BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …repository.unj.ac.id/883/2/bab 2.pdf · Teori...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN …repository.unj.ac.id/883/2/bab 2.pdf · Teori...
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Ketika terdapat pemisahan antara pemilik (principal) dengan manajer (agen)
di suatu perusahaan, maka terdapat kemungkinan bahwa keinginan pemilik diabaikan.
Fakta ini, dan kesadaran bahwa agen itu mahal, menetapkan landasan bagi
sekelompok gagasan rumit namun bermanfaat yang dikenal sebagai teori keagenan
(agency theory). Ketika pemilik (atau manajer) mendelegasikan otoritas pengambilan
keputusan pada pihak lain, terdapat hubungan keagenan antara kedua pihak.
Hubungan keagenan, seperti hubungan antara pemegang saham dengan manajer, akan
efektif selama manajer mengambil keputusan investasi yang konsisten dengan
kepentingan pemegang saham. Namun, ketika kepentingan manajer berbeda dengan
kepentingan pemilik, maka keputusan yang diambil oleh manajer kemungkinan besar
akan mencerminkan preferensi manajer dibandingkan dengan pemilik (Pearce dan
Robinson, 2009:47).
Secara umum, para pemilik ingin memaksimalkan nilai saham. Ketika
manajer juga memiliki sejumlah besar saham perusahaan tersebut, mereka pasti akan
memiliki strategi yang menghasilkan apresiasi nilai saham. Namun, ketika lebih
13
berperan sebagai “orang sewaan” dan bukan sebagai rekan sekaligus pemilik, manajer
lebih memilih strategi yang akan meningkatkan kompensasi pribadi mereka dan
bukan pengembalian kepada pemilik. Perilaku semacam itu dapat menyebabkan
penurunan kinerja saham (sepeti ketika bonus eksekutif puncak mengurangi laba
perusahaan) dan dalam keputusan strategis yang mengarahkan perusahaan ke hasil
yang suboptimal dari sudut pandang pemegang saham.
Jika sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh teori keagenan, manajer yang
egois bertindak dalam cara-cara yang meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri
dengan mengorbankan keuntungan pemegang saham, maka pemilik yang telah
mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan pada agen mereka akan kehilangan
potensi keuntungan yang seharusnya dapat dihasilkan dari strategi yang
mengoptimalkan keinginan pemilik dan/atau biaya sistem pemantauan dan
pengendalian yang dirancang untuk meminimalkan konsekuensi dari keputusan
manajemen yang berfokus pada kepentingan sendiri. Secara keseluruhan, biaya
masalah keagenan dan biaya dari tindakan yang dilakukan untuk meminimalkan
masalah keagenan tersebut sebagai biaya keagenan (agency cost). Biaya ini seringkali
diidentifikasikan dengan manfaat langsung yang diterima oleh agen serta nilai
sekarang (present value) yang negatif. Biaya keagenan ditemukan ketika terdapat
perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, atasan dengan
bawahan, antarmanajer dari departemen, atau kantormcabang yang saling bersaing.
Jensen dan Meckling (1976) dalam Anggraini dan Trisnawati (2008)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu orang atau
14
lebih (prinsipal) yang menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa atas
nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan
kepada agen. Timbulnya masalah keagenan disebabkan ketika prinsipal kesulitan
untuk memastikan bahwa agen bertindak untuk memaksimumkan kesejahteraan
pemilik.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) agency theory adalah sebuah kontrak
antara manajer (agent) dengan pemilik (principal). Agar hubungan kontraktual ini
dapat berjalan dengan lancar, pemilik akan mendelegasikan otoritas pembuatan
keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan
kepentingan manajer dan pemilik dalam hal konflik kepentingan inilah yang
merupakan inti dari agency theory. Namun untuk menciptakan kontrak yang tepat
merupakan hal yang sulit diwujudkan. Oleh karena itu, investor diwajibkan untuk
memberi hak pengendalian residual kepada manajer (residual control right) yakni
hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya
belum terlihat di kontrak.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa
teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya
mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut
15
manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadinya (Haris, 2004).
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing
individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik
(principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan
profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk
memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal
memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian
terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing
pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang
dikehendaki.
Dalam (Pearce dan Robinson, 2009:48) menyatakan bagaimana permasalahan
teori keagenan dapat terjadi yaitu:
1. Moral hazard problem (masalah bahaya moral) yaitu masalah keagenan yang
terjadi karena pemilik memiliki akses terbatas atas informasi perusahaan,
sehingga membuat eksekutif bebas mengejar kepentingannya sendiri.
2. Adverse selection (seleksi yang salah) yaitu masalah keagenan yang timbul
dari keterbatasan kemampuan pemegang saham untuk secara tepat
menentukan kompetensi dan prioritas eksekutif ketika mereka direkrut.
16
suatu teori yang menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh manajemen
akan menurunkan permasalahan agensi karena semakin banyak saham yang dimiliki
oleh manajemen maka semakin kuat motivasi mereka untuk bekerja dalam
meningkatkan nilai saham perusahaan. Berdasarkan teori agensi klasik, semakin besar
kepemilikan oleh inside directors (komisaris yang terafiliasi/ komisaris diluar
komisaris independen) akan mengarahkan pada kesesuaian tujuan antara pihak
manajemen dengan pemegang saham. Namun, dilain pihak sebagai pemilik inside
directors dapat mempergunakan kekuatan votingnya untuk melakukan ekspropriasi
terhadap perusahaan.
Menurut LaFond dan Roychowdhury (2007) dalam (Ratna Wardhani, 2008)
menyatakan bahwa konservatisme dalam pelaporan keuangan merupakan salah satu
mekanisme dalam mengatasi permasalahan agensi ketika timbul pemisahan antara
kepemilikan dan pengendalian. Mereka menghipotesiskan bahwa dengan semakin
kecilnya kepemilikan manajerial maka permasalahan agensi yang muncul akan
semakin besar sehingga permintaan atas laporan yang bersifat konservatif akan
semakin meningkat.
2.1.2 Konservatisme Akuntansi
Prinsip konservatisme (conservatism principle) adalah suatu prinsip
pengecualian atau modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut bertindak batasan
terhadap penyajian data akuntansi yang relevan dan andal. Prinsip konservatisme
17
menganggap bahwa ketika memilih antara dua atau lebih teknik akuntansi yang
berlaku umum, suatu prefrensi ditunjukan untuk opsi yang memiliki dampak paling
tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang saham. Secara lebih spesifik,
prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa nilai terendah dari aktiva dan pendapatan
serta nilai tertinggi dari kewajiban dan beban yang sebaiknya dipilih untuk
dilaporkan. Oleh karena itu, prinsip konservatisme akuntansi mengharuskan bahwa
akuntan menampilkan sikap pesimistis secara umum ketika memilih teknik akuntansi
untuk pelaporan keuangan (Belkaoui, 2006 : 288).
Konservatisme akuntansi secara tradisional didefinisikan sebagai antisipasi
terhadap semua rugi tetapi tidak mengantisipasi laba (Watts, 2002 dalam Bahaudin
dan Wijayanti, 2011). Pengantisipasian rugi berarti pengakuan rugi sebelum suatu
verifikasi secara hukum dapat dilakukan, dan hal yang sebaliknya dilakukan terhadap
laba. Konservatisme akuntansi merupakan asimetri dalam permintaan verifikasi
terhadap laba dan rugi. Interpretasi tersebut berarti bahwa semakin besar perbedaan
tingkat verifikasi yang diminta terhadap laba dibandingkan terhadap rugi, maka
semakin tinggi tingkat konservatisme akuntansi. Akibat perlakuan yang asimetrik
terhadap verifikasi laba dan rugi dalam konservatisme akuntansi adalah
understatement yang persisten terjadi terhadap nilai aktiva bersih.
Dalam Watts (2002) mendefinisikan konservatisme sebagai perbedaan
verifiabilitas yang diminta untuk pengakuan laba dibandingkan rugi. Watts juga
menyatakan bahwa konservatisme akuntansi muncul dari insentif yang berkaitan
18
dengan biaya kontrak, litigasi, pajak, dan politik yang bermanfaat bagi perusahaan
untuk mengurangi biaya keagenan dan mengurangi pembayaran yang berlebihan
kepada pihak – pihak seperti manajer, pemegang saham, pengadilan dan pemerintah.
Selain itu, konservatisma juga menyebabkan understatement terhadap laba dalam
periode kini yang dapat mengarahkan pada overstatement terhadap laba pada periode-
periode berikutnya, sebagai akibat understatement terhadap biaya pada periode
tersebut.
Konsep konservatisma menyatakan bahwa dalam keadaan yang tidak pasti
manajer perusahaan akan menentukan pilihan perlakuan atau tindakan akuntansi yang
didasarkan pada keadaan, harapan, kejadian, atau hasil yang dianggap kurang
menguntungkan. Implikasi konsep ini terhadap prinsip akuntansi adalah akuntansi
mengakui biaya atau rugi yang kemungkinan akan tejadi, tetapi tidak segera
mengakui pendapatan atau laba yang akan datang walaupun kemungkinan terjadi
besar (Suwardjono 1989) dalam Anggraini dan Trisnawati (2008).
Sedangkan, Wolk et al. (2001: 144-145) dalam Safiq (2010) memberikan
definisi konservatisma akuntansi sebagai usaha untuk memilih metode akuntansi
berterima umum yang (a) memperlambat pengakuan revenues, (b) mempercepat
pengakuan expenses, (c) merendahkan penilaian aktiva, dan (d) meninggikan
penilaian utang. Definisi tersebut mengakibatkan nilai aktiva bersih yang understated
secara persisten. Hal yang sama juga dikatakan Tong (2005) yang mendefinisikan
konservatisma akuntansi, khususnya akuntansi diskresioner, sebagai pilihan
19
manajerial dari berbagai metode akuntansi dan estimasi dalam GAAP yang
menghasilkan understatement yang persisten dari laba laporan kumulatif dan aset
bersih selama periode waktu tertentu. Understatement yang persisten dari laba yang
dilaporkan dan aset bersih yang dicapai melalui penilaian aset yang lebih rendah,
penilaian kewajiban yang lebih tinggi, pengakuan laba dan keuntungan yang lebih
lambat, dan pengakuan biaya dan kerugian yang lebih cepat. Dengan demikian,
konservatisma akuntansi belum memiliki definisi yang otoritatif. Hal itu dikarenakan
setiap peneliti memiliki pandangan yang berbeda mengenai konservatisma akuntansi.
Dampaknya, metode yang akan digunakan untuk mengukur konservatisma akuntansi
berbeda-beda, sehingga hasil penelitian kemungkinan juga berbeda.
2.1.2.1. Kontroversi Dalam Konservatisme
Pemikiran serta bukti empiris menunjukkan masih terdapat kontroversi
mengenai manfaat angka-angka akuntansi yang konservatif. Terdapat dua pandangan
yang bertentangan mengenai manfaat konservatisma akuntansi, yaitu:
1. Akuntansi Konservatif Bermanfaat
Konservatisma tetap digunakan dalam praktik akuntansi dan disiarkan untuk
tetap digunakan. Givoly dan Hayn (2000) dalam Anggraini dan Trisnawati (2008)
menunjukkan terjadi peningkatan konservatisma di Amerika Serikat. Akuntansi
konservatif akan menguntungkan dalam kontrak-kontrak antara pihak-pihak dalam
perusahaan maupun dengan luar perusahaan. Konservatisma dapat membatasi
20
tindakan manajer untuk membesar-besarkan laba serta memanfaatkan informasi yang
asimetri ketika menghadapi klaim atas aktiva perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Ahmed (2002) membuktikan bahwa konservatisma
dapat berperan mengurangi konflik yang terjadi antara manajemen dan pemegang
saham akibat kebijakan deviden yang diterapkan oleh perusahaan. Untuk
menghindari konflik, manajemen cenderung menggunakan akuntansi yang lebih
konservatif. Penelitian mengenai manfaat konservatisma telah dilakukan di Indonesia
diantaranya Mayangsari dan Wilopo (2000) menggunakan C-Score sebagai proksi
konservatisma membuktikan bahwa konservatisma memiliki value relevance,
sehingga laporan keuangan perusahaan yang menerapkan prinsip konservatisma dapat
mencerminkan nilai pasar perusahaan.
2. Akuntansi Konservatif Tidak Bermanfaat
Meskipun prinsip konservatisma telah diakui sebagai dasar laporan keuangan
di Amerika Serikat, namun beberapa peneliti masih meragukan manfaat
konservatisma. Staubus (1995) berpendapat adanya berbagai cara untuk
mendefinisikan dan menginterprestasikan konservatisma merupakan kelemahan
konservatisma. Disamping itu, Basu (1997) konservatisma dianggap sebagai sistem
akuntansi yang bias. Pendapat ini dipicu oleh definisi akuntansi yang mengakui biaya
dan kerugian lebih cepat, mengakui pendapatan dan keuntungan lebih lambat, menilai
aktiva dengan nilai terendah, dan kewajiban dengan nilai yang tertinggi. Penman dan
Zhang (1999; 2000), Basu (1997), Feltham dan Ohlson (I995) memperkirakan bahwa
21
konservatisma menghasilkan kualitas laba yang rendah, dan kurang relevan.
Konservatisma mempengaruhi kualitas angka-angka yang dilaporkan di neraca
maupun laba dalam laporan laba rugi. Ketika perusahaan meningkatkan jumlah
investasi, maka akuntansi konservatif akan menghasilkan perhitungan laba yang lebih
rendah dibandingkan akuntansi liberalioptimis. Akuntansi konservatif juga akan
menciptakan cadangan yang tidak tercatat, sehingga memungkinkan manajemen lebih
leluasa melaporkan angka laba di masa mendatang.
2.1.2.2. Pengukuran Konservatisme
Watts (2003) dalam Haniati dan Fitriany (2010) membagi konservatisme
menjadi 3 pengukuran, yaitu Earning/Stock Return Relation Measure,
Earning/Accrual Measures, dan Net Asset Measure. Berbagai peneliti telah
mengajukan berbagai metode pengukuran konservatisme. Berikut beberapa
pengukuran konservatisme jika dikelompokkan sesuai dengan pendekatan Watt
(2003).
1. Earning/Stock Return Relation Measure
Stock market price berusaha untuk merefleksikan perubahan nilai aset pada
saat terjadinya perubahan, baik perubahan atas rugi ataupun laba tetap
dilaporkan sesuai dengan waktunya. Basu (1997) menyatakan bahwa
konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang merupakan kabar buruk
atau kabar baik terefleksi dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu
22
pengakuan). Hal ini disebabkan karena kejadian yang diperkirakan akan
menyebabkan kerugian bagi perusahaan harus segera diakui sehingga
mengakibatkan bad news lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan good
news. Dalam modelnya basu menggunakan model piecewise-linear regression
sebagai berikut:
ΔNI = α0 + α1ΔNIt-1 + α2DΔNIt-1 + α3DΔNIt-1 x ΔNIt-1 + εt
Dimana ΔNIt adalah net income sebelum adanya extraordinary items dari
tahun t-1 hingga t, yang diukur dengan menggunakan total assets awal nilai
buku. Sedangkan DΔNIt-1 adalah dummy variable, dimana bernilai 1 jika
perubahan ΔNIt-1 bernilai negatif.
2. Earning/Accrual Measures
Ukuran konservatisme yang kedua ini menggunakan akrual, yaitu selisih
antara net income dan cash flow. Net income yang digunakan adalah net
income sebelum depresiasi dan amortisasi, sedangkan cash flow yang
digunakan adalah cash flow operasional. Givoly dan Hayn (2002) melihat
kecenderungan dari akun akrual selama beberapa tahun. Apabila terjadi akrual
negative (net income lebih kecil daripada cash flow operasional) yang
konsisten selama beberapa tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya
conservatism. Selain itu, Givoly membagi akrual menjadi dua, yaitu operating
accrual yang merupakan jumlah akrual yang muncul dalam laporan keuangan
sebagai hasil dari kegiatan operasional perusahaan dan nonoperating accrual
23
yang merupakan jumlah akrual yang muncul diluar hasil kegiatan operasional
perusahaan.
3. Net Asset Measure
Ukuran ketiga yang digunakan untuk mengetahui tingkat konservatisme
dalam laporan keuangan adalah nilai aktiva yang understatement dan
kewajiban yang overstatement. Salah satu model pengukurannya adalah
proksi pengukuran yang digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) yaitu
dengan mengunakan market to book ratio yang mencerminkan nilai pasar
relatif terhadap nilai buku perusahaan. Rasio yang bernilai lebih dari 1,
mengindikasikan penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan
mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya
2.1.3 Earning Management
Para manajer memiliki fleksibilitas untuk memilih diantara beberapa cara
alternatif dalam mencatat transaksi sekaligus memilih opsi opsi yang ada dalam
perlakuan akuntansi yang sama. Fleksibilitas ini, yang dimaksudkan untuk
memungkinkan para manajer mampu beradaptasi terhadap berbagai situasi ekonomi
yang menggambarkan konsekuensi ekonomi yang sebenarnya dari transaksi tersebut,
dapat juga digunakan untuk memengaruhi tingkat pendapatan pada suatu waktu
tertentu dengan tujuan untuk memberikan keuntungan bagi manajemen dan para
pemangku kepentingan (stakeholder). Ini adalah esensi dari manajemen laba (earning
24
management) yaitu, suatu kemampuan untuk “memanipulasi” pilihan pilihan yang
tersedia dan mengambil pilihan yang tepat untuk dapat mencapai tingkat laba yang
diharapkan (belkoui, 2006:74).
Manajemen laba sebagai suatu proses pengambilan langkah yang disengaja
dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam maupun diluar
batas General Accepted Accounting Prinsip (GAAP). Menurut Sugiri (1998) dalam
Widyaningdyah (2001) membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu:
1. Definisi sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode
akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai
perilaku manajer untuk bermain dengan komponen discretionary accrual
dalam menentukan besarnya laba.
2. Definisi luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana
manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.
Scott (2000) dalam Sunarto (2009) menyatakan bahwa “earnings
management is the choice by a manager of accounting policies so as to achive some
specific objective”. Berdasarkan pernyataan tersebut menunjukkan bahwa manajemen
laba merupakan pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk berbagai tujuan
25
spesifik. Kebijakan akuntansi dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama,
pilihan kebijakan akuntansi itu sendiri, seperti straight-line versus declining-balance
amortization, atau kebijakan untuk pengukuran revenue; dan kedua akrual diskresi,
seperti provisi kerugian kredit, biaya jaminan, nilai persediaan, waktu dan jumlah pos
luar biasa. Ada dua cara untuk melihat perilaku manajemen laba. Pertama, perilaku
opportunistic manajemen untuk memaksimumkan utilitas mereka mengenai
kompensasi, debt contract, dan political cost; dan kedua, manajemen laba dari
perspektif efficient contracting.
Healy (1985) menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan
untuk mendeteksi perilaku manajemen me-manage laba. Pertama, mengontrol jenis
akrual, dimana akrual secara luas didefinisikan sebagai porsi item penerimaan dan
pengeluaran (revenue and expenses) pada laporan laba-rugi yang tidak
direpresentasikan oleh arus kas; dan kedua, perubahan kebijakan akuntansi.
Selanjutnya, Healy menyatakan bahwa akrual diskresi digunakan sebagai proxy total
akrual. Asumsi yang digunakan adalah akrual non-diskresi relatif kecil terhadap
akrual diskresi, sehingga total akrual tinggi mengandung akrual diskresi tinggi. Total
akrual dapat dihitung dengan dua cara. Pertama, menghitung perubahan setiap akun
neraca yang merupakan subyek akrual; dan kedua, menghitung perbedaan antara net
income dan cash flow.
Menurut Scott (2000) dalam Anggraini dan Trisnawati (2008), earnings
management adalah suatu cara penyajian laba yang disesuaikan dengan tujuan yang
26
diinginkan oleh manajer, melalui pemilihan suatu set kebijakan akuntansi atau
melalui pengelolaan akrual. Scott (2000) menyatakan bahwa earnings management
berkaitan dengan pilihan manajemen atas kebijakan akuntansi sehingga tujuan
manajemen dapat dicapai. Terdapat dua sudut pandang earnings management;
pertama, earnings management merupakan perilaku manajemen yang oportunistik
yang dikaitkan dengan maksimisasi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik.
Kedua, earnings management ditinjau dari sudut pandang pengkontrakan efisien
(eflcient contracting).
Earnings management merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk
mencapai tujuan khusus. Earnings management juga berkaitan dengan moral hazard
karena earnings management dianggap sebagai ancaman moral bagi pengguna
laporan keuangan. Menurut Healy dan Wahlen (1999), earnings management terjadi
ketika manajemen menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan
penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan
stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan.
2.1.3.1. Faktor Faktor Pendorong Earning Management
Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang
melatarbelakangi terjadinya earnings management (Watt dan Zimmerman 1986),
yaitu:
27
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya
yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar
berdasarkan earnings lebih banyak menggunakan metoda akuntansi yang
ryeningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung
memilih metoda akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney
1994) dalam Rahmawati dkk. (2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam
pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan
dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya:
mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan dan lain-
lain. Scott (2000: 306-307) menggunakan bentuk-bentuk earnings management yang
dilakukan oleh manajer antara lain:
28
4. Taking a bath
Dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa
dihindari pada perioda berjalan, dengan cara mengakui biayaIbiaya bada perioda-
perioda yang akan datang dan kerugian perioda berjalan.
5. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan
tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa
berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan
sebagainya. Cara ini mirip dengan takinga bath tapi kurang ekstrim.
6. Income Maximization
Memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang besar. Demikian pula
dengan perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang jangka
panjang, manajer perusahaan tersebut cenderung untuk memaksimalkan laba.
7. Income smoothing
Merupakan bentuk earnings management yang paling sering dilakukan dan
paling populer. Lewat income smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laha
untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil
dan tidak berisiko tinggi.
29
2.1.3.2. Motivasi Earning Management
Healy dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari earnings
management kedalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal yang
ditunjukkan dengan return saham. Beberapa penelitian memberikan bukti tentang
adanya earnings management untuk tujuan pasar modal, seperti De Angelo (1998)
memberikan bukti bahwa manajemen cenderung melaporkan laba bersih lebih rendah
(understate) ketika melakukan buyout. Kedua, motivasi kontrak yang dapat berupa
kontrak hutang dan kontrak kompensasi manajemen. Terakhir, motivasi regulatori.
2.1.4. Corporate Governance
2.1.4.1. Pengertian Corporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006) dalam
(Agoes dan Ardana: 101) corporate governance adalah seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak
kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain
suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Corporate governance merupakan serangkaian mekanisme yang dapat
melindungi pihak-pihak minoritas (outside investors/minority shareholders) dari
ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer dan pemegang saham pengendali
30
(insider) dengan penekanan pada mekanisme legal (Shleiver dan Vishny, 1997)
dalam Wawo 2010. Pendekatan legal dari corporate governance memiliki arti bahwa
mekanisme kunci dari corporate governance adalah proteksi investor eksternal
(outside investors), baik pemegang saham maupun kreditor, melalui sistem legal,
yang dapat diartikan dengan hukum dan pelaksanaannya.
2.1.4.2. Prinsip Prinsip Corporate Governance
Prinsip-prinsip OECD (dalam Sukrisno Agoes, 2006) mencakup lima bidang
utama, yaitu: hak-hak para pemegang saham (stockholders) dan perlindungannya;
peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya;
pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu; transparansi terkait dengan
struktur dan operasi perusahaan; serta tanggung jawab dewan (maksudnya Dewan
Komisaris dan Direksi) terhadap perusahaan, pemegang saham, dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya. Secara ringkas, prinsip-prinsip tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)
b. Transparansi (transparency)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)
Dalam hubungannya dengan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Menteri Negara BUMN juga mengeluarkan Keputusan Nomor Kep-117/M-
31
MBU/2002 tentang Penerapan good corporate governance (Tjager dalam Agoes dan
Ardana, 2009 : 103). Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu:
a. Kewajaran (fairness)
b. Transparansi
c. Akuntabilitas
d. Pertanggungjawaban
e. Kemandirian
National Committee on Governance (dalam Agoes dan Ardana)
mempublikasikan “Kode Indonesia tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Indonesia’s Code of Good Corporate Governance). Dalam pengantarnya, Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian, Dr. Boediono, menyatakan bahwa kode
Indonesia tentang good corporate governance ini bukan merupakan suatu peraturan,
tetapi dapat menjadi pedoman dasar bagi seluruh perusahaan di Indonesia dalam
menjalankan usaha agar kelangsungan hidup perusahaan lebih terjamin dalam jangka
panjang dalam koridor etika bisnis yang pantas. Dalam kode ini, NCG
mengemukakan lima prinsip good corporate governance, yaitu:
a. Transparansi (transparency)
b. Akuntabilitas (accountability)
c. Responsibilitas (responsibility)
d. Independensi (independency)
e. Kesetaraan (fairness)
32
2.1.4.3. Manfaat Corporate Governance
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) dalam (Agoes dan Ardana,
2006:106) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat daripenerapan Corporate
Governance adalah:
1. Memudahkan akses terhadap investasi domsetik maupun asing
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja
ekonomi perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
terhadap perusahaan
5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hokum.
2.1.4.4. Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme merupakan cara kerja sesuatu secara tersistem untuk memenuhi
persyaratan tertentu. Mekanisme corporate governance merupakan suatu prosedur
dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang
melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keputusan. Menurut Boediono (2005)
mekanisme dalam peng awasan corporate governance dibagi dalam dua kelompok
yaitu internal dan external mechanisms.
Internal mechanisms adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan
menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham
33
(RUPS), komposisi dewan direksi, komposisi dewan komisaris dan pertemuan
dengan board of director. Sedangkan external mechanisms adalah cara
mempengaruhi perusahaan selain dengan menggunakan mekanisme internal, seperti
pengendalian oleh perusahaan dan pengendalian pasar.
Teori agensi menyatakan bahwa apabila terdapat pemisahan antara pemilik
sebagai principal dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan maka akan
muncul permasalahan agensi karena masing-masing pihak tersebut akan selalu
berusaha untuk memaksimalisasikan fungsi utilitasnya (Jensen & Meckling,1976)
dalam Wardhani (2008).
Untuk meminimalisasi permasalahan agensi tersebut, maka dibuatlah kontrak-
kontrak dalam perusahaan baik kontrak antara pemegang saham dengan manajernya
maupun kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan kreditur. Namun,
konflik tersebut tidak dapat diatasi secara menyeluruh dengan menggunakan kontrak
tersebut karena biaya untuk membuat kontrak yang lengkap sangatlah mahal, dan
apabila tidak merupakan hal yang tidak mungkin (Fama dan Jensen, 1983; Hart,
1995). Jadi, dalam kondisi dimana kontrak tidak dapat dibuat secara sempurna,
mekanisme corporate governance memainkan peranan dalam memitigasi konflik
tersebut. Mekanisme corporate governance yang dapat memitigasi konflik teresebut
dan mempengaruhi hubungan antara earning management dengan konservatisme
akuntansi adalah kepemilkan manajerial dan jumlah dewan komisaris.
34
Bernhart dan Rosenstein (1998) dalam Siallagaan & Mas’ud, 2006)
menyatakan bebarapa mekanisme (mekanisme corporate governance) seperti
mekanisme internal, seperti struktur dan dewan komisaris, serta mekanisme eksternal
seperti pasar untuk kontrol perusahaan diharapkan dapat mengatasi masalah
keagenan. Konflik keagenan yang mengakibatkan adanya sifat opportunistic
manajemen akan mengakibatkan rendahnya kualitas laba. Rendahnya kualitas laba
akan dapat membuat kesalahan pembuatan keputusan kepada para pemakainya seperti
investor dan kreditor, sehingga nilai perusahaan akan berkurang.
2.1.5. Kepemilikan Manajerial
Penelitian ini akan memasukkan mekanisme internal spesifik perusahaan
sebagai variabel pemoderasi yaitu struktur kepemilikan dan struktur pengelolaan.
Untuk struktur kepemilikan akan digunakan variabel kepemilikan manajerial dengan
pemikiran bahwa sensitivitas manajemen terhadap pengaruh para pemegang saham
akan tergantung pada tingkat kontrol kepemilikan manajemen.
Menurut Mello dan Pearson dalam Etty Widyastuti (Balance, 2004),
Kepemilikan Dalam (Insider Ownership Concentration) adalah persentase
kepemilikan dewan direksi dan dewan komisaris atas saham perusahaan (Priyo
Widodo, 2010).
Menurut Agus Sartono (2004) dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia,
Insider Ownership didefinisikan sebagai persentase suara yang berkaitan dengan
35
saham dan option yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Secara
matematik nilai Insider Ownership (IO) diperoleh dari persentase saham perusahaan
yang dimiliki oleh direksi dan komisaris (Priyo Widodo, 2010).
Trisyanti (2009) dalam Diah (2009) menyatakan bahwa kepemilikan
manajerial itu sendiri dapat dilihat dari konsentrasi kepemilikan atau prosentase
saham yang dimiliki oleh dewan direksi dan manajemen. Prosentase tersebut
diperoleh dari banyaknya jumlah saham yang dimiliki oleh manajerial. Semakin besar
proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan, maka manajemen cenderung lebih
giat untuk kepentingan pemegang saham dimana pemegang saham adalah dirinya
sendiri.
Mekanisme corporate governance yang dapat digunakan untuk mengurangi
terjadinya konflik kepentingan agent-principal adalah dengan memperbesar jumlah
kepemilikan manajerial (Jensen dan Meckling, 1976) dalam Mudjiono (2010). Besar
kecilnya jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajerial perusahaan akan
mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh manajer, karena keputusan tersebut
nantinya akan mempengaruhi posisinya sebagai manajer perusahaan juga sebagai
pemegang saham. Dengan demikian akan terjadi pensejajaran kepentingan antara
manajemen dengan pemegang saham. Dan mekanisme diatas akan menambah
keyakinan investor bahwa perilaku manajer untuk melakukan tindakan untuk
memanipulasi laba dapat diminimalisasi.
36
Menurut Lafond dan Rouchowdhury (2007), kepemilikan manajerial
merupakan presentase kepemilikan saham perusahaan oleh direktur perusahaan
dibandingkan dengan jumlah saham perusahaan yang beredar secara keseluruhan.
Hubungan antara kepemilikan manajerial dan konservatisme terjadi pada saat
perusahaan akan melakukan investasi yang akan berpengaruh terhadap laba
perusahaan. Hal ini disebabkan konservatisme akuntansi akan membuat perusahaan
lebih mengakui kerugian dan menunda pengakuan keuntungan yang dapat
berpengaruh terhadap penilaian kinerja manajer.
2.1.6. Jumlah Dewan Komisaris
Jumlah dewan komisaris adalah jumlah yang tepat dari anggota dewan
komisaris dalam menjalankan tugasnya. Menurut pedoman umum Good Corporate
Governance Indonesia, jumlah anggota dewan komisaris harus disesuaikan dengan
kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan
keputusan (dalam Lara, et al (2005).
Dalam penelitian ini, struktur pengelolaan akan digunakan jumlah dewan
komisaris dengan pemikiran bahwa salah satu cara yang paling efisien dalam rangka
untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan pencapaian tujuan
perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang
secara efektif mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk
mengidentifikasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda.
37
Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur
kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam hal ini
komposisi dewan (World Bank, 1999) dalam Boediono (2005).
Ukuran dewan komisaris yang terkait dengan jumlah anggota dewan
komisaris akan mempengaruhi mekanisme pengawasan terhadap perusahaan. Ukuran
dewan komisaris yang lebih besar akan menyebabkan tugas setiap anggota dewan
komisaris menjadi lebih khusus karena terdapat komite-komite yang lebih khusus
dalam mengawasi perusahaan. Spesialisasi yang lebih besar tersebut dapat
menunjukkan pengawasan yang lebih efektif sehingga penerapan akuntansi yang
disyaratkan dewan komisaris lebih konservatif. Oleh karena itu, jumlah anggota
dewan komisaris harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan kompleksitas
perusahaa, supaya pengawasan yang dilakukan lebih efektif.
Kepemilikan manajerial dan jumlah dewan komisaris merupakan bagian dari
mekanisme corporate governance yang akan melakukan kontrol atau pengawasan
terhadap keputusan dimana earning management yang ada pada perusahaan
mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh seorang manajer perusahaan dalam
mengambil langkah kebijakan untuk menerapkan akuntansi konservatif.
2.2. Review Penelitian Relevan
Sebagai landasan dan acuan penelitian maka peneliti menggunakan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dan telah teruji
38
secara empiris sehingga dapat memperkuat hasil penelitian ini. Penelitian tersebut
adalah penelitian-penelitian yang berkaitan dengan Konservatisme Akuntansi. Hasil
penelitian tersebut terangkum dalam tabel review penelitian terdahulu di Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Penelitian Relevan
No Peneliti Judul Penelitian Variabel
Independen
Variabel
Dependen
Alat
Uji/Sampel Hasil
1 Bahaudin dan
Wijayanti
(2011)
Mekanisme
Corporate
Governance
Terhadap
Konservatisme
Akuntansi di
Indonesia
(Studi Empiris
pada
Perusahaan
Manufaktur
yang Terdaftar
di Bursa Efek
Indonesia)
Independensi
komisaris,
kepemilikan
perusahaan
oleh komisaris
dan direksi,
dan komite
audit.
Konservatisme
Akuntansi
Uji Regresi
dengan
sampel
Perusahaan
manufaktur
yang
terdaftar di
BEI
keberadaan
independensi
komisaris yang
terdapat
pada perusahaan
manufaktur di
Indonesia belum
dapat menjalankan
dengan baik
fungsi monitoring
yang bersifat
independen terhadap
kinerja manajamen
perusahaan dalam
menjalankan prinsip
konservatisme dalam
penyusunan laporan
keuangan.
2 Fivi
Anggraini
dan Ira
Trisnawati
(2008)
Pengaruh
Earning
Management
Terhadap
Konservatisme
Akuntansi
Manajemen
laba
Konservatisme
Akuntansi
Regresi
Logit dengan
58
perusahaan
manufaktur
di BEJ
Manajer cenderung
menggunakan
akuntansi yang tidak
konservatisme
(optimis). Manajer
merasa penggunaan
akuntansi yang
konservatif akan
39
membatasi tindakan
oportunistik
manajemen.
3 Cynthia Sari
dan Desi
Adhariani
(2009)
Konservatisme
Perusahaan di
Indonesia dan
Faktor –Faktor
Yang
Mempengaruhi
nya
debt/equity
hypothesis
(yang diproksi
oleh tingkat
leverage), dan
size hypothesis
(Ukuran
perusahaan,
Risiko
perusahaan,
Rasio
konsentrasi, &
intensitas
modal).
Konservatisme
Akuntansi
Regresi
Linier
berganda
dengan 370
sampel
perusahaan
Adanya hubungan
negative antara rasio
leverage dengan
konservatisme
akuntansi
4. Hesty
Setyaningsih
(2008)
Pengaruh
Tingkat
Kesulitan
Keuangan
Perusahaan
Terhadap
Konservatisme
Akuntansi
Tingkat
Kesulitan
Keuangan
Perusahaan
Konservatisme
Akuntansi
Regresi OLS
dengan
sampel
Perusahaan
manufaktur
yang
terdaftar di
BEI
Perusahaan yang
mengalami tingkat
kesulitan keuangan
dengan
menyelenggarkan
prinsip konservatisme
akuntansi
mencerminkan
keadaan perusahaan
yang baik.
5. Ludovicus
Lasdi (2009)
Pengaruh
Determinan
Konservatisme
Akuntansi
Kontrak
kompensasi,
Kontrak
hutang, Biaya
litigasi, dan
Biaya politis
dan pajak
Konservatisme
Akuntansi
Model
Regresi
berganda
dengan 100
perusahaan
manufaktur
yang listed di
BEI
Perusahaan pelanggar
mempunyai lebih
banyak akrual
abnormal yang
agresif dan berubah
pada akuntansi yang
lebih konservatif
Sumber: Diolah oleh penulis.
40
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini bisa digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Sumber: Diolah oleh penulis.
Penelitian ini untuk menguji earnings management yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia mempengaruhi pilihan manajer
untuk menerapkan kebijakan akuntansi konservatif. Dengan dimoderasi mekanisme
corporate governance yang diproksikan oleh kepemilikan manajerial dan jumlah
dewan komisaris.
Variabel Pemoderasi
Variabel Independen Variabel Dependen
Mekanisme Corporate Governance
Konservatisme Akuntansi (Y)
Earning Management (X1)
1. Kepemilikan Manejerial (X2)
2. Ukuran Dewan Komisaris (X3)
Discretionery Acrrual Accrual Conservatism
41
2.3.1. Earnings Management Dan Konservatisme Akuntansi
Beberapa penelitian mengindikasi bahwa akrual sebagai mekanisme yang
digunakan untuk memanipulasi laba, dihubungkan dengan penggunaan konservatisma
akuntansi (Basu 1997; Givoly dan Hayn 2000; Dunbar et al. 2004; Mayangsari dan
Wilopo 2002; Dewi 2003). Basu (1997) dalam Anggraini & Trisnawati (2008)
menyatakan bahwa konservatisma merupakan praktik akuntansi yang mengurangi
laba (dan menurunkan nilai aktiva bersih) ketika menanggapi kabar baik.
Earnings management merupakan cara menyajikan laba yang disesuaikan
dengan tujuan yang diinginkan oleh manajer dan dilakukan melalui pemilihan
kebijakan akuntansi atau melalui pengelolaan akrual. Prinsip ini terkait dengan
definisi konservatisma yang dikemukakan oleh Penman dan Zhang (2000) serta Wolk
dan Tearney (2000) dalam Anggraini & Trisnawati (2008) yang menyatakan bahwa
konservatisma akuntansi tidak saja berkaitan dengan pemilihan metoda akuntansi,
tetapi juga estimasi yang seringkali diterapkan berkaitan dengan akuntansi akrual.
Akrual diskresioner adalah akrual yang dapat dikendalikan oleh manajemen dalam
jangka pendek, mencakup persentase aloksi piutang tak tertagih, peningkatan biaya
overhead yang dibebankan pada sediaan, perubahan estimasi biaya garansi (Wolk dan
Teamey 2000).
Dalam Lasdi (2005) menyatakan manajer perusahaan memilih akuntansi
konservatif karena dipengaruhi perilaku oportunistik manajer dalam mengelola laba
agar dapa memaksimalkan kepentingannya dengan mengrbankan kesejahteraan pihak
42
pihak yang melakukan kontrak dengan manajer. Penyebab perusahaan menggunakan
manajemen laba menurun adalah pemonitoran yang dilakukan oleh berbagai pihak
seperti pemberi pinjaman. Tiap usaha untuk meningkatkan laba akan menyebabkan
manajer kehilangan kredibilitas dari pemberi pinjaman, sehingga akan
membahayakan sumber keuangan perusahaan. Oleh karena itu manajer cenderung
menggunakan atau memilih akuntansi konservatif.
Dilain pihak, Tong (2005) dan Hayn (2005) dalam Lasdi (2009) menyatakan
bahwa konservatisme akuntansi berbeda dengan manajemen laba. Pertama,
manajemen laba cenderung merupakan fenomena penurunan laba jangka pendek,
sedangkan konservatisme akuntansi menurunkan laba secara permanen.
Understatement aktiva bersih yang sistematik merupakan tanda konservatisme
akuntansi (Watts, 2005). Argumen untuk konservatisme akuntansi mengadopsi
perspektif jangka panjang yang didasarkan pada pengontrakan yang efisien. Ukuran
konservatisme diskresioner adalah understatement yang persisten dari laba
kumulasian dan aset bersih sepanjang periode waktu. Jika konservatisme akuntansi
merupakan mekanisme kontrak yang efisien, maka pengaruh yang diamati seharusnya
mendominasi pengaruh manajemen laba dalam jangka panjang. Manajemen laba
dalam bentuk penurunan laba terjadi hanya sementara atau tidak terjadi setiap tahun,
misalnya penghapusan aktiva pada suatu tahun akan menurunkan laba pada tahun
yang bersangkutan, tetapi akan menaikkan laba pada tahun berikutnya.
43
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari dan Wilopo (2002)
serta Dewi (2003) memberikan bukti bahwa terdapat hubungan antara earnings
management dengan konservatisma akuntansi. Mayangsari dan Wilopo (2002)
menyatakan bahwa pemilihan metoda akuntansi yang konservatif tidak terlepas dari
kepentingan pihak manajemen untuk memaksimalisasi kepentingannya dengan
mengorbankan kesejahteraan pemegang sahamnya, atau yang biasa disebut dengan
masalah keagenan seperti yang tersaji dalam teori keagenan Jensen dan Meckling
(1976). Konservatisma dapat membatasi tindakan manajer yang secara oportunistik
mengelola laba dan memanfaatkan posisi sebagai manajer yang memiliki informasi
yang lebih banyak dibandingkan pihak luar perusahaan (Gul et a[. 2002). Akuntansi
yang konservatif diperlukan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan kontrak
dengan manajer. Contohnya, adanya perilaku oportunistik yang meningkatkan laba
untuk mendapatkan kompensasi yang lebih baik membuat pemegang saham akan
mendesak manajer untuk menggunakan akuntansi yang konservatif.
2.3.2. Kepemilikan Manajerial, Earnings Management, Dan Konservatisme
Akuntansi
Adanya hasil yang pro dan kontra seputar penelitian tentang pengaruh
penerapan prinsip konservatisma mendorong peneliti untuk memasukkan mekanisme
Corporate Governance sebagai variabel pemoderasi. Peneliti menduga bahwa ada
44
variabel lain yang menginteraksi Hubungan earning management dengan
konservatisme akuntansi.
Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam teori keagenan sejak
dipublikasikan Jensend and Meckling (1976) dalam Sukharta (2007) menyatakan
bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka
manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham
yang juga adalah dirinya sendiri. Murphy (1985), Jensen dan Murphy (1990), serta
Smith and Watts (1992) menyatakan kepemilikan manajerial merupakan program
kebijakan remunerasi guna mengurangi masalah keagenan. Mereka menjelaskan
bahwa kompensasi tetap berupa gaji, tunjangan, dan bonus terbukti dapat digunakan
sebagai sarana untuk menyamakan kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
Struktur kepemilikan manajerial mencerminkan persentase jumlah saham yang
dimiliki manajemen dari seluruh jumlah saham yang ada dalam perusahaan. Pada
dasarnya pemilihan metoda akuntansi juga dipengaruhi oleh manajer. Dengan kata
lain kepemilikan manajer menentukan kebijakan dan pilihan manajemen terhadap
metoda akuntansi termasuk konservatif. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menyelaraskan antara kepentingan pemilik dan manajemen adalah dengan melibatkan
manajemen dalam struktur kepemilikan saham yang cukup besar.
Jika kepemilikan manajerial semakin rendah, maka manajer akan cenderung
kurang konservatif atau cenderung meningkatkan laba yang dilaporkan. Hal ini terjadi
karena sering kali kinerja manajemen dinilai dari seberapa besar target dipenuhi oleh
45
manajer. Target suatu perusahaan biasanya diorientasikan dengan laba, maka semakin
tinggi laba kinerja manajemen semakin baik sehingga manajer mendapat bonus yang
lebih banyak (dengan asumsi ada perjanjian bonus plan). Hal tersebut yang
mendorong manajer melaporkan laba lebih besar (Suaryana, 2008).
LaFond dan Roychowdhury (2007) dalam Whardani (2008) menyatakan
bahwa konservatisme dalam pelaporan keuangan merupakan salah satu mekanisme
dalam mengatasi permasalahan agensi ketika timbul pemisahan antara kepemilikan
dan pengendalian. Mereka menghipotesiskan bahwa dengan semakin kecilnya
kepemilikan manajerial maka permasalahan agensi yang muncul akan semakin besar
sehingga permintaan atas laporan yang bersifat konservatif akan semakin meningkat.
Konsisten dengan hipotesa tersebut, mereka menemukan adanya hubungan yang
negatif antara kepemilikan manajerial dengan konservatisme yang diukur dengan
menggunakan ukuran asymmetric timeliness dari pengakuan laba dan rugi.
Sedangkan dalam Palestin (2006) yang menemukan bahwa struktur
kepemilikan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Artinya, semakin besar
kepemilikan saham maka semakin kecil praktik manajemen laba. Ini disebabkan
karena kepemilikan saham yang terkonsentrasi dapat membuat pemegang saham pada
posisi yang kuat untuk mengendalikan manajemen secara efektif sehingga mampu
membatasi perilaku oportunis oleh manajer.
Pengaruh kepemilikan manajerial memberikan dampak yang berbeda antara
earning manajemen dengan konservatisme akuntansi. Dua kebijakan ini merupakan
46
opsi manajer dalam yang digunakan untuk mempengaruhi suatu pelaporan keuangan
perusahaan.
2.3.3. Jumlah Dewan Komisaris, Earnings Management, Dan Konservatisme
Akuntansi
Dewan komisaris (struktur pengelolaan) merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku manajer dalam pengelolaan perusahaan termasuk dalam
penerapan kebijakan konservatisma akuntansi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakan Mizruchi (1983) dalam Hapsoro (2006) dalam Amalia (2007)
bahwa dewan komisaris merupakan “the ultimate center of control.” Semakin besar
jumlah komisaris fungsi service dan kontrol akan semakin baik karena akan semakin
banyak keahlian dalam memberikan nasehat yang bernilai dalam strategi dan
penyelenggaraan perusahaan (Fama dan Jensen, 1983 dalam Kusumawati dan
Riyanto, 2005). Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik
dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam
menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak
manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu
laporan laba yang berkualitas.
Ukuran dewan (komisaris) dapat mempengaruhi kemampuan memonitor
proses pelaporan keuangan seperti penelitian Midiastuty (2003) dalam Mudjiyanti
(2005) dalam Amalia (2007) yang menyimpulkan bahwa mekanisme kepemilikan
47
manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran atau jumlah dewan mampu
mengurangi konflik kepentingan antara stakeholders dan meningkatkan kepercayaan
investor
Yu (2006) dalam Nasution dan Setyawan (2007) menemukan bahwa ukuran
dewan komisaris berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen laba
yang diukur dengan menggunakan model Modified Jones untuk memperoleh nilai
akrual kelolaannya. Hal ini menandakan bahwa makin sedikit dewan komisaris maka
tindak manajemen laba makin banyak karena sedikitnya dewan komisaris
memungkinkan bagi organisasi tersebut untuk didominasi oleh pihak manajemen
dalam menjalankan perannya.
Lara, et al (2005) dalam Sari dan Adhariani (2009) menunjukkan bahwa
perusahaan yang memiliki dewan yang kuat sebagai mekanisme corporate
governance mensyaratkan tingkat konservatisme yang lebih tinggi daripada
perusahaan dengan dewan yang lemah. Komposisi anggota dewan komisaris yang
tidak seimbang dengan dewan direksi akan menyebabkan komisaris mengalami
kesulitan dalam berdiskusi dengan dewan direksi dan mengawasi kinerja perusahaan.
Dewan komisaris akan lebih menginginkan penerapan prinsip akuntansi yang
konservatif untuk mencegah perilaku yang menyimpang dari direksi dan manajer.
Maka diperlukan jumlah anggota dewan komisaris yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan perusahaan supaya proses monitoring lebih efektif. Sehingga
semakin besar ukuran dewan komisaris maka semakin besar kekuatan dari dewan
48
komisaris dalam melakukan pengawasan sehingga penggunaan akuntansi yang
konservatif akan semakin tinggi pula. Hal ini dapat mengurangi dominasi oleh pihak
manajemen dalam menjalankan perannya dalam memanipulasi laba pada pelaporan
keuangan.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kajian
pustaka yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H1: Terdapat pengaruh antara earnings management terhadap konservatisme
akuntansi.
H2: Terdapat pengaruh antara earnings management terhadap konservatisme
akuntansi dengan dimoderasi oleh kepemilikan manajerial.
H3: Terdapat pengaruh antara earnings management terhadap konservatisme
akuntansi dengan dimoderasi oleh jumlah dewan komisaris.