BAB II KAJIAN PUSTAKA · pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA · pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap...
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah aktivitas yang terjadi sebagai akibat dari kontraksi otot
dengan menggunakan energi secara proporsional, yang sangat erat kaitannya dengan
kebugaran fisik. Aktivitas fisik menyangkut sistem lokomotorik untuk menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut dilakukan dengan tujuan dan
aturan tertentu secara sistematis seperti adanya aturan waktu, target latihan, jumlah
pengulangan, dan lain-lain. Ditambahkan juga aktivitas fisik yang dilakukan secara
bertahap melalui suatu persiapan untuk mencapai penampilan puncaknya, disebut
pelatihan (Bompa dan Haff, 2009). Pelatihan adalah aktivitas fisik yang dilakukan
secara sistematik dan berulang-ulang dalam waktu lama dengan peningkatan
pembebanan secara progresif dan individual, bertujuan untuk memperbaiki fungsi
tubuh agar saat kompetisi mencapai kemampuan yang optimal (Ananto, 2000).
Selanjutnya Nala (2011) menyatakan, pelatihan fisik merupakan gerakan fisik
dan atau aktivitas mental secara sistimatik dan berulang-ulang (repetitif), dalam waktu
(durasi) lama dengan pembebanan meningkat secara progresif dan individual yang
bertujuan untuk memperbaiki fisiologis dan psikologis tubuh agar pada saat latihan
dapat mencapai penampilan yang optimal. Sistematis merupakan cara pelatihan yang
teratur dan terencana. Repetitif adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang
lebih dari satu kali gerakan. Durasi merupakan lamanya aktivitas yang dilakukan dalam
satu sesi, termasuk pemanasan, latihan inti, istirahat dan pendinginan. Progresif adalah
penambahan atau peningkatan beban pelatihan secara bertahap, yang diawali dengan
menggunakan beban ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan atlet yang bersangktan dan. Individual adalah peningkatan pembebanan
yang disesuaikan dengan kemampuan atlet yang dilatih, di mana pemberian beban tidak
dapat disamakan antara atlet satu dengan yang lainnya walaupun berada pada cabang
olahraga yang sama.
2
Kementrian Pelajaran Malaysia (2010) mengatakan, pelatihan fisik mempunyai
lima prinsip yaitu: prinsip pembebanan berlebih, prinsip individual, prinsip
spesialisasi/kekhususan, prinsip berkesinambungan, dan prinsip variasi. Nala (2011)
berpendapat, pelatihan mempunyai beberapa prinsip di antaranya adalah: prinsip aktif
dan bersungguh-sungguh, prinsip pengembangan multilateral, prinsip spesialisasi,
prinsip individualisasi, prinsip variasi atau keserbaragaman, prinsip penggunaan model
dalam pelatihan, dan prinsip peningkatan beban secara progresif.
Aktivitas fisik sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia sehari hari, di
mana manusia sebagai makluk sosial perlu aktivitas. Tujuan dari aktivitas fisik
dipisahkan menjadi tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang pada intinya
adalah untuk menurunkan berat badan dan glukose darah (Barnes, 2012). Aktivitas fisik
mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi tubuh, baik secara sementara maupun
secara menetap (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009). Aktivitas fisik secara teratur dalam
waktu kurang lebih 30 menit dapat menurunkan tekanan darah dan denyut nadi istirahat
(Divine, 2012). Peningkatan jumlah aktivitas fisik bermanfaat terhadap penurunan
risiko penyakit jantung (Durstine, 2012). Aktivitas fisik juga meningkatkan konsumsi
oksigen yang akan mencapai keadaan maksimal yang dikenal dengan konsumsi oksigen
maksimal (VO2-Max). Keadaan ini dibatasi oleh sistem respirasi, kardiak output, dan
kemampuan otot untuk berkontraksi (Bompa dan Haff, 2009).
Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan terprogram secara akut dapat
meningkatkan frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, dan suhu
tubuh. Di samping itu secara kronis juga dapat meningkatkan massa otot dan massa
tulang, pertahanan antioksidan dan penurunan frekuensi denyut nadi istirahat (Kuntaraf
dan Kuntaraf, 2009).
Akibat dari aktivitas fisik yang diberikan, seseorang akan mengalami
peningkatan kemampuan fungsionalnya. Peningkatan ini dapat berupa berbagai
keadaan yang menyangkut 10 komponen biomotorik (Kementrian Pelajaran Malaysia,
3
2010), yaitu: daya tahan, kekuatan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan,
ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi.
1. Daya tahan (endurance) menyangkut daya tahan umum dan daya tahan otot. Daya
tahan umum atau daya tahan respirasi-kardiovaskular adalah kemampuan tubuh
untuk melakukan aktivitas dalam waktu lama yaitu lebih dari 10 menit tanpa
kelelahan yang berarti. Daya tahan otot adalah kemampuan otot skeletal untuk
melakukan kontraksi berulang-ulang dalam waktu yang lama.
2. Kekuatan (strength) adalah kemampuan otot skeletal untuk melakukan gerakan
kontraksi atau tegangan maksimal dalam menerima pembebanan waktu
melakukan aktivitas fisik.
3. Daya ledak (explosive strength) adalah kemampuan untuk melakukan gerakan
atau aktivitas secara cepat dengan menggunakan seluruh kekuatan otot dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
4. Kecepatan (speed) kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan berulang-ulang
yang sama dan berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
5. Kelentukan (flexibility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk
melakukan penjuluran ke daerah tertentu atau menempuh beberapa sendi seluas-
luasnya.
6. Kelincahan (agility) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh untuk
mengubah arah gerakan secara mendadak atau tiba-tiba dalam kecepatan yang
setinggi-tingginya.
7. Ketepatan (accuracy) adalah kemampuan tubuh untuk melakukan atau
mengemdalikan gerakan menuju ke suatu sasaran tertentu.
8. Waktu reaksi (Reaction time) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh
untuk melakukan reaksi secepat-cepatnya ketika adanya rangsangan, baik
mengenai rangsangan somatik, kinestetik, maupun rangsangan vestibular.
4
9. Keseimbangan (balance) adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan sikap
dan posisinya dari berbagai keadaan sehingga tubuh tetap dalam keadaan stabil
dan terkendali.
10. Koordinasi (coordination) adalah kemampuan tubuh atau anggota gerak tubuh
untuk mengkoordinasikan berbagai gerakan yang berlainan menjadikan suatu
gerakan yang tunggal, harmonis, dan efektif.
2.2 Lingkungan Olahraga
Lingkungan olahraga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam
berolahraga. Lingkungan olahraga menyangkut: suhu lingkungan, kelembaban relatif,
ketinggian tempat dari permukaan laut, dan lain-lain (Birch dkk., 2005; Powers dan
Howley, 2009). Menurut Giriwijoyo (2007), pengaruh lingkungan terdiri dari suhu
lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan kecepatan angin.
Lingkungan dalam olahraga terdiri dari lingkungan fisik, biologis, kimia, dan
lingkungan sosial. Untuk dapat beraktivitas secara optimal, aspek lingkungan harus
diperhatikan dan diperkenalkan kepada atlet sehingga terbiasa bekerja dalam
lingkungan tersebut (Adiputra, 2010).
Dalam suatu aktivitas fisik, keadaan lingkungan ini dapat dioptimalkan dengan
aklimatisasi terhadap lingkungan baru yang bertujuan untuk melatih dan membiasakan
tubuh terhadap lingkungan tersebut (Giriwijoyo, 2007).
Suhu adalah suatu keadaan panas dinginnya sesuatu yang dinyatakan dengan
thermometer (Muda, 2008). Suhu merupakan bentuk energi yang bisa berpindah dari
suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih redah (Gabriel, 2013). Suhu lingkungan
adalah tingkat panasnya udara di suatu tempat yang dinyatakan dalam derajat celcius
(oC) (Kanginan, 2000). Latihan pada lingkungan panas perlu memperhatikan berbagai
hal, di antaranya adalah faktor lingkungan, pengaruh tekanan panas, dan aklimatisasi
pada lingkungan olahraga.
5
2.2.1 Faktor Lingkungan yang Harus Diperhatikan
Ada dua hal yang harus diperhatikan terhadap faktor lingkungan yang
menyangkut karakteristik lingkungan dan karakteristik indipidu.
a). Karakteristik lingkungan
Kondisi lingkungan yang panas dan kering seperti di padang pasir ditandai oleh
suhu udara yang tinggi dengan kelembaban relatif udara yang rendah dan radiasi
matahari yang tinggi. Dalam keadaan ini, pembuangan panas melalui radiasi, konduksi
dan konveksi menjadi sulit, tetapi udara yang kering memudahkan penguapan keringat
(Kanginan, 2000). Kondisi panas dan lembab atau kondisi tropis, suhu lingkungan
tinggi dan kelembaban udara tinggi, pembuangan panas melalui evaporasi keringat
menjadi kurang efektif dan keringat menetes dari kulit tanpa menguap (FPOK, 2010b).
Skala yang dipakai untuk menilai tingkat kenyamanan lingkungan adalah index
wet bulb-globe-temperature (WBGT). Indeks WBGT ini merupakan gabungan dari
dampak radiasi matahari dan bumi, suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, dan
kecepatan angin. Index WBGT (di luar ruangan) = 0.7 X suhu bola basah + 0.2 X suhu
bola hitam + 0.1 X suhu bola kering. Indeks yang sederhana ini penting untuk menilai
jumlah dan tingkat latihan yang dapat dilakukan dalam kondisi panas untuk
keselamatan atlet. Pada saat, dianjurkan untuk berhati-hati bila index WBGT mencapai
25 oC, dan olahraga dianggap tidak aman bila index WBGT mencapai 28
oC bagi yang
tidak terlatih atau belum beraklimatisasi. Untuk kegiatan dengan tingkat aktivitas yang
tinggi seperti lari jarak jauh diharapkan tidak dilakukan bila index WBGT > 28 o
C
(Giriwijoyo, 2007).
Faktor lain yang mempengaruhi kehilangan panas tubuh adalah kecepatan
hembusan angin dan faktor air (Kusnanik dkk, 2011). Kecepatan hembusan angin yang
lebih tinggi menyebabkan peningkatan pembekuan jaringan. Cuaca dingin saja tidak
terlalu membebani sistem pengaturan panas tubuh, akan tetapi lebih tinggi
pembebanannya apabila cuaca dingin ditambah dengan kecepatan angin yang tinggi.
Air mempunyai daya antar panas 26 kali lebih tinggi dari udara, yang berarti bahwa
6
kehilangan panas tubuh di air 26 kali lebih cepat dibandingkan dengan di udara. Akan
tetapi transfer panas tubuh pada temperatur yang sama di dalam air empat kali lebih
cepat dibandingkan dengan di udara.
b). Karakteristik individu
Karakteristik individu menyangkut bentuk tubuh, komposisi tubuh, umur, dan
jenis kelamin. Bentuk tubuh yang umum dipergunakan dalam penelitian mengenai
toleransi panas adalah rasio luas permukaan tubuh terhadap massa tubuh (LPT/MT).
Anak usia pubertas mempunyai rasio sampai 50% lebih besar daripada laki-laki
dewasa, sedangkan wanita, nilai itu dapat mencapai 10% lebih besar. Mereka yang
mempunyai bentuk tubuh ramping (ectomorph) mempunayi rasio lebih tinggi dari pada
yang berotot (mesomorph) apalagi dengan yang gemuk (endomorph). Bila berolahraga
dengan beban yang sama, orang yang lebih besar akan membentuk panas lebih tinggi
dari pada yang lebih ramping per satuan luas permukaan tubuhnya. Oleh karena itu
pada kondisi yang panas dan lembab, orang yang lebih besar akan menimbun panas
sedangkan yang lebih kecil dapat dengan mudah mempertahankan keseimbangan
panas. Pada panas lingkungan yang ekstrim, orang dengan rasio LPT/MT yang lebih
tinggi akan membentuk panas yang lebih sedikit daripada yang mempunyai rasio
LPT/MT yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena produksi panas yang rendah dan
pembuangan panas yang lebih baik pada semua cara (FPOK, 2010b).
Komposisi tubuh. Respon ini dikaitkan pada sejumlah faktor yaitu: rasio
LPT/MT orang kurus lebih tinggi, panas jenis jaringan lemak jauh lebih rendah dari
pada jaringan tanpa lemak. Dengan demikian muatan panas per satuan massa tubuh
lebih meningkatkan suhu tubuh pada orang gemuk dari pada orang kurus. Kemampuan
yang diberikan terhadap panas pada orang gemuk akan lebih besar (Gabriel, 2012).
Umur. Apabila berolahraga di tempat panas, orang yang lebih tua menunjukkan
suhu rektal yang lebih tinggi dari pada orang muda; perbedaan ini menjadi lebih besar
pada stress iklim yang lebih tinggi dan meningkatnya durasi pemaparan. FPOK (2010a)
melaporkan, bahwa laki-laki umur 20 - 30 tahun dapat menguapkan keringat lebih
7
banyak per derajat peningkatan suhu rektal dan mempunyai suhu kulit yang lebih
rendah daripada orang tua umur 45 - 70 tahun. Hal ini disebabkan karena pengeluaran
keringat pada orang muda terjadi lebih awal sehingga aliran darah ke kulit berkurang.
Jenis kelamin. Wanita kurang toleran untuk berolahraga pada tempat panas oleh
karena tingkat pengeluaran keringatnya yang lebih rendah. Akan tetapi wanita
mempunyai keuntungan karena cairan tubuh lebih dihemat (Cameron dkk., 2012).
2.2.2 Pengaruh Paparan Panas
Tekanan panas yang mengenai tubuh dapat mengakibatkan permasalahan
kesehatan hingga kematian. Kematian para atlet yang disebabkan karena latihan atau
pertandingan ditempat panas dan lembab disebabkan karena sistem mekanisme
pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap perubahan
cuaca, sehingga diperlukanlah adaptasi dalam waktu yang pendek dan adaptasi dalam
waktu yang lebih lama, beberapa bulan, beberapa tahun atau disebut dengan
aklimatisasi (Kusnanik dkk., 2011).
Ada beberapa kelainan patologi tubuh yang diakibatkan oleh suhu dan
kelembaban relatif yang tinggi di antaranya adalah (Arief, 2012)
1. Heat syncope (pingsan panas) adalah ganggunan induksi panas yang serius. Ciri
dari gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berolahraga dalam
lingkungan panas dan lembab dalam waktu yang lama. Kejadian ini timbul
dengan adanya vasodilatasi sistemik berlebihan. Penanggulangannya adalah
pendinginan dan diberikan minum air dingin dengan suhu antara 5-10 o
C.
Pendinginan ini akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah
dan akhirnya akan menjadi normal.
2. Heat cramp (kejang panas). Gejala kelinan ini adalah rasa nyeri dan kejang
pada kaki, tangan, dan perut dan ditandai dengan pengeluaran keringat yang
banyak. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama
melakukan olahraga yang berat di lingkungan yang panas dan lembab. Olahraga
8
dalam waktu lama, mengeluarkan banyak garam yang keluar bersamaan dengan
keringat yang hanya diganti dengan air putih.
3. Heat exhaustion (kelelahan panas) merupakan reaksi tubuh terhadap terpaan
panas dalam waktu yang lama (dapat berjam-jam atau berhari-hari) yang
diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh atau volume darah. Kondisi ini
terjadi jika jumlah keringat yang dikeluarkan melebihi air yang diminum selama
terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah,
pening, mual, pernapasan pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh
berkisar antara 37 - 40 oC.
4. Heat stroke (kegawatan panas) adalah penyakit gangguan panas yang
mengancam nyawa yang berkaitan dengan olahraga pada lingkungan yang
panas dan lembab. Kelainan ini dapat menyebabkan koma dan kematian.
Gejalanya adalah detak jantung cepat, suhu tubuh sekitar 40 o
C atau lebih, kulit
kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh
korban, pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan dan pingsan.
Kelainan yang diakibatkan oleh stres panas ini disebabkan karena naik
turunnya suhu inti tubuh. Bila berubah naik turun 2 oC dapat mengakibatkan gangguan
pada fungsi tubuh. Pada saat olahraga temperatur tubuh dapat mencapai 40 o
C yang
menyebabkan meningkatkan metabolisme pada otot. Akan tetapi suhu inti tubuh yang
tinggi, akan mempengaruhi sistem saraf oleh hipotalamus yang menghambat pelepasan
panas tubuh (Ganong, 2012; Guyton dan Hall, 2012).
2.2.3 Aklimatisasi pada Lingkungan Olahraga
Aklimatisasi adalah adaptasi fisiologis terhadap sifat-sifat alamiah lingkungan
yaitu penyesuaian fungsi tubuh terhadap lingkungan yang baru yang berbeda dengan
kawasan hunian sebelumnya. Toleransi terhadap paparan panas dan lembab meningkat
dengan aklimatisasi sehingga diperlukan cukup waktu apabila seseorang melakukan
olahraga di tempat panas dan lembab, setelah bermukim di tempat dingin. Proses ini
meningkatkan respons sirkulasi dan pengeluaran keringat yang memfasilitasi
9
pembuangan panas dan menurunkan suhu tubuh. Perbaikan kapasitas berkeringat dan
kemampuan berkeringat disertai dengan distribusi keringat yang lebih merata pada
permukaan tubuh. Mekanisme ini meningkatkan perbedaan suhu antara inti tubuh
dengan bagian perifernya. Dengan demikian pembuangan panas meningkat dengan
aliran darah lebih sedikit ke kulit (Silverthorn, 2004).
. Suhu dan kelembaban relatif yang lebih tinggi mempercepat perubahan fungsi
tubuh ke arah yang merugikan, sehingga orang yang belum teraklimatisasi dengan
lingkungan baru, dapat mempercepat bahaya. Oleh karena itu, aklimatisasi terhadap
lingkungan khususnya panas dan lembab perlu diperhatikan agar keadaan patologis
dapat dihindari (Giriwijoyo, 2007). Pengaturan suhu tubuh penting untuk
mempertahankan homeostasis yaitu pemeliharaan kondisi cairan tubuh agar tubuh
berfungsi dengan baik dalam aspek fisik maipun psikis (Guyton dan Hall, 2012).
Bersamaan dengan itu aliran darah yang lebih lancar dalam otot selama berolahraga
memungkinkan penyediaan energi secara aerobik. Dengan demikian orang yang telah
beraklimatisasi, selama olahraga yang intensif menurunkan pembentukan panas dan
durasipun dapat ditingkatkan.
Pendinginan melalui evaporasi terhambat oleh pakaian yang digunakan.
Meningkatnya kelembaban antara kulit dan pakaian, akan meningkatkan suhu kulit
disertai peningkatan pengeluaran keringat. Peningkatan suhu kulit pada bagian tubuh
yang ditutupi pakaian akan terjadi, diikuti kenaikan suhu rektal, pengeluaran keringat
meningkat, dan denyut nadi meningkat. Penurunan suhu rektal akan dipercepat bila
menggunakan pakaian kaos dari bahan jaring ikat (FPOK, 2010b).
Penggantian cairan yang hilang perlu dilakukan apabila volume cairan tubuh
berkurang secara signifikan oleh karena dehidrasi atau bila aliran darah ke otot harus
dibagi ke kulit seperti pada olahraga di tempat panas dan lembab, maka kerja fisik daya
tahan, dan pengaturan suhu menjadi terganggu. Menurunnya penampilan terlihat
setelah dehidrasi mencapai 2% dari berat badan. Pada tingkat dehidrasi yang lebih
tinggi, akan terjadi penurunan penampilan daya tahan secara dramatis. Penggantian
10
cairan cukup 40-50% dari cairan yang hilang sudah cukup untuk mengurangi resiko
overheating dan gangguan penampilan daya tahan. Hal ini disebabkan karena tubuh
membentuk air selama olahraga (McArdle dkk., 2010).
Keringat mengandung berbagai elektrolit seperti Na dan Cl tetapi dalam kadar
yang sangat rendah yaitu sepertiga dari kadarnya di dalam plasma darah. Pada orang
yang terlatih, kadar garam keringat lebih rendah dan kadarnya meningkat pada olahraga
berat bila keringatnya lebih banyak. Oleh karena tubuh kehilangan lebih banyak air
dibandingkan elektrolit selama latihan, maka cairan tubuh menjadi lebih pekat dan
mengganti air sangat diharapkan (FPOK, 2010b).
2.3 Kelembaban Udara
2.3.1 Pengertian Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah suatu besaran yang menunjukkan kandungan uap air
di dalam udara, yang merupakan bagian dari komponen iklim. Kelembaban udara ini
mempunyai pengaruh terhadap cuaca lingkungan. Ketika udara mengandung banyak
uap air, maka dikatakan udara tersebut mempunyai kelembaban yang tinggi (Kanginan,
2000). Kelembaban udara adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara yang
dinyatakan dalam gram per meter kubik atau dapat juga dinyatakan dalam persen.
Kelembaban udara secara bersamaan dengan suhu udara, kecepatan angin, dan radiasi
panas mempengaruhi tubuh dalam menerima panas dari lingkungan atau membuang
panas ke lingkungan (Uhud dkk., 2008).
Kelembaban udara ada dua macam yaitu kelembaban mutlak dan kelembaban
relatif. Kelembaban mutlak (absolute humidity) adalah banyaknya uap air yang
terkandung dalam satu meter kubik (m3) udara. Kelembaban ini dinyatakan dalam gram
per meter kubik (g/m3). Kelembaban relatif (relative humidity) adalah bilangan persen
yang menunjukkan perbandingan antara massa uap air yang berada dalam udara dan
massa uap air yang terkandung dalam udara jenuh pada tekanan dan suhu yang sama
(Bradshow, 2006). Kelembaban relatif udara biasa disebut dengan kelembaban udara
(Kanginan, 2000).
11
RH = m/mj X 100%.
di mana:
RH = kelembaban relatif
m = massa uap air udara
mj = massa uap air udara jenuh.
Kelembaban relatif meningkat apabila kandungan uap air atmosfer meningkat
ditambah dengan meningkatnya permukaan air terbuka, seperti: laut, sungai, danau, dan
permukaan air lainnya. Kelembaban udara juga berubah berbanding terbalik dengan
perubahan suhu udara, yaitu ketika udara didinginkan maka kandungan uap air akan
meningkat dan bila udara dipanaskan maka kandungan uap air akan menurun.
Pendinginan udara lebih lanjut sampai lebih kecil dari 5 oC, menyebabkan terjadinya
kelebihan uap air dalam udara dan akhirnya akan mengembun. pengembunan
menyebabkan uap air dalam udara berkurang. Hal ini sering terjadi di daerah kutub
dengan suhu udara di bawah 0oC tetapi mempunyai kelembaban relatif udara yang
sangat rendah (Kanginan, 2000).
2.3.2 Alat Ukur Kelembaban Udara
Untuk mengukur kelembaban relatif udara umumnya digunakan psikrometer
yang disebut dengan sling psychrometer (Suma’mur, 2014). Alat ini terdiri dari dua
buah termometer yaitu termometer bola basah dan termometer bola kering yang
dikemas dalam satu alat. Termometer kering mengukur suhu udara lingkungan dan
termometer basah mengukur suhu pada kapas yang dibasahi dengan air. Kepala
termometer basah ini dikipasi dengan cara memutar tombol kipas. Pengipasan ini
bertujuan untuk mempercepat penguapan (Umar, 2010). Kecepatan angin yang dipakai
dalam termometer basah ini berkisar antara 2 m/dt sampai dengan 5 m/dt (meter per
detik) (Japanes Industrial Standard dalam Tristomo, 2007). Kelembaban relatif udara
dapat ditentukan dengan menggunakan tabel, yaitu dengan mencari pertemuan antara
suhu bola basah dengan selisih antara suhu bola kering dengan suhu bola basah. Alat
ukur kelembaban yang lain adalah higrometer. Higrometer terdiri dari higrometer
12
analog dan hidrometer digital. Higrometer analog digunakan untuk mengukur
kelembaban relatif udara dengan menggunakan pembacaan jarum penunjuk sedangkan
higrometer digital menggunakan penunjuk angka (Sigar, 2010).
2.3.3 Pengaturan Kelembaban Udara
Di daerah tropis seperti Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa yaitu
antara 6o lintang utara dan 11
o lintang selatan dengan suhu udara yang tinggi dan
kelembaban yang tinggi (Rosa dkk., 2010). Kondisi udara seperti ini sangat tidak cocok
untuk olahraga atau latihan fisik dalam ruangan tertutup. Hal ini akan diperberat oleh
jumlah penonton yang memenuhi kapasitas ruangan, sehingga peningkatan temperatur
dan kelembaban udara akan terjadi (Giriwijoyo, 2007).
Peningkatan kelembaban relatif udara dapat menimbulkan masalah terhadap
lingkungan sekitar, baik pada manusia, organisme maupun peralatan yang ada di
dalamnya. Terhadap manusia kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan
tekanan fisiologis berupa ketidaknyamanan dan dapat mengganggu kesehatan,
sedangkan terhadap lingkungan menyebabkan percepatan pertumbuhan organisme
seperti jamur dan spora serta dapat mempercepat mengkaratnya logam (Muchamad,
2006; Gabriel, 2013). Kelembaban relatif udara yang tinggi dapat menyebabkan
meningkatnya pengeluaran keringat sehingga akan meningkatkan penurunan cairan
tubuh yang berefek terhadap peningkatan beban kardiovaskular (Fajrin dkk., 2014).
Selanjutnya Megasari dan Juniani (2010) menyatakan, kelembaban relatif yang tinggi
merupakan beban bagi tubuh ditambah dengan meningkatnya beban kerja fisik. Kondisi
ini dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesehatan dan stamina.
Oleh karena itu kelembaban udara dalam ruangan yang dipakai untuk latihan
fisik perlu diatur pada kondisi nyaman. Menurut Menkes (2011), kelembaban relatif
yang nyaman untuk beraktifitas di dalam ruangan adalah berkisar antara 40 - 60%.
Untuk mendapatkan kelembaban udara di dalam ruangan sebesar itu maka perlu
dilakukan pengkondisian udara buatan yaitu dengan menggunakan air conditioning
(AC). Menurut Rosa dkk. (2010), orang yang berada dalam ruangan dibutuhkan suhu
13
udara dan kelembaban relatif udara yang benar sehingga merasa nyaman dan sehat.
Oleh karena itu, perlu pengkondisian udara sesuai standar yang telah ditetapkan. AC
berperan untuk mengatur suhu, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin sesuai
dengan yang diinginkan. Di samping itu AC juga menjadikan udara bersih dari debu,
melindungi peralatan, serta memberikan kenyamanan sehingga meningkatkan
produktivitas kerja dalam ruangan (Eddy, 2004).
Untuk menurunkan kelembaban relatif udara, dapat dilakukan dengan cara
menggunakan dehumidifier. Dehumidifier adalah proses yang dilakukan dengan
melewatkan udara pada alat desiccant yang berfungsi sebagai penyerap uap air dengan
menggunakan silica gel sehingga uap air yang berada dapam udara akan menerun
(Brundrett dalam Mucchammad, 2006).
Pengkondisian udara pada AC dilakukan dengan evaporator yang berada pada
bagian alat dalam ruangan (in-door). Apabila AC diaktifkan, maka kompresor bekerja
dan mengalirkan zat pendingin (refrigerant) ke evaporator. Evaporator didinginkan
oleh refrigerant dengan bantuan blower. Udara yang melewati evaporator, uap airnya
akan diembunkan pada sirip evaporator dan disalurkan keluar lewat pipa. Pengembunan
udara ini menyebabkan uap air udara dalam ruangan menjadi berkurang atau
kelembabannya menurun (Anonim, 2008).
2.3.4 Pengaruh Kelembaban Relatif Udara
Kelembaban relatif udara sangat penting diperhatikan mengingat kelembaban
ini sangat berpengaruh terhadap proses industri, kelangsungan hidup organisme, dan
kesehatan. Dalam industri pengawetan dan pemrosesan makanan atau minuman seperti
roti dan jenis kue membutuhkan kelembaban relatif antara 40 - 80%, penyimpanan alat-
alat listrik membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 70%, sedangkan industri
farmasi membutuhkan kelembaban relatif antara 15 - 50% (Carrier Air Conditioning
Company dalam Muchammad, 2006).
Olahraga dalam ruangan tertutup seperti olahraga bulutangkis, bola voli, tenis
meja, dan lain-lain kelembaban relatif udara sangat tinggi perannya. Hal ini terlihat dari
14
indeks WBGT yang ditentukan oleh suhu lingkungan, kelembaban relatif, radiasi, dan
kecepatan hembusan angin. Indeks WBGT dapat dituliskan dengan persamaan
(Muchammad, 2006):
WBGT oC = 0,7 WB + 0,2 G + 0,1 DB (di luar ruangan)
WBGT oC = 0,7 WB + 0,3 G (di dalam ruangan)
di mana:
WB = suhu bola basah
G = suhu bola hitam
DB = suhu bola kering
Suhu lingkungan ditunjukkan oleh suhu thermometer bola kering, daya
pancaran matahari dan lingkungan ditunjukkan oleh thermometer bola hitam,
sedangkan kelembaban relatif udara ditunjukkan oleh thermometer bola kering dan
kecepatan angin (Megasari dan Juniani, 2010). Dari uraian tersebut, maka peran dari
kelembaban relatif udara terhadap indeks WBGT sangatlah penting. Hal ini dinyatakan
oleh (President Council on Physical Fitness and Sport (2007), bahwa kelembaban
relatif udara adalah faktor terpenting yang mempengaruhi kejadian heat stress. Hal ini
disebabkan karena apabila kelembaban relatif udara tinggi ditambah dengan tidak
adanya aliran udara maka evaporasi keringat sangat rendah, yang menyebabkan suhu
kulit meningkat. Tingginya suhu kulit menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke
permukaan kulit menjadi tidak lancer. Gagalnya konduksi panas dari inti tubuh ke kulit
dapat menyebabkan heat stress.
Selanjutnya Takarosha (2005) menyatakan, bahwa untuk menciptakan
kenyamanan dalam beraktivitas di dalam ruangan tertutup perlu diperhatikan suhu
udara, kelembaban relatif udara, dan kecepatan angin, serta faktor individual yang
menyangkut aklimatisasi, pakaian, jenis kelamin, usia, tingkat kesehatan, tingkat
kegemukan, warna kulit, serta minuman yang dikonsumsi.
Indeks WBGT sesuai dengan American Collage of Sport Medicin (ACSM)
terbagi menjadi empat kategori dengan masing-masing disertai dengan tanda dan status
15
serta kejadian yang dapat atau akan dialami oleh peserta yang beraktivitas baik di
dalam ruangan maupun dalam area terbuka (Fox, 1983). Kategori indeks WBGT
ditampilkan seperti Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Kategori Indeks WBGT
No: Tanda/Status Indeks WBGT Keterangan
1 Merah / Risiko tinggi 23 – 28 oC Peserta harus waspada akan
kemungkinan kegawatan panas.
Orang yang peka terhadap suhu
dan kelembaban tinggi
sebaiknya tidak diikutkan.
2 Jingga / Risiko sedang 18 – 23 oC Perlu diingat bahwa indeks
WBGT meningkat sesuai
perjalanan waktu.
3 Hijau / Risiko rendah 10 – 18 oC Masih tidak dapat menjamin
tidak terjadi kegawatan panas
4 Putih / Risiko Rendah Di bawah 10 oC Kemungkinan hyperthermia
kecil tetapi dapat terjadi
hypothermia.
Sumber: Fox (1983)
Kecepatan angin dalam ruangan juga berperan untuk menyatakan kenyamanan
termal dalam ruangan. Semakin tinggi kelembaban dan suhu udara maka dibutuhkan
kecepatan angin yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Macfarlane dalam Huda dan Pandiangan (2012), merumuskan sebuah
persamaan untuk menentukan kecepatan angin yang dibutuhkan dengan memperhatikan
kelembaban relatif dan suhu lingkungan:
CV = 0,15 (DBT – 27,2 ((RH - 60)/10) X 0,56) m/dt
di mana:
CV = kecepatan hembusan angin yang dibutuhkan (m/dt)
DB = suhu bola kering (oC)
RH = kelembaban relatif (%)
16
Kerlembaban Relatif udara berpengaruh langsung terhadap tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik. Hal ini dapat diterima karena pada kelembaban
relatif udara yang tinggi terjadi peneluaran cairan tubuh saat latihan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelembaban relatif yang rendah. Peningkatan ini disebabkan oleh
meningkatan kebutuhan darah ke kulit untuk mengeluarkan keringat (Fajrin dkk.,
2014). Hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya peningkatan tekanan darah saat
aktivitas fisik pada kelembaban relatif yang melebihi nilai ambang batas (NAB) adalah
penelitian Sugiyarto (2011), terhadap 42 pekerja yang diberikan tekanan panas dan
sebelum tekanan panas.
Peningkatan juga terjadi terhadap prekuensi denyut nadi latihan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Purnomo dan Rizal (2000), terhadap 30 mahasiswa yang
berumur di atas umur 20 tahun yang diberikan latihan fisik pada suhu ruangan 22oC dan
27oC. Didapatkan semakin meningkat kelembaban relatif udara maka grekuensi denyut
nadi semakin meningkat, sebaliknya semakin menurun kelembaban relatif maka
frekuensi denyut nadi semakin menurun. Pernyataan lain yang mendukung adalah
Budiman dalam Jamaludin dkk. (2012), bahwa meningkatnya tekanan panas akan
meningkatkan frekuensi denyut nadi. Peningkatan frekuensi denyut nadi ini disebabkan
karena menurunnya cairan tubuh. Wikipedia (2014) menyatakan bahwa bila cairan
tubuh menurun sebanyak 2 - 6% akan meningkatkan kerja jantung, ditandai dengan
meningkatnya frekuensi denyut nadi.
Peningkatan suhu tubuh terjadi saat atau setelah melakukan aktivitas fisik.
Peningkatan suhu tubuh lebih tinggi terjadi apabila kelembaban relatif udara
meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (2012), bahwa suhu
tubuh akan meningkat mencapai 40 oC pada suhu dan kelembaban relatif udara yang
tinggi dan menurun mencapai 35,3 oC bila suhu dan kelembaban udara rendah.
Selanjutnya Wilmore dkk. (2008) menyatakan, bahwa meningkatnya kelembaban
relatif udara sangat berperan dalam peningkatan suhu tubuh dan menurunnya
kelembaban relatif udara akan mempercepat penurunan suhu tubuh saat latihan.
17
Kelembaban relatif udara yang tinggi akan meningkatkan paparan panas, sebaliknya
pada kelembaban relatif yang rendah suhu kulit akan menurun. Penurunan suhu kulit
menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh meningkat dan tubuh menjadi lebih dingin
(Cameron dkk., 2012). Pendapat ini didukung oleh McArdle (2010), bahwa konduksi
panas dari inti tubuh ke kulit akan meningkat pada kelembaban yang rendah. Hal ini
disebabkan karena terjadinya penguapan keringat pada kulit yang menyebabkan
permukaan kulit menjadi dingin. Selanjutnya Janssen (1993) menyatakan, olahraga
dalam kelembaban udara tinggi akan meningkatkan pengeluaran keringat yang
berdampat terhadap peningkatan suhu tubuh.
Di samping terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan suhu
tubuh, latihan berkepanjangan pada kelembaban relatif tinggi juga meningkatkan kadar
asam laktat darah. Hal ini didukung oleh Sugiharto dan Sumartiningsih (2012), bahwa
meningkatnya frekuensi denyut nadi akan diikuti dengan peningkatan kadar asam laktat
darah. Peningkatan kadar asam laktat darah sangat berkaitan dengan peningkatan
viskositas darah setelah terjadinya pengeluaran keringat berlebih. Peningkatan
viskositas darah ini menyebabkan pasokan O2 ke bagisan tubuh yang aktif berkurang,
yang menyebabkan pasokan energi aerobik menurun dan pasokan energi anaerobik
meningkat. Peningkatan pasokan energi anaerobik akan meningkatkan asam laktat
darah (Purnomo, 2011). Selanjutnya Brun dkk (1995) melalui penelitiannya, setelah
latihan sepak bola dengan intensitas maksimum viskositas darah akan menurun.
Didapatkan terjadi hubungan antara viskositas darah dengan kadar asam laktat darah
dengan hubungan berbanding terbalik.
2.4 Cairan Tubuh
2.4.1 Pengertian Cairan Tubuh
Cairan tubuh (tissue fluid) adalah cairan suspensi dari tubuh yang berfungsi
mengangkut nutrisi baik karbohidrat, vitamin, dan mineral serta O2 ke sel-sel tubuh
yang membutuhkannya. Cairan tubuh juga sebagai pengangkut produk samping
18
metabolisme, dan beberapa fungsi lainnya. Semua sel mengambil nutrisi dan O2 dan
mengeluarkan hasil metabolism juga melalui cairan ini (Irianto, 2010).
Manusia mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap lingkungan
sekitarnya dari berbagai perubahan iklim, baik dari suhu panas ke dingin dan
sebaliknya dari suhu dingin ke suhu panas. Jadi manusia memiliki sistem regulasi yang
baik untuk mengantisipasi setiap perubahan karakteristik lingkungan. Adaptasi ini
dilakukan oleh mekanisme homeostatis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan
cairan, elektrolit, dan berbagai zat yang terdapat dalam cairan tubuh (Hasin, 2009).
Dalam aktivitas fisik, tubuh selalu menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan
harus segera dikeluarkan dari dalam tubuh melalui cairan tubuh, akibatnya cairan tubuh
dan elektrolit berkurang. Kehilangan cairan tubuh dan elektrolit pada saat berolahraga
menyebabkan dehirasi yang dapat mengganggu penampilan fisik (Wilmore dkk., 2008).
Kehilangan cairan tubuh berlebihan berakibat fatal terhadap kinerja fungsi
tubuh, tentunya harus segera dikembalikan ke tingkat sebelumnya. Keadaan ini disebut
dengan rehidrasi. Kehilangan cairan tubuh ini dapat mempengaruhi penampilan fisik,
memperberat kerja jantung, dan dapat menyebabkan kematian (WHO, 2011).
Pada saat berolahraga diharapkan minum air secukupnya dengan jumlah
disesuaikan dengan cairan tubuh yang hilang. Cepatnya cairan tubuh hilang tergantung
dari intensitas latihan. Intensitas latihan yang lebih tinggi meningkatkan pengeluaran
keringat. Begitu juga sebaliknya, intensitas latihan yang rentah pengeluaran keringat
akan menurun. Tidak cukup hanya air putih yang diminum apabila berolahraga dalam
waktu yang lama, akan tetapi perlu minuman olahraga dengan tambahan glukose dan
garam (UNICEF, 2012).
2.4.2 Fungsi Cairan Tubuh
Dalam metabolisme yang terjadi di dalam tubuh manusia, air mempunyai dua
fungsi utama yaitu sebagai pembawa zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan mineral serta berfungsi sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel
tubuh. Selain itu, air di dalam tubuh juga berfungsi untuk mengeluarkan produk
19
samping hasil metabolisme seperti karbon dioksida (CO2 ) dan senyawa nitrat
(Syaifuddin, 2012).
Selain berperan dalam metabolisme, air juga memiliki fungsi penting antara lain
sebagai pelembab jaringan-jaringan tubuh seperti mata, mulut dan hidung, pelumas
dalam cairan sendi tubuh, katalisator reaksi biologik sel, pelindung organ dan jaringan
tubuh serta membantu dalam menjaga tekanan darah dan konsentrasi zat terlarut
konstan. Selain itu agar fungsi-fungsi tubuh dapat berjalan dengan normal, air di dalam
tubuh juga berfungsi sebagai pengatur panas tubuh (Guyton dan Hall, 2012).
Air memiliki fungsi vital di dalam tubuh. Menurut Almatsier (2013), air
berperan dalam melarutkan zat-zat gizi serta mengangkut zat gizi tersebut ke seluruh
bagian tubuh. Air berperan dalam mengangkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari
tubuh melalui paru, kulit, dan ginjal. Air adalah media utama reaksi intrasel. Juga
dinyatakan air merupakan katalisator dalam berbagai reaksi biologi dalam sel, termasuk
dalam saluran pencernaan. Air merupakan pelarut terbaik pada solut polar dan ionik.
Air merupakan media transpor pada sistem sirkulasi, ruang intravaskular, intersistium,
dan intraselular (Darwis dkk., 2007).
Air berperan dalam memecah atau menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi
bentuk yang lebih sederhana dan sebagai pelumas cairan sendi. Sebagai bagian dari
jaringan tubuh, air bahkan diperlukan sebagai zat pembangun. Sebagian panas yang
dihasilkan dari metabolisme energi diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh
sehingga kinerja enzim didukung secara optimal. Kelebihan panas dari metabolisme
energi perlu segera disalurkan ke luar (Almatsier, 2013).
Cairan intraselular berperan untuk menghasilkan, menyimpan, menggunakan
energi, serta dalam proses perbaikan sel. Cairan intraselular juga berperan dalam proses
replikasi serta sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas
cairan ekstraselular. Cairan ekstraselular berperan sebagai pengantar semua keperluan
sel, seperti zat gizi dan oksigen. Cairan ekstraselular juga berperan sebagai pengangkut
karbon dioksida, sisa metabolisme, serta bahan-bahan toksik (Darwis dkk., 2007).
20
Organ-organ tubuh tertentu terlindung dari berbagai gesekan atau benturan
akibat dari air yang terkandung di dalam jaringan tubuh seperti mata, jaringan saraf,
dan tulang belakang. Air berperan dalam memelihara kelembaban membran mukosa.
Air mempengaruhi osmolaritas jaringan dengan mempertahankan volume dan
hematokrit darah, volume cairan serta fungsi ginjal. Pada proses pencernaan makanan,
air memiliki peran penting, mulai dari pencernaan sampai absorbsi sari-sari makanan.
Air juga berperan dalam produksi berbagai zat untuk disekresikan di sepanjang saluran
cerna, dan pembuangan sisa makanan (Irianto, 2010).
Tubuh manusia terdiri dari sebagian besar air, sehingga asupan cairan sangat
dibutuhkan agar penampilan atlet optimal. Dalam hal ini air berfungsi sebagai (Ronald,
2009; Arif, 2012): 1). Menjaga volume darah dan fungsi kardiovaskular, 2). Pengaturan
suhu tubuh melalui berbagai cara yaitu radiasi, konduksi, konveksi, epavorasi, dan
pernapasan, 3). Sebagai media pengangkut O2, CO2, dan nutrien. Juga dinyatakan
bahwa keseimbangan konsentrasi cairan dalam sel dibutuhkan untuk mengoptimalkan
kinerja inpuls saraf menuju tujuan akhirnya yaitu otot.
Cairan intraselular dan ekstraselular dipertahankan konsentrasinya. Tujuannya
adalah untuk transmisi inpuls saraf dan kontraksi otot yang dibutuhkan pada saat
olahraga. Produksi energi diperlukan akibat dari kontraksi otot yang sebagian besar
diubah menjadi panas. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam olahraga disampaikan
oleh Irawan (2007a) adalah mempertahankan suhu tubuh oleh karena energi yang
dibentuk oleh kontraksi otot yaitu sebanyak 75% diubah menjadi panas dan sisanya
25% diubah menjadi gerak.
Panas tubuh yang ditimbulkan pada olahraga harus segera dikeluarkan agar
tidak membahayakan tubuh melalui suatu proses pendinginan tubuh. Cara pendinginan
yang dilakukan tubuh adalah dengan berkeringat (Gabriel, 2012). Kegagalan tubuh
membuang panas tergantung dari aktivitasnya. Pada saat istirahat kematian akan terjadi
dalam waktu kurang dari enam jam dan pada saat olahraga kematian dapat terjadi
dalam waktu kurang dari 30 menit (Giriwijoyo, 2007).
21
2.4.3 Distribusi dan Kandungan Cairan Tubuh
Cairan tubuh terdiri dari dua bagian utama yaitu cairan intraselular dan cairan
ekstrasellular. Cairan intraselular adalah cairan yang terdapat di dalam sel sedangkan
cairan ekstraselular adalah cairan yang terdapat di luar sel. Kedua kompartemen ini
dipisahkan oleh sel membran yang memiliki permeabilitas tertentu. Hampir 67% dari
total air tubuh manusia terdapat di dalam cairan intrasellular dan 33% sisanya berada
pada cairan ekstraselular. Air yang berada di dalam cairan ekstraselular ini kemudian
terdistribusi kembali kedalam dua sub-bagian yaitu pada cairan interstisial dan cairan
intravaskular (plasma darah). Tujuh puluh lima persen dari air pada cairan ekstraselular
ini terdapat pada sela-sela sel (cairan interstisial) dan 25%-nya berada pada plasma
darah atau cairan intravascular. Pendistribusian air ini sangat bergantung pada jumlah
elektrolit dan makromolekul yang terdapat di dalam kedua bagian tersebut. Karena
membran sel memiliki permeabilitas yang berbeda untuk tiap zat, maka konsentrasi
larutan (osmolality) pada kedua bagian juga berbeda (Irianto, 2010).
Cairan tubuh pria dewasa terdiri dari 18% protein dan zat terkait, 15% adalah
lemak, 7% mineral dan sebagian besar 60% adalah air. Dari komponen cairan
intraselular tubuh, terdapat sebanyak 40% dari berat badan dan komponen ekstraselular
sekitar 20% berat badan. Komponen ekstraselular ini terdiri dari plasma darah yang
menempati sekittar 5% dari berat badan dan cairan intertisial sebanyak 15% dari berat
badan (Syaifuddin, 2012).
Air adalah komponen utama pembentuk tubuh manusia dengan berbagai unsur
yang dibutuhkan untuk kesehatan dan kelangsungan hidup sel. Sekitar 60% dari total
berat badan orang dewasa terdiri dari air, namun bergantung dari kandungan lemak dan
otot dalam tubuh. Nilai persentase ini dapat bervariasi antara 50-70% dari total berat
badan orang dewasa. Oleh karena itu, tubuh yang terlatih seperti tubuh olahragawan
mengandung lebih banyak air (Pearce, 2012).
Di samping air, cairan tubuh juga mengandung berbagai zat di antaranya adalah
elektrolit (Darwis dkk., 2007). Elektrolit yang terdapat pada cairan tubuh berada dalam
22
bentuk ion bebas yang dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu kation dan anion.
Kation adalah elektrolit yang mempunyai muatan positif (+) sedangkan anion adalah
elektrolit yang mempunyai muatan negatif (-). Kation yang terdapat dalam tubuh adalah
natrium (Na+) dan kalium (K
+) dan anion adalah klorida (Cl
-) dan bikarbonat (HCO3).
Elektrolit yang terdapat dalam jumlah besar di dalam tubuh antara lain adalah natrium
(Na+), kalium (K
+), kalsium (Ca2), magnesium (Mg
+), klorida (Cl
-), bikarbonat (HCO3),
fosfat (HPO42-
) dan sulfat (SO42-
).
Dalam berolahraga sejumlah cairan dikeluarkan tubuh lewat kulit sebagai
keringat. Air keringat mengandung beberapa elektrolit dengan kandungan utama atau
terbesar yaitu natrium, kalium dan klorida. Semakin berat aktivitas fisik, laju
pengeluaran keringat semakin meningkat, sehingga kehilangan natrium, kalium dan
klorida dari dalam tubuh juga meningkat (Irawan, 2007a).
2.4.4 Pengaturan Cairan Tubuh
Keseimbangan air di dalam tubuh dipengaruhi oleh sistem regulasi yaitu
regulasi osmotik dan regulasi volume. Regulasi osmotik aktivitasnya karena tinggi
rendahnya osmolalitas plasma. Sensor dari regulasi osmotik ini berada pada
hipotalamus supra optic neuron (SON), nucleus paraventrikular, organum vaskulasum
laminae terminal (OVLT), dan pusat rasa haus di hipotalamus. Regulasi volume
beraktivitas karena volume tekanan arteri dengan sensor berada di sel otot atrium dan
ventrikel, sinus karotis, dan arteri aferen glomeralus (Siregar, 2011).
Keseimbangan air tubuh dikontrol dengan pengaturan masukan dan ekskresi
cairan. Secara normal, masukan air dipengaruhi oleh rasa haus, yang merupakan
pertahanan utama terhadap kekurangan cairan. Rasa haus merupakan keinginan untuk
minum air yang diatur oleh suatu pusat di midhipotalamus. Keseimbangan cairan tubuh
diatur oleh mekanisme homeostatis cairan tubuh. Defisiensi air meningkatkan
konsentrasi ionik pada kompartemen ekstraseluler yang meyebabkan sel mengkerut.
Pengerutan sel dideteksi oleh dua sensor otak, yang satu mengontrol minum dan yang
23
lain mengontrol ekskresi urin. Kehilangan cairan terjadi melalui paru, kulit, traktus
gastrointestinal, dan ginjal (Darwis dkk., 2007).
2.4.5 Sumber Asupan Cairan Tubuh
Manusia memenuhi kebutuhan air dari luar tubuh melalui minuman dan
makanan. Minuman memiliki kontribusi tertinggi dalam pemenuhan kebutuhan air.
Persentase konsumsi cairan yang berasal dari makanan dan metabolik pada pria dewasa
sebesar 28,1%, dan pada wanita dewasa sebesar 26,2%, sedangkan pada pria dewasa
71,9%, dan wanita dewasa 73,8% (Primana, 2000).
Sel tubuh yang mempunyai konsentrasi air paling tinggi adalah sel otot dan
rongga badan, seperti paru dan jantung, sedangkan sel yang mempunyai konsentrasi air
paling rendah adalah jaringan tulang dan gigi. Konsumsi cairan yang ideal untuk
memenuhi kebutuhan harian tubuh adalah satu ml air untuk setiap satu kkal konsumsi
energi tubuh atau dapat juga diketahui berdasarkan estimasi total jumlah air yang keluar
dari dalam tubuh. Rata-rata tubuh orang dewasa kehilangan 2,5 liter cairan per hari.
Sekitar 1.5 liter cairan tubuh keluar melalui urin, 500 ml melalui keluarnya keringat,
400 ml keluar dalam bentuk uap air melalui proses pernafasan (respirasi) dan 100 ml
keluar bersama dengan tinja (feces). Sehingga disarankan untuk mengkonsumsi antara
8-10 gelas atau 8-10 X 240 ml) yang dijadikan sebagai pedoman dalam pemenuhan
kebutuhan cairan perhari (Wilmore dkk., 2008).
Jumlah asupan air dari makanan sebanyak 700-1000 mL per hari, yang
tergantung pada pola makan (Giriwijoyo, 2007). Makanan pokok orang Indonesia
menyumbangkan 46% asupan air, sedangkan buah dan sayur menyumbangkan 30%
asupan air. Makanan pokok orang Indonesia pada umumnya adalah nasi yang
mengandung kadar air 25-35%, sementara buah meskipun kadar airnya tinggi,
dikonsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit (UNICEF, 2014). Sumber asupan cairan
tubuh didistribusikan seperti Tabel 2.2.
Kebutuhan air dipengaruhi oleh usia, berat badan, asupan energi, dan luas
permukaan tubuh. Begitu juga dengan suhu lingkungan turut mempengaruhi kebutuhan
24
air. Kebutuhan cairan di daerah dengan suhu 40 0C lebih tinggi daripada di daerah
dengan suhu 20 oC (Darwis dkk., 2007).
Tabel 2.2
Sumber Asupan Cairan Tubuh
Sumber Jumlah (mL/hari)
Air minum
Air dalam makanan
Air dari hasil metabolism tubuh
1.500 – 2.000
700
200
Jumlah 2.400 – 2.900
Sumber: Syaifuddin (2012).
Kebutuhan air meningkat seiring bertambahnya usia, kebutuhan cairan bagi bayi
sebanyak 0,6 liter akan meningkat pada anak-anak menjadi kira-kira 1,7 liter. Selain
faktor usia, kebutuhan cairan juga dipengaruhi oleh aktivitas. Kebutuhan cairan pria
dewasa pada kondisi normal sebanyak 2,9 liter per hari menjadi 4,5 liter per hari pada
pekerja kasar yang bekerja di suhu tinggi (Kushartono, 2006).
Orang dewasa pada aktivitas ringan membutuhkan air sekitar 2,5 liter per hari
dan meningkat menjadi 3,2 liter per hari pada aktivitas sedang, sedangkan orang
dewasa yang lebih aktif dan tinggal di daerah dengan suhu hangat membutuhkan air
sekitar enam liter perhari. Kebutuhan air sebanyak 2,5 liter per hari pada pria usia 19-
29 tahun, 2,4 liter pada pria usia 30-49 tahun, dan 2,3 liter pada pria usia 50-64 tahun.
Asupan air harian berdasarkan rekomendasi The National Research Council (NRC)
sebesar satu mL/Kal energi yang dikeluarkan (Giriwijoyo, 2007).
2.4.6 Pengeluaran Cairan Tubuh
Cairan yang dikonsumsi diserap usus, masuk ke pembuluh darah, beredar ke
seluruh tubuh. Selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi. Dari darah difiltrasi di
ginjal dan sebagian kecil dibuang sebagai urin, ke saluran cerna dikeluarkan sebagai
liur yang umumnya diserap kembali, ke kulit dan saluran napas keluar sebagai keringat
dan uap air. Bila suhu tubuh meningkat, secara refleks terjadi sekresi keringat.
Komposisi air keringat mirip dengan cairan ekstraseluler tetapi kadar garamnya lebih
rendah atau hipotonis (Darwis dkk., 2007).
25
Tabel 2.3
Pengeluaran cairan tubuh
Keluar Melalui jumlah (mL/hari)
Eksresi ginjal (urine)
Pernapasan
Melalui kulit
- Keringat
- Difusi
Feses
1.400 -1.900
350
100
350
200
Jumlah 2.400 – 2.900
Sumber: Syaifuddin (2012).
Dalam keadaan homeostatis, jumlah cairan tubuh dipertahankan konstan di
mana air tubuh yang keluar sama dengan yang masuk. Cairan tubuh yang keluar
menurut Syaifuddin (2012), didistribusikan seperti Tabel 2.3.
Perbedaan air yang masuk dan keluar tergantung dari berbagai hal di antaranya
adalah: suhu udara dan kelembaban. Suhu tinggi meningkatkan pengeluaran keringat
sedangkan suhu rendah menurunkan pengeluaran keringat. Kelembaban yang tinggi
meningkatkan pengeluaran keringat sedangkan kelembaban yang rendah menurunkan
pengeluaran keringat (Giriwijoyo, 2007).
Tabel 2.4
Pengeluaran Cairan Tubuh pada Perubahan Suhu dan Aktivitas
Kehilangan cairan
melalui:
Jumlah Pengeluaran Cairan Tubuh (mL)
Pada suhu normal Pada suhu panas Saat bekerja berat
Insensibel kulit
Saluran napas
Urin
Keringat
Feses
350
350
1400
100
100
350
250
1200
1400
100
350
650
500
5000
100
Jumlah 2300 3300 6600
Sumber: Darwis dkk. (2007).
Kebutuhan air sangat dipengaruhi aktivitas fisik, suhu lingkungan serta suhu
tubuh. Bila udara panas, keringat lebih banyak dihasilkan. Saat berolahraga atau kerja
berat, di mana suhu tubuh meningkat, dihasilkan pula keringat yang lebih banyak.
26
Selain dipengaruhi oleh suhu udara, kebutuhan air dapat pula dipengaruhi oleh
aktivitas, diet, dan kesehatan (Darwis dkk., 2007).
2.4.7 Ketidak Seimbangan Cairan Tubuh (Dehidrasi)
Keseimbangan air di dalam tubuh adalah keadaan di mana volume air yang
masuk ke dalam tubuh terhadap volume air yang keluar dari dalam tubuh besarnya
sama (Siregar, 2011). Ketidakseimbangan cairan mengindikasikan hubungan yang tidak
seimbang antara asupan cairan dan kehilangan cairan. Dehidrasi merupakan adanya
keseimbangan negatif pada cairan tubuh atau menurunnya kandungan air tubuh hingga
mencapai 2-6% (Wikipedia, 2014). Juga dinyatakan bahwa dehidrasi disebabkan
karena meningkatnya cairan tubuh yang hilang melalui ginjal dan pencernaan,
berkurangnya asupan air, atau gabungan ke duanya.
Dehidrasi adalah keadaan di mana tubuh terlalu banyak kehilangan cairan baik
disadari maupun tidak disadari. Penyebab dari dehidrasi adalah: berkeringat terlalu
banyak, muntah hebat, dan diare. Apabila dehidrasi berlangsung lebih lama, maka
perpindahan cairan intraseluler ke ekstraseluler terjadi dan membutuhkan pemulihan
yang lama. Kehilangan cairan ekstraseluler sebanyak 60% dan cairan intraseluler 30%
menyebabkan kematian (Syaifuddin, 2012).
Rasa haus adalah sinyal untuk mengkonsumsi cairan. Rasa haus dirasakan
karena menurunnya volume cairan tubuh, yang merupakan pertanda telah terjadi
dehidrasi. Rasa haus tersebut harus segera direspon dengan meminum air dalam jumlah
yang cukup. Jika tidak, keadaannya akan kian memburuk. Bertambahnya usia
seseorang akan melemahkan respon terhadap rasa haus ini, akibatnya terjadi rasa
lemah, lemas, letih, hilang kesadaran, bahkan kematian (Irawan, 2007b).
Dehidrasi dapat menimbulkan gejala sesuai dengan tingkatannya. Dehidrasi
ringan menimbulkan gejala haus, lelah, kulit kering, serta mulut dan tenggorokan
kering. Dehidrasi sedang mengakibatkan denyut jantung cepat, pusing, tekanan darah
rendah, lemas, urin pekat dan berkurang. Dehidrasi berat mengakibatkan kejang, lidah
membengkak, dan kegagalan fungsi ginjal (Wikipedia, 2014).
27
2.4.8 Rehidrasi
Penggantian cairan tubuh yang keluar dari tubuh disebut dengan rehidrasi.
Kebutuhan tubuh terhadap air tergantung dari banyaknya air yang dikeluarkan tubuh.
Normalnya dalam keadaan istirahat dengan tidak berkeringat, orang dewasa
membutuhkan air antara 1500 sampai 2000 ml perhari yang didapat dari hasil oksidasi
zat gizi, dari makanan, dan juga dari minuman (Ronald, 2009).
Apabila volume cairan tubuh berkurang karena dehidrasi, aliran darah harus
dibagi ke kulit sehingga daya tahan dan pengaturan suhu tubuh menjadi terganggu.
Penurunan penampilan fisik sudah terlihat ketika cairan tubuh menurun sebesar 2% dari
berat badan. Keadaan ini akan terus diperberat dengan peningkatan dehidrasi, yang
diikuti dengan peningkatan denyut nadi dan suhu rektal (FPOK, 2010a).
Selama berolahraga tubuh kehilangan cairan dan elektrolit seperti Na dan Cl.
Untuk orang terlatih kadar garam dalam keringat lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak terlatih. Jadi orang yang terlatih kehilangan air lebih banyak dibandingkan
dengan elektrolit sehingga cairan tubuh menjadi lebih pekat dan kebutuhan air akan
meningkat selama latihan. Penggantian air yang hilang ini tergantung dari beratnya
aktivitas fisik, dan kondisi lingkungan. Mengkonsumsi cairan elektrolit seperti
pemberian air kelapa sebagai minuman olahraga alami selama latihan dapat membantu
status hidrasi, menunda kelelahan, dan menjaga penampilan (Abidin, 2012; Alfiyana,
2012; Wikipedia, 2014). Hasil penelitian Bahri dkk., (2012), air kelapa dapat
menangani rehidrasi setelah berolahraga.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah volume cairan, suhu cairan, dan
kandungan dalam cairan. Volume cairan yang lebih banyak yaitu sebanyak 600 ml atau
tiga gelas akan meninggalkan lambung lebih cepat dibandingkan dengan jumlah yang
lebih sedikit. Akan tetapi jumlah yang lebih banyak akan menyebabkan rasa mual dan
mengganggu pernapasan. Jumlah yang diharapkan untuk diminum adalah sebanyak
satu gelas atau 150-200 ml setiap 15-20 menit, yang tergantung dari kondisi
lingkungan. Pada kondisi lingkungan yang lebih dingin, penggantian cairan dapat
28
dilakukan sebanyak 150-200 ml setiap 25-30 menit. Suhu cairan yang lebih dingin
sangat diharapkan dalam berolahraga yaitu berkisar antara 5-10 o
C akan lebih cepat
meninggalkan lambung dibandingkan pada suhu yang lebih tinggi. Kandungan cairan
(osmolalitas) seperti glukose dan elektrolit juga berpengaruh terhadap kecepatan
pengosongan lambung. Minuman dengan kandungan yang lebih pekat akan lebih
lambat meninggalkan lambung dan yang lebih encer akan lebih cepat meninggalkan
lambung. Pemberian glukose yang lebih rendah akan memberikan cadangan energi yg
rendah sehingga harus minum dalam jumlah yang lebih besar. Minum dalam jumlah yg
lebih besar akan mengganggu penampilan (FPOK, 2010b).
Penambahan garam dalam air pada saat berolahraga juga penting dilakukan
apabila berolahraga dalam waktu yang lama. Kadar elektrolit dan magnesium yang
hilang saat berolahraga sangat sedikit dengan kadarnya di dalam keringat berkisar
antara 0,5 - 0,6%. Defisiensi elektrolit selama olahraga 2-3 jam tidak terjadi apabila
kandungannya di awal olahraga normal. Akan tetapi olahraga dalam waktu lebih lama
dan berturut-turut dapat mengurangi kadar elektrolit tubuh sehingga diperlukan
suplemen garam untuk memelihara kadar elektrolit cairan tubuh (UNICEP, 2014).
Penurunan berat badan dengan pengeluaran keringat berlebih tidak dapat
menghilangkan lemak tubuh, walaupun untuk sementara berat badan berkurang. Hal ini
diakibatkan karena terjadi penurunan cairan tubuh yang justru menurunkan penampilan
dan berakibat patal terhadap keselamatan. Olahragawan bela diri yang menurunkan
berat badannya dengan pengeluaran keringat berlebihan akan membahayakan kesehatan
karena menyebabkan dehidrasi kronik (UNICEF, 2012). Apabila berat badan menurun,
atlet harus menambahkan sedikitnya 80% kembali berat badannya yang hilang selama
latihan (FPOK, 2010b).
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk minum atau mengkonsumsi cairan ke
dalam tubuh, di antaranya adalah dengan (Ronald, 2009):
29
1. Mengkonsumsi cairan sebanyak 500 mL air 10-15 menit sebelum latihan dan
dapat dilakukan kapan saja sebelum latihan. Untuk olahraga dalam waktu
singkat sebaiknya minum tidak kurang dari 30 menit.
2. Mengkonsumsi cairan selama olahraga dilakukan setiap 10-15 menit sebanyak
120-150 mL atau kurang dari satu gelas air yang bukan dilakukan hanya setelah
merasakan haus. Pada saat olahraga sensasi haus tidak sepenuhnya dirasakan
akan tetapi belum semua cairan digantikan.
3. Konsumsi cairan setelah berolahraga sangat penting dilakukan, apalagi akan
menjalani pertandingan berikutnya. Maka mengkonsumsi minuman olahraga
dibutuhkan untuk mempertahankan natrium dan osmolaritas plasma yang dapat
menurunkan produksi urin dan menghambat rehidrasi.
4. Konsumsi cairan dengan metode konvensional dapat dilakukan saat atlet
merasakan haus dan minum dihentikan ketika tidak merasakan haus lagi.
5. Konsumsi cairan dengan metode USATF (United State of Amecican Track and
Field) dipakai untuk penggantian cairan tubuh yang optimal. Penggantian cairan
tubuh dilakukan dengan menimbang berat badan setelah minum dan setelah
buang air kecil. Penggantian cairan dilakukan dengan menimbang berat badan
setelah latihan dan dilakukan minum sebanyak penurunan berat badan.
2.5 Sistem Kardiovaskular dalam Olahraga
Jantung dan pembuluh darah berfungsi memasok kebutuhan darah ke seluruh
tubuh. Jantung memompa darah dan pembuluh darah sebagai saluran keseluruh bagian
tubuh (Irianto, 2010). Dengan meningkatnya aktivitas fisik, kebutuhan pasokan oksigen
ke bagian tubuh yang aktif akan meningkat. Peningkatan ini hendaknya didukung oleh
kemampuan jantung dan pembuluh (Ganong, 2012). Kemampuan jantung dan
pembuluh darah yang lebih baik dapat ditentukan dengan beberapa hal di antaranya
adalah tekanan darah dan frekuensi denyut nadi berada pada batas normal (Powers dan
Howley, 2009; Sharkey, 2012).
30
2.5.1 Anatomi Sistem Kardiovaskular
2.5.1.1 Jantung.
Jantung merupakan organ kardiovaskular berotot dengan berat sekitar 300 gram
yang terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut, berongga dengan puncaknya miring
ke sebelah kiri (Pearce, 2012). Jantung terdiri atas dua pompa terpisah yaitu jantung
kanan dan jantung kiri. Jantung kanan berfungsi memompa darah ke paru dan jantung
kiri memompa darah ke organ perifer atau sistemik (Kusnanik dkk., 2011). Kedua
pompa ini terdiri atas bagian atas (atrium) dan bagian bawah (ventrikel). Atrium kanan
menuangkan darah ke ventrikel kanan dan dengan tenaga tertentu mendorong darah ke
paru untuk dioksigenisasi. Atrium kiri menuangkan darah ke ventrikel kiri dan ventrikel
kiri memompa darah ke sistemik dan termasuk ke otot jantung (Ganong, 2012;
Syaifuddin, 2012).
2.5.1.2 Pembuluh darah
Pembuluh darah merupakan organ dari sistem kardiovaskular yang menyalurkan
darah dari jantung ke seluruh tubuh dan ke paru. Pembuluh darah yang menyalurkan
darah dari jaringan ke jantung disebut dengan vena dan yang menyalurkan darah dari
jantung ke jaringan disebut dengan arteri (Sherwood, 2012). Pembuluh darah
merupakan prasarana untuk kelangsungan aliran darah ke seluruh tubuh (Syaifuddin,
2012). Pembuluh darah ini terdiri dari arteri, arteriole, kapiler, venule, dan vena
(Kusnanik dkk., 2011; Pearce, 2012).
2.5.1.3 Darah
Darah adalah cairan tubuh yang berfungsi mengirimkan sari makanan dan
oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan hasil metabolisme,
dan sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri (Ganong, 2012: Syaifuddin,
2012). Cairan tubuh berfungsi mengatur fungsi normal tubuh yaitu transfortasi oksigen,
bahan makanan, maupun sisa metabolisme serta mendistribusikan berbagai jenis
hormon dan antibodi (Kusnanik dkk., 2011).
31
Darah manusia sebanyak sekitar seperduabelas dari berat badan atau sekitar
lima liter. Komposisi darah terdiri dari beberapa jenis sel darah yang membentuk 45%
bagian dari darah dan 55% sisanya berupa cairan kekuningan yang membentuk medium
cairan darah yang disebut plasma darah (Pearce, 2012).
Sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), lekosit (sel darah putih), dan
trombosit atau butir pembeku (Ganong, 2012). Eritrosit mengisi sekitar 99% yang
mengandung hemoglobin dan berfungsi mengedarkan O2. Trombosit mengisi sekitar
0,6-1,0% dari sel darah yang berperan dalam proses pembekuan darah. Lekosit mengisi
sekitar 0,2% dari sel darah, yang berperan dalam sistem imun untuk memusnahkan
virus dan bakteri yang membahayakan tubuh (Syaifuddin, 2012).
Plasma darah adalah larutan air yang mengandung: 91% air, 8% protein, dan
9% mineral. Protein terdiri atas albumin, protrombin, globulin, dan fibrinogen
sedangkan mineral terdiri dari natrium klorida, natrium bikarbonat, garam kalsium,
fosfor, magnesium, besi, dan lain-lain. Di samping itu plasma darah juga mengandung
bahan organik seperti glukose, lemak, asam urat, asam amino, urea, kolesterol, dan
kreatinin (Pearce, 2012).
2.5.2 Kontrol Terhadap Sistem Kardiovaskular
2.5.2.1 Kontrol sistem saraf terhadap kardiovaskular
Sistem saraf otonom yang terdiri dari saraf simpatik dan saraf parasimpatik
mensarafi organ dalam tubuh, yang berperan sebagai homeostasis dengan ujung saraf
sensoriknya berada pada dinding pembuluh darah (Irianto, 2010).
Serat saraf simpatis meninggalkan spinalis melalui saraf thorakis dan lumbalis,
kemudian memasuki kedua sisi kolumna vertebralis. Inervasi arteri kecil dan arteriola
merangsang saraf simpatis pembuluh darah arteri untuk meningkatkan hambatannya,
sehingga aliran darah ke jaringan menurun. Inervasi pembuluh darah vena, merangsang
saraf simpatis untuk menurunkan volume aliran, sehingga darah terdorong ke dalam
jantung untuk proses pengaturan pompa jantung. Saraf simpatis pada jantung berperan
dalam peningkatan denyut jantung, kekuatan dan volumenya (Ganong, 2012). Saraf
32
parasimpatis berperan dalam pengaturan fungsi otonom dalam tubuh seperti pada
regulasi sirkulasi yaitu mengontrol detak jantung melalui nervus vagus dalam
penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas otot jantung (Masud, 2012).
Bagian yang berperan dalam pengaturan impuls simpatis dan parasimpatis
adalah pusat vasomotor yang terletak di batang otak. Impuls parasimpatis melalui
nervus vagus dikirimkan ke jantung dan mengirimkan impuls simpatis melaui serat
spinalis dan saraf simpatis perifer dan selanjutnya menuju ke arteri, arteriola, dan vena
(Barret dkk., 2012). Pusat vasomotor mengontrol aktivitas jantung dengan mengirim
impuls melalui saraf simpatis ke jantung saat tubuh membutuhkan peningkatan denyut
jantung, sedangkan saat tubuh membutuhkan penurunan denyut jantung, vasomotor
mengirimkan sinyal ke nervus vagus untuk mentransmisikan impuls parasimpatik ke
jantung, sehingga denyut jantung menurun. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi
meningkat apabila terjadi vasokonstriksi dan penurunan denyut jantung terjadi ketika
vasokonstriksi dihambat (Guyton dan Hall, 2012).
Peningkatan output saraf dari batang otak ke saraf simpatis menurunkan
diameter pembuluh darah, meningkatkan stroke volume, dan denyut jantung. Keadaan
ini berperan penting dalam meningkatkan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah
akan meningkatkan aktivitas baroreceptor, yang memberikan sinyal ke batang otak
untuk mengurangi output saraf ke saraf simpatis (Barret dkk., 2012).
2.5.2.2 Kontrol hormonal terhadap kardiovaskular
Saraf otonom adalah yang utama mengatur denyut jantung, tetapi epinephrine
juga sama perannya. Epinephrin adalah hormon yang disekresikan oleh medulla pada
rangsangan simpatis yang berfungsi untuk mengatur irama jantung. Pengaturan ini
dilakukan dengan cara yang sama dengan norepinephrin untuk meningkatkan denyut
jantung. Jadi epinephrin secara langsung dapat memperkuat irama jantung seperti yang
dimiliki oleh sistem saraf simpatis (Ganong, 2012).
33
2.5.3 Adaptasi Sistem Kardiovaskular dalam Olahraga
Menurut Sharkey (2012), aktivitas fisik berpengaruh langsung pada sistem
kardiovaskular di antaranya adalah: meningkatkan ukuran jantung, meningkatkan
persediaan darah, menurunkan risiko penggumpalan darah, menormalkan tekanan
darah, dan memperbaiki pendistribusian darah. Di samping itu aktivitas fisik juga
berperan dalam pengaturan metabolisme lemak, karbohidrat, protein, dan metabolisme
lainnya. Sementara itu Neil-Nedley (2009) berpendapat, olahraga secara teratur
mengurangi risiko kematian dari penyakit jantung koroner.
Kuntaraf dan Kuntaraf (2009). mengatakan, bahwa ada beberapa keuntungan
dari berolahraga terhadap fungsi kardiovaskular di antaranya adalah: memperkuat otot
jantung, menormalkan tekanan darah, meningkatkan kapasitas darah dalam
mengangkut oksigen, menurunkan frekuensi denyut nadi istirahat, memperlancar
peredaran darah, mengurangi risiko mendapatkan penyakit jantung, menurunkan risiko
arteroklerosis, menurunkan LDL dan trigliserida serta meningkatkan HDL. Lebih lanjut
Wahyuni (2009), mengatakan bahwa olahraga secara teratur bermanfaat untuk
memperbaiki profil lemak darah yaitu menurunkan kolosterol yaitu LDL dan
trigliserida, meningkatkan HDL, menurunkan risiko hipertensi, kegemukan, serta
diabetes militus. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada
jantung akibat dari aktivitas fisik adalah: isi sekuncup, curah jantung, aliran darah, dan
tekanan darah (Kadir, 2010):
Saat aktivitas fisik, jantung dan pernapasan terasa berdetak lebih kencang.
Makin meningkat aktivitas, frekuensi denyut jantung dan frekuensi pernapasan akan
meningkat dan begitu juga sebaliknya. Setelah beristirahat beberapa saat frekuensi
denyut jantung dan frekuensi pernapasan akan normal seperti semula. Perubahan di atas
merupakan efek akut dari latihan. Apabila pelatihan fisik dilakukan dengan dosis yang
tepat dalam waktu berkesinambungan, akan terjadi perubahan pada fungsi tubuh. Efek
yang disebabkan oleh pelatihan dalam waktu yang lama terhadap fungsi tubuh disebut
dengan efek tertunda atau kronik (Nala, 2011).
34
2.5.3.1 Efek akut latihan
a). Perubahan terhadap frekuensi denyut nadi
Denyut nadi adalah gelombang yang dirasakan pada arteri apabila darah
dipompa keluar jantung (Pearce, 2012). Denyut nadi dapat diraba di beberapa arteri
yang melintas dekat permukaan tubuh, misalnya arteri radialis yang terletak di depan
pergelangan tangan, arteri temporalis di atas tulang temporal, atau arteri dorsalis pedis
di belokan mata kaki (Ganong, 2012).
Frekuensi denyut nadi tergantung dari berbagai faktor diantaranya: posisi tubuh,
umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik. Posisi tubuh dijelaskan bahwa orang yang tidur
berbeda denyut nadinya dengan orang yang duduk, begitu juga dengan orang yang
berdiri. Peningkatan umur akan menurunkan frekuensi denyut nadi dan akan terjadi
peningkatan menjelang usia tua (McArdle dkk., 2010). Jenis kelamin juga
mempengaruhi frekuensi denyut nadi istirahat (seperti Tabel 2.5).
Anak-anak memiliki frekuensi denyut nadi maximal lebih tinggi dan isi
sekuncup lebih rendah daripada orang dewasa, baik dalam keadaan istirahat maupun
olahraga. Tetapi anak-anak memiliki penyesuaian peredaran darah perifer yang lebih
baik terhadap olahraga dari pada orang dewasa, yang menyebabkan terjadinya
perbedaan kandungan O2 darah arteri dan vena yang lebih besar, yang menunjukkan
terjadinya extraksi O2 yang lebih efisen di dalam jaringan tubuh (McArdle dkk., 2010).
Apabila intensitas latihan ditingkatkan, maka diikuti dengan peningkatan
frekuensi denyut nadi dan bila intensitas diturunkan maka frekuensi denyut nadi akan
menurun secara linier sesuai dengan Azas Conconi. Apabila intensias latihan
ditingkatkan lagi, maka hubungannya tidak linier lagi (Janssen, 1993).
Hubungan yang linier antara intensitas latihan dengan frekuensi denyut nadi
hanya berlaku jika melibatkan otot-otot besar dan cukup banyak. Oleh karena itu
frekuensi denyut nadi dapat dipakai sebagai tolok ukur intensitas latihan yang
melibatkan otot besar, seperti berlari, berenang, dan bersepeda (McArdle dkk., 2010).
35
Tabel 2.5
Frekuensi Denyut Nadi Istirahat sesuai Umur dan Jenis Kelamin
Umur (tahun) Rata-rata denyut nadi permenit (X/mt)
Laki-laki Perempuan
2-7
8-14
14-21
21-28
28-35
35-42
42-49
49-56
56-63
63-70
70-77
77-84
97
84
76
73
70
68
70
67
68
70
67
71
98
94
82
80
78
78
77
76
77
78
81
82
Sumber: MCArdle dkk. (2010).
Berdasarkan frekuensi denyut nadi, latihan fisik dibedakan menjadi lima
tingkatan yang disebut dengan training zone yaitu: sona-1 (Healthy training zone)
dengan intensitas 50-60%, sona-2 (temperate zone) dengan intensitas 60-70%, sona-3
(aerobic zone) dengan intensitas 70-80%, sona-4 (anaerobic sone) dengan intensitas
80-90%, dan sona-5 (red line zone) dengan intensitas 90-100% (Edward, 2007).
b). Perubahan isi sekuncup
Isi sekuncup (stroke Volume) merupakan jumlah darah yang dapat dipompa oleh
jantung setiap denyutnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi volume darah yang
dipompa setiap kontraksi jantung (Kadir, 2010): 1). Meningkatnya jumlah darah yang
dikembalikan ke jantung. 2). Ukuran ventrikel yang bertambah karena latihan fisik
secara teratur. 3). Kekuatan otot jantung untuk memompa darah yang didapat dengan
latihan fisik, dan 4). Tekanan aorta atau tekanan arteri paru.
Peningkatan isi sekuncup saat latihan terjadi karena saat olahraga ventrikel
mengembang dan diisi darah lebih banyak, maka akan berkontraksi lebih kuat.
Hasilnya adalah isi sekuncup lebih banyak, sesuai hukum Frank-Starling. Jumlah darah
yang kembali dari vena (venous return) terbatas karena waktu pengisian ventrikel
36
menurun sehingga volume akhir diastolik menurun. Isi sekuncup pada saat berolahraga
ditingkatkan akibat penurunan tahanan perifer oleh karena terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah pada otot yang aktif (Widiyanto, 2010d).
Pada saat istirahat isi sekuncup sekitar 70 cc, saat berlatih dapat meningkat
sampai 90 cc per denyut. Orang terlatih saat istirahat sekitar 90 - 120 cc, sedangkan
pada saat berlatih dapat mencapai 150-170 cc. Frekuensi denyut jantung orang tidak
terlatih ketika bangur tidur (basal) sekitar 60-70 denyut per menit, ketika berlatih dapat
meningkat antara 160-170 denyut per menit. Bagi orang yang terlatih denyut jantung
basal, dapat di bawah 50 denyut per menit. Pada saat berlatih meningkat, dapat
mencapai sekitar 180 kali denyutan per menit (Bompa dan Haff, 2009).
c). Perubahan curah jantung
Curah jantung (Cardiac Output) merupakan jumlah darah (liter) yang dipompa
oleh jantung dalam satu menit yang dinyatakan dalam L/menit (Gabriel, 2012). Curah
jantung meningkat ketika berlahraga, hal ini disebabkan karena curah kerja dari otot
rangka yang meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan konsumsi oksigen akan
meningkatkan diameter pembuluh darah (vasodilatasi) ke otot dan meningkatkan aliran
balik vena dan terjadi peningkatan curah jantung (Widiyanto, 2010d). Curah jantung
dari beberapa tingkat latihan ditunjukkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6
Curah Jantung dari Beberapa Tingkat Latihan
No Aktivitas Curah Jantung (L/menit
1
2
3
Curah jantung pada pria muda saat istirahat
Curah jantung maksimum selama latihan pada pria
muda tidak terlatih
Curah jantung maksimum selama latihan pada
pelari maraton pria
5,5
23
30
Sumber: Guyton dan Hall (2012).
Dari tabel dapat diuraikan, orang tidak terlatih dapat meningkat curah
jantungnya empat kali lebih tinggi pada saat latihan dibandingkan dengan pada saat
istirahat dan atlet terlatih dapat meningkatkan sampai enam kali, sedangkan pelari
37
maraton dapat meningkat 7-8 kali. Curah jantung atlet bisa mencapai 40 L/menit. Curah
jantung ini mempengaruhi daya serap oksigen maksimum (VO2Max). Makin tinggi
curah jantung, VO2Max semakin meningkat (Kadir, 2010).
Latihan fisik secara teratur menyebabkan hipertropi otot jantung. Menebalnya
lapisan jantung mengakibatkan peningkatan ruang jantung, yang sejalan dengan curah
jantung. Pada pelari maraton curah jantung meningkat sampai 40% yang disebabkan
karena pembesaran terjadi sebanyak 40%. Peningkatan ukuran dan curah jantung ini
dapat terjadi pada olahraga daya tahan dan bukan pada olahraga kekuatan seperti lari
cepat (Guyton dan Hall, 2012).
Darah yang dipompa jantung setiap menit tergantung dari kecepatan
pemompaan jantung (frekuensi denyut jantung) dan stroke Volume. Yang dapat
dihitung dengan persamaan (Kadir, 2010):
Cardiac output = Frekuensi jantung X stroke Volume
d). Perubahan terhadap tekanan darah
Tekanan adalah suatu gaya yang bekerja pada satuan luas (Bresnick, 2010).
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan oleh darah pada dinding arteri.
Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik.
Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat jantung relaksasi. Tekanan
darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding
pembuluh darah. Bila tekanan darah sistolik sebesar 110 mmHg berarti bahwa daya
yang dihasilkan cukup untuk mendorong darah melawan gravitasi sampai setinggi 110
mmHg (Gabriel, 2013). Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik (Ganong, 2012).
Tekanan darah sistolik normal orang dewasa berada dibawah 120 dan diastolik
sebesar 80 mmHg yang dituliskan dengan 120/80 mmHg, prahipertensi libih kecil dari
139/89 mmHg, hiprtensi ringan tekanan sistolik anatara 140-149 mmHg dan tekanan
diastolik 90-99 mmHg, untuk hipertensi sedang tekanan sistolik berada antara 160-169
mmHg dan tekanan diastolik antara 100-110 mmHg. Tekanan sistolik di atas 170
38
mmHg dan diastolik di atas 110 mmHg termasuk hipertensi berat (Mirchandani, 2008).
Tekanan sistolik relatif lebih rendah pada anak-anak, tetapi tekanan darah yang rendah
ini tidak memberikan gangguan ataupun keuntungan bagi kapasitas daya-tahannya.
Begitu juga pada saat olahraga, rata-rata tekanan darah sistolik anak-anak lebih rendah
dari orang dewasa (FPOK, 2010a).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi tekanan darah tinggi, di antaranya
adalah: asupan garam yang tinggi, obesitas, plak pada arteri, kurangnya aktivitas fisik,
kebiasaan merokok, estrogen, dan alkohol (Ludington dan Diehl, 2011).
Tekanan darah dalam keadaan istirahat masing-masing orang berbeda, hal ini
disebabkan oleh berbagai hal seperti (Davine, 2012): riwayat keluarga, penyakit
diabetes atau penyakit ginjal, jenis kelamin, usia, merokok atau tidak, obesitas, minum
obat KB, konsumsi alkohol berlebih, dan gaya hidup pasif. Berikut adalah klasifikasi
tekanan darah untuk orang dewasa (Tabel 2.7).
Tekanan darah akan meningkat seiring dengan peningkatan intensitas olahraga,
baik tekanan sistolik, diastolik maupun tekanan rata-rata. Tekanan darah sistolik pada
keadaan istirahat 120 mmHG meningkat menjadi 140-250 mmHg pada saat olahraga
dengan intensitas maksimum untuk olahraga daya tahan yang melibatkan otot-otot
besar pada orang terlatih. Peningkatan tekanan darah ini diakibatkan oleh peningkatan
curah jantung (Kusnanik dkk., 2011).
Tabel 2.7
Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Orang Dewasa
Kelas Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
Prahipertensi
Hipertensi tahap-1
Hipertensi tahap-2
Hipertensi tahap-3
< 120
< 130
130-139
140-159
160-179
>180
< 80
< 85
85-89
90-99
100-109
>110
Sumber: Davine (2012).
Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan menyebabkan semakin kuatnya
kontraksi otot jantung. Walaupun demikian tekanan sistolik tidak terus meningkat,
39
karena epinefrin juga dapat menyebabkan vasodilatsi pembuluh darah. Dengan
demikian kenaikan tekanan darah saat latihan akan dapat terjadi (Guyton dan Hall,
2012). Dilatasi pembuluh darah saat latihan juga disebabkan oleh meningkatnya suhu
tubuh. Banyaknya keringat yang keluar menyebabkan plasma darah keluar, volume
darah menurun, sehingga tekanan darah naik berlebihan (Gabriel, 2012).
Tekanan darah sistolik maupun diastolik meningkat sangat tinggi ketika seorang
atlet angkat besi mengangkat barbel. Tekanan sistolik dapat meningkat dari 120 mmHg
sampai 180 mmHg dan bisa mencapai 480 mmHg. Tekanan ini menyebabkan
meningkatnya tahanan perifer. Hal tersebut terjadi karena banyak otot rangka yang
berkontraksi sehingga mendesak pembuluh-pembuluh darah. Tekanan yang naik cukup
tinggi tersebut terjadi hanya sesaat, begitu angkatan dilepaskan akan turun kembali ke
dalam keadaan normal. Agar tidak mengalami hal yang fatal maka diharapkan pada
penderita tekanan darah tinggi, tidak melaksanakan olahraga dengan intensitas tinggi
secara mendadak. Perlu disiapkan lebih dahulu semua otot telah panas agar pembuluh
darah di seluruh tubuh vasodilatasi. Apabila pembuluh darah belum siap, sedangkan
jantung memompa dengan kuat akan terjadi peningkatan tekanan darah yang cukup
tinggi (Kusnanik dkk., 2011).
Perubahan yang dapat terjadi sesaat setelah berolahraga adalah penurunan
tekanan darah (hipotensi). Hipotensi adalah turunnya tekanan darah sistolik sebesar 20
mmHg dan diastolik sebesar 10 mmHg (Setiati, 2006). Keadaan turunnya tekanan
darah setelah berolahraga ini dikenal dengan istilah postexercise hypotension
(Pescatello dkk., 2004; Faraji dkk., 2010; Chen dan Bonhan, 2011; Delavar dan Faraji,
2011; Kenney dan Seals, 2011). Penurunan tekanan darah ini disebabkan karena
vasodilatasi berkelanjutan otot dan pembuluh darah yang terjadi pada saat olahraga.
Selama periode pemulihan dari aktivitas fisik, penurunan tekanan darah dimediasi oleh
aktivitas saraf simpatik serta mekanisme vasodilatator lokal (Lockwood dkk., 2005).
Menurut Halliwill dkk. (2013), penurunan tekanan darah setelah latihan dengan
intensitas sedang disebabkan karena perlawanan vaskular yang dimediasi oleh saraf
40
otonom. Vasodilatasi pada otot dan pembulih darah disebabkan karena pemuaian otot
dan darah yang disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh (Guyton dan Hall, 2012).
Penurunan tekanan darah setelah olahraga, terjadi pengurangan aliran darah ke
otak yang dipicu oleh berbagai hal, di antaranya adalah kemampuan jantung tidak kuat
untuk memompa darah, kemampuan pembuluh darah untuk vasodilatasi atau
vasokontriksi, dan cukup tidaknya darah dan cairan pada pembuluh darah. Peran cairan
tubuh sangat penting karena banyak yang keluar untuk mengantarkan panas (Guyton
dan Hall, 2012). Pengurangan cairan tubuh menyebabkan suplai darah ke otak
berkurang yang menyebakan berbagai gejala, seperti pening, kebingungan, mual dan
pingsan. Berkurangnya aliran darah ke otak sebesar 20% atau kurang dari 60 mmHg
menyebabkan kehilangan kesadaran (Elfriadi, 2011).
Hasil penelitian McDonald dkk. (2003), terhadap orang coba yang diberikan
olahraga dengan intensitas 50% dan 75% VO2-maks selama 30 menit, kemudian
masing-masing diukur tekanan darahnya pada menit ke 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 setelah
aktivitas. Terjadi penurunan tekanan darah sistolik pada menit ke-5 sampai ke-15 dan
penurunan tertinggi pada ke dua kelompok terjadi sebesar delapan mmHg pada menit
ke-5. Tekanan darah diastolik terjadi penurunan pada menit ke-5 sampai dengan menit
ke-45 dan kembali setelah menit berikutnya.
Setelah olahraga aerobik dengan intensitas 40% VO2-max selama 20-60 menit,
terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 18 - 20 mmHg dan tekanan diastolik
sebesar 7 - 9 mmHg (Kenney dan Seals, 2011). Penelitian lain yang mendukung
terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan adalah penelitian Pescatello dkk.
(2004), yang menguji efek dari olahraga dengan intensitas 40% VO2-max dan 60%
VO2-max terhadap 49 orang. Didapatkan terjadi penurunan tekanan darah sistolik dan
tekanan darah diastolik setelah latihan dibandingkan dengan sebelum pelatihan.
Untuk menanggulangi terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan fisik,
maka pemulihan, intensitas pemulihan dan waktu pemulihan sangat perlu diperhatikan.
Oleh karena itu pendinginan merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk
41
menghindari terjadinya penurunan tekanan darah setelah latihan fisik, sehingga tidak
berakibat fatal terhadap tubuh (Halliwill dkk., 2013) .
e). Perubahan pendistribusian dan kandungan darah
Olahraga dengan kontraksi intermiten pada betis selama enam menit terjadi
peningkatan aliran sebesar 13 kali lipat dan terjadi penurunan aliran setiap kontraksi
otot. Penurunan aliran hanya bersifat sementara karena otot rangka memeras darah
intramuscular. Aliran darah selama keadaan istirahat sebesar 3,6 mL/100g otot/menit
dan aliran darah selama latihan maksimal sebesar 90 mL/100g otot/menit atau terjadi
peningkatan aliran darah maksimum sebanyak 25 kali lipat selama latihan maksimum
dibandingkan saat istirahat. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan metabolisme
otot yang menyebabkan vasodilatasi intramuscular. Penurunan hambatan pembuluh
darah akan meningkatkan aliran sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan saat
istirahat (Guyton dan Hall, 2012). Peningkatan aliran darah juga disebabkan oleh
peningkatan tekanan arteri sebesar 30% yang memaksa pembuluh darah vasodilatasi
dan hasil akhirnya terjadi penurunan hambatan pembuluh darah (Gabriel, 2012).
Aliran darah meningkat tergantung dari aktivitas otot. Makin tinggi aktivitas
otot, aliran darah semakin meningkat. Sebaliknya, makin rendah aktivitas otot aliran
darah akan menurun. Distribusi darah dari otot yang aktif meningkat dari 650 cc
menjadi 20.850 cc saat olahraga sedangkan pada usus terjadi penurunan distribusi darah
dari 3100 cc saat istirahat menjadi 600 cc saat olahraga (Kadir, 2010).
Untuk menghindari berkurangnya aliran darah ke otot yang aktif, maka waktu
makan sebelum berolahraga perlu diperhatikan. Makanan berat tidak dikonsumsi 2-3
jam sebelum olahraga, karena darah akan dialirkan ke pencernaan sebanyak 30% untuk
proses pencernaan makanan. Hal ini akan mengurangi aktivitas otot dan penampilan
akan berkurang (Wilmore dkk., 2008; McArdle dkk., 2010). Pendistribusian darah ke
berbagai bagian tubuh pada berbagai aktivitas fisik disajikan seperti Tabel 2.8.
42
Darah terdiri dari 91% air, 8% protein, 0,9% mineral dan sisanya bahan organik
seperti glukose, lemak, urea, asam urat, kreatinin, kolesterol, dan asam amino, yang
dijaga untuk mempertahankan homeostasis tubuh (Pearce, 2012).
Tabel 2.8
Pendistribusian Darah Pada Berbagai Intensitas Latihan
Jaringan Istirahat
5800 cc
Intensitas
Ringan 9500 cc
Intensitas
Berat 17500 cc
Intensitas
Maks 25000 cc
Otak (%)
jantung (%)
Otot (%)
Kulit (%)
Ginjal (%)
Saluran cerna (%)
Lain-lain (%)
13
4
21
8,5
19
24
10,5
8
3,5
47
16
9,5
11,5
0,5
4
4
72
11
3,5
3,5
2
4
4
88
2,5
1
> 1
< 1
Sumber: Wilmore dkk. (2008).
Kualitas darah berperan dalam menunjang kelangsungan metabolisme tubuh
saat berolahraga. Kandungan oksigen dalam darah sangat penting diperhatikan
mengingat oksigen sangat dibutuhkan dalam olahraga daya tahan. Oksigen yang cukup,
metabolisme di dalam jaringan akan berlangsung dengan sempurna sehingga
penumpukan asam laktat berlebihan tidak akan terjadi (Guyton dan Hall, 2012). Dalam
keadaan istirahat, kandungan oksigen dalam darah sebesar 20 mL O2/100 mL darah
pada arteri dan sebesar 14 mL di dalam vena yang dikembalikan ke jantung. Perbedaan
sebesar enam mL disebut dengan a-v O2 difference. Menurut Kusnanik dkk. (2011),
pada saat beristirahat otot hanya mendapat 15-20% suplai darah, tetapi pada saat
olahraga dengan intensitas tinggi otot mendapatkan 80-85% dari curah jantung. Pada
saat dimulainya olahraga, otot yang aktif akan mendapatkan darah yang mengangkut
oksigen lebih tinggi melalui rangsangan simpatik yang bersifat vasokontriksi.
Sedangkan saat otot aktif sifat vasodilatatsi lokal lebih dominan. Hal ini disebabkan
karena terjadi penurunan PH darah, tekanan O2 dan adenosin monofosfat serta
peningkatan suhu otot dan kadar CO2 (Barret dkk., 2012).
Peningkatan intensitas olahraga, meningkatkan selisih O2 antara darah arteri dan
vena (a-v O2 difference) secara progresif sampai tiga kali lipat dibandingkan pada saat
43
istirahat, sehingga kandungan oksigen di dalam vena menurun. Penurunan ini
disebabkan karena oksigen lebih banyak dimanfaatkan dalam proses metabolisme
makanan. Kadar minimum O2 vena sebesar empat mL/100 mL darah. Jumlah ini karena
percampuran antara darah dari jaringan yang aktif dengan darah dari jaringan yang
tidak aktif. Kadar O2 dari jaringan yang tidak aktif lebih tinggi daripada yang aktif
(Kusnanik dkk., 2011).
Dalam hal ini pendistribusian darah sangat penting. Pada latihan yang cukup
lama, jika tidak diimbagi dengan minum yang cukup, plasma darah dapat berkurang
karena keluar melalui keringat. Dengan demikian volume darah juga akan berkurang
sehingga hematokrit (kadar butir darah) akan meningkat (Gabriel, 2012).
Aktivitas fisik membutuhkan energi, sehingga energi harus diambil dari tempat
penyimpanan. Lemak akan dipecah dari sel penyimpanan sehingga asam lemak dan
gliserol dalam plasma akan meningkat. Glikogen dalam hati akan dipecah, sehingga
glukosa darah saat latihan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, katabolisme
karbohidrat semakin tinggi agar gula darah tidak terlalu rendah (Almatsier, 2013).
Pada latihan interval dengan intensitasnya maksimal seperti yang sering
diterapkan untuk meningkatkan kecepatan seperti sprint 100 meter berulang-ulang
dapat terjadi penurunan glukose darah. Penurunan glukose darah disebabkan karena sel
otot banyak menggunakan glukose, tetapi pembentukan glukose atau pemecahan dari
glikogen hati berjalan dengan lambat (Giriwijoyo, 2007).
Banyak sel darah merah pecah karena benturan dengan alat atau lintasan pada
saat olahraga sehingga konsentrasinya berkurang. Nilai normal pada laki-laki sebesar
16 gr% dan pada wanita 14 gr% dengan daya ikat terhadap O2 sebesar 1,34 mL O2
(Pearce, 2012). Jika latihan dilaksanakan terus-menerus dan tidak ada hari untuk
pemulihan maka sel darah akan semakin berkurang (Guyton dan Hall, 2012).
Akibatnya adalah menurunnya kadar Hb, dan menurunnya sistem imun terhadap
penyakit infeksi (Abbas dan Lichtman, 2005). Oleh karena itu dalam latihan, setiap
minggu perlu adanya satu hari istirahat dengan tidur yang cukup (Nala, 2011).
44
Pendistribusian darah terjadi peningkatan pada otot yang terlibat dalam gerak
untuk mencukupi kebutuhan latihan seperti lemak, gula untuk penyediaan energi dan
mengangkut sisa metabolisme seperti air dan CO2. Semakin tinggi intensitas latihan,
darah yang ke otot akan semakin meningkat (McArdle dkk., 2010).
2.5.3.2 Efek kronik latihan
Latihan aerobik akan menyebabkan menigkatnya ruang pada atrium maupun
ventrikel jantung. Dengan demikian isi sekuncup (stroke volume) akan meningkat.
Dengan meningkatnya isi sekuncup, maka untuk memenuhi kebutuhan oksigen maupun
untuk mengangkut hasil produk metabolisme seperti karbon dioksida dan asam laktat,
jantung tidak perlu memompa darah dengan frekuensi yang tinggi. Oleh karena itu atlet
yang terlatih daya tahan aerobik, denyut nadi istirahatnya di bawah 60 denyut per
menit, bahkan lebih rendah dari 50 atau 40 kali permenit. (Janssen, 1993).
Latihan airobik yang pemulihannya kurang dari satu kali per minggu,
menyebabkan menebalnya otot jantung yang tidak diikuti meningkatnya ruang jantung,
baik atrium maupun ventrikel. Penyedian energi jantung dalam keadaan normal secara
aerobik menggunakan sumber energi lemak. Tetapi bila intensitas latihan ditingkatkan,
frekuensi denyut jantung meningkat dan sumber penyediaan energi menjadi karbohidrat
atau glukosa darah, dan jika glukosa tidak mencukupi maka akan menggunakan
glikogen yang ada pada sel otot jantung. Jika latihan sering menggunakan glikogen otot
jantung, dan bertahan pada frekuensi denyut nadi maksimal maka timbunan glikogen
otot jantung akan meningkat. Peningkatan glikogen otot jantung akan menyebabkan
penyempitan pembuluh koroner dan penebalan otot jantung (Wilmore dkk., 2008).
Menurut Hakim (2011), dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap penderita
hipertensi dengan bersepeda santai selama dua bulan, dapat menurunkan tekanan darah
dibandingkan dengan sebelum pelatihan. Tekanan darah yang menurun secara
signifikan adalah tekanan diastolik, tetapi tekanan sistolik secara statistik tidak
menurun walaupun ada penurunan angka rerata tekanan. Hasil penelitian Syatria
(2006), olahraga secara teratur selama 12 minggu pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
45
Universitas Diponogoro mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah sistolik
dan diastolik.
Latihan aerobik juga meningkatkan jumlah pembuluh darah pada otot jantung,
sehingga dapat mengurangi terganggunya aliran darah. Dengan banyaknya pembuluh
darah, apabila ada pembuluh yang tersumbat, perannya diambil alih oleh pembuluh
darah yang lain (Wilmore dkk., 2008).
2.6 Metabolisme Energi
Metabolisme adalah merupakan proses dari seluruh reaksi fisik dan kimia
dengan terjadinya perubahan energi dalam tubuh untuk mendukung kelangsungan
kehidupan (Sloane, 2004). Metabolisme terjadi untuk mengubah zat-zat makanan
seperti karbohidrat, lemak dan protein menjadi senyawa-senyawa yang diperlukan
dalam proses kehidupan yang merupakan sumber energi yaitu ATP (Adenosine Tri
Phosphate). Energi ini berguna untuk aktivitas otot, menjaga potensial membran sel
otot dan saraf, sekresi kelenjar, dan sintesis substansi sel (Guyton dan Hall, 2012).
Dinyatakan juga, bahwa metabolisme yang terjadi di dalam tubuh memungkinkan
kehidupan suatu sel.
Aktivitas fisik terdiri dari dua jenis yaitu aktivitas yang bersifat aerobik dan
yang bersifat anaerobik. Jenis olahraga seperti jogging, lari maraton, dan bersepeda
merupakan jenis olahraga dengan komponen aktivitas aerobik yang dominan sedangkan
olahraga yang membutuhkan tenaga besar dalam waktu singkat seperti angkat berat,
push-up, pull up, sprint, dan atletik jenis lompat adalah olahraga dengan komponen
aktivitas anaerobik yang dominan (Irawan, 2007b; Sandi dan Womsiwor, 2014).
Aktivitas aerobik adalah aktivitas fisik yang bergantung pada ketersediaan
oksigen dalam proses pembakaran sumber energi yang terdapat di dalam tubuh.
Aktivitas fisik ini bergantung dari berat ringannya kinerja dari organ-organ tubuh
seperti jantung, paru dan pembuluh darah untuk dapat mengangkut oksigen keseluruh
bagian tubuh yang membutuhkan agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan
dengan sempurna. Metabolisme energi secara aerobik selain menghasilkan energi,
46
proses tersebut juga menghasilkan produk samping berupa karbondioksida (CO2) dan
air (H2O) (Rizka, 2010).
Aktivitas anaerobik adalah aktivitas dengan intensitas tinggi yang
membutuhkan energi secara cepat dalam waktu yang sangat singkat. Aktivitas ini tidak
dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama karena proses
metabolisme energi secara anaerobik dapat menghasilkan ATP dengan laju yang lebih
cepat jika dibandingkan dengan metabolisme energi secara aerobik (Sharkey, 2012).
Untuk gerakan olahraga yang membutuhkan tenaga yang besar dalam waktu yang
singkat, proses metabolisme energi secara anaerobik dapat menyediakan ATP dengan
cepat namun hanya untuk waktu yang terbatas yaitu hanya sekitar ± 90 detik. Walaupun
prosesnya dapat berjalan secara cepat, namun metabolisme energi secara anaerobik ini
menghasilkan molekul ATP lebih rendah dibandingkan dengan metabolisme energi
secara aerobik yaitu setiap satu molekul glukose menghasilkan 2 ATP untuk anaerobik
dibandingkan dengan 36 ATP untuk aerobik (Kholmeier, 2003).
Produk samping yang dihasilkan dari metabolism berupa asam laktat yang
apabila terakumulasi, maka dapat menghambat kontraksi otot dan menyebabkan rasa
nyeri. Oleh karena itu, gerakan bertenaga saat berolahraga tidak dapat dilakukan secara
kontinu dalam waktu yang panjang dan harus diselingi dengan interval istirahat. Selain
itu, asam laktat yang diserap oleh darah merupakan penyebab asidosis metabolik
(Widiyanto, 2007a; Widiyanto, 2010a).
Olahraga beregu dan individual terdapat pula gerakan meloncat, melompat,
mengoper, melempar, menendang, memukul, dan juga mengejar bola dengan cepat
yang bersifat anaerobik. Oleh sebab itu maka beberapa cabang olahraga seperti
sepakbola, bola basket atau juga tenis lapangan merupakan olahraga dengan kombinasi
antara aktivitas aerobik dan anaerobik (Widiyanto, 2010c).
Energi yang dibutuhkan untuk aktivitas otot bersumber dari karbohidrat, lemak,
dan protein (Hardinge dan Shryock, 2003; Ngili, 2009). Sumber energi yang didapat
47
dipergunakan untuk membentuk ATP yang berfungsi sebagai sumber energi dari sel
otot (Guyton dan Hall, 2012).
Semua jenis metabolisme yang terjadi di dalam tubuh bertujuan untuk
meresintesis molekul ATP yang prosesnya berjalan secara aerobik maupun anearobik.
Proses hidrolisis ATP yang menghasilkan energi ini dapat dituliskan melalui persamaan
reaksi kimia berikut (Kholmeier, 2003):
ATP + H2O ---> ADP + H + Pi
Dalam jaringan otot, hidrolisis 1 mol ATP menghasilkan energi sebesar 31 kJ
(7.3 kkal) dan menghasilkan produk lain berupa adenosine diphospate (ADP) dan
inorganik fosfat (Pi). Pada saat berolahraga, terdapat tiga jalur metabolisme energi yang
dapat digunakan oleh tubuh untuk menghasilkan ATP yaitu hidrolisis fosfokreatin
(PC), glikolisis anaerobik glukosa serta pembakaran simpanan karbohidrat, lemak dan
juga protein (Janssen, 1993).
Olahraga dengan aktivitas aerobik yang dominan, metabolisme energi berjalan
melalui pembakaran simpanan karbohdrat, lemak dan sebagian kecil yaitu ± 5% dari
pemecahan simpatan protein untuk menghasilkan ATP. Proses metabolisme ke tiga
sumber energi ini berjalan dengan kehadiran oksigen (O2) yang diperoleh melalui
pernapasan. Sedangkan aktivitas yang bersifat anaerobik, energi diperoleh melalui
hidrolisis PC serta melalui glikolisis glukose secara anaerobik. Proses metabolisme
energi secara anaerobik ini dapat berjalan tanpa kehadiran oksigen (Irawan, 2007b).
2.6.1 Metabolime Energi Secara Anaerobik
Di dalam tubuh terdapat zat kimia yang menyebabkan otot berkontraksi dan
relaksasi yang disebut dengan Adenosin trifosfat (ATP). ATP selama aktivitas otot
diubah menjadi ADP dan menghasilkan energi yang dipakai untuk kontraksi otot.
Secara skematis dituliskan (Astrand dan Rodahl, 2003):
ATP → ADP + Energi
48
2.6.1.1 Sistem fosfokreatin (PC)
Sistem fosfokreatin atau yang dikenal dengan sistem fosfagen adalah
penyediaan ATP yang berasal dari PC yang terdapat di dalam otot. Fosfokreatin
dipecah menjadi fosfat dan kreatin. Fosfat yang dihasilkan diikat oleh ADP menjadi
ATP dengan bantuan enzim kreatin kinase. Ketika pemecahan ATP menjadi ADP dan
fosfat, diikat kembali menjadi fosfokreatin. Persamaan ini dituliskan sebagai berikut
(Soetopo dkk,. 2007; Wolinsky dan Driskell, 2008):
Kreatin fosfat + ADP → Kreatin + ATP.
Di dalam otot, kreatin yang sudah terfosforilasi yaitu PC, berperan penting
dalam metabolisme energi secara anaerobik untuk menghasilkan ATP. Dengan bantuan
enzim kreatin kinase, PC yang tersimpan di dalam otot dipecah menjadi Pi dan kreatin
di mana proses ini juga disertai pelepasan energi sebesar 43 kJ setiap satu mol PC.
Inorganik fosfat yang dihasilkan, dapat mengikat molekul ADP dan kembali
membentuk molekul ATP (Kohlmeier, 2003).
Melalui proses hidrolisis PC, energi dalam jumlah 2.3 mMol ATP/kg berat
basah otot per detiknya dapat dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan energi pada saat
olahraga dengan intensitas tinggi. Namun karena terbatasnya simpanan PC di dalam
jaringan otot yaitu hanya sekitar 14 - 24 mMol ATP/kg berat badan, maka energi yang
dihasilkan melalui proses hidrolisis ini hanya dapat bertahan untuk mendukung
aktivitas anaerobik selama 5 - 10 detik. Singkatnya waktu penyediaan energi sistem
ATP - PC ini disebabkan karena tidak membutuhkan kehadiran oksigen dan energi ini
sudah tersedia dalam otot (Janssen, 1993).
2.6.1.2 Sistem asam laktat
Sistem asam laktat atau sistem glikolisis anaerobik, merupakan bentuk
metabolisme energi secara anaerobik tanpa kehadiran oksigen. Metabolisme energi ini
mengunakan simpanan glukose yang sebagian besar diperoleh dari glikogen otot atau
dari glukose darah untuk menghasilkan ATP. Inti dari proses glikolisis yang terjadi di
dalam sitoplasma ini adalah mengubah molekul glukose menjadi asam piruvat yang
49
disertai dengan pembentukan ATP. Jumlah ATP yang dihasilkan dalam proses
glikolisis ini tergantung dari asal molekul glukose. Jika molekul glukosa berasal dari
darah maka 2 ATP akan dihasilkan dan jika berasal dari glikogen otot maka sebanyak
tiga ATP akan dihasilkan. Penyediaan energi dari sistem asam laktat ini dapat
dituliskan sebagai berikut (Astrand dan Rodahl, 2003; Purba, 2016b):
Glukose + ADP → Laktat + ATP
Asam piruvat yang terbentuk dari proses glikolisis ini, dapat mengalami
metabolisme lanjut baik secara aerobik maupun anaerobik yang bergantung pada
ketersediaan oksigen di dalam tubuh. Pada olahraga dengan intensitas rendah,
ketersediaan oksigen di dalam tubuh cukup besar, molekul asam piruvat yang terbentuk
ini dapat diubah menjadi CO2 dan H2O di dalam mitokondria. jika ketersediaan oksigen
terbatas di dalam tubuh atau saat pembentukan asam piruvat terjadi secara cepat seperti
saat melakukan sprint, maka asam piruvat terkonversi menjadi asam laktat.
2.6.2 Metabolisme Energi Secara Aerobik
ATP yang dihasilkan dalam metabolisme energi aerobik, simpanan energi yang
digunakan yaitu simpanan karbohidrat, simpanan lemak, dan simpanan protein
(Ludington dan Diehl, 2011). Sistem ini merupakan pembentukan kembali ATP melalui
fosforilasi oksidatif yang berlangsung di mitokondria. Yang merupakan pengikatan
kembali Pi menggunakan sumber energi dari makanan (Sugiharto, 2011).
Proses persediaan energi dari aktivitas yang menggunakan energi karbohidrat
dan lemak dituliskan sebagai berikut (Janssen, 1993):
Glukose + O2 + ADP → CO2 + ATP + H2O
Lemak + O2 + ADP → CO2 + ATP + H2O
Menurut Sugiharto (2011), proses yang terjadi dalam mitokondria terbagi
menjadi tiga tahapan yaitu: glikolisis aerobik, siklus kreb, dan sistem transportasi
elektron. Sistem glikolisis aerobik merupakan tahap awal dari perubahan, dimana mulai
terjadi pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O. Dalam proses ini, satu molekul
50
glikogen dipecah menjadi dua mol asam piruvat dan menghasilkan energi untuk
meresintesis tiga mol ATP. Yang dituliskan sebagai berikut:
Glukose (C6H12O6) → 2 asam piruvat + energi (2 ATP) + 4H
Energi + 3 ADP +3 Pi → 3 ATP.
Pemecahan glukose berikutnya adalah dua asam piruvat dengan bantuan
koenzim A (Ko-A) menjadi asetil A, CO2, dan H (dituliskan asam piruvat + Ko-A →
Asetil A + 2 CO2 + 4H) dan selanjutnya Asetil Ko-A masuk dalam siklus Kreb atau
siklus asam sitrat. Periode ini disebut dengan siklus Kreb.
Proses berikutnya adalah pemecahan glikogen pada membran mitokondria
dengan terbentuknya H2O yang dihasilkan dari senyawa pada siklus Kreb dan O2 yang
masuk ke jaringan. Rangkaian ini disebut siklus transportasi elektron.
2.6.2.1 Metabolisme karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat gula (karbohidrat sederhana) dan zat tepung
(karbohidrat komplek) yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Setelah dicerna, kedua jenis karbohidrat ini diabsorsi oleh usus dan diedarkan oleh
darah berupa glukose. Karbohidrat juga tersimpan dalam otot dan hati berupa glikogen
(Ludington dan Diehl, 2011).
Karbohidrat adalah nutrisi yang paling penting dalam melangsungkan
aktivitas seseorang, mengingat karbohidrat merupakan sumber energi yang segera dapat
digunakan, maka harus dikonsumsi oleh atlet antara 60-70% dari total energi yang
dibutuhkan. Dari hasil penelitian didapatkan pada kelompok atlet dengan diet tinggi
karbohidrat mampu berlari selama 167 menit, kelompok dengan makanan yang biasa
dimakan sehari-hari mampu berlari selama 114 menit dan kelompok diet tinggi protein
dan lemak hanya mampu berlari tanpa berhenti dalam waktu 57 menit (Sihadi, 2006;
Neil-Nedley, 2009).
Karbohidrat adalah nutrisi terpenting dalam olahraga. Dengan jumlah yang
memadai, sangat dibutuhkan sebagai sumber energi utama bagi otot yang sedang
51
bekerja, meningkatkan fungsi otak dan sistem saraf pusat (SSP), dan membantu tubuh
dalam memanfaatkan lemak tubuh seefisien mungkin (Burke, 2001).
Asam piruvat yang dihasilkan melalui proses glikolisis ini diubah menjadi
Asetil koenzim-A (Asetil-KoA) dalam mitokondria. Proses ini juga menghasilkan
produk sampingan berupa NADH, yang menghasilkan 2 - 3 molekul ATP. Hasil
konversi asam piruvat ini akan masuk ke dalam siklus asam sitrat (siklus Kreb) untuk
memenuhi kebutuhan energy bagi sel tubuh yang aktif. Hasil akhirnya adalah karbon
dioksida (CO2), ATP, NADH, dan FADH2 (McArdle dkk., 2010). Persamaan reaksinya
dituliskan sebagai reaksi sederhana Asetil-KoA + ADP + Pi + 3NAD + FAD + 3H2O
→ 2CO2 + CoA + ATP + 3NADH + 3H + FADH2 (Irawan, 2007b).
Setelah melampaui reaksi asam pirupat, dilanjutkan dengan reaksi fosforilasi
oksidatif, di mana molekul NADH yang dihasilkan dalam siklus asam piruvat diubah
menjadi ATP dan H2O. Dalam proses ini satu molekul NADH menghasilkan tiga
molekul ATP dan satu molekul FADH2 menghasilkan dua molekul ATP.
Metabolisme energi secara aerobik melalui metabolism simpanan energi
glukose maupun glikogen menghasilkan 38 molekul ATP dan menghasilkan produk
samping berupa karbon dioksida (CO2), dan air (O2). Persamaan reaksi sederhana dapat
dituliskan sebagai berikut (Irawan, 2007b):
Glukose + 6O2 + 38 ADP + 38Pi → 6CO2 + 6H2O + 38ATP
2.6.2.2 Metabolisme lemak
Lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam air, yang didapat dari organisme
yang diekstrak dengan menggunakan pelarut non polar atau pelarut yang kepolarannya
lemah (Ngili, 2009). Lemak dapat terbentuk dari asam lemak yang dibutuhkan oleh
tubuh dalam jumlah kecil untuk mengoptimalkan kesehatan yaitu untuk mengurangi
ateroklerosis (Mirchandani, 2008). Lemak merupakan zat gizi yang menghasilkan
energi terbesar yaitu 1 gr menghasilkan 9 kilo kalori. Akan tetapi kelebihan lemak
dapat menurunkan daya tahan tubuh (Sihadi, 2006).
52
Metabolisme lemak diawali dengan pemecahan simpanan lemak di dalam
jaringan adipose dan jaringan otot berupa trigliserida (intramuscular triglyserides)
melalui suatu proses yang disebut lipolisis. Trigliserida ini akan dikonversi menjadi
asam lemak (fatty acid) dan gliserol. Dalam proses ini, satu molekul trigliserida
menghasilkan tiga molekul asam lemak dan satu molekul gliserol. Trigliserida yang
terbentuk dipecah menjadi bagian yang kecil melalui proses β-oksidasi yang akan
menghasilkan ATP di dalam mitokondria, sedangkan gliserol yang dihasilkan masuk ke
dalam siklus metabolisme dan diubah menjadi glukose. Proses β-oksidasi yang terjadi
berjalan dengan adanya oksigen dan memerlukan adanya korbohidrat, sehingga proses
pembakaran asam lemak berjalan dengan sempurna. Asam lemak yang terdiri dari 16
atom karbon dipecah menjadi unit kecil yang dibentuk dari dua atom karbon. Setiap
dua atom karbon, dapat mengikat sebanyak satu molekul KoA dan terbentuk asetil
KoA. Asetil KoA yang terbentuk akan masuk ke dalam siklus asam piruvat dan
menghasilkan energi (Kholmeier, 2003).
2.6.2.3 Metabolisme protein
Protein yang terbentuk dari asam amino bermanfaat untuk membangun dan
memperbaiki jaringan tubuh yaitu otot, ligament dan tendon, membentuk sel darah
merah dan hormon. Protein meningkatkan penampilan atlet seperti mempercepat
pemulihan setelah latihan, dan meningkatkan kekebalan tubuh (Cribb, 2006). Bila
protein yang dikonsumsi melebihi batas yang dibutuhkan, maka kelebihan asam amino
ini disimpan sebagai lemak (Burke, 2001).
Menurut Sihadi (2006), protein yang diabsorpsi dipergunakan sebagai zat
pembangun, pertumbuhan dan perkembangan jaringan tubuh, sel-sel khusus seperti
hemoglobin, albumin, globulin, serta senyawa kimia lain yang digunakan untuk
metabolisme. Kebutuhan protein seorang atlet adalah 0,8 - 1 g/kgBB/hari. Untuk daya
tahan tubuh sebanyak 1 - 1,2 g/kgBB/hari dan untuk olahraga kekuatan sebanyak 1,3 -
1,6 g/kgBB/hari, sedangkan untuk olahraga usia dini butuh sebanyak 2,0 g/kgBB/hari.
53
Orang dewasa perlu 0,8 - 1 g/kgBB/hari dan orang Amerika yang aktif membutuhkan
sebanyak 1,5 g/kgBB/hari untuk pertumbuhan dan perkembangan otot (Burke 2001).
2.7 Asam Laktat
2.7.1 Pengertian Asam Laktat
Asam laktat atau asam 2-hidroksipropanoat (CH3-CHOH-CHOH) adalah senyawa
kimia yang penting dalam proses biokimia (Wikipedia, 2013). Asam laktat merupakan
hasil lanjutan dari metabolisme glukose yang merupakan produk akhir dari
metabolisme anaerobik (Widiyanto, 2010b). Asam laktat merupakan produk samping
metabolisme dari usaha tubuh yang intensif (Sharkey, 2012). Hal yang sama juga
disampaikan oleh Ramadhan (2012), bahwa asam laktat adalah hasil sampingan dari
metabolisme pembentukan energi. Asam laktat adalah perubahan dari energi kimia
menjadi energi mekanik yang menyebabkan otot berkontraksi.
2.7.2 Efek Positif Asam Laktat dalam Olahraga
Asam laktat sangat penting karena memungkinkan tubuh untuk mengubah
glikogen menjadi energi tanpa kehadiran oksigen. Dengan mengubahnya menjadi asam
laktat, ketika tidak ada persediaan oksigen, memungkinkan proses glikolisis
berlangsung selama beberapa menit dan bahkan hanya beberapa detik. Setelah tubuh
memiliki cukup cadangan oksigen, glikogen dapat dikonversi menjadi ATP dan asam
laktat dapat dikonversi kembali menjadi glukose oleh hati dan jaringan lain yang
digunakan kemudian. Hal ini membuat penggunaan glikogen lebih efisien ketika tubuh
kekurangan pasokan oksigen (Amazine, 2012a).
Asam laktat yang terbentuk pada aktivitas fisik, diubah menjadi asam piruvat
dan dipecah menjadi CO2 dan H2O di dalam mitokondria. Asam laktat dapat berdifusi
ke luar sel otot yaitu darah yang dapat digunakan oleh otot lain. Asam laktat dibawa ke
hati dan diubah menjadi glikogen hati sebagai simpanan. Melalui glikogenolisis,
glikogen dipecah menjadi glukose dan diangkut kembali ke otot dan digunakan untuk
kontraksi otot, sehingga latihan fisik dapat dilakukan dalam waktu yang lebih lama
54
(Hairy, 2008). Otot rangka mendapatkan ATP selama aktivitas fisik melalui glikolisis,
yang hasil akhirnya berupa asam laktat dan diedarkan melalui darah. Laktat yang
dihasilkan diubah menjadi piruvat di dalam hati dengan bantuan isoenzim LDH5 (M4).
Jalur glukoneogenesis mengubah piruvat menjadi glukose 6-fosfat dengan bantuan
enzim glukose 6-fosfatase dan akhirnya diedarkan oleh darah dan masuk otot rangka.
Dalam otot, glukose diubah menjadi glukose 6-fosfat dengan bantuan enzim
heksokinase dan memasuki glikolisis (Ngili, 2009).
Proses yang terjadi pada otot dalam menggunakan asam laktat sebagai bahan
bakar adalah sebagai berikut. Sel-sel otot mengkonversi glikogen menjadi asam laktat
ketika tidak ada cukup oksigen untuk mengubahnya menjadi ATP. Asam laktat
kemudian dapat digunakan sebagai bahan bakar oleh mitokondria, yang merupakan
penghasil energi dalam sel otot (Amazine, 2012a).
Pelatihan daya tahan secara intensif dapat meningkatkan massa mitokondria
dalam sel otot lebih dari dua kali lipat, yang dapat membantu otot untuk menggunakan
asam laktat sebagai bahan bakar. Hal ini memungkinkan sel otot bekerja lebih keras
dan lebih lama dalam situasi cadangan oksigen rendah. Jadi salah satu alasan atlet dapat
tampil lama saat bertanding adalah karena latihan intensif yang dilakukan
memungkinkan sel otot untuk menyerap asam laktat lebih cepat dan lebih efisien
karena meningkatnya massa mitokondria (Amazine, 2012a).
Asam laktat dalam sistem pencernaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
kemampuan usus dalam menyerap zat mutagenik. Zat ini berperan dalam mencegah
penyakit kanker yang terdapat pada berbagai sumber seperti makanan, minuman, sayur-
sayuran dan buah-buahan (Agustrisno, 2011). Menurut Indo-Combucha (2010), asam
laktat yang berada pada teh kombucha sangat dibutuhkan bagi sistem pencernaan
sebagai indikator dari penyakit kanker.
2.7.3 Efek Negatif Asam Laktat dalam Olahraga
Latihan yang dilangsungkan secara glikolisis anaerobik akan meningkatkan
asam laktat. Terjadi peningkatan konsentrasi asam laktat darah antara sebelum dan
55
sesudah latihan terhadap sekelompok orang pada latihan bench press (Bloomer dan
Cole, 2009). Akumulasi asam laktat berlebihan akan mengganggu kontraksi otot.
Meningkatnya asam laktat dan akumulasi karbondioksida menyebabkan kesukaran
bernapas yang diikuti dengan kelelahan dan ketidaknyamanan (Sharkey, 2012). Pada
saat olahraga dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama akan meningkatkan
aliran darah pada otot yang aktif, yang dapat menyebabkan pembengkakan.
Pembengkakan menyebabkan peningkatan tekanan yang merangsang reseptor nyeri
sehingga dirasakan nyeri (Yuliastrid, 2012).
Penumpukan asam laktat dapat menyebabkan asidosis sel otot (Gladden,
2009). Janssen (1993) menyatakan, ada beberapa kerugian yang diakibatkan oleh
peningkatan konsentrasi asam laktat di antaranya adalah:
1). Mengakibatkan asidosis yang disebabkan karena rusaknya sel otot yang
menyebabkan kebocoran sel otot. Dalam keadaan asidosis kinerja enzim
menurun yang menurunkan kemampuan daya tahan aerobik. Penurunan ini
dapat berlangsung berhari-hari dan kembali dalam keadaan semula dalam waktu
antara 24 - 96 jam.
2). Mengganggu koordinasi. Dalam olahraga yang membutuhkan keterampilan
tinggi seperti sepak bola dan bulu tangkis, latihan sebaiknya tidak dilakukan
pada saat konsentrasi laktat antara 6 - 8 mM/L karena akan mengganggu
koordinasi, sehingga latihan ketrampilan tidak bermanfaat.
3). Meningkatkan risiko cedera. Kerusakan ini apabila tidak pulih semuanya akan
menyebabkan kerusakan yang lebih berat.
4). Terhambatnya pembentukan fosfokreatin. Pada keadaan otot bersifat asam,
pembentukan kembali PC akan terhambat, sehingga pada latihan anaerobik
seperti sprint didak dianjurkan pada kadar asam laktat yang tinggi.
5). Oksidasi lemak mengalami stagnasi. Pada kadar laktat yang tinggi suplai energi
akan terganggu karena melambatnya oksidasi lemak.
56
Menurut Ulya (2009), kelelahan otot disebabkan karena penumpukan asam
laktat. Penumpukan asam laktat pada intramuscular sangat erat hubungannya dengan
penurunan penampilan. Akumulasi asam laktat akan menghalangi fungsi otot dan
menyebabkan penurunan PH. Peningkatan asam laktat, akan meningkatkan konsentrasi
ion H+. Sebaliknya, peningkatan ion H
+ akan menghalangi eksitasi karena terjadi
penurunan Ca+ dan gangguan dalam mengikat Ca
+. Peningkatan ion H
+ menyebabkan
timbulnya kelelahan pada otot rangka (Septiani dkk., 2010).
Penurunan PH menyebabkan penurunan reaksi enzim dalam sel otot karena
enzim sangat peka terhadap perubahan PH. Penurunan kecepatan reaksi enzim
mengakibatkan terjadinya penurunan metabolisme dan produksi ATP (Widiyanto,
2010b). Penurunan PH atau peningkatan konsentrasi ion H+ akan mengganggu
metabolisme sel otot. Gangguan terhadap metabolisme sel otot yaitu berupa: 1).
Menghambat enzim aerobik dan anaerobik sehingga menyebabkan penurunan daya
tahan aerobik dan anaerobik. 2). Menghambat terbentuknya PC dan mengganggu
koordinasi. 3). Menghambat enzim fosfofruktokinase. 4). Menghambat pelepasan ion
Ca++
yang mengganggu kontraksi otot. 5). Menghambat aktivitas mATPase pada otot
putih yang peka terhadap keadaan asam (Messonnier dkk., 2007; Joel, 2008).
Latihan fisik dengan intensitas 50% VO2-Max dan submaksimal akan
meningkatkan konsentrasi asam laktat dan menurunkan PH darah. Pada latihan fisik PH
darah menurun mencapai 7,0 dan pada latihan fisik maksimal seperti lari cepat (sprint)
PH darah mencapai 6,5 dari keadaan normalnya 7,4. Penurunan PH darah ini
menyebabkan peningkatan asam laktat pada jaringan yang kekurangan O2 dan
menurunkan glikolisis pada hati (Kusnanik dkk., 2011). Hasil penelitian Herdyanto dan
Yonny (2007), ada penurunan PH darah setelah latihan fisik intensif dibandingkan
dengan sebelum latihan dan kelompok kontrol.
Menurut Amazine (2012b), asam laktat berperan dalam metabolisme, akan
tetapi ada beberapa fakta tentang informasi asam laktat seperti berikut: 1). Asam laktat
tetap diproduksi pada saat istirahat, yang jumlahnya meningkat sesuai dengan
57
peningkatan aktivitas. 2). Bukan hanya kekurangan oksigen, tetapi ketidak hadiran dari
molekul nicotinomide adenine dinucleotide (NAD) dan flavin adenine dinucleotide
(FAD) berperan jauh lebih tinggi terhadap peningkatan asam laktat. Kedua molekul ini
berperan dalam mengangkut hidrogen ke dalam sel otot untuk memproduksi energi. 3).
Asam laktat dipakai sebagai bahan bakar. Di mana dalam waktu 30 menit setelah
aktivitas asam laktat akan menghilang di dalam otot, yang digunakan oleh hati sebagai
sumber energi. 4). Peningkatan asam laktat mempercepat kelelahan yang akan
menurunkan penampilan fisik atlet. Kelelahan ini disebabkan kerena peningkatan
hidrogen yang mengurangi produksi ATP akibat dari penurunan enzim yang terlibat
dalam produksi energi. Peningkatan hidrogen akan menghalangi kalsium. Penurunan
kalsium akan menurunkan aktivitas otot. 5). Delayed onset muscle soreness (DOMS)
yaitu rasa nyeri pada otot yang dirasakan setelah beraktivitas 24 - 48 jam. DOMS
diakibatkan karena aktivitas berlebihan, yang dapat merusak otot atau jaringan ikat
sehingga dirasakan nyeri.
2.7.4 Latihan Fisik dan Asam Laktat
Asam laktat darah meningkat sebanding dengan meningkatnya intensitas
latihan, yang menunjukkan transisi dari aktivitas aerobik dengan aktivitas anaerobik
(Alfaro dkk., 2002; Budiman, 2006; Maxnes dan Sandbakk, 2012). Asam laktat akan
meningkat apabila melakukan latihan fisik dengan intensitas tinggi (Muhardisyaflin,
2011). Latihan yang dilakukan dengan intensitas yang lebih tinggi menyebabkan
akumulasi kadar asam laktat (Huteri, 2012; Ramadhan, 2012). Ada hubungan positif
antara kadar asam laktat darah dengan frekuensi denyut nadi, baik frekuensi denyut
nadi istirahat maupun frekuensi denyut nadi latihan (Sugiharto dan Sumartiningsih,
2012). Konsentrasi asam laktat darah dalam keadaan istirahat sebesar satu mM/L dan
terus meningkat sesuai dengan peningkatan aktivitas. Saat aktivitas dengan intensitas
70 - 80% VO2Max asam laktat mencapai 4 mM/L (Hernawati, 2009). Pada akhir
lomba, pelari jarak 400 meter meningkat menjadi 18 mM/L dan akan meningkat
mencapai 23 mM/L pada atlet yang lebih intensif. Juga dinyatakan bahwa pelari yang
58
berlari dengan waktu 10 detik sampai 10 menit menghasilkan asam laktat melalui
metabolisme anaerobik (Amazine, 2012b).
Aktivitas fisik dalam intensitas submaksimal menyebabkan perubahan fungsi
transportasi oksigen. Perubahan tersebut menurunkan produksi asam laktat atau
peningkatan ambang anaerobik (Muhardisyaflin, 2011). Ambang laktat atau ambang
anaerobik dapat didefinisikan sebagai titik di mana produksi laktat meningkat secara
dramatis pada tingkat tertentu misalnya sebesar empat mM/L. Dalam keadaan ini
akumulasi laktat mulai meningkat dan tubuh mulai tidak dapat memenuhi permintaan
energi melalui mekanisme aerobik (Bompa dan Haff, 2009).
Pemulihan asam laktat darah dan otot pada latihan melelahkan ke dalam
keadaan normal membutuhkan waktu 1-2 jam. Pemulihan akan lebih cepat apabila
diakhiri dengan pemulihan aktif dengan intensitas 50% VO2Max dibandingkan dengan
pemulihan pasif. Pumulihan aktif akan lebih cepat menurunkan kadar asam laktat
karena pada pemulihan aktif aliran darah masih tinggi yang dapat mempercepat difusi
asam laktat keluar otot untuk segera dioksidasi (Kusnanik dkk., 2011). Pernyataan ini
didukung oleh hasil penelitian Purnomo (2011), bahwa asam laktat dalam darah
berangsur-angsur menurun sesuai dengan penurunan waktu.
Sugiharto dan Sumartiningsih (2012) mengatakan, pemulihan secara aktif
selama lima menit setelah latihan argocycle dapat mempercepat penurunan asam laktat.
Pemulihan asam laktat darah dapat dipercepat dengan manipulasi sport massage dan
sirculo massage setelah latihan (Widiyanto, 2007a). Pemulihan asam laktat setelah
latihan dengan intensitas submaksimal sangat berhubungan dengan VO2Max
(Yuliastrid, 2013). Di samping itu suplemen juga sangat berpengaruh terhadap
penurunan asam laktat. Pemberian pisang raja dapat menurunkan selisih konsentrasi
asam laktat dibandingkan dengan plasebo (Bahri dkk., 2007).
59
2.8 Suhu Tubuh
2.8.1 Pengaturan Suhu Tubuh
Suhu tubuh yang didapat dari hasil metabolisme yang sebagian besar
menghasilkan panas, baik dar kontraksi otot lurik, otot jantung, maupun otot polos,
berusaha dikeluarkan dari dalam tubuh melalui sistem pengaturan. Pengaturan suhu
tubuh adalah pengaturan secara kompleks dari fisiologis tubuh dimana terjadi
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh
dipertahankan konstan sebesar 36,7 ± 0,2 oC (Ganong, 2012).
Pengaturan suhu tubuh dilakukan oleh hipotalamus, yaitu organ tubuh yang
terletak di dasar ventrikel otak ke-3. Kerja sistem ini tergantung dari karakteristik
lingkungan, di mana respon tubuh bisa berupa kontriksi ataupun dilatasi pembuluh
darah ke kulit dan dapat juga berupa menggigil atau berkeringat (Gabriel, 2012).
Hipotalamus sebagai thermostat berfungsi meningkatkan dan menurunkan suhu
tubuh. Apabila informasi dari reseptor panas menunjukkan adanya peningkatan suhu
dari yang semestinya, maka akan dibangkitkan infuls eferen dari bagian anterior
hipotalamus yang akan mengaktifkan mekanisme pembuangan panas dengan
terbentuknya vasodilatasi pembuluh darah ke kulit dan mengaktifkan kelenjar keringat
(Guyton dan Hall, 2012).
Apabila informasi gabungan dari reseptor panas berupa penurunan suhu tubuh
dari yang semestinya, maka hipotalamus yang terletak pada bagian posterior
mengaktifkan mekanisme penyimpanan panas. Mekanisme penyimpanan panas ini
akan diikuti dengan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah ke kulit dan diikuti
dengan menggigil (Ganong, 2012).
2.8.2 Prinsip Pertukaran Suhu Tubuh
Kehilangan cairan tubuh (insensible water loss) adalah kehilangan cairan tubuh
yang berlangsung secara terus menerus melalui evavorasi dari traktus respiratori dan
difusi melalui kulit. Kehilangan cairan tubuh melalui traktus respiratorius berkisar
antara 300 - 400 mL/hari dengan rata-rata 350 mL/hari dan kehilangan cairan tubuh
60
melalui keringat kurang lebih 300 - 400 mL/hari. Ketika cuaca dingin ekstrim, tekanan
atmosfir menurun, menyebabkan kehilangan cairan melalui respirasi meningkat yang
menimbulkan perasaan kering pada saluran pernapasan (Guyton dan Hall, 2012).
Tingginya produksi panas karena peningkatan aktifitas fisik perlu diimbangi
dengan kecepatan pembuangan panas. Pembuangan panas dari tubuh ke lingkungan
dapat melalui beberapa cara di antaranya adalah; radiasi, konduksi, konveksi, dan
evaporasi (Gabriel, 2012).
1). Radiasi
Radiasi adalah transfer panas dari suatu permukaan objek ke objek lain tanpa
mengalami kontak dari ke dua objek tersebut. Besarnya energi radiasi sama dengan
tetapan Plank dikalikan dengan frekuensi radiasi. Dituliskan E = nhf, di mana E adalah
energi radiasi, n adalah bilangan bulat, h adalah tetapan Plank, dan f adalah frekuensi
radiasi. Tubuh manusia selalu memancarkan panas dalam bentuk gelombang infra
merah. Pakaian berwarna terang lebih sedikit menyerap panas daripada yang berwarna
gelap. Perubahan sikap tubuh menyebabkan permukaan radiasi berkurang, misalnya
terjadi pengurangan permukaan radiasi sebesar 10 - 15% dari sikap berdiri ke duduk
(Cameron dkk., 2012).
2). Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas dari objek yang mempunyai temperatur
lebih tinggi ke objek yang lainnya yang mempunyai temperatur lebih rendah.
Kecepatan perpindahan panas konduksi dari tubuh ke lingkungan tergantung dari
perbedaan suhu antara tubuh dan lingkungan yang bersentuhan langsung. Oleh karena
itu, pemanjat tebing dapat mempercepat kehilangan panas melalui konduksi pada
material yang dipegangnya. Udara yang terjebak di antara sela pakaian, merupakan
isolator yang baik terhadap dingin, sehingga pakaian untuk mencegah kedinginan
bukan ditentukan oleh tebalnya pakaian, tetapi lebih ditentukan oleh berapa banyak
bahan pakaian itu dapat memerangkap udara (Gabriel, 2012).
61
3). Konveksi
Konveksi atau aliran adalah perpindahan panas dari suatu objek ke objek yang
lainnya di mana zat perantara ikut berpindah. Perpindahan ini terjadi karena massa jenis
udara panas lebih ringan dibandingkan dengan udara dingin. Pertukaran panas secara
konveksi dapat terjadi pada media air atau udara yang mengenai tubuh. Angin yang
secukupnya mengenai tubuh dapat mempercepat kehilangan panas. Hal ini terjadi bila
terkena aliran angin dari kipas angin atau bila tubuh bergerak terhadap udara atau air,
misalnya bersepeda, ski atau berenang, atau berada dalam air yang mengalir, sehingga
kehilangan panas berjalan lebih cepat. Pakaian yang dipakai menyebabkan udara
terjebak di permukaan kulit dan menjadi panas, dengan demikian akan mengurangi
pembuangan panas. Sebaliknya dalam iklim panas, tubuh dapat menerima panas
lingkungan melalui konveksi (Cameron dkk., 2012).
4). Evaporasi
Evaporasi atau penguapan adalah perpindahan panas dari objek ke objek yang
lainnya melalui cairan menjadi uap. Evaporasi adalah cara terpenting pembuangan
panas selama olahraga dalam iklim apapun. Peristiwa ini terjadi bila keringat berubah
status dari cair menjadi uap dan panas diambil dari tubuh. Pembuangan panas ini terjadi
dari difusi keringat melalui kulit akibat rangsangan suhu, sekresi kelenjar keringat dan
penguapan melalui saluran pernapasan. Bila pengeluaran panas dalam lingkungan
panas tidak terjadi, maka suhu inti tubuh pada orang yang berlatih berat dalam 20 menit
meningkat dari 37 oC menjadi 40
oC. Evaporasi berkurang apabila kelembaban relatif
lingkungan tinggi. Kelembaban tinggi pada lingkungan yang panas akan mempersulit
pengeluaran panas tubuh. Keadaan ini akan mempercepat pengeluaran keringat dan
mempercepat terjadinya dehidrasi (Cameron dkk., 2012).
62
2.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penampilan Fisik dalam Olahraga
Untuk mencapai penampilan puncak pada aktivitas fisik perlu memperhatikan
beberapa faktor, yang secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu
faktor intenal dan faktor eksternal.
2.9.1 Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri di
antaranya; umur, genetik, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, teknik, mental,
motivasi, disiplin dan pengalaman.
1. Umur. Hampir semua komponen biomotorik dipengaruhi oleh umur. Umur
menunjukkan tingkat kematangan yang berkaitan dengan pengalaman.
Peningkatan kekuatan otot berkaitan dengan pertambahan umur, dimensi,
anatomi atau diameter otot dan kematangan seksual. Kekuatan otot terus
meningkat sampai mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Setelah umur
tersebut kekuatan otot akan menurun mencapai 20% pada umur 65 tahun dari
kekuatan puncaknya umur 20-30 tahun (Nala, 2011).
2. Genetik. Genetik bersifat pembawaan yang sering kali ikut berperan dalam
penampilan fisik seperti proporsi tubuh, karakter fsikologis, otot putih dan otot
merah serta suku (Astrand dan Rodahl, 2003). Pengaruh genetik terhadap
kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan
komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan otot merah. Atlet
yang memiliki lebih banyak serabut otot putih lebih mampu untuk melakukan
kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan yang lebih banyak memiliki serabut
otot merah lebih tepat melakukan kegiatan yang bersifat aerobik. Dengan
demikian faktor genetik juga berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet.
3. Jenis kelamin. Secara umum jenis kelamin mempengaruhi kemampuan anak
dalam beraktivitas apalagi setelah mengalami pubertas, baik kekuatan, daya
tahan, maupun kecepatan. Hal ini terjadi karena adanya hormon testosteron pada
anak laki-laki (Astrand dan Rodahl, 2003). Perbedaan kekuatan otot antara pria
63
dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam
tubuh. Pada umur yang sama setelah wanita mengalami menstruasi mengalami
peningkatan jaringan lemak sehingga atot wanita yang aktif relatif lebih sedikit.
Perbedaan nilai kekuatan otot tidak sama setiap kelompok otot. Pada otot
ekstensor dan fleksor panggul nilai kekuatan otot wanita 80% dari pada laki-laki,
kekuatan alat tubuh bagian atas hanya 50% dari laki-laki, sedangkan alat tubuh
bagian bawah berkisar antara 30% lebih lemah dari laki-laki. Dengan demikian
jelas bahwa jenis kelamin mempengaruhi penampilan fisik.
4. Berat badan. Berat badan seseorang sangatlah bersifat individual, yang berarti
bahwa orang yang mempunyai berat lebih tinggi belum tentu lebih gemuk
daripada yang mempunyai berat lebih rendah. Akan tetapi kelebihan berat badan
ditandai dengan terjadi peningkatan berat badan sebesar 10-19% di atas berat
badan ideal, 20% ke atas disebut dengan obesitas (Ludington dan Diehl, 2011).
Berat badan sangat mempengaruhi penampilan fisik dalam berolahraga. Hal ini
disebabkan karena berat badan merupakan gaya berat yang dipengaruhi oleh
percepatan gravitasi. Makin tinggi gaya berat, maka gaya otot yang dibutuhkan
untuk mengangkat badan semakin besar. Sehingga dengan gaya otot yang sama
pada berat badan yang lebih kecil akan lebih mudah tubuh terangkat. Sehingga
penampilan dalam berolahraga semakin meningkat.
5. Indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan hasil dari
perhitungan antara berat badan (BB) dengan kuadrat tinggi badan (TB) yang
dituliskan dengan IMT = BB/TB2 (kg/mt
2) (Kuntaraf dan Kuntaraf, 2009).
6. Kebugaran fisik. Menurut Giriwijoyo (2007), kebugaran fisik adalah kecocokan
keadaan fisik untuk dapat melaksanakan tugas fisik tertentu dengan hasil yang
baik sesuai dengan tugasnya. Kebugaran fisik dikaitkan dengan kemampuan
individu untuk bekerja dengan lebih efektif dan menikmati masa senggang, hal
ini hanya dapat dicapai dengan olahraga secara berkelanjutan (Kementrian
Pelajaran Malaysia, 2010). Kebugaran fisik merupakan kemampuan untuk
64
melakukan kegiatan sehari-hari tanpa merasa lelah berlebihan dan masih
memiliki cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang dan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya mendadak (Nala, 2011). Daya tahan umum yang menyangkut
kemampuan paru, jantung dan pembuluh darah (Respiratio Cardiovascular
Endurance) adalah merupakan salah satu unsur utama kebugaran fisik. Daya
tahan paru, jantung, dan pembuluh darah dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk melakukan tugas-tugas berat yang melibatkan kelompok-kelompok otot
besar untuk jangka waktu yang lama. Tingginya tingkat daya tahan umum
menunjukkan tingginya kapasitas kerja fisik, yang merupakan kemampuan untuk
melepaskan jumlah energi yang relatif tinggi dalam jangka waktu yang lama
(Ananto, 2000). Kebugaran fisik didapat dari olahraga yang meningkatkan HDL
yaitu pada model olahraga yang lebih aktif atau aerobik yang membuat terjadi
peningkatan denyut jantung dan memerlukan pergerakan tubuh yang berirama
dan napas dalam (Neil-Nedley, 2009). Kebugaran fisik dapat diukur dengan
berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4 km yang dinyatakan dalam waktu tempuh,
satuan menit, ketelitian 0,01 menit.
7. Intensitas latihan. Intensitas latihan ditentukan oleh besar daya yang diperlukan
dan dapat disediakan oleh mekanisme metabolisme anaerobik persatuan waktu.
Secara subjektif dintensitas latihan itentukan oleh besar kesenjangan antara
metabolisme aerobik (kemampuan memasok O2) terhadap metabolisme
anaerobik (tanpa tuntutan akan O2) yang terjadi (Giriwijoyo, 2007).
8. Teknik. Teknik sangat menentukan penampilan dalam berolahraga. Tanpa
penguasaan teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang
diharapkan. Dalam penelitian ini semua sampel dianggap mempunyai teknik
yang sama karena semua sampel sebelumnya telah diajarkan teknik. Sebelum
pengambilan data diajarkan teknik dasar dengan volume, waktu dan teknik yang
sama dan telah dicoba dengan kesempatan yang sama setiap sampel.
65
9. Mental. Mental tidak kalah pentingnya dibandingkan faktor-faktor di atas karena
betapapun sempurnanya fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya kurang bagus
penampilan puncak tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu mental perlu
ditingkatkan dengan cara pelatihan. Pelatihan mental ini penekanannya pada
perkembangan kedewasaan serta emosional dan impulsif misalnya; semangat
bertanding, sikap pantang menyerah, sportivitas, percaya diri, dan kejujuran.
Dengan memberikan pelatihan maka fungsi fisiologis dan fsikologis tubuh
meningkat sehinga mampu mencapai puncak penampilannya (Pinel, 2009).
10. Motivasi. Motivasi untuk berprestasi setinggi-tingginya atau ingin sukses
merupakan faktor yang menentukan prestasi atlet dengan cara memakai daya dan
upaya yang ada. Dengan motivasi yang tinggi dapat meningkatkan besar dan
frekuensi infuls saraf sehingga membangkitkan tenaga yang tinggi dan akan
mempercepat pelaksanaan gerak (Narendra, 2008).
11. Disiplin. Faktor disiplin juga penting diperhatikan untuk mencapai penampilan
puncak. Disiplin ini termasuk dalam pelatihan, kehadiran dalam berlatih dan
disiplin dalam pengambilan data. Tanpa disiplin yang tinggi atlet sulit untuk
mencapai prestasi yang diinginkan (Narendra, 2008).
12. Pengalaman. Pengalaman juga ikut berperan dalam mencapai penampilan
puncak, baik menyangkut teknik, mental maupun kemampuan dalam mengatasi
hambatan eksternal seperti hambatan udara (Enamait, 2005).
2.9.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor tersebut
menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan angin, dan
ketinggian tempat.
1. Suhu dan kelembaban relatif udara. Pada umumnya orang Indonesia
beraklimatisasi pada suhu tropis antara 18-30 o
C dengan kelembaban relatif
bervariasi antara 40-60%. Bila atlet biasa berlatih pada suhu lingkungan sebesar
29 o
C kemudian akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih
66
tinggi, maka harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan
bila temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan
penyesuaian hanya dibutuhkan beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan
dengan cara berlatih di tempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat
ruangan tempat berlatih suhunya sama dengan di tempat bertanding (Giriwijoyo,
2007). Penurunan atau peningkatan suhu udara secara langsung akan
mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan perbandingan berbanding
terbalik (Kanginan, 2000). Perubahan ini akan mempengaruhi penampilan fisik
atlet bila berada di luar batas kenyamanan.
2. Arah dan kecepatan angin. Arah dan kecepatan angin tidak berpengauh bila
aktivitas dilakukan di dalam ruangan (indor). Arah angin diukur dengan bendera
angin atau kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer
(Kanginan, 2000). Arah dan kecepatan angin tempat penelitian berada pada batas
toleransi, apalagi penelitian dilakukan di dalam ruangan. Diharapkan
pengaruhnya dapat ditekan sekecilnya atau tempat pengambilan data berada pada
kondisi yang sama.
3. Ketinggian tempat. Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan
laut terjadi penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dt2
(Cameron dkk.,
2012). Hal ini akan mempengaruhi penampilah fisik. Tempat yang percepatan
gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya
berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini
dibayar dengan kerugian yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter di
atas permukaan laut akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg
(Gabriel, 2013; Pulung dan Ika, 2006). Penurunan tekanan udara ini akan
menurunkan kadar O2. Sehingga bila atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut
kemudian bertanding di tempat tinggi dengan kadar O2 rendah, maka frekuensi
pernapasannya akan meningkat karena konsumsi O2 sama dengan saat berlatih
sedangkan banyaknya O2 yang dihirup sekali nafas berkurang. Hal ini akan
67
menjadi beban yang cukup besar. Ketinggian tempat pengambilan data antara 0-
75 meter di atas permukaan laut (Wikipedia, 2011). Ketinggian tempat dianggap
tidak berpengaruh terhadap hasil penelitian karena subjek terbiasa beraktivitas
tidak jauh dari tempat penelitian dan pada tempat yang sama pada ke dua
kelompok.
2.10 Pemanasan
Pemanasan yang cukup memadai dalam suatu aktivitas fisik, baik kerja atau
olahraga sangat perlu dilakukan, karena ketika beristirahat sistema tubuh berada dalam
keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa menit, baik
fisik maupun fsikologis dari sikap pasif ke sikap aktif. Pemanasan yang dilakukan akan
meningkatkan suhu tubuh terutama otot skeletal meningkat dengan cepat (McGowan
dan Castolli, 2007). Jumlah darah yang mengangkut oksigen ke otot skeletal meningkat
pula yang akan mengaktifkan sumber energi di dalam otot dan merangsang keluarnya
hormon serta meningkatkan kerja enzim (Nala, 2011). Pemanasan akan membantu
berlatih lebih baik dan mengurangi rasa sakit yang biasanya dirasakan. Pemanasan
bertujuan untuk menyiapkan otot menjalani pelatihan inti dan memungkinkan
persediaan oksigen mempersiapkan diri untuk menghadapi latihan. Diuraikan bahwa
otot akan berfungsi lebih baik jika suhu tubuh telah meningkat dari normal (Burke
(2001). Pendapat di atas didukung oleh Brick (2002), yang menyatakan ada lima alasan
dilakukannya pemanasan, yaitu; 1). berangsur-angsur menaikkan denyut jantung, 2).
Mempersiapkan otot-otot dan sendi, 3). Meningkatkan suhu inti tubuh, 4).
Meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, dan 5). Mempersiapkan diri secara
psikologis dan emosional.
Pemanasan ini sangat bermanfaat untuk menunjang kinerja sel otot skeletal, otot
jantung, paru, dan pembuluh darah. Selain itu pemanasan juga mengaktifkan sistem
saraf yang mengkoordinasikan kinerja sistem tubuh lainnya sehingga menjadi lebih
baik. Meningkatkan kecepatan infuls saraf yang merambat melalui rangsangan dari
pusat rangsangan menuju saraf motorik dan tujuan akhirnya otot skeletal. Akibatnya
68
adalah mempercepat reaksi motorik, meningkatkan reflek dan kontraksi otot serta
koordinasinya, sehingga penampilan atlet akan diperbaiki, cedera dikurangi, dan mental
menjadi tambah siap untuk bertanding.
Pemanasan yang umum dilakukan dalam olahraga adalah pemanasan aktif, yaitu
dengan aktivitas fisik, bukan pemanasan pasif seperti; mandi uap, menggunakan
selimut panas, sinar inframerah, dengan bahan kimia yang efeknya sangat terbatas pada
organ tubuh, tidak setinggi aktivitas fisik yaitu dengan kontraksi otot (Chandler dan
Broown, 2008; Guyton dan Hall, 2012).
Intensitas dan durasi pemanasan bervariasi tergantung dari aktivitas yang
dilakukan. Pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar antara 20-30
menit atau 10-20 menit (Bompa dan Haff, 2009) sedangkan Powers dan Howley (2009)
menyatakan, denyut jantung meningkat 20-40 persen dari denyut jatung istirahat
dengan 5 menit terakhir digunakan untuk pemanasan khusus. Menurut Burke (2001)
serta Thomas dkk. (2008), waktu yang dibutuhkan untuk pemanasan kira-kira 5-10
menit, atau jika menggunakan patokan denyut jantung telah mencapai 50-60% denyut
nadi maksimum. Patokan lain adalah keluarnya keringat yang tergantung dari berbagai
faktor yaitu; suhu dan kelembaban lingkungan, umur, kebugaran fisik, berat ringannya
aktivitas dan lain-lain.
Tipe pemanasan yang dilakukan tergantung dari cabang olahraganya. Menurut
Nala (2011), tipe pemanasan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu:
1. Peregangan, merupakan aktivitas otot yang pertama kali dilakukan dalam
pemanasan. Gerakannya tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi perlahan-
lahan untuk mengindari cedera. Pada setiap akhir peregangan posisinya ditahan
selama 20-30 detik. Peregangan membantu darah kembali ke jantung,
menurunkan risiko cedera dan merasakan diri santai (Brick, 2002).
2. Kalisthenik, adalah menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulang-
ulang dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang
69
terlibat. Misalnya gerakan baring-duduk (sit-ups) untuk meningkatkan suhu dan
aliran darah pada perut dan pinggang, yang dilakukan cukup 5-10 kali.
3. Aktivitas spesifik, merupakan gerakan pemanasan yang disesuaikan dengan
aktivitas yang dilakukan. Jadi disesuaikan dengan olahraga spesialisasinya.
2.11 Pendinginan
Pendinginan adalah bagian dari sesi latihan yang berperan khusus sebagai
proses tubuh kembali ke kondisi normal, termasuk kondisi biomekanis, fisiologis,
psikologis dan spiritual atau keadaan sebelum latihan (Brick, 2002). Bila latihan
dilakukan, sangat penting untuk kembali pada tahap semua organ tubuh berada pada
tingkat normal mereka. Hal ini bertujuan untuk memulihkan kekuatan otot, relaksasi,
teknik dan koordinasi, ketepatan gerakan, dan kondisi mental. Arti psikologis dari
pendinginan baik setelah olahraga sehari-hari maupun setelah pertandingan sering
diabaikan, walaupun sebetulnya sangatlah penting dilakukan (Giriwijoyo, 2007).
Pendinginan bentuknya kurang lebih sama dengan pemanasan yaitu berupa
gerakan-gerakan ringan yang menyerupai peregangan dan pelemasan. Latihan
pendinginan adalah gerakan ringan yang untuk membantu melancarkan sirkulasi darah
(mengaktifkan pompa pena), sehingga akan membantu mempercepat pengangkutan sisa
metabolisme dari otot yang aktif saat melakukan aktivitas berat sehingga rasa pegal-
pegal dapat dikurangi. Pada hakekatnya pendinginan merupakan auto massage yaitu
memijat oleh diri sendiri (Giriwijoyo, 2007). Pendinginan dilakukan dengan
menurunkan intensitas latihan secara berangsur-angsur selama beberapa menit hingga
mencapai denyut jantung 50% dari denyut maksimum (Burke, 2001).
Jadi pendinginan merupakan latihan multi-dimensi dan harus dilakukan secara
serius sebagai bagian utama dari sesi latihan. Bagian ini tidak memakan waktu banyak,
tetapi bisa sedikit lebih lama dari pemanasan, karena kembalinya fungsi tubuh ke
normal bisa menjadi merupakan proses yang lebih dituntut dibandingkan pemanasan.
Bila ada lebih banyak kesempatan, pendinginan bisa dilakukan lebih lama
dibandingkan waktu yang digunakan untuk pemanasan (Narendra, 2008).