BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.upi.edu/13147/5/T_POR_1101230_Chapter...

27
15 Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. KAJIAN PUSTAKA 1. Cooperative Learning Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada pertengahan tahun 1970 di Hopkins University oleh Robert E Slavin. Pada awalnya, Slavin menamakan model ini dengan nama Student Team Learning (STL) dan mulai berkembang dan berubah menjadi Cooperative Learning dengan cakupan pembahasan yang lebih luas. Cooperative Learning merupakan seperangkat pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses belajar dan memberikan hasil yang terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler (2000, hlm. 221) : ...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching strategies that share key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigment with the expectation that all students will contribute to the learning process and outcomes. Merujuk secara istilah, Cooperative Learning mengacu pada metode pendidikan dimana siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan bertanggung jawab sendiri atas pembelajaran mereka sendiri serta bertanggung jawab terhadap orang lain (Gokhale, 1995, dalam Lavasani, Afzali & Afzali, 2011, hlm. 188). Cooperative Learning adalah rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke dalam kelompok kecil dan heterogen agar bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan kolaboratif di antara anggota kelompok tersebut (Goodwin, 1999, hlm. 29). Juliantine dkk (2013, hlm. 63) menyatakan bahwa “Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.upi.edu/13147/5/T_POR_1101230_Chapter...

15

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Cooperative Learning

Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada pertengahan

tahun 1970 di Hopkins University oleh Robert E Slavin. Pada awalnya, Slavin

menamakan model ini dengan nama Student Team Learning (STL) dan mulai

berkembang dan berubah menjadi Cooperative Learning dengan cakupan

pembahasan yang lebih luas. Cooperative Learning merupakan seperangkat

pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling

terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses

belajar dan memberikan hasil yang terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler

(2000, hlm. 221) :

...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching

strategies that share key attributes, the most important being the grouping

of students into learning teams for set amounts of time or assigment with

the expectation that all students will contribute to the learning process and

outcomes.

Merujuk secara istilah, Cooperative Learning mengacu pada metode

pendidikan dimana siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk

mencapai tujuan bersama dan bertanggung jawab sendiri atas pembelajaran

mereka sendiri serta bertanggung jawab terhadap orang lain (Gokhale, 1995,

dalam Lavasani, Afzali & Afzali, 2011, hlm. 188). Cooperative Learning adalah

rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke

dalam kelompok kecil dan heterogen agar bisa bekerja sama untuk mencapai

tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan kolaboratif di antara anggota

kelompok tersebut (Goodwin, 1999, hlm. 29). Juliantine dkk (2013, hlm. 63)

menyatakan bahwa

“Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk

meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman

16

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta

memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar

bersama-sama, siswa yang berbeda latar belakangnya.”

Metzler (2000) menyatakan tiga konsep dasar dari Cooperative Learning

yakni :

a. Team reward. Dalam CL, setiap tim diberikan tugas dimana ketika mereka

mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, mereka akan mendapatkan

penghargaan atau hadiah. Bentuk dari hadiah ini bisa berupa pemberian nilai,

hak istimewa dan sebagainya.

b. Individual accountability. Bagian lain dari CL adalah bahwa dalam performa

semua anggota kelompok merupakan bagian dari penilaian tim. Semua siswa

harus memberikan kontribusinya dalam usaha tim dan penting bagi semua

anggota tim untuk bisa belajar dan memberikan potensi mereka secara

optimal.

c. Equal opportunities. Dalam pembentukan kelompok atau tim, siswa harus

dibagi berdasarkan tingkat keterampilan, jenis kelamin, kemampuan kognitif,

sehingga tim tersebut terbentuk secara heterogen. Dengan adanya perbedaan

dalam kelompok ini, para siswa dituntut untuk bisa mengembangkan

keterampilan sosialnya. Keserataan kelompok dalam kemampuan akan

meningkatkan iklim kompetisi yang adil dan akan meningkatkan motivasi

para siswa.

Dalam cooperative learning guru bertindak sebagai fasilitator dan bekerja

untuk mengalihkan tanggung jawab kepada siswa di samping tetap bertanggung

jawab penuh selama proses pembelajaran (Dyson dkk, 2004, hlm. 234).

Pembelajaran terpusat pada siswa (student center). Guru membagi siswa ke dalam

kelompok kecil, terstruktur, heterogen dan memastikan bahwa dalam pembagian

kelompok tersebut terbagi menjadi kelompok yang rata/adil berdasarkan pada

jenis kelamin, tingkat keterampilan, latar belakang sosial ekonomi dan ras (Dyson

dkk, 2004, hlm. 232 ; Casey dkk, 2009, hlm. 409). Cooperative learning tidak

hanya berdasarkan pada pencapaian saja, akan tetapi berdasarkan pada proses

(procces-based). Process-based artinya bahwa cara-cara siswa berinteraksi antara

17

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

satu dengan yang lain merupakan hal penting dan memudahkan mereka mencapai

sukses. Sehingga prinsipnya adalah “It’s not only student must learn to cooperate

but that students must cooperate to learn”.

Dalam Cooperative Learning siswa tidak hanya bertanggung jawab

terhadap isi pembelajaran tetapi membantu teman sekelompoknya untuk bisa

mengerti terhadap materi (Wang, 2012, hlm. 109). Dalam beberapa literatur

dijelaskan bahwa pendekatan dalam cooperative learning bisa dilakukan dalam 4

aspek yakni : (1) konsep/conceptual, (2) struktural/structural, (3)

kurikulum/curricular, (4) instruksi kompleks/complex intruction (Goudas &

Magotsiou, 2009 ; Wang, 2012). Johnson dkk (1994) dalam Metzler (2000)

mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran dengan metode cooperative

learning terdapat lima elemen penting dalam proses pembelajaran yakni :

1) Positive interdependence among students. Siswa harus memahami bahwa

semua anggota tim diperlukan bagi seluruh tim untuk mencapai tujuannya.

Setiap anggota tim membawa bakat yang unik, pengetahuan, pengalaman dan

keterampilan yang dapat membantu tim.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya.

Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun

tugas sedemikian rupa sehingga anggota kelompok harus menyelesaikan

tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka (Juliantine

dkk, 2013, hlm. 65)

2) Face-to-face promotive interaction. Struktur dalam tim dapat membuat siswa

untuk saling mendukung, memfasilitasi, dan memperkuat teman

sekelompoknya, membuat mereka menjadi terikat. Anggota tim segera

menyadari bahwa semua anggota tim harus mencapai potensi optimalnya

untuk mencapai tujuan, sehingga bekerja sama dan keinginan yang tulus

dalam pencapaian semua anggota merupakan hal terbaik dalam tim. Sejalan

yang dinyatakan oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 66) bahwa “ Setiap

kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi

yang bertujuan untuk menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan

mengisi kekurangan”.

18

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3) Individual accountability/ personal responsibility. Cooperative learning akan

bekerja dengan baik ketika setiap anggota dari kelompok memberikan

kontribusi dengan pembagian yang adil. Artinya bukan setiap siswa

mendapatkan nilai yang sama akan tetapi semua siswa berpartisipasi dalam

proses pembelajaran sesuai dengan kemampuan mereka.

4) Interpersonal and small-groups skills. Ada penekanan pada aspek

pemahaman dan percaya terhadap anggota tim, komunikasi yang baik, saling

menerima dan mendukung dan resolusi terhadap konflik.

5) Group processing. Untuk lebih menekankan nilai pembelajaran sosial, guru

harus secara teratur membuat siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka

bersama tim. Strategi kunci di sini adalah bahwa guru tidak boleh langsung

memberitahu siswa bagaimana mereka harus bersikap dan berinteraksi

dengan rekan tim. Pada prosesnya tidak boleh langsung, namun mendorong

siswa untuk bisa merefleksikannya.

Desain model pembelajaran kooperatif didasarkan pada konvergensi dari

empat teori utama, diantaranya adalah teori motivasi (motivational theory), teori

kognitif (cognitive theory), teori pembelajaran sosial (social learning theory), dan

teori perilaku (behavioral theory) (Metzler, 2000, hlm. 227).

a. Motivational theory, digunakan untuk menciptakan struktur tim yang

membuat mereka menyadari bahwa satu-satunya untuk mencapai tujuan

adalah kontribusi dari semua anggotanya. Yang mendorong siswa untuk

memberikan yang terbaik, dan berinteraksi dalam kelompok untuk memenuhi

tujuan bersama.

b. Cognitive theory, digunakan untuk memberikan tugas-tugas kepada siswa

sesuai dengan tahapan perkembangan, yang memberikan jumlah tantangan

yang tepat untuk mencapai tujuan tim. Jika terlalu mudah maka tim tidak

akan memberikan seluruh potensi mereka. Jika terlalu susah, maka tim akan

menjadi frustasi dan menarik dirinya dari tugas.

c. Social learning theories, dimasukkan ke dalam model ketika pembelajaran

terjadi dengan cara mendengarkan dan memperhatikan anggota tim lainnya.

Proses terjadi secara timbal balik ketika salah satu siswa membuat kemajuan

19

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dan kemudian membagi dan menjelaskan kepada orang lain, paling sering

dengan cara menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka.

d. Behavioral theory, Teori perilaku digunakan untuk menyediakan hubungan

antara proses pembelajaran kooperatif, siswa pada keterlibatan tugas, dan

penghargaan prestasi tim. Tugas yang baik membuat siswa memahami

dengan jelas apa keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam situasi tertentu,

apa tujuan pembelajaran, dan apa konsekuensinya ketika gagal atau berhasil

menyelesaikan tugas yang diberikan.

Juliantine dkk (2013, hlm. 70) menyatakan garis besar tujuan

pembelajaran kooperatif sebagai berikut :

Untuk lebih menyiapkan siswa dengan berbagai keterampilan baru agar dapat

berpartisipasi dalam dunia yang berubah terus berkembang

Membentuk kepribadian siswa agar dapat mengembangkan kemampuan

berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi

sosial.

Mengajak siswa untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam

pembelajaran dengan model kooperatif, siswa tidak hanya menerima

pengetahuan dari guru tetapi siswa juga menyusun pengetahuan yang terus

menerus sehingga menempatkan siswa sebagai siswa yang aktif.

Memantapkan interaksi pribadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan

guru.

Mengajak siswa untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan

pengetahuan.

Meningkatkan hasil belajar, meningkatkan hubungan antar kelompok,

menerima teman yang mengalami kendala akademik, dan meningkatkan

harga diri.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-

tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim dkk

(2000) sebagaimana yang dikutip oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 71)

Hasil belajar akademik

20

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa

memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang menunjukkan bahwa

model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa

pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil

belajar. Di samping itu, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan

baik pada siswa kelompok bawah dan kelompok atas yang bekerja bersama

menyelesaikan tugas-tugas akademik.

Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara

luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial,

kemampuan dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi

peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja

dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur

penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan lainnya adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama

dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa

sebab banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Dalam buku Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice

(London: Allymand Bacon, 2005) karya Robert Slavin yang diterjemahkan oleh

Narulita Yusron, Slavin menyajikan enam metode pembelajaran kooperatif, yaitu

(1) Pembelajaran Tim Siswa (Student Team Learning), (2) STAD (Student

Teams-Achievement Division), (3) TGT (Teams Games-Tournament), (4)

Jingsaw II, (5) TAI (Team Acceleration Instruction), dan (6) CIRC (Cooperatif

Integrated Reading and Communication).

2. Cooperative Learning Tipe TGT (Teams Games Tournament)

Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games Tournament) adalah

salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan

aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa

sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement

21

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

(Sinaga, 2012). Model cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT)

merupakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan tingkat lanjutan dari

STAD (Student Team Achievement Devisions). Aktivitas belajar dengan

permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games

Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.

Di samping itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan

sehat dan keterlibatan belajar.

Pada TGT kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok

akan tetapi terjadi secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005, hlm. 166; Suherman,

2009, hlm. 29). Dalam TGT, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan

untuk bisa sukses. Slavin (2005) menjelaskan komponen-komponen TGT, antara

lain :

1. Presentasi di kelas. Materi yang akan diberikan diperkenalkan dalam

presentasi di dalam kelas. Dengan adanya presentasi di kelas, siswa

menyadari bahwa mereka harus memberikan perhatian penuh selama

presentasi karena akan sangat membantu mereka dalam proses

pembelajaran selanjutnya.

2. Tim. Tim terdiri dari lima sampai dengan delapan siswa yang mewakili

seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan

etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota

tim benar-benar belajar dan mempersiapkan anggotanya untuk bisa

mengerjakan kuis dengan baik.

3. Game. Game berisikan materi-materi yang sudah disampaikan dalam

proses pembelajaran dan dilakukan dengan menggunakan peraturan yang

sudah disepakati sebelumnya.

4. Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung.

Kompetisi yang seimbang akan memungkinkan para siswa untuk

berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka

melakukan yang terbaik.

5. Rekognisi tim. Tim akan mendapat sertifikat atau bentuk penghargaan

yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu.

22

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Suherman (2009) menjelaskan garis besar langkah model pembelajaran

cooperative learning tipe TGT meliputi :

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran

2. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok

3. Masing-masing kelompok/ tim melakukan latihan dan seleksi anggota

4. Melakukan perlombaan antar tim

5. Berlatih dan berlomba dalam tim

6. Berlomba antar tim

7. Penilaian

Selanjutnya, sistem penilaian dilakukan berdasarkan pada jumlah

peningkatan skor total hasil tim. Skor yang diperoleh setiap individu dalam tim

pada dasarnya merupakan skor tim dengan demikian para siswa akan termotivasi

meningkatkan skor individu dalam timnya untuk membawa kemenangan untuk

timnya.

Keberhasilan penerapan model TGT dipengaruhi oleh heterogenitasnya

anggota dalam suatu kelompok baik dilihat dari level keterampilan, pengalaman,

etnik, jenis kelamin, keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, dan keinginan

untuk berjuang bagi timnya. Makin heterogen anggota tim makin cenderung

mudah melaksanakan penilaian keberhasilan pembelajaran ini (Suherman, 2009,

hlm. 30).

3. Keterampilan Sosial

Peranan keterampilan sosial sebagai bagian dari perkembangan manusia

memang memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Seorang

anak akan bisa berkembang dengan sempurna ketika tidak hanya aspek fisiknya

saja yang diperhatikan mengingat manusia merupakan suatu kesatuan dari elemen

rohani dan jasmani (Suherman, 2009, hlm. 3), artinya manusia tidak bisa

mengambil bagian dari kegiatan fisik saja tanpa melibatkan dirinya secara

keseluruhan seperti perasaan mereka, tingkah laku, pendapat dan nilai-nilai (Polvi

& Telama, 2000, hlm. 106).

23

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Keterampilan sosial berkaitan dengan proses interaksi yang baik antara

individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga tercipta

keharmonisan seperti yang dijelaskan oleh Cartledge & Milburn (1992) dan Comb

& Slaby (1977) dalam Nopembri (2008, hlm. 47). “Social skills are one’s or

society member ability in establishing relationship with others and his problem

solving ability with which a harmonious society can be achieved” dan “The social

skill is the ability to interact with others in a given social context in specific ways

that are socially acceptable or valued at the same time personality beneficial,

mutually beneficial, of beneficial primarily to others”. Selanjutnya, Walker dkk

(1995) dalam Nopembri (2008, hlm. 48) yaitu:

a. Social skills are the interpersonal behaviors that permit an individual to

interact successfully with others in the environment.

b. Goal-directed, learned behaviors that allow one to interact and function

effectively in a variety of contexts.

c. Social skills are an individual’s situation-specific behaviors that others

judge as socially appropriate.

Social skills telah banyak didefinisikan oleh beberapa ahli dan peneliti yang

melakukan penelitian mengenai social skills. Berikut adalah beberapa definisi

tentang social skills (Lavasani dkk, 2011) :

a. Keterampilan sosial dipelajari dan menerima perilaku yang membawa

hubungan interaktif dan memberikan jawaban positif dan menghindari yang

negatif.

b. Menurut Morgaun dalam Cartlegde & Kiarie (2001) social skills adalah

“Perilaku yang tidak hanya menyediakan kemungkinan untuk memulai dan

menjaga hubungan interaktif dan positif dengan orang lain, tetapi juga

membawa kemampuan potensial untuk mencapai tujuan dalam hubungan

dengan bantuan yang diberikan dari orang lain”.

c. Argayel dalam Hargie dkk (2004) percaya bahwa “social skills adalah

perilaku yang dipelajari individu untuk melakukan hubungan interpersonal

mereka untuk memperoleh rangsangan lingkungan atau mempertahankan

rangsangan lingkungan tersebut.

24

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

d. Keterampilan sosial merupakan seperangkat perilaku terintegrasi dan sesuai

dengan tujuan yang dapat dipelajari dan dikendalikan oleh individu.

e. Keterampilan sosial adalah perilaku verbal dan non verbal yang membawa

interaksi individu dengan orang lain yang efektif, yang mencakup:

berpartisipasi, mengamati dengan bergantian, menjadi kompatibel, memilih,

ramah, dan berkomunikasi dengan orang lain. (Gut & Safran, 2002).

Berdasarkan pada definisi-definisi mengenai keterampilan sosial tersebut,

maka dapat ditarik kesimpulan yakni : keterampilan sosial merupakan

kemampuan atau perilaku individu untuk berinteraksi dengan orang lain,

keterampilan sosial merupakan keterampilan yang dipengaruhi oleh keadaan

individu itu sendiri dan faktor lingkungan, keterampilan sosial berperan dalam

terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Oleh karena itu,

keterampilan sosial bisa kita definisikan sebagai kemampuan atau perilaku

seseorang atau individu dalam proses interaksi dengan orang lain yang

dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (keadaan individu tersebut dan

lingkungan) dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang secara

alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari

keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain.

Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka

perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu

kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai

sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut (Muzaiyin, 2013) :

a. Kondisi anak

Beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial

anak antara lain adalah temperamen anak, regulasi emosi dan kemampuan sosial

kognitif. Anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah

terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi

stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih

responsif terhadap lingkungan sosial. Selain itu anak dengan temperamen sulit ini

25

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya.

Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan

teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam

proses belajar keterampilan sosial.

Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki

keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak

yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka

walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara

konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak

yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung

akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.

Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh

kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi

yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali

isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan

bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta

memilih respon yang akan dilakukan.

b. Usia

Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan

untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang

lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan

pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.

c. Interaksi anak dengan lingkungan

Lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial anak

mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara

umum, pola interaksi anak dengan orang tua, kualitas hubungan pertemanan dan

penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau

lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak

banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling

(peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui

penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan

26

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman

sebaya.

d. Jenis kelamin

Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi,

hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya

sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek

aspek tertentu juga berbeda.

e. Keadaan sosial ekonomi

Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-

anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan

yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan

sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.

f. Pendidikan orang tua

Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan

dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak

dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.

g. Jumlah saudara

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang

mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih

baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.

h. Pekerjaan orang tua

Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada

kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak

akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan

membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

Keterampilan sosial memiliki peranan yang penting dalam kesuksesan

seseorang dalam lingkungan kehidupan keluarga, di lingkungan sekolah, dan

kehidupan secara utuh. Keterampilan sosial merupakan salah satu kemampuan

yang dimiliki oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan sosial juga

memiliki peranan yang penting dalam menjaga hubungan yang baik, mengambil

27

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

tanggung jawab dan peranan dalam kehidupan sosial, membantu orang lain, dan

menentukan mana yang baik dan mana yang buruk (Arslan dkk, 2011, hlm. 282).

Keterampilan sosial mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam

setiap perkembangan hidup manusia mulai dari saat anak-anak, remaja, dewasa

maupun lanjut usia. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan sosial dibutuhkan

untuk menghargai setiap orang yang berperilaku, bekerjasama, mendapatkan

pengalaman yang didasarkan pada pengalaman terdahulu, mengetahui

tanggungjawab masing-masing individu, dan untuk berkomunikasi dengan orang

lain Andersone (2005) dalam Nopembri (2008, hlm. 52). Pada saat anak-anak,

keterampilan sosial diperlukan untuk bersosialisasi, baik dengan teman maupun

dengan orang yang lebih dewasa. Pada remaja, keterampilan sosial sangat

dibutuhkan sebagai penyaring berbagai perilaku-perilaku sosial yang tidak jarang

banyak mengandung perilaku yang menyimpang yang sangat beresiko terhadap

remaja yang sedang berada dalam masa transisi dengan karakteristik rasa ingin

tahu berlebih. Pada orang dewasa, keterampilan sosial dibutuhkan terutama dalam

dunia pekerjaan. Sedangkan pada orang lanjut usia, keterampilan sosial

dibutuhkan untuk menyikapi berbagai masalah yang sering kali timbul di masa

tersebut, baik masalah fisik maupun psikis.

Nopembri (2008, hlm. 56) menyebutkan bahwa kemampuan sosial

dibedakan dalam tiga dimensi komunikasi (sensitivity, expressivity, dan

monitoring/control) dan dua cara berkomunikasi (verbal (sosial) dan nonverbal

(emosional)). Lebih lanjut Riggio (1986) dalam Edmondson dkk (2007:577)

mendefinisikan enam dimensi keterampilan sosial yang independen, yaitu: Social

Sensitivity, Emotional Sensitivity, Social Expressivity, Emotional Expressivity,

Social Control, dan Emotional Control. Artinya, kepekaan sosial, kepekaan

emosi, pengungkapan sosial, pengungkapan emosi, kontrol sosial, dan kontrol

emosi.

Pengembangan keterampilan sosial salah satunya melalui tataran

pendidikan yang diakomodasikan dalam kurikulum sekolah. Sekolah membantu

anak untuk mengembangkan keterampilan sosial yang positif baik di sekolah

maupun di lingkungan masyarakat dengan berbagai cara. Andersone dalam

28

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Nopembri (2008, hlm. 61) menyebutkan bahwa organisasi pembelajaran dan

bentuk-bentuk pengajaran sangat penting dalam pembentukan keterampilan sosial,

membantu memperagakan situasi sosial yang berbeda dan menggunakan

keterampilan dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Selanjutnya Nopembri

menjelaskan bahwa program pengembangan keterampilan sosial yang efektif

terdiri atas dua unsur penting yakni pendekatan pembelajaran sosial/perilaku dan

bahasa universal atau seperangkat tahap-tahap yang memfasilitasi belajar perilaku

yang baru, yang berdasarkan pada 4 pilar pendidikan yakni: (1) Learning to know,

(2) Learning to do, (3) Learning to live together, (4) Learning to be.

Pengembangan keterampilan sosial dapat dilihat dari seberapa besar peran

seseorang dalam interaksi sosial. Pengembangan keterampilan sosial yang utama

adalah melalui belajar, baik secara formal maupun nonformal. Berbagai

pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memberikan kesempatan

berkembangnya keterampilan sosial para siswa berdasarkan urutan dan tingkatan

perkembangan mereka. Begitu pula dengan situasi sosial masyarakat yang

menyediakan berbagai kesempatan pada seseorang untuk berinteraksi dan

memperlihatkan keterampilan sosialnya.

Banyak penelitian yang membahas mengenai keterampilan sosial. Hal ini

dilandasi dengan pemahaman bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan

hidup (life skill) dan merupakan esensi dari penampilan sukses baik dalam bidang

akdemik maupun dalam kehidupan (Eldar dkk, 2009, hlm. 1). Anak dengan

keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam

hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung

pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012, hlm. 42-52). Oleh karena

itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting

dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.

4. Pendidikan Jasmani

Literatur mengenal beberapa pengertian atau definisi mengenai pendidikan

jasmani. Kesamaan pandangan tentang pendidikan jasmani adalah bahwa

pendidikan jasmani merupakan pendidikan melalui gerak dalam upayanya

29

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mencapai tujuan pendidikan sebagai proses menumbuhkembangkan seluruh aspek

siswa. Berikut adalah gambaran mengenai pengertian dari pendidikan jasmani

yang dikemukan oleh beberapa ahli :

a. Menurut Harsono (1967:2) dalam Budiman (2006, hlm. 27) :

Pendidikan djasmani adalah suatu pendidikan yang berhubungan dengan

pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri dari individu melalui

suatu program yang sistematis dari latihan-latihan djasmaniah yang

terpilih, disusun dan diselenggarakan sesuai dengan standard-standar sosial

dan hygiene serta ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang bersifat

khusus (specific outcomes).

b. Menurut Pangrazi (2007, hlm. 1) “Physical education is a part of the total

program that contributed primarily through movement experiences to the total

growth and development of all children.” Maksudnya adalah pendidikan

jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang memberi

sumbangan terhadap pemberian pengalaman gerak untuk pertumbuhan dan

perkembangan anak secara menyeluruh.

c. Menurut Wuest & Bucher (1999, hlm. 6) “Physical education is not only

concerned with the physical outcomes that accrue from participation in

activities but also with the development of knowledge and attitude conducive to

lifelong learning and lifespan participation.” Maksudnya bahwa pendidikan

jasmani tidak hanya difokuskan pada keberhasilan jasmani yang bertambah

dari keikutsertaannya dalam aktivitas tetapi juga dalam mengembangkan

pengetahuan dan sikap yang mendukung terhadap belajar sepanjang hayat.

Berdasarkan pada definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut dapat

ditarik kesimpulan yakni pendidikan jasmani adalah bagian dari pendidikan

menyeluruh yang menggunakan aktivitas fisik sebagai kegiatan pembelajaran

siswa untuk meningkatkan kemampuan fisik dan nilai-nilai fungsional yang

mencakup kognitif, afektif, dan sosial termasuk di dalamnya pola hidup sehat.

Artinya, pendidikan jasmani mempunyai kelebihan dari pendidikan lainnya

karena mencakup semua domain perkembangan anak.

Pelaksanaan pendidikan jasmani yang teratur dan tepat akan mendukung

perkembangan siswa, bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan fisiknya

30

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

semata melainkan dengan keadaan emosi, mental dan hubungan sosial yang lebih

baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui

masyarakat (Budiman, 2006, hlm. 31). Perubahan tersebut akan terbawa ke dalam

lingkungan masyarakat tempat tinggal mereka. Namun, peranan pendidikan

jasmani dalam mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh hanya bisa

tercapai jika siswa bisa terlibat secara aktif dalam pendidikan jasmani. Oleh

karena itu peranan guru untuk bisa memanfaatkan dan memaksimalkan peranan

pendidikan jasmani sangatlah penting. Guru dituntut untuk bisa mengaplikasikan

pendidikan jasmani sebagai media untuk mengembangkan anak sebagai suatu

kesatuan. Pemahaman yang baik dari guru mengenai berbagai komponen dalam

pembelajaran yang saling berkaitan agar tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan

maksimal. Metzler (2000) menyatakan beberapa komponen penting dalam

pengajaran pendidikan jasmani berbasis model yang harus diketahui oleh guru

pendidikan jasmani yakni :

a) Learning contexts. Hal ini mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi

apa dan bagaimana pendidikan jasmani diajarkan dan dipelajari. Metzler

menyatakan bahwa terdapat 5 faktor yang termasuk ke dalam learning

context yakni lokasi, demografi siswa, administrasi, sumber daya manusia,

sarana dan prasanana.

b) Learners. Guru perlu mengetahui karakteristik dari para siswanya seperti latar

belakang sosial ekonomi, pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai

pendidikan jasmani. Selain itu, guru juga perlu memahami mengenai domain

perkembangan siswa seperti perkembangan kognitif, motorik, afektif, dan

motivasi belajar dari siswa.

c) Learning theories. Banyak teori yang berkaitan dengan pembelajaran. Teori-

teori tersebut saling berkaitan satu sama lain. Meztler (2000: 32) menyatakan

beberapa teori yang berkaitan dengan pembelajaran seperti: operant

conditioning, social cognitive learning- including self efficacy, information

processing, cognitive learning and process- including constructivist learning,

problem solving, motivation dan humanistic theory.

31

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

d) Developmental appropriateness. Semua komponen pembelajaran seperti

konten pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan instruksi dalam

pembelajaran pendidikan jasmani harus sesuai dengan tahapan perkembangan

anak agar bisa mencapai tujuan pendidikan jasmani secara fisik, emosi dan

manfaat secara akademik untuk mereka.

e) Learning domains and objectives. Pembelajaran pendidikan jasmani harus

mencakup tiga ranah perkembangan anak, yakni perkembangan kognitif,

psikomotor dan afektif.

f) Physical education content. Berisikan mengenai segala sesuatu yang akan

diajarkan dan dipelajari seperti cabang olahraga, permainan, kebugaran, dan

lain sebagainya.

g) Task analysis and Content progression. Analisis tugas dilakukan untuk

mengidentifikasi komponen-komponen dari keterampilan yang telah

dipelajari dan untuk menentukan tujuan atau instruksi pembelajaran

selanjutnya.

h) Assessment. Meztler menjelaskan penilaian memiliki tiga tujuan yakni : (1)

To describe how much learning has taken place over a given amount of

intructional time, (2) to judge or evaluate the quality of that learning, (3) to

make decisions about how to improve learning based on that gathered

infomation.

i) Social/emotional climate. Setiap kelas pendidikan jasmani memiliki suasana

sosial dan emosi tertentu yang menentukan bagaimana atmosfir pembelajaran

ketika siswa berinteraksi dengan guru dan teman sekelasnya. Suasana yang

nyaman, suportif, lingkungan yang terjaga akan membantu siswa dalam

meraih tujuan pembelajarannya.

j) Equity in the gym. Hal ini bisa dikatakan sebagai prinsip kesetaraan artinya

setiap siswa dalam lingkungan pembelajaran memiliki hak yang sama dalam

mendapatkan akses sosial, perkembangan dan kesempatan untuk belajar tanpa

terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin, ras, etnik, kemampuan, status

sosial ekonomi dan latar belakang keluarga.

32

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

k) Curriculum models for physical education. Model kurikulum merupakan

rencana-rencana yang komprehensif dan koheren untuk mendisain dan

mengimplementasikan seluruh program pendidikan jasmani dalam satu

sekolah atau wilayah.

Karakter pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang menimbulkan

rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri

sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di

lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan

pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan

bersosialisasinya. Karakter penjas dapat dilihat dari muatan bahan ajar yang

menjadi rujukan guru melakukan proses pembelajaran yang tercantum dalam

setiap kurikulum yang ada, mulai dari KTSP, KBK sampai dengan kurikulum

terbaru yakni kurikulum 2013.

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan

No Peneliti / Judul

Penelitian Variabel Penelitian

Deskripsi Penelitian &

Temuan Penelitian yang

Relevan

1 Ujang Sudrajat

“Analisis Model

Pembelajaran

Pendidikan Jasmani,

Olahraga, Dan

Kesehatan Dalam

Mendukung

Perilaku Sosial

Peserta Didik”

Model

pembelajaran

pendidikan

jasmani,

olahraga dan

kesehatan

Perilaku sosial

peserta didik

Penelitian ini menggunakan

teknik pendekatan kualitatif

dengan studi kasus (case

study) dengan teknik

pengambilan sampel secara

purposif sampling, data

diolah dari Informan

sebanyak 6 guru & 100 siswa

melalui teknik analisis

pendekatan induktif

(inductive data analysis).

Hasil penelitian diantaranya

adalah :

Perencanaan model

pembelajaran Penjasorkes

memiliki kesamaan, baik

dari sisi struktur maupun

konten.

Keunikan dan

33

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

keanekaragaman

pembelajaran Penjasorkes

lebih tampak pada

pelaksanaan pembelajaran

daripada perencanaan atau

perangkat pembelajaran.

Pembentukan perilaku

sosial peserta didik dapat

terbangun dari faktor

penunjang, yaitu materi

(conten), dan proses

pembelajaran.

2 Oom Rohmah

“Hubungan

Pembelajaran Penjas

Dengan Perilaku

Sosial Siswa”

(Studi deskriptif

pada siswa SDN

Raya Barat Kodya

Bandung)

Pembelajaran

Pendidikan

Jasmani

Perilaku sosial

siswa.

Metode penelitian yang

digunakan adalah metode

deskriptif studi korelasional.

Sampel yang digunakan

adalah siswa SD kelas V

sebanyak 60 orang diambil

secara acak. Instrument

pembelajaran penjas dan

perilaku sosial menggunakan

angket. Analisis statistik

menggunakan koefisien

korelasi.

Dari hasil uji statistika

didapat hasil bahwa terdapat

hubungan yang signifikan

antara pembelajaran

pendidikan jasmani dengan

perilaku sosial siswa (t hitung

18,14 < 0,05). Kontribusi

pembelajaran pendidikan

jasmani terhadap perilaku

sosial sebesar 85,01%.

Kesimpulan penelitian yakni

adalah proses pembelajaran

penjas yang dilaksanakan

dengan baik, maka akan

terdapat prilaku sosial siswa

yang positif. Jadi, para guru

penjas diharapkan untuk

meningkatkan kualitas dalam

proses pembelajaran

pendidikan jasmani.

34

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3 Didin Budiman

“Model

Pengembangan

Proses Sosial Siswa

Sd Melalui Metode

Dan Pendekatan

Mengajar

Pendidikan Jasmani”

Metode dan

Pendekatan

Mengajar

Pendidikan

Jasmani

Proses Sosial

Siswa

Penelitian ini

mengunakan metode

eksperimen dengan jumlah 26

kali pertemuan. Data

penelitian diperoleh dari pre-

test dan post-test kemudian

dianalisi dengan uji-t dan

ANOVA faktorial 2 X 2.

Populasi dan sampel terdiri

dari siswa SD kelas IV, V,

dan VI yang berusia 10-12

tahun di Sumedang. Hasil

penelitian diantaranya adalah

:

metode tradisional dan

metode creative movement

melalui pendekatan

bermain dan kompetitif

mampu meningkatkan

proses asosiatif siswa SD.

Metode mengajar

tradisional melalui

pendekatan bermain dan

pendekatan kompetitif

tidak memberikan

pengaruh pada terjadinya

peningkatan proses

disosiatif siswa sekolah

dasar bahkan cenderung

menurunkannya.

Metode mengajar creative

movement melalui

pendekatan bermain tidak

memberikan pengaruh

pada terjadinya

peningkatan proses

disosiatif siswa sekolah

dasar

metode mengajar creative

movement melalui

pendekatan kompetitif

telah memberikan

pengaruh pada

peningkatan proses

disosiatif siswa sekolah

dasar.

35

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Melalui analisis ANOVA

diketahui bahwa tidak

terdapat interaksi di antara

metode mengajar dengan

pendekatan mengajar dalam

memberikan pengaruh pada

proses asosiatif dan proses

disosiatif.

4 Thomas Ryan &

Yves Poirier (2012) :

“Secondary Physical

Education

Avoidance And

Gender: Problems

and Antidotes”

female

participation

secondary

physical

education

Penelitian yang di lakukan

pada murid perempuan di

Ontario, Canada diketahui

hasil bahwa rata-rata

perempuan10% lebih sedikit

di setiap kelas pendidikan

jasmani di provinsi ontario

dan hanya rata-rata 12% yang

terdaftar dalam pendidikan

jasmani setiap tahunnya.

Beberapa isu diidentifikasi

menjadi penyebabnya

diantaranya adalah :

kepercayaan diri, motivasi,

pemahaman tentang

pentingnya aktivitas fisik,

kesempatan untuk

berpartisipasi dalam aktivitas

fisik, skema penilaian,

kompetisi, teman sekelas dan

pendekatan pengajaran

5 Dragan Martinovic,

Jelena Ilic &

Dragoljub Visnjic

(2011):

“Gender Differences

in Sport Involvement

and Motivation For

Engagement in

Physical Education

In Primary School”

sport

involvement

motivation

physical

eduacation

gender

Penelitian ini menggunakan

sampel anak sekolah dasar

(usia 11-14 thn) berjumlah

706 orang. Setelah analisis

data dilakukan, didapat hasil

bahwa terdapat perbedaan

yang signifikan antara

perempuan dan laki-laki.

Anak laki-laki mendapatkan

skor lebih tinggi

dibandingkan dengan anak

perempuan dalam skor

pengukuran skala motivasi.

6 Zuleyha Avsar &

Fusun Ozturk Kuter

(2007) :

“Determination of

social skills

level

Populasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

mahasiswa Uludag University

yang berjumlah 208 orang.

36

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Social Skills Level

In Students Of

Uludag University

Phyisical Education

And Sport

Department”

Metode penelitian yang

digunakan adalah penelitian

deskriptif. Social Skills

Inventory (SSI) digunakan

untuk mengukur keterampilan

sosial mahasiswa. Dari hasil

analisis data diketahui bahwa

anak perempuan

mendapatkan skor yang lebih

tinggi daripada anak laki-laki

dalam semua aspek (EE, ES,

SE, SS, SC) kecuali dalam

EC (Emotional Control).

7 Marios Goudas &

Evmorfia Magotsiou

(2009) :

“ The Effect of A

Cooperative

Physical Education

Program on

Student’s Social

Skills”

cooperative

physical

education

program

student’s social

skills

attitudes toward

group work

Pada penelitian ini

menggunakan Multisource

Assessment of Children’s

Social Competence untuk

mengukur social skill siswa.

Sample yang digunakan

berjumlah 57 orang pada

kelompok kontrol dan 57

orang pada kelompok

eksperimen. Dari hasil

analisis data diketahui bahwa

pad kelompok eksperimen

terdapat peningkatan dalam

hal keterlibatan dalam

kelompok.

8 Masoud Gholamali

Lavasani, Leila

Afzali &

Farokhlagha Afzali

(2011):

“ Cooperative

Learning And Social

Skills”

cooperative

learning

social skills

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keefektifan

metode cooperative learning

pada social skills siswa.

Sampel yang digunakan

berjumlah 74 orang siswa

perempuan yang terbagi

menjadi kelompok kontrol 37

orang dan kelompok

eksperimen 37 orang. Hasil

penelitian mengungkapkan

bahwa kelompok metode

cooperative learning memiliki

skor yang lebih tinggi

dibandingkan dengan

kelompok metode tradional.

9 Min Wang (2012) :

“ Effect of cooperative

learning

Penelitian ini bertujuan unutk

mendeskripsikan efek dari

37

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Cooperative learning

on Achievement

Motivation of

Female University

Students”

achievement

motivation

students

cooperative learning terhadap

motivasi berprestasi siswa

dengan sampel penelitian

adalah mahasiswi berjumlah

67 orang. Dari hasil analisis

data dengan menggunakan uji

T, didapat hasil bahwa

cooperative learning telah

meningkatkan motivasi

berprestasi pada mahasiswi.

10 Margaret M Tanner

& Tim M Lindquist

(1998)

“Using Monopoly

and Team Games

Tournaments in

accounting

education: a

cooperative learning

teaching resource”

cooperative

learning

TGT

Accounting

education

Penelitian ini mengunakan

mahasiswa jurusan akuntansi

sebagai populasi penelitian.

Hasil penelitian diketahui

bahwa sikap mahasiswa

terhadap pembelajaran

akutansi dan pencapaian

sikap bersifat positif selama

menyelesaikan latihan

cooperative learning tersebut.

Selanjutnya diketahui bahwa

jenis kelamin dan

kemampuan mahasiswa

mempengaruhi terhadap

tingkat pencapaian sikap dan

sikap mahasiswa.

11 Wachit Nugroho

(2013)

“Aplikasi Model

Pembelajaran

Kooperatif Tipe

TGT Terhadap Hasil

Belajar Bermain

Bolavoli Pada Siswa

Kelas IX SMP

Negeri 3 Nguter

Tahun Ajaran 2012 /

2013”

TGT

Hasil belajar

Penelitian dilaksanakan

dengan desain Pretest-Postest

Non-Equivalent Control

Group. Subjek penelitian

adalah siswa kelas IX SMP N

3 Nguter yang berjumlah 52

siswa. Dalam penelitian ini

terdapat dua kelompok, yaitu

kelompok kontrol sebanyak

26 siswa dan kelompok

eksperimen sebanyak 26

siswa. tes membuat

keputusan taktik dan

pelaksanaan keterampilan

yaitu dengan GPAI (Game

Performance Assesment

Instrument) dan lembar

observasi atau lembar

pengamatan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hasil

38

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

belajar bermain bolavoli

dengan model pembelajaran

kooperatif tipe TGT lebih

baik dibanding hasil belajar

bermain bolavoli dengan

pendekatan konvensional.

12 Luhut Horas

Monang Sinaga

(2013)

“Pengaruh Model

Pembelajaran

Kooperatif Tipe

TGT (Team Games

Tournament)

Terhadap Hasil

Belajar Dribbling

Pada Permainan

Bola Basket Siswa

Kelas IX SMP

Negeri 7 Sibolga

Tahun Ajaran 2012 /

2013”.

Model

Pembelajaran

Kooperatif Tipe

TGT (Team

Games

Tournament)

Hasil Belajar

Dribbling Pada

Permainan Bola

Basket

Penelitian ini menggunakan

populasi siswa SMP kelas IX

yang berjumlah 106. Teknik

sampling menggunakan

random cluster sampling.

Dari hasil analisis

perhitungan data dengan

menggunakan uji t, diketahui

hasil bahwa pada kelompok

eksperimen, terdapat

pengaruh signifikan dari

model pembelajaran TGT

terhadap hasil belajar

dribbling bola basket.

C. Kerangka Berfikir

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan

salah satu media untuk membentuk siswa menjadi individu yang siap untuk bidup

bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan formal membentuk

siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi cerdas secara emosi dan hati dan

berkembang secara menyeluruh (Suherman, 2009, hlm. 3). Dalam upaya

membentuk pribadi berkarakter tersebut, lingkungan pendidikan formal atau

sekolah dikondisikan seperti tatanan kehidupan dalam masyarakat dimana saling

menghormati dan saling menghargai menjadi nilai yang harus terus tercermin dan

dikembangkan sehingga siswa akan bisa berkembang tidak hanya menjadi

individu yang berkarakter akan tetapi menjadi anggota dari masyarakat yang

mampu memberikan peranan dan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat

pada umumnya. Pendidikan yang ada di sekolah pada dasarnya berfungsi sebagai

alat tranformasi nilai.

39

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah

dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting

dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu

secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-

individu yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai

dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat

sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai

dan menghormati sesama.

Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki

potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan

anak. Bailey (2006, hlm. 397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan

jasmani dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2)

gaya hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan

waktu pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan

pelajaran teori di dalam kelas.

Dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran

yang biasa digunakan salah satunya adalah model cooperative learning.

Cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan siswa

sebagai pusat pembelajaran, yang mendorong siswa untuk tidak hanya fokus

terhadap dirinya sendiri tetapi juga membantu temannya dalam proses

pembelajaran (Dyson (2005) dalam Casey dkk, 2009, hlm. 409). Siswa dibagi ke

dalam kelompok kecil yang terstruktur heterogen berdasarkan pada tingkat

keterampilan, ras, sosial ekonomi dan jenis kelamin. Dalam model pembelajaran

ini siswa harus bekerja sama dalam kelompok untuk bisa melaksanakan tugas dan

mencapai tujuan bersama (Wang, 2012, hlm. 109). Dengan demikian akan terjalin

komunikasi interpersonal termasuk ke dalamnya adalah kemauan untuk

mendengarkan orang lain, bertanggung jawab terhadap tugas, belajar untuk

memberi dan menerima umpan balik, dan kemampuan untuk saling menolong

satu sama lain antara anggota kelompok (Polvi & Telama, 2000, hlm. 106). Siswa

diberi kesempatan untuk bisa mengatasi permasalahan yang dihadapinya dengan

cara dialog dan diskusi kelompok.

40

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

TGT merupakan salah satu metode cooperative learning yang telah

dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games

Tournament) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah

diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status,

melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan

dan reinforcement (Sinaga, 2012). Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan

permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games

Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.

Di samping itu menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab,

kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT merupakan model

cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam kelompok-

kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang

diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran, sehingga sebagian

besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dalam pelaksanaan

kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005, hlm. 14)

Tujuan dari pendidikan jasmani bisa tercapai dengan maksimal salah

satunya ketika anak menyadari peranan dan pentingnya pendidikan jasmani

dengan cara partisipasi secara aktif dalam kelas pendidikan jasmani. Tingkat

partisipasi siswa banyak dipengaruhi oleh banyak hal seperti di antaranya adalah

tingkat motivasi, kepercayaan diri, pemahaman terhadap manfaat dari aktivitas

fisik, kesempatan untuk berpartisipasi, kompetisi, dan teman sekelas (Ryan &

Poirie, 2012).

Model cooperative learning memberikan kesempatan yang sama kepada

anak untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani.

Memberikan mereka untuk berkomunikasi dengan anggota kelompoknya agar

menjadi kelompok yang menang dalam kompetisi. Dari penelitian yang dilakukan

oleh Avsar & Kuter (2007) diketahui bahwa anak perempuan mendapatkan nilai

lebih tinggi dalam keterampilan sosial dibandingkan dengan anak laki-laki.

Dengan menggunakan Social Skills Inventory (SSI) anak perempuan memiliki

nilai lebih tinggi dalam Social Sensitivity/ Kepekaan sosial, Emotional

Sensitivity/kepekaan emosional, Social Expressivity/Pengungkapan sosial,

41

Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Emotional Expressivity/Pengungkapan emosi, dan Social Control/ Kontrol sosial.

Artinya, anak perempuan mempunyai kelebihan dalam dimensi-dimensi

keterampilan sosial tersebut dibandingkan dengan anak laki-laki. Dengan

demikian, anak perempuan akan memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih

tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di samping itu juga telah dijelaskan

sebelumnya bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi dalam perkembangan keterampilan sosial anak (Muzaiyin, 2013).

Dari pernyataan-pernyataan tersebut bisa diasumsikan bahwa model selain model

pembelajaran, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial dan

terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap

keterampilan sosial.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka berfikir di atas, maka didapat hipotesis

penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial

siswa.

2. Terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.

3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap

keterampilan sosial.