangan
mutlak yakni 375 dari 500 kursi di parlemen. Thaksin menjadi satu-satunya
perdana menteri dalam sejarah Thailand yang mampu memerintah selama empat
tahun penuh dan terpilih kembali untuk menjabat serta pertama kali mampu
memperoleh suara mayoritas di parlemen sehingga membuat politik Thailand
hanya terbagi ke dalam dua partai besar dengan hanya menyisakan Partai
Demokrat (Prachatipat Phak) sebagai pesaing terdekatnya. Namun, pasca pemilu
tersebut terbentuklah suatu koalisi bersama untuk melawan pengaruh Thaksin
yang terdiri dari pihak oposisi Partai Demokrat, elit militer, para birokrat,
pengadilan, dan kelas menengah perkotaan yang setia kepada kerajaan (Marshall,
2014, hal. 158-159).
Demonstrasi menentang pemerintahan Thaksin Sinawatra semakin
meningkat pada akhir 2005. Protes ini awalnya hanya dilakukan oleh sebuah
kelompok yang dipimpin oleh Sondhi Limthongkul untuk menentang korupsi
yang dilakukan pemerintah dan menyerukan supaya raja segera mengangkat
perdana menteri yang baru. Namun, berbagai organisasi atau kelompok
2 Dari sejak awal memerintah, kelas menengah telah mendesak Thaksin agar secara tegasmemisahkan posisinya sebagai perdanan menteri dan seorang pengusaha untuk mencegahterjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Namun, pada perkembangannyaThaksin dianggap telah menyalahgunakan kewenangannya untuk urusan keluarga dengandijualnya Shin Corps tersebut. Sumber: Maghribi, 2008
32
masyarakat kemudian ikut bergabung dalam aksi demonstrasi ini dan nantinya
akan membentuk sebuah gerakan bersama yang dinamakan People’s Alliance for
Democracy (PAD). Kelompok masyarakat kelas menengah menganggap bahwa
apabila demonstrasi hanya dilakukan oleh satu gerakan saja, maka tentu tidak
akan efektif dalam melengserkan Thaksin sehingga dibentuknya PAD merupakan
strategi yang tepat (Ungpakorn, 2007, hal. 19-20).
Sondhi menggunakan isu hak prerogatif raja yang dijamin oleh konstitusi
sebagai alat untuk mendorong adanya reformasi. Ini merupakan upaya untuk
memobilisasi pengaruh monarki yang begitu kuat di Thailand sehingga digunakan
oleh Sondhi untuk menanamkan nilai-nilainya kepada para kelompok anti-
Thaksin. Pada tahun 2003 Thaksin dianggap telah merusak hak prerogatif
kerajaan ketika berani menggunakan Pasal 7 Konstitusi untuk mengatasi kemelut
di parlemen. Saat itu pemerintah dihadapkan pada masalah pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi di parlemen dan publik
mengharapkan eksekutif segera menyelesaikannya untuk kemudian ditanda
tangani oleh raja. Ketika ditemukan banyak kesalahan pada saat proses
penyusunan antara pemerintah dan anggota parlemen, pemerintah malah
mengembalikan dan menyerahkan begitu saja rancangan undang-undang tersebut
kepada parlemen meski tidak ada regulasi yang mengatur seperti itu.
Sondhi menggunakan media yang dimilikinya untuk memberitakan segala
keburukan Thaksin dan korupsi pada pemerintahannya. Ia gencar mengkritik
pemerintahan Thaksin melalui acara yang dimilikinya yaitu Muang Thai Rai
Sapda atau dalam bahasa inggris disebut Thailand Weekly. Acara itu selalu
33
membahas tentang upaya Thaksin untuk merampas hak prerogatif kerajaan.3 Pada
8 September 2005, Thaksin memberikan pernyataan bahwa ia tidak pernah berniat
untuk merampas hak prerogatif kerajaan. Jika mengalami masalah dalam
pemerintahannya, ia mengaku akan segera menemui raja untuk berkonsultasi.
Namun, Sondhi tetap gencar memberitakan hal-hal negatif tentang Thaksin
melalui Thailand Weekly sehingga meningkatkan citra buruk perdana menteri di
mata masyarakat Thailand. Thaksin kemudian melarang penayangan acara
tersebut karena dianggap menggangu pemerintahan (Connors, 2008, hal. 151-
154).
Pasca penayangan Thailand Weekly diberhentikan, Sondhi kemudian
merancang sebuah acara diskusi atau talk show yang bertempat di Taman Lumpini
di Pusat Kota Bangkok. Dalam acara tersebut selalu membahas tentang korupsi
dan segala keburukan Thaksin serta menjadi salah satu pusat bagi gerakan anti-
Thaksin dengan berhasil menarik simpati sebanyak 30.000 orang. Sebelumnya,
Sondhi merupakan sosok yang paling mendukung Thaksin Sinawatra di Thailand,
namun kemudian berubah menjadi lawan politiknya setelah ia tidak lagi diberikan
hak istimewa dalam menjalankan jaringan bisnis di Thailand (Pye dan Schaffar,
2008, hal. 40).
Pada 11 November 2005, Sondhi memimpin aksi unjuk rasa perdananya
dengan berjanji akan terus bertarung demi raja dan melawan segala bentuk upaya
pemerintah yang ingin merusak hubungan antara raja dan rakyat di Thailand. Ia
3 Thailand weekly diantaranya membahas tentang isu kesewenang-wenangan Thaksin dalamproses pengangkatan seorang kepala pemuka agama Budha tertinggi di Thailand dan isu lainseperti keterlibatan Thaksin dalam sebuah upacara di Kuil Budha terkemuka di Thailand padaApril 2005 dimana ia dikritik sebab berani menduduki kursi yang seharusnya hanya bolehdiduduki seorang Raja.
34
menyerukan kepada pihak kerajaan untuk mengangkat seorang figur yang
dianggap mampu melakukan reformasi politik demi mengakhiri monopoli
kekuasaan yang dilakukan Thaksin. Sondhi mengungkapkan adanya rasa frustasi
dari para tokoh negara dan masyarakat yang khawatir dengan berbagai kebijakan
Thaksin yang dianggap hanya akan menambah utang negara. Ia juga mengkritik
Thaksin karena dianggap telah menciptakan kehidupan masyarakat yang terlalu
gemar berbelanja dan menghabis-habiskan uang. Setelah aksi protes perdananya
tersebut, Sondhi terus melakukan aksi demonstrasi mingguan yang melibatkan
50.000 orang lebih. Jumlah orang yang terlibat dalam aksi unjuk rasa terus
bertambah sampai sekitar 80.000 orang pada 10 Desember 2005 (Connors, 2008,
hal. 154-155).
Sejalan dengan aksi yang sedang dilakukan Sondhi, muncul aksi protes
lainnya untuk menentang kebijakan perdagangan bebas dari Perdana Menteri
Thaksin. Pada Desember 2005, sejumlah organisasi sosial dan kelompok
masyarakat di kawasan Asia Tenggara termasuk di Thailand secara bersamaan
melakukan demonstrasi terhadap penyelenggaraan konferensi World Trade
Organization (WTO) di Hongkong. Para aktivis dari jaringan kelompok petani,
nelayan, dan berbagai LSM menghendaki supaya dilakukan peninjauan ulang
terhadap free trade agreement (FTA) atau perjanjian perdagangan bebas antara
Thailand dengan Amerika Serikat. Sebuah kelompok yang menyebut dirinya
dengan FTA Watch bahkan mengerahkan 10.000 massa untuk melakukan
demonstrasi di Chiang Mai. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh Sondhi untuk
35
terus melakukan protes terhadap pemerintahan Thaksin (Pye dan Schaffar, 2008,
hal. 40-41).
2.2.1 Penjualan Shin Corp
Dalam situasi politik yang sedang memanas, Thaksin malah menjual Shin
Corp ke perusahaan asal Singapura yakni Temasek seharga 1,8 miliar dollar pada
akhir Januari 2006. Shin Corp merupakan perusahaan telekomunikasi yang vital
bagi Thailand dan penjualannya juga tidak dikenakan pajak sehingga kembali
memicu protes dari berbagai kelompok anti-Thaksin termasuk Sondhi. Dengan
mengerahkan massa untuk melakukan protes selama berminggu-minggu, Sondhi
berharap dapat membuat opini publik bahwa Thaksin telah kehilangan
legitimasinya. Ia ingin agar pemerintah menggunakan cara-cara kekerasan dalam
membendung aksi protes sehingga diharapkan pihak kerajaan ataupun militer
melakukan intervensi (Marshal, 2014, hal. 160-161).
Sondhi sebagai sosok yang paling gencar menentang Thaksin Sinawatra
memanfaatkan momentum tersebut untuk kembali menarik dukungan masyarakat
yang terlanjur kecewa dengan kebijakan penjualan Shin Corp. Akhirnya pada 4
Februari 2006, Sondhi berhasil menarik dukungan 50.000 massa dari berbagai
kelompok untuk ikut melakukan demonstrasi besar-besaran yang bertempat di
Grand Royal Plaza di Bangkok guna menentang Perdana Menteri Thaksin
Sinawatra. Ia dianggap telah melakukan korupsi dan tidak menghormati pihak
Kerajaan Thailand selama memerintah. Sondhi juga mengkritik kebijakan
perdagangan bebas antara Thailand dengan dua negara yakni Cina dan Australia
karena kesepakatan itu hanya akan menguntungkan Thaksin secara pribadi dan
36
merugikan para petani. Sondhi juga aktif membujuk supaya FTA Watch dan LSM
lainnya ikut bergabung dengan kelompoknya. 4
Pasca demonstrasi yang dipimpin oleh Sondhi tersebut, maka diumumkan
pembentukan PAD. Namun, ada perdebatan yang terjadi diantara koalisi di dalam
PAD terhadap keinginan Sondhi yang mengharapkan adanya upaya intervensi dari
kerajaan seperti yang tertuang pada Pasal 7 Konstitusi 1997. Hal itu yang menjadi
alasan dari sejumlah organisasi kemasyarakatan seperti organisasi buruh, para
aktivis dan beberapa kelompok mahasiswa yang menolak untuk bergabung
dengan PAD. Mereka memang menginginkan agar Thaksin segera turun dari
jabatannya, tetapi menolak adanya upaya yang meminta pihak kerajaan untuk ikut
campur (Pye dan Schaffar, 2008, hal.41).
Pasal 7 Konstitusi 1997 berbunyi:
“Ketika tidak ada ketetapan di bawah Konstitusi ini yang bisa diterapkan pada suatu
kasus tertentu, itu akan diputuskan sesuai dengan cara-cara konstitusional pada rezim
pemerintahan yang demokratis dengan Raja sebagai Kepala Negara ” (Kerajaan Thailand,
1997 dikutip oleh Connors, 2008, hal. 148)
Pasal inilah yang menjadi dasar bagi kelompok anti-Thaksin untuk
mendukung pihak kerajaan untuk melakukan intervensi demi terciptanya
reformasi politik untuk memulai sebuah era yang baru. Raja diharapkan segera
mengangkat sebuah pemerintahan sementara. Penggunaan Pasal 7 ini
berhubungan dengan istilah rachaprachasamasai yang berarti hubungan yang
4 Padahal pada awal 2006 Sondhi sempat frustasi karena massa yang ikut demonstrasi semakinmenurun. Itu disebabkan masyarakat takut akan terjadi kerusuhan saat berdemo dan mereka jugabosan dengan dakwaan yang dilayangkan Sondhi kepada pemerintah yang selalu saja sama. Tetapiadanya skandal Shin Corp lalu membuat dukungan masyarakat kembali meningkat. Sumber:Connors, 2008, hal. 155
37
baik dan saling menguntungkan antara raja dan rakyat. Isitilah itulah yang
digunakan sebagai slogan untuk menarik dukungan publik yang lebih besar dalam
aksi unjuk rasa yang dipimpin oleh Sondhi Limthongkul pada November 2005.
Sondhi mengkritik Thaksin Sinawatra karena dianggap telah berupaya untuk
menyerang ikatan yang telah terjalin sejak lama antara raja dan rakyat dengan
bukti bahwa Thaksin dan sekutunya selalu memperoleh dukungan mayoritas
dalam serangkaian penyelenggaraan pemilu di Thailand. Penggunaan Pasal 7 yang
mengacu pada pengembalian kekuasaan kepada raja mencerminkan dari
penerapan rachaprachasamasai (Connors, 2008, hal. 148-149).
2.2.2 Setelah Terbentuknya People’s Alliance for Democracy (PAD)
Pasca penjualan Shin Corp yang memicu demonstrasi besar-besar pada
awal Februari 2006, berbagai kelompok kelas menengah kemudian membentuk
gerakan PAD atau juga disebut kelompok kaos kuning. PAD merupakan
gabungan dari berbagai kelompok masyarakat yang berupaya secara kolektif
untuk melawan pengaruh Thaksin Sinawatra dan sekutunya di Thailand. PAD
merupakan gerakan masyarakat kelas menengah dan perkotaan yang mempunyai
massa 100.000 orang lebih yang berbasis di Bangkok. PAD tergolong ke dalam
jenis gerakan sosial yang bersifat revolusioner. Kelompok ini ingin melengserkan
rezim Thaksin dan sekutunya di Thailand, menuntut pembubaran parlemen dan
segera diadakannya pemilihan umum.
Munculnya gerakan PAD merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap
pemerintahan Thaksin Sinawatra. Kelas menengah menganggap Thaksin telah
menyalahgunakan kekuasaannya seperti penjualan Shin Corp, privatisasi
38
perusahaan negara, jaminan kesehatan universal, serta diskriminasi terhadap kaum
muslim di Thailand Selatan. Adanya sosok pemimpin seperti Sondhi Limthongkul
berperan vital dalam menyediakan pendanaan dan kampanye anti-Thaksin melalui
perusahaan media yang dimilikinya. Selain itu, gerakan PAD bisa terbentuk
karena didukung oleh sistem monarki konstitusional di Thailand yang cukup
demokratis dengan memberikan kebebasan menyuarakan pendapat atau aspirasi
bagi kelompok oposisi.
Pasca terbentuk, PAD melakukan serangkaian aksi protes seperti pada 11
Februari 2006 yang memperjuangkan aspirasi yang luas dari berbagai elemen
yang ada dalam masyarakat. Seperti para senator, politisi, pemimpin perusahaan
negara, pengacara, perwakilan media dan federasi mahasiswa yang turut serta
dalam aksi tersebut. Sondhi menginginkan supaya pihak kerajaan segera
melakukan intervensi untuk melengserkan Thaksin karena dianggap telah
menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, lari dari kewajiban
membayar pajak, dan penjualan aset nasional yang penting kepada pihak asing
yakni Shin Corp. PAD juga memprotes kebijakan perdagangan bebas yang
dianggap berakibat negatif, sensor pemerintah terhadap media, dan kekerasan
yang terjadi terhadap kaum muslim di Thailand Selatan. Pada 26 Februari 2006,
PAD melakukan demonstrasi yang melibatkan 5000 orang pekerja dari sejumlah
perusahaan negara yang bertempat di depan Monumen Demokrasi. Mereka
mengancam akan melakukan penyerangan untuk memaksa Thaksin turun dari
jabatannya (Pye dan Schaffar, 2008, hal.42-43).
39
Pada 5 Maret 2006, PAD kembali melakukan demonstrasi yang bertempat
di Lapangan Sanam Luang di Bangkok yang melibatkan 15.000 massa dengan
terus menuntut pengunduran diri Thaksin Sinawatra. Sebanyak 1000 orang
diantaranya merupakan kelompok aliran Budha yang ekstrim dan terlarang di
Thailand serta ribuan lainnya merupakan gabungan dari berbagai organisasi yang
menentang sejumlah kebijakan pemerintahan Thaksin dari masalah perdagangan
bebas sampai pada kebijakan pendidikan. Setelah selesai berunjuk rasa, mereka
bergerak menuju Monumen Demokrasi yang berjarak satu kilometer dari
Lapangan Sanam Luang di Bangkok (ABC News, 2006).
Dari Monumen Demokrasi mereka kemudian melanjutkan aksinya menuju
gedung pemerintahan dan berhasil memasukinya. Juru bicara kepolisian yakni
Achirawait melakukan negosiasi kepada PAD agar tetap menjaga ketertiban dan
tidak merusak fasilitas atau bangunan yang berada di dalam area komplek
pemerintahan. Ia juga menghimbau agar demonstran tidak mengganggu jalur
lalulintas ibu kota untuk menghindari terjadinya kekacauan. Pemimpin PAD yakni
Sondhi Limthongkul menyerukan bahwa PAD akan tetap melanjutkan aksinya
sampai besok pagi dan akan bermalam di sana. Meski membuat suasana di
Bangkok menjadi agak tegang, unjuk rasa yang dilakukan PAD tetap berjalan
dengan damai (The Nation, 2006).
Pada 14 Maret 2006, PAD melakukan aksi protes dengan mengerahkan
100.000 massa untuk melakukan demonstrasi dari Lapangan Sanam Luang
kembali menuju gedung pemerintahan dan mendirikan tenda untuk bermalam di
sana. Keesokan harinya mereka kembali melakukan demonstrasi tetapi Thaksin
40
memilih menolak bertemu dengan para pemimpin PAD demi menghindari resiko
terjadinya konflik secara langsung. Karena merasa kecewa, pada 29 Maret PAD
melakukan demonstrasi dengan menduduki salah satu pusat perbelanjaan dan
pariwisata yang penting di Bangkok yakni Siam Square selama dua hari. Selain
itu, PAD juga melancarkan aksinya ke pusat-pusat bisnis di Bangkok, Kedutaan
Besar Singapura, dan Kantor Komisi Pemilihan Umum Thailand. Unjuk rasa yang
mereka lakukan berjalan secara damai dan tidak terdapat aksi kekerasan meski
menimbulkan sedikit kegaduhan (Tejapira, 2006).
Untuk mengatasi aksi protes yang terus berlangsung, Thaksin kembali
menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan April 2006 dengan tujuan untuk
mengembalikan legitimasinya dan menurunkan kisruh politik yang sedang
meningkat. Namun, massa PAD dan Partai Demokrat malah memboikot pemilu
tersebut dengan tidak bersedia mengikutinya. Selanjutnya, hasil dari pemilu April
2006 menunjukkan bahwa mayoritas rakyat di Thailand masih menginginkan
Thaksin untuk menjadi perdana menteri. Partai Thai Rak Thai mendapatkan 53
persen dari keseluruhan suara atau sekitar 16 juta suara, sedangkan ada sekitar 10
juta suara yang memilih abstain dan ada 4 juta suara yang tidak sah (Marshall,
2014, hal. 161-164).
Namun pada Mei 2006, Mahkamah Konstitusi kemudian mengeluarkan
keputusan untuk membatalkan hasil pemilu April. Pemerintahan Thaksin
dianggap telah melakukan korupsi, mementingkan kepentingan pribadi dan
mempengaruhi masyarakat untuk menentang kerajaan di Thailand dengan
menyelenggarakan pemilu pada April 2006. Pemerintahan yang terbentuk pasca
41
pemilu itu juga dianggap kurang memiliki legitimasi penuh karena pemilihan
hanya diikuti oleh satu partai besar saja. Apalagi sejumlah partai kecil yang
mengikuti pemilu merupakan partai yang berkoalisi dengan TRT. Para calon
anggota legislatif juga kesulitan untuk meraih minimal 20 persen suara untuk bisa
menduduki kursi parlemen (Dressel, 2010, hal. 678-679).
Dengan adanya situasi politik yang tidak menentu dan cenderung semakin
memanas, akhirnya pada September 2006 pihak militer mengambil keputusan
untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Thaksin
Sinawatra. Pasca kudeta tersebut, pemerintahan di Thailand dipegang sementara
oleh Panglima Angkatan Darat Jenderal Shonti sampai dengan terpilihnya perdana
menteri yang baru. Kemudian, pada Oktober 2006 pihak militer mengangkat
mantan panglima angkatan darat yaitu Jenderal (Purn) Surayud Chulanont sebagai
perdana menteri sementara. Dengan lengsernya Thaksin dari kursi perdana
menteri membuat aksi protes dari PAD semakin menurun dan mereka kemudian
menghentikan aktifitasnya karena tujuan utamanya telah tercapai (Kompas, 2010).
2.3 Kembali Bangkitnya Gerakan People’s Alliance for Democracy (PAD)
Pada Tahun 2008
2.3.1 Pemerintahan Perdana Menteri Samak Sundaravej
Pada Desember 2007 pihak militer menyelenggarakan pemilu yang
berhasil dimenangkan oleh Samak Sundaravej dari People’s Power Party (PPP)
atau dalam bahasa Thailand disebut Palang Prachachon Phak. Hal itu membuat
kelompok PAD kembali bangkit pada 2008 karena menganggap bahwa Samak
hanyalah boneka dari Thaksin sebab partainya merupakan reinkarnasi dari Thai
42
Rak Thai yang merupakan partainya Thaksin (Asian Correspondent, 2014).
Sebelumnya pada Mei 2007, Mahkamah Konstitusi membubarkan TRT karena
dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pemilu dan
menjatuhkan larangan kepada Thaksin Sinawatra untuk terlibat dalam urusan
politik selama 5 tahun. Namun, para pendukungnya kemudian membentuk PPP
sebagai sarana untuk dapat mengikuti pemilu pada Desember 2007. Hasilnya, PPP
berhasil meraih 315 kursi dari total 480 kursi yang ada di parlemen dengan
mengalahkan pesaing terdekatnya yakni Partai Demokrat (Kunkunrat, 2012, hal.
93-94).
Dengan adanya Samak Sundaravej menjabat sebagai perdana menteri,
kemudian membuat Thaksin kembali pulang ke negaranya dari sejak 17 bulan
masa pengasingan di luar negeri pasca kudeta militer. Pada 28 Februari 2008,
Thaksin tiba di Bandara Internasional Suvarnabhumi dengan disambut oleh ribuan
pendukungnya. Ini merupakan pukulan telak bagi kelompok PAD yang
sebelumnya sudah berjuang keras melengserkan rezim Thaksin. Pada 25 Mei
2008, massa PAD melakukan demonstrasi dan berusaha untuk memasuki gedung
parlemen dan perdana menteri.
Hal itu merupakan awal dari 193 hari protes yang dilakukan kelompok
kaos kuning yang bertujuan untuk melumpuhkan jalannya pemerintahan Samak
Sundaravej. Sondhi dan kelompoknya juga menyerukan bahwa 70 persen dari
keseluruhan jumlah anggota parlemen harus dipilih melalui mekanisme
pengangkatan dan hanya 30 persen sisanya yang melalui pemilu. PAD
memprovokasi polisi dengan melakukan aksi perusakan terhadap fasilitas publik
43
guna memancing reaksi pemerintah untuk menerapkan tindakan yang tegas.
Apabila itu terjadi tentu pihak militer akan kembali bisa turun tangan untuk
menyelesaikan krisis melalui kudeta seperti yang terjadi pada September 2006
lalu (Marshall, 2014, hal. 172- 176).
Akhirnya pada 26 Agustus 2008, ribuan massa PAD kemudian berhasil
masuk dan menduduki gedung pemerintahan untuk menjatuhkan Perdana Menteri
Samak dan menghalangi upayanya untuk mengamandemen konstitusi. Selama
kampanyenya pada pemilu terdahulu, Samak mendukung adanya amandemen
terhadap konstitusi dan bertekad akan merubahnya di tahun pertamanya ia
memerintah. Samak berencana merubah aturan yang mengatur tentang kudeta
militer dan tingkatannya serta menetapkan aturan yang menyangkut pembubaran
sebuah partai politik dengan berkaca pada peristiwa yang menimpa Thaksin dan
partainya pada waktu yang lalu.
PAD sangat menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan
pemerintahan yang mempunyai popularitas yang kuat dalam masyarakat sehingga
diperlukan sebuah strategi yang khusus. PAD kemudian mencanangkan program
yang dinamakan New Politics yang merupakan sebuah gagasan politik baru
dengan mempertanyakan kualitas pemerintahan yang dihasilkan dari sistem
demokrasi yang selama ini berlangsung di Thailand. Dalam hal ini terkait dengan
prosedur pemilihan anggota parlemen di Thailand yang harus dilakukan melalui
pelaksanaan pemilu. Sebagai sebuah gerakan yang revolusioner, PAD ingin
merubah mekanisme pemilihan anggota parlemen yang hanya 30 persen saja
dipilih melalui pemilu. Sementara sebanyak 70 persen harus diangkat oleh pihak
44
kerajaan di Thailand. Melalui gagasan New Politics itulah membuat PAD
berupaya menduduki gedung pemerintahan demi melengserkan Samak Sundaravej
5(Connors, 2008, hal. 487-491).
Tidak puas dengan menduduki gedung pemerintahan, keesokan harinya
PAD melanjutkan aksinya dengan menduduki bandara dan jalur kereta api di
sejumlah daerah di Thailand. Sekitar 35 rute kereta api yang menghubungkan
Bangkok dengan sejumlah daerah lainnya seperti Phuket terpaksa dihentikan.
Pada 29 Agustus 2008, Massa PAD melakukan pendudukan terhadap Bandara
Internasional Phuket. Provinsi Phuket merupakan salah satu tempat wisata populer
yang ada di Thailand. Mereka masuk ke lokasi bandara dengan membawa kerikil
sebagai senjata dan menyebabkan setidaknya 16 rute penerbangan dihentikan atau
dialihkan (New York Times, 2008).
Pada pukul 4.45 sore, massa PAD yang berjumlah sekitar 10.000 orang
bergerak menuju pintu masuk utama di Bandara Internasional Phuket. Mereka
merusak jendela-jendela pada sejumlah terminal yang ada di kawasan bandara.
Sekitar 1000 orang demonstran bergerak menuju Gedung Direktur Bandara
Internasional Phuket yang terletak di sebelah utara dari tempat parkir utama.
Sebelumnya, massa PAD telah memblokir jalan-jalan masuk yang menuju ke
bandara dengan menggunakan kendaraan sehingga membuat lalulintas mengalami
kemacetan sepanjang lima kilometer. Massa juga telah mempersiapkan diri
5 Ide politik itu pernah diterapkan pada rezim pemerintahan militer di Thailand tahun 1980’an.Pada saat itu, adanya sistem pemilihan anggota legislatif yang diangkat telah menyebabkanParlemen menjadi diktator karena hanya mencerminkan dari kepentingan elit militer saja denganmengabaikan aspirasi rakyat secara umum.
45
dengan membawa stok makanan dan minuman demi menunjang aksi mereka
(Tripadvisor, 2008).
Berbagai upaya yang dilakukan PAD tersebut tidak mampu diatasi oleh
pemerintah sehingga memaksa Perdana Menteri Samak untuk mengumumkan
keadaan darurat. Itu berarti tanggung jawab untuk menghentikan aksi para
demonstran yang selama ini diemban polisi akan digantikan oleh militer. Namun,
setelah dua minggu lebih pasca diumumkan keadaan darurat pun personil militer
tetap gagal untuk mengusir demonstran sehingga hal tersebut semakin
meningkatkan kekacauan politik yang terus berlangsung di negeri gajah putih
(Connors, 2008, hal. 488).
Dalam tekanan yang tinggi, Perdana Menteri Samak akhirnya dipaksa
mundur dari jabatannya. Kondisi itu juga didorong oleh keputusan Mahkamah
Konstitusi Thailand yang menyatakan bahwa Samak Sundaravej terbukti telah
melakukan sebuah perbuatan tercela dan harus mengundurkan diri dari
jabatannya. Samak dituduh telah melanggar Pasal 267 dari Konstitusi Thailand
yang melarang seorang perdana menteri untuk menerima penghasilan, bertugas,
memegang posisi, atau menjadi seorang karyawan pada suatu perusahaan atau
kelompok bisnis tertentu yang bertujuan mencari keuntungan. Samak dituduh
melakukan kerjasama dan telah menerima bayaran pada sebuah perusahaan
produksi yakni Face Media melalui acara masak-memasak. Sebenarnya Samak
telah terlibat kerjasama dengan Face Media dari sebelum menjadi perdana
menteri. Tetapi ia dituduh masih menerima bayaran meski telah dilantik sebagai
perdana menteri pada Februari 2008 lalu (Kunkunrat, 2012, hal. 94-95).
46
2.3.2 Pemerintahan Perdana Menteri Somchai Wongsawat
Posisi Samak kemudian digantikan oleh Somchai Wongsawat setelah
Dewan Nasional Thailand menyelenggarakan pemilihan kursi perdana menteri.
Somchai juga merupakan politisi senior dari People’s Power Party yang
merupakan partainya Thaksin Sinawatra. Ketika Perdana Menteri Somchai
dijadwalkan akan menyampaikan pidato kenegaraannya di gedung parlemen pada
awal Oktober 2008, kelompok PAD kembali melakukan aksi protes dengan
meminta pihak militer untuk melakukan kudeta demi melengserkan Somchai.
Mereka menganggap Perdana Menteri Somchai juga merupakan boneka dari
Thaksin. Apalagi ia merupakan saudara ipar dari Thaksin sehingga kemungkinan
akan meneruskan pola kekuasaan keluarga besarnya.
Pada 6 Oktober, massa PAD melakukan aksi protes di gedung parlemen
dengan membentuk barikade, memasang kawat berduri, dan ranjau. Mereka
dipersenjatai dengan tongkat golf, gada, ketapel, dan balok besi sambil berkeliling
untuk memantau situasi. Pada 7 Oktober dini hari terjadilah kerusuhan antara
PAD dengan pihak kepolisian yang menggunakan gas air mata untuk
membubarkan aksi protes. Namun, massa PAD tidak mau mengalah dan bahkan
balik melawan dengan menggunakan bom bola pingpong, pelontar api serta
menggunakan kendaraan untuk menghancurkan barikade polisi. Puluhan orang
mengalami luka-luka termasuk beberapa diantaranya ada yang kehilangan anggota
badannya. PAD berhasil membuat persepsi publik terhadap Somchai menjadi
buruk dengan seolah-olah mencitrakan pemerintah sebagai kumpulan para
47
diktator yang secara brutal menghancurkan demonstrasi yang berjalan secara
damai (Marshall, 2014, hal. 176-178).
Tidak puas dengan aksi protes di Gedung Pemerintahan, pada 25
November 2008, ribuan massa PAD kemudian melakukan pendudukan terhadap
Bandara Internasional Suvarnabhumi di Bangkok yang menyebabkan
penerbangan dari dan menuju Thailand menjadi terhenti. Para demonstran kaos
kuning berhasil menerobos barikade polisi dan memasuki semua terminal yang
ada di kawasan bandara. Otoritas bandara terpaksa menghentikan lalulintas
penerbangan dengan adanya serbuan dari massa PAD yang dipersenjatai balok
besi dan bom rakitan serta memenuhi hampir seluruh kawasan bandara. Otoritas
bandara akhirnya terpaksa mengalihkan penerbangan ke wilayah lain seperti
Phuket, Chiang Mai, dan bahkan ke negara tetangga seperti Singapura.
Demonstran PAD memblokir jalan yang menuju bandara dengan
membawa bendera Thailand dan foto dari Raja Bhumibol. Para penumpang
nampak bergegas menuju terminal keberangkatan dengan harapan pesawatnya
bisa segera berangkat di tengah serbuan massa kaos kuning. Namun, ada juga
penumpang yang memutuskan untuk berbalik meninggalkan bandara (The
Guardian, 2008). Massa PAD berhasil menguasai keseluruhan kawasan di bandara
sehingga memaksa 3000 lebih penumpang pesawat menjadi terlantar. PAD
menyerukan bahwa aksinya tersebut tidak akan berhenti sebelum Perdana Menteri
Somchai turun dari jabatannya. Aksi brutal tersebut merusak perekonomian
negara dan citra Thailand di mata internasional (BBC News, 2008).
48
Tidak puas hanya menguasi Bandara Internasional Suvarnabhumi, pada 27
November 2008 massa PAD kemudian melakukan pendudukan terhadap Bandara
Don Muang yang juga berada di Bangkok. Bandara ini difungsikan untuk
penerbangan domestik dan menjadi kantor pemerintahan sementara bagi Perdana
Menteri Somchai dan kabinetnya pasca invasi PAD terhadap kantor pusat
pemerintahan tiga bulan lalu. Pemblokiran bandara ini merupakan upaya dari
PAD untuk menghentikan jalur penerbangan dari dan menuju ibu kota para
menteri kabinet yang ada dalam pemerintahan Somchai. Ditutupnya kedua
bandara di Bangkok menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sektor
pariwisata sebab peristiwa ini terjadi saat musim puncak kedatangan wisatawan.
PAD menolak menghentikan aksi pendudukan terhadap kedua bandara itu
sebelum Somchai turun dari jabatannya tanpa syarat. Hal itu membuat lalulintas
udara di Bangkok benar-benar mengalami lumpuh secara total (The Guardian,
2008).
Setelah lebih dari seminggu menduduki dua bandara di Bangkok, massa
PAD akhirnya sepakat untuk mengakhiri aksinya pada 3 Desember 2008.
Kesepakatan itu tercapai setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk
membubarkan People’s Power Party (PPP) karena dianggap melakukan
kecurangan pada pemilu 2007.6 Keputusan tersebut juga memaksa Perdana
Menteri Somchai Wongsawat harus lengser dari jabatannya (BBC News, 2008).
Hal itu kemudian mendorong sebagian besar partai koalisi dari PPP dan bahkan
37 anggota parlemen dari PPP mengalihkan suaranya untuk mendukung pihak
6 Komisi Pemilihan Umum Thailand menemukan bahwa seorang politisi dari PPP yakni YongyutTiyapairat melakukan tindak penyuapan terhadap sejumlah pejabat di Provinsi Chiang Rai.Sumber: Kunkunrat, 2012, hal. 94
49
oposisi yang dipimpin oleh Demokrat. Akhirnya, Abhisit Vejjajiva yang
merupakan ketua dari Partai Demokrat berhasil menduduki jabatan sebagai
perdana menteri yang baru pada Desember 2008 (Kunkunrat, 2012, hal. 96).