BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan - sinta.unud.ac.id II.pdf · fungsi seksual terganggu. ... Ada...

45
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1. Pendahuluan Penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah seluruh komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan mulai terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada umumnya orang menganggap menjadi tua adalah takdir yang memang harus terjadi dan membiarkan berbagai tanda dan gejala penuaan yang mulai muncul tanpa mempertanyakan mengapa menjadi tua, sakit dan akhirnya meninggal. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan akhirnya membawa kepada kematian. Berbagai faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal antara lain gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Anti Aging Medicine menanggapi dan memperlakukan penuaan sebagai salah satu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila, 2011). 10

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan - sinta.unud.ac.id II.pdf · fungsi seksual terganggu. ... Ada...

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1. Pendahuluan

Penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau

adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah

seluruh komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan

mulai terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada

umumnya orang menganggap menjadi tua adalah takdir yang memang harus

terjadi dan membiarkan berbagai tanda dan gejala penuaan yang mulai

muncul tanpa mempertanyakan mengapa menjadi tua, sakit dan akhirnya

meninggal. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui

proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan akhirnya membawa kepada

kematian. Berbagai faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti radikal bebas, hormon

yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, kekebalan yang

menurun, dan gen. Faktor eksternal antara lain gaya hidup tidak sehat, diet

tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan

(Pangkahila, 2011).

Anti Aging Medicine menanggapi dan memperlakukan penuaan sebagai

salah satu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat,

bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila,

2011).

10

11

Ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu memproduksi hormon

lebih sedikit sehingga levelnya menurun. Hal ini menyebabkan berbagai

fungsi tubuh terganggu sehingga timbullah berbagai keluhan. Keluhan

tersebut antara lain menjadi tidak tahan terhadap suhu dingin, gerakan menjadi

lambat, massa otot berkurang, lemak tubuh meningkat, ingatan menurun dan

fungsi seksual terganggu. Karena berbagai hormon saling berkaitan, maka

kurangnya produksi hormon tertentu mempengaruhi produksi hormon yang

lain (Pangkahila, 2011) . Beberapa peneliti menduga bahwa penurunan kadar

estrogen pada masa menopause juga dihubungkan dengan peningkatan kadar

kortisol, suatu hormon yang berhubungan dengan keadaan stres yang

memicu akumulasi lemak abdomen (Harvard, 2006). Lingkar pinggang

perempuan dewasa bertambah 4cm dalam 9 tahun (Tchkonia, 2010)

2.1.2 Teori Penuaan

Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai proses penuaan,

yaitu :

• Teori Wear and Tear

Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan

karena penggunaan yang berlebihan dan penggunaan yang salah (overuse

and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya,

menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi

berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar

ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Kerusakan ini terjadi

pada organ dan di tingkat sel (Pangkahila, 2011).

12

• Teori neuro endokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memproduksi

hormon berkurang. Produksi hormon yang berkurang pada akhirnya akan

mengganggu berbagai sistem tubuh (Pangkahila, 2011).

• Teori kontrol genetik

Teori ini berfokus pada genetik, dimana kita dilahirkan dengan kode

genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu.

Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat seseorang menjadi

tua dan berapa lama seseorang dapat hidup (Pangkahila, 2011).

• Teori radikal bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat menjadi tua karena

terjadi kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah molekul yang

mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal

bebas ini akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal

bebas tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,

dan akhirnya kematian sel. Molekul di dalam tubuh yang dapat dirusak

oleh radikal bebas ialah DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya

usia, maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin

bertambah, sehingga mengganggu metabolismee sel, meransang mutasi

sel, yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan kematian. Teori ini

meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang

tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya

13

dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan

mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).

2.1.3. Perubahan pada proses Penuaan

Penuaan berhubungan dengan hilangnya lemak subkutan wajah dan

peningkatan lemak subkutan abdomen. Perbedaan spesifik lokasi adiposit

dan ekspresi gen berperanan penting dalam penimbunan lemak setempat

yang berhubungan dengan bertambahnya usia. Chon mengisolasi dan

mengkarakterisasi preadiposit wajah manusia dan mempelajari perbedaan

pola diferensiasi preadiposit wajah dan abdominal (Chon, 2014)

Pada wajah yang mengalami penuaan terdapat perubahan yang

spesifik, banyak di antaranya hanya dikaitkan dengan efek gravitasi

terhadapt kulit, otot dan lemak. Hal ini menjadi pertimbangan utama untuk

dilakukan face lift dan reposisi jaringan ptotic. Pada penuaan, terjadi

perubahan yang kompleks dimana hilangnya volume wajah merupakan hal

yang paling signifikan. Perubahan ini mencakup atrofi otot, atrofi lemak

dan resopsi tulang. Ada penelitian dimana perubahan tulang wajah dan

perubahan bantalan lemak tulang pipi seiring dengan berjalannya waktu.

Hasil dari studi ini menyatakan tulang satu per tiga bagian bawah dari

wajah menjadi lebih masuk ke dalam karena penuaan dibandingkan

dengan wajah bagian atas. Peneliti studi tersebut menduga adanya proses

remodelling pada dinding anterior maksila membuat jaringan lunak turun

ke bawah (Baumann, 2009).

Pada suatu studi lain, ditemukan peningkatan insiden a negative

vector face. A negative vector face adalah mereka yang memiliki timbunan

14

pada bantalan lemak tulang pipi yang mengarah ke belakang menuju ke

suatu daerah yang sejajar di bawah kornea di cincin orbital. Dengan

perubahan ini, lemak pada kelopak mata bawah tampak lebih menonjol

tapi sebenarnya tidak mengalami hipertrofi (Baumann, 2009).

Baumann pada tahun 2009 dengan menggunakan MRI mendapatkan

dalamnya lipatan nasolabial merupakan kombinasi ptosis dan hipertrofi

wajah atau kulit. Mereka menemukan perbedaan redistribusi lemak di

dalam bantalan lemak tulang pipi seiring dengan bertambahnya umur

dimana pada wanita yang lebih tua terjadi peningkatan ketebalan bagian

tengah dari tulang pipi secara relatif dan kulit yang tumpang tindih

dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Terdapat hal yang menarik

dimana mereka tidak menemukan pertambahan panjang otot levator labii

superior (Baumann, 2009).

2.2 Obesitas

2.2.1 Prevalensi

Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia. Hal

ini dikarenakan obesitas mengakibatkan banyak komplikasi penyakit

degeneratif dan menahun bahkan kematian. Penyakit-penyakit tersebut

antara lain diabetes mellitus tipe 2, toleransi glukosa terganggu,

hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, penyakit kardiovaskular, sleep

apnea, batu saluran empedu, osteoartrois, infertil dan penyakit kanker

(Grundy, 2004).

15

Obesitas dapat diidentifikasi oleh meningkatnya angka dan ukuran

adiposit. Adiposit, yang menyimpan kelebihan energi, mengeluarkan

faktor parakrin yang menginduksi pertumbuhan dan perkembangan pre-

adiposit di sekitarnya. Oleh karena itu, baik supresi diferensiasi dan

penurunan viabilitas sel pre-adiposit dan adiposit adalah cara yang

memungkinkan untuk mengatasi obesitas. Saat ini, banyak studi yang

memfokuskan inhibisi adipogenesis. Bagaimanapun juga, kemampuan

adiposit yang nyata untuk menahan apoptosis belum sepenuhnya

dimengerti (Hailan dkk., 2011).

Pada tahun 2008, lebih dari 1,4 milyar orang dewasa berumur 20

tahun ke atas mengalami obesitas di seluruh dunia. Dari jumlah

tersebut,lebih dari 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan obesitas

memiliki resiko tinggi komplikasi metabolik dan kematian dini. Secara

global, kegemukan dan obesitas adalah penyebab kematian kelima

tertinggi di dunia pada tahun 2012 dan saat ini sedikitnya 3,4 juta orang

dewasa meninggal setiap tahun sebagai akibat kegemukan atau obesitas.

Disamping itu, 44% dari beban diabetes, 23% dari beban penyakit jantung

iskemik dan antara 8-40% dari beban penyakit kanker tertentu melekat

pada kegemukan dan obesitas (WHO, 2014).

Untuk di Indonesia, berdasarkan data SUSENAS tahun 2004,

prevalensi obesitas pada anak telah mencapai 11%. Berdasarkan data Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas

umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3% terdiri dari laki-

laki 13,9%, dan perempuan 23,8% , sedangkan prevalensi overweight pada

16

anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%.

Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak

umur 5-17 tahun. Prevelensi gemuk dan obesitas pada penduduk di atas

usia 18 tahun, pada tahun 2010 menunjukkan angka yang tinggi.

Sebanyak 21,7% penduduk di atas umur 18 tahun yang masuk golongan

gemuk dan obesitas (Republika, 2011).

Prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir

dan sekarang mencapai 15% dari populasi dewasa di Inggris dan sampai

50% pada kelompok ras tertentu (Davey, 2002).

2.2.2 Definisi

Obesitas dan kegemukan didefinisikan sebagai akumulasi lemak

abnormal atau berlebih yang menimbulkan risiko bagi kesehatan.

Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah

penyakit kronis, termasuk diabetes, penyakit jantung dan kanker. Ukuran

populasi obesitas adalah indeks massa tubuh (BMI), berat badan (dalam

kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Orang

dengan BMI lebih dari 30 kg/m2 atau lebih umumnya dianggap obesitas.

(WHO, 2014)

Overweight didefinisikan memiliki berat badan berlebih jika

dibandingkan dengan orang sehat yang seumur. Istilah obesitas digunakan

pada orang yang sangat overweight dengan presentasi lemak tubuh yang

tinggi (Stern, 2009).

17

2.2.3 Etiopatogenesis

2.2.3.1 Genetik

Faktor genentik dan lingkungan merupakan faktor utama dalam

perkembangan obesitas. Efek genetik bersifat kompleks dan poligenik

dengan kemungkinan diturunkan 40%-70% (Davey, 2002).

Suatu studi dimana beberapa orang kembar monozigot yang diberi

makanan berlebih sebanyak 100 kkal/hari, 6 hari perminggu selama lebih

dari 100 hari ditemukan bahwa jumlah pertambahan berat badan yang

secara signifikan bervariasi di antara pasangan kembar tersebut (Davey,

2002).

2.2.3.2 Neuroendokrin

Neuropeptida Y (hormon Hipotalamus yang merangsang nafsu

makan) dan leptin (hormon peptida yang disintesa di jaringan lemak yang

bekerja di hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan pengeluaran

energi), bekerja sama dengan neurotransmiter lain, mengatur

keseimbangan energi. Mutasi dari reseptor dan transmiter berhubungan

dengan obesitas pada tikus percobaan dan beberapa kasus obesitas berat

yang jarang pada manusia (Davey, 2002).

2.2.3.3 Obat-obatan yang terbukti meningkatkan terjadinya obesitas

Menurut Davey (2012), beberapa obat yang dapat meningkatkan

terjadinya obesitas antara lain:

18

Tabel 2.1

Obat-obatan yang meningkatkan obesitas

KATEGORI OBAT YANG MENYEBABKAN OBESITAS

Neuroleptics Thioridazine, olanzepine quetiapine, resperidone,

clozapine, ziprasodone

Antidepresan trisiklik Amitriptyline, nortriptyline

Inhibitor Monoamine

oxidase

Impramine, mitrazapine

Selective serotonin reuptake

inhibitors

Paroxetine

Anti konvulsan Asam Valproat, carbamazepine, gabapentin

Anti diabetes Insulin, sulfonilurea, thiazolidinediones

Anti serotonin Pizotifen

Anti histamin Siproheptadin

β-adrenergic bloker Propanolol, terazosin

Hormon Steroid kontrasepsi,glukokortikoid,progestational steroids

2.3 Penilaian Obesitas

2.3.1 Estimasi Berat Badan Ideal

Karena definisi overweight yang bervariasi, para ahli berusaha

mengembangkan definisi yang bermanfaat untuk berat badan yang sehat.

Rekomendasi mereka telah berkembang dari standar berat badan untuk

tinggi badan menjadi berat badan berdasarkan jenis kelamin (Stern,2009)

19

Pengukuran berat badan ideal terbaru yang diusulkan adalah Body

Mass Index (BMI) atau Indeks massa tubuh (IMT) yang diaplikasikan

untuk semua orang dewasa. Indeks Massa Tubuh dihitung dengan cara :

IMT = berat badan (kg)/ tinggi badan (m2)

Angka ini digunakan untuk menganalisa efek kesehatan berat

badan. Karena dalam penghitungan Indeks massa tubuh, umur dan

populasinya tidak berdasarkan ukuran tertentu/independen, Indeks massa

tubuh dapat digunakan untuk perbandingan studi silang di seluruh dunia.

Penghitungan Indeks massa tubuh dimaksudkan untuk diaplikasikan hanya

pada orang dewasa yang berumur 20 tahun ke atas (Stern, 2009).

Menurut International Obesity Task Force (IOTF) WHO pada

tahun 2004, klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia

sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini

Tabel 2.2

Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT

pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2004)

Kategori IMT (kg/m2) Risiko Comorbiditas

Underweight < 18.5 kg/m2 Rendah (tetapi risiko terhadap masalah-

masalah klinis lain meningkat)

Normal 18.5 - 22.9 kg/m2 Rata rata

Overweight: > 25

At Risk 27.5- 29.9 kg/m2 Meningkat

Obesitas I 30.0 -32.49kg/m2 Sedang

Obesitas II 35.0–37.49 kg/m2 Berbahaya

Obesitas III >40kg/ m2 Berbahaya

20

2.3.2 Pengukuran Lingkar Pinggang

Pengukuranan lingkar pinggang paling tepat untuk menentukan

obesitas sentral. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik

atau logam yang tidak elastis, di daerah setinggi umbilicus atau pada titik

tengah antara tulang iga paling bawah dengan puncak tulang iliaka.

Walaupun pengukuran lemak viseral/sentral yang paling akurat adalah

dengan CT scan atau MRI, tetapi mahal dan tidak praktis. Penelitian-

penelitian membuktikan lingkar perut adalah pemeriksaan yang baik dan

praktis serta tidak sulit (Despres, 2001).

Jaringan subkutan atau hipodermis adalah salah satu jaringan yang

terbesar yang Ada pada tubuh manusia. Komponen Utama lapisan ini

adalah adiposit, jaringan fibrosa, dan pembuluh darah. Diperkirakan

lapisan ini mewakili 9%-18% dari berat badan pada pria dengan berat

badan normal dan 14-20 dari berat badan pada wanita dengan berat badan

normal. Massa lemak dapat meningkat empat kali lipat pada obesitas berat,

yang mewakili 60-70% dari berat badan. Meskipun Pertambahan lemak ini

tidak diinginkan oleh banyak orang, kehilangan lemak di wajah juga

memiliki implikasi tersendiri secara kosmetik. Pertambahan dan hilangnya

jaringan adiposa dan perubahan volumenya berkontribusi pada penampilan

wajah dan tubuh yg menua (Baumann, 2009).

Jaringan subkutan biasanya tidak terlalu diperhatikan dibandingkan

dengan dermis atau epidermis Karena kelainan pada lapisan ini dapat di

deteksi dengan kerokan atau small punch biopsy. Jaringan subkutan Akan

21

diperhatikan bila telah mengalami defek yang luas dan akhirnya

diperlukan large punch biopsy (Baumann, 2009).

Mengetahui jumlah total lemak di dalam tubuh adalah hal utama

untuk mengetahui tingkat obesitas dan bahaya kesehatan yang

ditimbulkannya, hal lain yang juga tak kalah penting adalah mengetahui

distribusi atau lokasi lemak tersebut berada (Baumann, 2009).

Lemak yang berada di sekitar perut (abdominal fat) memberikan

risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di daerah paha atau

bagian tubuh.yang lain (gluteofemoral fat). Suatu metode yang sederhana

namun cukup akurat untuk mengetahui hal tersebut adalah mengukur

lingkar pinggang (Baumann, 2009).

Pengukuran lingkar pinggang adalah sebuah tolak ukur dari massa

lemak intra abdominal dan total body fat. Perubahan dalam lingkar

pinggang menggambarkan perubahan faktor risiko penyakit

kardiovaskular dan penyakit-penyakit kronik lainnya (WHO, 2014).

2.4 Hubungan Obesitas dengan Penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya

fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul

berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua

bagian, yaitu tanda fisik dan tanda psikis. Tanda fisik seperti massa otot

berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi

seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. Tanda

psikis antara lain menurunnya gairah hidup sulit tidur, mudah cemas,

mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi (Pangkahila, 2011).

22

Obesitas adalah sebuah kondisi dimana terjadi akumulasi lemak

yang abnormal yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan dan

penurunan harapan hidup. Bertambahnya berat badan dan akumulasi

jaringan lemak meningkatkan risiko penyakit-penyakit seperti penyakit

kardiovaskular, diabetes mellitus tipe dua, penyakit muskuloskletal,

penyakit paru-paru dan beberapa jenis kanker. Ketidakseimbangan

komposisi tubuh dan berat badan merupakan sebuah keadaan

meningkatnya stres oksidatif dan inflamasi dalam tubuh. Meningkatnya

stres oksidatif dan inflamasi mempengaruhi telomer. Telomer merupakan

sebuah protein DNA yang ditemukan pada ujung kromosom eukariot dan

berfungsi sebagai penanda penuaan biologis. Telomer juga berfungsi

mempertahankan integritas genom dan berperan dalam disfungsi

metabolik akibat penuaan. Erosi telomer berbahaya bagi sel yang sehat,

dan dikenal sebagai mekanisme senesens atau penuaan sel dini dan

berkurangnya harapan hidup. Hubungan antara telomere dan stres oksidatif

terbukti secara in vitro, dimana stres oksidatif meningkatkan proses erosi

pada setiap siklus replikasi. Telomer yang memendek dikaitkan dengan

meningkatnya indeks massa tubuh, meningkatnya adipositas, dan

meningkatnya waist to hip ratio serta akumulasi lemak viseral yang

berlebih. Gangguan metabolik yang diakibatkan oleh obesitas

mengakibatkan disfungsi organ yang menyerupai proses penuaan

(Tzanetakou, 2012).

23

2.5 Penimbunan lemak setempat

Manusia merupakan mahluk yang unik diantara mamalia dalam hal

perbedaan total lemak tubuh dan distribusinya pada laki-laki dan

perempuan. Sekitar 15% dari massa tubuh pria dewasa sehat adalah lemak

sedangkan pada wanita sekitar 27%. Perbedaan ini timbul sejak lahir,

tetapi selama masa pubertas peningkatan kadar estrogen menurunkan

kemapuan wanita untuk mengoksidasi lemak dan meningkatkan kapasitas

wanita untuk menyimpan lemak. Jaringan adiposa wanita terdeposit

terutama di daerah subkutan abdomen, payudara, pinggul, dan paha

sedangkan pada pria lebih cenderung terakmuluasi pada jaringan adiposa

viseral (Bellisari, 2013).

Berat badan cenderung bertambah seriring dengan bertambahnya

usia karena menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan

pengeluaran energi dibanding jumlah makanan yang dikonsumsi

(Chapman, 2010).

Timbunan lemak lokal terjadi ketika jaringan lemak terakumulasi

pada bagian-bagian tertentu dari tubuh pada wanita dan laki-laki (Anonim,

2014).

Pada proses penuaan terjadi peningkatan deposit lemak dan

penurunan massa lemak bebas karena berkurangnya otot skeletal sehingga

orang tua memiliki lemak tubuh lebih banyak dibanding orang muda.

Pada suatu studi, rata-rata presentasi lemak tubuh pada orang yang berusia

75 tahun dengan berat 80kg adalah 29%, sedangkan orang muda yang

berusia 20 tahun dengan berat badan sama hanya memiliki 15% lemak

24

tubuh. Peningkatan lemak tubuh ini memiliki banyak sebab yaitu

penurunan aktivitas fisik, penurunan sekresi growth hormon, penurunan

hormon seks, dan penurunan resting metabolic rate (Chapman, 2010).

Penimbunan lemak setempat adalah masalah yang umum terjadi dan

menyebabkan penampilan yang kurang baik secara estetik dari tubuh

(timbunan lemak) dan kulit (selulit) (Anonim, 2104).

Pada manusia, sebagian besar lemak terdeposit pada subkutan,

sampai dengan 20% dari total lemak tubuh terdeposit pada jaringan

adiposa di dalam rongga abdomen. Pola distribusi lemak adalah penentu

utama dari variasi bentuk tubuh (Bray, 2005).

2.4.1 Variasi bentuk tubuh

Terdapat 3 macam variasi bentuk tubuh berdasarkan karakteristik

distribusi lemak (Boyko, 2000), antara lain:

1. Gynoid (Bentuk Peer)

Lemak disimpan di sekitar pinggul dan bokong Tipe ini cenderung

dimiliki wanita. Risiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya

kecil, kecuali risiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena

(varicose veins)

Gambar 2.1 Bentuk tubuh Gynoid

25

2. Apple Shape (Android)

Biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut.

Risiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe

Gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan

lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel

lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah

dapat menyebabkan penyempitan arteri (hipertensi), diabetes, penyakit

kandung empedu, stroke, dan jenis kanker tertentu (payudara dan

endometrium

Gambar 2.2 Bentuk tubuh Apple Shape

3. Ovioid (bentuk kotak buah)

Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid

umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik

Gambar 2.3 Bentuk Tubuh Ovioid

26

Beberapa contoh penimbunan lemak setempat yang berkaitan

dengan penuaan antara lain :

1. Selulit

Selulit terjadi terutama pada wanita tua pada bokong, perut dan paha.

Faktor risiko seperti kurang berolahraga, obesitas, usia tua, memiliki

hormon berlebih dan drainase limfatik yang kurang baik mencetuskan

timbulnya selulut. Hal ini ditandai dengan lekukan dan nodul pada kulit,

dimana kulit tampak dan terasa tidak rata, seperti kulit jeruk (Baumann,

2009).

Selulit lebih banyak dihasilkan dari perubahan di dermis daripada di

jaringan subkutan. Meskipun selulit sering ditemukan pada wanita yang

sehat, tidak obesitas tetapi selulit akan diperburuk dengan adanya obesitas.

Selulit diperkirakan terbentuk dari penghancuran kolagen di dalam dermis,

yang memicu adanya area yang lemah di dermis dan penonjolan lemak

subkutan ke dermis seperti penekanan mikrosirkulasi di dermis.

Pengurangan massa lemak dapat juga dilakukan dengan lipolisis, seperti

liposuction dan mesoterapi (Baumann, 2009).

2. Lipodistrofi

Lipodistrofi adalah istilah yang menjelaskan suatu abnormalitas dimana

terjadi peningkatan lemak subkutan (lipohipertrofi) atau penurunan lemak

subkutan (lipoatrofi). Lipodistrofi dapat terjadi secara kongenital atau

didapat, terjadi meluas, sebagian atau setempat. Dua bentuk kelainan yang

umum terjadi yaitu lipodistrofi karena proses penuaan dan karena HIV

(Baumann, 2009).

27

Selain berbagai masalah bagi kesehatan yang dapat terjadi, obesitas

juga dapat mengurangi penampilan fisik seseorang. Penimbunan lemak

setempat yang seringkali disertai dengan selulit, khususnya pada wanita,

membuat wanita menjadi tidak nyaman dan kurang percaya diri dengan

penampilannya. Hal ini yang mendorong para wanita untuk mengatasi hal

tersebut dengan berbagai cara (Dunn, 2003).

Penanganan obesitas selalu diawali dengan perubahan pola makan

dengan mengkonsumsi diet rendah kalori, dan berolahraga teratur. Bila

tidak berhasil atau disertai dengan komorbiditas, maka perlu diberikan

terapi medis dalam penanganannya. Pemilihan terapi medis dalam

penanganan obesitas disesuaikan dengan berat badan seseorang. Terapi

medis yang diberikan mulai dari perubahan gaya hidup, pola makan yang

sehat, farmakoterapi hingga tindakan bedah seperti Liposuction, yang

diikuti risiko infeksi dan ketakutan, seperti komplikasi pada anestesi

umum (Dunn, 2003).

2.4.2 Penanganan Timbunan Lemak Setempat

Meskipun obesitas dianggap sebagai penyakit, tetapi sumber daya

untuk mengatur dan menanganinya sangat terbatas (Wimalawansa, 2014).

Sangat penting untuk mendapat pendekatan baru untuk mengidentifikasi

mereka yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk komplikasi lebih lanjut

dan untuk mengembangkan rencana intervensi yang memiliki target

dengan biaya yang terjangkau. Seperti penyakit lain, obesitas mempunyai

penyebab (kalori yang tidak berimbang, makanan yang berkalori tinggi,

makanan yang bergizi rendah), patofisiologi (distribusi lemak abnormal

28

dan mekanisme kontrol berat badan tidak jelas) dan ketersediaan terapi

yang efektif (Wimalawansa, 2014).

Rasa takut terhadap operasi dan komplikasinya telah melahirkan

metode alternatif yang lebih aman dan efektif untuk mendapat reduksi

deposit lemak setempat pada wajah atau tubuh (Hexsel dkk., 2003).

Teknik yang paling banyak digunakan untuk membentuk tubuh

selama ini adalah liposuction. Sekarang ini, banyak metode untuk

penanganan obesitas yang telah diperkenalkan di seluruh dunia dan

banyak laporan kasus yang telah dipublikasi. Senyawa fosfatidilkolin dan

asam deoksikolat adalah satu diantaranya, dan telah diperkenalkan untuk

mereduksi lemak jaringan secara efisien tanpa komplikasi serius (Noh,

2012).

Injeksi Subkutan Fosdatidilkolin dan Asam Deoksikolat telah

digunakan secara luas di banyak negara untuk jangka waktu yang lama

untuk mengeliminasi timbunan lemak sebagai alternatif Liposuction (Won

dkk., 2013).

Koreksi pembentukan tubuh dapat menurunkan faktor resiko

obesitas tetapi lebih penting hal ini meningkatkan kepercayaan diri pasien.

Contoh yang khas untuk pembentukan tubuh yaitu liposuction. Prosedur

ini dilakukan dengan anestesi umum dan lebih mahal. Lebih jauh lagi

komplikasi fatal dapat terjadi, seperti emboli lemak dan sepsis, walaupun

hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, banyak metode lain yang

dikembangkan untuk membentuk tubuh melalui reduksi lemak setempat.

Meskipun banyak dari prosedur ini telah tersedia, masih sedikit yang telah

29

diuji efikasi dan keamanannya untuk mereduksi sel dan jaringan adiposa

(Noh, 2012).

Mesoterapi merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk

mereduksi penimbunan lemak setempat. Mesoterapi adalah penggunaan

injeksi intrakutan atau subkutan yang mengandung bahan atau kombinasi

bahan untuk mengobati penyakit medis lokal dan beberapa kondisi

kosmetik. Mesoterapi juga dikenal sebagai intradermotherapy, yang tidak

menunjukkan pengobatan setiap kondisi tertentu, melainkan

menggambarkan suatu metode pengiriman obat (Rotunda, 2006). Zat–zat

yang dimasukkan antara lain aminophylline, pentoxifylline, L-carnitin,

procaine, lidocaine, phosphatidylcholine, organic silicium (Rittes dkk.,

2006).

2.6. Ekstrak Kedelai

2.6.1 Taksonomi

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi

bahan dasar banyak makanan seperti kecap dan tempe.

Nama ilmiah : Glycine Soja Sieb. et Zucc

N a m a l o k a l : K e d e l a i ( In d o n e s i a )

K e d h e l e ( M a d u r a )

K e d e l a i , K a c a n g j e p u n , K a c a n g b u l u

( S u n d a )

La w u i ( B i m a )

D e l e , D a n gs u l , D e k e m a n (Jawa)

Retak Menjong (Lampung)

30

KacangR i m a n g ( M i n a n g k a b a u )

S a r u p a p a ( T i t a k )

K a d a l e ( U j u n g P a n d a n g )

Gadelei (Halmahera)

Nama asing : Soybean (Inggris), Soyaboon (Belanda).

Berikut adalah klasifikasi ilmiah dari kedelai :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonnae

Ordo : Leguminales

Famili : Leguminoceae

Marga : Glycine

Spesies : Glycine max (L.) Merill (Adisarwanto,2005)

Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati,

serat, oligosakarida, isoflavon dan mineral. Karbohidrat kompleks

dan kandungan serat berkontribusi terhadap indeks glikemik yang rendah,

yang menguntungkan bagi penderita diabetes, mengurangi risiko diabetes.

Mengganti protein hewani dengan sayuran dapat mengurangi ekskresi

kalsium urin dan mengurangi risiko osteoporosis. Komponen serat makanan

mencakup serat larut dan tak larut, yang bermanfaat bagi kesehatan. Mineral

dalam kedelai, dapat mengurangi risiko osteoporosis dan hipertensi.

Protein kedelai memiliki daya cerna protein yang sama baiknya

dengan protein telur. Kedelai juga dapat menurunkan kolesterol karena

31

kandungan protein dan isoflavonnya. Isoflavon kedelai dapat berfungsi juga

sebagai antioksidan (Anderson dkk., 1999).

Kedelai mengandung asam linoleat yang merupakan asam lemak yang

dominan dan 7% asam linolenat (Anderson dkk., 1999). Kedelai juga

mengandung lesitin sekitar 2%. Lesitin ini merupakan sumber senyawa

kolin yang penting untuk pembentukan fosfolipid di dalam membran sel

(Maria, 2008). Lesitin ini terdiri dari 98% fosfolipid, yaitu fosfatidilkolin

(25,0%), fosfatidiletanolamin (22,0%), fosfatidilinositol (18,0%), lyso-

fosfatidilkolin (1,0%), fosfolipid lainnya dan glikolipid (34,0% ) (Drake,

1998).

Kedelai Indonesia dengan kandungan lemak tertinggi yaitu 19,3-20,8%

adalah kedelai Argomulyo. Kandungan lemak ini hampir setara dengan

kedelai impor yang mengandung lemak sekitar 21,4-21,7%, Keunggulan

lain dari kedelai Argomulyo adalah sifatnya yang resisten terhadap hama

daun sehingga mudah dibudidaya (Ginting dkk., 2009).

2.7. Fosfatidilkolin

Fosfatidilkolin banyak terdapat pada kedelai (Noh, 2012).

Fosfatidilkolin merupakan komponen fosfolipid utama pada membran sel

dan menjadi precursor dari asetilkolin. Molekul phosphatydilcholine terdiri

dari kelompok phosphorylcholine, gliserol phosphat, dan dua rantai asam

lemak yang bervariasi. Zat ini mencegah akumulasi lemak dan digunakan

untuk mengobati gagal hati yang diinduksi fatty liver, iskemi miokardium,,

strok dan demensia. Fosfatidilkolin juga telah diperkenalkan untuk lipolisis

untuk penanganan obesitas di Amerika, Eropa dan Amerika Selatan. Asam

32

deoksikolat digunakan untuk memproduksi deterjen sehingga fosfatidilkolin

dapat terlarut dengan baik (Noh, 2012).

Gambar 2.4 Molekul fosfatidilkolin (Dikutip dari Kurniawan, 2010)

Gambar 2.5 Biosintesis fosfatidilkolin ( Dikutip dari Kurniawan, 2010)

33

Fosfatidilkolin adalah fosfolipid yang diekstraksi dari lesitin kedelai

yang terdapat dalam jumlah banyak di dalam membran sel, secara aktif

terlibat dalam struktur dan transportasi antarsel. Zat ini dapat mengubah

kolestrol dan metabolisme trigliserid lain. Zat ini dapat meningkatkan

kelarutan kolestrol, mengubah komposisi deposit lemak, dan menghambat

agregasi plak. Karena alasan-alasan tersebut, fosfatidilkolin digunakan

secara intravena pada pengobatan ateroma lemak, hiperkolestrolemi, emboli

lemak, deposit lemak atau adhesi plak di dinding arteri, gangguan mental,

gangguan jantung dan hati yang diinduksi pengobatan, alkohol, polusi, virus

dan toksin (Hexsel dkk., 2003).

Peningkatan fosfatidilkolin pada membran sel dapat mempercepat

lipolisis dengan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin. Disamping itu,

fosfatidilkolin adalah fosfolipid utama pada surfaktan di paru. Di sisi lain,

fosfatidilkolin menginduksi apoptosis sel kanker hati. Selain itu, ukuran

lipoma berkurang setelah suntikan fosfatidilkolin intralesi (Hailan dkk.,

2011).

Rotunda mengemukakan bahwa efek lipolitik yang dimiliki

fosfatidilkolin dalam darah dan hati memberikan hasil yang memuaskan

untuk efek lipolitiknya setelah injeksi subkuta (Rotunda, 2006).

Fosfatidilkolin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an.

Fosfatidilkolin digunakan pertama kali sebagai pilihan pengobatan untuk

kasus kardiovaskular, penyakit cerebrovaskular, dan pencegahan demensia.

Pada tahun 1980an, fosfatidilkolin dilaporkan untuk terapi estetik pada

International Convention of Mesotherapy di Paris. Pada konvensi ini, dr.

34

Sergio Magguion dari Italia mengumumkan pertama kali efek lipolitik

fosfatidilkolin untuk mengatasi xantelasma pada kelopak mata. Pada

pertengahan 1990an, seorang dermatolog dari Brazil, dr.Patricia Rittes

mempublikasi petunjuk penggunaan fosfatidilkolin untuk menghilangkan

lemak intraorbital. Hal ini menginisiasi penemuan-penemuan banyak teknik

lipolisis parsial di seluruh dunia dan banyak penelitian di Amerika Serikat di

bawah pengawasan FDA. Pada tahun 2006, dr. Franz Hasengschwandtner

dari Austria mempublikasi penemuan dimana 441 pasien yang mendapat

suntikan fosfatidilkolin mengalami efek lipolisis. Dia menjelaskan bahwa

fosfatidilkolin sangat aman, dan 6 pasien yang terlibat dalam studi tersebut

sangat puas dengan hasilnya (Noh, 2012).

Dari beberapa laporan yang dihasilkan membuat banyak praktisi

medis di Perancis, Italia dan Brasil mulai menggunakan Lipostabil® (yang

diperuntukkan untuk injeksi intravena) sebagai injeksi subkutan untuk

menghancurkan deposit lemak lokal. Di Brazil, penggunaan fosfatidilkolin

untuk kosmetik dimulai pada akhir tahun 1990an. Fosfatidilkolin telah

digunakan secara luas di Brazil untuk berbagai kondisi klinis dimana

terdapat penumpukan lemak di jaringan subkutan. Kondisi ini diobati secara

konvensional dengan liposuction atau dermolipectomy. Fosfatidilkolin lebih

efektif dan memiliki efikasi lebih tinggi pada beberapa kasus, baru, kurang

invasif, pengobatan potensial yang menjanjikan untuk kondisi yang meliputi

”buffalo-hump” (kondisi yang tidak estetik yang berhubungan dengan HIV

dengan Fat Redistribution Syndrome/FRS), lipoma, eye bulging, dan

35

Xantelasma. Kemungkinan penggunaan lain meliputi lemak setempat di

paha, pinggul, perut leher, bagian bawah wajah (Hexsel dkk., 2003).

2.7.1 Mekanisme kerja fosfatidilkolin

Mekanisme kerja fosfatidilkolin yang disuntikkan ke dalam jaringan

subkutan belum jelas, namun diduga obat ini menembus sel lemak melalui

double lipid layer dan berperan sebagai bahan yang melarutkan lemak

(emulfying agent). Namun, belum ada studi histologis dan atau

farmakodinamis yang menguatkan dugaan tersebut (Hexsel dkk., 2003).

Formulasi fosfatidilkolin yang umumnya digunakan di klinik berisi

fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Hal ini menandakan bahwa asam

deoksikolat (deterjen dalam formulasi fosfatidilkolin) adalah zat aktif

untuk menghancurkan lemak dan bukan fosfatidilkolin. Efek samping

utama dari penyuntikkan formulasi fosfatidilkolin hanya ringan seperti

kemerahan, bengkak dan kulit menjadi sensitif bila disentuh di bawah area

suntikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa efek samping yang tersebut di

atas terjadi karena asam deoksikolat, bukan karena fosfatidilkolin itu

sendiri. Asam deoksikolat menginduksi lisis membran sel yang kemudian

menghasilkan nekrosis. Hal ini menjadi menarik karena hasil pemeriksaan

MTT dengan jelas mengindikasikan bahwa fosfatidilkolin sendiri tanpa

asam deoksikolat menginduksi apoptosis sel 3T3-L1 pre-adipocytes. Hasil

ini juga menunjukkan bahwa efek kematian sel 3T3-L1 oleh formulasi

fosfatidilkolin tidak hanya tergantung pada asam deoksikolat. Disamping

itu, percobaan flow cytometric menunjukkan bahwa terapi dengan

Lipobean® menyebabkan lisis membran sel karena asam deoksikolat.

36

Perbedaan besar pada luasnya viabilitas sel saat ini dengan eviden di

antara 0,5mg/ml-1mg/ml Lipobean®. Konsentrasi Lipobean® ini

merupakan ambang batas untuk stabilitas membran (Hailan dkk., 2011).

Pada studi Hailan dkk, formulasi fosfatidilkolin dengan asam

deoksikolat menginduksi lisis berbagai sel termasuk pre-adipocytes,

fibroblas normal, sel endotel, dan sel otot rangka dalam cara yang tidak

spesifik. Injeksi formulasi fosfatidilkolin dengan asam deoksikolat dapat

menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan fosfatidilkolin sendiri tanpa

asam deoksikolat tidak menginduksi kematian sel fibroblas normal. Hal ini

menjadi penting bahwa fosfatidilkolin hanya mereduksi viabilitas adiposit

secara spesifik, tetapi tidak menurunkan viabilitas sel lain seperti fibroblas.

Di sisi lain, formulasi fosfatidilkolin dan asam deoksikolat menginduksi

kematian dua tipe sel. Hasil ini mengindikasikan bahwa kandungan asam

deoksikolat di dalam fosfatidilkolin menginisiasi lisis sel yang memicu

terjadinya nekrosis sel. Studi lebih jauh dibutuhkan untuk mengkonfirmasi

hal tersebut (Hailan dkk., 2011).

Fosfatidilkolin menginduksi apoptosis di sel seperti sel kanker kolon,

sel endotel vaskular dan makrofag. Fosforilasi dari jalur stress-activated

protein kinase dan pembelahan dari caspases merupakan jalur utama

apoptosis. Khususnya, aktivasi induksi the death-receptor dari caspase-8

dan jalur mitokondria adalah hal yang utama dalam jalur apoptosis.

Fosfatidilkolin yang menginduksi apoptosis dikarenakan meningkatnya

aktvasi reseptor kematian sel. Kemungkinan ini dapat diperiksa lebih jauh

37

untuk menjelaskan jalur apoptosis yang diinduksi oleh fosfatidilkolin

(Hailan dkk., 2011).

Kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis, diikuti pembelahan

protein dan DNA. Dua jalur kematian sel ini dihubungkan dengan

perbedaan pola dari pembelahan protein. Sebagai contoh, pembelahan

poly(ADP-ribose) polymerase (PARP) memicu fragmen 85kD selama

apoptosis tetapi memicu fragmen 50kD pada nekrosis sel mati. Caspase-3

adalah sinyal transduser pada pre-adiposit 3T3-L1 (Hailan dkk., 2011).

Walaupun jaringan adiposa secara umum dipertimbangkan sebagai

tempat penyimpanan energi sementara pada tubuh manusia, jaringan

adiposa juga berfungsi sebagai organ endokrin yang mengontrol sistem

vaskular, respons imun, dan metabolisme melalui sekresi growth factor,

hormon, sitokin dan enzim. Hormon yang diproduksi jaringan adiposa

disebut juga Adipokines, seperti adiponektin, leptin dan resistin secara

dominan disekresi oleh jaringan adiposa dan merupakan protein bioaktif

yang penting yang mengatur perkembangan obesitas dan komplikasinya

termasuk Diabetes Mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Sebagai

tambahan, adiposit sangat esensial untuk memproduksi pro-inflamatory

cytokines seperti TNF-α, Interleukin-6 (IL-6), dan chemokin monocyte

chemotactic protein-1 (MCP-1) (Won dkk., 2013).

Pada studi in vivo lainnya dengan bahan percobaan menggunakan

kelinci menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara lemak yang

disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin dan kontrol 21 hari setelah

penyuntikkan. Bagaimanapun juga, studi tersebut melaporkan inflamasi

38

berat dan fibrosis selama durasi ekperimen seluruhnya. Beberapa laporan

mendukung hipotesis bahwa preparat fosdatidilkolin/asam deoksikolat

menginduksi sel inflamasi yang menginfiltrasi ke tempat suntikkan dan

terjadi kerusakan jaringan secara progresif setelah suntikkan (Won dkk.,

2013).

Studi lain melaporkan bahwa hanya dengan suntikan asam

deoksikolat ke kulit daging babi yang baru dibuang menyebabkan

rusaknya jaringan sel lemak, serupa dengan suntikkan kombinasi preparat

fosdatidilkolin/asam deoksikolat (Won dkk., 2013).

Oleh karena itu, penemuan Won dkk dapat mencerminkan kematian

adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam deoksikolat sendiri.

Fosfatidilkolin sendiri tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan

berperan protektif melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam

deoksikolat (Won dkk., 2013). Meskipun Palumbo dkk melakukan

percobaan secara in vitro ke dalam jaringan adiposa yang telah dibelah

dan adiposit, saran mereka mungkin merupakan penjelasan yang krusial

mengapa injeksi hanya dengan fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA

adiposa pada studi tersebut (Palumbo, 2010). Karena alasan ini,

fosfatidilkolin dapat meregulasi penurunan ekspresi gen hormon jaringan

adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan asam

deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang

menghasilkan penurunan ekspresi gen hormon (Won dkk., 2013).

39

Pemberian fosfatidilkolin meningkatkan transkripsi Hormon-

sensitive Lipase, enzim kunci dari lipolisis, dan menurunkan peripilin

(anti-lipolytic factor) (Won dkk., 2013).

Pada penelitian yang lebih dahulu yang mencakup 3T3-L1 cell lines,

pengobatan dengan fosfatidilkolin sendiri meningkatkan lipolisis

(moderately) sama seperti dengan pengobatan dengan isoproterenol, dan

studi ini tidak menunjukkan toksisitas ke dalam sel. Sebaliknya, kombinasi

fosfatidilkolin/asam deoksikolat tidak mempengaruhi lipolisis dan

menunjukkan sitotoksisitas ke dalam sel, meskipun aktivitas dari

fosfatidilkolin sendiri tidak diobservasi dengan dosis tertentu (Klein dkk.,

2009). Meskipun memiliki aktivitas lipolitik yang lemah, fosfatidilkolin

dapat menginduksi lipolisis dengan mekanisme yang berbeda dari respon

katekolamin adiposit. Hal ini didukung oleh observasi Won dkk dimana

terdapat penurunan ekspresi gen ATGL (adipose triglyceride lipase) dan

TGH (triacylglycerol hydrolase) pada bantalan lemak yang telah diobati

dengan fosfatidilkolin, yang mencakup respon lipolitik dan PPARγ

(peroxisome proliferator-activated receptor-γ), suatu petanda lipogenesis.

Lebih jauh lagi, pengobatan dengan asam deoksikolat sendiri mereduksi

ekspresi gen dari semua faktor-faktor yang berhubungan dengan lipolisis

dan petanda lipogenesis. Kerusakan adiposit dari asam deoksikolat sendiri

dapat menurunkan gen ini (Won dkk., 2013).

Pada studi Won, ekspresi gen IL-1β, IL-6, MCP-1, dan IL-10

menurun pada bantalan lemak yang disuntik dengan fosfatidilkolin dan

asam deoksikolat. Transkripsi TNF-α terjadi hanya pada jaringan yang

40

telah disuntikkan fosfatidilkolin (Won dkk., 2013). Bechara dkk,

melaporkan bahwa preparat fosfatidilkolin/asam deoksikolat secara drastis

menaikkan level mRNA dari TNF-α, IL-6, IL-8 dan IL-10 pada human

lipoma 48 jam setelah injeksi intralesi, sedangkan IFN-γ, IL-2, dan IL-5

yang tidak dapat terdeteksi di jaringan. Pada studi sebelumnya ditunjukkan

bahwa netrofil menjadi populasi terbesar dari sel yang menginfiltrasi ke

jaringan lipoma yang disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin/asam

deoksikolat sampai dengan 48 jam setelah pengobatan, setelah itu, jumlah

netrofil secara bertahap melebihi sel T dan makrofag (Bechara dkk., 2007).

Sehingga, di dalam studi ini, penyuntikkan jaringan adiposa dengan asam

deoksikolat sendiri merangsang invasi oleh sel inflamasi khususnya

makrofag (yang merupakan produsen utama IL-1β, IL-6 dan TNF-α).

Secara umum, dapat dipercaya bahwa TNF-α dan IL-6 menghambat

produksi adiponektin di jaringan adiposa dan juga sebaliknya, seperti

adiponektin menekan sekresi TNF-α dan IL-6 (Won dkk., 2013). Fantuzzi

memperkenalkan a self-sustaining inflamatory loop , yang digambarkan

bahwa inflamasi yang diinduksi obesitas memperlambat produksi

adiponektin, nilai rendah dari adiponektin menyebabkan inflamasi yang

lebih hebat, membantu menjelaskan kelainan metabolime yang berkaitan

dengan adiponektin (Fantuzzi, 2008). Paradigma ini sangat penting untuk

dimengerti bahwa aksi fosfatidilkolin di jaringan adiposa. Hasil penelitian

Won dkk menunjukkan pengobatan fosfatidilkolin meningkatkan secara

siginifikan ekpresi gen sitokin dan secara simultan penurunan transkripsi

mRNA adiponektin. Selain itu, pada pengamatan bahwa TNF-α

41

merangsang lipolisis di Murine dan kultur adiposit manusia mendukung

hipotesis bahwa fosfatidilkolin sendiri memiliki aktivitas lipolitik (Won

dkk., 2013).

Berlawanan dengan peran anti-inflamatory yang dimiliki

adiponektin, leptin dan resistin biasanya dikategorikan sebagai pro-

inflamatory adipokines. Namun telah dilaporkan bahwa leptin merangsang

produksi baik sitokin pro-inflamatory dan anti-inflamatory secara timbal

balik, sehubungan dengan kondisi eksperimen, dan bahwa ekspresi leptin

diregulasi baik secara negatif dan positif oleh stimulasi inflamasi berbeda.

Kondisi penelitian dengan injeksi fosfatidilkolin akan merangsang leptin

yang berperan sebagai anti-inflammatory, seperti adiponektin (Won dkk.,

2013).

Efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa

mencetus perubahan sitokin pro-inflammatory, lipase dan hormon jaringan

adiposa. Bagaimanapun juga, terdapat perbedaan bermakna antara

fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Pada ekspresi sitokin, TNF-α

diinduksi oleh fosfatidilkolin tetapi tidak oleh asam deoksikolat. Pada

ekspresi lipase, Hormon-sensitive Lipase ditingkatkan oleh fosfatidilkolin

tetapi diturunkan oleh asam deoksikolat. Efek yang berbeda dari

fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa dapat

menyebabkan hasil yang berbeda. Tujuh hari setelah injeksi fosfatidilkolin

atau asam deoksikolat, fosfatidilkolin menginduksi turunnya berat jaringan

adiposa tetapi asam deoksikolat menginduksi reduksi massa DNA tanpa

penurunan berat badan. Hasil morfologi pada penelitian Won dkk

42

menunjukkan perbedaan efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat

pada jaringan adiposa. Dengan kata lain, fosfatidilkolin sendiri bertindak

sebagai agen lipolitik tetapi asam deoksikolat sendiri dapat menginduksi

kerusakan jaringan, walaupun studi lebih jauh diperlukan untuk

pemahaman yang lebih baik pengaruh secara sistemik toksisitas yang

diinduksi asam deoksikolat dan efek lanjutan dari fosfatidilkolin sendiri

pada jaringan adiposa (Won dkk., 2013).

2.7.2 Toksisitas dan Efek Samping Fosfatifilkolin

Semua test yang dilakukan sebelum dan sesudah pengobatan tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan baik pada fungsi hati maupun

profil lipid. Studi yang lebih luas untuk meyakinkan keamanan obat ketika

diinjeksi subkutan. Pada penelitian Hexel dkk fosfatidilkolin tidak

menunjukkan hepatotoksik dan menyebabkan perubahan pada

metabolisme lemak ketika digunakan untuk mengurangi ketebalan

subkutan dengan dosis yang tepat. Beberapa pasien akan mengalami

perubahan pada hasil laboratorium, seperti pada penderita diabetes,

dyslipidosis, obesitas, dan penyakit endokrin serta pasien dengan

gangguan hati. Pada pasien-pasien ini, peringatan dan pengontrolan hasil

lab diperlukan untuk pengobatan dengan injekasi fosfatidilkolin (Hexsel

dkk., 2003).

Meskipun ketertarikan pada fosfatidilkolin meningkat saat ini, studi

tentang efek lipolisis yang dimiliki fosfatidilkolin masih sedikit. Beberapa

studi tentang lipolisis yang dilaporkan menggunakan kelinci tetapi

hasilnya tidak dapat disimpulkan (Noh, 2012).

43

Ekstrak fosfatidilkolin yang telah dimurnikan yang berasal dari

lesitin yang terdapat di dalam kuning telur dan kedelai yang digunakan

untuk menyiapkan nutrisi parentral dalam bentuk emulsi. Hal ini telah

dijelaskan bahwa di dalam infus berisi 1,2% fosfatidilkolin yang berasal

dari ekstrak kuning telur dan 55% glukosa (1ml/kg/jam) yang diberikan

kepada kucing, didapatkan insiden yang rendah akibat efek samping. Oleh

karena itu, fosfatidilkolin dipertimbangkan sebagai obat yang non-toksis

untuk penggunaan parentral (Hexsel dkk., 2003).

Efek samping yang diobservasi setelah penyuntikkan fosfatidilkolin

pada jaringan adiposa hanya sementara, tidak serius, dan tidak ada luka

permanen. Efek samping biasanya muncul setelah 2-5 hari setelah

penyuntikkan, tetapi bervariasi antara satu pasien dan yang lain tergantung

metabolisme masing-masing individu. Beberapa faktor yang menentukan

kurang berhasilnya atau makin besarnya faktor resiko seperti, injeksi yang

terlalu berlebihan pada satu titik, antisepsis yang salah, dosis yang

berlebihan, jarak antar suntikan yang terlalu dekat, injeksi superfisial

kurang dari 1 cm di bawah permukaan epidermal dan orang yang tidak

kompeten melakukan penyuntikkan. komplikasi yang terjadi antara lain

infeksi, alergi, nekrosis jaringan dan iregularitas permukaan tubuh (Hexsel

dkk., 2003).

Beberapa laporan mengenai efek samping injeksi subkutan

fosfatidilkolin juga dilaporkan berdasarkan dari beberapa praktisi baik

diluar maupun di dalam negeri. Beberapa efek samping yang pernah

dilaporkan antara lain :

44

1. Rasa terbakar yang dapat berlangsung 15-20 menit

2. Nyeri sedikit selama beberapa hari

3. Sedikit pembengkakan yang dapat berlangsung 1-5 hari

4. Sedikit perubahan warna kulit yang dapat hilang sendiri atau dapat

5. Risiko kecil terkena infeksi (risiko pada semua injeksi obat)

(Bauman, 2003).

2.8. Liposom

Liposom adalah vesikel yang sangat kecil yang terbuat dari bahan

yang sama dengan membrane sel. Liposom dapat diisi dengan obat

digunakan untuk mengantar obat untuk pengobatan kanker dan penyakit

lainnya (Dua dkk., 2012).

Gambar 2.6 Struktur Liposom (Dua dkk.,2012)

Liposom berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu, Lipos

yang berarti lemak dan Soma yang berarti tubuh/badan. Secara struktur,

Liposom adalah gelembung konsentris yang dalam volume yang encer

seluruhnya diselubungi oleh 2 lapis membran lemak (bilayer lipid).

Membran tersebut biasanya terbuat dari fosfolipid yang memiliki bagian

45

kepala dengan sifat hidrofilik dan bagian ekor dengan sifat hidrofobik (Dua

dkk., 2012).

Ketika membran fosfolipid rusak, fosfolipid dapat merakit kembali

dirinya sendiri menjadi lapisan yang sangat tipis, lebih kecil dari sel normal

baik sebagai lapisan satu lapis maupun lapisan dua lapis. Struktur lapisan

dua lapis ini disebut Liposom. Struktur lapisan satu lapis disebut Micelles.

Lemak di dalam membran plasma terutama terdiri dari fosfolipid seperti

fosfatidiletanolamin dan fosfatidilkolin (Dua dkk., 2012).

Liposom umumnya diaplikasikan melalui intravena, tetapi aplikasi

secara topikal, subkutan, intramuskular dan intraperiotenal juga masih

memungkinkan untuk memasukkan liposom ke dalam tubuh. Liposom yang

diberikan secara oral memiliki kemungkinan lebih besar untuk terdegradasi

sebelum sampai pada target organ sehingga pemberian liposom secara oral

jarang digunakan sebagai sistem penghantar obat (Moghimi dan Patel,

1998)

Pemberian Liposom melalui intravena akan membawa liposom

masuk ke dalam sirkulasi darah. Di dalam sirkulasi darah, Liposom akan

berinteraksi dengan lipoprotein atau protein pengenal zat asing yaitu

opsonin. Interaksi liposom dengan lipoprotein menyebabkan membran

bilayer liposom kehilangan fosfolipidnya sehingga membran rusak dan obat

keluar dari liposom. Selain berinteraksi dengan lipoprotein, liposom yang

merupakan benda asing akan mengalami pembersihan (clearance) dari

sirkulasi darah. Proses clearance ini didahului oleh penempelan opsonin

pada liposom dan membentuk jembatan yang menghubungkan antara

46

makrofag dan liposom sebagai substrat yang akan difagosit.Dengan adanya

opsonin, liposom akan diambil makrofag dalam darah dan terdistribusi pada

organ-organ yang banyak mempunyai makrofag seperti hepar,limfa, paru-

paru dan kulit.Oleh karena itu, liposom berpotensi baik sebagai media

penghantar obat untuk penyakit yang menyerang organ-organ tersebut

(Moghimi dan Patel, 1998).

Liposom yang diberikan secara subkutan mulanya akan tertahan

pada lokasi injeksi kemudian akan memasuki aliran darah melalui sistem

limfatik. Hal ini menyebabkan pemberian liposom secara subkutan lebih

efektif dibandingkan secara intravena. Hal ini dikarenakan pada pemberian

secara intravena kadar optimal obat akan tercapai dalam 7,5 jam setelah

pemberian liposom kemudian kadarnya menurun. Sedangkan pada

pemberian secara subkutan kadar obat akan terus meningkat walaupun lebih

dari 24 jam setelah injeksi (Wilson dkk., 2007).

2.8.1 Manfaat Liposom

1. Menyediakan target selektif menuju jaringan tumor (liposomal

doxorubicin)

2. Meningkatkan efikasi indeks terapi

3. Meningkatkan stabilitas melalui encapsulasi.

4. Mengurangi toksisitas pada agen yang sudah dienkapsulasi.

5. Memperbaiki efek farmakokinetik (mengurangi eliminasi,

meningkatkan waktu sirkulasi)

6. Fleksibilitas untuk berpasangan dengan senyawa spesifik untuk

mencapai target (Dua dkk., 2012).

47

2.8.2 Metode Preparasi Liposom

Secara umum, metode preparasi liposom meliputi tiga tahap dasar:

a. Mengeringkan campuran lipid dari pelarut organik

b. Mendispersi lipid pada media larutan

c. Pemisahan dan pemurnian liposom (Sonia, 2012)

Gambar 2.7 Metode Preparasi Liposom (Dua dkk.,2012)

Parameter Preparasi Liposom yang tepat antara lain:

1. Karakteristik fisik dan kimia bahan diikat dan menjadi komposisi dari

liposom

2. Natur dari medium dari gelembung lemak disebarkan.

3. Komsentrasi efektif dari zat yang terikat dan potensi toksisitasnya.

4. Proses tambahan yang terlibat selama pemakaian / pengiriman gelembung

tersebut.

5. Ukuran optimal.

6. Keseragaman produksi dan kemungkinan untuk produksi skala besar

produk Liposom yang aman dan efisien (Dua dkk., 2012).

48

2.8.3 Penggunaan Liposom

Liposom digunakan untuk mengantarkan obat karena keunikannya.

Liposom mengkapsulasi suatu regio pada larutan encer (aquous solution)

di dalam membran hidrofobik. Pelarut hidrofilik yang terlarut tidak dapat

dengan segera melalui lemak. Bagian hidrofobik dapat terlarut melalui

membran dan dengan cara ini liposom dapat membawa baik molekul

hidrofobik dan hidrofilik. Untuk mengantarkan molekul ke target, bilayer

lipid dapat bergabung dengan bilayer yang lain seperti membran sel

kemudian mengantarkan isi liposom tersebut (Dua dkk., 2012).

Liposom digunakan sebagai model untuk sel-sel khusus. Liposom

juga dapat didesain untuk mengirim obat dengan cara yang lain. Liposom

dengan pH rendah atau tinggi dapat diformulasikan seperti larutan obat

yang larut dapat di dalam suatu larutan. Sebagimana pH akan dinetralkan

di dalam liposom (proton dapat melalui membran), obat juga akan

dinetralkan, membuat obat tersebut dengan bebas dapat melalui membran.

Liposom bekerja mengirim obat dengan berdifusi ke dalam sel secara

langsung. Strategi lain untuk pengantaran obat oleh liposom adalah target

endositosis (Dua dkk., 2012).

Liposom dapat dibuat dalam rentang ukuran khusus yang membuat

liposom tersebut menjadi target yang viable untuk fagositosis oleh

makrofag alami. Liposom ini sudah dapat dicerna ketika sedang

difagositosis oleh makrofag. Pada saat itulah, obat yang dibawa keluar dari

liposom. Liposom dapat juga ditambah dengan opsonin dan senyawa untuk

mengaktivasi endositosis pada tipe sel lain (Dua dkk., 2012).

49

Penggunaan liposom untuk transformasi atau transfeksi DNA ke

dalam sel penjamu disebut Lipofeksi (lipofection) (Dua dkk., 2012).

Penggunaan liposom pada kosmetologi nano juga memiliki banyak

manfaat, termasuk memperbaiki penetrasi dan difusi dari komposisi zat

aktif, transport selektif zat aktif, waktu release yang lebih panjang, zat

aktif yang lebih stabil, reduksi efek samping yang tidak diinginkan dan

biokompatibilitas yang tinggi (Dua dkk., 2012).

2.8.4 Proteksi terhadap enzim yang mendegradasi obat

Lemak yang digunakan pada formulasi liposom tidak rentan

terhadap proses degradasi oleh enzym sehingga obat yang terdapat di

dalam liposom terproteksi selama gelembung lemak tersebut berada di

dalam sirkulasi di dalam cairan ekstraseluler (Dua dkk., 2012).

2.8.5 Topical Drug Delivery

Penggunaan Liposom pada permukaan kulit telah terbukti efektif

mengantarkan obat ke dalam kulit. Liposom meningkatkan permeabilitas

kulit terhadap berbagai obat yang terdapat di dalam liposom dan pada saat

bersamaan mengurangi efek samping dari obat tersebut karena hanya

dibutuhkan dosis yang lebih rendah (Dua dkk., 2012).

2.8.6 Meningkatkan efikasi dan keamanan antimikrobial

Terdapat 2 alasan mengapa antimikrobial dikapsulkan dalam

liposom. Pertama, liposom mampu melindungi obat tersebut dari proses

degradasi. Kedua, lemak dari liposom tersebut meningkatkan ambilan

antibiotik ke dalam mikroorganisme sehingga dapat mengurangi dosis

50

efektif dan toksisitas sebagaimana yang telah diujikan pada formulasi

liposom pada Amfoterisin B (Dua dkk., 2012).

2.9. Lipolisis

Pada beberapa tahun yang lalu, tindakan lipolisis nonbedah sudah

meningkat dan tindakan injeksi subkutan paling ekonomis untuk mereduksi

lemak via lipolisis kimiawi. Injeksi fosfatidilkolin menggunakan varian

formulasi fosfatidilkolin sangat dikenal sebagai terapi untuk local

adiposities. Bagaimanapun juga, tidak ada produk penghancur lemak yang

disetujui oleh FDA dan MHRA (Medicines and Health-care Products

Regulatory Agency), karena kurangnya data yang berkaitan dengan efikasi

dan keamanan (Hailan dkk., 2011).

Banyak studi klinis yang telah melaporkan bahwa injeksi subkutan

formulasi fosfatidilkolin dapat mereduksi lemak. Meskipun mekanisme

biokimianya masih belum banyak dipelajari, dapat dikatakan bahwa

fosfatidilkolin tidak memiliki jalur lipolitik. Sehingga, dipikirkan bahwa

formulasi fosfatidilkolin yang menghancurkan deposit lemak setempat

dengan cara yang tidak spesifik. Formulasi fosfatidilkolin belum disetujui

oleh FDA untuk menghancurkan lemak (Hailan dkk., 2011).

Pengalaman sekarang mengenai efek lipolitik fosfatidilkolin/asam

deoksikolat pada tikus percobaan telah menyediakan informasi yang

bermanfaat tentang efikasi fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan menjadi

dasar untuk uji klinis di masa depan. Bantalan lemak inguinal tikus

percobaan merupakan bagian yang mudah untuk dimaniuplasi sehingga

dapat bermanfaat untuk penelitian (Noh, 2012).

51

Studi sebelumnya melaporkan bahwa injeksi subkutan dari

fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat dan bahan lain yang

dapat mereduksi lemak pada tempat suntikan. Bagaimanapun juga, hal ini

masih belum jelas dimana komposisi fosfatidilkolin/asamdeoksikolat adalah

komponen aktif yang mempunyai efek reduksi lemak. Pada studi ini

ditemukan bahwa tujuh hari setelah suntikan, massa lemak menurun oleh

suntikan fosfatidilkolin, sedangkan massa DNA menurun hanya pada

jaringan yang mendapata suntikan asam deoksikolat (Won dkk., 2013).

Senyawa fosfatidilkolin dan asam deoksikolat telah digunakan untuk

lipolisis parsial dan memiliki efikasi serta tidak terlalu invasif jika

dibandingkan dengan liposuction dan dermolipectomy yang telah digunakan

sebelumnya (Noh, 2012).

Lipolisis parsial yang terjadi setelah injeksi fosfatidilkolin/asam

deoksikolat lebih efisien, efektif dan noninvasif daripada liposuction dan

dermolipectomy yang telah sering dilakukan sebelumnya. Beberapa Dokter

menggunakan teknik tersebut sekarang ini untuk mengatasi buffalo hump

,lipoma dan xantelasma yang berkaitan dengan HIV. Beberapa klinik

Swasta menggunakannya untuk membuang lemak setempat pada paha, leher

dan wajah (Noh, 2012).

Secara umum, Lipolisis didefinisikan sebagai perubahan asam lemak

dari Triasilgliserol (TAG) yang tersimpan di Adiposit untuk menyediakan

energi. Selama lipolisis, TAG dihidrolisa menjadi Diasilgliserol (DAG),

Monoasilgliserol (MAG), dan gliserol melalui kerja dari beberapa enzim

52

lipase, dimana asam lemak menjadi produk akhir yang dikeluarkan dari

setiap langkah hidrolisa tersebut (Won dkk., 2013).

Lipolisis diinisiasi oleh berbagai rangsangan dan rangsangan ini

memicu aktivasi dari jalur utama yang berhubungan dengan HSL (Hormon-

sensitive Lipase) dan periplin. Hormon-sensitive Lipase adalah enzim kunci

untuk mengkatalisa pemecahan Triasilgiserol menjadi Diasilgliserol dan

pemecahan Diasilgliserol menjadi Monoasilgliserol (Won dkk., 2013).

Periplin melapisi tetesan lemak di adiposit dan melindungi mereka dari

lipase-mediated lipolyis (Won dkk., 2013).

Tiga grup penelitian yang lain secara terpisah menemukan hal yang

berbeda dimana ATGL (adipose triglyceride lipase), yang merupakan

komponen baru yang mengkatalisis hidrolisa Triasilgliserol menjadi

Diasilgliserol (Won dkk., 2013).

Enzim baru lainnya Triacylglycerol Hidrolase (TGH), juga terlibat

dalam pemecahan Triasilgliserol. Berlawanan dengan lipolisis, glukosa

berlebihan dapat dikonversi menjadi Triasilgliserol dan disimpan di jaringan

adiposa melalui lipogenesis yang dikendalikan oleh peroxisome proliferator-

activated receptor-γ (PPAR γ) (Won dkk., 2013).

Untuk menginvestigasi efek fosdatidilkolin yang mengandung asam

deoksikolat pada jaringan adiposa, Won dkk pada tahun 2013 menyuntikkan

fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat, masing-masing, ke

dalam lemak tikus dan menentukan ekspresi mRNA dari hormon, lipolysis-

associated molecules, dan sitokon di dalam jaringan. Pada penemuan ini

didapatkan kematian adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam

53

deoksikolat sendiri (Won dkk., 2013) Palumbo dkk menemukan bahwa

fosfatilkolin tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan berperan protektif

melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam deoksikolat (Palumbo

dkk, 2010). Meskipun Palumbo dkk melakukan percobaan secara in vitro ke

dalam jaringan adiposa yang telah dibelah dan adiposit, penemuan mereka

mungkin merupakan penjelasan yang krusial mengapa injeksi hanya dengan

fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA adiposa pada studi Won dkk.

Fosfatidilkolin dapat langsung meregulasi penurunan ekspresi gen hormon

jaringan adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan

asam deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang

pada akhirnya menurunkan ekspresi gen hormon. Pemberian fosfatidilkolin

meningkatkan transkripsi HSL, dan menurunkan peripilin (Won dkk.,

2013).

Pada penelitian Noh dkk tahun 2012 mengenai efikasi fosfatidilkolin

yang larut dalam asam deoksikolat melalui studi eksperimental dengan

model tikus dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada sampel dan

didapatkan data eksperimental dari 4 kategori menunjukkan perbadaan

histologi yang bermakna jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Seluruh data juga menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik dengan

tes Wilcoxon signed-rank (p<0,01). Terdapat perbedaan yang bermakna

antara kelompok kontrol dan eksperimen dalam hal jaringan lemak normal,

inflamasi, nekrosis, dan fibrosis (Noh, 2012). Selain itu terdapat perbedaan

yang bermakna secara statistik antara kelompok ekperimen dengan

fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan kelompok kontrol dalam hal jaringan

54

lemak normal, aktivitas inflamasi, nekrosis dan stadium fibrosis pada lemak

inguinal tikus percobaan. Hal ini menandakan suntikkan

fosfatidilkolin/asam deoksikolat mempengaruhi komponen jaringan lemak

tikus secara histologi dan menjadi dasar untuk uji klinis dan penelitan yang

terkait di masa yang akan datang (Noh, 2012).

2.10. Penggunaan tikus (Rattus Norvegicus) di laboratorium

Perkembangan dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang

melibatkan penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Salah satu hewan

coba yang menjadi pilihan adalah tikus. Tikus laboratorium adalah spesies

tikus Rattus norvegicus ( Gambar 2.8 ) yang dibesarkan dan disimpan untuk

penelitian ilmiah.

Gambar 2.8 Tikus Coba Galur Wistar (Kusumawati, 2004)

Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk

digunakan dalam biologi dan penelitian medis. Saat ini tikus wistar ini menjadi

salah satu strain tikus paling populer digunakan untuk penelitian laboratorium.

Ciri tikus ini adalah mempunyai kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor

panjang yang tidak melebihi panjang tubuhnya (Kusumawati, 2004).

Pada penelitian ini, digunakan tikus putih jantan obesitas. Penentuan tikus

obestitas berdasarkan Indeks Lee yaitu: (Campos,2008)

Indeks Lee : 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑏𝑏𝐵𝐵𝑏𝑏𝐵𝐵𝑏𝑏 𝐵𝐵𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 (𝑔𝑔𝐵𝐵)𝑃𝑃𝐵𝐵𝑏𝑏𝑃𝑃𝐵𝐵𝑏𝑏𝑔𝑔 ℎ𝑡𝑡𝑏𝑏𝑡𝑡𝑏𝑏𝑔𝑔−𝐵𝐵𝑏𝑏𝑡𝑡𝑡𝑡 (𝑐𝑐𝑐𝑐)

>0,3=obese