BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI 2.1 Penelitian Terdahulueprints.umm.ac.id/40319/3/BAB II.pdf · BAB...
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Kajian terdahulu merupakan kumpulan penelitian dari para peneliti yang
telah dilakukan sebelumnya guna menunjang penelitian yang akan dikaji
peneliti untuk meninjau sebuah objek penelitian, yang mana masih memiliki
relevansi dengan penelitian yang diangkat. Adapun kajian terdahulu yang
digunakan oleh peneliti diantaranya, pertama, jurnal penelitian milik Sri
Hartati (2010) yang berjudul “Pembagian Kerja Buruh Tani Berdasar Gender
(Studi Deskriptif Kualitatif tentang Sistem Pembagian Kerja dan Sistem
Pengupahan antara Buruh Tani Laki-laki dan Perempuan di Dusun Pancot,
Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar),
yang mana penelitian tersebut membahas tentang pembagian kerja
berdasarkan gender—antara laki-laki dan perempuan, yang mana buruh tani
laki-laki identik dengan pekerjaan yang bersifat maskulin: kerja berat-berat,
membutuhkan tenaga, sedangkan pada perempuan bersifat feminim:
kesabaran dan ketelatenan. Namun dalam penelitian tersebut juga disinggung
tentang sistem pembagian upah antara buruh tani laki-laki dan perempuan
berdasarkan atas perbedaan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh tani laki-laki
dibandingkan perempuan. Ikhwal itulah yang membedakan upah yang
diperoleh antara buruh tani perempuan dan buruh tani laki-laki.
Kedua, jurnal penelitian milik Eko Setiawan (2017) yang berjudul
“Konstruksi Sosial Pembagian Kerja dan Pengupahan Buruh Tani”, yang
mana penelitian tersebut menjelaksan tentang pembagian kerja secara seksual
23
yang bertumpu pada keadaan fisik, yang membentuk suatu konsepsi gender
dengan karakteristik maskulinitas atau feminitas, yang menghubungkan
dengan norma-norma dan sosial budaya masyarakat. pembagian semacam itu
memunculkan determinisme peran. Kemudian kenyataan itu menyasar pada
isu tawar menawar antara laki-laki dan perempuan yang lebih
menguntungkan laki-laki dibanding perempuan. Ketidaksejajaran ini
berlanjut dari generasi ke generasi , menciptakan nilai baru yang mengusung
keberbedaan dan ketidaksejajaran secara sosial. Ideologi inilah yang
menyebabkan perbedaan upah dikemudian hari antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan gender.
Ketiga, jurnal peneltian yang berjudul “Konstruksi Sosial Atas Buruh
Buruh Tani Perempuan di Masyarakat Desa (Studi Kasus pada Masyarakat
Desa Karangsari, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa
Timur)”, penelitian tersebut membahas tentang konstruksi sosial atas buruh
tani perempuan di masyarakat desa. Pembahasan yang dipaparkan lebih
kompleks, bukan hanya taraf perbedaan upah antara buruh tani laki-laki dan
perempuan yang diakibatkan pembagian kerja, akan tetapi juga konstruksi
masyarakat atas buruh tani perempuan secara sosial budaya dan pendidikan.
Keempat, jurnal penelitian berjudul “Upah Panen Pekerja Tani Sawah
(Analisis Sosiologi Gender Tentang Perbedaan Upah Antar Pekerja
Perempuan dengan Pekerja Laki-laki dari Jenis Pekerjaan yang Sama di
Nagari Riak Danau, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, Kabupaten Pesisir
Selatan)”. Hasil dari penelitian tersebut menelisik tentang upah yang berbeda
antara buruh tani perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut mendasarkan
pada faktor turun temurun dalam sistem pemberian upah terhadap para
24
pekerjanya. Keberbedaan upah tersebut juga akibat dari adanya sikap buruh
tani perempuan yang tidak menolak atas keberbedaan upah yang diberikan
tersebut. Secara gender, anggapan laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan
perempuan juga turut serta menciptakan upah yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan, serta anggapan bahwa tanggungan hidup laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan perempuan.
Secara terperinci, dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel. 1 Penelitian Terdahulu
No. Nama Judul Hasil Relevansi
1. Sri Hartati
(2010)
Pembagian
Kerja Buruh
Tani Berdasar
Gender (Studi
Deskriptif
Kualitatif
tentang Sistem
Pembagian
Kerja dan
Sistem
Pengupahan
antara Buruh
Tani Laki-laki
dan Perempuan
di Dusun
Pancot,
Kelurahan
Kalisoro,
Kecamatan
Tawangmangu,
Kabupaten
Karanganyar)
Penelitian tersebut
membahas tentang
pembagian kerja
berdasarkan gender—
antara laki-laki dan
perempuan, yang mana
buruh tani laki-laki
identik dengan pekerjaan
yang bersifat maskulin:
kerja berat-berat,
membutuhkan tenaga,
sedangkan pada
perempuan bersifat
feminim: kesabaran dan
ketelatenan. Namun
dalam penelitian tersebut
juga disinggung tentang
sistem pembagian upah
antara buruh tani laki-
laki dan perempuan
berdasarkan atas
perbedaan tenaga yang
dikeluarkan oleh buruh
tani laki-laki
dibandingkan
perempuan. Ikhwal itulah
yang membedakan upah
yang diperoleh antara
buruh tani perempuan
dan buruh tani laki-laki.
Kaitannya ialah
adanya sistem
pembagian upah yang
berbeda yang didapat
buruh tani perempuan
dalam pekerjaannya.
Dimana perbedaan
tersebut bertumpu
pada perspektif
gender. Namun
perbedaannya ialah
pada penelitian yang
dilakukan oleh
peneliti lebih merujuk
pada habitus sistem
upah buruh tani
perempuan, sehingga
lebih spesifik.
2. Eko
Setiawan
Konstruksi
Sosial
Penelitian tersebut
menjelaskan tentang
Relevansinya ialah
secara teoritis
25
No. Nama Judul Hasil Relevansi
(2017) Pembagian
Kerja dan
Pengupahan
Buruh Tani
pembagian kerja secara
seksual yang bertumpu
pada keadaan fisik, yang
membentuk suatu
konsepsi gender dengan
karakteristik maskulinitas
atau feminitas, yang
menghubungkan dengan
norma-norma dan sosial
budaya masyarakat.
pembagian semacam itu
memunculkan
determinisme peran.
Kemudian kenyataan itu
menyasar pada isu tawar
menawar antara laki-laki
dan perempuan yang
lebih menguntungkan
laki-laki dibanding
perempuan.
Ketidaksejajaran ini
berlanjut dari generasi ke
generasi , menciptakan
nilai baru yang
mengusung keberbedaan
dan ketidaksejajaran
secara sosial. Ideologi
inilah yang menyebabkan
perbedaan upah
dikemudian hari antara
laki-laki dan perempuan
berdasarkan gender.
berkaitan dengan
kajian peneliti yang
membahas tentang
perbedaan sistem
upah itu terjadi secara
ideologis (terhabitus).
Hanya saja
perbedaannya kajian
peneliti pada ruang
praksis sedangkan
kajian tersebut pada
ruang teoritis.
3. Patricia
(2012)
Konstruksi
Sosial Atas
Buruh Buruh
Tani
Perempuan di
Masyarakat
Desa (Studi
Kasus pada
Masyarakat
Desa Karangsari,
Kecamatan
Ngawi,
Kabupaten
Ngawi,
Penelitian tersebut
membahas tentang
konstruksi sosial atas
buruh tani perempuan di
masyarakat desa.
Pembahasan yang
dipaparkan lebih
kompleks, bukan hanya
taraf perbedaan upah
antara buruh tani laki-laki dan perempuan yang
diakibatkan pembagian
kerja, akan tetapi juga
konstruksi masyarakat
atas buruh tani
Relevansinya ialah
adanya sedikit
pembahasan yang
menyinggung tentang
perbedaan upah pada
buruh tani perempuan
yang berlandaskan
pembagian sistem
kerja. Perbedaannya
ialah kajian dalam penelitian tersebut
lebih kompleks:
pembagian kerja,
konstruksi sosial
meliputi ruang
26
No. Nama Judul Hasil Relevansi
Propinsi Jawa
Timur)
perempuan secara sosial
budaya dan pendidikan.
lingkup sosial,
budaya dan
pendidikan.
Sedangkan penelitian
yang dilakukan
peneliti ingin melihat
habitus sistem upah
buruh saja, sehingga
lebih spesifik atas
yang disoroti.
4. Riska Utari
(2014)
Upah Panen
Pekerja Tani
Sawah
(Analisis
Sosiologi
Gender
Tentang
Perbedaan
Upah Antar
Pekerja
Perempuan
dengan Pekerja
Laki-laki dari
Jenis Pekerjaan
yang Sama di
Nagari Riak
Danau,
Kecamatan
Basa Ampek
Balai Tapan,
Kabupaten
Pesisir Selatan)
Hasil dari penelitian
tersebut menelisik
tentang upah yang
berbeda antara buruh tani
perempuan dan laki-laki.
Perbedaan tersebut
mendasarkan pada faktor
turun temurun dalam
sistem pemberian upah
terhadap para pekerjanya.
Keberbedaan upah
tersebut juga akibat dari
adanya sikap buruh tani
perempuan yang tidak
menolak atas
keberbedaan upah yang
diberikan tersebut.
Secara gender, angapan
laki-laki lebih kuat
dibandingkan dengan
perempuan juga turut
serta menciptakan upah
yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan, serta
anggapan bahwa
tanggungan hidup laki-
laki lebih besar
dibandingkan dengan
perempuan.
Relevansi dari kajian
tersebut pada sistem
upah yang berbeda
berdasarkan gender.
Sedangkan yang
membedakan dengan
penelitian ini ialah,
peneliti bukan hanya
ingin menemukan
perbedaan upah
berdasarkan gender
saja, akan tetapi dari
perbedaan upah
tersebut justru
menjadi sorotan
utama mengapa hal
itu berbeda yang
nantinya akan
dianalisis melalui
konsep teoritis
habitus Bourdieu.
27
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Hubungan Habitus, Medan dan Modal dalam Praktik Sosial
Telah dikatakan diawal bahwa habitus sendiri ialah struktur-
struktur mental dan kognitif yang didapat dari pembongkaran aktor
melalui hubungan dunia sosialnya. Pembongkaran dunia sosial tersebut
menyusun konsepsi pemikiran aktor atas tafsiran dunia sosial yang
melingkupi ruang dan waktu dimana ia ada. Konsepsi-konsepsi
semacam itulah yang menyusun mental dan kognitif aktor untuk
melakukan suatu aktualisasi yang hanya dapat dilihat melalui tindakan
aktor dalam dunia sosialnya.
Literatur lain (Jenkins, 2016:107-108) mengatakan bahwa habitus
ialah suatu sistem skema generatif yang didapatkan dan disesuaikan
secara objektif dengan kondisi khas dimana dia dibangun. Melalui
konsepsi habitus semacam ini, lalu Bourdieu nampaknya sedang
mempertahankan beberapa makna asli konsep ini dalam hubungan
antara tubuh dan habitus. Memiliki tiga makna, pertama, dalam nalar
yang sepele, habitus hanya ada selama ia ada „di dalam kepala‟ aktor.
Kedua, habitus hanya di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis
aktor dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungan yang
melingkupinya; dalam hal ini, habitus secara empatis bukanlah suatu
konsep abstrak dan idealis; tidak hanya termanifestasi dalam perilaku,
namun merupakan suatu bagian integral darinya (dan sebaliknya).
Ketiga, pada inti skema generatif habitus, berakar di dalam tubuh: laki-
laki/perempuan, depan/belakang, hal-hal tersebeut dapat diakses
28
pancaindra-dalam hal menalarkan dan berakar dalam pengalaman
sensoris-dari cara pandang seseorang yang disimbolkan.
Habitus bukanlah sebuah hubungan yang “berdimensi tunggal”,
akan tetapi lebih dilihat sebagai hubungan dialektis antara aktor dengan
dunia sosialnya. Internalisasi aktor yang mengkonsepsikan dunia sosial
menciptakan struktur mental dan kognitif aktor yang disebut habitus,
pun sebaliknya, dalam pembentukan habitus dunia sosial ikut andil
membentuknya dimana dunia sosial memiliki struktur yang membentuk
konsepsi struktur dalam mental dan kognitif aktor dari proses
internalisasi. Namun satu hal yang juga perlu menjadi tinjauan bahwa
“mekipun habitus adalah struktur yang diinternalisasi yang membatasi
pemikiran dan pilihan tindakan, ia tidak menentukannya” (Myles, 1999
dalam, Ritzer, 2012: 905). Dalam artian bahwa habitus hanya
menyarankan apa yang seharusnya dipirkan dan seharusnya yang
dipilih orang untuk dilakukan.
Meskipun habitus dikatakan akumulasi pengetahuan agen yang
diperolehnya sejak lahir yang kemudian membentuk kepribadiannya,
yang dalam artian pengetahuan yang menstrukturkan kepribadian agen
ini kemudian menstrukturkan cara agen dalam berinteraksi dengan
kenyataan objektif (Safitri, 2015:126), akan tetapi, habitus bukan
bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat
pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat, proses tersebut sangat
halus, tak disadari dan tampil menjadi sebuah kewajaran (Siregar,
2016:80). Penekakananya ialah, bahwa habitus bukan suatu struktur
29
tetap yang tidak berubah, tetapi lebih tepatnya ia disesuaikan para
individu yang terus-menerus berubah dalam menghadapi situasi-situasi
yang bertentangan tempat mereka menemukan diri, oleh karena itu,
orang-orang dimungkinkan untuk mempunyai suatu habitus yang tidak
tepat, menederita karena apa yang disebut hysteresis (Ritzer, 2012:906).
Bourdieu, habitus dikonsepsikan dalam berbagai cara, yakni (1)
sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam
cara-cara yang khusus, (2) sebagai motivasi, cita-cita dan perasaan, (3)
sebagai perilaku yang mendarah daging, (4) sebagai keterampilan dan
kemampuan sosial praktis, dan (5) aspirasi dan harapan berkaitan
dengan perubahan hidup dan jenjang karir (Hefni, 2007:15).
Mutahir (2011:63-64, dalam Wijaya , 2017: 14-15) menyebutkan ada
beberapa aspek terkait habitus yang dijelaskan oleh Bourdieu:
1. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan yakni, berkenaan
dengan cara bagaimana aktor memahami dunia, kepercayaan dan
nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tersebut selalu
dibentuk oleh habitus dari pada hanya sebatas direkam dalam
memori aktor secara pasif.
2. Habitus berada di dalam diri aktor. Artinya, nilai atau cara
bertindak yang dilakukan oleh aktor dipengaruhi kondisi objektif
kulturalnya dan semua hal tersebut juga melekat pada aktor dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
3. Habitus selalu dibentuk dalam momen praktik. Habitus dibawa dan
dibentuk agen dalam momen praktik ketika: menemui masalah
30
dalam kehidupan, pilihan bertindak atau konteks dimana habitus
berlangsung. Habitus ada dalam kehidupan sehari-hari.
4. Habitus bekerja di bawah aras ketidaksadaran. Hal ini dikarenakan
habitus secara keseluruhan menyatu dalam nilai-nilai yang dianut
agen bahkan gerak tubuh agen. Dengan demikian sistem, aturan,
hukum, struktur serta kategori pemaknaan dalam kehidupan sehari-
hari, dan juga persepsi agen berfungsi sebagai habitus.
Kleden (dalam, Adib, 2012:97) menyebutkan ada tujuh elemen
penting tentang habitus ini yakni: (1) produk sejarah sebagai perangkat
disposisi yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang
kali (inculcation); (2) lahir dari kondisi sosial tertentu dan kerena itu
menjadi struktur yang sudah diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi
sosial dimana dia diproduksikan, atau dengan kata lain, ia struktur yang
distrukturkan (stuctured-structures); (3) disposisi yang terstruktur ini
sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi
bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang dan
karena itu menjadi structuring structures (struktur yang
menstrukturkan); (4) sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial
tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu
bersifat transposable; (5)bersifat pra-sadar (preconcious) karena ia
tidak merupakan hasil dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia
lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tak dikehendaki
dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu gerakan mekanistis yang
tanpa latar belakang sejarah sama sekali; (6) bersifat teratur dan
31
berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-
peraturan tertentu. habitus tidak hanya merupakan a state of mind,
tetapi juga a state of body dan bahkan menjadi the site of incorporated
history; (7) habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan
tertentu, tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil-
hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat
khusus untuk mencapainya.
Berbicara tentang habitus tidak lepas dari medan, atau arena atau
ranah (field) yang merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai
tempat para agen/aktor sosial saling bersaing, dimana agen/aktor saling
berebut mendapatkn sumber daya materiil maupun simbolik yang
tujuanya untuk memastikan perbedaan yang akan menjamin status aktor
sosial (Siregar, 2016:81). Menurut Bourdieu (Adib, 2012:105), ranah
(field) lebih bersifa relasional. Dalam kehidupn sosial terdapat sejumlah
lingkungan semi-otonom, misalnya: kesenian, keagamaan, ekonomi dan
semuanya dengan logika khusus sendiri-sendiri dan semuanya
membangkitkan keyakinan di kalangan aktor mengenai sesuatu yang
dipertaruhkan dalam ranah (lingkungan).
Sedangkan modal sangat luas cakupannya, dari hal-hal material
yang dapat memiliki nilai-nilai simbolik dan memiliki signifikansi
kultural. Atau dengan kata lain, modal yang dimaksud bukan hanya
berupa materi, melainkan hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk
yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh” terjiwai dalam diri
aktor—sumberdaya yang dimiliki aktor baik materi maupun nonmateri
32
yang potensial untuk dipertaruhkan dalam ranah sebagai penentu posisi
aktor (Wijaya, 2017:15-16).
Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal
yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu
dengan modal yang lain (Siregar, 2016:81). Ada empat modal atau
kapital, menurut Bourdieu dalam Ningtyas (2015:155), kapital tidak
hanya dalam jenis kapital ekonomi dalam makna kaku (seperti contoh
bentuk kemakmuran, uang, kekayaan), akan tetapi juga kapital budaya
(seperti keahlian, dan kepintaran), kapital sosial (jaringan, hubungan
bisnis, hubungan sosial dalam masyarakat), dan juga kapital simbolik
(seperti kebanggaan, prestis).
Lebih lanjut lagi dalam Taqwa dan Sadewo (2016:4), diantara
empat macam modal tersebut dua diantaranya memiliki pengaruh yang
dominan menurut Bourdieu, yaitu modal budaya dan simbolik. Modal
budaya merupakan pengetahuan dan pemahaman yang secara
regeneratif atau dari generasi ke generasi, sedangkan modal simbolik
adalah modal ekonomi fisikal yang bertransformasi dan hanya dapat
dikenali lewat simbol-simbol sekaligus efek yang ada dalam struktur
dan penguasa simbol. Laki-laki memiliki akumulasi modal yang banyak
dbandingkan dengan perempuan. Akumulasi modal tersebut diperoleh
dari generasi ke generasi, melalui penstrukturan dominasi laki-laki
kepada perempuan yang sudah telah lama terjadi.
Praktik menurut Bourdieu (Taqwa dan Sadewo, 2016:4)
merupakan hasil dinamika dialektis antara internalisasi ekterior dan
33
eksternalisasi interior. Sehingga segala sesuatu yang diluar agen yang
dipaham dan dijalani bergerak secara dinamis-dialektis dengan proses
reproduksi pada agen untuk menjalankan realitas. Manusia telah
diwarisi praktik secara reproduktif, terus menerus dan merupakan hasil
dialektika. Kemudian prkatik ini menghasilkan yang kemudian akan
dipertarungkan dalam ranah atau medan. Laki-laki menghasilkan
praktik yang bertujuan untuk mendominasi dan melegitimasi
kekuasaannya terhadap perempuan. Secara simbolik perempuan pada
gilirannya mendapatkan apa yang disebut kekerasan simbolik.
Dalam sistem pembagian upah pun secara simbolik memberikan
ruang-ruang keterkaitan habitus, modal, ranah dan praktik yang
merujuk pada sebuah kekerasan simbolik yang secara hegemonik dapat
diterima secara dogmatis melalui modal kebudayaan yang regeneratif.
Ketidakmampuan melakukan perlawanan terhadap diferensiasi upah
yang diberikan kepada bburuh tani perempuan adalah hasil dari
kekuatan modal budaya dan modal simbolik yang mengurung para
buruh tani perempuan dalam pangkuan penghambaan dari keniscayaan
yang sebenarnya dapat didekonstruksikan.
Akan tetapi meskpun diferensiasi itu sungguh nyata dapat
dirasakan oleh para buruh tani perempuan, mereka seolah-olah tidak
ada daya untuk beroposisi dalam lingkaran sistem upah yang
diferensiatif tersebut. Ketidakmampuan itulah yang menjadikan buruh
tani perempuan semakin terhabitus, dengan habitus itu pula buruh tani
perempuan secara regenaratif akan dalam kungkungan kekerasan
34
simbolik yang terus bergulir hingga ke generasi berikutnya bahwa upah
buruh tani perempuan dengan upah buruh tani laki-laki akan berbeda
karena perbedaan atas simbol superioritas laki-laki dalam sistem kerja.
2.2.2 Sistem Upah
Ada dua sifat pokok upah (Ridwan, 2013:244); pertama,
kemampuan kerja pekerja yang akan dibayar didasarkan pada keinginan
majikan selama jangka waktu tertentu. Kedua, adanya perjanjian di
mana jumlah bayaran yang diterima pekerja diterangkan dengan jelas
dalam perjanjian itu.
Secara konstitusional, upah telah diatur dan dilindungi dalam
perundang-undangan, adapun peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang upah ialah pada pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetapkan: “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.” Pada pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menetapkan:
1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum;
2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Yetniwati,
2017:83).
Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
pada pasal 1 ayat (30): “Upah adalah hak pekera/buruh yang diterima dan
35
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau
pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Pasal 1 ayat
(31) berbunyi: kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan
kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik
di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja
yang aman dan sehat.
Selain beberapa tinjaun tentang upah, ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi munculnya perbedaan kadar upah itu sendiri menurut
Ridwan, (2013: 247-248) diantara ialah sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam kemampuan akal, setiap individu dilahirkan
dengan kemampuan akal yang berbeda. Atas perbedaan akal dan
kecerdasan tersebut dan jumlah orang yang memiliki kelebihan
dalam akal dan kecerdasan itulah mereka menerima upah yang
lebih tinggi.
b. Perbedaan dalam kemampuan jasmani. Oleh karena itu bagi
individu yang tidak memiliki kemampuan jasmani yang
diinginkan tidak akan mendapat kesempatan bekerja seperti ini
sehingga pendapatannya akan berbeda dengan individu yange
memiliki kemampuan seperti itu.
36
c. Perbedaan dalam sifat kemampuan dan kemahiran, sebagian
pekerjaan ada yang memiliki resiko tinggi, berbahaya dan
kurang sejahtera. Oleh akrena itu para pekerjanya mendapatkan
upah yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Sedangkan konsep upah menurut Islam berlandaskan atas dasar adil
dan layak. Adil disini maksudnya bermakna jelas dan transparan, atau
dengan kata lain waktu pembayaran upah harus jelas. Sedangkan makna
adil secara proporsional ialah pekerjaan seseorang akan dibalas menurut
berat pekerjaannya tersebut—atau ini yang biasa disebut oleh ahli
ekonomi Barat dengan konsep equal pay for equal job. Sedangkan makna
layak dalam konsep Islam tersebut maksudnya ialah kelayakan upah yang
diterima oleh pekerja harus dilihat dari tiga aspek: pangan, sandang,
papan—yang artinya hubungan antara majikan dan pekerja bukan hanya
sebatas hubungan formal, tetapi pekerja sudah dianggap seperti keluarga
majikan—sekaligus konsep inilah yang membedakan konsep upah
menurut ekonomi barat dengan konsep upah menurut ekonomi Islam. Juga
dapat diartikan upah yang layak ialah sesuai dengan upaha pasaran atau
yang berlaku (Ridwan, 2013:255-256).
Sekaligus konsep upah menurut ekonomi Islam tersebut sebagai
modal untuk meninjau sistem upah buruh yang dapat dijadikan prinsip
dalam menentukan sistem upah buruh. Mengingat bahwa buruh atau
pekerja melakukan aktivitas kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak mereka. Paling minim ialah untuk mencukupi kebutuhan pokok
mereka. Melalui sistem upah yang adil dan layak konsekuensi logisnya
37
ialah dapat membawa buruh bukan hanya sebatas mencukupi kebutuhan
poko buruh, akan tetapi juga membawa kesejahteraan bagi buruh.
Marx (Winardi, 1986:189) pernah merumuskan sebuah teori upah,
yakni sebagai berikut: kelas kapitalis dalam pergulatan kompetitifnya
melihat bahwa untuk mencapai laba harus dibayarkan upah terendah
kepada kelas pekerja. Maka upah yang dibayarakannya akan mencapai
tingkat subsistensi. Tingkat upah tersebut hanya cukup bagi para pekerja
untuk sekedar mempertahankan hidup yang primer yang didasari atas
kebutuhan-kebutuhan fisik dan biologisnya, dan hingga tingkat yang lebih
rendah untuk kebutuhan-kebutuhan sosial dan kebutuhan lainnya.
2.2.3 Buruh Tani Perempuan dalam Bingkai Sosiologi
Kerja menurut Marx dalam Ritzer (2012:85-86) tidak terbatas pada
kegiatan-kegiatan ekonomi; ia meliputi seluruh tindakan produktif yang
mengubah aspek-aspek material alam sesuai dengan maksud manusia—atau
dengan kata lain kehendak bebas kita untuk menstranformasikan adalah
ungkapan hakikat kemanusiaan itu sendiri. Karena kerja adalah suatu
kegiatan sosial—yang melibatkan orang lain, yang bergabung secara
langsung di dalam produksi, atau orang lain memberi kita alat-alat yang
dibutuhkan atau bahan-bahan mentah untuk pekerjaan kita, atau karena
mereka menikmati buah-buah dari kerja kita.
Pada masa Cantillon (Foucault, 2007:253), dan sebelumnya, tenaga
manusia, pada dasarnya sama dengan nilai jumlah kebutuhan pemeliharaan
untuk mempertahankannya dan keluarganya sepanjang tugas yang
dibebankan kepadanya terselesaikan. Oleh karena itu pada wilayah yang
38
terkahir, kebutuhan—makanan, pakaian, dan tempat tinggal—membatasi
ukuran mutlak harga pasar. Ikhwal itulah yang menginisiasi pada masa klasik,
menjadi suatu kemutlakan bahwa ukurang-ukuran ekuivalensi, dan nilai guna
yang berfungsi sebagai referensi absolut bagi nilai penukaran; penaksiran
harga adalah makanan, yang berdasarkan perhatian pada produksi pertanian,
gandum dan tanah.
Buruh tani perempuan ialah perempuan yang pekerjaannya menjadi
buruh di sawah, kebun atau ladang dari seorang pemilik lahan (juragan)
dengan menerima upah. Lebih lanjut lagi, Lenin dalam Landsberger dan
Alexandrov (1984:19), ada tiga kelompok dalam pembagian klasik kaum tani
yaitu: (1) kaum tani yang kaya (termasuk tengkulak) mungkin
memperkerjakan sendiri beberapa buruh upahan tetapi yang jelas bisa
menghasilkan sejumlah penting surplus yang bisa dipasarkan, (2) petani
menengah yang merupakan dan atau memiliki petak tanah sendiri yang
sempit, yang menghasilkan sekedar surplus tetapi dengan jumlah yang sedikit
dan (3) petani miskin yang hidup terutama dari menjual tenaganya kepada
tuan tanah (Soviah, 2015:16).
Sedangkan dalam Salviana dan Sulistyowati (2010:6.22) untuk menyebut
buruh tani perempuan menggunakan istilah perempuan tani, yaitu sosok
perempuan pedesaan baik yang dewasa maupun muda yang memiliki pekerjaan
sebagai petani yang meliputi pekerjaan diladang: mulai mengolah lahan,
menanam, sampai memanen. Kegiatan mereka sangat berhubungan erat dengan
keberlangsungan hidup keluarga tani. Perempuan tani cenderung bersikap
menerima apa adanya, pasif, tidak ada keberanian untuk menolak keadaan.
39
Ketidakberdayaan yang dicirikan dalam konsep buruh tani perempuan
tersebut yang tidak lain sebagai salahsatu cikal-bakal masifnya perempuan
menjadi semakin termarjinalisasi dalam kegiatan kerja. Sekalipun perempuan
memiliki indikasi kemampuan yang sama secara kualitatif—seperti usaha
yang dilakukan dalam menyelesaikan kerjanya, perempuan akan tetap
termarjinalisasi. Konstruksi sosial yang telah dilontarkan secara kultural-
historis dan terasosiasi dalam lingkungannya, menciptakan streotip yang
sangat kuat. Mengakibatkan penyedimentasian konsep yang streotip tersebut
dan sehingga begitu mudah untuk diterima tanpa oponen.
Disebutkan (Sanderson, 2003:402-403) bahwa pada masa transisi dari
masyarakat holtikultur ke masyarakat agraris,telah terjadi perubahan besar
dalam teknologi dan kehidupan ekonomi yang mempengaruhi sifat hubungan
antara jenis kelamin. Perubahan tersebut yang disebut oleh Martin dan
Voorhies sebagai “dikhotomi luar-dalam” (inside-outside dichotomy) atau
disebut dengan pembedaan publik domestik. Dimana „bagian luar‟ ialah
berkenaan dengan publik seperti ekonomi, politik, kehidupan religius,
pendidikan, dll; dimonopoli oleh dan untuk pria. Disisi lain, „bagian dalam‟,
berkenaan dengan kegiatan kerumah tanggaan seperti: memasak,
membersihkan, mencuci, mengurus dan mengasuh anak—yang dipandang
bersifat kewanitaan.
Selama dikotomi itu terus berlanjut, secara turun temurun, maka
memungkinkan beregenerasi bagi keturunannya. Kemudian akan
terlanggengkan dan menjadi kultur yang meliputi tatanan ideologis dan
politik. Selama masyarakat tersebut terus menerimanya secara dogmatis-
40
kolektif, maka, dikotomi tersebut akan terus terlanggengkan dan bahkan
memungkinkan dapat bertransformasi menjadi dikotomi dalama tatanan baru
yang lebih mapan.
Melalui pandangan Frederick Engels (Sanderson, 2003:412-413),
menuturkan bahwa bentuk-bentuk masyarakat manusia dahulu kala dicirikan
oleh ekonomi produksi-untuk-digunakan sendiri. rumah tangga bersifat
komunal, dan semua pekerjaan dilakukan untuk rumah tangga sebagai
keseluruhan. Wanita adalah peserta yang sama dalam masalah-masalah
kelompok dan mempunyai konstribusi yang penting dalam produksi ekonomi.
Perempuan sering mendapatkan perlakuan yang terdiskriminasi, baik
secara praksis maupun simbolis. Alasan itu diperkuat dengan pendapat
Zaretsky (1976) dalam Salviana dan Sulistyowati (2010:1.11) bahwa pada
masyarakat kapitalis, sektor masyarakat dikaitkan dengan sistem pasar, yang
mana sektor rumah tangga adalah sektor yang tidak dipengaruhi oleh sistem
pasar. Oleh karena itu perempuan yang bekerja disektor rumah tangga tidak
mempunyai nilai pasar. Sebaliknya, laki-laki di sektor nonrumah tangga
sudah jelas akan memiliki nilai tukar.
Perbedaan perlakuan dalam lingkup dunia kerja yang melandaskan
pada sistem ekonomi pasar, secara tidak langsung menyiratkan sebuah
analisis dalam pandangan feminisme marxis/sosialis. Femisme
marxis/sosialis (Karim, 2014:65) menggambarkan posisi rendah perempuan
dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis, serta adanya
analisis patriarki. Asumsinya ialah bahwa sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Status perempuan jatuh
41
akibat perubahan konsep kekayaan pribadi (private property), kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange).
Atau dalam konsep kapitalisme Marx (Ritzer, 2012:92-93) sebagai
sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja yang menghasilkan sedikit
komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki segala hal
berikut ini: komoditi, alat-alat produksi komoditi, dan waktu kerja kaum
pekerja, yang dibeli melalui upah. Memungkingkan, bahwa selama para
pekerja—baik perempuan maupun laki-laki—selama dalam kendali sistem
kapitalisme akan terus dikuasai “ruang hidupnya” dalam bingkai
ketenagakerjaan.
2.3 Landasan Teori
Habitus menurut Bordieu (Ritzer, 2012:903-905) adalah “struktur-
struktur mental atau kognitif” melalui mana orang berurusan dengan dunia
sosial. Atau dengan kata lain, habitus memproduksi dan diproduksi oleh
dunia sosial, disatu sisi, habitus adalah suatu “struktur yang menstrukturkan”;
yakni, ia adalah struktur yang menyusun dunia sosial, di sisi lain, ia adalah
suatu “struktur yang distrukturkan”; yakni, ia adalah struktur yang disusun
oleh dunia sosial.
Secara dialektis, habitus adalah “produk dari internalisasi struktur”
dunia sosial (Ritzer dan Goodman, 2014:581). Mereka merefleksikan
pembagian objektif dalam struktur kelas, seperti kelompok usia, jenis
kelamin, klas sosial, dll. Habitus ini diperoleh sebagai akibat dari
ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang—
42
mengakibatkan variasi habitus yang tergantung pada sifat posisi seseorang di
dunia tersebut; tidak semua orang memiliki habitus yang sama, akan tetapi,
bagi mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki
habitus yang sama. Sesuai pengamatan partisipatoris Bourdieu terkait habitus
(struktur kognitif yang menghubungkan individu dengan aktivitas sosial
tertentu dengan menjadikannya kebiasaan yang tidak perlu dipertanyakan)
yang dilakukan oleh para perempuan dan laki-laki di Aljazair dalam ranah
keluarga dan masyarakat (http://matatimoer.or.id).
Untuk memahami habitus itu sendiri secara lebih mudah, dengan
mengaitkannya pada hexis, dapat diuraikan sebagai berikut: “Bourdieu
mangambil sebuah contoh masyarakat di Kabylia: dimana politik gender
terbentuk dan muncul dalam cara berjalan, melihat, bahkan cara berdiri. Ide
tentang perempuan yang penuh kesederhanaan dan mampu mengendalikan
diri memaksa badannya membungkuk, mengarah ke tanah; laki-laki, bergerak
keatas dan ke luar dalam hexis yang demikian. Bahkan tubuh menurutnya
sebagai perangkat mnemonik di mana dasar kebudayaan, taksonomi praktis
habitus, diksankan dan dikodekan dalam proses sosialisasi atau pembelajaran
yang berlangsung masa kanak-kanak. Diferesiasi antara pembelajaran dan
sosialisasi itu sangat penting, yang pada initinya: habitus dibentuk oleh
pengalaman dan oleh pengajaran secara eksplisit (Jenkins, 2016:109).
Habitus sangat erat kaitannya dengan modal, namun modal memliki
konsep yang sangat luas. Merujuk pada Bordieu (dalam, Wijaya, 2017:15-16)
modal menurutnya mencakup hal-hal material yang dapat memiliki nilai-nilai
simbolik dan memiliki signifikansi terhadap kultural. Modal yang dimaksud
43
bukan hanya dimaknai semata-mata sebagai modal yang dalam bentuk materi,
melainkan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang
“terbendakan” atau bersifat “menumbuh” terjiwai dalam diri aktor), yang
kemudain kepemilikan modal menentukan posisi aktor dalam struktur sosial.
Modal merupakan sumberdaya yang dimiliki agen yang dimanfaatkan
dalam mencapai posisi tertentu dalam arena. Ada 4 modal Modal dibagi
menjadi empat, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal
simbolik (Safitri, 2015:126). Modal ekonomi baik berupa materi ataupun
uang, modal sosial seperti jaringan sosial, relasi-relasi, yang dimiliki sang
agen yang mampu membawanya pada posisi yang diperjuangkan dalam
arena, modal kultural merupakan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi
oleh pendidikan formal maupun keluarga, modal simbolik, yaitu prestise,
pengakuan, status, dan otoritas.
Bourdieu melihat medan, menurut definisinya, sebagai suatu arena
pertempuran: “Medan juga adalah suatu medan perjuangan” (Ritzer,
2012:907). Bourdieu juga menjelaskan tentang signifikansi hubungan
dialektis medan dan habitus yaitu:
“Disposisi-disposisi yang mengkonstitusi habitus diolah, dibentuk,
berfungsi dan sah hanya di dalam suatu medan, di dalam hubungan
dengan suatu medan...yang ia sendiri merupakan suatu „medan
kekuatan-kekuatan dinayatakn hanya didalam hubungan mereka dengan
disposisi tertentu. itulah sebabnya praktik-praktik yang sama dapat
menerima makna-makna dan nilai-nilai yang berlawanan, di dalam
medan-medan yang berbeda, didalam konfigurasi-konfigurasi yang
berbeda, atau di dalam sektor-sektro yang berlawanan dari medan yang
sama” (Ritzer, 2012:911).
Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2014:583) mengemukakan proses tiga
tahap analisis terhadap arena/medan. Langkah pertama, dengan merefleksikan
44
keutamaan arena kekuasaan, adalah menelusuri hubungan arena spesifik
tertentu dengan arena politik. Kedua adalah memetakan struktur objektif
hubungan antarposisi di dalam arena tersebut. akhirnya, analis harus berusaha
menentukan sifat habitus agen yang menduduki berbagai jenis posisi di dalam
arena tersebut.