BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevanrepository.ump.ac.id/270/3/Otih Nurhayati_BAB...

41
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan Menurut pengamatan penulis, sudah ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya tentang kebudayaan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Evi Noviana pada tahun (2007) yang berjudul Unsur-unsur Kebudayaan Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari (Tinjauan Antropologi Sastra). Hasil penelitian Evi Noviana ini yaitu ada tiga unsur kebudayaan Jawa yang terdapat dalam CBE. Tiga unsur kebudayaan Jawa tersebut yaitu sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu data penelitian ini berupa teks yang mengandung wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Penelitian ini akan membahas wujud budaya serta konstruksi wujud budaya Jawa tersebut dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi Noviana yaitu membahas unsur kebudyaan Jawa. Kebudayaan Jawa tersebut khususnya budaya Jawa daerah Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Penelitian kedua dilakukan oleh Novi Septiantika mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada tahun (2014). Penelitian tersebut berjudul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Yang Mengawini Keris Karya Wayan Sunarta 10 Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevanrepository.ump.ac.id/270/3/Otih Nurhayati_BAB...

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian yang Relevan

Menurut pengamatan penulis, sudah ada beberapa penelitian yang telah

dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto FKIP Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya tentang kebudayaan. Penelitian tersebut

dilakukan oleh Evi Noviana pada tahun (2007) yang berjudul Unsur-unsur

Kebudayaan Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

(Tinjauan Antropologi Sastra). Hasil penelitian Evi Noviana ini yaitu ada tiga unsur

kebudayaan Jawa yang terdapat dalam CBE. Tiga unsur kebudayaan Jawa tersebut

yaitu sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Perbedaan dengan penelitian

yang dilakukan yaitu data penelitian ini berupa teks yang mengandung wujud

kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi.

Penelitian ini akan membahas wujud budaya serta konstruksi wujud budaya Jawa

tersebut dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi. Berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Evi Noviana yaitu membahas unsur kebudyaan

Jawa. Kebudayaan Jawa tersebut khususnya budaya Jawa daerah Banyumas dalam

novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Penelitian kedua dilakukan oleh Novi Septiantika mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Purwokerto Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada tahun

(2014). Penelitian tersebut berjudul Wujud dan Unsur Kebudayaan Bali dalam

Kumpulan Cerpen Perempuan Yang Mengawini Keris Karya Wayan Sunarta

10 Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

11

(Studi Antropologi Sastra). Hasil penelitiannya yaitu tiga wujud kebudayaan dan

tujuh unsur kebudayaan Bali dalam kumpulan Cerpen Perempuan yang Mengawini

Keris. Tiga wujud kebudayaan tersebut yaitu ide, aktivitas, dan hasil karya. Wujud Ide

di antaranya yaitu gagasan tentang nyentana, ngaben,balian, leak dan sebagainya.

Wujud aktivitas di antaranya yaitu aktivitas tentang rapat adat, nyentana, sesaji, seni

patung, seni lukis, seni tari dan ngaben. Wujud hasil karya di antaranya yaitu

pengerupak, tombak, patung, leak, bade, lukisan dan sebagainya. Sedangkan tujuh

unsur kebudayaan tersebut yaitu: (1) Bahasa, contoh penggunaan kata bli; (2) Sistem

pengetahuan, contohnya pengetahuan alam flora terhadap kayu, daun lontar, dan

pengerupak; (3) Organisasi sosial, contohnya nyentana, klian, rapat adat, dan

kelompok janger; (4) Sitem peralatan hidup dan teknologi, contohnya sistem

persenjataan meliputi tombak, keris dan panah; (5) Sistem mata pencaharian

contohnya membuat patung dan menjual manik-manik; (6) Sitem religi contohnya

leak, balian, karmapala dan ngaben; dan (7) Kesenian contohnya seni patung, seni

lukis dan seni musik.

Penelitian yang dilakukan oleh Novi Septiantika berbeda dengan penelitian

yang dilakukan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan yaitu penelitian ini

membahas wujud kebudayaan Jawa dalam kumpulan cerpen Pelajaran Pertama bagi

Calon Politisi berikut konstruksi wujud kebudayaannya, sedangkan penelitian Novi

Septiantika membahas wujud dan unsur kebudayaan Bali dalam kumpulan cerpen

Perempuan yang Mengawini Keris. Dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Novi Septiantika maupun Evi Noviana. Oleh karena

itu, peneliti berpendapat bahwa penelitian ini perlu dilakukan.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

12

B. Pengertian Cerpen

Sastra merupakan bagian intergral dari kebudayaan, menceritakan berbagai

aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Bentuk karya

sastra yaitu prosa dan puisi. Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang berbentuk

prosa. Graff (dalam Liliweri, 2014: 416) menyatakan bahwa prosa adalah suatu

bentuk bahasa yang memiliki sintaksis biasa sebagaimana terdengar dalam pidato

alami, prosa tidak terlalu memerlukan struktur ritme karena lebih mengutamakan

standar ukuran dalam kalimat daripada puisi yang tergantung pada garis sebagai

penentu irama.

Noor (2007:26-29) menguraikan bahwa prosa dalam sastra modern lebih

dikenal dengan isilah cerita rekaan (cerkan). Macam-macam cerita rekaan dalam

sastra modern antara lain novel, cerita pendek (cerpen), dan novela (cerita pendek

yang panjang. Setiap karya sastra mengandung unsur-unsur instrinsik, yaitu unsur-

unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Misalnya dalam cerita rekaan berupa

tema, amanat, alur (plot), tokoh, latar (setting), dan pusat penceritaan (point of view).

Setiap karya sastra juga mengandung unsur ekstrinsik, yaitu unsur-unsur dari luar

yang mempengaruhi isi karya sastra. Unsur-unsur ekstrinsik itu misalnya psikologi,

sosiologi, agama, sejarah, filsafat, idiologi, politik, dan lain-lain.

Salah satu karya sastra prosa baru yaitu cerpen. Nurgiyantoro (2010: 9)

menguraikan bahwa novel dan cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang

sekaligus disebut fiksi. Cerpen sesuai namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi,

berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu

kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (dalam

Nurgiyantoro, 2010: 9-11) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

13

selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam-

suatu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Panjang cerpen

bervariasi ada cerpen yang pendek (short story), bahkan mungkin pendek sekali:

berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukup (middle short story), serta

ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan

beberapa puluh) ribu kata. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya

mengemukakan secara lebih banyak, secara implisit dari sekedar apa yang diceritakan.

Liliweri (2014: 419-420) menguraikan bahwa cerpen adalah bentuk prosa yang

menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling

menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan tetapi hal itu tidak

menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Cerita pendek merupakan suatu bentuk

prosa naratif fiktif yang cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan

karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella dan novel. Karena singkatnya,

cerita-cerita pendek yang sukses mengandalakan teknik-teknik sastra seperti tokoh,

plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih

panjang.

Sedangkan Sayuti (2000: 9) menyatakan bahwa cerpen merupakan karya prosa

fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat

membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Maka kesimpulannya, bahwa

cerpen adalah karya prosa fiksi yang dengan panjang sekitar 5000 kata dan dapat

dibaca sekali duduk, serta merupakan kebulatan ide yang dapat membangkitkan efek

tertentu dalam diri pembaca. Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat

disimpulkan bahwa cerpen merupakan salah satu prosa fiksi yang padat dan langsung

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

14

pada tujuannya, menceritakan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang

terpenting dan paling menarik.

C. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

Koentjaraningrat (2009: 144-145) menerangkan bahwa menurut ilmu antropologi,

kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia

dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal

tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah “kebudayaan” karena

hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak

perlu dibiasakannya dengan belajar. Bahkan berbagai tindakan manusia yang

merupakan kemampuan nalurinya (seperti misalnya makan, minum atau berjalan

dengan kedua kakinya) juga diubah olehnya menjadi tindakan berkebudayaan.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan meliputi sistem ide atau gagasan yang

terdapat dalam pikiran manusia sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu

bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang

diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya berupa perilaku dan benda-

benda yang bersifat nyata. Misalnya pola-pola perilaku bahasa, peralatan hidup,

organisasi sosial, religi, seni dan lain-lain. Semua itu ditujukan untuk membantu

manusia dalam melangsungkan kehidupan masyarakatnya (Herimanto, 2010: 24-25)

Sementara itu, Sulasman dan Setia Gumilar (2013:18-19) menyatakan bahwa

kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di

masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam pengertian luas, adalah makna,

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

15

nilai, adat, ide, dan simbol yang relatif. Kebudayaan mewakili pandangan bahwa

kebudayaan merupakan kenyataan objektif, sehingga kenyataan budaya itu bisa

ditemukan di dalam institusi dan tradisi. Adapun dalam pengertian sempit,

kebudayaan adalah memiliki kandungan spiritual dan intelektual yang tinggi. Dari

beberapa pendapat yang sudah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa

kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia, yang diperoleh dengan cara

belajar mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat, moral, pengetahuan,

kesenian, kemampuan-kemampuan, kebiasaan-kebiasaan dan hasil karya.

2. Wujud kebudayaan

Kebudayaan dapat dibedakan dalam dua wujud, yaitu material culture

(kebudayaan materiil) dan nonmaterial culture (kebudayaan nonmateriil). Untuk

istilah yang kedua nonmaterial culture ada pula yang menyebutnya immaterial

culture. Cateora (dalam Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 38) menguraikan bahwa

kebudayaan materiil mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.

Termasuk dalam kebudayaan materiil adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari

penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.

Kebudayaan materiil juga mencakup barang-barang seperti televisi, pesawat terbang,

stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit dan mesin cuci. Sedangkan

kebudayaan nonmateriil adalah ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke

generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat atau lagu tradisional.

Ogburn dan Nimkoff (dalam Liliweri, 2014: 12-14) menguraikan bahwa

kebudayaan dibedakan menjadi dua wujud, yaitu kebudayaan material dan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

16

kebudayaan non-material. Kebudayaan material terdiri dari benda-benda konkret yang

nyata seperti peralatan, furniture, mobil, buku, bangunan, bendungan sebagai benda

nyata buatan manusia. Kebudayaan material mengacu pada benda-benda fisik, sumber

daya, dan ruang yang digunakan orang untuk mendefinisikan budaya mereka.

Kebudayaan non-material terdiri dari benda-benda abstrak yang tidak berwujud,

misalnya adat istiadat, tradisi, kebiasaan, perilaku, sikap, kepercayaan, bahasa, sastra,

seni, hukum, agama dan lain-lain. Semua bentuk non material tersebut bersifat internal

karena mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tertentu.

Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide nonfisik yang dimiliki oleh

sekelompok orang, misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, aturan, norma, moral,

bahasa, organisasi, dan pranata sosial.

Dua komponen kebudayaan berupa material culture dan nonmaterial culture,

adapula yang menyebutnya dengan istilah budaya tangibel dan intangible. Sedyawati

(2006: 160-164) menguraikan bahwa budaya tangible yaitu budaya yang berwujud

dapat disentuh berupa benda konkret, pada umumnya berupa benda hasil buatan

manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Namum pada khususnya,

terdapat pula di mana suatu benda alami, tidak diberi pengerjaan apa pun oleh tangan

manusia, menjadi warisan budaya karena pada masa berfungsinya benda tersebut

diberi makna budaya oleh manusia. Sedangkan budaya intangble adalah budaya yang

tidak berwujud, tidak dapat diraba, bersifat abstrak, seperti konsep dan nilai.

Aspek-aspek intangible atau “takbenda” itu dapat berkenaan dengan : 1).

Konsep mengenai benda itu sendiri; 2). Perlambangan yang diwujudkan melalui

benda itu; 3). Kebermaknaan dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya; 4). Isi

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

17

pesan yang terkandung di dalamnya, khususnya apabila terdapat tulisan padanya; 5).

Teknologi untuk membuatnya; ataupun 6). Pola tingkah laku yang terkait dengan

pemanfaatannya. Bagaimanapun, suatu benda budaya yang bersifat tangible karena

sifat budayanya itu tentu mempunyai juga sesuatu atau sejumlah aspek intangible (tak

dapat diraba) yang melekat padanya. Misalnya “meja”; konsep mengenainya adalah :

perabotan rumah tangga, permukaan datar di bagian atasnya untuk meletakkan benda-

benda yang lebih kecil, berkaki (bisa rendah atau tinggi).

Koentjaraningrat (2009: 150) menguraikan bahwa kebudayaan itu ada tiga

wujudnya, yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma,

peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suaut kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan. Wujud kebudayaan sebagai

suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Sifatnya

abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau

dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan

yang bersangkutan hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka

dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ide sering berada dalam karangan dan

buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat bersangkutan. Sekarang

kebudayaan ide banyak tersimpan dalam disk, arsip, koleksi microfilm dan microfish,

kartu komputer, silinder, dan pita komputer. Ide-ide dan gagasan manusia banyak

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

18

yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu.

Gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan,

menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem

budaya atau cultural system (Koentjaraningrat, 2009: 151).

Kebudayaan ide ini dapat kita sebut adat tata kelakuan, atau secara singkat

adat dalam arti khusus atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata-

kelakuan, maksudnya bahwa kebudayaan ide biasanya berfungsi sebagai tata

kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan

perbuatan manusia dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 2004: 5). Adat dibagi lebih

khusus dalam empat tingkat, ialah : (i) tingkat nilai-budaya, (ii) tingkat norma-norma,

(iii) tingkat hukum, (iv) tingkat aturan khusus (Koentjaraningrat, 2004: 11).

Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 35-36) menguraikan bahwa wujud ide

adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan

dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud ide

dapat pula disebut sebagai ideologi. Istilah ideologi mengacu pada kawasan ideasional

dalam suatu budaya. Istilah ideologi meliputi nilai, norma, falsafah dan kepercayaan

religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos, dan

semacamnya.

Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud yang kedua dari kebudayaan sering

disebut sistem sosial atau social system, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu

sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang

berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain, dari detik ke detik, dari hari

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

19

ke hari, dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat

tata-kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem

soial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto,

dan didokumentasi (Koentjaraningrat, 2009: 151).

Aktivitas adalah wujud kebudayan sebagai tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat itu. Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, aktivitas

(perilaku) dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak

dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri atas

aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan

manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakukan.

Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-sehari dan dapat diamati dan

didokumentasikan (Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 36)

Poerwanto (2000: 56-57) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai „pola dari

perilaku‟adalah berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan dan

kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan mereka. Sementara itu,

C. Kluchohn (dalam Poerwanto, 2000: 88-89) menguraikan bahwa makhluk manusia

adalah bagian dari sistem sosial, maka setiap individu harus belajar mengenai pola-

pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu

lain di sekitarnya. Proses belajar ini lebih dikenal dengan sosialisasi.

Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud

ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak.

Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan, dan karya

semua manusia dalam masyarakat, maka, sifatnya paling konkret, dan berupa benda-

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

20

benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ada benda-benda yang amat

besar seperti: suatu pabrik baja; ada benda-benda yang amat kompleks seperti suatu

komputer berkapasitas tinggi; atau benda-benda yang besar dan bergerak seperti suatu

perahu tangki-minyak; ada benda-benda yang besar dan indah seperti suatu candi yang

indah; atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi,

yaitu kancing baju (Koentjaraningrat, 2009: 151). Artefak adalah wujud kebudayaan

fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam

masyarakat, berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan

didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan

(Sulasman dan Setia Gumilar, 2013: 37)

Tiga wujud kebudayan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat

tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ide dan adat-istiadat mengatur dan

memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide

maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan kebudayaan fisiknya. Sebaliknya

kebudayan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama

makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi

pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya

(Koentjaraningrat, 2009: 152).

Sementara itu, Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 37) menguraikan bahwa

dalam kehidupan masyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak dapat

dipisahkan dari wujud kebudayan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ide

mengatur dan memberi arah pada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Sebagai perwujudan gagasan dalam kebudayaan, perilaku dibagi menjadi perilaku

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

21

verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal (artefak dan alam). Keduanya membentuk

kebudayaan material. Materi dalam yang dimaksud dalam kebudayan material

meliputi benda-benda tak bergerak yang disebut artefak itu.

Dari beberapa pendapat mengenai wujud kebudayaan, maka dapat disimpulkan

bahwa wujud kebudayaan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

kebudayaan material dan nonmaterial ada pula yang menyebutnya kebudayaan

tangible dan intangible. Kebudayaan material (tangible) adalah kebudayaan fisik yang

konkret bisa dilihat, diraba dan bersifat jasmani. Wujud kebudayaan material

(tangible) berupa wujud kebudayaan fisik dan wujud kebudayaan aktivitas.

Sedangkan kebudayaan imaterial (intangible) merupakan kebudayaan yang bersifat

rohani atau tidak dapat dilihat bersifat abstrak, misalnya kepercayaan, tradisi,

keyakinan, adat-istiadat, perilaku, sikap dan lain-lain. Wujud kebudayaan imaterial

berupa wujud kebudayaan ide. Wujud kebudayaan ide merupakan motor atau

penggerak bagi wujud kebudayaan aktivitas dan fisik. Seseorang akan melakukan

suatu aktivitas setelah memiliki gagasan tentang aktivitas tersebut. Seseorang juga

akan menghasilkan wujud kebudayaan fisik setelah memiliki ide/gagasan tentang fisik

atau hasil karya yang akan dihasilkan.

3. Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan daerah yang ada di

Indonesia. Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 271) menguraikan bahwa kebudayan

daerah adalah kebudayaan dalam wilayah atau daerah tertentu yang diwariskan secara

turun temurun oleh generasi terdahlu kepada generasi berikutnya pada ruang lingkup

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

22

daerah tersebut. Budaya daerah ini muncul saat penduduk suatu daerah telah memiliki

pola pikir dan kehidupan sosial yang sama sehingga menjadi suatu kebiasaan mereka

yang membedakan mereka dengan penduduk lain.

Koentjaraningrat (1994:3-29) menguraikan bahwa pulau Jawa, yaitu suatu

pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km, dan lebarnya 500 km. Orang Jawa hanya

mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang

hampir seluruhnya merupakan Dataran Tinggi Priangan), seperti kita ketahui, adalah

daerah Sunda. Kebudayaan Jawa memiliki keanekaragaman regional budaya. Menurut

pandangan orang Jawa, kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang

homogen. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok

dengan daerah-daerah logat bahasa Jawa, dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti

makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian rakyat,dan seni suara.

Sulasman dan Setia Gumilar (2013: 28-29) menyatakan bahwa kebudayaan

melekat dengan diri manusia. Artinya, manusia adalah pencipta kebudayaan. Pada

tataran yang lebih tinggi, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem,

adat istiadat tertentu yang berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas

bersama. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu

yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh

masyarakat itu. Amin (dalam Warsito, 2012: 98) menguraikan bahwa masyarakat

Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara Antropologi Budaya adalah orang-orang

yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam

dialeknya secara turun temurun.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

23

Menurut Koentjaraningrat (1999:329-347) daerah kebudayaan Jawa luas, yaitu

meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikikan ada

daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut kejawen. Sebelum terjadi perubahan

wilayah, daerah tersebut yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun,

Malang dan Kediri. Di luar daerah tersebut dinamakan Pesisir dan Ujung timur.

Bahasa yang digunakan sehari-hari maupun perhubungan sosial menggunakan bahasa

Jawa. Sistem kekerabatan mereka berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Mata

pencaharian sebagai penghidupan masyarakat Jawa di antaranya yaitu kepegawaian,

pertukangan, perdagangan dan bertani. Orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan

yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasekten,

kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti memedi,

lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat

Jawa adalah penghasil atau pencipta utama kebudayaan Jawa. Karena itu, antara

masyarakat Jawa dan kebudayaan Jawa tidak mungkin dapat dipisahkan. Kebudayaan

Jawa terdiri atas sejumlah pola kelakuan yang meliputi berbagai tindakan dan pola

berpikir Jawa. Jadi kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang dihasilkan oleh

masyarakat Jawa berupa ide, aktivitas dan fisik (hasil karya) diwariskan secara turun

temurun sebagai salah satu budaya yang khas.

Berikut penjelasan masing-masing wujud kebudayaan Jawa, yang meliputi: (1)

Wujud kebudayaan Jawa sebagai ide/gagasan, (2) Wujud kebudayaan Jawa sebagai

suatu aktivitas, dan (3) Wujud kebudayaan Jawa sebagai hasil karya.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

24

a. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide

Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide/gagasan yaitu wujud kebudayan yang

berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang

sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh yang dihasilkan oleh masyarakat

Jawa. Wujud ide tersebut menjadi pedoman bagi bentuk wujud kebudayaan Jawa

lainnya yang berupa wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas yang kemudian

dari aktivitas tersebut menghasilkan wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil

karya. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu ide dapat pula disebut sebagai ideologi

masyarakat Jawa. Istilah ideologi mengacu pada kawasan ideasional meliputi nilai-

nilai, norma, falsafah dan kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan

atau wawasan tentang dunia, etos, dan semacamnya.

Untuk memperjelas, salah satu contohnya yaitu masyarakat Jawa memiliki

kepercayaan terhadap Tuhan dan kekuatan gaib lainnya, baik itu roh-roh halus,

lelembut, jin maupun kekuatan yang dihasilkan oleh benda. Kepercayaan masyarakat

Jawa tentang hal itu, dapat diperjelas berdasarkan pendapat Koentjaraningrat (1994:

411-413) menguraikan bahwa seperti pada banyak kebudayaan di dunia, ilmu gaib

(ngelmi) dan tenung pada orang Jawa merupakan tren dari religi, karena mengenai

manusia yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan supernatural, dan karena itu

dianggap keramat. Orang Jawa menganggap ngelmi itu bagian dari religi dan memang

ngelmi itu bertautan erat dengan religi. Orang yang melakukan upacara religi

menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadaTuhan, kepada para dewa, atau kepada

mahluk-mahluk gaib yang lain, dan berdoa agar permintaanya bisa terkabul

(nyenyuwun). Masyarakat Jawa juga percaya pada suatu kekuatan yang melebihi

segala kekuatan, yaitu kasekten (kesaktian), kemudian arwah atau roh leluhur, dan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

25

makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, dan lain-lain yang

menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.

b. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas

Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu aktivitas merupakan wujud kebudayaan

sebagai tindakan berpola dari manusia Jawa dalam masyarakat itu. Sebagai

perwujudan gagasan dalam kebudayaan, aktivitas (perilaku) yang dihasilkan oleh

masyarakat Jawa dibagi menjadi perilaku verbal (lisan dan tulisan) dan nonverbal

(artefak dan alam). Wujud perilaku sering berbentuk sistem sosial. Sistem sosial ini

terdiri atas aktivitas seorang masyarakat Jawa yang saling berinteraksi, mengadakan

kontak, serta bergaul dengan anggota masyarakat lainnya menurut pola-pola tertentu

yang berdasarkan adat tata kelakukan masyarakat Jawa. Sifat wujud kebudayaan

tersebut yaitu konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-sehari dan dapat diamati dan

didokumentasikan.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa wujud kebudayaan Jawa sebagai

ide/gagasan merupakan landasan masyarakat Jawa untuk melakukan aktivitas.

Aktivitas yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa disebut sebagai perwujudan budaya.

Salah satu contohnya yaitu tentang aktivitas bermasyarakat. Sebagaimana diketahui,

masyarakat Jawa merupakan yang lebih senang hidup rukun, berusaha menjaga

hubungan baik dengan sekitarnya. Masyarakat Jawa juga memiliki norma-norma

daerah yang kental. Hal itu merupakan salah satu wujud untuk saling berinteraksi

dalam kehidupan bermasyarakat menurut sistem kesatuan hidup di daerahnya.

Salah satu kerukunan yang terdapat dalam masyarakat Jawa yaitu aktivitas

gotong royong. Gotong royong merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

26

masyarakat Jawa berdasarkan pandangan hidup yang mereka anut berupa hidup rukun.

Koentjaraningrat (1994:151-152) menguraikan bahwa suatu rumah tangga di Jawa

terutama harus berusaha menjalin suatu hubungan yang baik dengan para tetangganya.

Hubungan baik ini mereka nyatakan dengan berbagai cara bergotong-royong. Dalam

adat sopan santun Jawa, gotong royong ini dilakasnakan menurut berbagai kewajiban

tertentu yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga. Salah satu contohnya yaitu

pada waktu seorang tetangga mengalami kematian salah seorang keluarganya, maka

para tetangga lainnya pun diharapkan bantuannya untuk menyiapkan segala-galanya

untuk menguburkan jenazahnya. Contoh lain dalam menjaga hubungan baik dengan

tetangga yaitu sesuatu keluarga tetangga seringkali memerlukan bantuan untuk

melakukan berbagai perbaikan rumahnya, misalnya memperbaiki atap, mengganti

dinding bilik, membasmi tikus, membuat sumur, atau menumbuk padi untuk slametan.

c. Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil karya (fisik)

Wujud kebudayaan Jawa sebagai suatu hasil karya (fisik) adalah wujud

kebudayaan fisik berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia

Jawa dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut berupa benda atau hal-hal yang

dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan dan memilik sifat paling konkret di

antara ketiga wujud kebudayaan Jawa. Salah satu contohnya yaitu berupa pakaian.

Masyarakat Jawa memiliki pakaian atau kain khas berupa batik Jawa. Berkenaan

pakaian khas masyarakat Jawa sebagai unsur kebudayaan berupa sistem teknologi dan

perlatan hidup dapat dipertegas dengan pendapat Sumardi dkk. Sumardi dkk (1992a:

103) menguraikan bahwa berkenaan dengan pakaian maka masyarakat Jawa mengenal

yang disebut pakaian Jawa jangkep (pakaian Jawa lengkap), yang berupa kelengkapan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

27

berpakaian dengan menggunakan tutup kepala (kuluk), berbaju jas sikepan (atola),

sabuk dan kain batik serta memakai keris berikut alas kakik bagi kaum pria.

Sedangkan kaum wanitanya memakai kebaya panjang dengan kain batik dan

perhiasan berupa subang, kalung gelang, dan cincin serta bersanggul yang disebut

bokor mengkureb. Adapun jenisnya kemudian beraneka ragam, disesuaikan dengan

kebutuhan sesuatu upacara, misalnya jagongan ataupun keperluan lainnya.

4. Konstruksi Kebudayaan

a. Pengertian Konstruksi Kebudayaan

Konstruksi kebudayaan terdiri dari dua kata, yaitu konstruksi dan kebudayaan.

Konstruksi memiliki makna yaitu cara membuat atau menyusun. Selain itu, dalam

istilah bahasa, kata „konstruksi‟ memiliki arti sebagai susunan dan hubungan kata

dalam kalimat atau dalam kelompok kata (Poerwadarminta, 2007: 612). Sebanding

dengan pendapat Poerwadarminta, Dagun (2013: 845) menyebutkan bahwa konstruksi

(construction) dari segi Linguistik berarti susunan dan hubungan kata dalam kalimat

atau kelompok kata. Dalam istilah umum, konstruksi berarti susunan model, tata letak

suatu bangunan jembatan, rumah dan sebagainya.

Sementara itu, konstruksi bisa disebut juga dengan konstruk. Ratna (2013a:

236-238) menguraikan bahwa definisi konstruk dapat dilihat pada definisi konsep.

Konsep, dari kata concipere (Latin), berarti mencakup, mengandung, menangkap.

Secara luas konsep adalah abstraksi suatu peristiwa gambaran mental suatu objek.

Setiap kata, bahkan setiap simbol yang memiliki makna tertentu dapat dianggap

sebagai konsep. Konsep dibangun atas dasar data, bukan sebaliknya. Hakikat konsep

ada dua macam, yaitu: a) konsep konkret (rumah meja, dan sebagainya), dan b)

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

28

konsep abstrak (pikiran, ineraksi sosial, dan sebagainya). Dalam penerapan konsep

juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a) konsep leksikal (teoretis, konstitutif,

nominal, denotatif, normatif), dan b) konsep operasional. Yang lebih berperan dalam

penelitian adalah konsep operasional. Kerlinger dan Danesi (dalam Ratna, 2013a: 237)

menguraikan bahwa konsep yang sudah diaplikasikan dan telah membentuk jaringan

dengan konsep lain disebut konstruk (constructs). Konsep juga dibedakan menjadi

tiga macam, yaitu: a) konsep superordinat, seperti binatang, b) konsep dasar seperti

kucing, dan c) konsep subordinat seperti kucing hutan.

Dari beberapa definisi yang sudah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa

konstruksi merupakan susunan dan hubungan bagian-bagian dari suatu objek.

Konstruksi bisa juga disebut dengan konsep yang berarti mencakup, mengandung,

menangkap dan secara luas „konsep‟ disebut juga sebagai abstraksi suatu peristiwa

gambaran mental suatu objek. Konsep-konsep yang sudah diaplikasikan dan

membentuk jaringan disebut dengan konstruk.

Untuk mengetahui maksud dari konstruksi kebudayaan, maka kata kedua yang

perlu dicari definisinya yaitu, kebudayaan. Menurut Harris (dalam Ratna, 2007: 5)

menguraikan bahwa kebudayaan adalah seluruh aspek kehidupan manusia dalam

masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku. Sementara itu,

Liliweri (2014:5-9) menguraikan bahwa banyak antropolog dan sosiolog yang

mendefinisikan kebudayaan sebagai deposit dari pengetahuan, pengalaman,

kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pengertian waktu, peran,

hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-benda materi dan harta benda yang

diperoleh oleh sekelompok orang dalam perjalanan generasi melalui perjuangan

individu dan kelompok. Menurut Geerts (dalam Liliweri, 2014: 8-9) kebudayaan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

29

terdiri dari “sistem belajar makna” yang dikomunikasikan dengan menggunakan

bahasa alami dan sistem simbol lain yang memiliki representasional, direktif, dan

fungsi afektif, dan mampu menciptakan entitas budaya dan indera tertentu. Dari

beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan

seluruh kehidupan manusia yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku

meliputi pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki,

agama, pengertian waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-

benda materi dan harta benda dalam masyarakat.

Beracuan menurut pendapat Ratna bahwa konstruksi bisa juga disebut dengan

konsep, maka sedikit sejalan dengan pendapat Poerwanto tentang konsep kebudayaan.

Sementara itu, pembicaraan dalam hal ini yaitu konstruksi kebudayaan. Poerwanto

(2000: 55) menguraikan bahwa metode analisis yang memandang kebudayaan sebagai

suatu keseluruhan yang terintegrasi, akan memudahkan memahami keterkaitan setiap

unsur-unsur kecil dalam kebudayaan. Demikian pula bagaimanakan keterkaitan lebih

lanjut dari unsur-unsur kecil tadi dalam rangka keseluruhannya seperti tampak pada

konsep patterns of culture dari Ruth Benedict (1934).

Ruth Benedict (dalam Poerwanto, 2000: 55-56) menguraikan bahwa ia

menganjurkan agar dalam melihat kebudayaan manusia tidak hanya sekedar melihat

himpunan dari unsur-unsur yang satu dengan lainnya saling terlepas; tetapi lebih

dipandang sebagai suatu kompleks jaringan yang mempunyai arti, watak dan jiwa.

Karenanya tugas seorang ahli antropologi harus mampu menyelami jiwa dari suatu

kebudayaan dengan memperhatikan gagasan-gagasan, perasaan-perasaan dan emosi-

emosi para individu suatu masyarakatkar. Selain itu, disamping seorang penelti haru

mampu mendeskripsikan sampai dengan unsur-unsur terkecil dari suatu kebudayaan,

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

30

ia juga harus mampu menganalisis berbagai gagasan, perasaan dan emosi yang

melatarbelakanginya. Karenanya, pengertian konsep patterns dari Ruth Benedict ialah

keseluruhan jaringan emosi-emosi yang hidup dalam suatu kebudayaan yang seolah-

olah memberikan jiwa dan watak suatu kebudayaan.

Dari pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa

konstruksi kebudayaan adalah susunan, hubungan atau konsep berupa abstraksi suatu

persitiwa terhadap suatu objek (budaya) yang meliputi seluruh aspek kehidupan

manusia yang diperoleh dengan cara belajar dan tingkah laku, baik berupa

pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, sikap, makna, hirarki, agama,

pengertian waktu, peran, hubungan spasial, konsep alam semesta dan benda-benda

materi dan harta benda dalam masyarakat. Selanjutnya keseluruhan jaringan abstraksi

tersebut seolah-olah memberikan jiwa dan watak suatu kebudayaan.

b. Pengertian Konstruksi Kebudayaan dalam Teks Sastra

Konstruksi kebudayaan dalam teks sastra sedikit berbeda dengan konstruksi

kebudayaan secara umum, seperti yang sudah dikemukakan di awal. Untuk

penegasan, yang dimaksud dengan konstruksi kebudayaan dalam teks sastra dalam

pembahasan ini sama halnya dengan istilah „hal-hal yang menyusun kebudayaan yang

terdapat dalam karya sastra atau hal-hal yang melatarbelakangi adanya kebudayaan

dalam teks sastra‟. Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan representasi

kehidupan nyata dengan segala kompeksitasnya, salah satunya yaitu kebudayaan.

Untuk mengetahui konstruksi wujud kebudayaan dalam teks sastra, maka pembahasan

dimulai dengan menjelaskan beberapa hubungan karya sastra. Hubungan tersebut

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

31

yaitu berupa hubungan karya sastra dengan pengarang; hubungan karya sastra dengan

masyarakat; dan hubungan karya sastra dengan kebudayaan.

Karya sastra merupakan salah satu produk budaya berupa karya seni dengan

medium bahasa. Karya sastra merupakan hasil olah cipta pengarang sebagai salah satu

anggota masyarakat yang menyerap dan merepresentasikan budaya di kehidupan

nyata ke dalam bentuk imajiner. Dengan kata lain, fakta imajiner dalam sastra

dikonstruksi oleh fakta realitas yang sudah diolah oleh pengarang sebagai subjek

kreator. Fakta realitas berupa kebudayaan yang melingkupi kehidupan pengarangnya

menjadi objek kreatifitas yang ditransmisikan menjadi fakta imajiner sastra. Hal ini

dapat dikatakan bahwa isi karya sastra adalah kebudayaan, yang dimediasi oleh

pengarang sebagai subjek kreator atau penghasil kebudayaan dalam kehidupan nyata.

Ini menandakan bahwa karya sastra memiliki hubungan atau kaitan dengan

pengarang.

Selain memiliki hubungan atau kaitan dengan pengarang, karya sastra juga

memiliki hubungan dengan masyarakat. Ada dua jenis hubungan karya sastra dengan

masyarakat. Ratna (2011: 194) menguraikan bahwa hubungan antara sastra dengan

masyarakat menampilkan dua pengertian, yaitu: (1) karya sastra itu sendiri dengan

masyarakat tertentu yang menghasilkannya, (2) karya sastra dengan aspek-aspek

kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Wellek dan Warren (dalam Ratna,

2011: 194) menguraikan bahwa model hubungan pertama menghasilkan analisis

ekstrinsik, sedangkan model hubungan yang, kedua menghasilkan analisis instrinsik.

Dari dua model tersebut, penulis menegaskan bahwa yang lebih difokuskan dalam

pembahasan ini, yaitu model hubungan pertama sebagai analisis ekstrinsik.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

32

Hubungan karya sastra dengan masyarakat sebagai model pertama lebih lanjut

penulis uraikan berdasarkan pendapat Kurniawan dalam bukunya Teori, Metode, dan

Aplikasi Sosiologi Sastra. Kurniawan (2012: 2-3) menguraikan bahwa dari aspek

kulturnya, sastra sebagai hasil cipta berupa “pikir” dan “rasa” dalam bentuk artefak

tulisan (secara general) merupakan perwujudan budaya. Wujud budaya yang berupa

sistem nilai, sistem pikiran, dan sistem tindakan ada dalam sastra sebagai artefak

budaya. Oleh karena itu, sastra secara kolektif adalah hasil budaya manusia yang

secara umum diwujudkan melalui sistem bahasa, dan bahasa sendiri adalah unsur

kebudayaan. Sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem

budaya sebagai representasi pikiran manusia yang mewakili kolektivitasnya dalam

kehidupan sosial masyarakat. Sastra pun menjadi hidup dan dihidupi oleh sistem

masyarakat yang ada. Sebagai produk budaya, maka sastra merupakan manifestasi

pikiran dan perasaaan manusia yang dievokasi dengan daya fantasi dan imajinasi.

Karena sastra merupakan produk budaya, maka sastra selain menggambarkan ide dan

gagasan penulisnya, sastra juga menggambarkan sistem sosial dan sistem budaya

sebagai tempat penulis itu hidup.

Sastra dan kebudayaan memiliki hubungan. Ratna (2007: 10-12) menguraikan

bahwa hubungan antara sastra dan kebudayaan dipicu oleh lahirnya perhatian terhadap

kebudayaan sebagai studi kultural. Sastra merupakan hasil imajinasi, rekaan dan

kreativitas, termasuk pemakaian bahasa metaforis konotatif. Imajinasi bukanlah narasi

dengan khayalan kosong, imajinasi didasarkan atas kenyataan. Pada gilirannya

kenyataan itulah yang berbeda sebab kenyataan dalam karya sastra bukanlah

kenyataan dalam ruang dan waktu tertentu, seperti sejarah, juga bukan kenyataan yang

dapat dibuktikan secara langsung seperti dalam ilmu kealaman. Dalam hubungan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

33

inilah disebutkan bahwa kenyataan dalam karya sastra sebagai kenyataan yang

mungkin tejadi. Karya sastra adalah rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan.

Ratna, (2007: 14-15) menguraikan bahawa teks dianggap sebagai representasi

suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah dikatakan teks sebagai gejala kedua.

Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih dahulu ke dalam teks, dari

bahasa formal ke dalam bahasa sastra, dari kejadian ke dalam plot, dari karakterologi

ke dalam karakterisasi. Oleh karena itu, sastra disebut sebagai „dunia dalam kata‟,

bukan dunia manusia. Sastra bukanlah rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah

berubah menjadi wacana, menjadi teks. Lotman (dalam Ratna, 2007: 14-15)

menguraikan bahwa oleh karena itu pula, karya seni disebut sebagai sistem model

yang kedua, sebagai rekonstruksi, dan harus dipahami secara tak langsung, yaitu

dengan memanfaatkan mediasi.

Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki

energi. Melalui energi itulah terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru.

Melalui kualitas hubungan paradigmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata

menunjuk sesuatu di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.

Kata-kata itu pun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu,

melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayaan yang lain. Pengetahuan mengenai

masa lampau dapat diketahui melalu kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan

keanekaragam kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu yang

lain, dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, dan sebagainya (Ratna, 2007: 15).

Hubungan karya sastra dan kebudayaan juga diuraikan kembali oleh Ratna

(2011: 188-189) bahwa secara akademis keseluruhan aspek kebudayaan merupakan

kompetensi studi antropologi, khususnya antropologi kebudayaan. Kebudayaan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

34

memiliki objek yang sangat luas. Objek yang sangat luas itu dibedakan menjadi tiga

jenis yaitu: artifact, sociofact, dan mentifact. Artifact adalah semua jenis benda

sebagai hasil keterampilan manusia, seperti: bangunan, jalan, senjata dan berbagai

bentuk perlengkapan lain dalam rangka mempermudah kehidupan manusia. Sociofact

adalah bentuk-bentuk hubungan sosial, tingkah laku sepanjang hari, sistem sosial yang

relatif baku seperti sistem kekerabatan, struktur organisasi, dan sebagainya. Mentifact

adalah semua bentuk ide dan pikiran manusia, khususnya bentuk-bentuk kreativitas

seperti karya seni. Dominasi sastra terkandung dalam aktivitas yang terakhir. Dengan

kalimat lain, budaya merupakan bagian, hasil, segala sesuatu yang diperbuat oleh

kebudayaan. Hasil-hasil inilah yang menjadi objek langsung ilmu-ilmu baru seperti

antropologi sastra, antropologi linguistik, kajian budaya dan kajian lain yang berkaitan

dengan kebudayaan.

Kaitan antara sastra dan kebudayaan dapat dilihat melalui ciri yaitu sebagai

karya seni, baik lisan maupun tulisan, karya sastra adalah hasil kreativitas kebudayaan

dengan kualitas imajinatif. Sastra dan kebudayaan berkaitan secara dialektik. Dengan

alat bahasa, baik lisan maupun tulisan, baik bahasa sehari-hari maupun ilmiah, sama

dengan karya tulis yang lain, sastra berfungsi untuk melegimitasikan berbagai aspek

kultural yang dihasilkan melalui interaksi manusia. sebaliknya, kebudayaan sebagai

hasil aktivitas manusia itu sendiri menjadi sarana utama untuk diceritakan. Pada

gilirannya tanpa aktivitas budaya, karya sastra tidak akan ada. Dengan singkat sastra

dan kebudayaan bersifat saling melengkapi, berkaitan secara dialektis (Ratna, 2011:

190-191).

Untuk mempertegas makna konstruksi kebudayaan dalam teks sastra dalam

hal ini, berkaitan dengan ilmu atau pendekatan yang digunakan untuk membedah

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

35

kebudayaan dalam teks sastra. Sebagaimana diketahui, bahwa objek kajian

kebudayaan dalam teks sastra dapat dianalisis melalui beberapa pendekatan di

antaranya yaitu pendekatan antropologi sastra dan kajian budaya. Kata „konstruksi‟

yang dimaksud dalam hal ini lebih condong dalam penggunaannya ke dalam hakikat

analisis menggunakan pendekatan antropologi sastra secara ekstrinsik. Lebih lanjut

dapat dijabarkan melalui penjelasan menurut Ratna pada paragraf berikut.

Ratna (2011: 270) menguraikan bahwa hubungan paling dekat antara

antropologi sastra dengan kajian budaya jelas penggunaan aspek-aspek kebudayaan

itu sendiri. Perbedaannya, dalam antropologi sastra kebudayaan menduduki posisi

sekunder, sedangkan dalam kajian budaya kebudayaan merupakan objek primer.

Perbedaan yang lain, antropologi sastra cenderung memperhatikan budaya masa

lampau, sedangkan kajian budaya pada budaya masa kini. Sebagai karya ilmiah dalam

analisis, baik antropologi sastra maupun kajian budaya menggunakan teori yang sama,

teori-teori postrukturalisme. Perbedaannya sesuai dengan hakikat objeknya

antropologi sastra dibantu dengan memanfaatkan teori-teori lama, seperti mitos,

struktur fungsi, dan strukturalisme pada umumnya,

Dari beberapa hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa karya sastra

merupakan hasil olah cipta pengarang yang berisi perwujudan budaya. Sastra

menggambarkan sistem budaya tempat pengarang itu hidup. Karya sastra merupakan

„dunia dalam kata‟, bukan berarti sastra hanyalah imajinasi yang bersifat

kosong/khayalan akan tetapi dikonstruksi oleh dunia yang sebenarnya ada (dunia

diluar teks). Sastra merupakan teks yang merekam peristiwa-peristiwa kebudayaan

melaui bahasa konotatif. Teks (karya sastra) dianggap sebagai representasi suatu

kejadian. Sastra mentransformasikan peristiwa budaya dalam kehidapan nyata ke

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

36

dalam teks. Hal itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan yang terdapat di dalam karya

sastra dikonstruksi atau disusun oleh kebudayaan nyata yang berada diluar teks. Jadi

kesimpulan dari konstruksi kebudayaan dalam teks sastra adalah susunan, hubungan

atau konsep berupa abstraksi suatu peristiwa terhadap objek kebudayaan yang

meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik berwujud ide (mentifact), aktivitas

(sociofact), dan hasil karya (aritfact), kemudian ditransmisikan ke dalam teks sastra

sehingga membentuk kebudayaan dalam teks sastra. Kebudayaan di luar teks

memberikan jiwa dan watak bagi kebudayaan di dalam teks sastra.

c. Jenis-jenis Konstruksi Kebudayaan

Sedikit mengulas kembali, bahwa yang dimaksud konstruksi adalah konsep-

konsep yang mencakup, mengandung atau menangkap suatu peristiwa gambaran

mental terhadap objek yang kemudian jika konsep tersebut sudah diaplikasikan dan

membentuk jaringan maka disebut dengan konsep. Untuk penegasan, maka yang

dimaksud dalam pembahasan ini, yaitu jenis-jenis konstruksi kebudayaan yang

ditemukan dalam karya sastra. Sebagaimana diketahui, bahwa kebudayaan teks sastra

dikonstruksi atau dilatar belakangi oleh kebudayaan di kehidupan nyata (di luar teks).

Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan jenis-jenis konstruksi kebudayaan dalam

pembahasan ini yaitu kebudayaan sesungguhnya di kehidupan nyata. Disesuaikan

dengan penulisan ilmiah ini, maka yang dimaksud dengan kebudayaan sesungguhnya

tersebut berupa kebudayaan Jawa dalam kehidupan nyata (di luar teks).

Berikut empat jenis konstruksi kebudayaan, tepatnya kebudayaan Jawa dalam

kehidupan nyata yang menjadi konstruksi kebudayaan dalam teks sastra, yaitu:

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

37

1) Konstruksi Religi Orang Jawa

Konstruksi Religi orang Jawa merupakan salah satu jenis konstruksi berbentuk

kebudayaan dikehidupan nyata (diluar teks) yang melatarbelakangi kebudayaan Jawa

di dalam teks sastra. Religi Orang Jawa (dikehidupan nyata) tidak lepas dari agama

dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa seperti

masyarakat di daerah lainnya, menganut berbagai macam agama, seperti Islam, Hindu,

Budha, Konghucu, dan Kristen. Salah satu agama yang dianut oleh masyarakat Jawa

yaitu agam Islam. Selain menganut agama, masyarakat Jawa juga memiliki berbagai

macam keyakinan yang mengarah kepada animisme dan dinamisme serta terpengaruh

ajaran Hindu-Budha. Agama Islam yang dianut oleh masyarakat Jawa yang

terpengaruh keyakinan tersebut menimbulkan adanya keyakinan Agami Jawi.

Konstruksi religi orang Jawa terdiri dari: a) Konstruksi Agami Jawi, b) Konstruksi

Agami Santri dan c) Ilmu gaib, Ilmu sihir, dan ilmu petangan.

a) Konstruksi Agami Jawi

Konstruksi Agami Jawi merupakan salah satu jenis konstruksi yang

melatarbelakangi kebudayaan Jawa dalam teks sastra. Konstrukis Agami Jawi terdiri

dari keyakinan (ajarannya) maupun upacara yang biasa dilakukan. Keyakinan Agami

Jawi atau biasa disebut dengan Kejawen merupakan keyakinan yang dimiliki

masyarakat Jawa dengan dasar utamanya yaitu agama Islam, namun terpengaruh

dengan keyakinan animisme, dinamisme atau ajaran agama Hindu-Budha. Hal ini

selaras dengan pendapat Suyono (2007: 2) bahwa kepercayaan atau ritual yang

dilakukan oleh orang Jawa disebut sebagai “kejawen”. Ajaran kejawen merupakan

keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap

kekuatan alam. Sedangkan animisme menurut Suyono (2007: 75) merupakan

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

38

kepercayaan bahwa semua yang berada di alam mempunyai jiwa. Jiwa atau roh bebas

dan tidak terikat kepada sesuatu, dan dapat menggerakkan semua benda di alam.

Konstruksi Agami Jawi berupa upacara merupakan salah satu konstruksi yang

melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Upacara Agami Jawi, sebenarnya

sama halnya dengan upacara keagamaan pada umumnya. Hanya saja, upacara Agami

Jawi merupakan upcara yang biasa dilakukan oleh golongan Islam (Kejawen) dalam

masyarakat Jawa. Upacara Agami Jawi dilakukan berdasarakan ajaran agama Islam

yang masih kental dengan animisme dinamismenya maupun ajaran Hindu Budha.

Upacara keagamaan mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu : bersaji,

berkorban, berdoa, makan bersama yang telah disucikan dengan doa (selamatan),

menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpiawai, memainkan

seni drama suci, berpuasa, intoxikasi atau mengaburkan pikiran dengan obat bius,

benda-benda dan alat upacara, bersemedi. Diantara unsur-unsur upacara keagamaan

tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal

dalam agama lain, dan demikian juga sebaliknya (Koentjaraningrat, 2009: 296).

Berkaitan dengan upacara keagamaaan, maka masyarakat Jawa mengenal

beberapa macam selamatan. Sumardi (1992a: 96-97) menguraikan bahwa dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa mengenal beberapa jenis upacara selamatan

yang sesuai dengan peristiwa atau kejadian alam dalam kehiduan manusia sehari-hari,

yakni (1) selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang; (2) selamatan yang

bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian,dan setelah panen padi; (3)

selamatan berhubung dengan hari-hari dan bulan-bulan besar Islam; dan (4) selamatan

pada saat-saat tertentu, atau yang berkenaan dengan kejadian-kejadian; seperti

mengadakan perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

39

(ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain. Selamatan dalam

lingkaran hidup meliputi peristiwa hamil tujuh bulan, kelahiran (mitoni), upacara

potong rambut pertama (kekah), upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedhak

siten), upacara menusuk telinga, upacara sunat, perkawinan, dan kematian serta saat-

saat sesudah kematian.

Golongan Islam Jawa yang masuk ke dalam Agami Jawi biasa disebut dengan

golongan islam abangan. Geertz (dalam Purwadi, 2005: 60) menguraikan bahwa

masyarakat Jawa memiliki pelapisan sosial berdasarkan kepercayaan yang dianut.

(Islam), yaitu: golongan santri, yaitu mereka yang beragama Islam yang benar-benar

mengikuti ajaran Islam. Golongan abangan pada umumnya masih melakukan

upacara-upacara seperti slametan yang dilengkapi sajian, misalnya selamatan

kematian, kelahiran dan lain sebagainya

b) Konstruksi Agami Santri

Konstruksi Agami Santri merupakan salah satu konstruksi yang masuk ke

dalam bagian religi orang Jawa dan melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra.

Konstruksi Agami Santri meliputi keyakinan (ajaran Agami Santri) dan upacara yang

dilakukan dalam agama santri. Sebagaimana diketahui bahwa santri merupakan salah

satu golongan agama Islam di Jawa dalam kehidupan nyata, sebagai golongan yang

lebih condong untuk melaksanakan ajaran agama sesuai syariat-syariat yang benar.

Baik konstruksi Agami Jawi dan Agami Santri sebagai kebudayaan dikehidupan nyata

yang melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra, dikemukakan oleh Geertsz.

Geertsz (dalam Koentjaraningrat, 1994:312) menguraikan bahwa suatu

deskripsi mengenai agama, orang Jawa harus membedakan antara dua buah

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

40

manifestasi dari agama Islam Jawa yang cukup banyak berbeda, yaitu Agami Jawi dan

Agama Islam Santri. Sebutan yang pertama berarti “Agama orang Jawa”, sedangkan

yang kedua berarti “Agama Islam yang dianut orang santri.” Bentuk agama Islam

orang Jawa yang disebut Agami Jawi atau Kejawen itu adalah suatu kompleks

keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang

tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Varian Agami Islam Santri,

yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-

unsur Hindu-Budha, lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya.

Geertz (dalam Purwadi, 2005: 60) menguraikan bahwa masyarkat Jawa memiliki

pelapisan sosial berdasarkan kepercayaan yang dianut. (Islam), yaitu: golongan santri

dan abangan. Di antara mereka yang masuk golongan santri ini, menganggap penting

adanya upacara terutama sembahyang,

c) Konstruksi Ilmu Gaib, Ilmu Sihir dan Ilmu Petangan

Konstruksi Ilmu gaib, ilmu sihir dan ilmu petangan merupakan salah satu

konstruksi yang melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Ilmu gaib, ilmu sihir

dan ilmu petangan merupakan salah satu ilmu yang dipercayai oleh masyarakat Jawa

dalam hal religi mereka. Ilmu gaib merupakan ilmu yang berkenaan dengan hal-hal

gaib, misalnya mempercayai akan kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut bisa saja

ditimbulkan oleh makhluk gaib baik dan makhluk gaib jahat. Dalam hal ilmu gaib,

kekuatan gaib tersebut lebih diperuntukkan untuk hal-hal baik dengan bantuan

makhluk gaib baik.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

41

Sementara itu, ilmu sihir merupakan salah satu ilmu gaib yang dipergunakan

masyarakat Jawa untuk melakukan hal-hal yang kurang baik atau mencelakakan orang

lain, contohnya tenung, santet dan lainnya. Ilmu sihir biasanya digunakan oleh

masyarakat Jawa untuk memenuhi kehendak dirinya dengan jalan pintas atau

disebabkan karena dendam. Ilmu yang berkaitan dengan hal gaib dalam masyarakat

Jawa lainnya yaitu ilmu petangan. Ilmu petangan merupakan ilmu untuk menghitung

hari atau waktu-waktu yang baik dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ilmu gaib, ilmu

sihir dan ilmu petangan merupakan satu pembahasan dalam hal ilmu gaib yang

diyakini dan dilakukan oleh masyarakat Jawa sesungguhnya.

Koentjaraningrat (1994: 410-413) menguraikan bahwa seperti pada banyak

kebudayaan di dunia, ilmu gaib (ngelmi) dan tenung orang Jawa merupakan subsistem

religi karena mengenai manusia yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan

supranatural, dan karena itu dianggap keramat. Banyak tindakan ilmu gaib Jawa juga

ditentukan oleh keyakinan tentang adanya suatu kekuatan sakti (kasekten) yang bisa

ditemukan dalam bagian-bagian tertentu dari tubuh, dalam tubuh binatang dan

tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat atau yang aneh rupa atau bentuknya, dalam

barang-barang keramat serta pusaka, dalam jimat dan dalam benda-benda lain yang

tidak lumrah.

Serupa dengan banyak masyarakat tradisional lain dalam negara-negara

berkembang di dunia, dalam masyarakat Jawa illmu gaib destruktif dan ilmu sihir

masih sering dilakukan. Para pelakunya adalah dukun yang secara khusus

mempelajari cara-cara untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam masyarakat

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

42

Jawa lebih dikenal dengan ilmu tenung-menenung, sebagai satu rumpun ilmu yang

berdekatan dengan ilmu sihir dan termasuk ke dalam kategori ilmu gaib destruktif.

Ilmu tenung menenung biasanya dilakukan dengan cara membinasakan suatu benda

(biasanya boneka) yang melambangkan korban. Cara lain yaitu dengan membuat

jimat yang sudah “diisi” dengan kutukan. Jimat itu kemudian disembunyikan di suatu

tempat dekat dengan tempat tinggalnya. Ilmu tenung juga sering digunakan oleh orang

Jawa untuk mencuri dengan cara membuat korbannya tertidur lelab (dipunsirep), yang

biasanya dilakukan dengan memakai jimat sebagai alat, atau kadang-kadang pasir

yang telah dikutuk dengan mantera, yang ditaburkan di atas atap rumah korban

(Koentjaraningrat, 1994: 419-420)

Ilmu meramal dan ilmu petangan. Dalam ilmu gaib Jawa ada dukun yang

memiliki kepandaian khusus, yaitu sebagai peramal (dukun petangan). Beberapa

teknik ilmu meramal yaitu dilakukan dengan cara menghitung hubungan antara

bintang-bintang, meramal berdasar letak tulang belulang yang disebarkan berserakan,

meramal dengan menghitung jatuhnya usus ayam yang diterbangkan secara

berserakan, maupun meramal dengan mengamati arah terbang dan suara burung.

Buku-buku pegangan mengenai ilmu gaib dan ilmu meramal, yaitu dalam buku-buku

primbon, ilmu meramal Jawa rupa-rupanya menggunakan semua teknik yang sudah

disebutkan. Suatu seni yang seringkali digunakan dalam ilmu gaib dan ilmu meramal

adalah ilmu petangan. Petangan adalah cara menghitung saat-saat serta tanggal-

tanggal yang baik, dengan memperhatikan kelima hari pasar, tanggal-tanggal penting

yang ditentukan pada sistem-sistem penanggalan yang ada, yang memang

dimanfaatkan orang Jawa untuk berbagai tujuan (Koentjaraningrat, 1994: 421).

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

43

2) Konstruksi Kebudayaan Petani Jawa

Konstruksi kebudayaan petani Jawa merupakan salah satu konstruksi yang

melatarbelakangi kebudayaan dalam teks sastra. Sebagaimana diketahui sebagian

besar masyarakata Jawa (diluar teks) bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu

disebabkan pulau Jawa merupakan daerah agararis. Hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan petani Jawa menjadi unsur utama dalam kebudayaannya. Koentjaraningrat

(1994: 98) menguraikan bahwa sebagian besar yaitu 82,54%, dari penduduk Jawa

dalam tahun 1970 masih tergolong dalam sektor ekonomi primer, maka bagi

kehidupan para para petani dalam komuniti-komuniti pedesaan, hal-hal yang

bersangkutan dengan pertanian untuk penggunaan sendiri, merupakan unsur utama

dalam kebudayaan Jawa. Konstruksi kebudayaan petani Jawa, beberapa di antaranya

yaitu: a) Pernikahan, rumah tangga dan keluarga inti, b) Para petani Jawa, c) Pasar

Desa, d) Sosialisasi dan Enkulturasi Keluarga Inti Petani Jawa.

a) Konstruksi Pernikahan, Rumah Tangga dan Keluarga Inti

Konstruksi pernikahan, rumah tangga dan keluarga inti merupakan salah satu

konstruksi yang melatarbelakangi wujud kebudayaan dalam teks sastra. Konstruksi ini

termasuk ke dalam jenis konstruksi petani Jawa. Konstruski pernikahan, rumah tangga

dan keluarga inti membicarakan hal-hal yan berkaitan dengan kebiasaan, tradisi yan

dilakukan dalam pernihakah, rumah tangga dan keluarga inti masyarakat Jawa.

Sebagaimana diketahui dalam masyarkat Jawa mengenal beberapa tahapan upacara

pernikahan, yang salah satunya dalam masyarakat Jawa mengenal adanya upacara

tunangan, maupun midodareni.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

44

Sementara itu yang dimaksud konstruksi rumah tangga adalah hal-hal yang

berkaitan dengan kehidupan rumah tangga masyarakat Jawa, baik dalam hal

berhubungan atau berkomunikasi dengan keluarga maupun tentang sebuah rumah

yang digunakan sebagai tempat berlindung. Koentjaraningrat (1994: 136)

menguraikan bahwa dalam keluarga Jawa tidak ada aturan khusus mengenai tempat di

mana sepasang pengantin baru harus diam. Orang Jawa sebenarnya juga menganggap

bahwa keadaan yang ideal adalah untuk mempunyai suatu rumah tangga sendiri yang

neolokal (somah), sedangkan keluarga inti, merupakan keluarga yang terdiri dari ayah,

bapak, ibu, kakak dan adik.

b) Konstruksi Para Petani Jawa

Konstruksi para petani Jawa merupakan salah satu konstruksi yang

melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Konstruksi ini masuk ke

dalam subbab konstruksi kebudayaan petani Jawa. Sebagaimana diketahui, bahwa

masyarakat Jawa sebagain besar bermata pencaharian sebagai petani. Maksud dari

petani, tidak hanya berupa petani padi di sawah seperti pemahaman pada umumnya,

akan tetapi bisa pula petani yang biasa mengolah tanah tegalan maupun tanah

pekarangan. Aktivitas petani tanah tegalan menghasilkan beberapa hasil tanaman

berupa palawija (jagung dan gandum). Sementara itu, aktivitas mengolah tanah

pekarangan baik yang disekitar rumah maupun pekarangan luas dinamakan berkebun.

Para petani Jawa biasanya mengolah dan menanami tanah pekarangan dengan pohon

buah-buahan, tumbuhan bumbu dapur, pohon kelapa, dan sebagainya.

Jadi konstruksi para petani Jawa sebenarnya merupakan kebudayaan yang

biasa dilakukan oleh para petani Jawa dalam kehidupan nyata. Kebudayaan petani

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

45

Jawa tersebut dapat berupa sistem pemilikan tanah, baik cara pemakaian tanah,

tenaga kerja dalam usaha tani padi di sawah, menyimpan dan menumbuk padi,

palawija maupun peternakan (Koentjaraningrat, 1994: 168-186).

c) Konstruksi Pasar Desa

Konstruksi pasar desa merupakan salah satu konstruksi yang melatarbelakangi

wujud kebudayaan dalam teks cerpen. Konstruksi tersebut masuk ke dalam subbab

kebudayaan petani Jawa. Sebagaimana diketahui, bahwa selain bermata pencaharian

sebagai petani, ada beberapa masyarakat Jawa yang memiliki mata pencaharian

sebagai pedagang. Aktivitas berdagang tersebut dilaksanakan di pasar desa. Para

petani Jawa biasanya menjual hasil panennya maupun hasil kebunnya kepada para

pedagang. Di pasar desa, ada berbagai macam pedagang , baik pedagang besar,

pedagang kecil, maupun tengkulak.

Suatu pasar desa di Jawa atau peken (krami) letaknya biasanya ditepi jalan

besar kira-kira tiga sampai lima kilometer saja. Semua pasar desa di Jawa biasa buka

seminggu sekali pada hari-hari tertentu. Untuk dapat berdagang di pasar, para

pedagang harus membayar pajak untuk memperoleh izinnya. Menurut Dewey (dalam

Koentjaraningrat, 1994: 188) di pasar-pasar di Jawa ada beberapa jenis pedagang,

yaitu: (1) Petani atau tenggkulak pertama yang membawa hasil bumi atau kerajinan

sebanyak yang dapat mereka angkut ke pasar; (2) Para tengkulak bakul yang membeli

hasil bumi maupun industri rumah dari para petani atau tengkulak pertama tersebut,

kemudian mereka jual secara eceran atau borongan kepada tengkulak dua, (3)

Tengkulak dua yang membeli dagangan secara borongan dari para bakul, (4) Para

makelar yang berkeliaran di daerah-daerah pedesaan untuk membeli dan menghimpun

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

46

hasil pertanian yang kadang-kadang mereka simpan sementara (5) Pemilik pedati dan

opelet, yang menyewakan kendaraan mereka, (6) Para penjaja berkeliling yang

membeli barang dagangan dari bakul dan menjajakannya ke rumah-rumah penduduk,

(7) Para pemilik toko keturunan Tionghoa yang membeli barang dagangan dari para

tengkulak, bakul, makelar untuk dijual di kota yang jauh letaknya, (8) Para pemilik

warung makan, (9) Para tukang yang terdiri dari tukang cukur, tukang jahit, tukang

sepatu dan sebagainya.

d) Konstruksi Sosialisasi dan Enkulturasi Keluarga Inti

Konstruksi sosialisasi dan enkulturasi keluarga inti petani merupakan salah

satu konstruksi yang melatarbelakangi kebudayaan Jawa dalam teks cerpen.

Sebagaimana diketahui bahwa kebudayaan merupakan suatu proses. Untuk menjadi

manusia yang berbudaya masyarakat Jawa memiliki proses sosialisasi dan enkulturasi.

Proses ini biasanya diterapkan oleh mereka (orang tua) kepada anak cucunya dalam

keluarga inti. Proses mengenalkan kebudayaan yang dilakkan oleh orang tua bisa

dikatakan sebagai proses sosialisasi. Sementara itu, proses seorang anak untuk

menyesuaikan kebudayaan yang diajarkan oleh para orang tuannya disebut sebagai

proses enkulturasi. Dari proses enkulturasi itulah, diharapkan kebudayaan tersebut

menginternal dalam diri ini, karena hal itu dilakukan dari semenjak mereka kecil

hingga dewasa nantinya bahkan hingga mereka meninggal.

Poerwanto (2000: 88-89) menguraikan bahwa proses belajar kebudayaan yang

berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan

pengembangan perasaan, hasrat, emosi dalam rangka pembentukkan kepribadiannya,;

sering dikenal sebagai proses internalisasi. Karena makhluk manusia adalah bagian

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

47

dari suatu sistem sosial, maka setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola

tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain

di sekitarnya. Proses belajar inil lebih dikenal dengan sosialisasi. Selanjutnya, proses

belajar kebudayaan lainnya dikenal dengan istilah enkulturasi atau „pembudayaan‟

yaitu seorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya

dengna sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya.

3) Konstruksi Ajaran Hindu-Budha

Konstruksi ajaran Hindu-Budha merupakan salah satu konstruksi yang

melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Purwadi (2005: 8-9)

menguraikan bahwa adapun bangsa Hindu yang datang pertama ke tanah Jawa adalah

bangsa yang beragama Siwa. Bangsa yang menganggap Trimurti sebagai Tuhannya,

yakni Batara Brahma, Wisnu, Siwa. Di antara ketiga orang dewa itu yang dianggap

penghulu ialah Sang Hyang Siwa. Bangsa Hindu yang datang selanjutnya ialah bangsa

yang beragama Budha Mahayana. Kitab-kitab yang dibawa orang Hindu yang

beragama Budha tentunya juga ktiab-kitab yang memuat hal ikhwal kebudhaan seperti

kitab yang isinya diwujudkan dengan gambar yang berbidang-bidang pada candi

Borobudur. Kitab-kitab pembawaan orang Hindu yang beragama Siwa seperti

MAHABARATA dan RAMAYANA. Kitab Ramayana termasuk kitab suci suku yang

beragama Wisnu, sedang Mahabharata kita suci suku yang beragama Siwa.

Purwadi (2005: 12) menguraikan bawa kebudayaan asli Jawa yang bersifat

transedental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan besar

pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

48

dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan

Jawa, meliputi sistem kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi, mitologi, dan

pengetahuan umum

4) Konstruksi Bahasa Jawa

Konstruksi bahasa Jawa merupakan salah satu konstruksi yang

melatarbelakangi wujud kebudayaan Jawa dalam teks cerpen. Bahasa Jawa merupakan

bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat Jawa. Sebagaimana

diketahui, bahasa Jawa memiliki beberapa varian berdasarkan dialeknya, diantara

yaitu: bahasa Jawa dialek Jogja, Solo sebagai pusat kebudayaan, dialek bahasa Jawa

Ngapak (Eks wilayah Banyumas), dialek bahasa Jawa pesisir pantai utara sebelah

barat meliputi (Tegal, Brebes, dan Cirebon), dialek bahasa Jawa pesisir pantai utara

sebelah timur (Semarang-Surabaya), maupun dialek bahasa Jawa Timur.

Selain memiliki beberapa varian dialek, bahasa Jawa juga memiliki tingkatan

penggunaan bahasa Jawa. Tingkatan yang biasa dikenal oleh masyarakat Jawa pada

umumnya yaitu tingkatan bahasa Jawa ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Tiga

tingkatan tersebut juga dibagi lagi dalam beberapa subbab lagi. Dalam hal ini tidak

akan dibahas lebih lanjut. Mengenai bahasa Jawa yang ada dalam kehidupan nyata

dapat diperjelas dengan pendapat Koentjaraningrat.

Koentjaraningrat (1994: 21-22) menguraikan bahwa kecuali tiga gaya yang

paling dasar, yaitu gaya tidak resmi, gaya setengah resmi, dan gaya resmi (yaitu

Ngoko, Madya dan Krami). Selain itu juga ada penggunaan bahasa Jawa Krama

Inggil yang dipakai untuk berbicara kepada orang kedua yang sederajat atau orang

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

49

ketiga yang lebih tinggi. Seperti dalam semua bahasa lain, tentu ada juga (tembung

kasar) yang dipakai apabila orang sedang marah atau menghina orang lain.

5. Antropologi Sastra

Endraswara (2013: 1-2) menguraikan bahwa konsep atnropologi sastra dapat

dirunut dari kata antropologi dan sastra. Yang menjadi bahan penelitian antropologi

sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Sastra

dan antropologi selalu dekat. Keduanya bersimbiosis dalam mempelajari manusia

lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-fakta imajinatif. Antropologi

bergerak dalam fakta imajinatif disebut antropolog sastra. Antropologi sastra

tampaknya merupakan pengembangan antropology experience yang digagas oleh

Turner dan Benson.

Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan

relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua

macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka Antropologi sastra

dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang

dihasilkan oleh manusia (Ratna, 2013b: 351). Antropologi sastra berfungsi untuk

meperkenalkan kekayaan khazanah kultural bangsa sehingga masing-masing

kebudayaan menjadi milik bagi yang lain.

Antropologi sastra mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya

dengan manusia sebagai penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah

manusia dalam karya, khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungannya inilah

karya sastra merupakan studi multikultural sebab melalui karya sastra dapat dipahami

keberagaman manusia dengan kebudayaannya. Dengan membaca karya sastra dapat

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015

50

dipahami kebudayan Sunda, Jawa, Bali, Lombok, dan sebagainya (Ratna, 2013b: 356-

357).

Paling tidak ada dua kedekatan sastra dan antropologi, yaitu (1) sastra dan

antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke fenomena realitas

hidup manusia; (2) sastra dan antropologi memiliki kedekatan metodologis, artinya

keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis; (3) sastra dan

antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai simbol konteks

kehidupan (Endraswara, 2013: 9).

Antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk mengungkapkan

aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat tertentu. Karya

sastra dalam bentuk apapun, temasuk karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat

relais tidak pernah secara eksplisit mengemukakan muatan-muatan yang ditampilkan,

ciri-ciri antropologis yang terkandung di dalamnya. Semata-mata kemampuan

penelitilah yang dapat menunjukkan suatu karya sastra sebagai mengandung dan

dengan demikian didominasi oleh aspek tertentu, yang secara keseluruhan disebut

sebagai tema, pesan, pandangan dunia menurut pemahaman lain (Ratna, 2011: 41).

Maka dapat disimpulkan bahwa antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari

sastra dengan relevansinya sebagai manusia. Manusia dalam karya sebagai penghasil

kebudayaan. Antropologi sastra memiliki tugas yang sangat penting untuk

mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan tertentu masyarakat

tertentu.

Wujud Kebudayaan Jawa ..., Otih Nurhayati, FKIP UMP, 2015