BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.upi.edu/13147/5/T_POR_1101230_Chapter...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repository.upi.edu/13147/5/T_POR_1101230_Chapter...
15
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Cooperative Learning
Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada pertengahan
tahun 1970 di Hopkins University oleh Robert E Slavin. Pada awalnya, Slavin
menamakan model ini dengan nama Student Team Learning (STL) dan mulai
berkembang dan berubah menjadi Cooperative Learning dengan cakupan
pembahasan yang lebih luas. Cooperative Learning merupakan seperangkat
pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling
terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses
belajar dan memberikan hasil yang terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler
(2000, hlm. 221) :
...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching
strategies that share key attributes, the most important being the grouping
of students into learning teams for set amounts of time or assigment with
the expectation that all students will contribute to the learning process and
outcomes.
Merujuk secara istilah, Cooperative Learning mengacu pada metode
pendidikan dimana siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk
mencapai tujuan bersama dan bertanggung jawab sendiri atas pembelajaran
mereka sendiri serta bertanggung jawab terhadap orang lain (Gokhale, 1995,
dalam Lavasani, Afzali & Afzali, 2011, hlm. 188). Cooperative Learning adalah
rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke
dalam kelompok kecil dan heterogen agar bisa bekerja sama untuk mencapai
tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan kolaboratif di antara anggota
kelompok tersebut (Goodwin, 1999, hlm. 29). Juliantine dkk (2013, hlm. 63)
menyatakan bahwa
“Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk
meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman
16
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar
bersama-sama, siswa yang berbeda latar belakangnya.”
Metzler (2000) menyatakan tiga konsep dasar dari Cooperative Learning
yakni :
a. Team reward. Dalam CL, setiap tim diberikan tugas dimana ketika mereka
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, mereka akan mendapatkan
penghargaan atau hadiah. Bentuk dari hadiah ini bisa berupa pemberian nilai,
hak istimewa dan sebagainya.
b. Individual accountability. Bagian lain dari CL adalah bahwa dalam performa
semua anggota kelompok merupakan bagian dari penilaian tim. Semua siswa
harus memberikan kontribusinya dalam usaha tim dan penting bagi semua
anggota tim untuk bisa belajar dan memberikan potensi mereka secara
optimal.
c. Equal opportunities. Dalam pembentukan kelompok atau tim, siswa harus
dibagi berdasarkan tingkat keterampilan, jenis kelamin, kemampuan kognitif,
sehingga tim tersebut terbentuk secara heterogen. Dengan adanya perbedaan
dalam kelompok ini, para siswa dituntut untuk bisa mengembangkan
keterampilan sosialnya. Keserataan kelompok dalam kemampuan akan
meningkatkan iklim kompetisi yang adil dan akan meningkatkan motivasi
para siswa.
Dalam cooperative learning guru bertindak sebagai fasilitator dan bekerja
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada siswa di samping tetap bertanggung
jawab penuh selama proses pembelajaran (Dyson dkk, 2004, hlm. 234).
Pembelajaran terpusat pada siswa (student center). Guru membagi siswa ke dalam
kelompok kecil, terstruktur, heterogen dan memastikan bahwa dalam pembagian
kelompok tersebut terbagi menjadi kelompok yang rata/adil berdasarkan pada
jenis kelamin, tingkat keterampilan, latar belakang sosial ekonomi dan ras (Dyson
dkk, 2004, hlm. 232 ; Casey dkk, 2009, hlm. 409). Cooperative learning tidak
hanya berdasarkan pada pencapaian saja, akan tetapi berdasarkan pada proses
(procces-based). Process-based artinya bahwa cara-cara siswa berinteraksi antara
17
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
satu dengan yang lain merupakan hal penting dan memudahkan mereka mencapai
sukses. Sehingga prinsipnya adalah “It’s not only student must learn to cooperate
but that students must cooperate to learn”.
Dalam Cooperative Learning siswa tidak hanya bertanggung jawab
terhadap isi pembelajaran tetapi membantu teman sekelompoknya untuk bisa
mengerti terhadap materi (Wang, 2012, hlm. 109). Dalam beberapa literatur
dijelaskan bahwa pendekatan dalam cooperative learning bisa dilakukan dalam 4
aspek yakni : (1) konsep/conceptual, (2) struktural/structural, (3)
kurikulum/curricular, (4) instruksi kompleks/complex intruction (Goudas &
Magotsiou, 2009 ; Wang, 2012). Johnson dkk (1994) dalam Metzler (2000)
mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran dengan metode cooperative
learning terdapat lima elemen penting dalam proses pembelajaran yakni :
1) Positive interdependence among students. Siswa harus memahami bahwa
semua anggota tim diperlukan bagi seluruh tim untuk mencapai tujuannya.
Setiap anggota tim membawa bakat yang unik, pengetahuan, pengalaman dan
keterampilan yang dapat membantu tim.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya.
Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun
tugas sedemikian rupa sehingga anggota kelompok harus menyelesaikan
tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka (Juliantine
dkk, 2013, hlm. 65)
2) Face-to-face promotive interaction. Struktur dalam tim dapat membuat siswa
untuk saling mendukung, memfasilitasi, dan memperkuat teman
sekelompoknya, membuat mereka menjadi terikat. Anggota tim segera
menyadari bahwa semua anggota tim harus mencapai potensi optimalnya
untuk mencapai tujuan, sehingga bekerja sama dan keinginan yang tulus
dalam pencapaian semua anggota merupakan hal terbaik dalam tim. Sejalan
yang dinyatakan oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 66) bahwa “ Setiap
kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi
yang bertujuan untuk menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan
mengisi kekurangan”.
18
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3) Individual accountability/ personal responsibility. Cooperative learning akan
bekerja dengan baik ketika setiap anggota dari kelompok memberikan
kontribusi dengan pembagian yang adil. Artinya bukan setiap siswa
mendapatkan nilai yang sama akan tetapi semua siswa berpartisipasi dalam
proses pembelajaran sesuai dengan kemampuan mereka.
4) Interpersonal and small-groups skills. Ada penekanan pada aspek
pemahaman dan percaya terhadap anggota tim, komunikasi yang baik, saling
menerima dan mendukung dan resolusi terhadap konflik.
5) Group processing. Untuk lebih menekankan nilai pembelajaran sosial, guru
harus secara teratur membuat siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka
bersama tim. Strategi kunci di sini adalah bahwa guru tidak boleh langsung
memberitahu siswa bagaimana mereka harus bersikap dan berinteraksi
dengan rekan tim. Pada prosesnya tidak boleh langsung, namun mendorong
siswa untuk bisa merefleksikannya.
Desain model pembelajaran kooperatif didasarkan pada konvergensi dari
empat teori utama, diantaranya adalah teori motivasi (motivational theory), teori
kognitif (cognitive theory), teori pembelajaran sosial (social learning theory), dan
teori perilaku (behavioral theory) (Metzler, 2000, hlm. 227).
a. Motivational theory, digunakan untuk menciptakan struktur tim yang
membuat mereka menyadari bahwa satu-satunya untuk mencapai tujuan
adalah kontribusi dari semua anggotanya. Yang mendorong siswa untuk
memberikan yang terbaik, dan berinteraksi dalam kelompok untuk memenuhi
tujuan bersama.
b. Cognitive theory, digunakan untuk memberikan tugas-tugas kepada siswa
sesuai dengan tahapan perkembangan, yang memberikan jumlah tantangan
yang tepat untuk mencapai tujuan tim. Jika terlalu mudah maka tim tidak
akan memberikan seluruh potensi mereka. Jika terlalu susah, maka tim akan
menjadi frustasi dan menarik dirinya dari tugas.
c. Social learning theories, dimasukkan ke dalam model ketika pembelajaran
terjadi dengan cara mendengarkan dan memperhatikan anggota tim lainnya.
Proses terjadi secara timbal balik ketika salah satu siswa membuat kemajuan
19
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dan kemudian membagi dan menjelaskan kepada orang lain, paling sering
dengan cara menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka.
d. Behavioral theory, Teori perilaku digunakan untuk menyediakan hubungan
antara proses pembelajaran kooperatif, siswa pada keterlibatan tugas, dan
penghargaan prestasi tim. Tugas yang baik membuat siswa memahami
dengan jelas apa keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam situasi tertentu,
apa tujuan pembelajaran, dan apa konsekuensinya ketika gagal atau berhasil
menyelesaikan tugas yang diberikan.
Juliantine dkk (2013, hlm. 70) menyatakan garis besar tujuan
pembelajaran kooperatif sebagai berikut :
Untuk lebih menyiapkan siswa dengan berbagai keterampilan baru agar dapat
berpartisipasi dalam dunia yang berubah terus berkembang
Membentuk kepribadian siswa agar dapat mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi
sosial.
Mengajak siswa untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam
pembelajaran dengan model kooperatif, siswa tidak hanya menerima
pengetahuan dari guru tetapi siswa juga menyusun pengetahuan yang terus
menerus sehingga menempatkan siswa sebagai siswa yang aktif.
Memantapkan interaksi pribadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan
guru.
Mengajak siswa untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan
pengetahuan.
Meningkatkan hasil belajar, meningkatkan hubungan antar kelompok,
menerima teman yang mengalami kendala akademik, dan meningkatkan
harga diri.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-
tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim dkk
(2000) sebagaimana yang dikutip oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 71)
Hasil belajar akademik
20
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang menunjukkan bahwa
model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa
pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil
belajar. Di samping itu, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan
baik pada siswa kelompok bawah dan kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan tugas-tugas akademik.
Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara
luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial,
kemampuan dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi
peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja
dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan lainnya adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama
dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa
sebab banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
Dalam buku Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice
(London: Allymand Bacon, 2005) karya Robert Slavin yang diterjemahkan oleh
Narulita Yusron, Slavin menyajikan enam metode pembelajaran kooperatif, yaitu
(1) Pembelajaran Tim Siswa (Student Team Learning), (2) STAD (Student
Teams-Achievement Division), (3) TGT (Teams Games-Tournament), (4)
Jingsaw II, (5) TAI (Team Acceleration Instruction), dan (6) CIRC (Cooperatif
Integrated Reading and Communication).
2. Cooperative Learning Tipe TGT (Teams Games Tournament)
Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games Tournament) adalah
salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan
aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa
sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement
21
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
(Sinaga, 2012). Model cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT)
merupakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan tingkat lanjutan dari
STAD (Student Team Achievement Devisions). Aktivitas belajar dengan
permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games
Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.
Di samping itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan
sehat dan keterlibatan belajar.
Pada TGT kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok
akan tetapi terjadi secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005, hlm. 166; Suherman,
2009, hlm. 29). Dalam TGT, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan
untuk bisa sukses. Slavin (2005) menjelaskan komponen-komponen TGT, antara
lain :
1. Presentasi di kelas. Materi yang akan diberikan diperkenalkan dalam
presentasi di dalam kelas. Dengan adanya presentasi di kelas, siswa
menyadari bahwa mereka harus memberikan perhatian penuh selama
presentasi karena akan sangat membantu mereka dalam proses
pembelajaran selanjutnya.
2. Tim. Tim terdiri dari lima sampai dengan delapan siswa yang mewakili
seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan
etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota
tim benar-benar belajar dan mempersiapkan anggotanya untuk bisa
mengerjakan kuis dengan baik.
3. Game. Game berisikan materi-materi yang sudah disampaikan dalam
proses pembelajaran dan dilakukan dengan menggunakan peraturan yang
sudah disepakati sebelumnya.
4. Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung.
Kompetisi yang seimbang akan memungkinkan para siswa untuk
berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka
melakukan yang terbaik.
5. Rekognisi tim. Tim akan mendapat sertifikat atau bentuk penghargaan
yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu.
22
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Suherman (2009) menjelaskan garis besar langkah model pembelajaran
cooperative learning tipe TGT meliputi :
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
2. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok
3. Masing-masing kelompok/ tim melakukan latihan dan seleksi anggota
4. Melakukan perlombaan antar tim
5. Berlatih dan berlomba dalam tim
6. Berlomba antar tim
7. Penilaian
Selanjutnya, sistem penilaian dilakukan berdasarkan pada jumlah
peningkatan skor total hasil tim. Skor yang diperoleh setiap individu dalam tim
pada dasarnya merupakan skor tim dengan demikian para siswa akan termotivasi
meningkatkan skor individu dalam timnya untuk membawa kemenangan untuk
timnya.
Keberhasilan penerapan model TGT dipengaruhi oleh heterogenitasnya
anggota dalam suatu kelompok baik dilihat dari level keterampilan, pengalaman,
etnik, jenis kelamin, keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, dan keinginan
untuk berjuang bagi timnya. Makin heterogen anggota tim makin cenderung
mudah melaksanakan penilaian keberhasilan pembelajaran ini (Suherman, 2009,
hlm. 30).
3. Keterampilan Sosial
Peranan keterampilan sosial sebagai bagian dari perkembangan manusia
memang memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Seorang
anak akan bisa berkembang dengan sempurna ketika tidak hanya aspek fisiknya
saja yang diperhatikan mengingat manusia merupakan suatu kesatuan dari elemen
rohani dan jasmani (Suherman, 2009, hlm. 3), artinya manusia tidak bisa
mengambil bagian dari kegiatan fisik saja tanpa melibatkan dirinya secara
keseluruhan seperti perasaan mereka, tingkah laku, pendapat dan nilai-nilai (Polvi
& Telama, 2000, hlm. 106).
23
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Keterampilan sosial berkaitan dengan proses interaksi yang baik antara
individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga tercipta
keharmonisan seperti yang dijelaskan oleh Cartledge & Milburn (1992) dan Comb
& Slaby (1977) dalam Nopembri (2008, hlm. 47). “Social skills are one’s or
society member ability in establishing relationship with others and his problem
solving ability with which a harmonious society can be achieved” dan “The social
skill is the ability to interact with others in a given social context in specific ways
that are socially acceptable or valued at the same time personality beneficial,
mutually beneficial, of beneficial primarily to others”. Selanjutnya, Walker dkk
(1995) dalam Nopembri (2008, hlm. 48) yaitu:
a. Social skills are the interpersonal behaviors that permit an individual to
interact successfully with others in the environment.
b. Goal-directed, learned behaviors that allow one to interact and function
effectively in a variety of contexts.
c. Social skills are an individual’s situation-specific behaviors that others
judge as socially appropriate.
Social skills telah banyak didefinisikan oleh beberapa ahli dan peneliti yang
melakukan penelitian mengenai social skills. Berikut adalah beberapa definisi
tentang social skills (Lavasani dkk, 2011) :
a. Keterampilan sosial dipelajari dan menerima perilaku yang membawa
hubungan interaktif dan memberikan jawaban positif dan menghindari yang
negatif.
b. Menurut Morgaun dalam Cartlegde & Kiarie (2001) social skills adalah
“Perilaku yang tidak hanya menyediakan kemungkinan untuk memulai dan
menjaga hubungan interaktif dan positif dengan orang lain, tetapi juga
membawa kemampuan potensial untuk mencapai tujuan dalam hubungan
dengan bantuan yang diberikan dari orang lain”.
c. Argayel dalam Hargie dkk (2004) percaya bahwa “social skills adalah
perilaku yang dipelajari individu untuk melakukan hubungan interpersonal
mereka untuk memperoleh rangsangan lingkungan atau mempertahankan
rangsangan lingkungan tersebut.
24
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
d. Keterampilan sosial merupakan seperangkat perilaku terintegrasi dan sesuai
dengan tujuan yang dapat dipelajari dan dikendalikan oleh individu.
e. Keterampilan sosial adalah perilaku verbal dan non verbal yang membawa
interaksi individu dengan orang lain yang efektif, yang mencakup:
berpartisipasi, mengamati dengan bergantian, menjadi kompatibel, memilih,
ramah, dan berkomunikasi dengan orang lain. (Gut & Safran, 2002).
Berdasarkan pada definisi-definisi mengenai keterampilan sosial tersebut,
maka dapat ditarik kesimpulan yakni : keterampilan sosial merupakan
kemampuan atau perilaku individu untuk berinteraksi dengan orang lain,
keterampilan sosial merupakan keterampilan yang dipengaruhi oleh keadaan
individu itu sendiri dan faktor lingkungan, keterampilan sosial berperan dalam
terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Oleh karena itu,
keterampilan sosial bisa kita definisikan sebagai kemampuan atau perilaku
seseorang atau individu dalam proses interaksi dengan orang lain yang
dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (keadaan individu tersebut dan
lingkungan) dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis.
Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang secara
alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari
keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain.
Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka
perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu
kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai
sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut (Muzaiyin, 2013) :
a. Kondisi anak
Beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial
anak antara lain adalah temperamen anak, regulasi emosi dan kemampuan sosial
kognitif. Anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah
terluka secara psikis, biasanya akan takut dan malu-malu dalam menghadapi
stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih
responsif terhadap lingkungan sosial. Selain itu anak dengan temperamen sulit ini
25
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya.
Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan
teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam
proses belajar keterampilan sosial.
Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki
keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak
yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka
walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara
konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak
yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung
akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.
Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh
kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi
yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali
isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan
bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta
memilih respon yang akan dilakukan.
b. Usia
Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan
untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang
lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan
pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.
c. Interaksi anak dengan lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial anak
mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Secara
umum, pola interaksi anak dengan orang tua, kualitas hubungan pertemanan dan
penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau
lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak. Anak
banyak belajar mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling
(peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui
penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan
26
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman
sebaya.
d. Jenis kelamin
Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi,
hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya
sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek
aspek tertentu juga berbeda.
e. Keadaan sosial ekonomi
Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-
anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan
yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.
f. Pendidikan orang tua
Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan
dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak
dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.
g. Jumlah saudara
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang
mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih
baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.
h. Pekerjaan orang tua
Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada
kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak
akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan
membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.
Keterampilan sosial memiliki peranan yang penting dalam kesuksesan
seseorang dalam lingkungan kehidupan keluarga, di lingkungan sekolah, dan
kehidupan secara utuh. Keterampilan sosial merupakan salah satu kemampuan
yang dimiliki oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan sosial juga
memiliki peranan yang penting dalam menjaga hubungan yang baik, mengambil
27
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tanggung jawab dan peranan dalam kehidupan sosial, membantu orang lain, dan
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk (Arslan dkk, 2011, hlm. 282).
Keterampilan sosial mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam
setiap perkembangan hidup manusia mulai dari saat anak-anak, remaja, dewasa
maupun lanjut usia. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan sosial dibutuhkan
untuk menghargai setiap orang yang berperilaku, bekerjasama, mendapatkan
pengalaman yang didasarkan pada pengalaman terdahulu, mengetahui
tanggungjawab masing-masing individu, dan untuk berkomunikasi dengan orang
lain Andersone (2005) dalam Nopembri (2008, hlm. 52). Pada saat anak-anak,
keterampilan sosial diperlukan untuk bersosialisasi, baik dengan teman maupun
dengan orang yang lebih dewasa. Pada remaja, keterampilan sosial sangat
dibutuhkan sebagai penyaring berbagai perilaku-perilaku sosial yang tidak jarang
banyak mengandung perilaku yang menyimpang yang sangat beresiko terhadap
remaja yang sedang berada dalam masa transisi dengan karakteristik rasa ingin
tahu berlebih. Pada orang dewasa, keterampilan sosial dibutuhkan terutama dalam
dunia pekerjaan. Sedangkan pada orang lanjut usia, keterampilan sosial
dibutuhkan untuk menyikapi berbagai masalah yang sering kali timbul di masa
tersebut, baik masalah fisik maupun psikis.
Nopembri (2008, hlm. 56) menyebutkan bahwa kemampuan sosial
dibedakan dalam tiga dimensi komunikasi (sensitivity, expressivity, dan
monitoring/control) dan dua cara berkomunikasi (verbal (sosial) dan nonverbal
(emosional)). Lebih lanjut Riggio (1986) dalam Edmondson dkk (2007:577)
mendefinisikan enam dimensi keterampilan sosial yang independen, yaitu: Social
Sensitivity, Emotional Sensitivity, Social Expressivity, Emotional Expressivity,
Social Control, dan Emotional Control. Artinya, kepekaan sosial, kepekaan
emosi, pengungkapan sosial, pengungkapan emosi, kontrol sosial, dan kontrol
emosi.
Pengembangan keterampilan sosial salah satunya melalui tataran
pendidikan yang diakomodasikan dalam kurikulum sekolah. Sekolah membantu
anak untuk mengembangkan keterampilan sosial yang positif baik di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat dengan berbagai cara. Andersone dalam
28
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Nopembri (2008, hlm. 61) menyebutkan bahwa organisasi pembelajaran dan
bentuk-bentuk pengajaran sangat penting dalam pembentukan keterampilan sosial,
membantu memperagakan situasi sosial yang berbeda dan menggunakan
keterampilan dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Selanjutnya Nopembri
menjelaskan bahwa program pengembangan keterampilan sosial yang efektif
terdiri atas dua unsur penting yakni pendekatan pembelajaran sosial/perilaku dan
bahasa universal atau seperangkat tahap-tahap yang memfasilitasi belajar perilaku
yang baru, yang berdasarkan pada 4 pilar pendidikan yakni: (1) Learning to know,
(2) Learning to do, (3) Learning to live together, (4) Learning to be.
Pengembangan keterampilan sosial dapat dilihat dari seberapa besar peran
seseorang dalam interaksi sosial. Pengembangan keterampilan sosial yang utama
adalah melalui belajar, baik secara formal maupun nonformal. Berbagai
pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memberikan kesempatan
berkembangnya keterampilan sosial para siswa berdasarkan urutan dan tingkatan
perkembangan mereka. Begitu pula dengan situasi sosial masyarakat yang
menyediakan berbagai kesempatan pada seseorang untuk berinteraksi dan
memperlihatkan keterampilan sosialnya.
Banyak penelitian yang membahas mengenai keterampilan sosial. Hal ini
dilandasi dengan pemahaman bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan
hidup (life skill) dan merupakan esensi dari penampilan sukses baik dalam bidang
akdemik maupun dalam kehidupan (Eldar dkk, 2009, hlm. 1). Anak dengan
keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam
hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung
pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012, hlm. 42-52). Oleh karena
itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting
dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.
4. Pendidikan Jasmani
Literatur mengenal beberapa pengertian atau definisi mengenai pendidikan
jasmani. Kesamaan pandangan tentang pendidikan jasmani adalah bahwa
pendidikan jasmani merupakan pendidikan melalui gerak dalam upayanya
29
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mencapai tujuan pendidikan sebagai proses menumbuhkembangkan seluruh aspek
siswa. Berikut adalah gambaran mengenai pengertian dari pendidikan jasmani
yang dikemukan oleh beberapa ahli :
a. Menurut Harsono (1967:2) dalam Budiman (2006, hlm. 27) :
Pendidikan djasmani adalah suatu pendidikan yang berhubungan dengan
pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri dari individu melalui
suatu program yang sistematis dari latihan-latihan djasmaniah yang
terpilih, disusun dan diselenggarakan sesuai dengan standard-standar sosial
dan hygiene serta ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang bersifat
khusus (specific outcomes).
b. Menurut Pangrazi (2007, hlm. 1) “Physical education is a part of the total
program that contributed primarily through movement experiences to the total
growth and development of all children.” Maksudnya adalah pendidikan
jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang memberi
sumbangan terhadap pemberian pengalaman gerak untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh.
c. Menurut Wuest & Bucher (1999, hlm. 6) “Physical education is not only
concerned with the physical outcomes that accrue from participation in
activities but also with the development of knowledge and attitude conducive to
lifelong learning and lifespan participation.” Maksudnya bahwa pendidikan
jasmani tidak hanya difokuskan pada keberhasilan jasmani yang bertambah
dari keikutsertaannya dalam aktivitas tetapi juga dalam mengembangkan
pengetahuan dan sikap yang mendukung terhadap belajar sepanjang hayat.
Berdasarkan pada definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut dapat
ditarik kesimpulan yakni pendidikan jasmani adalah bagian dari pendidikan
menyeluruh yang menggunakan aktivitas fisik sebagai kegiatan pembelajaran
siswa untuk meningkatkan kemampuan fisik dan nilai-nilai fungsional yang
mencakup kognitif, afektif, dan sosial termasuk di dalamnya pola hidup sehat.
Artinya, pendidikan jasmani mempunyai kelebihan dari pendidikan lainnya
karena mencakup semua domain perkembangan anak.
Pelaksanaan pendidikan jasmani yang teratur dan tepat akan mendukung
perkembangan siswa, bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan fisiknya
30
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
semata melainkan dengan keadaan emosi, mental dan hubungan sosial yang lebih
baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui
masyarakat (Budiman, 2006, hlm. 31). Perubahan tersebut akan terbawa ke dalam
lingkungan masyarakat tempat tinggal mereka. Namun, peranan pendidikan
jasmani dalam mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh hanya bisa
tercapai jika siswa bisa terlibat secara aktif dalam pendidikan jasmani. Oleh
karena itu peranan guru untuk bisa memanfaatkan dan memaksimalkan peranan
pendidikan jasmani sangatlah penting. Guru dituntut untuk bisa mengaplikasikan
pendidikan jasmani sebagai media untuk mengembangkan anak sebagai suatu
kesatuan. Pemahaman yang baik dari guru mengenai berbagai komponen dalam
pembelajaran yang saling berkaitan agar tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan
maksimal. Metzler (2000) menyatakan beberapa komponen penting dalam
pengajaran pendidikan jasmani berbasis model yang harus diketahui oleh guru
pendidikan jasmani yakni :
a) Learning contexts. Hal ini mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi
apa dan bagaimana pendidikan jasmani diajarkan dan dipelajari. Metzler
menyatakan bahwa terdapat 5 faktor yang termasuk ke dalam learning
context yakni lokasi, demografi siswa, administrasi, sumber daya manusia,
sarana dan prasanana.
b) Learners. Guru perlu mengetahui karakteristik dari para siswanya seperti latar
belakang sosial ekonomi, pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai
pendidikan jasmani. Selain itu, guru juga perlu memahami mengenai domain
perkembangan siswa seperti perkembangan kognitif, motorik, afektif, dan
motivasi belajar dari siswa.
c) Learning theories. Banyak teori yang berkaitan dengan pembelajaran. Teori-
teori tersebut saling berkaitan satu sama lain. Meztler (2000: 32) menyatakan
beberapa teori yang berkaitan dengan pembelajaran seperti: operant
conditioning, social cognitive learning- including self efficacy, information
processing, cognitive learning and process- including constructivist learning,
problem solving, motivation dan humanistic theory.
31
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
d) Developmental appropriateness. Semua komponen pembelajaran seperti
konten pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan instruksi dalam
pembelajaran pendidikan jasmani harus sesuai dengan tahapan perkembangan
anak agar bisa mencapai tujuan pendidikan jasmani secara fisik, emosi dan
manfaat secara akademik untuk mereka.
e) Learning domains and objectives. Pembelajaran pendidikan jasmani harus
mencakup tiga ranah perkembangan anak, yakni perkembangan kognitif,
psikomotor dan afektif.
f) Physical education content. Berisikan mengenai segala sesuatu yang akan
diajarkan dan dipelajari seperti cabang olahraga, permainan, kebugaran, dan
lain sebagainya.
g) Task analysis and Content progression. Analisis tugas dilakukan untuk
mengidentifikasi komponen-komponen dari keterampilan yang telah
dipelajari dan untuk menentukan tujuan atau instruksi pembelajaran
selanjutnya.
h) Assessment. Meztler menjelaskan penilaian memiliki tiga tujuan yakni : (1)
To describe how much learning has taken place over a given amount of
intructional time, (2) to judge or evaluate the quality of that learning, (3) to
make decisions about how to improve learning based on that gathered
infomation.
i) Social/emotional climate. Setiap kelas pendidikan jasmani memiliki suasana
sosial dan emosi tertentu yang menentukan bagaimana atmosfir pembelajaran
ketika siswa berinteraksi dengan guru dan teman sekelasnya. Suasana yang
nyaman, suportif, lingkungan yang terjaga akan membantu siswa dalam
meraih tujuan pembelajarannya.
j) Equity in the gym. Hal ini bisa dikatakan sebagai prinsip kesetaraan artinya
setiap siswa dalam lingkungan pembelajaran memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan akses sosial, perkembangan dan kesempatan untuk belajar tanpa
terpengaruh oleh perbedaan jenis kelamin, ras, etnik, kemampuan, status
sosial ekonomi dan latar belakang keluarga.
32
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
k) Curriculum models for physical education. Model kurikulum merupakan
rencana-rencana yang komprehensif dan koheren untuk mendisain dan
mengimplementasikan seluruh program pendidikan jasmani dalam satu
sekolah atau wilayah.
Karakter pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang menimbulkan
rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri
sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di
lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan
pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan
bersosialisasinya. Karakter penjas dapat dilihat dari muatan bahan ajar yang
menjadi rujukan guru melakukan proses pembelajaran yang tercantum dalam
setiap kurikulum yang ada, mulai dari KTSP, KBK sampai dengan kurikulum
terbaru yakni kurikulum 2013.
B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan
No Peneliti / Judul
Penelitian Variabel Penelitian
Deskripsi Penelitian &
Temuan Penelitian yang
Relevan
1 Ujang Sudrajat
“Analisis Model
Pembelajaran
Pendidikan Jasmani,
Olahraga, Dan
Kesehatan Dalam
Mendukung
Perilaku Sosial
Peserta Didik”
Model
pembelajaran
pendidikan
jasmani,
olahraga dan
kesehatan
Perilaku sosial
peserta didik
Penelitian ini menggunakan
teknik pendekatan kualitatif
dengan studi kasus (case
study) dengan teknik
pengambilan sampel secara
purposif sampling, data
diolah dari Informan
sebanyak 6 guru & 100 siswa
melalui teknik analisis
pendekatan induktif
(inductive data analysis).
Hasil penelitian diantaranya
adalah :
Perencanaan model
pembelajaran Penjasorkes
memiliki kesamaan, baik
dari sisi struktur maupun
konten.
Keunikan dan
33
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
keanekaragaman
pembelajaran Penjasorkes
lebih tampak pada
pelaksanaan pembelajaran
daripada perencanaan atau
perangkat pembelajaran.
Pembentukan perilaku
sosial peserta didik dapat
terbangun dari faktor
penunjang, yaitu materi
(conten), dan proses
pembelajaran.
2 Oom Rohmah
“Hubungan
Pembelajaran Penjas
Dengan Perilaku
Sosial Siswa”
(Studi deskriptif
pada siswa SDN
Raya Barat Kodya
Bandung)
Pembelajaran
Pendidikan
Jasmani
Perilaku sosial
siswa.
Metode penelitian yang
digunakan adalah metode
deskriptif studi korelasional.
Sampel yang digunakan
adalah siswa SD kelas V
sebanyak 60 orang diambil
secara acak. Instrument
pembelajaran penjas dan
perilaku sosial menggunakan
angket. Analisis statistik
menggunakan koefisien
korelasi.
Dari hasil uji statistika
didapat hasil bahwa terdapat
hubungan yang signifikan
antara pembelajaran
pendidikan jasmani dengan
perilaku sosial siswa (t hitung
18,14 < 0,05). Kontribusi
pembelajaran pendidikan
jasmani terhadap perilaku
sosial sebesar 85,01%.
Kesimpulan penelitian yakni
adalah proses pembelajaran
penjas yang dilaksanakan
dengan baik, maka akan
terdapat prilaku sosial siswa
yang positif. Jadi, para guru
penjas diharapkan untuk
meningkatkan kualitas dalam
proses pembelajaran
pendidikan jasmani.
34
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3 Didin Budiman
“Model
Pengembangan
Proses Sosial Siswa
Sd Melalui Metode
Dan Pendekatan
Mengajar
Pendidikan Jasmani”
Metode dan
Pendekatan
Mengajar
Pendidikan
Jasmani
Proses Sosial
Siswa
Penelitian ini
mengunakan metode
eksperimen dengan jumlah 26
kali pertemuan. Data
penelitian diperoleh dari pre-
test dan post-test kemudian
dianalisi dengan uji-t dan
ANOVA faktorial 2 X 2.
Populasi dan sampel terdiri
dari siswa SD kelas IV, V,
dan VI yang berusia 10-12
tahun di Sumedang. Hasil
penelitian diantaranya adalah
:
metode tradisional dan
metode creative movement
melalui pendekatan
bermain dan kompetitif
mampu meningkatkan
proses asosiatif siswa SD.
Metode mengajar
tradisional melalui
pendekatan bermain dan
pendekatan kompetitif
tidak memberikan
pengaruh pada terjadinya
peningkatan proses
disosiatif siswa sekolah
dasar bahkan cenderung
menurunkannya.
Metode mengajar creative
movement melalui
pendekatan bermain tidak
memberikan pengaruh
pada terjadinya
peningkatan proses
disosiatif siswa sekolah
dasar
metode mengajar creative
movement melalui
pendekatan kompetitif
telah memberikan
pengaruh pada
peningkatan proses
disosiatif siswa sekolah
dasar.
35
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Melalui analisis ANOVA
diketahui bahwa tidak
terdapat interaksi di antara
metode mengajar dengan
pendekatan mengajar dalam
memberikan pengaruh pada
proses asosiatif dan proses
disosiatif.
4 Thomas Ryan &
Yves Poirier (2012) :
“Secondary Physical
Education
Avoidance And
Gender: Problems
and Antidotes”
female
participation
secondary
physical
education
Penelitian yang di lakukan
pada murid perempuan di
Ontario, Canada diketahui
hasil bahwa rata-rata
perempuan10% lebih sedikit
di setiap kelas pendidikan
jasmani di provinsi ontario
dan hanya rata-rata 12% yang
terdaftar dalam pendidikan
jasmani setiap tahunnya.
Beberapa isu diidentifikasi
menjadi penyebabnya
diantaranya adalah :
kepercayaan diri, motivasi,
pemahaman tentang
pentingnya aktivitas fisik,
kesempatan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas
fisik, skema penilaian,
kompetisi, teman sekelas dan
pendekatan pengajaran
5 Dragan Martinovic,
Jelena Ilic &
Dragoljub Visnjic
(2011):
“Gender Differences
in Sport Involvement
and Motivation For
Engagement in
Physical Education
In Primary School”
sport
involvement
motivation
physical
eduacation
gender
Penelitian ini menggunakan
sampel anak sekolah dasar
(usia 11-14 thn) berjumlah
706 orang. Setelah analisis
data dilakukan, didapat hasil
bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara
perempuan dan laki-laki.
Anak laki-laki mendapatkan
skor lebih tinggi
dibandingkan dengan anak
perempuan dalam skor
pengukuran skala motivasi.
6 Zuleyha Avsar &
Fusun Ozturk Kuter
(2007) :
“Determination of
social skills
level
Populasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
mahasiswa Uludag University
yang berjumlah 208 orang.
36
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Social Skills Level
In Students Of
Uludag University
Phyisical Education
And Sport
Department”
Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian
deskriptif. Social Skills
Inventory (SSI) digunakan
untuk mengukur keterampilan
sosial mahasiswa. Dari hasil
analisis data diketahui bahwa
anak perempuan
mendapatkan skor yang lebih
tinggi daripada anak laki-laki
dalam semua aspek (EE, ES,
SE, SS, SC) kecuali dalam
EC (Emotional Control).
7 Marios Goudas &
Evmorfia Magotsiou
(2009) :
“ The Effect of A
Cooperative
Physical Education
Program on
Student’s Social
Skills”
cooperative
physical
education
program
student’s social
skills
attitudes toward
group work
Pada penelitian ini
menggunakan Multisource
Assessment of Children’s
Social Competence untuk
mengukur social skill siswa.
Sample yang digunakan
berjumlah 57 orang pada
kelompok kontrol dan 57
orang pada kelompok
eksperimen. Dari hasil
analisis data diketahui bahwa
pad kelompok eksperimen
terdapat peningkatan dalam
hal keterlibatan dalam
kelompok.
8 Masoud Gholamali
Lavasani, Leila
Afzali &
Farokhlagha Afzali
(2011):
“ Cooperative
Learning And Social
Skills”
cooperative
learning
social skills
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keefektifan
metode cooperative learning
pada social skills siswa.
Sampel yang digunakan
berjumlah 74 orang siswa
perempuan yang terbagi
menjadi kelompok kontrol 37
orang dan kelompok
eksperimen 37 orang. Hasil
penelitian mengungkapkan
bahwa kelompok metode
cooperative learning memiliki
skor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan
kelompok metode tradional.
9 Min Wang (2012) :
“ Effect of cooperative
learning
Penelitian ini bertujuan unutk
mendeskripsikan efek dari
37
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Cooperative learning
on Achievement
Motivation of
Female University
Students”
achievement
motivation
students
cooperative learning terhadap
motivasi berprestasi siswa
dengan sampel penelitian
adalah mahasiswi berjumlah
67 orang. Dari hasil analisis
data dengan menggunakan uji
T, didapat hasil bahwa
cooperative learning telah
meningkatkan motivasi
berprestasi pada mahasiswi.
10 Margaret M Tanner
& Tim M Lindquist
(1998)
“Using Monopoly
and Team Games
Tournaments in
accounting
education: a
cooperative learning
teaching resource”
cooperative
learning
TGT
Accounting
education
Penelitian ini mengunakan
mahasiswa jurusan akuntansi
sebagai populasi penelitian.
Hasil penelitian diketahui
bahwa sikap mahasiswa
terhadap pembelajaran
akutansi dan pencapaian
sikap bersifat positif selama
menyelesaikan latihan
cooperative learning tersebut.
Selanjutnya diketahui bahwa
jenis kelamin dan
kemampuan mahasiswa
mempengaruhi terhadap
tingkat pencapaian sikap dan
sikap mahasiswa.
11 Wachit Nugroho
(2013)
“Aplikasi Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
TGT Terhadap Hasil
Belajar Bermain
Bolavoli Pada Siswa
Kelas IX SMP
Negeri 3 Nguter
Tahun Ajaran 2012 /
2013”
TGT
Hasil belajar
Penelitian dilaksanakan
dengan desain Pretest-Postest
Non-Equivalent Control
Group. Subjek penelitian
adalah siswa kelas IX SMP N
3 Nguter yang berjumlah 52
siswa. Dalam penelitian ini
terdapat dua kelompok, yaitu
kelompok kontrol sebanyak
26 siswa dan kelompok
eksperimen sebanyak 26
siswa. tes membuat
keputusan taktik dan
pelaksanaan keterampilan
yaitu dengan GPAI (Game
Performance Assesment
Instrument) dan lembar
observasi atau lembar
pengamatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil
38
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
belajar bermain bolavoli
dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT lebih
baik dibanding hasil belajar
bermain bolavoli dengan
pendekatan konvensional.
12 Luhut Horas
Monang Sinaga
(2013)
“Pengaruh Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
TGT (Team Games
Tournament)
Terhadap Hasil
Belajar Dribbling
Pada Permainan
Bola Basket Siswa
Kelas IX SMP
Negeri 7 Sibolga
Tahun Ajaran 2012 /
2013”.
Model
Pembelajaran
Kooperatif Tipe
TGT (Team
Games
Tournament)
Hasil Belajar
Dribbling Pada
Permainan Bola
Basket
Penelitian ini menggunakan
populasi siswa SMP kelas IX
yang berjumlah 106. Teknik
sampling menggunakan
random cluster sampling.
Dari hasil analisis
perhitungan data dengan
menggunakan uji t, diketahui
hasil bahwa pada kelompok
eksperimen, terdapat
pengaruh signifikan dari
model pembelajaran TGT
terhadap hasil belajar
dribbling bola basket.
C. Kerangka Berfikir
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan
salah satu media untuk membentuk siswa menjadi individu yang siap untuk bidup
bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan formal membentuk
siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi cerdas secara emosi dan hati dan
berkembang secara menyeluruh (Suherman, 2009, hlm. 3). Dalam upaya
membentuk pribadi berkarakter tersebut, lingkungan pendidikan formal atau
sekolah dikondisikan seperti tatanan kehidupan dalam masyarakat dimana saling
menghormati dan saling menghargai menjadi nilai yang harus terus tercermin dan
dikembangkan sehingga siswa akan bisa berkembang tidak hanya menjadi
individu yang berkarakter akan tetapi menjadi anggota dari masyarakat yang
mampu memberikan peranan dan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat
pada umumnya. Pendidikan yang ada di sekolah pada dasarnya berfungsi sebagai
alat tranformasi nilai.
39
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah
dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting
dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu
secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-
individu yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai
dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat
sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai
dan menghormati sesama.
Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki
potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan
anak. Bailey (2006, hlm. 397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan
jasmani dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2)
gaya hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan
waktu pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan
pelajaran teori di dalam kelas.
Dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran
yang biasa digunakan salah satunya adalah model cooperative learning.
Cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan siswa
sebagai pusat pembelajaran, yang mendorong siswa untuk tidak hanya fokus
terhadap dirinya sendiri tetapi juga membantu temannya dalam proses
pembelajaran (Dyson (2005) dalam Casey dkk, 2009, hlm. 409). Siswa dibagi ke
dalam kelompok kecil yang terstruktur heterogen berdasarkan pada tingkat
keterampilan, ras, sosial ekonomi dan jenis kelamin. Dalam model pembelajaran
ini siswa harus bekerja sama dalam kelompok untuk bisa melaksanakan tugas dan
mencapai tujuan bersama (Wang, 2012, hlm. 109). Dengan demikian akan terjalin
komunikasi interpersonal termasuk ke dalamnya adalah kemauan untuk
mendengarkan orang lain, bertanggung jawab terhadap tugas, belajar untuk
memberi dan menerima umpan balik, dan kemampuan untuk saling menolong
satu sama lain antara anggota kelompok (Polvi & Telama, 2000, hlm. 106). Siswa
diberi kesempatan untuk bisa mengatasi permasalahan yang dihadapinya dengan
cara dialog dan diskusi kelompok.
40
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
TGT merupakan salah satu metode cooperative learning yang telah
dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games
Tournament) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah
diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status,
melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan
dan reinforcement (Sinaga, 2012). Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan
permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games
Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.
Di samping itu menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab,
kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT merupakan model
cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam kelompok-
kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang
diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran, sehingga sebagian
besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dalam pelaksanaan
kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005, hlm. 14)
Tujuan dari pendidikan jasmani bisa tercapai dengan maksimal salah
satunya ketika anak menyadari peranan dan pentingnya pendidikan jasmani
dengan cara partisipasi secara aktif dalam kelas pendidikan jasmani. Tingkat
partisipasi siswa banyak dipengaruhi oleh banyak hal seperti di antaranya adalah
tingkat motivasi, kepercayaan diri, pemahaman terhadap manfaat dari aktivitas
fisik, kesempatan untuk berpartisipasi, kompetisi, dan teman sekelas (Ryan &
Poirie, 2012).
Model cooperative learning memberikan kesempatan yang sama kepada
anak untuk bisa berpartisipasi dalam pembelajaran pendidikan jasmani.
Memberikan mereka untuk berkomunikasi dengan anggota kelompoknya agar
menjadi kelompok yang menang dalam kompetisi. Dari penelitian yang dilakukan
oleh Avsar & Kuter (2007) diketahui bahwa anak perempuan mendapatkan nilai
lebih tinggi dalam keterampilan sosial dibandingkan dengan anak laki-laki.
Dengan menggunakan Social Skills Inventory (SSI) anak perempuan memiliki
nilai lebih tinggi dalam Social Sensitivity/ Kepekaan sosial, Emotional
Sensitivity/kepekaan emosional, Social Expressivity/Pengungkapan sosial,
41
Risma, 2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Emotional Expressivity/Pengungkapan emosi, dan Social Control/ Kontrol sosial.
Artinya, anak perempuan mempunyai kelebihan dalam dimensi-dimensi
keterampilan sosial tersebut dibandingkan dengan anak laki-laki. Dengan
demikian, anak perempuan akan memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di samping itu juga telah dijelaskan
sebelumnya bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi dalam perkembangan keterampilan sosial anak (Muzaiyin, 2013).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut bisa diasumsikan bahwa model selain model
pembelajaran, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial dan
terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap
keterampilan sosial.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada kerangka berfikir di atas, maka didapat hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial
siswa.
2. Terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.
3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap
keterampilan sosial.