BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Menuliseprints.umm.ac.id/40144/3/BAB II.pdf · kelompok kata....
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Menuliseprints.umm.ac.id/40144/3/BAB II.pdf · kelompok kata....
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pembelajaran Menulis
Menulis merupakan keterampilan berbahasa tulis yang menjadi salah satu
faktor dalam kegiatan berbahasa. Keterampilan menulis merupakan keterampilan
yang paling akhir dikuasai dalam mempelajari bahasa setelah kemampuan
berbicara, menbaca, dan menyimak. Nursisto (1999: 5) menjelaskan keterampilan
menulis ialah kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang memiliki tingkatan
paling tinggi, yaitu menulis dalam bentuk bahasa tulis. Dapat disimpulkan bahwa
dalam kegiatan menulis dapat membantu seseorang dalam mengemukakan
pendapat atau ide yang ada dalam pikiran seseorang, sehingga dapat dipahami
orang lain. Kegiatan menulis dapat menghasilkan tulisan berupa karangan, hal
tersebut dikarenakan adanya proses mengarang.
Menurut Karsana (1986) mengarang mengandung arti tindakan menyusun,
mengatur, dan mengikat kata untuk disusun menjadi kalimat. Mengarang berarti
kegiatan memilih dan menyusun kata yang mengandung kesimpulan menata atau
mengatur kata untuk dijadikan sebuah kalimat, sehingga dari kalimat tersebut disusun
menjadi paragraf. Paragraf-paragraf tersebut selanjutnya disusun menjadi kesatuan
yang lebih besar. Sesuai pembahasan, mengarang dapat disimpulkan sebagai kegiatan
yang berproses, berupa susunan yang berlapis-lapis dengan teratur, sejak susunan kata
dalam kalimat hingga susunan paragraf dalam karangan itu seluruhnya. Arti karangan
juga dapat disimpulkan sebagai rangkaian kata atau kalimat dan juga suatu kegiatan
berbahasa yang masuk dalam kategori keterampilan menulis.
10
Kegiatan mengarang bukan hanya menuangkan pikiran ke dalam tulisan,
tetapi sebagai penulis juga harus memperhatikan susunan dalam penulisan,
sehingga menjadi teratur dan sistematis, baik dalam susunan kata, kalimat maupun
bahasa yang digunakan. Seperti yang dijelaskan Karsana (1986: 4) jika kata kata
dalam kalimat itu tidak teratur, begitu pula jika kalimat-kalimat itu tidak berurutan
dengan baik, maka wujud penggunaan bahasa demikian itu tidak memenuhi untuk
disebut karangan dalam arti kata sesungguhnya. Karangan yang baik
menghendaki penggunaan bahasa dan susunan kata maupun kalimat yang teratur,
terpilih dan tersusun. Hal tersebut bertujuan agar sebuah karangan dapat tersusun
menjadi satu kesatuan yang utuh dan sistematis, sehingga dapat mempermudah
pembaca dalam memahami isi yang diutarakan penulis.
Kegiatan mengarang bukan hanya menghenndaki penggunaan bahasa yang
teratur, tetapi mengarang juga mengutarakan sesutu dengan menggunakan bahasa
tulis. Seperti pendapat Gie (2002: 3) mengarang adalah proses kegiatan seseorang
dalam mengungkapkan gagasan/ide dan menyanpaikannya melalui bahasa tulis
kepada masyarakat pembaca untuk dipahami. Hal tersebut, dimaksudkan untuk
menyampaikan atau memberitahukan gagasan, pikiran ataupun pendapat kepada
orang lain, karena pengutaraan itu mempunyai sasaran yaitu pembaca. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa kegiatan mengarang bukan hanya kata, kalimat, dan paragraf
yang disusun, tetapi juga gagasan, pikiran, perasaan atapun pendapat.
Pembelajaran menulis bukan sebagai hal baru bagi peserta didik, sehingga
memudahkan peneliti dalam memberikan penugasan bagi siswa berupa karangan.
Tulisan siswa sebagai bentuk penugasan menjadikan acuan dalam penelitian, yang
berkaitan dengan kesalahan berbahasa. Dari penugasan yang berupa tulisan dapat
11
dilihat bagaimana kesalahan-kesalahan yang ada pada hasil karangan siswa,
khususnya dalam penggunaan bahasa.
2.1.1 Bahasa dalam Karangan
Bahasa dalam sebuah karangan harus memakai aturan kaidah bahasa yang
menyangkut tatabahasa, tata bentuk, dan tata kalimat dalam bahasa Indonesia.
Kaidah bahasa Indonesia sangat penting untuk dikuasai agar pemakaian bahasa
dalam penulisan baik dan benar. Bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting.
Hal itu dikarenakan bahasa merupakan suatu media pengungkapan gagasan/ide
penulis. Sebagai pengungkap gagasan/ide bahasa, dalam proses mengarang
dituntut untuk mampu mengungkapkan gagasan/ide secara tepat, sehingga
gagasan penulis dapat ditangkap pembaca secara baik.
Kesalahan penggunaan bahasa menyebabkan dampak bagi pembaca yaitu ide
yang disampaikan penulis tidak dapat diterima pembaca dengan baik. Hal tersebut
bisa terjadi karena penggunaan bahasa yang tidak terpilih dan tidak tersusun.
Penggunaan bahasa dalam proses mengarang harus diperhatikan. Hal tersebut
merupakan permasalahan yang sering dihadapi para penulis dalam proses kegiatan
mengarang, sehingga diperlukan pemeriksaan terhadap penggunaan bahasa dalam
karangan. Ruspitayanti, dkk (2015) menjelaskan betapa pentingnya seseorang untuk
menguasai kosa kata dan struktur kalimat, karena apabila seseorang kurang mengusai
kosa kata dan struktur kalimat, mereka akan kurang mampu dalam mengungkapkan
gagasan atau perasaannya kepada orang lain lewat bahasa tulis. Dengan menguasai
struktur kalimat yang memadai akan sangat memungkinkan seseorang terampil dalam
berbahasa dengam baik dan benar.
12
Dalam karangan diperlukan pemakaian bahasa yang baik dan benar.
Banyak kesalahan berbahasa yang sering dijumpai dalam karangan para pelajar.
Tarigan dan Djago Tarigan (1988: 190) menjelasan pemakaian bahasa yang salah
dalam penulisan adalah banyakya pemakaian kosa kata yang tidak tepat
pemakaiannya, mengurangi atau menghilangkan kata-kata dalam kalimat, adanya
pemilihan frasa atau struktur yang membingungkan dan adanya pengguaan ejaan
yang salah. Kesalahan penulisan dalam sebuah karangan harus mendapatkan
perhatian yang khusus sehingga harus adanya perbaikan dalam penulisan. Hal
tersebut dapat memberikan kesempatan kepada para pelajar membuat
penyelesaian perbaikan terhadap kesalahan-kesalahan dalam penulisan, sehingga
mendorong para pelajar untuk meningkatkat hipotesis-hipotesis antarbahasa yang
mereka pelajari.
Pemakaian bahasa dalam penulisan karangan atau sebuah karya tulis harus
memperhatikan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Penulisan yang benar
yaitu harus menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan norma dalam
masyarakat dan sesuai dengan struktur tata bahasa Indonesia. Arifin dan Farid
Hadi (2001: 15) menjelaskan kaidah bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa
ialah meliputi kaidah pemilihan kata, pembentukan kata, pembentukan paragraf,
penyusunan kalimat, penerapan ejaan (EYD) dan penataan penalaran.
Dalam hal karang-mengarang memerlukan modal untuk mencapai sesuatu
tujuan yang akan dilaksanakan. Artinya sesuatu yang harus lebih dahulu ada
sebelum upaya ke arah pencapaian yang akan dilaksanakan. Nursisto (1999: 9)
menjelaskan lima modal utama dalam hal karang-mengarang. Pertama, menguasai
struktur kalimat. Kalimat harus memenuhi persyaratan utama sebuah kalimat,
13
sehingga harus dilengkapi dengan unsur pembentukan kalimat. Kedua, mampu
menciptakan perluasan kalimat. Kalimat perlu diperluas agar membentuk kalimat
yang lebih lengkap sehingga informasi tercakup di dalamnya lebih luas. Sehingga
makna yang terkandung di dalamnya juga semakin luas pula. Ketiga, mampu
menetukan pilihan kata. Pilihan kata memegang peranan penting dalam
mengarang. Hal tersebut dikarenakan agar seorang pengarang dapat
mengungkapkan makna yang dimaksudnya secara tepat. Modal perbendaharaan
kata atau kosakata perlu diperkaya. Hal tersebut dikarenakan apabila kosakata
seorang penulis sangat terbatas, takutnya akan banyak mengulangi kata atau
kelompok kata. Keempat, menguasai ejaan. Penguasaan ejaan yang baik,
maksudnya seorang penulis dapat menyampaikan dengan tepat dan jelas. Kelima,
menguasai pungtuasi. Pungtuasi adalah tanda baca. Semua tanda baca dalam
karangan harus dikuasai secara baik dan benar, agar karangan yang kita tulis
merupakan sebuah karya tulis yang baik dan memadai.
2.1.2 Kesalahan Berbahasa
Kesalahan berbahasa dapat disebabkan karena kurangnya pemahaman
siswa dalam pembelajaran bahasa. Kurangnya kemampuan berbahasa
mengakibatkan siswa melakukan penyimpangan atau melanggar sistem bahasa.
Penyimpangan terjadi karena adanya pengaruh antarbahasa. Penggunaan sistem
bahasa tertentu pada bahasa lainnya disebut transfer. Jika penggunaan sistem
bahasa bertentangan maka disebut transfer negatif. Transfer negatif
mengakibatkan munculnya kesulitan pada pembelajaran bahasa Indonesia sebagai
bahasa kedua (B2), karena penutur lebih menguasai atau terbawa bahasa
14
pertamanya (B1). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab kesalahan
berbahasa. Transfer negatif pada umumnya dikenal dengan istilah interferensi.
Tarigan dan Djago Tarigan (1988: 15) berpendapat bahwa transfer negatif tersebut
lebih dikenal dengan interferensi, dalam pemerolehan B2 istilah interferensi
mengacu kepada dua fenomena linguistik yang berbeda, yakni interferensi
psikologi dan interferensi sosiolinguistik. Interferensi sosiolinguistik mengacu
kepada interaksi bahasa, misaalnya peminjaman atau alih sandi.
Kesalahan berbahasa mengacu kepada penggunaan sistem bahasa yang
berbeda antara B1 dan B2. Sistem bahasa yang digunakan dapat berupa sistem
fonologi, sintaksis, morfologi, semantik, dan leksikal. Berdasarkan kesalahan
berbahasa Tarigan dan Djago Tarigan (1988: 145) menjelaskan taksonomi
kesalahan berbahasa dipengaruhi oleh kesalahan, yang didasari dalam butir
linguistik. Taksonomi kategori linguistik mengelompokkan kesalahan berbahasa
berdasarkan komponen unsur linguistik. Komponen bahasa mencangkup fonologi
(ucapan), morfologi dan sintaksis (gramatikal), semantik dan leksikon (makna),
dan wacana. Dapat disimpulkan kesalahan berbahasa dapat dilihat dari kesalahan
pembentukan kata, pola dan struktur kalimat.
2.2 Interferensi
Menurut Chaer dan Agustina (2010: 120) interferensi sebagai
penyimpangan bahasa yang terjadi karena adanya penggunaan dua bahasa atau
lebih dalam masyarakat tutur yang bersifat multilingual. Alwasilah (1993: 114)
berpendapat bahwa interferensi berarti adanya saling mempengaruhi antar bahasa.
Pengaruh tersebut biasanya terlihat dalam peminjaman kosakata pada bahasa lain.
15
Pendapat tersebut didukung oleh Aslinda dan Syafyahya (2010: 66) yang
berpendapat bahwa pengaruh tersebut dapat dilihat dalam bentuk yang paling
sederhana, berupa pengambilan satu unsur dari satu bahasa dan digunakan dalam
hubungannya dengan bahasa lain. Dari beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahawa interferensi yaitu gejala bahasa yang timbul akibat adanya
kontak bahasa. Interferensi dianggap sebagai penyimpangan bahasa yang
mengakibatkan saling terpengaruhnya antar bahasa sehingga mengacu pada
rusaknya sistem bahasa.
Martinet (1987: 170) menjelaskan interferensi terjadi pada segala tataran
bahasa yang bersentuhan dan dalam segala bidang, seperti pada tataran kosa kata,
gejala ini terungkap antara lain dengan perluasan makna dan penggunaan.
Pendapat di atas didukung oleh Alwasilah (1993: 114) yang berpendapat bahwa
interferensi dapat terjadi dalam bentuk pengucapan, kosakata, tata bahasa dan
makna budaya, baik dalam lisan maupun tulisan, khususnya jika seseorang sedang
mempelajari bahasa kedua. Dapat disimpulkan bahwa interferensi adalah
pengaruh bahasa satu terhadap bahasa lain, dapat saja berlaku dalam tataran
bunyi, tata kata, tata makna, serta dalam tata kalimat.
Interferensi terjadi pada semua tuturan bahasa dan disebabkan karena
adanya kontak bahasa. Menurut Weinreich (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010:
66) mengidentifikasikan empat bentuk ciri-ciri interferensi, yang dapat dilihat
berdasarkan, yakni (1) Pemindahan unsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Pemindahan unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain terdapat aspek
tententu yang di transfer. Aspek yang di transfer dari bahasa sumber ke dalam
bahasa penerima disebut unsur serapan (inportasi). (2) Perubahan unsur fungsi
16
dan kategori dikarenkn adanya proses pemindahan. Perubahan ini akan
menimbulkan perluasan maupun pengurangan. (3) Penerapan unsur bahasa kedua
yang tidak berlaku ke dalam bahasa pertama. Dalam hal ini terjadi pengingkaran
hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A. (4)
Pengabaian struktur bahasa kedua akibat tidak adanya padananya dalam bahasa
pertama. Dalam hal ini terdapat pergantian unsur bahasa dengan padanannya ke
dalam suatu tuturan bahasa lain. Di dalam pergantian ada yang dinamakan istilah
substitusi, yaitu aspek dari suatu bahasa yang di salin ke bahasa lain.
Interferensi disebabkan karena adanya kontak bahasa pada seseorang yang
bersifat dwibahasawan. Hal ini, menyebabkan adanya saling pengaruh antara
bahasa pertama dan bahasa kedua. Kedua bahasa yang saling mempengaruhi
dapat terjadi pada setiap unsur bahasa, seperti unsur morfologi dan sintaksis.
Penggunaan sistem bahasa pertama pada bahasa kedua dikenal dengan istilah
transfer. Apabila sistem transfer yang dihasilkan tidak mempengaruhi kaidah
bahasa target atau bahasa kedua maka tidak menimbulkan keanehan pada bahasa
itu (positive transfer). Namun, apabila sistem yang digunakan itu bertentangan
dengan bahasa kedua akan menghasilkan kejanggalan makna (negative transfer)
atau dikenal dengan interferensi. Artinya, intereferensi dapat didefinisikan sebagai
penggunaan sistem bahasa pertama dalam menggunakan atau mengaplikasikan
bahasa kedua bahasa itu.
Berkenaan dengan proses interferensi, Chare dan Agustina (2010: 126)
berpendapat bahwa sebuah bahasa yang memiliki latar belakang sosial budaya dan
pemakaian yang luas, memberikan dampak akan banyaknya kontribusi kosakata
kepada bahasa-bahasa yang berkembang dan yang mempunyai kontak dengan
17
bahasa tersebut. Oleh karena itu, Chare dan Agustina (2010: 126) menjelaskan
ada tiga unsur pokok bahasa yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan unsur
serapan. Dalam peristiwa kontak bahasa pada saat tententu bahasa yang menjadi
sumber serapan dapat beralih peran menjadi bahasa penerima, dan demikian pula
sebaliknya. Akibatnya interferensi dapat terjadi secara timbal balik. Interferensi
BM dengan BI terjadi secara timbal balik.
Nababan (1986: 35) mengemukakan beberapa istilah mengenai
interferensi. la menyebut adanya interferensi perlakuan (performance
interference) dan interferensi sistemik (systemic interference). Interferensi
perlakuan sering terjadi pada seorang dwibahasawan yang sedang belajar bahasa
kedua. Interferensi sistemik akan terlihat dalam bentuk perubahan satu bahasa
dengan unsur-unsur atau struktur bahasa yang lain. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa interferensi sistemik menunjukkan gejala perubahan sistem
sebuah bahasa akibat pengaruh bahasa lain.
2.2.1 Faktor Penyebab Timbulnya Interferensi
Menurut Ohoiwutun (2002: 72) fenomena interferensi dapat dilihat dalam
tiga dimensi kejadian, yaitu (1) dimensi tingkah laku berbahasa dari indivudu-
individu di tengah masyarakat, (2) dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau
lebih yang berbaur, (3) dimensi pembelajaran bahasa.
Dari dimensi tingkah laku individu penutur dengan mudah dapat disimak dari
berbagai prektek campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan. Kosakata
yang dimiliki oleh suatu bahasa umumnya hanya terbatas pada pengungkapan di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Faktor keterbatasan kosakata yang dimiliki oleh suatu
18
bahasa dapat menimbulkan interferensi. Hal ini merupakan salah satu sebab umum
yang sering menimbulkan banyaknya penyimpangan bahasa.
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa pertama pada bahasa penerima yang
sedang dipergunakan, terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan karena
kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal tersebut biasa terjadi
karena disebabkan oleh interferensi bahasa pertama (B1) terhadap bahasa kedua
(B2) yang sedang dipelajari oleh penutur (siswa). Terbawanya kebiasan B1 dalam
pelaksanaan pelajaran, menimbulkan kurangnya keaktifan siswa dalam
menggunakan B2. Kurangnya bahasa yang diajarkan dan dilatihkan
mengakibatkan terjadinya interferensi. Oleh karena itu, dalam proses pengajaran
bahasa harus menggunakan bahasa yang tepat dan sempurna, tanpa mencampur
adukkan B1 dan B2.
2.2.2 Sistem Bahasa Madura dan Sistem Bahasa Indonesia
Interferensi dipengaruhi oleh dua sistem bahasa yang berbeda, sehingga
terjadi sebuah penyimpangan atau melanggar sistem kebahasaan. Hal tersebut
diakibatkan karena adanya kontak bahasa. Dari adanya dua sistem bahasa yang
berbeda, maka di bawah ini akan dijelaskan sistem bahasa Madura dan sistem
bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1) Sistem Bahasa Madura
Bahasa Madura adalah bahasa daerah suku Madura yang digunakan di
dalam Pulau Madura maupun yang ada di luar pulau Madura. Sampai saat ini
bahasa Madura masih dipakai sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat
Madura dalam kehidupan sehari-hari. Disamping dipergunakan sebagai sarana
19
komunikasi, bahasa Madura dipergunakan juga dalam kesusastraan dan kesenian
Madura. Bahasa Madura merupakan salah satu bahasa daerah yang terhitung
sangat besar. Oleh karena itu, bahasa Madura perlu dikembangkan, dan
dipertahankan khususnya dalam peranannya sebagai sarana pengembangan
kelestarian kebudayaan daerah.
Bahasa Madura memiliki ciri yang berbeda dari bahasa-bahasa lainnya,
sehingga bahasa Madura penting untuk dikaji lebih mendalam. Bahasa Madura
memiliki ciri yang mudah untuk lebih dikenali dan bahkan beberapa di antaranya
tidak terdapat pada bahasa daerah lainnya maupun bahasa Indonesia. Sebagai
sebuah bahasa, bahasa Madura memiliki ciri khas baik dalam bidang morfologi,
sintaksis, maupun fonologi. Kekhasan bahasa Madura menyadarkan kita bahwa
bahasa Madura merupakan bahasa yang tinggi, memiliki keunikan sehingga layak
untuk diteliti. Namun, untuk membatasi kajian akan ciri dan kekhasan Bahasa
Madura, bagian ini akan memfokuskan kajiannya pada aspek morfologis
utamanya pada aspek verba. Sofyan (2012) membagi tiga bentuk verba bahasa
Madura, meliputi (a) bentuk dasar terikat (verba pangkal), (b) verba dasar bebas
(verba asal), (c) verba turunan.
Bentuk dasar terikat (verba pangkal) merupakan satuan gramatikal yang
belum masuk dalam kategori kata, tetapi dapat dijadikan sebagai bentuk kata dasar.
Verba pangkal tidak dapat berdiri sendiri, harus dilekati oleh afiks terlebih dahulu
sehingga dapat berdiri sendiri (Sofyan, 2012: 336). Contoh verba pangkal bahasa
Madura (BM) yaitu kakan, tompa’, dan pele. Verba dasar bebas (verba asal)
merupakan verba yang tanpa digabungkan dengan gramatik lain sudah
mempunyai makna leksikal tersendiri. Verba asal dapat berdiri sendiri tanpa
20
dilekati oleh afiks ataupun gramatikal lainnya dan verba asal berbentuk kata
tunggal (Azhar, 2013). Contoh verba asal BM yaitu elang, entar, dan berka’.
Verba turunan merupakan verba yang dibentuk melalui proses morfologis
yang dapat terdiri dari dua morfem atau lebih (Sofyan, 2012: 336). Proses
morfologis dalam verba turunan dapat digolongkan menjadi empat jenis, meliputi
(a) verba berafiks, (b) verba reduplikasi, (c) verba komposisi, dan (d) verba
berproses gabung. Verba berafiks merupakan verba yang dibentuk dengan
menambahkan afiksasi dalam bentuk dasar. Verba reduplikasi yaitu bentuk verba
yang berupa bentuk ulang. Verba Komposisi yaitu verba yang dibentuk dengan
cara menggabungkan dua buah verba. Verba berproses gabung yaitu verba yang
dibentuk melalui gabungan proses afiksasi dan reduplikasi.
Afiks bahasa Madura (BM) yang berfungsi sebagai pembentuk verba
adalah prefiks, sufiks, dan konfiks. Perfiks yaitu awalan yang terdiri atas prefiks
e-, eka-, ka-, ta-, epa-, a-, N-, dan pa-. Contoh perfiks BM yaitu ta- + kata dasar
(KD). Proses pembentukan kata prefiks dijelaskan pada kata dasar “tedung” (BM)
mendapatkan prefiks ta- akan mengalami proses pembentukan kata yaitu kata
dasar “tedung” mendapatkan awalan ta- akan menjadi “tatedung”, dalam bahasa
Indonesia memiliki arti “tertidur”.
Sufiks bahasa Madura (BM) adalah akhiran yang terdiri atas sufiks -e dan
-aghi. Contoh sufiks BM yaitu KD + aghi. Proses pembentukan kata sufiks
dijelaskan pada kata dasar “ghiba” (BM) mendapatkan sufiks -aghi akan
mengalami proses pembentukan kata yaitu kata “ghiba” mendapatkan akhiran
-aghi akan menjadi “ghibaaghi”, dalam bahasa Indonesia memiliki arti
“bawakanlah”.
21
Konfiks yaitu proses pembentukan kata yang menggabungkan afiks
awalan dan akhiran. Konfiks bahasa Madura (BM) terdiri atas konfiks N-ana, N-e,
N-aghi, a-aghi, ma-e, ma-ana, ma-an, ma-aghi, a-e, e-e, e-na, e-ma, dan e-aghi.
Contoh konfiks BM yaitu ma- + KD + -e. Proses pembentukan kata konfiks
dijelaskan pada kata dasar “bine” (BM) mendapatkan konfiks ma-e akan
mengalami proses pembentukan kata yaitu kata dasar “bine” mendapatkan konfiks
ma-e akan menjadi “mabine’e”, dalam bahasa Indonesia memiliki arti
“menikahkan”.
Reduplikasi yaitu bentuk verba yang berupa bentuk ulang. Huda dkk
(dalam Marzuqi, 2001) menjelaskan reduplikasi bahasa Madura (BM) diambil
dari pengulangan suku akhir dari bentuk kata dasar. Contok reduplikasi BM yaitu
enga’ > nga’-enga’. Proses pembentukan kata reduplikasi dijelaskan pada kata
dasar “enga’” (BM) mendapatkan proses pengulangan suku akhir. Suku akhir
“nga’” diambil dari suku akhir kata dasar BM “enga’”, sehingga betuk
pengulangannya menjadi “nga’-enga’”. Jadi, “nga’-enga’” dalam bahasa
Indonesia memiliki arti “mengingat”.
Komposisi (pemajemukan) yaitu verba yang dibentuk dengan cara
menggabungkan dua buah verba. Verba komposisi dalam bahasa Madura (BM)
dibentuk dengan cara menggabungkan dua buah verba yang berbentuk sama.
Contoh komposisi BM yaitu nyorot-nyander. Proses pembentukan kata komposisi
dijelaskan pada kata dasar BM “nyorot” dan “nyander” mengalami proses
pemajemukan. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya proses penggabungan
kata yang berbentuk sama, sehinnga dari penggabungan dua kata tersebut
22
menimbulkan satu makna baru yang khusus yaitu “nyorot-nyander” yang dalam
bahasa Indonesia memiliki arti “maju-mundur”.
Berproses gabung yaitu verba berproses gabung yaitu verba yang dibentuk
melalui gabungan proses afiksasi dan reduplikasi. Jadi, dapat diartikan juga sebagai
bentuk verba yang mendapatkan dua proses gabungan. Contoh perfiks yang dapat
berkombinasi dengan reduplikasi dalam pembentukan kata yaitu aru-gharu. Proses
pembentukan verba berproses gabung dijelaskan pada kata dasar bahasa Madura
“gharu”, mengalami proses reduplikasi bahasa Madura yaitu pengambilan suku akhir
“ru” dari kata dasar “gharu” dan juga mengalami proses afiksasi yaitu mendapatkan
perfiks a-. Oleh karena itu, “aru-gharu” mengalami proses gabungan pembentukan
kata perfiks dan reduplikasi yaitu “aru-gharu” yang dalam bahasa Indonesia memiliki
arti “menggaruk-garuk”.
Tabel 2.1 Bentuk Verba Bahasa Madura
Pangkal Asal Turunan
Afiksasi Reduplikasi Komposisi Berproses
Gabung
Tidak
dapat
berdiri
sendiri
Dapat
berdiri
sendiri
Kata
berimbuhan
Kata
perulangan
Kata
gabungan
Kata gabungan
dari campuran
bentukan kata.
- Prefiks
- Sufiks
- Konfiks
Pengulangan
suku akhir
dari bentuk
dasar.
Menggabu-
ngkan dua
buah verba
yang ber-
bentuk
sama.
Verba yang
dibentuk
melalu proses
afiksasi dan
reduplikasi.
2) Sistem Bahasa Indonesia
Menurut Keraf (1991: 28) menjelaskan tatabahasa adalah suatu himpunan
dari patokan-patokan umum berdasarkan struktur bahasa. Struktur bahasa meliputi
bidang-bidang tata bentuk, tata kalimat dan tata bunyi. Dalam suatu bahasa sistem
23
ejaan mempunyai tiga aspek bahasa, yaitu aspek morfologis, yang menyangkut
pelambangan satuan-satuan morfemis, aspek sintaksis menyangkut pelambangan
ujaran dengan tanda baca dan aspek fonologis, yang menyangkut pelambangan
fonem dan penyusunan abjad. Mustakim (1992: 1) juga berpendapat bahwa aspek
morfologis mengatur pembentukan kata dengan pengimbuhan, penggabungan kata,
pemenggalan kata, penulisan kata, dan penyesuaian kosa kata asing ke dalam bahasa
Indonesia. Aspek sintaksis mengatur tentang penulisan dan pelafalan frasa, klausa,
serta kalimat. Aspek fonologi mengatur pelambangan fonem dengan huruf,
penyesuaian huruf-huruf asing dengan huruf yang ada dalam bahasa Indonesia, serta
pelafalan, pengakroniman, dan penyusunan abjad.
Aspek morfologis dalam tatabahasa membicarakan bentuk kata yang disebut
dengan morfem. Menurut Keraf (1991:51) morfem adalah kesatuan yang ikut serta
dalam pembentukan kata dan dapat membedakat arti. Sedangkan menurut Soedjito
(1995: 3) morfem adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna. Keraf
(1991:51) membagi morfem menjadi dua, yaitu morfem dasar (bebas) dan morfem
terikat. Morfem dasar disebut dengan kata dasar, sedangkan morfem terikat disebut
dengan imbuhan. Contohnya yaitu pekerjaan dan memuaskan.
Berdasarkan contoh di atas, unsur “pekerjaan” dan “memuaskan” dapat
dipecahkan lagi menjadi “kerja” dan “pe-an”, serta “puas” dan “me-kan”. Unsur-
unsur “kerja” dan “puas” dapat pula langsung membina kalimat, sebaliknya unsur-
unsur “pe-an” dan “ke-an” tidak bisa langsung membina sebuah kalimat. Dari kedua
macam unsur tersebut mempunyai fungsi yang sama yaitu membentuk kalimat.
Unsur pembentuk itu baik yang bebas (kerja dan puas) maupun yang terikat (pe-an
dan ke-an).
24
Aspek morfologis dalam tatabahasa juga membicarakan tentang alomorf.
Alomorf merupakan bagian dari morfem. Menurut Keraf (1991:52) alomorf
merupakan variasi bentuk morfem yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang
dimasukinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa morfem dapat juga mengalami
perubahan bentuk. Misalnya morfem ber- dan me- dalam bahasa Indonesia dalam
realisasinya dapat mengambil bermacam-macam bentuk, yaitu sebagai berikut:
(1) Perubahan awalan ber- bisa menjadi be- dan bel-.
(2) Perubahan awalan me- bisa menjadi mem-, men-, meny-, meng-, dan menge-.
Perubahan bentuk ber- dan me- disebabkan oleh lingkungan yang
dimasukinya. Misalnya bila me- memasuki suatu lingkungan kata yang mengandung
fonem /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /k/, /h/, /g/ dalam suku kata pertama, maka awalam me- akan
merubah menjadi meng-, misalnya ngambil jika mendapat awalam me- menjadi
mengambil. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf.
Ada banyak ragam pembentukan dalam bahasa Indonesia. Sebagaian besar
kata dibentuk dengan cara menggabungankan beberapa komponen yang berbeda.
Faktor afiksasi memegang peranan penting dalan segi pembentukan kata. Menurut
Supriyadi (1986: 1) afiks atau imbuhan bahasa Indonesia dibagi menjadi tiga macam,
meliputi (a) prefiks, (b) sufiks, dan (c) konfiks. Prefiks (awalan) yaitu imbuhan yang
melekat di depan kata dasar untuk membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
Ada berbagai awalan dalam bahasa Indonesia, di antaranya me-, di-, pe-, per-, ter-,
ke-, se-. Contoh perfiks yaitu menilai, bertani, dan terasa.
Sufiks (akhiran) yaitu imbuhan yang melekat di belakang kata dasar untuk
membentuk kata baru dengan arti yang berbeda. Ada tiga macam akhiran bahasa
Indonesia, di antaranya -an, -kan, dan -i. Contoh sufiks yaitu ukuran, ambilkan, dan
25
ulangi. Konfiks (sirkumfiks/simulfiks) yaitu secara simultan (bersamaan), satu afiks
melekat di depan kata dasar dan satu afiks melekat di belakang kata dasar yang
bersama-sama mendukung satu fungsi. Ada berbagai konfiks dalam bahasa
Indonesia, di antaranya per- + -an, pe- + -an, ber- + -an dan ke- + -an. Contoh konfiks
yaitu persatuan dan kedaulataan.
Proses morfologis bukan hanya membicarakan mengenai kata-kata
berimbuhan. Namun, dalam proses morfologis juga membicarakan mengenai kata
ulang (reduplikasi). Keraf (1991: 120) menggolongkan bentuk kata ulang menjadi
empat, meliputi (a) ulangan atas suku awal, (b) ulangan utuh, (c) ulangan seluruh
suku kata, dan (d) ulangan berimbuhan.
Ulangan atas suku awal, yaitu vokal dari suku kata awal mengalami
pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi e (pepet). Contohnya yaitu
tatangga >< tetangga. Ulangan utuh, yaitu ulangan atas seluruh bentuk dasar
(diulang secara utuh). Contohnya yaitu anak >< anak-anak. Ulangan seluruh suku
kata, yaitu mengalami pengulangan suku kata, tetapi pada salah satu lingganya
mengalami perubahan suara pada satu fonem atau lebih. Contohnya yaitu sayur-
sayur >< sayur mayur. Ulangan berimbuhan, yaitu ulangan yang mendapatkan
imbuhan baik awalan maupun akhiran (kombinasi). Contohnya yaitu bermain-main
dan kuda-kudaan.
Proses morfologis selain membicarakan tentang afiksasi dan reduplikasi juga
membicarakan mengenai kata majemuk (komposisi). Jadi, proses morfologis dibagi
menjadi tiga macam yaitu afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Menurut Soedjito
(1995: 121) pemajemukan adalah proses penggabungan dua kata atau lebih yang
menimbulkan satu makna baru yang khusus, yang membentuk suatu kesatuan arti.
Jadi, dapat disimpulkan sebagai pembentukan kata baru yang memiliki arti yang baru
26
karena mengalami proses penggabungan. Keraf (1991:127) menggolongkan tiga kata
majemuk berdsarkan ahli tatabahasa Sansekerta, meliputi (a) dwandwa, tatpurusa,
dan (c) karmadharaya.
Dwandwa yaitu penggabungan yang bersifat kopulatif, artinya gabungan
tersebut memilki derajat yang sama. Contohnya yaitu laki-bini, besar-kecil, dan
sanak-saudara. Tatpurusa yaitu kata majemuk yang kata bagian kedua
menjelaskan kata bagian pertama. Kata majemuk yang termasuk golongan ini
hanyalah kata-kata majemuk yang bagian keduanya terdiri dari kata benda, kata
kerja, atau kata tugas. Contohnya yaitu matahari, rumah sakit dan saputangan.
Karmadharaya yaitu kata majemuk yang kata bagian kedua menjelaskan kata
bagian pertama, tetapi bagian yang menjelaskan itu terdiri dari kata-kata sifat.
Misalnya orang tua dan rumah besar.
Tabel 2.2 Bentuk Proses Morfologis Bahasa Indonesia
Morfem
Dasar
Morfem
Terikat
Proses Morfologis
Afiksasi Reduplikasi Komposisi
Kata dasar Kata
imbuhan
Kata
berinbuhan
Kata
perulangan
Kata gabungan
- Prefiks
- Sufiks
- Konfiks
- ulangan suku
awal
- ulangan utuh
- ulangan
seluruh suku
kata
- ulangan
berimbuhan
Menimbulkan
makna baru
2.2.3 Jenis-jenis Interferensi
Weinreich (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2010: 67) menjelaskan bentuk-
bentuk interferensi dalam tiga bagian yaitu (1) interferensi dalam bidang fonologi.
(2) interferensi dalam bidang leksikal, dan (3) interferensi dalam bidang gramatikal.
Interferensi gramatikal dibagi menjadi dua macam yaitu morfologis dan sintaksis.
27
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, yaitu dalam bidang
tata kata, tata kalimat, tata bunyi, dan tata makna. Macam-macam interferensi yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah interferensi morfologis yang termasuk ke
dalam salah satu interferensi bidang gramatikal.
a. Interferensi Morfologis
Masukkanya pengaruh bahasa daerah ke bahasa Indonesia sekaligus
membawa interferensi, salah satu sasarannya adalah morfologis. Menurut Soedjito
(1995: 1) morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari seluk-seluk
morfem dan kata. Jadi, dapat disimpulkan kata morfologi berarti ilmu yang
mempelajari bentuk-bentuk dan semua masalah pembentukan kata-kata, yakni
morfem dan sejenisnya. Interferensi di bidang tatabahasa terjadi karena seorang
dwibahasawan mengidentifikasi morfem, kelas morfem, atau hubungan
ketatabahasaan pada sistem bahasa pertama dan mempraktekannya dalam tuturannya
pada bahasa kedua atau sebaliknya.
Interferensi morfologis terjadi apabila seorang penutur mengidentifikasi
morfem atau tatabahasa bahasa Madura dan kemudian menggunakannya dalam
bahasa Indonesia. Interferensi tata bentuk kata atau morfologis terjadi bila dalam
pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur menggunakan atau menyerap awalan
atau akhiran bahasa kedua. Interferensi di bidang morfologis dari bahasa Madura ke
bahasa Indonesia terjadi apabila morfologi bahasa Madura mempengaruhi morfologi
bahasa Indonesia dan menyebabkan penyimpangan. Bisa berupa penyerapan afiks,
bisa penghilangan afiks, dan bisa bersaing pemakaiannya. Interferensi morfologis
terjadi karena adanya pembentukan kata dengan menggunakan afiks bahasa pertama
ke dalam bahasa kedua (bahasa target) atau sebaliknya. Chaer dan Agustina (2010:
28
123) juga berpendapat bahwa interferensi dalam bidang morfologi, antara lain
terdapat dalam pembentukan kata dengan afiks. Afiks-fiks suatu bahasa digunakan
untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Dalam hal ini sistem pembentukan kata
bahasa Madura berpengaruh terhadap pembentukan kata bahasa Indonesia. Dengan
demikian, bentuk kata bahasa Indonesia menjadi bentuk kata yang tidak baku. Dalam
bahasa Belanda dan Inggris ada sunfiks -isasi, maka banyak penutur bahasa Indonesia
menggunakannya dalam pembentukan kata bahasa Indonesia seperti neonisasi,
aktualisasi, dan globalisasi. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 75) membagi bentuk
interferensi morfologis menjadi tiga: (a) afiksasi, (b) pengulangan, dan (c) kata
majemuk.
Interferensi morfologis terjadi penyerapan unsur bahasa daerah ke dalam
pembentukan kata bahasa Indonesia. Misalnya kata bahasa jawa dan bentuk dasar
bahasa Indonesia atau sebaliknya. Bentuk-bentuk interferensi morfologis yang
akan dibahas dalam penelitian ini meliputi afiksasi dan pengulangan.
a) Afiksasi
Menurut Prawirasumarti (1986: 3) afiksasi adalah proses pembentukan kata
yang dilakukan dengan jalan penggabungan kata (akar) atau pokok kata dengan afiks
atau imbuhan. Afiks dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu prefiks (awalan),
infiks (akhiran), sunfiks (sisipan) dan konfiks (imbuhan gabungan). Dapat dilihat contoh
interferensi berdasarkan keempat jenis afiks tersebut, yaitu sebagai berikut:
(1) Di desaku setiap panen tiba kelihatan ramai, sampai aku dan adikku
ketiduran.
(2) Aku solat bersama-sama di Masjid ketemu kawan-kawanku.
Kata kelihatan dan ketiduran pada contoh pertama terpengaruh bahasa
Jawa. Bentukan kata kelihatan dan ketiduran berasal dari kata dasar lihat dan
29
tidur dan mendapat imbuhan {ke-an}. Sedangkan bentukan kata ketemu pada
contoh kedua berstruktur bahasa Jawa afiks {ke-}. Bentukan kata yang baku
adalah terlihat, tertidur dan bertemu.
Interferensi morfologis juga terjadi dalam pembentukan kata yang
unsurnya berupa gabungan unsur bahasa Jawa (BJ) dan bahasa Indonesia (BI).
Kata yang dimaksud terbentuk dari penggabungan kata dasar yang berasal dari
bahasa Jawa dan afiks dari bahasa Indonesia. Bentukan kata dengan sufiks -an
(BJ) mempengaruhi pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Contoh: kaum
“kantoran” di kota menjadi lebih konsumtif. Dalam bahasa Indonesia kata
benda yang digunakan untuk menyatakan tempat tidak perlu lagi ditambah
dengan dengan sufiks -an. Jadi, bentukan dalam Bahasa Indonesia bukan
“kantoran”, melainkan “kantor”.
b) Pengulangan
Menurut Soedjito (1995: 109) pengulangan (reduplikasi) merupakan
proses pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar baik secara utuh
maupun sebagian, baik dengan bervariasi fonem maupun tidak. Jadi
pengulangan dapat diartikan proses pengulangan bentuk kata dasar yang
berwujud kata ulang. Contoh interferensi pengulangan yaitu sebagai berikut:
(3) Terus gue harus bagaimana? Apa perlu gue harus nungging-nungging
buat bilang wow gitu?
Dilihat dari data “nungging-nungging” dan “ngumpul-ngumpul”. Kata
“nungging-nungging” tersebut berasal dari kata dasar “nungging” diulang secara
penuh menjadi kata “nungging-nungging”. Dalam hal ini, penutur jelas terlihat
kekurangan kosakata, seperti kata “nungging” yang diadopsi dari bahasa Melayu
Betawi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya interferensi. Pada dasarnya,
30
remaja sudah dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar, baik itu bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah. Namun, penutur cenderung mencampuradukkan
suatu bahasa tersebut, yang mengakibatkan munculnya interferensi bahasa.
Berdasarkan pandangan ahli linguistik, interferensi morfologis dapat
diartikan sebagai penyimpangan berbahasa, dengan adanya penyusupan unsur dari
bahasa lain dalam pembentukan kata. Pembentukan kata yang tidak sesuai dengan
kombinasinya dianggap sebagi suatu penyimpang yang disebut interferensi
morfologis. Interferensi morfologis dapat terjadi pada bentuk terikat seperti perfiks,
sufiks, dan konfiks.
2.3 Gejala Tutur
Gejala tutur disebabkan karena adanya penyimpangan berbahasa yang
terjadi pada ujaran dwibahasawan. Sebab yang melatarbelakangi terjadinya
kedwibahasaan (bilingualisme) adalah dikarenakan akibat adanya kontak bahasa.
Kontak bahasa dapat terjadi karena perpindahan penduduk dengan alasan
ekonomi, pendidikan, dan bencana alam sehingga terjadi kontak dengan bahasa
penutur lain.
Chaer dan Agustina (2010: 84) berpendapat bahwa bilingualisme dan
multilingualisme sebagai dampak adanya kontak bahasa, dapat dilihat dalam kasus
yang muncul dalam penggunaan bahasa seperti interferensi, alih kode, campur
kode dan integrasi. Kedwibahasaan merupakan salah satu permasalaha bahasa,
sedangkan bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antarindividu
melainkan sebagai alat penghubung antarkelompok. Oleh karena itu, masalah
kedwibahasaan bukan masalah perseorangan tetapi masalah yang ada dalam suatu
31
kelompok pemakai bahasa. Untuk dapat memakai dua bahasa diperlukan
penguasaan kedua bahasa dengan kemampuan yang sama, artinya kemampuan
penutur dalam penguasaan bahasa keduanya. Pendapat di atas juga didukung oleh
Aslinda dan Syafyahya (2010: 25) menjelaskan bahwa kontak bahasa meliputi
segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa atau lebih yang mengakibatkan
adanya perubahan unsur bahasa oleh penutur dalam konteks sosial. Masyarakat
dwibahasawan cenderung memiliki kemungkinan situasi interferensi bahasa yang
lebih besar. Masyarakat di Madura cenderung mendengar satu bahasa dari orang
tententu, dan bahasa kedua mereka dapatkan dari pendidikan di luar lingkungan
rumah.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2013: 46) masyarakat tutur adalah
sekelompok orang dalam lingkup sempit maupun luas yang berinteraksi dengan
bahasa tertentu sehingga dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur
yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. Hal tersebut
menjelaskan bahawa penggunaan bahasa dapat digunakan secara luas, artinya
penggunaan bahasa yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma dalam pemakaian bahasa.
Masyarakat tutur tidak akan berjauhan dengan pembahasan bahasa. Hal ini
disebabkan karena manusia pada dasarnya bertindak tutur dengan bahasa. Bahasa
dipergunkan untuk mengekspresikan keinginannya dalam bentuk kontak bahasa.
Masyarakat dari berbagai daerah hendaknya mampu menggunakan lebih dari satu
bahasa, baik bahasa daerah maupun bahasa kedua. Namun, dituntutnya mengusai
beberapa bahasa mengakibatkan timbulnya penyimpangana atau kekacauan dalam
berbahasa. Wijana dan Rohmadi (2013: 50) mengemukakan ciri-ciri penutur yang
32
berkompeten, yakni (1) mempunyai pengetahuan mengenai gramatikal, dan kosa kata
suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan
benar,(3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merenspon tipe-tipe
tindak tutur yang berbeda-beda, dan (4) pengetahuan tentang bagaimana berbicara
secara wajar.
Pengacaukan bahasa akan menimbulkan sebuah gejala tutur. Hal ini akan
menyebabkan sulitnya memperbaiki bahasa Indonesia yang mengalami
penyimpangan. Seperti yang diungkapkan Aslinda dan Syafyahyah (2010: 65)
bahwa interferensi dianggap sebagai gejala tutur, terjadi pada dwibahasawan dan
peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Wijana dan Rohmadi (2013: 49)
mengemukakan dalam sebuah masyarakat tutur sekurang-kurangnya dapat
dibedakan menjadi dua jenis penutur, yakni penutur yang partisipatif dan yang
berkompeten. Penutur berkompeten merupakan penutur yang benar-benar mampu
menggunakan bahasa dalam berbagai tindak komunikasi, baik dari segi kosa kata
dan struktur bahasa yang bersangkutan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan gejala tutur terjadi karena
dwibahasawan. Gejala tutur disebabkan karena adanya penyimpangan dalam
bentuk kebahasaan yang terjadi pada ujaran dwibahasawan yang disebabkan
oleh penutur memakai lebih dari satu bahasa dan juga akibat dari adanya kontak
bahasa. Dari adanya gejala tutur inilah yang menyebabkan adanya interferensi
bahasa.