BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka merupakan parameter utama dalam penelitian ilmiah,
karena kajian pustaka merupakan dasar pijakan untuk membangun suatu
konstruk teoritik, sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir,
dan menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam
bab ini akan dibahas tentang teori yang mendasari disiplin kerja dan
bagaimana hubungan disiplin kerja dan faktor-faktor yang memengaruhinya
yaitu konsep diri dan iklim organisasi. Selain itu, dalam bab ini juga akan
dibahas hasil-hasil penelitian terdahulu sehubungan dengan hubungan iklim
organisasi dengan disiplin kerja dan habungan konsep diri dengan disiplin
kerja karyawan. Hasil-hasil penelitian ini akan menjadi landasan atau dasar
bagi penulis dalam menyusun hipotesis penelitian serta kerangka berpikir.
2.1. Disiplin Kerja
2.1.1 Definisi Disiplin Kerja
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab
seseorang terhadap tugas–tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini
mendorong gairah kerja, semangat kerja, terwujudnya suatu tujuan bagi
perusahaan dan karyawan. Oleh karena itu, peningkatan disiplin menjadi
bagian yang penting dalam manajemen sumber daya manusia, sebagai faktor
penting dalam peningkatan produktivitas. Disiplin kerja adalah suatu alat
yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar
mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya
untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua
peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Rivai, 2004).
Dalam suatu kesempatan, Hasibuan (2003) berpendapat bahwa kedisiplinan
kerja adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan
14
perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Sementara itu Sarwanto
(2007) menyatakan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial
yang berlaku.
Sementara itu, Tintri & Fitriatin (2010) menyatakan bahwa
kedisiplinan diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat
pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi
semua peraturan perusahaan yang berlaku. dan dalam kedisiplinan karyawan
diperlukan peraturan dan hukuman. Peraturan itu sangat diperlukan untuk
memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi karyawan, dalam menciptakan
tata tertib yang baik di perusahaan. Hal ini akan mendukung tercapainya
tujuan perusahaan, dan karyawan. Perusahaan sulit mencapai tujuannya, jika
karyawan tidak mematuhi peraturan-peraturan perusahaan tersebut.
Kedisiplinan suatu perusahaan dikatakan baik, jika sebagian besar karyawan
mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Dengan kata lain, disipilin di
tempat kerja merupakan saran yang dipakai oleh pihak organisasi untuk
memperbaiki perilaku serta memastikan bahwa karyawan mematuhi
peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan. Hal ini terlibat jelas dari
pendapat berikut ini: discipline in the workplace is the means by which
supervisory personnel correct behavioural deficiencies and ensure
adherence to established company rules. The purpose of discipline is correct
behaviour. It is not designed to punish or embarrass an employee (Jelley &
Moore, 2007, h. 2).
Sementara itu, Setiyawan & Waridin (2006) disiplin sebagai keadaan
ideal dalam mendukung pelaksanaan tugas sesuai aturan dalam rangka
mendukung optimalisasi kerja. Salah satu syarat agar disiplin dapat
ditumbuhkan dalam lingkungan kerja ialah, adanya pembagian kerja yang
tuntas sampai kepada pegawai atau petugas yang paling bawah, sehingga
15
setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya,
kapan pekerjaan dimulai dan selesai, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan,
dan kepada siapa mempertanggung jawabkan hasil pekerjaan itu.
Dari berbagai pandangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
disiplin kerja adalah kesadaraan dan kesediaan seseorang mentaati semua
peraturan perusahaan yang dibuat manajemen yang mengikat setiap anggota
perusahaan agar terdapat standar organisasi yang dapat dijalankan semua
karyawan baik dengan kesadaran sendiri dalam menjalankan tugas dalam
rangka mendukung optimalisasi kerja.
2.1.2 Teori Disiplin Kerja
Disiplin sangat diperlukan baik oleh karyawan maupun oleh
organisasi. Disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat yang ada
pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan perusahaan. Dengan
demikian bila peraturan atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu
diabaikan, atau sering dilanggar, maka karyawan mempunyai disiplin kerja
yang buruk. Sebaliknya, bila karyawan tunduk pada ketetapan perusahaan,
menggambarkan adanya kondisi displin yang baik. Latainer (dalam Sutrisno,
2009) menyatakan bahwa disiplin merupakan suatu kekuatan yang
berkembang di dalam tubuh karyawan dan menyebabkan karyawan dapat
menyesuaikan diri dengan sukarela pada keputusan, peraturan, dan nilai-nilai
tinggi dari pekerjaan dan perilaku. Singkatnya, disiplin dibutuhkan untuk
tujuan organisasi yang lebih jauh, guna menjaga efisiensi dengan mencegah
dan mengoreksi tindakan-tindakan individu dalam iktikad tidak baiknya
terhadap kelompok.
Lateiner & Levine (1983) menyatakan bahwa disiplin kerja
mempunyai beberapa aspek, antara lain:
1. Ketepatan waktu. Ketepatan waktu diartikan sebagai sikap yang
menunjukkan kepatuhan karyawan pada jam kerja, dimana karyawan
16
harus datang ke tempat kerja sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,
serta menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.
2. Kepatuhan terhadap peraturan. Peraturan maupun tata-tertib yang tertulis
dan tidak tertulis dibuat agar tujuan suatu organisasi dapat dicapai
dengan baik. untuk itu dibutuhkan sikap setia dari karyawan terhadap
komitmen yang telah ditetapkan tersebut. Kesetiaan disini berarti patuh
dalam melaksanakan perintah dari atasan dan peraturan, taat pada tata-
tertib yang telah ditetapkan, serta karyawan patuh dalam menggunakan
kelengkapan pakaian seragam yang telah ditentukan organisasi atau
lembaga.
3. Tanggung-jawab. Tanggung-jawab berarti, kesanggupan individu dalam
menghadapi pekerjaan yang menjadi tanggung-jawabnya sebagai
karyawan, serta menyelesaikan pekerjaan dengan sungguh-sungguh
sehingga dapat selesai sesuai dengan kebijakan organisasi tersebut.
Sementara itu, Anoraga & Suyati (1995) untuk mengetahui tingkat
kedisiplinan kerja yang baik dapat diukur berdasarkan aspek-aspek yaitu :
1. Kepatuhan tenaga kerja pada jam-jam kerja.
2. Kepatuhan tenaga kerja terhadap perintah atasan serta tata tertib yang
berlaku.
3. Penggunaan dan pemeliharaan bahan-bahan dan alat kantor dengan hati-
hati.
4. Bekerja dengan mengikuti cara-cara kerja yang telah ditetapkan oleh
organisasi atau perusahaan.
Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, dalam penelitian
ini penulis mengukur prestasi kerja menggunakan aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Lateiner dan Levine (1983, dalam Siregar, 2012)
menyatakan bahwa disiplin kerja mempunyai beberapa aspek, yaitu
ketepatan waktu, kepatuhan terhadap peraturan, dan tanggung jawab. Hal ini
17
disebabkan karena aspek-aspek yang dikemukakan oleh Lateiner dan Levine
(1983, dalam Siregar, 2012) lebih relevan dengan situasi dan kondisi kerja
karyawan yang ada di RS. Panti Waluyo, Surakarta.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Disiplin Kerja
Disiplin kerja tidak terbentuk dengan sendirinya. Disiplin kerja
merupakan hasil interaksi antara faktor luar dan dalam diri individu. Harsono
(dalam Hendrowati, 2003), mengemukakan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi disiplin kerja karyawan, di antaranya adalah:
1. Iklim organisasi.
Faktor iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja dapat menjadi
penyebab timbulnya perilaku melanggar aturan yang telah digariskan.
Lingkungan memberi rangsangan terhadap individu untuk berperilaku
termasuk perilaku disiplin. Contoh: apabila tuntutan dari luar individu
tersebut berlebihan, maka dapat merangsang timbulnya perilaku yang
tidak patuh, melanggar aturan, dan kurang tanggung jawab.
2. Kepemimpinan.
Faktor kepemimpinan adalah pengikat dan pengendali kehidupan
kesatuan merupakan disiplin dan sistem hierarkis, oleh karena itu
kebebasan individu dikurangi. Dalam hal ini, kekuatan pemimpin yang
dinyatakan dalam kewibawaan menciptakan sistem kesatuan yang
harmonis dan terarah tanpa menimbulkan akibat yang merugikan
terhadap kesatuannya. Contoh: jika pemimpin memberikan contoh
yang baik dalam arti disiplin kerja yang baik, maka disiplin kerja
bawahan pun akan ikut baik.
3. Konsep diri.
Dalam hal ini, Rogers (dalam Febri, 2003) menyatakan bahwa konsep
diri adalah suatu susunan dalam kepribadian. Individu yang dapat
menilai dirinya dengan baik atau positif, akan membuat individu
18
bersikap optimis terhadap pekerjaannya dalam arti bisa menyelesaikan
pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. Contoh: dalam hal ini individu
mempunyai kesadaran dan kemauan untuk berbuat sesuai dengan
aturan yang semestinya.
4. Moral.
Faktor moral adalah kondisi moral seseorang juga menentukan dalam
individu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kondisi
moral yang baik, seorang karyawan dapat bekerja dengan baik dalam
arti bisa mengikuti semua peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Contoh: individu yang memiliki moral yang baik ingin selalu
menjalankan peraturan dengan bertanggung jawab.
5. Kepuasan kerja.
Faktor kepuasan kerja adalah untuk melaksanakan disiplin kerja tidak
cukup dengan ancaman-ancaman saja tetapi perlu peningkatan
kesejahteraan yang cukup, sehingga karyawan merasa puas dan dapat
menerapkan disiplin kerja dalam bekerja. Contoh: gaji yang diberikan
sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), tunjangan
kesejahteraan harus diperhatikan, dan fasilitas kantor terpenuhi.
Sementara itu, dalam kesempatan yang berbeda, Amriany, Probowati,
Atmadji (2004), Setyaningrum (2007), Nurlaksono dan Kumolohadi (2008),
dan Febrica (2010) melakukan berbagai penelitian sehubungan dengan
disiplin kerja. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa iklim organisasi
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi disiplin kerja karyawan.
Berdasarkan berbagai faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Faktor
internal berupa hal-hal yang berasal dari dalam diri karyawan sedangkan
faktor eksternal berupa pengaruh dari luar secara khusus dari lingkungan
kerja.
19
2.2 Iklim Organisasi
2.2.1 Definisi Iklim Organisasi
Iklim organisasi merupakan sesuatu yang nyata dirasakan oleh
orang-orang yang ada di dalam suatu organisasi. Apa yang dirasakan itu
mempengaruhi perilakunya yang akhirnya akan menentukan tingkat
produktivitas kerja mereka (Kamuli, 2012). Istilah iklim organisasi
(Organizational climate) pertama kalinya dipakai oleh Kurt Lewin pada
tahun 1930-an, dengan istilah iklim psikologi (psychological climate).
Konsep ini bermula dari formulasi konsep Lewin yang beranggapan bahwa
perilaku individu (behavior) merupakan fungsi dari variabel personal dan
lingkungan psikologisnya (Gintoe, 2012).
Ada pernyataan yang menyatakan bahwa iklim organisasi
merupakan persepsi karyawan tentang lingkungan organisasi yang
memberikan pengaruh terhadap sikap dan motivasi. Pernyataan tersebut
dijelaskan oleh Litwin & Stringer (1978, dalam Adeniji, 2011, h. 50)
menyatakan bahwa: considered this definition deficient in terms of individual
perceptions, noting that the climate of an organization is interpreted by its
members in ways, which impact their attitude and motivation. Menurut
Muhammad (2001) iklim organisasi adalah kualitas yang relatif abadi dari
lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya,
mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-
nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan. Berdasarkan definisi di
atas, dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi merupakan suasana kerja
yang diciptakan oleh hubungan antara pribadi atau individu dalam
organisasi. Hubungan antar pribadi atau individu tersebut dapat
mempengaruhi perilakunya sehingga dapat menimbulkan terjadinya
peningkatan produktivitas kerja pegawai. Higgins (1982, dalam Gintoe,
2012) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah kumpulan dari persepsi
20
anggota organisasi termasuk mengenai peraturan, keinginan dari pekerjaan
dalam organisasi dan lingkungan sosial dalam organisasi. Dalam hal ini
iklim organisasi merupakan harapan-harapan serta cara pandang individu
terhadap organisasi.
Dalam suatu kesempatan, Siagian (2002), menjelaskan iklim
organisasi sebagai kondisi kerja yang bersifat fisik dan non fisik dari
lingkungan kerja yang turut berpengaruh terhadap perilaku dan yang menjadi
faktor motivasional yang perlu mendapat perhatian setiap pemimpin dalam
organisasi. Kemudian Davis (1996, dalam Apriyanto, 2007), menjelaskan
bahwa iklim organisasi adalah lingkungan dimana para pegawai organisasi
melakukan pekerjaan mereka. Iklim organisasi sebagai sistem yang dinamis
dipengaruhi oleh hampir semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Jadi
iklim organisasi merupakan konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan
gaya hidup organisasi. Karena iklim organisasi mencerminkan gaya hidup
maka secara otomatis iklim organisasi akan mempengaruhi keseluruhan
kegiatan organisasi termasuk perilaku anggotanya.
Berdasarkan berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli di
atas, penulis menyimpulkan bahwa iklim organisasi adalah persepsi individu
tentang keadaan atau kondisi lingkungan organisasi yang menunjukkan
kualitas lingkungan internal suatu organisasi yang mempengaruhi organisasi
sekaligus perilaku anggota-anggotanya.
2.2.2 Teori Iklim Organisasi
Dalam bekerja, lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap
sikap kerja dan menentukan prestasi kerja pegawai. Lingkungan kerja yang
menyenangkan membuat sikap pegawai positif dan memberi dorongan untuk
bekerja lebih tekun dan lebih baik. Sebaliknya, jika situasi lingkungan tidak
menyenangkan karyawan cenderung meninggalkan lingkungan tersebut.
21
Iklim di satu organisasi berbeda dengan organisasi lainya karena
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan. Stringer (2002,
dalam Wirawan, 2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan iklim dari satu
organisasi dengan organisasi yang lain disebabkan oleh lima faktor yang
menyebabkan terbentuknya iklim tersebut. Berikut ini adalah gambar faktor-
faktor yang menyebabkan terbentuknya iklim dalam suatu organisasi
menurut Stringer (2002, dalam Wirawan 2007):
Sumber: Budaya dan Iklim Organisasi (Wirawan, 2007)
1. Lingkungan eksternal. Industri atau bisnis yang sama mempunyai iklim
organisasi umum yang sama. Misalnya, iklim organisasi umum asuransi
umumnya sama. Demikian juga iklim organisasi pemerintah, sekolah
dasar, atau perusahaan angkutan di Indonesia, mempunyai iklim yang
sama.
2. Strategi organisasi. Kinerja suatu perusahaan bergantung pada strategi
(apa yang diupayakan untuk dilakukan), energi yang dimiliki karyawan
untuk melaksanakan pekerjaan yang diperlukan oleh strategi (motivasi)
Iklim Organisasi
Praktik Kepemimpinan
Pengaturan Organisasi
Strategi Organisasi
Sejarah Organisasi
Lingkungan Eksternal
Gambar 2.2
Faktor yang mempengaruhi Iklim Organisasi
22
dan faktor-faktor lingkungan penentu dari level energi tersebut. Strategi
yang berbeda menimbulkan pola iklim yang berbeda.
3. Pengaturan organisasi. Pengaturan organisasi mempunyai pengaruh
paling kuat terhadap iklim organisasi.
4. Sejarah organisasi. Semakin tua umur suatu organisasi semakin kuat
pengaruh kekuatan sejarahnya. Pengaruh tersebut dalam bentuk tradisi
dan ingatan yang membentuk harapan anggota organisasi dan
mempunyai pengaruh terhadap iklim organisasinya.
5. Praktik kepemimpinan. Perilaku pemimpin mempengaruhi iklim
organisasi yang kemudian mendorong motivasi karyawan.
Iklim organisasi dapat dikategorikan sebagai faktor eksternal yang
menjadi stimuli bagi individu, yang selanjutnya akan diproses dan
membentuk persepsi tentang organisasinya. Persepsi terhadap iklim
organisasi adalah cara pandang individu terhadap situasi lingkungan
kerjanya, yang dilihat, diamati dan dirasakan oleh individu selaku anggota
organisasi kemudian diberi makna oleh individu berdasarkan interpretasi
mereka terhadap situasi lingkungan kerjanya. Hasil dari interpretasi tersebut
dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu terhadap perilaku anggota
organisasi. Adanya perbedaan persepsi pada individu terhadap iklim
organisasi disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor internal yang
terdapat dalam diri individu (Gintoe, 2012).
Altman (2000, dalam Wirawan, 2007) mengungkapkan bahwa
terdapat tujuh aspek iklim organisasi, yakni:
1. Keadaan lingkungan fisik tempat kerja. lingkungan fisik adalah
lingkungan yang berhubungan dengan tempat, peralatan, dan proses
kerja. Persepsi karyawan tentang tempat kerja menciptakan persepsi
karyawan mengenai iklim organisasi.
23
2. Keadaan lignkungan sosial. Lingkungan sosial adalah interaksi antara
anggota organisasi. Hubungan tersebut dapat bersifat hubungan
formal, informal, kekeluargaan, atau profesional.
3. Pelaksanaan sistem manajemen. Sistem manajemen adalah pola
proses pelaksanaan manajemen organisasi.
4. Produk. Produk adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh
organisasi.
5. Konsumen yang dilayani. Konsumen yang dilayani dan untuk siapa
produk ditujukan memengaruhi iklim organisasi.
6. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi. Persepsi mengenai
kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi sangat memengaruhi
iklim organisasi.
7. Budaya organisasi. baik budaya maupun iklim organisasi
memengaruhi perilaku anggota organisasi yang kemudian
memengaruhi kinerja mereka.
Lebih lanjut, Stringer (2002, dalam Wirawan, 2007) menguraikan
enam aspek untuk mengukur iklim organisasi yang disebut Organizational
Climate Questionnaire untuk organisasi sektor publik termasuk
pemerintahan yaitu:
1. Struktur (structure). Struktur merefleksikan perasaan yang dirasakan
pegawai dalam organisasi yang secara terorganisir dengan baik dan
memiliki uraian tugas mengenai peran dan tanggung jawab yang
jelas. Struktur tinggi jika pegawai merasa bahwa pekerjaan setiap
orang diorganisir dengan baik. Struktur rendah jika terjadi
kebingungan mengenai siapa yang harus melakukan sesuatu dan
mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan.
2. Standar-standar (standards). Standar-standar dalam suatu organisasi
mengukur perasaan tekanan untuk meningkatkan kinerja dan tingkat
24
atau derajat kebanggaan pegawai ketika melakukan pekerjaannya
dengan baik. Standar-standar tinggi artinya karyawan dalam
organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerja.
Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah
untuk kinerja.
3. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab merefleksikan
perasaan pegawai bahwa mereka adalah “bos bagi diri mereka
sendiri” dan tidak harus melaporkan semua keputusan mereka
kepada atasan. Tanggung jawab yang tinggi menunjukkan bahwa
pegawai merasa memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri sedangkan tanggung jawab yang rendah
menunjukkan bahwa pegawai tidak diharapkan untuk mengambil
resiko dan mencoba pendekatan baru.
4. Penghargaan (recognition). Penghargaan merefleksikan perasaan
pegawai dalam organisasi yang merasa dihargai atas pekerjaan yang
diselesaikan dengan baik. Penghargaan merupakan ukuran
penghargaan yang dihadapkan dengan kritik dan hukuman atas
penyelesaian pekerjaan. Penghargaan rendah artinya penyelesaian
pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara tidak konsisten.
5. Dukungan (support). Dukungan merefleksikan perasaan percaya dan
saling mendukung yang berlaku di kelompok kerja/unit kerja dalam
organisasi. Dukungan tinggi jika anggota organisasi merasa bahwa
mereka bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan merasa
memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam
menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa
terisolasi dan tersisih sendiri.
6. Komitmen (commitment). Komitmen merefleksikan perasaan bangga
pegawai oleh sebagai bagian dalam organisasi dan tingkat atau
25
derajat komitmen/keloyalan terhadap pencapaian tujuan-tujuan
organisasi. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas
personal. Level rendah komitmen artinya pegawai merasa apatis
terhadap organisasi dan tujuannya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek iklim
organisasi yang dikemukakan oleh Stringer (2002, dalam Wirawan, 2007).
Hal ini disebabkan karena aspek yang dikemukakan sesuai dengan situasi
dan kondisi karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.
2.3. Konsep Diri
2.3.1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri (self concept) adalah gambaran yang dimiliki seseorang
tentang dirinya, yang merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki
tentang diri mereka sendiri, seperti karakteristik fisik, psikologis, sosial,
emosional, aspirasi, dan prestasi (Hurlock, 1990, dalam Ekasari, 2008).
Konsep diri merupakan pondasi utama keberhasilan proses pembelajaran,
termasuk bagaimana seseorang belajar meningkatkan kecerdasan
emosionalnya (Gunawan, 2003).
Dalam suatu kesempatan, Sikhwari (2014) menyatakan bahwa
konsep diri adalah cara individu memahami dirinya sendiri baik itu bersifat
positif maupun negatif. Hal senada diungkapkan oleh Brooks (dalam
Rahmat, 2000) menjelaskan konsep diri sebagai pandangan dan perasaan
mengenai diri sendiri. Persepsi mengenai diri sendiri dapat bersifat psikis,
sosial, dan fisik. Konsep diri dapat berkembang menjadi konsep diri positif
atau negatif. Sedangkan menurut Hurlock (1999) konsep diri adalah
pandangan individu mengenai dirinya. Konsep diri terdiri dari dua
komponen, yaitu konsep diri sebenarnya (real self) yang merupakan
26
gambaran mengenai diri, dan konsep diri ideal (ideal self) yang merupakan
gambaran individu mengenai kepribadian yang diinginkan.
Santrock (2003), dalam uraian pengertian self dipisahkan antara rasa
percaya diri (self-esteem) dan konsep diri (self concept). Rasa percaya diri
(Self-esteem) adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri, yang
biasanya disebut sebagai harga diri atau gambaran diri sedangkan self
concept merupakan evaluasi terhadap domain yang spesifik dari dirinya.
seseorang dapat membuat evaluasi diri terhadap berbagai domain dalam
hidupnya baik dalam bidang pendidikan, minat, pekerjaan bahkan
penampilan fisik. Walaupun demikian dalam implikasi uraian pengukuran
rasa percaya diri dan konsep diri dijadikan satu, yaitu konsep diri mencakup
harga diri dan gambaran diri seseorang.
Brooks (dalam Juriana, 2000), konsep diri merupakan persepsi
mengenai diri individu sendiri baik yang bersifat fisik, sosial, dan psikologis
yang diperoleh individu melalui pengalaman dan interaksi individu dengan
orang lain. Sedangkan, Berzonsky (dalam Febri, 2003) mendefinisikan
konsep-diri sebagai pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya
sendiri, baik yang bersifat fisik, psikis, sosial, maupun moral, yang didapat
dari hasil interaksinya dengan orang lain. Rogers (dalam Juriana, 2000)
mendefinisikan konsep-diri sebagai gambaran mental diri sendiri yang terdiri
dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri, dan penilaian terhadap
diri sendiri. Menurut Latipun (2000) konsep-diri merupakan persepsi dan
nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain yang berhubungan
dengan dirinya. Micchener & Delamayer (dalam Widodo & Diana, 2004)
mendefinisikan konsep-diri sebagai struktur kognisi atau perasaan terhadap
diri sendiri yang terorganisasi, yang terdiri dari persepsi individu terhadap
identitas sosial dan kualitas personal individu serta generalisasi terhadap
dirinya sendiri berdasarkan pengalaman individu.
27
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa
konsep diri merupakan pandangan, perasaan, sikap, dan keyakinan tentang
diri individu itu sendiri yang mencakup seluruh pandangan individu, baik
yang bersifat fisik, psikologis, sosial, dan moral, yang diperoleh individu
melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.
2.3.2. Teori Konsep Diri
Menurut Hurlock (1980), konsep diri terbentuk melalui 3 tahap sejalan
dengan perkembangan individu. Konsep diri primer, konsep diri sekunder
dan konsep diri ideal. Konsep diri yang pertama kali terbentuk adalah konsep
diri Primer, terbentuk dari pengalaman sosial anak yang diperoleh dari
keluarga sejak awal umur anak. Konsep diri ini sebagai susunan dasar
pertama, karena diperoleh anak pada kehidupannya yang pertama, yang
dipengaruhi oleh kualitas intensis konsep diri sendiri. Kemudian konsep diri
akan terus berkembang sejalan dengan semakin luasnya hubungan sosial
yang diperoleh individu. Bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan
dirinya, apa yang mereka katakan tentang dirinya, serta yang diraihnya
dalam kelompok akan memperkuat dan memodifikasi konsep diri yang
sudah terbentuk dalam keluarga. Oleh karena struktur konsep diri tersebut
berkembang secara hirarkis dan saling terkait satu sama lainnya, maka ia
akan mencapai tingkat perkembangan tertentu yang relatif stabil.
Konsep diri sekunder terbentuk melalui kontak anak dengan
lingkungan yang lebih luas, seperti pengalaman dengan teman sebaya.
Disebut sekunder karena terbentuk belakangan dan dipengaruhi oleh konsep
diri sebelumnya. Konsep diri ideal adalah konsep diri yang lebih tinggi dari
konsep diri yang sudah terbentuk sebelumnya, tapi dipengaruhi oleh konsep
diri sebelumnya. Konsep diri ideal merupakan persepsi tentang diri sendiri
sebagaimana yang diinginkan, dan terbentuk berdasarkan gambaran yang
ada. Perkembangan masing-masing konsep diri saling mempengaruhi.
Calhoun & Acocella (1995), mengemukakan sumber internal penting
dalam pembentukan konsep diri adalah orangtua sebagai kontak sosial yang
paling awal dan kuat yang di alami oleh individu. Teman sebaya menempati
28
peringkat ke dua, karena selain individu membutuhkan cinta orangtua ia
membutuhkan juga penerimaan teman sebaya dan apa yang diungkapkan
pada dirinya akan dijadikan sebagai penilaian terhadap dirinya. Masyarakat
juga turut berpengaruh dalam pembentukan konsep diri, sebab dalam
masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk konsep diri pada
seseorang. Misalnya, perlakuan yang berbeda antara pria dan wanita akan
membuat pria dan wanita berbeda dalam berperilaku.
Selanjutnya Maccoby (1980), mengemukakan bahwa konsep diri
terbentuk berdasarkan struktur kognitif dan kematangan sosial yang terus
mengalami peningkatan. Dalam perkembangannya konsep diri
mempengaruhi perilaku. Struktur kognitif adalah pandangan individu
terhadap dirinya sendiri. Kematangan sosial adalah interaksi anak dengan
orang lain yang dimulai dari keluarga, lingkungan teman sebaya dan
masyarakat. Lebih jauh dijelaskan bahwa semakin luas interaksi individu
dengan yang lain, maka semakin berkembangnya konsep diri yang dimiliki
karena individu memiliki pandangan dan perilaku yang luas tentang dirinya,
sehingga perilakunya pun menunjukan gambar tentang kondisi dirinya.
Menurut Arikunto (1993), konsep diri terbentuk melalui dan dalam proses
alami yang dijalani oleh individu sendiri dalam kehidupannya terutama di
dalam memenuhi kebutuhannya. Apabila di dalam kehidupan individu
banyak mengalami keberhasilan dari usahanya, maka akan tumbuh
kepercayaan bahwa dirinya cukup mempunyai arti. Dalam pengertian bahwa
semakin banyak pengalaman keberhasilan dan kegagalan, maka bahan untuk
mengamati konsep dirinya semakin banyak pula. Sejalan dengan pendapat
di atas, Hurlock (1980) mengatakan bahwa sepanjang kehidupan seseorang,
konsep diri secara kontinyu akan berkembang dan berubah. Sumber
informasi untuk konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain.
Individu menggunakan orang lain untuk menunjukkan siapa dirinya (Cooley
dalam Calhoun & acocella, 1995). Individu membayangkan bagaimana
pandangan orang lain terhadapnya dan bagaimana mereka menilai
penampilannya. Penilaian dan pandangan orang lain diambil sebagai
gambaran tentang diri individu.
29
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya konsep
diri merupakan perpaduan antara pengalaman eksternal dan pengalaman
internal yang sejalan dengan perkembangan individu. Pengalaman eksternal
diperoleh melalui interaksi dengan orang lain yang diawali dari interaksi
anak dengan orangtua dan keluarga. Keluarga merupakan pengalaman
pertama bagi anak untuk melihat dunia luar dan melalui interaksi awal ini
menjadi dasar bagi individu untuk dapat melihat dirinya sendiri. Pengalaman
selanjutnya diperoleh individu melalui interaksi dengan teman sebaya dan
lingkungan yang lebih luas.
Menurut Hurlock (1992) konsep-diri terdiri dari dua aspek yang
mempengaruhi yakni:
1. Fisik. Aspek ini meliputi sejumlah konsep yang dimiliki individu
mengenai penampilan, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting
tubuh, dan perasaan gengsi dihadapan orang lain yang disebabkan
oleh keterbatasan fisik yang dimiliki. Hal penting yang berkaitan
dengan keadaan fisik adalah daya tarik dan penampilan tubuh
dihadapan respon sosial yang menyenangkan dan penerimaan sosial
dari lingkungan sekitar yang akan menimbulkan konsep yang positif
bagi individu.
2. Psikologis. Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap keadaan
psikis dirinya, seperti perasaan mengenai kemampuan dan
ketidakmampuan yang akan berpengaruh terhadap rasa percaya-diri
dan harga-diri. Individu yang merasa mampu akan mengalami
peningkatan rasa percaya-diri dan harga-diri, sedangkan individu
dengan perasaan tidak mampu akan merasa rendah-diri sehingga
cenderung terjadi penurunan harga-diri.
Sedangkan Berzonsky (dalam Febri, 2003) menyatakan konsep diri
memiliki empat aspek penting, yang diantaranya adalah:
30
1. Aspek fisik. Meliputi penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimilikinya, yaitu yang bersifat fisik meliputi kesehatan, penampilan
diri, serta penilaian individu terhadap segala sesuatu yang
dimilikinya. Misalnya, “saya mempunyai tubuh ideal” dan gerakan
motoriknya.
2. Aspek psikis. Meliputi penilaian individu terhadap dirinya sendiri,
yang di dalamnya terdapat pikiran, perasaan, dan sikap yang dimiliki
individu terhadap dirinya sendiri. Misalnya, “saya merasa yakin
dengan kemampuan yang saya miliki.”
3. Aspek sosial. Meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan
individu dan penilaian terhadap peran tersebut. Misalnya, “saya
sering membantu teman-teman.” Dengan kata lain, merupakan
penilaian individu terhadap dirinya dalam interaksi dengan orang lain
atau lingkungan yang lebih luas.
4. Aspek moral. Meliputi penilaian dan prinsip yang memberikan area
dan arah bagi kehidupan atau persepsi individu tentang dirinya
ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika.
Misalnya, menegakkan kebenaran adalah kewajiban setiap manusia.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Berzonsky (dalam Febri, 2003), karena aspek-aspek yang
dikemukakan tersebut lebih jelas dan lengkap ketika digunakan untuk
mengukur konsep diri karyawan.
2.4. Penelitian Terdahulu
2.4.1 Hubungan Iklim Organisasi dan Disiplin Kerja
Berbagai penelitian terdahulu telah dilakukan oleh para peneliti untuk
melihat pengaruh iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Sutrisno
dan Desanti (2011) dalam penelitian terhadap dosen jurusan administrasi di
31
Politeknik Negeri Pontianak ditemukan bahwa terdapat pengaruh yang
positif signifikan iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Dalam
penelitian ini dijelaskan bahwa suatu organisasi akan mengalami perubahan
organisasional dan perencanaan SDM. Ini berarti bahwa setiap organisasi
harus selalu peka terhadap kekuatan lingkungan yang mempengaruhi
organisasi. Setiap perubahan selalu akan melibatkan manusia (dilakukan
manusia) dan berpengaruh terhadap emosi dan iklim organisasi. Berdasarkan
uraian maka disimpulkan bahwa keinginan yang kuat dapat memberikan
anggota organisasi pemahaman yang jelas tentang organisasi mereka. Semua
organisasi mempunyai iklim organisasi dan bergantung pada
penyesuaiannya, iklim organisasi dapat mempunyai pengaruh yang
bermakna pada sikap dan prilaku anggota-anggotanya. Dengan terciptanya
iklim organisasi yang kondusif, maka akan turut memengaruhi disiplin kerja
karyawan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peterson, dkk (2005)
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara iklim
organisasi dengan disiplin kerja karyawan yang pada akhirnya memengaruhi
kinerja karyawan. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa organisasi
yang baik akan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Lingkungan
kerja yang kondusif berupa relasi antara atasan dengan bawahan yang baik,
relasi antar karyawan terjalin baik, karyawan nyaman dengan pekerjaan yang
ditekuni, serta terjaminnya fasilitas kerja yang baik. Dengan terciptakannya
lingkungan kerja yang kondusif, akan memicu munculnya sikap kerja yang
positif yang dicerminkan melalui disiplin kerja karyawan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaksono &
Kumolohadi (2008) melakukan penelitian terhadap Pegawai Negeri Sipil di
Daerah Jogyakarta. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada pengaruh
positif signifikan iklim organisasi terhadap disiplin kerja karyawan. Lebih
32
lanjut dijelaskan dalam penelitian ini bahwa iklim organisasi merupakan
faktor penting yang menentukan kehidupan suatu organisasi. Iklim
organisasi mencerminkan kondisi internal suatu organisasi karena iklim
hanya dapat dirasakan oleh anggota organisasi tersebut dan iklim dapat
menjadi sarana untuk mencari penyebab perilaku negatif yang muncul pada
karyawan. Jika iklim yang dimunculkan oleh perusahaan positif, maka akan
tercipta perilaku kerja positif yang tergambar melalui meningkatnya disiplin
kerja karyawan. Tetapi sebaliknya jika iklim kerja yang tercipta tidak
kondusif, maka akan memunculkan perilaku-perilaku negatif dalam diri
karyawan yakni malas dalam bekerja, menunda-nunda pekerjaan, datang
tidak tepat waktu, yang kesemuanya itu merupakan aspek-aspek penting dari
disiplin kerja karyawan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Castro & Martins (2010)
ditemukan bahwa terdapat pengaruh iklim organisasi terhadap disiplin kerja
karyawan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan terbentuknya iklim kerja
yang kondusif akan memberikan kenyamanan dalam diri karyawan untuk
bekerja. dengan adanya kenyamanan, maka karyawan akan terdorong untuk
aktif dalam bekerja sehingga terhindar perilaku-perilaku buruk seperti
mogok kerja, bolos, maupun menunda-nunda pekerjaan. Hasil penelitian
senada diutarakan oleh Probowati & Admadji (2004) dimana dinyatakan
bahwa iklim organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap disiplin kerja
karyawan. Hal ini disebabkan karena organisasi mampu menciptakan
suasana kerja yang kondusif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suasana kerja
yang kondusif akan memberikan dorongan positif dalam diri karyawan untuk
memunculkan perilaku-perilaku positif ketika bekerja, salah satunya yakni
disiplin kerja yang tinggi.
33
2.4.2 Hubungan Konsep Diri dan Disiplin Kerja
Selain disiplin kerja, konsep diri juga merupakan salah satu faktor
yang memengaruhi tinggi rendahnya disiplin kerja. Sari (2009) dalam
penelitian menyatakan bahwa ada hubungan positif signifikan konsep diri
terhadap disiplin kerja karyawan. Pegawai yang memiliki konsep diri yang
positif akan mampu meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri yang
tinggi. Hal ini akan memampukan invidu untuk mampu beradaptasi dengan
lingkungan kerja. hal ini akan meningkatkan kualitas kerja, rajin bekerja,
jarang absen, dan menunjukan performa kerja yang tinggi. Haryotomo
(2008), yang menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
konsep-diri dengan disiplin kerja pada karyawan, dengan hasil korelasi
product moment dari Pearson adalah 0,584 dengan p = 0,000 (p < 0,01), yang
menunjukkan bahwa konsep-diri akan mengarahkan individu untuk
mengambil sikap tertentu pada lingkungan, termasuk lingkungan pekerjaan.
Apabila perusahaan dipersepsi secara positif, maka akan tumbuh rasa aman
dan percaya terhadap wibawa perusahaan, sehingga karyawan berperilaku
sesuai dengan peraturan yang ada di perusahaan. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2012) dalam penelitian menyimpulkan bahwa
terdapat tidak ada pengaruh konsep diri terhadap disiplin kerja karyawan.
Hasil ini menunjukkan, individu yang memiliki konsep diri yang rendah
akan tampak ragu-ragu, kurang percaya-diri dengan kemampuan dan
penampilan, serta kurang berani dalam menghadapi persaingan antar sesama
rekan kerja meskipun individu tersebut memiliki kemampuan dan
penampilan yang menarik (Haryotomo, 2008). Hal ini seperti pendapat
Fuhrman (dalam Hendrowati, 2003) yaitu, bila individu menilai dirinya
kurang baik, maka individu akan menganggap remeh dan membayangkan
kegagalan.
34
2.5 Dinamika Psikologi
Peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi sangat urgen dan
perlu dilakukan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan dalam
rangka meningkatkan kemampuan dan profesionalisme. Sasaran dari
pengembangan kualitas sumber daya pegawai adalah untuk meningkatkan
kinerja operasional pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Selain itu, kualitas sumber daya pegawai yang tinggi akan bermuara pada
lahirnya komitmen yang kuat dalam penyelesaian tugas-tugas rutin sesuai
tanggung jawab dan fungsinya masing-masing secara lebih efisien, efektif,
dan produktif. Peningkatan kualitas SDM ini terjadi di segala sektor baik
yang bergerak di bidang produksi maupun industri yang menawarkan
pelayanan jasa, termasuk Rumah Sakit.
Rumah Sakit mempunyai tugas melaksanakan suatu upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan atau
mementingkan upaya penyembuhan dan pemulihan yang telah dilaksanakan
secara serasi dan terpadu oleh pihak rumah sakit. Hal tersebut dalam upaya
peningkatan dan pencegahan penyakit serta upaya perbaikan. Rumah sakit
tidak hanya sekedar menampung orang sakit saja melainkan harus lebih
mementingkan jaminan hak-hak pengguna pelayanan kesehatan sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi, dan mengutamakan keselamatan
pasien. Untuk hal itulah maka perlu peningkatan kualitas SDM.
Peningkatan kualitas SDM menemui berbagai hambatan dan
kesulitan bagi karyawan di Rumah Sakit. Terutama dalam hal disiplin kerja.
Disiplin kerja menjadikan salah satu faktor penting dalam bentuk ketaatan
dari perilaku seseorang untuk memenuhi ketentuan atau peraturan yang
berkaitan dengan pekerjaan dan mutu pelayanan menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan dan tuntuan
35
setiap pasien. Disiplin kerja bukan tercipta secara begitu saja. Disiplin kerja
timbul karena kualitas mental individu. Disiplin kerja dipengaruhi oleh
berbagai faktor, dua diantaranya yaitu iklim organisasi dan konsep diri.
Iklim organisasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi
terciptanya disiplin kerja karyawan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh
adanya iklim organisasi yang merupakan suasana lingkungan kerja dapat
memengaruhi tingkah laku karyawan. Pada akhirnya akan memunculkan
perilaku baru. Perilaku tersebut akan menjadi positif jika iklim organisasi
yang tercipta baik. Tetapi sebaliknya, jika iklim organisasi tidak kondusif
maka akan tercipta perilaku kerja yang tidak diinginkan misalnya
ketidakdisiplinan kerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nurlaksono & Kumolohadi (2008) bahwa iklim organisasi
yang kondusif akan memunculkan disiplin kerja yang tinggi. Hal senada
diungkapkan oleh Choudury (2011), Patterson dkk (2005), dan McGrath
(2011) bahwa iklim organisasi memberikan dampak yang positif bagi
disiplin kerja karyawan. Dengan adanya iklim organisasi yang kondusif,
ditopang dengan faktor konsep diri yang positif maka akan memberikan
dampak yang positif juga terhadap disiplin kerja karyawan. hal ini berarti
bahwa konsep diri yang positif memberikan dampak yang positif terhadap
disiplin kerja karyawan. Dengan demikian diharapkan bahwa karyawan
hendaknya memiliki konsep diri yang positif agar memberikan pengaruf
yang positif signifikan terhadap disiplin kerja karyawan.
36
2.6. Model Peneltian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka penulis
membuat sebuat model atau kerangka berpikir sebagai berikut:
2.7. Hipotesis Penelitian
Adapun rumusan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini
adalah:
H1 : Terdapat hubungan iklim organisasi dan konsep diri dengan disiplin
kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.
H2 : Terdapat pengaruh interaksi iklim organisasi dan jenis kelamin
terhadap disiplin kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.
H3 : Terdapat pengaruh interaksi konsep diri dan jenis kelamin terhadap
disiplin kerja karyawan di RS Panti Waluyo Surakarta.
H4 : Terdapat pengaruh interaksi iklim organisasi, konsep diri dan jenis
kelamin terhadap disiplin kerja karyawan di RS Panti Wluyo
Surakarta.
H5 : Terdapat perbedaan disiplin kerja ditinjau dari jenis kelamin.
Iklim
Organisasi
Konsep
Diri
Jenis
Kelamin
Disiplin
Kerja
Gambar 2.6
Model Penelitian