BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan...

48
22 BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep 2.1.1. Komitmen Organisasi Karyawan mempunyai kewajiban untuk loyal terhadap organisasi, karena dengan kesetiaan yang dimiliki oleh karyawan dan sangat berdampak kepada kinerja organisasi. Mowday (1982) mendefinisikan komitmen organisasi suatu keinginan yang kuat agar tetap menjadi anggota organisasi, suatu keyakinan, penerimaan, nilai dan tujuan pada organisasi tertentu. Komitmen organisasional dapat dipandang sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari keyakinan dalam mengidentifikasi keterlibatan anggota organisasi sebagian organisasi. Mowday (1982) mengklasifikasikan komitmen organisasional menjadi dua yaitu komitmen afektif dan normatif. Komitmen afektif dan normatif lebih di kenal sebagai pendekatan sikap terhadap dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Komponen sikap berkaitan dengan (1) identifikasi dengan organisasi dimana terdapat penerimaan tujuan organisasi sebagai dasar komitmen organisasi. Identifikasi dapat dilihat sikap menyetujui kebijakan organisasi, kesamaan antara nilai-nilai pribadi dan organisasi rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi, (2) keterlibatan anggota sesuai peran dan tanggungjawab pada organisasi tersebut. Seorang pegawai yang mempunyai komitmen tinggi akan menerima tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan kepadanya, (3) loyalitas terhadap organisasi sebagai evaluasi terhadap komitmen serta adanya ikatan emosional dan keterkaitan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.

Transcript of BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan...

Page 1: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

22

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1.Konsep dan Definisi Konsep

2.1.1. Komitmen Organisasi

Karyawan mempunyai kewajiban untuk loyal terhadap organisasi,

karena dengan kesetiaan yang dimiliki oleh karyawan dan sangat berdampak

kepada kinerja organisasi. Mowday (1982) mendefinisikan komitmen

organisasi suatu keinginan yang kuat agar tetap menjadi anggota organisasi,

suatu keyakinan, penerimaan, nilai dan tujuan pada organisasi tertentu.

Komitmen organisasional dapat dipandang sebagai kekuatan yang bersifat

relatif dari keyakinan dalam mengidentifikasi keterlibatan anggota

organisasi sebagian organisasi. Mowday (1982) mengklasifikasikan

komitmen organisasional menjadi dua yaitu komitmen afektif dan normatif.

Komitmen afektif dan normatif lebih di kenal sebagai pendekatan sikap

terhadap dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku.

Komponen sikap berkaitan dengan (1) identifikasi dengan organisasi dimana

terdapat penerimaan tujuan organisasi sebagai dasar komitmen organisasi.

Identifikasi dapat dilihat sikap menyetujui kebijakan organisasi, kesamaan

antara nilai-nilai pribadi dan organisasi rasa kebanggaan menjadi bagian dari

organisasi, (2) keterlibatan anggota sesuai peran dan tanggungjawab pada

organisasi tersebut. Seorang pegawai yang mempunyai komitmen tinggi

akan menerima tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan

kepadanya, (3) loyalitas terhadap organisasi sebagai evaluasi terhadap

komitmen serta adanya ikatan emosional dan keterkaitan antara organisasi

dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan loyalitas dan

rasa memiliki terhadap organisasi.

Page 2: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

23

Komponen kehendak untuk betingkah laku berkaitan dengan (1)

ketersediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan organisasi, (2) keinginan

tetap berada dalam organisasi. Seseorang yang mempunyai komitmen tinggi

hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk

bergabung dengan organisasi yang dipilihnya.

Steers (1984) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai rasa percaya

terhadap nilai-nilai organisasi (identifikasi), kesediaan untuk berusaha sebaik

mungkin demi kebaikan organisasi (keterlibatan), dan keinginan untuk

menjadi anggota organisasi yang bersangkutan (loyalitas). Komitmen

organisasi merupakan kondisi dimana anggota organisasi sangat tertarik

terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya (Markovits, 2007).

Lebih lanjut dikatakan bahwa komitmen organisasi artinya lebih sekedar

keanggotaan formal karena meliputi sikap menyukai organisasi dan

kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan

orgaisasi demi pencapaian tujuan.

Komitmen organisasional berperan untuk menciptakan iklim positif

bagi organisasi sehingga para karyawan yang benar-benar mempunyai

komitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi mempunyai kesempatan

lebih besar untuk berpartisipasi yang tinggi dalam organisasi. Karyawan

dengan komitmen tinggi memiliki keinginan kuat untuk tetap bekerja pada

organisasi agar tetap memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan yang

diinginkan. Anggota organisasi yang memiliki komitmen yang kuat akan

melibatkan diri sepenuhnya pada pekerjaan sebagai sarana untuk

memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan organisasi. Karyawan

dengan komitmen tinggi akan menggerahkan banyak usaha demi

kepentingan organisasi.

Cole (2000) mengemukakan enam karakteristik perilaku untuk

menandai pegawai yang mempunyai komitmen yaitu: (1) mudah

Page 3: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

24

bekerjasama, (2) mau berkorban untuk kebaikan organisasi, (3) meyakini

produk organisasi, (4) mau merekomendasikan organisasi sebagai salah satu

tempat yang baik untuk bekerja, (5) siap tinggal bersama organisasi paling

tidak untuk beberapa tahun kedepan, (6) bahkan bersedia menolak jika

ditawari peningkatan gaji yang lebih tinggi di organisasi lain.

Gibson (1995) mengemukakan bahwa komitmen organisasi meliputi

tiga sikap yaitu: identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan terlibat

dalam tugas-tugas organisasi, dan perasaan loyal terhadap organisasi. Lebih

lanjut dikatakan bahwa komitmen organisasi dapat mempengaruhi kepuasan

kinerja pegawai yang dampaknya dapat mempengaruhi kinerja organisasi.

Karyawan yang puas tentunya akan menjadi komit dalam suatu organisasi

dan akan betah untuk tetap bekerja dalam organisasi tersebut. Seorang yang

telah komit untuk tetap bertahan dalam suatu organisasi pada gilirannya akan

mempengaruhi kinerja itu sendiri.

2.1.2 Otonomi Tugas

Otonomi tugas menjadi bagian yang penting dalam pelaksaan

pekerjaan karena berkaitan dengan tanggungjawab atas hasil kerja. Hal ini

bararti bahwa setiap karyawan atau anggota oraganisasi yang harus

dipertanggugjawabkan (Piccolo & Colguitt, 2006). Otonomi tugas dapat

dilakukan oleh karyawan dalam melaksanakan pekerjaan jika tidak

mengurangi kualitas tugas yang menjadi taggung jawabnya. Kebebasan

melakukan inovasi dan kreasi di tempat kerja yang berkaitan dengan tugas

dan pekerjaanya yang harus didukung oleh kesediaan karyawan untuk

menerima kritik dan masukan dari pihak lain, terutama pimpinan, agar tetap

dalam batas-batas kewenagannya.

Di lingkungan supermarket atau pasar modern, karakteristik

pekerjaan yang berkaitan dengan variasi kompetensi relatif sudah tidak ada

Page 4: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

25

masalah megingat dilihat dari proses penyelesaian tugas sudah ditetapkan

dengan standar operational dan prosedur dan jenis pekerjaan yang harus

dilakukan lebih bersifat spesifik. Demikian juga halnya dengan identitas dan

signifikansi tugas, bahwa setiap pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan oleh

pramuniaga dan unsur pengawas serta pimpinan store dan juga operational

manager sudah terukur dari hasil setiap hasil penjualan perhari, perbulan, dan

tahunan. Pekerjaan pramuniaga, dan seluruh staf operational dapat di

evaluasai pada setiap pergantian absensi tangggal 25 dalam bulan, keaktifan

supervisor menggerakan para pramuniaga, dan kreativitas dari para

merchandise melakukan bargaining dengan para supplier dan principle

mendapatkan kondisi yang lebih memadai. Otonomi merupakan proses

untuk mencapai keterukuran yang dilakukan di masing-masing store dan

masing-masing konter. Otonomi menekankan bagaimana mekanisme kerja

dilakukan. Misalnya dalam memesan barang dari para supplier dan bebas

menentukan jumlahnya, tentunya product fast moving ataupun slow moving,

menyusun jadwal sendiri sesuai dengan kebutuhan counter. Kebebasan

dalam hal pengambilan keputusan dan pemanfaatan fasilitas untuk

digunakan, pada umumnya diserahkan kepada masing-masing pimpinan

dalam hal ini dipimpin oleh MD-nya masing-masing. Inti dari otonomi tugas

adalah kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Berbagai tugas dalam pekerjaan merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh setiap karyawan. Dalam menjalankan tugas tersebut

seseorang akan menjalankan tugas secara maksimal untuk dapat berprestasi,

namun dalam kemungkinan tidak menutup kemungkinan tugas-tugas yang

menjadi tanggugjawabnya justru akan menyebabkan munculnya stress kerja

bagi karyawan tersebut.

Sebagian besar karyawan pada suatu saat akan merasa bahwa

tuntutan tugas, dan beban kerja yang berlebihan justru akan berdampak

Page 5: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

26

kurang baik (Patillo, 2009). Dari segi input, tugas-tugas yang diselesaikan

seseorang karyawan sering berkaitan dengan waktu. Dari segi proses,

banyaknya tugas yang harus diselesaikan sangat menyita perhatian, waktu,

dan tenaga. Dari segi kualitas output kemungkinan akan berkurang karena

tidak diimbangi dengan upaya memperbaiki dan mengendalikan peran.

Otonomi tugas merupakan kebebasan mengembangkan pola dan

strategi dalam menyelesaikan tugas atau pekerjaan (Patillo, 2009). Otonomi

tugas didasari oleh kreativitas, pengalaman dan inovasi dari masing-masing

karyawan. Menurut Hui (2004) otonomi tugas diukur oleh respon pada

pertanyaan tentang bagaiaman seseorang bebas untuk membuat keputusan

dalam pekerjaan. Sedangkan Naus (2007), dan Ahuja (2007) melihat

otonomi tugas sebagai derajat dimana pekerjaan menyediakan banyak

kebebasan, kemerdekaan, dan keleluasaan kepada individu dalam

penjadwalan pekerjaan dan menentukan perosedur yang digunakan dalam

pelaksanakannya. Pendapat ini sejalan dengan Rauh (2009), dan Kok-Yee

Ng (2008) bahwa otonomi tugas merujuk kepada tindakan independen yang

dilakukan oleh pemimpin atau tim yang diarahkan untuk membawa usaha

baru dan lebih melihat pada hasil kerja. Penelitian terdahulu menemukan

konstruk pendukung otonomi tugas seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1

Beberapa Hasil Penelitian Pendukung Konsep Otonomi Tugas

No Peneliti (tahun) Dimensi teori/ konsep yang dikembangkan

1 Hackman&

Oldham, 1990

Karakteristik pekerjaan merupakan faktor yang

terkait dengan pekerjaan atau atribut yang

mencakup sifat dari pekerjaan itu sendiri dan

ketrampilan yang sesuai. Terdapat lima

dimensi karakteristik pekerjaan yaitu variasi

kompetensi, identitas tugas, signifikansi tugas,

otonomi dan umpan balik. Otonomi pekerjaan

mengacu pada sejauh mana karyawan

diberikan kebebasan, kemerdekaan, dan

Page 6: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

27

kebijaksanaan, dalam penjadwalan pekerjkaan

dan dalam menentukan prosedur untuk

digunakan dalam pelaksanaanya.

2 Hui, 2004 Otonomi tugas diukur berdasarkan respon

tentang bagaimana seseorang bebas untuk

membuat keputusan dalam pekerjaan.

3 Piccolo &

Colquitt,2006

Otonomi tugas merupakan kondisi sampai

sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan

substansial yang berkaitan dengan seberapa

banyak kebebasan dan kendali yang dimiliki

karyawan, seperti menyusun jadwal, membuat

keputusan, atau menentukan peralatan kerja.

4 Ahuja, 2007 Otonomi tugas merupakan derajat dimana

pekerjaan menyediakan banyak kebebasan,

kemerdekaan, dan keleluasaan kepada individu

dalam penjadwalan pekerjaan dan menentukan

prosedur yang digunakan dalam

pelaksanaannya.

5 Patillo, 2009 Otonomi tugas merupakan kebebasan

mengembangkan pola dan strategi dalam

menyelesaikan tugas atau pekerjaan

berdasarkan kreativitas, pengalaman dan

inovasi dari masing-masing karyawan.

6 Ali & Baloch,

2010

Indikator otonomi meliputi kebebasan penuh

untuk melakukan pekerjan, memiliki

wewenang penuh untuk melakukan pekerjaan,

tidak ada yang dapat menganggu dalam

melaksanakan pekerjaan.

Sumber: beberapa hasil penelitian

Pemberian otonomi tugas terhadap bawahan untuk melakukan

pekerjaannya bergantung pada pimpinan dan gaya yang cocok untuk mereka

tetapakan. Dengan kata lain, perkembangan organisasi dimana faktor

kepemimpinanlah yang sangat berperan dalam mengambil suatu keputusan.

Kepemimpinan adalah proses pengaruh sosial dimana pemimpin mencari

partisispasi dari bawahan didalam suatu usaha mencapai tujuan-tujuan

organisasi (Kreiner & Kinicki, 2000). Menurut Yulk (2000) kepemimpinan

adalah proses memberikan tujuan (arahan berarti) ke usaha kolektif, yang

menyebabkan usaha yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan. Hal ini berarti

Page 7: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

28

bahwa kepemimpinan terjadi pada saat seseorang menggunakan

pengaruhnya kepada orang lain terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Keberhasilan organisasi dalam pencapaian kinerja yang lebih tinggi

tergantung pada efektifitas pemimpin dalam mengelola sumber daya yang

dimiliki oleh organisasi tersebut. Seorang pemimpin yang efektif adalah

seorang dengan kekuasaannya mampu menggugah pemimpin untuk

mencapai kinerja yang memuaskan pada hakekatnya pemimpin merupakan

hubungan diantara seorang pemimpin mempengaruhi orang lain untuk mau

bekerja sama secara sukarela, sehubungan dengan tugasnya untuk mencapai

tujuan yang diinginkan pemimpin.

Kepemimpinan merupakan proses penggunaan pengaruh tanpa

paksaan (noncoersive) untuk membentuk tujuan-tujuan organisasi,

memotifasi perilaku kearah pencapaian tujuan tersebut dan membantu untuk

mendefinisikan kultur kelompok atau organisasi (Griffin, 2006). Tidak ada

kepemimpinan yang sesuai bagi semua kondisi dalam suatu organisasi tetapi

gaya kepemimpinan yang akan efektif apabila mengakomodasi

lingkungannya (pengikut, atasan dan rekan kerjanya).

Pemimpin merupakan penerus tujuan, merencanakan,

pengorganisasian, menggerakan dan mengendalikan seluruh sumberdaya

yang dimiliki sehingga tujuan organisasi dapat terjadi secara efektif dan

efisien. Gaya kepemimpinan yang mengakomodasi sikap dan perilaku

karyawan untuk mendukung perubahan lingkungan dan tehnologi

(Lichtenstein, 2006; Ko-Yee Ng, 2008).

Kepemimpinan adalah proses pengarahan dan pemberian pengaruh

pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik

tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000). Kepemimpinan

manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu pengarahan, pada kegiatan-

kegiatan dari suatu kelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

29

Kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-

orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan

kemauan dan antusias.

Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga aspek penting dalam

proses kepemimpinan yaitu (1) kepemimpinan menyangkut orang lain,

artinya dalam memimpin akan ada hubungan terkait yaitu antara atasan

(manajer) dengan bawahannya (pengikutnya), (2) kepemimpinan

menyangkut adanya pembagian tugas antara atasan dengan bawahan dalam

rangka mencapai tujuan bersama dan, (3) kepemimpinan menyangkut usaha

mempengaruhi bawahan agar bawahan dapat melaksanakan tugas dan

perintah atasan dengan baik sehingga atasan harus mencari metode

melakukan perintah yang baik tersebut.

Dengan adanya kepemimpinan terdapat implikasi adanya hubungan

atasan dan bawahan serta adanya pembagian tugas dan tanggung jawab,

tentu saja akan timbul adanya wewenang kepemimpinan. Wewenang sering

dihubungkan dengan kekuasaan secara umum yang mempuyai pengertian

sebagai hak atau tindakan formal yang diberikan untuk mempengaruhi orang

lain. Ada dua pendekatan timbulnya wewenang kepemimpinan yaitu

pendekatan dari atas ke bawah (top down authority) dan pendekatan dari

bawah ke atas (bottom up authority).

Pendekatan dari atas dimaksudkan bahwa wewenang kepemimpinan

berasal dari atas dengan hirarki organisasi akan diturunkan (didelegasikan)

kepada pemimpin dinilai bawahannya. Pendekatan dari bawah keatas

menyatakan bahwa wewenang kepemimpinan berasal dari kelompok orang

kemudian diberikan kepada seorang pemimpin untuk melakukan tindakan

memengaruhi orang lain yang akan dipimpinnya.

Secara teoritik gaya kepemimpinan sering dipengaruhi oleh (1)

situasi atau iklim organisasi yang telah terbentuk, (2) pemimpin yang

Page 9: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

30

bersangkutan yang mempunyai latar belakang sosial, pendidikan,

pengalaman, ekonomi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, gaya

kepemimpinan mempunyai peran atau pengaruh yang kuat terhadap

organisasi.

Beberapa gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Griffin (2006)

yang bisa dikemukakan dalam pratik organisasi yaitu otokrasi, supportif,

birokrat, paternalistik, dan demoratik. Gaya otoktrasi merupakan gaya

kepemimpinan yang didasarkan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin

dengan kecenderungan pada bentuk-bentuk perintah, pemaksaan kehendak

dari bawahan, segala sesuatu yang dilaksanakan bawahan harus sesuai

dengan perintah, pengawasan bawahan dilakukan secara ketat, segala

kebijakan ditentukan pemimpin.

Gaya supportif merupakan gaya kepemimpinan yang mempunyai ciri

bahwa pada dasarnya bawahan akan dan ingin selalu berusaha untuk bekerja

sebaik-baiknya atas tugas perkerjaan yang dibebankan pada dirinya.

Bawahan mempunyai kemauan dan kemampuan bekerja dengan baik atas

perintah dan petunjuk atasannya. Oleh karena itu, seorang pemimpin

memberi dukungan atau dorongan agar bawahannya dapat berusaha dan

bekerja sebaik-baiknya. Bawahan tidak perlu diawasi secara ketat namun

diberi pengarahan secara garis besarnya untuk bertindak.

Gaya birokrat, merupakan gaya kepemimpinan yang dapat dilihat

pada ciri seorang pemimpin dengan mendasarkan pada usaha yang selalu

tertib, cermat dalam segala tindakan sehingga agak lambat dalam mengambil

keputusan. Aktifitas kepemimpinan didukung oleh peraturan dan norma agar

keputusan yang diambil tepat dan tidak akan menimbulkan permasalahan

dimasa yang akan datang. Pelaksanaan pengawasan agak kurang ketat,

namun yang penting segala tindakan dan kegiatan terutama yang berkaitan

Page 10: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

31

dengan keputusan harus didasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan

organisasi.

Gaya kepemimpinan patenalistik atau disebut juga dengangaya

kebapakan, menunjukkan bahwa seorang pemimpin bertindak dan bersikap

sebagai seorang bapak yang mencintai anak-anaknya. Semua bawahan

dianggap sebagai anak-anaknya sehingga pemimpin bertindak sebagai bapak

yang selalu benar dan segala perintahnya harus dijalankan.

Gaya demokratik, merupakan kepemimpinan yang mempunyai ciri-

ciri perencanaan, pengawasan dan pengambilan keputusan didasarkan pada

pendapat dan kesepakatan anggota organisasi. Segala sesuatunya perlu

dibicarakan dan dibahas bersama anggota organisasi sehingga kehidupan

organisasi didasarkan pada prinsip dari-oleh dan untuk bersama organisasi.

Implementasi gaya-gaya kepemimpinan tersebut diatas dapat berjalan

secara simultan pada setiap organisasi dengan pilihan kecenderungan dari

situasi organisasi maupun latar belakang sosial, pendidikan maupun ekonomi

pemimpin yang bersangkutan dan keadaan bawahan yang mempunyai latar

belakang sosial, ekonomi, pendidikan yang dapat mempengaruhi gaya

kepemimpinannya (Chen, 2010).

Straus (2009) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat

memotivasi bawahan sepanjang perilakunya memuaskan kebutuhan

bawahan dengan memberikan bimbingan, pengarahan, dan imbalan yang

memadai bagi hasil karya yang efektif. Lebih lanjut dikatakan bahwa

pimpinan harus membantu bawahan dengan memberi penjelasan tentang

harapan yang relistis dan mengurangi hambatan bagi tercapainya tujuan.

Lee (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan

perwujudan kemampuan mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk

memcapai tujuan sesuai dengan tujuan dengan tuntutan perkembangan

situasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa keberhasilan pencapian kinerja suatu

Page 11: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

32

organisasi tergantung gaya kepemimpinan yang diharapkan oleh

pemimpinnya yang mampu mengadaptasi perilaku bawahan sehingga ia

merasa dihargai dan merasa puas. Perihal kepemimpinan akan dibahas

beberapa model dan karakteristik pemimpin dibawah ini:

1) Model Karakteristik Pemimpin

Seorang pemimpin biasanya mempunyai sifat, kebiasaan,

temperamental, watak dan kepribadian yang unik dan khas. Kekhasan gaya

hidup seroang pemimpin tersebut pasti berpengaruh dan mewarnai perilaku

kepemimpinannya. Terdapat dua pendekatan perilaku terkait dengan

aktivitas kepemimpinan yaitu perilaku yang berorientasi pada tugas dan

perilaku yang berorientasi pada hubungan (Yulk, 2000;Griffin,2006)

Perilaku yang berorientasi tugas (task-oriented behavior) tidak

menghabiskan waktu dan usaha untuk mengerjakan pekerjaan yang

dikerjakan oleh bawahan, mereka lebih berorientasi kepada perencanaan,

penjadwalan kerja, mengkoordinasi aktivitas bawahan dan menyediakan

persediaan yang dibutuhkan. Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada

hubungan (relation oriented behavior) mendukung dan membantu karyawan.

Perilaku yang mendukung termasuk menunjukan kepercayaan dan percaya

diri, bersahabat, mencoba mengerti masalah bawahan, membantu

mengembangkan karir bawahan dan menunjukan apresiasi untuk ide

bawahan.

a) Model Kepemimpinan Situasional

Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan

model watak kepemimpinan dengan fokus utama pada faktor situasi

sebagai variable penentu kemampuan pemimpin. Studi kepemimpinan

situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan

sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil

Page 12: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

33

melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Model

situasional membahas kepemimpinan berdasarkan fungsinya bukan lagi

berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan

fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model watak

kepemimpinan. Model kepemimpinan situasional masih dianggap belum

memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan

kepemimpinan (leadership skill) dalam hal menentukan efektif atau

tidaknya dalam situasi tertentu.

b) Model kepemimpinan efektif

Model kepemimpinan efektif membahas tipe-tipe perilaku para

pemimpinyang dikategorikan menjadi dua yaitu struktur kelembagaan

(initiating structre) dan konsideras (consideration). Struktur

kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin

mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka

pencapian tujuan organisasi serta sampai seberapa jauh para pemimpin

mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini

dikaitkan dengan peran pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi.

Dimensi konsiderasi menggambarkan sejauh mana pemimpin

memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bawahan seperti kebutuhan

pengakuan, penghargaan yang akan mempengaruhi kinerja mereka dalam

organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana

pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bawahan seperti

kebutuhan pengakuan, penghargaan, yang akan mempengaruhi kinerja

mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi dikaitkan dengan adanya

pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,

partisipasi dan hubunagn manusiawi (human relation).

Page 13: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

34

Blake & Mouton (1985), menyatakan tingkah laku pemimpin

yang efektif cendrung menunjukan kinerja yang tinggi terhadap dua

aspek diatas. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata

kelembagaan organisasinya secara terstruktur dan mempunyai hubungan

persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai, dan

senantiasa hangat dengan bawahannya. Model kepemimpinan efektif ini

mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah yang dapat

menangani kedua aspek yaitu organisasi dan manusia sekaligus dalam

organisasi.

c) Model Kepemimpinan Transformasional.

Walumbwa (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan

transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu

memotifasi bawahanya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih

dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformsionsional harus mampu

mendefinisikan, mengkomunikasikan, dan mengartikulasikan visi

organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas

bawahannya.

Yammarino dan Bass (1990) menyatakan bahwa model

kepemimpinan transformasionl harus mampu membujuk bawahannya

melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri

demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Selanjutnya dikatakan

bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan

yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara intelektual, dan

menaruh perhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh

bawahannya. Keberadaan kepemimpin transformasional mempunyai efek

tranformasi baik pada tingkat organisasi maupun tingkat individu. Dalam

situasi dan kondisi yang dinamis, diperlukan seorang pemimpin

organisasi yang karismatik atau transformasional, yaitu seorang

Page 14: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

35

pemimpin yang dapat memberikan inspirasi kepada bawahannya untuk

berinovasi (Robbins, 2008). Menurut Yulk (2000), formasi asli teori

kepemimpinan transformational mencakup tiga komponen utama, yaitu

charisma, stimulasi inteletual, dan perhatian yang berorientasi individu.

Charisma didefinisikan sebagai suatu poses yang padanya seorang

pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan cara membangkitkan

emosi-emosi dan identifikasi yang kuat terhadap pemimpinnya. Simulasi

intelektual merupakan proses dimana peran utama seorang pemimpin

adalah untuk meningkatkan kesadaran para pengikutnya terhadap

masalah-masalah yang ada disekeliling mereka, dan mempengaruhi

pengikut untuk memandang masalah-masalah tersebut dari sudut

pandang yang baru. Perhatian yang berorientasi individual, termasuk

memberi dukungan, membesarkan hati, dan berbagi pengalaman-

pengalaman tentang pengembangan diri kepada para pengikutnya.

Kharakteristik kepemimpinan transformasional tampak dari

aktifitas pemimpin dalam memotivasi karyawan dengan cara: 1)

mendorong karyawan sadar tentang pentingnya hasil-hasil suatu

pekerjaan; 2) mendorong karyawan untuk lebih mementingkan organisasi

atau kelompok (tim) diatas kepentingan pribadi; dan 3) mengarahkan

kebutuhan-kebutuhan karyawan pada tingkatan yang lebih tinggi.

Kepemimpinan transformasional menaruh perhatian pada

antisipasi kecenderungan dimasa yang akan datang, menginspirasikan

pada pengikutnya untuk memahami dan mengembangkan pemimpin-

pemimpin baru dan membangun organisasi untuk masuk dalam

komunitas yang suka pada tantangan.

d) Model Kepemimpinan Adaptif

Bass (2003) mendefinisikan pemimpin adaptif sebagai mereka

yang bekerja lebih efektif dalam lingkunag yang berubah dengan cepat

Page 15: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

36

dengan membantu untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh

pemimpin dan pengikut dan kemudian tepat menanggapi tantangan-

tantangan. Pendapat ini didasarkan pada gagasan bahwa para pemimpin

adaptif bekeja dengan pengikut mereka dengan menghasilkan solusi

kreatif pada maslah-masalah yang kompleks, sementara juga

mengembangkan mereka untuk menangani yang lebih luas dari tanggung

jawab kepemimpinan (Bennis ,2001). Hawkins (2004) menjelaskan teori

kepemimpinan sebagai dimensi simbolik dari pengalaman, mediasi

antara pengalaman dan berpikir.Model kepemimpinan Hawkins

mensyaratkan bahwa fenomena telah diidentifikasi dan bahwa koleksi

dan kodifikasi pengetahuan beberapa telah berhasil.

Kouzes dan Posner (2002) mendukung gagasan tentang

kepemimpinan adaptif, bahwa dalam lingkunag yang dinamis dewasa ini,

hanya individu dan organisasi yang adaptif yang akan berkembang. Yulk

(2002) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang fleksibel dan adaptif

adalah penting untuk efektivitas organisasi dan memberikan bimbinagan

untuk manajer dalam organisasi yang dinamis dan kompetitif saat ini.

Para pemimpin yang efektif menyesuaikan perilaku mereka dengan

perubahan situasi dan menemukan keseimbangan yang tepat dalam

persaingan. Mereka dipandu oleh nilai-nilai internal yang relevan dan

ideology inti yang kuat bagi organisasi.

Glover et al (2002) menyampaikan empat pilar utama untuk

menigkatkan potensi adaptif yaitu kompetensi budaya, menejemen

pengetahuan, menciptakan sinergi dari keanekaragaman, dan visi

holistik.Pemimpin yang membuat keputusan dan bertindak secara sadar

dengan pemahaman tentang bagaimana perilaku mereka secara luas

relevan dengan ruang dan waktu. Gaya kepemimpinan adaptif tidak

menganjurkan perilaku dan solusi yang tepat untuk perubahan, bahkan

Page 16: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

37

perspektif, perilaku dan solusi yang tepat untuk perubahan, bahkan

perspektif dan solusi yang belum disosialisasikan

Owens &Valesky (2007) memberikan pandangan kontenporer

tentang kepemimpinan adaptif yang terfokus pada kemampuan

beradaptasi dalam dunia serba cepat seperti saat ini yang didominasi oleh

perubahan. Adaptasi tersebut membutuhkan pemimpin, dan juga sebagai

pendidik, untuk tetap konsisten terhadap perubahan yang muncul dalam

konsisten terhadap perubahan yang muncul dalam lingkuangan ekternal,

yang sering membutuhkan respon yang cepat oleh organisasi. Adaptasi

tersebut membutuhkan pemimpin memahami bahwa perubahan,

kompleksitas, dan ketidakpastian karakteristik dominan lingkungan saat

ini menurut organisasi secara terus-menerus melakukan adaptasi.

Pendekatan kepemimpinan adaptif memotifasi para pemimpin dan

pengikutnya mempelajari cara baru untuk melalui penempatan ide-ide

baru yang penting bagi kehidupan keberadaan organisasi mereka.

Pemimpin memberi tanggungjawab kepada karyawan untuk

menyelesaikan masalahnya dan membiarkan karyawan merasakan

adanya tekan ekternal, dan ketidak sepahaman diantara karyawan. Tugas

pemimpin melindungi dan memberikan arahan dalam mengelola konflik

dan membentuk norma.

2). Kepemimpinan Adaptif Integrasi

Kepemimpinan merupakan pemakaian pengaruh dalam lingkungan

atau organisasi, untuk menghasilkan efek yang berarti dan berdampak

langsung pada pencapaian tujuan yang menantang (Ivancevich, 2005).

Pencapaian tujuan tersebut bukanlah kepentingan individu tetapi dalam arti

luas merupakan tujuang organisasi. Untuk mencapaian tujuan tersebut

diperlukan seorang pemimpin yang mampu menangani sumber daya

organisasi secara efektif dan efisien (Griffin, 2006).Pencapaian tujan secara

Page 17: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

38

efektif sangat ditentukan oleh tindakan pemimpin yang efektif juga. Ciri

utama yang efektif adalah mereka mampu memberikan arahan dan arti bagi

bawahan. Artinya, mereka dapat mengingatkan karyawan terhadap hal-hal

yang penting dan membimbing anggota organisasi menyadari bahwa apa

yang dilakukan mampu membuat perbedaan penting. Pemimpin harus

mampu menumbuhkan kepercayaan bagi anggotanya (Walumbwa, 2007;

Burnette et al, 2010), proaktif dan berani gagal demi meraih kesuksesan

(Avolio, 2007; Derue et al, 2012). Selain itu, pemimpin yang efektif selalu

memberikan harapan dengan cara yang nyata bahwa kesuksesan akan dapat

diraih.

Terdapat berbagai pendekatan kepemimpinan diantaranya yang

paling sering diteliti yaitu pendekatan trait (sifat), behavior (perilaku), dan

situasional (situasional) (Robbins, 2008; Ivancevich, 2005). Pendekatan

trait, merupakan usaha mengidentifikasi kharakteristik khusus seperti phisik,

mental, dan kepribadian terkait kesuksesan pemimpin (Drue et al, 2001).

Pendekatan ini menekankan inteligensi, kepribadian, karakteristik fisik, dan

kemampuan supervisi. Inteligensi berkaitan dengan kemampuan memberikan

pertimbangan, ketegasan dalam mengambil keputusan, memiliki kemampuan

yang memadai, dan trampil dalam berbicara. Kepribadian berkaitan dengan

kemampuan beradaptasi, kreativitas, integritas pribadi, kepercayaan diri,

control dan keseimbangan emosi, dan mandiri. Karakteristik fisik berkaitan

dengan usia, tinggi dan berat badan, serta penampilan. Kemampuan

berkaitan dengan upaya menumbuhkan kerjasama, popular dan gengsi,

mudah bergaul, partisipasi sosial, dan diplomasi. Pendekatan perilaku,

merupakan cara seorang pemimpin berperilaku. Teori ini lebih menekankan

perilaku pemimpin terhadap karyawan. Terdapat dua sudut pandang terhadap

pendekatan ini yaitu kepemimpinan yang berfokus pada pekerjaan dan

berfokus pada karyawan. Pemimpin berfokus pada penyelesaian pekerjaan

Page 18: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

39

dan menerapkan supervisi yang ketat. Pemimpin mengatur dan

mendefinisikan hubungan dalam kelompok, membuat pola yang berlaku

dalam berkomunikasi, dan mengatur secara tegas bagaimana pekerjaan harus

diselesaikan. Pemimpin yang berorientasi karyawan, berfokus pada

karyawan yang melakukan tugas dan senantiasa membudayakan

pendelegasian pengambilan keputusan, dan membimbing pegawai memenuhi

kebutuhan dengan cara membentuk lingkungan kerja yang suportif.

Pemimpin menunjukan perilaku bersahabat, saling percaya, rasa hormat,

saling percaya serta mendukung keterbukaan komunikasi dan partisipasi.

Pendekatan situasional, mendorong pemimpin memahami perilaku

sendiri dan pengikutnya, pendekatan situasional mengasumsikan bahwa

perilaku pemimpin yang tepat sangat bervariasi dari suatu situasi kesituasi

yang lain (Griffin, 2006). Dengan demikian, tujuan dari pendekatan

situasional adalah mengidentifikasi faktor-faktor situasional situasi penting

dan memahami bagaimana faktor-faktor tersebut saling berinteraksi untuk

menentukan perilaku yang tepat.

Pengetahuan dalam memahami hubungan antara pimpinan dan

bawahan yang memunculkan model kepemimpinan transaksional,

transaksional dan karismatik. Menurut Bass (1985), kepemimpinan

transasksional menggambarkan hubungan antara pemimpin dan karyawan

sebagai salah satu pertukaran kepatuhan dan imbalan. Pemimpin

transaksional membantu anggota organisasi untuk mengidentifikasi perilaku

agar mencapai hasil yang berlebihan (Masi & Coole, 2000). Pendekatan

transaksional menuntut pemimpin memahami apa yang dilakukan untuk

mencapai hasil yang diinginkan (Derue et al, 2011), dan menyadari apa yang

dibutuhkan anggota organisasi (Avolio,2007). Sementara itu, anggota

organisasi harus merasa yakin pada tingkat kesuksesan, dan menyadari nilai

Page 19: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

40

dari hasil yang diinginkan yaitu upaya pemenuhan kebutuhan (Ivancevich,

2005).

Tipe kepemimpinan transasksional berusaha memotivasi karyawan

untuk bekerja mencapai tujuan bukan hanya kepentingan pribadi jangka

pendek, tetapi untuk mencapai prestasi dan aktualisasi diri (McLaurin & Al

Amir, 2008). Pemimpin mampu mengekpresikan visi yang jelas dan

menginspirasi karyawan untuk mencapai visi tersebut.

Strategi kepemimpinan adaptif digambarkan sebagai pola hubungan

antara pemimpin dan anggota organisasi mencakup penekanan pada kognisi,

atribut, perilaku, dan konteks dimana para pemimpin dan pengikut secara

dinamis tertanam dan berinteraksi dari waktu kewaktu. Hal ini membutuhkan

peran pemimpin yang lebih kompleks dalam menghadapi lingkunag kerja.

Fokus kepemimpinan adaptif integrative pada empat pilar yaitu (a)

memahami karakteristik anggota organisasi (Seiler& Pister, 2009; Robbins,

2008; Derue et al, 2001), (b) memiliki kemampuan dalam mengelola

organisasi (Robbins, 2008; Avolio, 2007; Derue et al, 2011), (c)

menciptakan sinergi sumber daya organisasi (Hogan, 2008; Glover et

al,2002), dan (d) memandang organisasi secara utuh (Armitage, 2006;

Glover et al, 2002). Kempat pilar tersebut jika didalami mencakup tiga

kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin adaptif integrative yaitu

kemampuan memahami anggota organisasi sebagai individu, kemampuam

memahami diri sendiri, dan kemampuan memahami tujuan organisasi. Hal

ini dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini

Page 20: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

41

Gambar 2.1

Pola Interaksi Pemimpin- Aggota -Organisasi

Sumber : dikembangkan untuk tesis ini.

Peran seorang utama adaptif integratif adalah memahami

karakteristik anggotanya. Karateristik individu yang harus dipahami oleh

pemimpin khususnya kepribadian yang merupakan keseluruhan cara dimana

seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins, 2008).

Faktor penentu kepribadian adalah keturunan dan lingkungan (Ivancevich,

2008). Karakterisik yang pada umumnya melekat dalam diri seseorang

diantaranya adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia dan takut.

Selain itu, terdapat dimensi kepribadian dalam kaitannya dengan komunikasi

yang harus dipahami oleh pemimpin dari pengikutnya, atau sebaliknya

meliputi ektraversi, mudah dan akur, sifat hati-hati, stabilitas emosi, dan

terbuka hal-hal baru.

Kesadaran terhadap kemampuan personal menggambarkan sejauh

mana sebagai seorang pemimpin harus didukung kemampuan manajerial

seperti membuat keputusan, mengorganisasi sumber daya, dan melakukan

Page 21: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

42

pengendalian (Griffin, 2005). Serta mampu mengimplementasikan peran

personal, informasional, dan kepuasan (Robbins, 2008).

Syarat kedua sebagai pemimpin yang adaptif integaratif adalah

memiliki kemampuan memahami diri sendiri sebagai pemimpin.

Kemampuan merupakan kapasitas seseorang untuk melakukan beragam

tugas dan suatu pekerjaan (Robbins,2008). Kemampuan dikelompokan

menjadi fisik dan intelektual. Kemampuan fisik merupakan kemampuan

melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, ketrampilan, kekuatan dan

karakteristik tertentu. Sedangkan kemampuan intelektual merupakan

kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental

seperti berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Kemampuan terdiri dari

ketrampilan, pengetahuan, atau keduanya, apakah didukung dengan

karakteristik (atribut) yang dibutuhkan untuk melaksanakan pengetahuan

atau ketrampilan dengan mahir dan percaya diri (Armitage et al, 2006).

Kepemimpinan merupakan perwujudan kemampuan mempengaruhi orang

lain atau kelompok untuk mencapai tujuan sesuai dengan tuntutan

perkembangan situasi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa keberhasilan pencapaian kinerja suatu

organisasi tegantung pada gaya kepemiminan yang diterapkan oleh

pemimpinnya yang mampu mengadaptasi perilaku bawahan sehingga merasa

dihargai dan merasa puas.

Kemampuan menciptakan sinergi harus dimiliki oleh pemimpin

adaptif integratif. Sinergi sumber daya organisasi sebagai tindakan untuk

mengatasi keterbatasan yang dialami organisasi (Hogan, 2008; Glover et al,

2002). Sinergi sumber daya yang dimaksudkan untuk menutup kekurangan

dan keterbatasan yang ada dengan kelebihan yang dimiliki pihak lain. Pihak

yang memiliki keterbatasan dengan terbuka membutuhkan bantuan,

sementara pihak yang memiliki kelebihan dengan senang hati memebrikan

Page 22: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

43

sebagian kelebihan tersebut. Peran pemimpin adalah menyeimbangkan

sumber daya organisasi, artinya pemanfaatan sumber daya tidak boleh terikat

dengan solusi menang-kalah, tetapi harus berprinsip menang (win win

solution) (Hogan, 2008; Robbins, 2008).

Cara pimpinan memandang organisasi secara utuh merupakan

indikator kepemimpinan adaptif integratif (Armitage, 2006; Glover at al,

2002). Kesadaran pemimpin dan anggota organisasi tentang bagaimana

individu melihat diri mereka yang sebenarnya dan menterjemahkan menjadi

apa yang dapat dilakukan untuk organisasi. Hal ini berarti terjadi proses

seimbang, yang mengacu bagimanan seorang melihat dirinya sendiri sebagi

bagian dari organisasi, dan bagaimana organisasi memiliki tujuan yang

dipahami dan dapat dicapi oleh aggota organisasi. Konteks pemahaman

budaya organisasi sebagai akumulasi individu dan kelompok mencerminkan

betapa pemimpin harus benar-benar memahami organisasi secara

utuh.Keberhasilan pencapian tujuan bukan hanya tugas pimpinan, tetapi juga

melibatkan sumber daya yang ada didalam organisasi. Kekuatan organisasi

dalam mewujudkan visi bukan saja menjadi beban para anggota organisasi

tetapi semua komponen bertanggung jawab atas pencapaian visi dan tujuan

organisasi. Pemahaman organisasi secara utuh dan menyeluruh berarti

mengutamakan sinkronisani dalam mengelola sumber daya,

mengembangkan potensi organisasi secara terbuka dan selalu berusaha

menyesuaikan visi organisasi dengan situasi, kondisi, dan lingkungan

organisasi.

2.1.3 Kepuasan Kerja

Wexley dan Yulx (1984) mengartikan kepuasan kerja sebagai “the

way an employee feels about his or her job”. Artinya bahwa kepuasan kerja

adalah cara pegawai merasakan dirinya atau pekerjaannya. Dapat

Page 23: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

44

disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan yang menyokong atau

tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan

maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan

melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karier,

hubungan dengan pegawai lain, penempatan kerja, dan struktur organisasi.

Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa

umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan.

Sebagaimana diketahuai bahwa sikap dan kesugguhan karyawan yang

berkaitan dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasi adalah minat

utama dalam bidang perilaku organisasi dan pratik menejemen sumberdaya

manusia, dan berimplikasi langsung terhadap kepuasan kerja. Locke dalam

Luthans (2006) kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif,

afektif, dan evaluatif dan menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosi

yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau

pengalaman kerja seseorang. Selanjunya Locke menjelaskan ada lima (5)

dimensi dalam mengidentifikasi untuk mempresentasikan kharak-teristik

pekerjaan dimana karyawan memiliki respons afektif. Kelima dimensi

tersebut adalah (a) Pekerjaan itu sendiri. Dalam hal dimana pekerjaan tugas

yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima

tanggung jawab. (b) Gaji. Sejumlah upah yang diterima dan tinggkat dimana

hal ini bisa di pandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan

dengan orang lain dalam organisasi. (c) Kesempatan promosi. Kesempatan

untuk maju dalam organisasi. (d) Pengawasan. Kemampuan penyelia untuk

memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku. (e) Rekan kerja. Tingkat

dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.

Kepuasan kerja menurut Davis dan Newstrom (dalam Sembiring,

2007) adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau

tidaknya pekerjaan yang dilakukan. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian

Page 24: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

45

antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan oleh

pekerjaan. Kepuasan kerja meningkat, jika pekerjaan itu dirasakan sebagai

memenuhi apa yang sangat bernilai bagi seseorang, sedangkan kepuasan

menurun, jika pekerjaan itu tidak dirasakan sebagai memenuhi apa saja yang

menjadi penilaian seseorang.

Menurut Gibson, et.al (1993) kepuasan kerja dan semangat kerja

adalah hal yang serupa, menunjukan sampai seberapa jauh organisasi

memenuhi kebutuhan para karyawannya. Ukuran kepuasan meliputi sikap

karyawan, pergantian karyawan (turnover), absensi, keterlambatan dan

keluhan.

Maslow (dalam Dwiatmadja et all, 2001) menyatakan bahwa,

kepuasan akan timbul bila kebutuhan terpenuhi. Kebutuhan tersebut

bertingkat mulai dari tingkatan terendah sampai tertinggi. Kebutuhan

tersebut yaitu: (a) Kebutuhan fisiologis, seperti makan, minum, perumahan.

(b) Kebutuhan keamanan, yaitu kebutuhan agar bebas dari bahaya,

kehilangan pendapatannya, seperti hilangnya pekerjaan, adanya pensiun. (c)

Kebutuhan afiliasi/ sosial, yaitu kebutuhan merasa di terima oleh

kelompoknya dan merasa ikut dalam kelompok. (d) Kebutuhan esteem, yaitu

kebutuhan memperoleh penghargaan, baik yang diberikan oleh orang lain

maupun yang dirasakan sendiri. (e) Kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan ini

merupakan kebutuhan yang tertinggi, yaitu kebutuhan yang untuk

menunjukan kemampuan dirinya.

Kepuasan merupakan sikap umum seseorang individu terhadap

pekerjaanya (Robbins, 2008).Sikap tersebut berasal dari persepsi individu

tetang pekerjaanya. Mengacu pada pendapat tersebut, dapat dimengerti

apabila Luthans (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga demensi penting

dari kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan respon emosional

terhadap situasi dan kondisi kerja. Kedua, kepuasan kerja sering kali

Page 25: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

46

menentukan seberapa besar hasil yang dicapai atau harapan-harapan yang

dilampaui. Misalnya, bila anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja

lebih keras dibandiang dengan orang lain dalam suatu kelompok tetapi

menerima imbalan yang lebih sedikit, maka mereka dapat memiliki sikap

negatif terhadap pekerjaan, pimpinan dan teman kerjanya. Akibatnya,

mereka akan menjadi tidak puas. Sebaliknaya jika mereka merasa diperlukan

dengan baik dan dibayar dengan adil, maka mereka akan memiliki sikap

positif terhadap pekerjanya. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan sikap

yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri (Luthans, 2006).

Dalam kehidupan organisasi modern, kepuasan kerja dijadikan

ukuran tingkat kematangan organisasi, merupakan tanda bahawa organisasi

dikelola dengan baik yang pada dasarnya adalah hasil menejemen yang

efektif (Leung et al, 2008). Kepuasan kerja dalah ukuran proses

pembangunan manusia yang berkelanjutan dalam suatu organisasi. Atribut

kepuasan menurut Kreitner (2000) sekurang-kurangnya mencakup (1)

pemenuhan kebutuhan, (2) harapan terpenuhi, (3) pencapaian nilai, dan (4)

perlakuan “adil”bagi para karyawan.

Kepuasan ditentukan oleh kharakteristik sebuah pekerjaan yang

memungkinkan sesorang memenuhi kebutuhannya. Kepuasan berasal dari

persepsi bahwa suatu pekerjaan memungkinkan untuk memenuhi nilai-nilai

kerja yang penting dari karyawan (Barry, 1979). Sistem nilai yang dirasakan

karyawan yang dibangun oleh organisasi seperti status sosial, serta

pembentukan lingkungan kerja akan membuat karyawan akan merasa puas.

Selain itu, aspek keadilan yang diterima karyawan yang berasal dari persepsi

seseorang bahwa output pekerjaan relatif sama dengan inputnya. Perlakuan

secara adil ini mencakup aspek gaji, kesempatan promosi, serta penghargaan

lainnya.

Page 26: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

47

Kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual (Moinihan,

2007). Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda

dengan sistem nilai yang diikutinya (Valle & Witt, 2001). Rendahnya

kepuasan kerja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir

kerja, mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dengan kerusakan yang

disengaja. Karyawan yang dengan tingkat kepuasannya tinggi akan rendah

tingkat kemangkirannya dan demikian sebaliknya. Organisasi-organisasi

dengan karyawan yang lebih terpuaskan cendrung lebih efektif dari pada

organisasi-organisasi dengan karyawan yang tak terpuaskan sehingga dapat

menigkatkan produktivitas organisasi dan salah satu sebab timbulnya

keinginan pindah kerja adalah kepuasan pada tempat kerja yang sekarang

(Robbins 2007).

Kepuasan kerja menurut Griffin (2006) dapat diterangkan

berdasarkan tiga macam teori, yaitu expectancy theory (teori pengharapan),

equity theory (teori keadilan), dan two factor theory (teori dua faktor).

Menurut teori pengharapan , bahwa kepuasan kerja seseorang dapat diukur

dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan

yang dirasakan. Kemudian Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan

kerja tergantung pada apa yang diharapkan, dibutuhkan atau dinilai dengan

apa yang menurut perasaan atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai

melalui pekerjaan. Dengan demikian, orang akan merasa puas apabila tidak

ada perpedaan antara yang dinginkan dengan persepsinya atas kenyataan

karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi.

Menurut teori keadilan yang dikembangkan oleh Adam (1963). Pada

prinsipnya teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas

sepanjang mereka merasa telah memperoleh keadilan (Valle & Witt, 2001).

Persaan adil dan tidak adil atas suatu yang diperoleh seseorang dengan cara

membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor, maupun

Page 27: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

48

ditempat lain. Teori ini mengidentifikasi elemen-elemen keadialan meliputi

tiga hal: (a) imput, adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan oleh

pegawai sebagai masukan terhadap pekerjaannya; (b) dampak, adalah segala

sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai dari hasil pekerjaannya; (c)

perbandingan, adalah perbandingan antara imput dan outcomes yang

diperolehnya.

Teori dua faktor yang dikemukakan oleh Herzberg (1966). Prinsip-

prinsip teori ini adalah bahwa kepuasan dan ketidakpuasan terhadap

pekerjaan itu tidak merupakan variable yang kontinyu. Berdasarkan hasil

penelitiannya, Herzberg membagi situasi yang mempengaruhi sikap

seseorang terhadap pekerjaanya menjadi dua kelompok yaitu: (a) kepuasan

atau motivator, faktor-faktor atau situasi yang dibuktikannya sebagai sumber

kepuasan yang terdiri dari: prestasi, pengakuan, karakeristik pekerjaan,

tanggungjawab dan peluang untuk maju; dan (b) ketidakpuasan atau faktor

higienis, yaitu factor-faktor yang terbukti menjadi ketidakpuasan, seperti :

supervisor, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, gaji dan keamanan, dan

kebijakan organisasi.

Berdasarkan penelusuran hasil penelitian terdahulu, diperoleh konsep

pendukung kepuasan kerja seperti pada Tabel berikut ini:

Page 28: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

49

Table 2.2

Beberapa Hasil Penelitian Pendukung Kepuasan Kerja

No Peneliti (tahun) Dimensi Teori

1 Locke, 1969 Kepuasan kerja tergantung pada apa yang

diharapakan, dibutuhkan atau dinilai

dengan apa yang menurut perasaanya atau

persepsinya telah diperoleh atau dicapai

melalui pekerjaannya

2 Konrad, 1999 Dimensi kepuasan kerja diukur berdasarkan

perasaan menyenagi pekerjaan, puas dalam

pratek, situasi kerja yang nyaman,

pemenuhan harapan, keinginan untuk tetap

bekerja.

3 Kreitner, 2000 Atribut untuk mengukur kepuasan

sekurang-kurangnya mencakup (1)

pemenuhan kebutuhan, (2) harapan yang

terpenuhi,(3) pencapaian nilai, dan (4)

perlakuan “adil” bagi para karyawan

4 Chan et al, 2004 Menngunakan tiga pendekatan kepuasan

kerja yaitu kepuasan ekstrinsik, intrinsic,

dan relasional. Kepuasan ekstrinsik

berkaitan dengan penghasilan dan

kompensasi ,tunjangan, fleksibilitas jadwal,

dan kesempatan promosi. Kepuasan

istrinsik meliputi dengan prestasi dalam

pekerjaan, dampak social dari kerja,

kesempatan untuk kreatif dan otonomi

pekerjaan. Kepuasan relasional meliputi

kepuasan hubungan dengan rekan, dan

kemampuan atasan.

5 Luthans, 2006 Terdapat tiga dimensi dari kepuasan kerja.

Pertama, kepuasan kerja merupakan respon

emosional terhadap situasi dan kondisi

kerja. Kedua, kepuasan kerja seringkali

menentukan seberapa besar hasil yang akan

dicapai atau harapan-harapan yang akan

dilampaui. Ketiga, kepuasan kerja

mencerminkan sikap yang berhubungan

dengan pekerjaan itu sendiri.

6 Leung, 2008 Kepuasan berasal dari pertsepsi bahwa

suatu pekerjaan memungkinkan untuk

memenuhi nilai-nilai kerja yang penting

dari karyawan.

7 Ali & Baroch, Kepuasan kerja secara keseluruhan diukur

Page 29: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

50

2010 dari upah, status social, keamanan, promosi,

kondisi kerja, sifat pekerjaan, rekan kerja,

pengakuan,keadilan distributive, keadilan

procedural dan otonomi.

8 Dwiatmadja, 2001 Kebutuhan tersebut bertingkat mulai dari

tingkatan terendah sampai tertinggi.

Kebutuhan tersebut yaitu:(a) kebutuhan

fisiologis,(b) kebutuhan keamanan,(c)

kebutuhan afiliasi/social, (d) kebutuhan

esteem/ penghargaan,€ kebutuhan

aktualisasi diri.

2.1.4 Resolusi Konflik

Konflik merupakan segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau

suatu interaksi yang bersifat antagonistik. Griffin (2006) mengartikan

bentuk perselisihan antara dua atau beberapa individu, kelompok, atau

organisasi. Konflik dapat terjadi didalam organisasi karena adanya ketidak

sesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota kelompok-kelompok

organisasi. Situasi dan kondisi akan menyebabkan konflik. Dengan

mengetahui penyebab konflik maka pimpinan mengambil langkah-langkah

yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik agar tidak mengarah pada

konflik yang disfungsional. Beberapa tipe konflik mampu mendukung

pencaian tujuan organisasi dan menigkatkan kinerja. Bentuk semacam ini

masuk dalam kategori bentuk konflik fungsional dan membangun.

Menurut Luthans (2006) konflik merupakan kondisi yang

ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Istilah konflik

sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat,

persaingan dan permusuhan. Konflik juga dapat dipandang sebagai suatu

proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian dua

pendapat(sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat

baik pengaruh atas pihak-pihak yang terlibat positif maupun negatif. Lebih

lanjut Robbins mengemukakan adanya The Conflict Paradox, yaitu

Page 30: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

51

pandangan disuatu sisi konflik dapat meningkatkan kinerja kelompok,namun

disisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha meminimalisir

konflik. Terdapat tiga pandangan tentang konflik yaitu, pandangan

tradisional, hubungan antar manusia, dan interaksionis (Robbins, 2008).

Pandangan tradisional mengatakan bahwa konflik buruk dan merusak

(Robbins, 2008).Konflik diasosiasikan sebagai sesuatu yang negatif dengan

beberapa alasan yaitu (a) konflik menimbulkan sesuatu yang buruk seperti

pertentangan, perkelahian, perang dan kerugian;(b) konflik merusak

keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan hidup dan interaksi sosial

antar manusia; (c) konflik identik dengan kekerasan dan agresi yang

mengarah pada kebencian, kekerasan, agresi, perkelahian, dan perang (d)

konflik dapat membuat orang emosional dan irasional, membuat orang

merasa hanya dirinya sendiri yang benar, tanpa mempertimbangkan fakta

dan data yang ada; (e) konflik membuang energi dan sumber-sumber

organisasi. Saat terlibat konflik, kedua belah pihak memerlukan berbagai

sumber daya seperti pikiran,tenaga,waktu, dan biaya. Jika konflik terjadi

ditempat kerja, semua sumber daya organisasi akan digunakan untuk

keperluan yang tidak produktif; (f) Konflik dapat menyebabkan stress dan

fustrasi. Pihak-pihak yang terlibat konflik akan mengalami stress dan fustrasi

sehingga mempengaruhi fisik dan kejiawaan mereka; dan (g) konflik

dianggap sebagai ancaman bagi pihak yang terlibat konflik. Konflik

merupakan ancaman dari lawan konflik yang berupaya untuk

mengalahkannya.

Asumsi bahwa konflik buruk dan merusak banyak terjadi pada sistem

sosial dan birokrasi, termasuk kepemimpinan (Robbins, 2008). Pimpinan

yang berasumsi bahwa konflik adalah buruk dan merusak, akan berupaya

untuk menghindari dan mencegah terjadinya konflik. Pimmpinan akan

Page 31: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

52

berusaha menghilangkan penyebab terjadinya konflik (Ivancevich, 2005;

Luthans, 2006).

Terdapat pandangan bahwa konflik merupakan kejadian dan

fenomena alami manusia yang tidak dapat dihindari (Robbins, 2008;

Luthans, 2006).Pendekatan hubungan antar manusia mengasumsikan bahwa

(a) manusia diciptakan dengan sifat-sifat yang bertentangan satu dengan

yang lainya. Setiap orang mempunyai persepsi dan pendapat yang berbeda

mengenai sesuatu yang sama; (b) baik buruknya konflik tergantung

bagaimana cara orang mengelolanya. Jika dikelola dengan baik konflik akan

menghasilkan sesuatu yang baik, demikian sebalikanya tidak dikelola dengan

baik maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik juga; (c) pemimpin

mempunyai toleransi terjadinya konflik. Tugas pemimpin menciptakan

mekanisme menejemen konflik agar tidak terjadi konflik destruktif.

Pandangan ketiga tentang konflik adalah pandangan interaksionis,

dengan beberapa asumsi yaitu (a) Konflik sangat diperlukan untuk

menciptakan perubahan dan kemajuan ; (b) Pengembangan konflik kearah

yang terkendali dan pencapaian tujuan ; (c) Konflik yang sangat rendah atau

tinggi akan menjadi destruktif, sedangkan konflik yang baik dan berada

dalam pengendalian akan meningkatkan produktifitas.

Konflik antara satu atau beberapa kelompok lebih banyak disebabkan

faktor-faktor organisasi. Miasalnya karyawan dibidang keuangan dengan

kepegawaian masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Dan

pada umumnya tujuan-tujuan tersebut tidak selaras. Selain itu persaingan

memperebutkan sumber daya organisasi juga menjadi bagian terpenting

munculnya konflik antar kelompok.

Konflik memang tidak dapat dihindari sehingga yang terpenting

adalah bagaimana menyelesaikan konflik(Invacevich, 2005; Robbins, 2008).

Istilah penanganan konflik dinamakan juga resolusi konflik(Ivancevich,

Page 32: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

53

2005) yaitu proses penaganan konflik berdasarkan kerja sama. Resolusi juga

diartikan sebagai proses pemanfaatan komunikasi personal dua pihak yang

berkonflik untuk mencapai titik kesepakatan damai dan memuaskan

(Omoluabi, 2001); Salami,2010). Resolusi konflik menawarkan berbagai

metode dalam menagani konflik secara keseluruhan harus mampu

meminimalkan konflik afektif disemua tingkatan, mencapai dan

mempertahankan konflik substantive pada tingkat “ moderat”, dengan

memperhatikan kedua belah pihak.

Pandangan tentang resolusi konflik dalam organisasi sering

disamakan dengan menejemen konflik (Ivancevich, 2005; Slimani, 2006).

Hal ini mengacu pada konsep yang dikemukakan Guerra et al(2005), bahwa

terdapat empat faktor stimulasi konflik pada posisi moderat: (a) mengalami

konflik, mengacu pada perasaan,kognisi, dan niat yang terkait dengan

konflik; (b) manajen konflik, dipahami sebagai perilaku atau mengatur

perilaku yang ditujukan untuk intensifikasi, pengurangan atau resolusi

konflik, (c) hasil konflik sejauh mana kesepakatan dan kualitas perjanjian

tercapai, dan (d) jenis konflik, dipahami argumentasi isu-isu spesifik yang

berkaitan dengan konflik. Manjemen konflik melibatkan desain strategi

tingkat makro untuk meminimalkan konflik disfungsional dan menigkatkan

konflik fungsional yang konstruktif untuk meningkatkan efektifitas

organisasi (Rahim, 2002). Sedangkan resolusi konflik melibatkan

pengurangan dan penyelesaian konflik dengan memanfaatkan komunikasi

pihak-pihak yang terlibat konflik (Salami,2010).

Salah satu cara menyelesaikan konflik adalah melihat sejauh mana

kelompok yang terlibat memiliki fokus internal dan ekternal terhadap strategi

resolusi yang digunakan. Fokus internal menunjukan sejauhmana kelompok

berupaya mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam sebuah

konflik (Ivancevich, 2005). Sebaliknya, fokus eksternal menunjukan

Page 33: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

54

sejauhmana sebuah kelompok berupaya menyelesaikan apa yang menjadi

kepentingan kelompok lain. Secara spesifik Thomas & Kilman (1977)

mengembangkan gaya resolusi konflik berdasarkan dua dimensi yaitu kerja

sama sebagai upaya untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik,

dan keasertifan sebagai upaya memuaskan diri sendiri jika mengkadapi

konflik. Dua sudut pandang ini memunculkan lima pendekatan yang berbeda

dalam upaya menyelesaikan konflik (Thomas & Kilmann, 1977) yaitu

pendekatan dominasi mengharuskan sebuah kelompok yang berusaha

menyelesaikan konflik dengan memberikan perhatian maksimal pada upaya

memenuhi hal-hal yang menjadi kepentingan diri sendiri. Kelompok internal,

dan pada saat yang bersamaan memberi perhatian minimal kepada kelompok

lain (Ivancevich, 2005; Robbins, 2008), pendekatan dominasi cendrung

berorientasi pada kekuasaan (Salami, 2010; Mohr & Spekman, 1994)

artianya untuk dapat berhasil untuk menyelesaikan konflik diperlukan

kekuasaan untuk memaksa kelompok lain. Terdapat beberapa situasi yang

mungkin tepat dan berguna bila menggunakan pendekatan dominasi. Ketika

tindakan yang cepat menjadi penting, pendekatan dominasi menjadi cara

penyelesaian yang paling efektif. Demikian juga halnya dengan tindakan-

tindakan yang tidak popular yang diambil seperti pemutusan hubungan kerja,

pembuatan jadwal masuk kerja, perpindahan konter, atau kebijakan dan

prosedur kerja yang tidak sesuai dengan harapan pihak lain, dapat dilakukan

dengan pendekatan dominasi.

Page 34: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

55

Akomodasi Kolaborasi

Menghindar

Dominasi

Rendah Tinggi

Gambar 2.2: Model Penyelesaian Konflik

Sumber Thomas & Kliman (1977),

dalam Ivancevich (2005)

Pendekatan yang berlawanan dengan dominasi adalah pendekatan

akomodasi. Pada pendekatan akomodasi, disebut juga dengan smoothing

(Salami, 2010; Mohr & Spekman, 1994; Bowlby et al,2011) salah satu

pihak meminimalkan upaya untuk mengutamakan kepentingannya, dan

memberikan perhatian yang lebih besar pada kelompok lain (Robbins, 2008).

Beberapa situasi sangat menguntungkan dengan menggunakan pendekatan

akomodasi dalam menyelesaikan konflik. Apabila salah satu kelompok

berselisih dengan kelompok lain, dan jika dilihat dari substansinya kelompok

yang satu menganggap tidak begitu penting hal yang diperselisihkan maka

jalan yang terbaik adalah mengalah untuk kelompok yang satu lagi. Upaya

terpenting dari pendekatan akomodatif adalah menjaga keharmonisan dalam

bekerja dengan tidak mementingkan kelompok sendiri.

Pendekatan kolaboratif dipandang relatif ideal dalam menyelesaikan

konflik meskipun sangat sulit diimplementasikan (Ivancevich, 2005;

Slimani, 2006). Pendekatan kolaborasi disebut juga pendekatan penyelesaian

masalah atau integrasi, berupa penyelesaian konflik yang menekankan

Kompromi

Rendah

Page 35: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

56

kepentingan kedua kelompok secara maksimum (Robbins, 2008). Upaya

penyelesaian masalah yang baik membutuhkan kesediaan kedua kelompok

untuk bekerja sama untuk mencari penyelesaian terpadau untuk dapat

memuaskan kedua kelompok. Ketika pihak-pihak yang saling bertentangan

benar-benar berkolaborasi, kemungkinan akan mendapatkan pemahaman,

pengalaman,dan cara pandang baru yang dapat menciptakan solusi-solusi

yang berkualitas. Selain itu, komitmen untuk mencapi efektifitas organisasi

menjadi lebih tinggi karena kepentingan kedua belah pihak ikut di

pertimbangkan dalam upaya memecahkan masalah.

Cara umum yang sering kali digunakan untuk menangani konflik

adalah menghindari terjadinya konflik meskipun tidak memberikan manfaat

dalam jangka panjang (Robbins, 2008; Ivancevich, 2005). Pendekatan

menghindari konflik dapat menjadi strategi efektif dalam beberapa situasi

konflik,terutama pada saat yang ditujukan sebagai alternatif

sementara.Ketika suatu konflik memanas,menghindari masalah untuk

sementara dapat memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak yang

berselisih untuk mengembalikan sudut pandang yang objektif.Menghindari

konflik juga memberikan waktu longgar untuk mencari informasi yang tepat

bagi terciptanya solusi jangka panjang.

Pendekatan kompromi merupakan metode tradisional dalam

mengatasi konflik antar kelompok. Dengan kompromi, tidak ada perbedaan

pihak yang menang dan pihak yang kalah.Kesepakatan yang dicapai

umumnya bukan kesepakatan ideal bagi kedua kelompok kompromi menjadi

sangat efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dapat dibagikan dengan

cukup adil.Kompromi adalah usaha untuk mencari jalan tengah. Umumnya

kompromi merupakan kerelaan berkorban lebih banyak dibanding

pendekatan yang lainnya.

Page 36: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

57

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kolaboratif dalam

menyelesaikan konflik atau masalah dengan pertimbangan hasil penelitian

Euwema et al (2003), dan Lather et al (2009) yang menegaskan bahwa

resolusi kolaboratif berhubungan dengan konflik tugas atau kognitif.

Pendekatan ini menempatkan pemimpin berada pada tingkat keasertifan dan

kerja sama yang tinggi. Artinya, sikap dan tindakan pimpinan yang utama

adalah mengoptimalakan hasil yang menguntungkan secara optimal.Tujuan

pendekatan kolaboratif untuk memenuhi dan memuaskan kedua belah pihak

dengan saling memahami permasalahan (Thomas & Kilman, 1977; Rahim,

2002; Slimani,2006). Selain itu, kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk

mencapai alternatif yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Secara

empiris pendekatan kolaborasi paling sering digunakan untuk menyelesaikan

konflik (Slimani, 2006) dengan alasan (a) mampu mendorong hubungan

interpersonal, (b) kekuatan kreatif untuk inovatif dan perbaikan, (c)

meningkatkan umpan balik dan aliran informasi, dan (d) mampu

mengembangkan iklim organisasi yang lebih terbuka, percaya, pengambilan

resiko dan perasaan baik terhadap integritas. Penggunaan kolaborasi dalam

menyelesaikan konflik dipandang mampu menciptakan solusi intergratif dan

tujuan kedua belah pihak sangat penting untuk dikompromikan. Tujuan dari

pihak-pihak yang terlibat konflik, untuk mempelajari lebih jauh dari

pandangan dari pihak lain, dan kedua belah pihak tidak mempunyai cukup

kekuasaan dan sumber-sumber untuk memaksakan kehendak demi mencapai

tujuan.

Pilihan resolusi kolaboratif pada pola manajemen grid yang

dikemukakan oleh Blake & Mouton (1997, dalam Griffin, 2002) dimana

perhatian terhadap tugas dan karyawan sama-sama tinggi.Pencapaian kinerja

diperoleh dari karyawan yang memiliki komitmen, saling ketergantungan

tugas untuk mencapai tujuan organisasi melalui hubungan yang saling

Page 37: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

58

percaya dan saling menghormati(Griffin, 2002; Salami, 2002). Berdasarkan

hasil penelitian terdahulu, diperoleh konsep pendukung resolusi kolaboratif

seperti pada Tabel berikut ini.

Tabel 2.3

Beberapa hasil penelitian pendukung konsep resolusi kolaboratif

No Penelitian (tahun) Dimensi teori/ konsep yang dikembangkan

1 Thomas &

Kliman (1977)

Mengembangkan gaya resolusi konflik

berdasarkan dua dimensi yaitu kerja sama sebagai

upaya untuk memuaskan orang lain jika

menghadapi konflik, dan keasertifan sebagai

upaya untuk memuaskan diri snediri jika

menghadapi konflik yaitu pendekatan

dominasi,akomodasi, kolaborasi, menghindar dan

kompromi.

2 Rahim (2000) Mengembangkan lima resolusi konflik:

integrating, obliging, dominating, avoiding, dan

compromising. Gaya integrating dikaitkan dengan

pemecahan masalah yang tepat, melibatkan

keterbukaan,bertukar informasi,mencari

informasi, mencari alternatif, dan pemeriksaan

perbedaan untuk mencapai solusi yang efektif dan

dapat diterima oleh kedua belah pihak.

3 Guerra(2004) Mengemukakan terdapat empat factor stimulasi

konflik pada posisi moderat:(a) mengalami

konflik(b) manajemen konflik,(c) hasil

konflik,dan (d) jenis konflik

4 Slimani (20060 Upaya penyelesaian masalah yang baik

membutuhkan kesediaan kedua kelompok untuk

bekerja sama mencari penyelesaian terpadu yang

dapat memuaskan kedua kelompok.

Sumber: Beberapa Hasil Penelitian

Secara empirik penelitian ini diawali dengan menganalisis hubungan

resolusi konflik substantif dan komitmen organisasi. Terdapat derivasi

konsep pada resolusi konfliksubstantif, karakteristik pekekerjaan, gaya

kepeimpinan, dan komitmen organisasi. Pada resolusi konflik substantif

derivasi menjadi resolusi kolaboratif, karakteristik pekerjaan derivasi

Page 38: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

59

menjadi otonomi tugas, gaya kepemimpinan menjadi kepemimpinan adaptif

integratif, komitmen organisasi derivasi menjadi komitmen afektif.

Pemilihan variabel resolusi kolaboratif dalam penelitian ini

didasarkan pada asumsi bahwa pendekatan kolaboratif dipandang relatif

ideal dalam penyelesaian konflik (Ivancevich, 2005). Pendekatan kolaborasi

disebut juga pendekatan penyelesaian masalah atau integrasi, berupa

penyelesaian konflik yang menekankan kepentingan kedua kelompok secara

maksimum (Robbins, 2008).

Upaya penyelesaian masalah yang baik membutuhkan kesediaan

kedua kelompok untuk bekerja sama mencari penyelesaian terpadu yang

dapat memuaskan kedua kelompok. Ketika pihak-pihak yang saling

bertentangan benar-benar berkolaborasi, kemungkinan akan mendapatkan

pemahaman, pengalaman, dan cara pandang baru yang dapat menciptakan

solusi-solusi yang berkualitas. Selain itu, komitmen untuk mencapai

efektifitas organisasi menjadi lebih tinggi karena kepentingan kedua belah

pihak ikut di pertimbangkan dalam usaha memecahkan masalah.

Secara empiris, pendekatan kolaborasi paling sering digunakan untuk

menyelesaiakn konflik (Slimani, 2006) dengan alasan (a) mampu mendorong

hubungan antara pribadi, (b) terdapat kekuatan kreatif untuk

mengembangkan inovasi dan perbaikan, (c) meningkatkan umpan balik dan

aliran informasi, dan (d) mampu mengembangkan iklim organisasi yang

lebih terbuka, saling percaya, pengambilan resiko, dan perasaan baik

terhadap integritas organisasi. Selain itu, penggunaan model kolaborasi

dalam penyelesaian konflik dipandang mampu menciptakan solusi integratif

dan tujuan kedua belah pihak yang mengalami konflik sangat pentinguntuk

dipertimbangkan dan dilaksanakan secara bersama-sama. Demikian juga

halnya dengan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat konflik adalah untuk

mempelajari lebih jauh pandangan dari pihak lain, dan kedua belah pihak

Page 39: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

60

mempunyai cukup kekuasaan dan sumber daya untuk menekan atau

memaksakan kehendak kepada salah satu pihak demi mencapai tujuan

tertentu. Hasil penelitian S.Martono (2012) studi empiris pada program studi

perguruan tinggi negri di jawa tengah memperkuat alasan bahwa konflik

tugas berpengaruh positif dengan resolusi substantif secara integratif/

kolaborasi.

Pemilihan gaya kepemimpinan yang berperan secara adaptif

integratif dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin yang

adaptif selalu mengenal peluang dan tantangan yang dipadukandengan

kekuatan internal (Lichtentein, 2006; Burke, 2007). Kepemimpinan adaptif

integratif tidak akan mengharapkan bawahan atau pengikutnya untuk

mengikuti keinginan pemimpin, tetapi kepemimpinan terjadi ketika pola

interaksi mewujudkan hasil adaptif. Pemimpin memberi tanggungjawab

kepada karyawan untuk menyelesaikan masalahnya, dan membiarkan

karyawan merasakan adanya tekanan ekternal, dan ketidak sepahaman antara

karyawan. Tugas pemimpin melindungi dan memberikan arahan kepada

pengelola konflik dan membentuk norma. Kepemimpinan adaptif integratif

lebih berfokus pada kemampuan beradaptasi dalam dunia serba cepat seperti

saat ini yang didominasi oleh perubahan (Owens &Valesky, 2007).

Yulk (2000) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan yang fleksibel

dan adaptif adalah penting untuk mencapai efektifitas organisasidan

memberikan bimbingan untuk manajer dalam organisasi yang dinamis dan

kompetitif saat ini.

Di lingkungan pasar modern, kemampuan adaptasi dengan

lingkungan global membutuhkan pemimpin yang juga sebagai pembimbing

dan pelayan, untuk tetap konsisten terhadap perubahan yang muncul dalam

lingkungan ekternal, sering membutuhkan respon cepat dari perusahaan yang

bergerak dibidang perdagangan. Gaya kepemimpinan adaptif integratif

Page 40: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

61

mendorong pemimpin memahami bahwa perubahan, kompleksitas, dan

ketidakpastian karakteristik dominan lingkungan saat ini menuntut pasar

moderen secara terus menerus melakukan adaptasi. Pedekatan

kepemimpimpinan adaptif memotivasi para pemimpin dan pengikutnya

mempelajari cara baru untuk melalui penempatan ide-ide baru yang penting

bagi kehidupan dan keberadaan pasar modern.

Kerja sama tim dapat dikatakan sebagi kelompok orang yang saling

bergantung, termotifasi dan memiliki komitmen untuk mencapi tujuan yang

disepakati bersama. Pembentukan tim dapat mencakup lintas fungsi

(Ivancevich, 2005; Hoegel, 2001), yaitu tim yang memilliki anggota dari

berbagai bagian/fungsi yang berbeda. Suatu organisasi dapat menigkatkan

perasaan memiliki, kepercayaan, dan kinerja dengan memanfatkan

ketrampilan, kompetensi, dan pengalaman individu bagian yang berbeda

(Ivancevich,2005; McHugh, 2007; Chan, 2001).

Dilingkungan pasar modern, setingkat supervisor, MD akan dibentuk

untuk menagani masalah-masalah khusus. Berbagai permasalahan seperti

penentuan jadwal kerja karyawan, pemanfaatan fasilitas computer,

penggunaan lift pada saat DO guna memenuhi kebutuhan area. Pelaksanaan

kegiatan diberbagai divisi akan sangat membutuhkan beberapa pramuniaga

untuk saling mengisi apabila ada kekurangan pada saat itu. Mengingat pada

saat tetentu berdasarkan musimnya. Sebagai pemimpin harus memahami saat

dan kondisi akan berpotensi banyaknya pengunjung brdasarkan foreceasting

mingguan antara Sabtu dan Minggu, hari libur, awal bulan, hari raya.

Dengan demikian, cukup beralasan diperlukan kerjasama sebagai tim dalam

melaksanakan kegiatan atau pekerjaan.

Dimensi kegiatan pengadaan barang, negosiasi diskon dengan

pemasok, input barang, luky drow merupakan kegiatan kolektif, yaitu

kegiatan yang melibatkan unsur, merchandise, senioritas dan operational,

Page 41: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

62

dan store manager. Masing-masing store tidak mampu menyelesaikan

pekrjaan sendiri tanpa bantuan dari divisi lain yaitu, administrasi atau

bantuan dari sales promotion girl (SPG) dan beauty advisor (BA). Intinya,

setiap kegiatan yang dilaksanakan selalu melibatkan pihak lain, baik dari

dalam maupun dari luar store. Tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan tugas

sangat ditentukan seberapa baiknya kerja sama dari para anggotanya.

2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1. Pengaruh Resolusi Konflik terhadap Kepuasan Kerja

Konfersi hasil Lambert et al (2007) yang meneliti tentang dampak

dari berbagai jenis konflik terhadap kepuasan kerja pegawai pelayan sosial di

Northwett Ohio, bahwa konflik kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan

kerja. Pengendalian konflik substantif dalam organisasi oleh pimpinan

diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja

adalah perasaan senang dan positif dari seseorang karyawan terhadap proses

dan kualitas kerjanya. Kepuasan dapat dirasakan oleh karyawan apabila

segala yang dilakukan sesuai dengan harapan, dengan kata lain kepuasan

dapat dirasakan jika segala yang dilakukan relatif sesuai dengan

keinginannya. Perbandingan harapan dan realita yang semakin tipis

menunjukan tingkat kepuasan seseorang.

Kepuasan seseorang dalam bekerja tidak selalu diukur dengan

finansial. Berbagai kebutuhan yang diinginkan tidak hanya berorientasi pada

materi. Persaiangan dalam melaksanakan tugas secara positif dapat

menciptakan kepuasan seseorang.Agar dapat bersaing mereka dituntut lebih

kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugas. Pekerjaan kreatif dan inovatif

dapat dilakukan apabila didukung peran dan kemampuan pimpinan dalam

mengelola organisasi.

Page 42: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

63

Berdasarkan telaah pustaka tersebut, maka hipotesis yang diajukan

adalah:

Hipotesis 1:

Dengan pengendalian konflik yang baik akan meningkatkan kepuasan

kerja

2.2.2. Pengaruh Resolusi Konflik terhadap Kepuasan Kerja dengan

Otonomi Tugas sebagai Variabel Moderating

Adanya pengendalian konflik substantif dalam organisasi oleh

pimpinan diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Namun ada faktor lain yang dapat memperkuat pengaruh resolusi konflik

terhadap kepuasan kerja. Salah satunya adalah factor otonomi tugas yang

diberikan pimpinan terhadap karyawan. Melalui otonomi tugas yang

diberikan, diharapkan karyawan mampu mengambil keputusan pada saat

karyawan tersebut menghadapi konflik-konflik yang diduga terjadi pada saat

bertugas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Patillo (2009)

yang menyatakan bahwa sebagian besar karyawan pada suatu saat akan

merasa bahwa tuntutan tugas, dan beban kerja yang berlebihan justru akan

berdampak kurang baik, namun dengan adanya otonomi tugas karyawan

dapat kebebasan dalam mengembangkan pola dan strategi dalam

menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Otonomi tugas didasari oleh

kreativitas, pengalaman dan inovasi dari masing-masing karyawan.

Sedangkan Naus (2007), dan Ahuja (2007) melihat otonomi tugas sebagai

derajat dimana pekerjaan menyediakan banyak kebebasan, kemerdekaan, dan

keleluasaan kepada individu dalam penjadwalan pekerjaan dan menentukan

perosedur yang digunakan dalam pelaksanakannya. Pendapat ini sejalan

dengan Rauh (2009), dan Kok-Yee Ng (2008) bahwa otonomi tugas merujuk

Page 43: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

64

kepada tindakan independen yang dilakukan oleh pemimpin atau tim yang

diarahkan untuk membawa usaha baru dan lebih melihat pada hasil kerja.

Berdasarkan telaah pustaka tersebut, maka hipotesis yang diajukan

adalah:

Hipotesis 2: Resolusi konflik yang baik akan meningkatkan kepuasan

kerja dengan otonomi tugas sebagai variabel moderating

2.2.3. Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja

Implementasi komitmen afektif anggota organisasi akan membentuk

kekuatan dari setiap kelompok dalam organisasi. Kekuatan ini dibangun

melalui sinergitas kompetensi yang saling melengkapi jika setiap anggota

organisasi merasa dibutuhkan dan memiliki kontribusi untuk kelompoknya,

maka mereka akan merasa puas dalam bekerja. Kepuasan kerja adalah sikap

terhadap pekerjaan dalam organisasi. Dengan demikian, kepuasan kerja

dapat dirasakan jika komitmen karyawan terhadap organisasi juga meningkat

dan pada akhirnya koflik substantif tidak lagi dianggap sebagai kondisi

negatif. Resolusi kolaboratif yang berbasis kepuasan kerja akan lebih mudah

diimplementasikan untuk meningkatkan komitmen organisasi.

Berkaitan dengan komitmen dan kepuasan kerja, Karadal et al (2008)

meneliti tentang hubungan komitmen organisasi dan kepuasan kerja di

sektor pemerintah dan swasta di Turki. Kepuasan dan komitmen organisasi

karyawan merupakan kriteria penting dalam kinerja organisasi. Hasil

penelitian Markovits (2007) mengatakan komitmen organisasi merupakan

variable yang mempengaruhi kepuasan kerja. Lebih lanjutan Huang (2007)

telah melakukan pengujian kedua variable tersebut dengan dua model.

Pertama hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Terdapat

hubunagan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi ( beta

= 0,368, t-value = 3.200). kedua hubungan antara komitmen organisasi dan

Page 44: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

65

kepuasan kerja (beta = 0368, t-value = 5.093). Hasil penelitian lain yang

menjelaskan bahwa komitmen organisasi berpengaruh kepuasan kerja

(Walumbwa, 2003; Castro, 2008; Harrison, 1998). Kesadaran untuk tetap

loyal pada organisasi dan adanya keinginan untuk selalu terikat dengan

organisasi dan membuat sesorang merasa tenang dalam bekerja dan pada

akhirnya akan tetap bersemangat dalam menjalankan aktivitasnya. Studi

empris dapat dilihat pada table berikut ini.

Table 2.4

Beberapa rangkuman studi empiris tentang hubungan komitmen dan

kepuasan kerja

No Peneliti Metode Hasil

1. Markovits, Jannnis,

Ann J. Davis, Rolf

van Dick. 2007)

Analisis

regresi

berganda

Komitmen mempengaruhi

kepuasan kerja. Untuk komitmen

afektif(0,42), komitmen

kontinuen (0,04), dan komitmen

normatif (0,36)

2 Tung- Chung

Huang and Wan-

Jung Hsiau (2007)

Structural

Equation

Modeling

Terdapat hubungan positif antara

komitmen organisasi dan

kepuasan kerja( beta = 0,368, t-

value = 5,093).

3 Yongsung Paik, K.

Praveen

Parboteeaah and

Wonshul Shim

(2007)

Analisis

Regresi

Berganda

Komitmen afektif berpengaruh

terhadap kepuasan kerja.

Sumber : Dikembangkan untuk tesis ini.

Pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja didasarkan

pada perilaku dan budaya organisasi yang telah diteliti oleh Bateman &

Strasser (1994), Mathieu & Zajac (1990), Cullen et al (2002), dan Alle &

Meyer (1990) dan Yongsun Paik et al(2007). Menurut pandangan teori ini,

seseorang yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi karena

memiliki kesamaan dengan nilai-nilai organisasi yang tercermin dalam

budaya organisasi. Keterkaitan terhadap organisasi akan menghasilkan

Page 45: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

66

kepuasan kerja. Hubungan ini didasarkan bahwa seseorang dapat

mengembangkan komitmen pada saat masuk dan selama mereka berada

dalam organisasi. Argumentasi untuk model ini juga mengadopsi untuk

perspektif disonansi kognitif (Huang & Hsiao, 2007). Setelah seseorang

berkomitmen untuk organisasi, mereka akan mengembangkan tingkat

kepuasan yang konsisten dengan komitmennya untuk mengurangi disonansi

kognitif (Poznanski & Bline, 1997; Lund, 2003).

Hubungan antara komitmen dan kepuasan kerja dapat juga dijelaskan

dengan teori motivasi-kepuasan dari Porter- Lawler (1968), bahwa terdapat

dua karakteristik dari proses pelaksanaan tugas yaitu (1) nilai balas jasa

intrinsik yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan sangat dirasakan oleh

seseorang akan menghasilkan kepuasan, (2) tingkat dimana seseorang secara

efektif menyelesaikan tugas ditentukan oleh persepsi individu tentang apa

yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas dan kemampuan

sesungguhnya dari seseorang untuk melaksanakan tugas. Menurut Porter-

Lawler, dimensi kepuasan ditentukan oleh kemampuan dan bakat, persepsi

terhadap kemungkinan penghargaan yang diterima seseorang dalam

organisasi.

Berdasarkan telaah pustaka dan beberapa hasil penelitian tersebut,

maka hipotesis yang diajukan sebagai berikut.

Hipotesis 3: Tingkat komitmen dan efektivitas organissasi yang tinggi

akan meningkatkan kepuasan kerja

2.2.4. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja

dengan Otonomi Tugas sebagai Variabel Moderating

Pada dasarnya semua organisasi atau perusahaan selalu

mengharapkan karyawannya untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap

organsiasi atau perusahaan. Hal ini erat kaitannya dengan kinerja organisasi.

Page 46: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

67

Sebab dengan kesetiaan yang dimiliki oleh karyawan dan sangat berdampak

kepada kinerja organisasi. Mowday (1982) mendefinisikan komitmen

organisasi suatu keinginan yang kuat agar tetap menjadi anggota organisasi,

suatu keyakinan, penerimaan, nilai dan tujuan pada organisasi tertentu.

Adanya komitmen organisasi, selain berpengaruh terhadap kinerja

organisasi, diharapkan memiliki pengaruh yang positif pula terhadap

karyawannya. Salah satu pengaruhnya yaitu kepuasan kerja karyawan yang

meningkat. Namun selain komitmen organisasi yang tinggi, ada faktor lain

yang diduga dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Salah satunya

adalah otonomi tugas. Otonomi tugas diharapkan dapat menjadi variabel

yang mendukung pengaruh komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja

karyawan. Sebab, otonomi tugas merupakan kondisi sampai sejauh mana

pekerjaan memberikan kebebasan substansial yang berkaitan dengan seberapa

banyak kebebasan dan kendali yang dimiliki karyawan, sepeti menyusun jadwal,

membuat keputusan, atau menentukan peralatan kerja (Piccolo & Colquitt, 2006).

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang mendukung:

Table 2.5

Studi terdahulu tentang pengaruh otonomi tugas dan kepuasan kerja

No Peneliti Metode Hasil

1 Nazim Ali & Qadar

Bakhsh baloch

(2010)

Regresi Ganda Keadilan prosedural,

otonomi, dan komitmen

afektif berpengaruh positif

terhadap kepuasan kerja

2 Yoseph Man Chan,

Zhongdang Pan, &

Francis L F Lee

(2004)

Regresi Ganda Otonomi tugas berhubungan

positif terhadap kepuasan

kerja (0.356)

3 Adrian Thomas,

Walter C. Buboltz,

And Cristhoper S.

Winkelspecht. (2004)

Regresi Ganda

(bertingkat)

Otonomi tugas mempunyai

pengaruh yang peling besar

dari kharakteristik pekerjaan

terhadap kepuasan kerja

4 David J. Prottas &

Chintia A.

Thompson. 2006)

Multivariate

analysis

Otonomi tugas berpengaruh

terhadap kepuasan kerja

Sumber: Dikembangkan untuk tesis

Page 47: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

68

Berdasarkan telaah pustaka tersebut, maka hipotesis yang diajukan

adalah:

Hipotesis 4: Tingkat komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan

kepuasan kerja dengan otonomi tugas sebagai variabel

moderating

Page 48: BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Konsep dan Definisi Konsep …...pada individu yang saling berhubungan tugas, berhubungan tujuan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi (Stoner, 2000).

69

2.3.Kerangka pemikiran

Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian awal,

selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan menjadi kerangka

bagi pemecahan masalah yang diajukan pada penelitian

Gambar : 2.3

Kerangka Pemikiran Teoritis

Variabel moderating adalah variable yang selain bisa memperkuat

hubungan antar variabel, dilain pihak juga bisa memperlemah hubungan

antara satu atau beberapa variable dependen (Yanuar S Putra, 2010). Lebih

lanjut, variable moderator memiliki kontribusi yang signifikan terhadap

kemampuan variable dependen.

H3

H2

H1 Resolusi

Konflik Kepuasan Kerja

Komitmen

Organisasi

Otonomi Tugas

H 4