BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 ... II.pdfperusahaan mereka. Namun demikian,...

24
BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Stakeholder Theory Teori Stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana memelihara hubungan Stakeholder yang mencakup semua bentuk hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder, perusahaan yang anggota utamanya adalah customers, pekerja, masyarakat, pemasok, dan shareholder (Hadiwijaya, 2013). Teori Stakeholder menunjukkan bahwa komunitas, atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan (Efandiana, 2010). Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang dianggap powerfull daripada hanya posisi shareholder saja. Menurut teori ini, manajemen sebuah organisasi diharapkan melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh para stakeholder mereka dan kemudian melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut kepada para stakeholder. Kelompok stakeholder inilah yang menjadi bahan pertimbangan utama bagi manajemen perusahaan dalam mengungkapkan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan. Kelompok-kelompok stakeholder tersebut meliputi pemegang saham, pelanggan, pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat (Pramelasari, 2010). Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan-hubungan di lingkungan

Transcript of BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 ... II.pdfperusahaan mereka. Namun demikian,...

BAB II

Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Stakeholder Theory

Teori Stakeholder digunakan untuk menjelaskan bagaimana memelihara

hubungan Stakeholder yang mencakup semua bentuk hubungan antara perusahaan

dengan seluruh stakeholder, perusahaan yang anggota utamanya adalah

customers, pekerja, masyarakat, pemasok, dan shareholder (Hadiwijaya, 2013).

Teori Stakeholder menunjukkan bahwa komunitas, atau masyarakat baik secara

keseluruhan maupun secara parsial memiliki hubungan serta kepentingan terhadap

perusahaan (Efandiana, 2010).

Teori stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang

dianggap powerfull daripada hanya posisi shareholder saja. Menurut teori ini,

manajemen sebuah organisasi diharapkan melakukan aktivitas yang dianggap

penting oleh para stakeholder mereka dan kemudian melaporkan kembali

aktivitas-aktivitas tersebut kepada para stakeholder. Kelompok stakeholder inilah

yang menjadi bahan pertimbangan utama bagi manajemen perusahaan dalam

mengungkapkan atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan.

Kelompok-kelompok stakeholder tersebut meliputi pemegang saham, pelanggan,

pemasok, kreditor, pemerintah, dan masyarakat (Pramelasari, 2010).

Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer

korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan

dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan-hubungan di lingkungan

perusahaan mereka. Namun demikian, tujuan yang lebih luas dari teori

stakeholder adalah untuk membantu manajer korporasi dalam meningkatkan nilai

dari dampak aktifitas-aktifitas mereka, dan meminimalkan kerugian-kerugian bagi

stakeholder. Pada kenyataannya, inti keseluruhan teori stakeholder terletak pada

apa yang akan terjadi ketika korporasi dan stakeholder menjalankan hubungan

bisnis (Mumpuni, 2013).

Stakeholder dalam hal ini, memiliki kewenangan untuk mempengaruhi

manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki oleh

organisasi. Karena hanya dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas

seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan value added untuk

kemudian mendorong kinerja keuangan dan nilai perusahaan yang merupakan

orientasi para stakeholder dalam mengintervensi manajemen (Widarjo, 2011).

Pihak perusahaan meyakini bahwa hubungan saling mempengaruhi antara

manajer dan stakeholder seharusnya dikelola dalam rangka untuk mencapai

kepentingan perusahaan yang semestinya tidak dibatasi pada asumsi konvensional

yaitu mencari keuntungan saja. Bagi perusahaan semakin penting stakeholder

maka semakin banyak usaha yang dilakukan untuk mengelola hubungan tersebut.

Perusahaan memandang informasi merupakan elemen utama yang dapat

digunakan untuk mengelola stakeholder dalam rangka mencari dukungan dan

persetujuan mereka atau untuk mengalihkan perlawanan dan ketidaksetujuan

mereka (Hadiwijaya, 2013).

Dalam konteks Intellectual Capital (IC), teori stakeholder memberikan

argumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk diperlakukan secara adil

dan manajer harus mengelola organisasi untuk keuntungan seluruh stakeholder.

Dengan memanfaatkan seluruh potensi perusahaan, baik karyawan (human

capital), aset fisik (capital employed), maupun structural capital, maka

perusahaan akan mampu menciptakan value added bagi perusahaan. Dengan

meningkatkan value added tersebut, maka kinerja keuangan perusahaan akan

meningkat sehingga kinerja keuangan di mata stakeholder juga akan meningkat

(Wicaksana, 2011).

2.1.2 Resources Based Theory (RBT)

Resource Based Theory adalah suatu pemikiran yang berkembang dalam

teori manajemen strategik dan keunggulan kompetitif perusahaan yang meyakini

bahwa perusahaan akan mencapai keunggulan apabila memiliki sumber daya yang

unggul (Solikhah, 2010).

Resources Based Theory membahas mengenai sumber daya yang dimiliki

perusahaan dan bagaimana perusahaan tersebut dapat mengelola dan

memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Kemampuan perusahaan dalam

mengelola sumber dayanya dengan baik dapat menciptakan keunggulan

kompetitif sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Chang et al. (2011)

menjelaskan bahwa dalam teori RBT (Resources Based Theory) ini, untuk

mengembangkan keunggulan kompetitif, perusahaan harus memiliki sumber daya

dan kemampuan yang superior dan melebihi para kompetitornya. Hal inilah yang

membuat intellectual capital sebagai sumber daya bagi perusahaan untuk

menciptakan value added bagi perusahaan dan nantinya akan tercapai keunggulan

kompetitif perusahaan (Pramelasari, 2010). Resource-Based Theory menyebutkan

bahwa keunggulan kompetitif perusahaan diperoleh dari kemampuan perusahaan

untuk merakit dan memanfaatkan kombinasi sumber daya yang tepat (Chang et

al., 2011).

Sumber daya harus memenuhi kriteria “VRIN” agar dapat memberikan

keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan (Madhani, 2009). Kriteria

“VRIN” adalah:

1) Valuable (V): sumber daya berharga jika memberikan nilai strategis bagi

perusahaan. Sumber daya memberikan nilai jika membantu perusahaan

dalam memanfaatkan peluang pasar atau membantu dalam mengurangi

ancaman pasar. Tidak ada keuntungan dari memiliki sumber daya jika tidak

menambah atau meningkatkan nilai perusahaan.

2) Rare (R): sumber daya yang sulit atau langka untuk ditemukan di antara

pesaing dan menjadi potensi perusahaan. Oleh karena itu sumber daya harus

langka atau unik untuk menawarkan keunggulan kompetitif. Sumber daya

yang dimiliki oleh beberapa perusahaan di pasar tidak dapat memberikan

keunggulan kompetitif, karena mereka tidak dapat merancang dan

melaksanakan strategi bisnis yang unik dibandingkan dengan kompetitor

lain.

3) Imperfect Imitability (I): sumber daya dapat menjadi dasar keunggulan

kompetitif yang berkelanjutan hanya jika perusahaan yang tidak memegang

sumber daya ini tidak dapat meniru sumber daya tersebut.

4) Non-Substitutability (N): non-substitusi sumber daya menunjukkan bahwa

sumber daya tidak dapat diganti dengan alternatif sumber daya lain. Di sini,

pesaing tidak dapat mencapai kinerja yang sama dengan mengganti sumber

daya dengan sumber daya alternatif lainnya.

Teori ini menyatakan bahwa Intellectual Capital memenuhi kriteria-kriteria

sebagai sumber daya yang unik untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi

perusahaan sehingga mampu menciptakan nilai bagi perusahaan dan dapat

menguasai serta memanfaatkan Intellectual Capital, maka perusahaan akan dapat

memperoleh keunggulan kompetitif yang berkesinambungan. Peran Intellectual

Capital semakin strategis, bahkan Intellectual Capital dikatakan memiliki peran

penting dalam upaya melakukan peningkatan nilai di berbagai perusahaan, hal ini

disebabkan adanya kesadaran bahwa Intellectual Capital merupakan landasan

bagi perusahaan untuk unggul dan bertumbuh (Murti, 2010).

2.1.3 Teori Legitimasi

Menurut Guthrie et al., (dalam Marisanti, 2012), legitimacy theory

berhubungan erat dengan pelaporan intellectual capital. Perusahaan lebih

mungkin untuk melaporkan intangible asset mereka, jika mereka memiliki

kebutuhan yang spesifik untuk melakukannya. Mereka tidak dapat melegitimasi

status mereka hanya lewat hard asset yang diakui sebagai simbol kesuksesan

tradisional perusahaan.

Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan

tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat

perusahaan beroperasi. hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan

bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan

kegiatan berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi

berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan. Teori

legitimasi menyatakan bahwa organisasi harus secara terus menerus mencoba

untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan

norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2010).

Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus

berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi

untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori

legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan

kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan

tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan,

sehingga mereka diterima oleh masyarakat.

2.1.4 Kinerja Keuangan Perusahaan

2.1.4.1 Pengertian Kinerja Keuangan Perusahaan

Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat

sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-

aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Seperti dengan membuat

suatu laparan keuangan yang telah memenuhi standar dan ketentuan dalam SAK

(Standar Akutansi Keuangan) atau GAAP (General Acepted Accouting Principle)

(Fahmi, 2011: 2).

Menurut Munawir (2010: 30), kinerja keuangan perusahaan merupakan

satu diantara dasar penilaian mengenai kondisi keuangan perusahaan yang

dilakukan berdasarkan analisa terhadap rasio keuangan perusahaan. Pihak yang

berkepentingan sangat memerlukan hasil dari pengukuran kinerja keuangan

perusahaan untuk dapat melihat kondisi perusahaan dan tingkat keberhasilan

perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.

Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan.

Kinerja dapat menjadi tolak ukur kemampuan perusahaan dalam mengelola dan

mengalokasikan segala sumber daya yang dimilikinya. Perusahaan harus terus

melakukan peningkatan terhadap kualitas dan kinerja perusahaan, agar tujuan

perusahaan tercapai. Laporan tahunan perusahaan merupakan informasi yang

memberikan gambaran tentang kinerja perusahaan yang diberikan oleh

manajemen perusahaan kepada stakeholder (Hadiwijaya, 2013).

Kinerja keuangan perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh

suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang telah

ditetapkan sebelumnya. Hendaknya kinerja perusahaan merupakan hasil yang

dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai

ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang telah dicapai maka

dilakukan penilaian kinerja (Danu, 2011).

2.1.4.2 Tujuan Kinerja Keuangan Perusahaan

Tujuan penilaian kinerja perusahaan menurut Munawir (2010: 31) adalah

sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui tingkat likuiditas, yaitu kemampuan perusahaan untuk

memperoleh kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi atau

kemampuan perusahaan untuk memenuhi keuangannya pada saat ditagih.

2) Untuk mengetahui tingkat solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan untuk

memenuhi kewajiban keuangannya apabila perusahaan tersebut dilikuidasi

baik kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.

3) Untuk mengetahui tingkat rentabilitas atau profitabilitas, yaitu menunjukkan

kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.

4) Untuk mengetahui tingkat stabilitas usaha, yaitu kemampuan perusahaan

untuk melakukan usahanya dengan stabil, yang diukur dengan

mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk membayar beban bunga

atas hutang-hutangnya termasuk membayar kembali pokok hutangnya tepat

pada waktunya serta kemampuan membayar deviden secara teratur kepada

para pemegang saham tanpa mengalami hambatan atau krisis keuangan.

Penelitian ini menggunakan rasio profitablitas, dimana rasio ini merupakan

perhitungan keuangan yang digunakan oleh para investor untuk mengevaluasi

kinerja perusahaan go public serta untuk menilai kemampuan perusahaan dan

mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas

manajemen suatu perusahaan. Menurut Fahmi (2012), adapun manfaat yang bisa

diambil dengan dipergunakan rasio keuangan, yaitu:

1) Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai alat

menilai kinerja dan prestasi perusahaan.

2) Analisis rasio keuangan sangat bermanfaat bagi pihak manajemen sebagai

rujukan untuk membuat perencanaan.

3) Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengevaluasi

kondisi suatu perusahaan dari perspektif keuangan.

4) Analisis rasio keuangan juga bermanfaat bagi para kreditur dapat digunakan

untuk memperkirakan potensi resiko yang akan dihadapi dikaitkan dengan

adanya jaminan kelangsungan pembayaran bunga dan pengembalian pokok

pinjaman.

5) Analisis rasio keuangan dapat dijadikan sebagai penilaian bagi pihak

stakeholder organisasi.

2.1.4.3 Profitabilitas

Rasio profitabilitas menurut Weston dan Copeland (2010:237) adalah

mengukur efektivitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang dihasilkan

dari penjualan dan investasi. Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang

dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan

oleh laba yang dihasilkan perusahaan tersebut. Profitabilitas adalah kemampuan

perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva,

maupun modal sendiri (Sartono, 2010:122). Menurut Kasmir (2011:196) rasio

profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam

mencari keuntungan.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam

memperoleh keuntungan untuk kelangsungan kegiatan operasional perusahaan

dimasa yang akan datang. Dimana profitabilitas dapat memberikan informasi

tentang keadaan ataupun pertumbuhan dari perusahaan dilihat dari laba

perusahaan. Umumnya profitabilitas diukur dengan membandingkan antara laba

yang diperoleh perusahaan dan beberapa perkiraan yang menjadi tolak ukur

keberhasilan perusahaan. Menurut Riyanto (2010:335) Rasio profitabilitas terdiri

dari beberapa jenis, yaitu Return on Equity (ROE), Return on Asset (ROA), dan

Net Profit Margin.

Penilaian kinerja dalam penelitian ini menggunakan ROA karena salah satu

indikator kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dalam kegiatan

operasi merupakan fokus utama dalam penilaian prestasi perusahaan. Laba

menjadi indikator kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada

kreditur dan investor, serta merupakan bagian dalam proses penciptaan nilai

perusahaan berkaitan dengan prospek perusahaan di masa depan. Return on asset

(ROA) lebih dipilih daripada return on equity (ROE) karena total ekuitas yang

merupakan denominator ROE adalah salah satu komponen dari Value added of

Capital Employed (VACA). Jika menggunakan ROE, maka akan terjadi double

counting atas akun yang sama (yaitu ekuitas), dimana VACA (yang dibangun dari

akun ekuitas dan laba bersih) sebagai variabel independen dan ROE (yang juga

dibangun dari akun ekuitas dan laba bersih) menjadi variabel dependen (Ulum

dkk. 2008). Dewi (dalam Hadiwijaya, 2013) menjelaskan bahwa ROA mengukur

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total

asset yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi nilai ROA, semakin efisien

perusahaan dalam menggunakan asetnya, baik aset fisik maupun aset non-fisik

(intellectual capital) akan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.

2.1.4.4 Keunggulan Return on Asset (ROA)

Keunggulan ROA menurut Linawati (dalam Setiawan, 2011) adalah

sebagai berikut:

1) ROA merupakan pengukuran yang komprehensif, dimana seluruhnya

mempengaruhi laporan keuangan yang tercermin dari rasio ini.

2) ROA mudah dihitung, dipahami, dan sangat berarti dalam nilai absolut.

3) ROA merupakan denominator yang dapat diterapkan pada setiap unit

organisasi yang bertanggungjawab terhadap profitabilitas dan unit usaha.

Bagi para pemodal yang akan melakukan transaksi pembelian saham suatu

perusahaan, penilaian terhadap kemapuan perusahaan dalam menghasilkan laba

merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini dikarenakan apabila laba

perusahaan meningkat, maka harga saham perusahaan juga akan meningkat

dengan kata lain, profitabilitas akan mempengaruhi harga saham.

2.1.5 Intellectual Capital

2.1.5.1 Pengertian Intellectual Capital (IC)

Intellectual Capital pertama kali diperkenalkan oleh Jon Kenneth

Galbraith pada tahun 1969 (Chang et al., 2011). Kozak (2011) menyatakan bahwa

Intellectual Capital Masih dalam tahap pengembangan dan belum ada

keseragaman definisi yang diterima untuk mengidentifikasi sub komponennya.

Aset tidak berwujud pada umumnya merupakan properti intelektual perusahaan

(seperti paten, hak cipta dan lainnya), goodwill serta pengakuan merek (Chang et

al., 2011).

Intellectual Capital mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi

dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah dan menyebabkan

keunggulan kompetitif berkelanjutan. Modal intelektual telah di identifikasi

sebagai seperangkat tak berwujud (sumber daya, kemampuan, dan kompetensi)

yang menggerakkan kinerja organisasi dan penciptaan nilai (Pangestika, 2010).

Zéghal dan Maaloul (2010) menyatakan bahwa saat ini beberapa

perusahaan menginvestasikan dalam pelatihan karyawan, penelitian dan

pengembangan, hubungan pelanggan, sistem komputer dan administrasi, dll.

Investasi ini sering disebut sebagai intellectual capital yang bertumbuh dan

bersaing dengan investasi modal fisik dan keuangan.

Intellectual Capital merupakan suatu konsep yang dapat memberikan

sumber daya berbasis pengetahuan baru dan mendeskripsikan aset tak berwujud

yang jika digunakan secara optimal memungkinkan perusahaan untuk

menjalankan strateginya dengan efektif dan efisien. Dengan demikian intellectual

capital merupakan pengetahuan yang memberikan informasi tentang nilai tak

berwujud perusahaan yang dapat mempengaruhi daya tahan dan keunggulan

bersaing (Hadiwijaya, 2013).

Intellectual Capital adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan

peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang

mengatakan bahwa Intellectual Capital sangat besar peranannya di dalam

menambah nilai suatu kegiatan, Intellectual Capital terletak pada kemampuan

untuk berfikir dan kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru (Putera,

2014).

Intellectual Capital merupakan aset tidak berwujud, termasuk informasi

dan pengetahuan yang dimiliki badan usaha yang harus dikelola dengan baik

untuk memberikan keunggulan kompetitif bagi badan usaha (Gunawan dkk.,

2013). Intellectual Capital adalah ilmu pengetahuan atau daya pikir yang dimiliki

oleh perusahaan, tidak memiliki bentuk fisik (tidak berwujud), dan dengan adanya

modal intelektual tersebut, perusahaan akan mendapatkan tambahan keuntungan

atau kemapanan proses usaha serta memberikan perusahaan suatu nilai lebih

dibanding dengan kompetitor atau perusahaan lain (Puspitasari, 2011).

Berdasarkan Pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa

Intellectual Capital merupakan suatu modal tak berwujud yang terdiri dari elemen

human capital, structural capital dan customer capital yang dapat memberikan

nilai lebih atau keuntungan bagi perusahaan serta pengetahuan yang harus

dikelola oleh perusahaan dengan baik untuk memberikan keunggulan kompetitif.

2.1.5.2 Komponen Utama Intellectual Capital

Secara umum komponen Intellectual Capital adalah sebagai berikut:

1) Human Capital

Human capital adalah kompetensi, pengetahuan, keterampilan, dan

kepribadian yang dimiliki oleh karyawan untuk melakukan kegiatan yang

bermanfaat sehingga menghasilkan nilai ekonomi bagi perusahaan

(Pramudita, 2012). Perusahaan yang mempunyai sumber daya manusia

dengan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang unggul, maka

dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga mencapai

keunggulan kompetitif. Apabila human capital dapat diolah dan

dimanfaatkan dengan baik, maka human capital akan menjadi sumber daya

kunci perusahaan (Kusumo, 2012). Sebagai human capital, seorang

karyawan harus bisa mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuan

mereka menjadi tindakan yang sejalan dengan strategi bisnis dan

berkontribusi menjadi pencipta value yang berwujud maupun tidak

berwujud bagi perusahaan.

2) Structural capital

Structural capital meliputi struktur organisasi, strategi, rangkaian

proses, budaya kerja yang baik, serta kemampuan perusahaan dalam

memenuhi seluruh rutinitas perusahaan. Amiri et al., (2010) berpendapat

bahwa structural capital adalah pengetahuan yang diciptakan oleh

organisasi dan tidak dapat dipisahkan dari entitas organisasi tersebut.

Seseorang mungkin dapat mempunyai intelektualitas yang tinggi, tetapi jika

perusahaan mempunyai sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual

capital tidak dapat mencapai kinerja yang baik dan potensi yang ada tidak

dapat digunakan secara optimal (Tarigan, 2011).

3) Customer Capital / Capital Employed

Chang et al., (2011) menyatakan Customer Capital merupakan

pengetahuan yang berhubungan dengan stakeholder yang mempengaruhi

perusahaan. Customer capital merupakan Pihak diluar perusahaan yang

berbisnis dengan perusahaan dan mempunyai hubungan baik dengan

perusahaan (Pramudita, 2012). Customer capital berbasis pada hubungan

antara organisasi dan konsumen (Khalique et al., 2011). Dengan demikian

customer capital merupakan komponen penting dari Intellectual Capital

(IC) dan customer capital berbasis pada kepuasan konsumen, loyalitas, dan

jaringan kerja atau network.

2.1.5.3 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM

)

Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM

) adalah sebuah metode

yang dikembangkan oleh Pulic (2000), untuk menyajikan informasi tentang value

creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tak berwujud

(intangible asset) yang dimiliki oleh perusahaan. VAIC merupakan alat untuk

mengukur kinerja intellectual capital perusahaan. Model ini relatif mudah dan

sangat mungkin untuk dilakukan karena dikonstruksikan dari akun-akun dalam

laporan keuangan (neraca, laporan laba rugi). Perhitungannya dimulai dengan

kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah

indikator paling obyektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (value creation). Value added

didapat dari selisih antara output dan input. Metode ini menggunakan pendekatan

tidak langsung untuk mengukur Intellectual Capital (IC) dengan mengukur

efisiensi dari nilai tambah sebagai hasil kemampuan intelektual perusahaan.

Konsep nilai tambah adalah indikator objektif secara keseluruhan dari kesuksesan

bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai dengan

memasukkan investasi sumber daya termasuk gaji dan bunga untuk aset

keuangan, deviden, pajak serta biaya research and development (Solikhah, 2010).

Nilai output (OUT) adalah revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa

yang dihasilkan perusahaan untuk dijual, sedangkan input (IN) meliputi seluruh

beban yang digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam

rangka menghasilkan revenue. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa beban

karyawan tidak termasuk dalam IN, karena karyawan berperan penting dalam

proses penciptaan nilai.

Proses value creation dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC),

Capital Employed (CE), dan Structural Capital (SC).

1) Value added of Capital Employed (VACA)

Value Added of Capital Employed (VACA) adalah indikator untuk

VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic (1998)

mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE (Capital Employed)

menghasilkan return yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka

berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE-nya.

Dengan demikian, pemanfaatan (Intellectual Capital) IC yang lebih baik

merupakan bagian dari (Intellectual Capital) IC perusahaan.

2) Value Added Human Capital (VAHU)

Value Added Human Capital (VAHU) menunjukkan berapa banyak

VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja.

Hubungan antara VA dengan HC mengindikasikan kemampuan HC untuk

menciptakan nilai di dalam perusahaan.

3) Structural Capital Value Added (STVA)

Structural Capital Value Added (STVA) menunjukkan kontribusi

structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC

yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan

indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC bukanlah

ukuran yang independen sebagaimana HC dalam proses penciptaan nilai.

Artinya, semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan

semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic

menyatakan bahwa SC adalah VA dikurangi HC.

2.1.6 Intellectual Capital Disclosure

2.1.6.1 Konsep Intellectual Capital Disclosure

Intellectual Capital Disclosure merupakan cara untuk mengatasi kendala

pelaporan modal intelektual dalam laporan keuangan (Sir dkk. 2010). Intellectual

Capital Disclosure diperlukan untuk mengurangi asimetri informasi sehingga

membantu investor untuk memutuskan tujuan investasinya. Pengungkapan

meliputi ketersediaan informasi keuangan dan nonkeuangan berkaitan dengan

interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat

dibuat dalam laporan tahunan perusahaan (Guthrie dan Parker dalam Suhardjanto

dan Wardhani, 2010).

Menurut Hendriksen (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010),

pengungkapan adalah pemberian informasi dalam laporan tahunan, yang berisi

pernyataan, catatan mengenai pernyataan, dan tambahan pengungkapan informasi

yang terkait dengan catatan. Tiga konsep disclosure yang umumnya dikemukakan

yaitu adequate, fair dan full disclosure (Hendriksen, dalam Suhardjanto dan

Wardhani, 2010).

Singhvi dan Desai (dikutip dari Suhardjanto dan Wardhani, 2010)

menunjukkan bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui

laporan tahunan, yang berguna bagi investor dalam hal pengambilan keputusan

investasi. Pengungkapan IC sampai saat ini sebagian masih bersifat sukarela

karena hanya physical capital yang telah diatur oleh profesi akuntansi (Yuniasih,

2011). Bila perusahaan tidak mengungkapkan informasi mengenai aktiva tidak

berwujudnya maka akan ada beberapa konsekuensi negatif yang ditimbulkan.

Misalnya terjadi volatilitas harga saham karena investor kurang memiliki

informasi mengenai aktiva tidak berwujud perusahaan sehingga keputusan yang

dibuat tidak akurat.

Di Indonesia, Intellectual Capital Disclosure merupakan pengungkapan

yang bersifat sukarela (voluntary), dan belum ada standar akuntansi yang

mengatur mengenai tata cara pengungkapan informasi Intellectual Capital

perusahaan. Hal ini mengakibatkan masih kurangnya kesadaran perusahaan dalam

menyampaikan informasi ini kepada para stakeholder (Yulistina, 2011).

2.I.6.2 Komponen Intelectual Capital Disclosure

Menurut Guthrie et al., (dalam Puasanti, 2013) Komponen-komponen

Intellectual Capital Disclosure adalah sebagai berikut:

1) Merk terdiri dari 5 komponen meliputi: Merk, Pengakuan Merk,

Perkembangan Merk, Goodwill, dan Trademark semua ini berkaitan dan

berhubungan dengan nama logo ataupun merk yang dimiliki oleh

perusahaan dan memiliki nilai instrinstik didalamnya.

2) Kompetisi terdiri dari 11 komponen meliputi: kecerdasan, ilmu

pengetahuan, keterampilan, pendidikan, competence, motivasi, keahliah,

intangible skills, daya pikir, spesialisasi, dan training semua komponen ini

berhubungan dengan kualitas yang dimiliki oleh pegawai. “pelatihan”

merupakan komponen yang secara logis terpisah tetapi memiliki konsep

terkait (seperti halnya proses yang terus berlangsung dalam perusahaan, dan

tidak hanya sekedar atribut pegawai).

3) Budaya perusahaan terdiri dari 4 komponen meliputi: budaya perusahaan,

filosofi manajemen, kepemimpinan, dan komunikasi semua komponen ini

merupakan komponen lingkungan yang memberikan fasilitas berupa

lingkungan kerja yang produktif dan kreatif.

4) Konsumen terdiri dari 8 komponen meliputi: kepuasan konsumen,

pengakuan konsumen, loyalitas konsumen, customer base, mempertahankan

konsumen, customer service, customer support dan market share semua

komponen ini berhubungan dengan faktor konsumen sebagai asset

perusahaan.

5) Teknologi informasi terdiri dari 7 komponen meliputi: teknologi informasi,

jaringan, computer software, operating system, electronic data interchange,

semua ini berhubungan dengan perangkat keras ataupun perangkat lunak

dari sebuah manajemen informasi. Telekomunikasi dan infrastruktur

berhubungan dengan teknologi informasi, tetapi tidak secara khusus, jadi hal

ini akan diikutsertakan dalam kategori ini.

6) Intellectual property terdiri dari 7 komponen meliputi: intellectual property,

hak paten, hak cipta, assets perusahaan semua komponen ini dalam lembar

neraca perusahaan yang konvensional akan disertakan dalam intangibles,

yang secara khusus didefinisikan dan dinyatakan sebagai asset dilindungi

dan juga disertakan dalam kategori ini sebagai kesepakatan pemberian surat

ijin dan kesepakatan untuk melakukan franchising yang terpisah tetapi

memiliki konsep terkait.

7) Partnership dan rekanan terdiri dari 2 komponen meliputi: rekanan dan join

venture. Kategori ini mengacu pada perjanjian pekerjaan dengan entitas lain

yang menghasilkan suatu produk dimana entitas lain tidak dapat

memproduksinya secara individual. Masing-masing entitas ini memberikan

sejumlah pengaruh dalam literatur yang mendukung nilainya sebagai

kategori tunggal.

8) Personil terdiri dari 7 komponen meliputi: sumber daya manusia, kepuasan

pegawai, personil, employee retention, fleksibilitas waktu,

telecommunication, pemberdayaan semua ini merupakan komponen yang

berhubungan dengan asset tenaga kerja atau asset sumber daya manusia bagi

perusahaan, baik secara langsung maupun mengacu pada kebijakan

spesifikasi yang dapat membantu untuk mempertahankan konsumen yang

berkualitas.

9) Proses kepemilikan terdiri dari 6 komponen meliputi: inovasi, inovatif,

proses kepemilikan, rahasia dagang, dan metodologi lainnya. Semua

komponen ini berhubungan dengan cara pengiriman produk berupa barang

atau jasa yang lebih baik oleh perusahaan. Semua ini termasuk dalam

kategori yang disebut dengan nilai tambah yang merupakan konsep terpisah

tetapi berkaitan.

10) Resource & Development komponen ini merupakan kategori tunggal yang

berhubungan dengan usaha penelitian secara terus menerus untuk

menghasilkan produk atau jasa terbaru. Hal ini juga merupakan konsep

penting yang seringkali disebutkan dalam literatur yang merupakan

komponen terpisah secara logis dari semua komponen modal intelektual

lainnya.

2.1.6.3 Manfaat Intellectual Capital Disclosure

Manfaat Intellectual Capital Disclosure antara lain dapat mendongkrak

reputasi, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi perusahaan, serta

memberikan informasi yang lebih komprehensif untuk membuat keputusan

investasi. Intellectual Capital Disclosure merupakan informasi privat yang

penting (Aboody dan Lev, 2000) sehingga dapat dijadikan sebagai dasar

keputusan investasi, menurunkan risiko estimasi, mencapai harga saham yang

tepat, serta menurunkan biaya ekuitas. Beberapa perusahaan memilih untuk tidak

mengungkapkan modal intelektual secara komprehensif karena manajer khawatir

jika pesaing dapat mengetahui letak keunggulan perusahaan (Mangena et al.,

2010). Hal ini terjadi pada perusahaan kelas menengah kebawah yang masih

rentan tergilas persaingan bisnis.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM

) terhadap

Kinerja Keuangan Perusahaan.

Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM

) sebagai ukuran efisiensi

intellectual capital yang terdiri dari tiga komponen yaitu Human Capital,

Structural Capital, dan Capital Employed. Kombinasi dari ketiga komponen

tersebut akan menghasilkan nilai perusahaan. Perusahaan dalam mengelola

pengetahuan, keterampilan dan keahlian modal manusia dengan didukung oleh

modal struktural yang memudahkan dalam kegiatan operasional perusahaan,

ditambah pula dengan modal yang digunakan akan meningkatkan aset perusahaan

tersebut. Semakin baik perusahaan dalam mengelola ketiga komponen intellectual

capital, menunjukkan semakin baik perusahaan dalam mengelola aset

(Wahdikorin, 2010).

Return on assets (ROA) merupakan rasio profitabilitas yang mengukur

jumlah laba yang diperoleh dari tiap rupiah aset yang dimiliki oleh perusahaan.

Return on assets (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melakukan

efisiensi penggunaan total aset untuk operasional perusahaan. Semakin tinggi

Return on assets (ROA) suatu perusahaan semakin tinggi pula keuntungan yang

dicapai perusahaan tersebut dan semakin baik posisi perusahaan dari segi

penggunaan aset. Return on assets (ROA) juga memberikan gambaran tentang

bagaimana perusahaan mengkonversikan dana yang telah diinvestasikan menjadi

laba bersih kepada para investor.

Sesuai dengan resource based theory, dimana dengan memiliki sumber

daya dan pengetahuan yang dikelola dengan baik akan meningkatkan kinerja

perusahaan. Apabila perusahaan memiliki intellectual capital yang baik maka

nilai kinerja perusahaan dalam laporan keuangan meningkatkan kepercayaan para

stakeholder terhadap perusahaan, karena stakeholder percaya dengan perusahaan

sehingga stakeholder mau berinvestasi pada perusahaan tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Zuliyati (2011), Kumukama et al., (2011),

Kumalasari dan Astika (2011), Comepa et al., (2011) menunjukkan bahwa

Intellectual Capital (IC) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan yang

diproksikan dengan Return on assets (ROA). Berdasarkan penjelasan diatas, maka

hipotesis penelitian ini adalah

H1: Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM

) berpengaruh positif terhadap

kinerja keuangan.

2.2.2 Pengaruh Intellectual Capital Disclosure terhadap kinerja keuangan

perusahaan.

Legitimacy theory mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan

sukarela sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban terhadap kontrak sosial

yang dimiliki antara perusahaan dengan komunitas disekitarnya (Guthrie et al.,

2004). Selain pengungkapan sukarela, aset tidak berwujud berupa Intellectual

Capital, perusahaan juga mengungkapkan hasil kinerja finansial atau hasil kinerja

ekonomi (Utomo, 2015).

Rasio profitabilitas memberikan informasi mengenai kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan tingkat pengembalian dan mengukur tingkat

efisiensi dan efektivitas dari aktivitas operasional perusahaan akan penggunaan

asset yang dimiliki perusahaan dalam pengkreasian nilai perusahaan. Kestabilan

rasio ini menunjukkan stabilitas tingkat pengembalian atas modal yang ditanam

oleh investor (Wardhani, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Ulum (2009) dan Wardhani (2009) yang

menyatakan bahwa Intellectual Capital Disclosure berpengaruh positif signifikan

pada kinerja perusahaan di BEI, namun hasil yang berbeda penelitian yang

dilakukan oleh Nugroho (2015) menyatakan bahwa Intellectual Capital

Disclosure tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan (ROA).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka hipotesis penelitan ini adalah:

H2: Intellectual Capital Disclosure berpengaruh Positif terhadap kinerja

keuangan.