BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan - sinta.unud.ac.id II.pdf · fungsi seksual terganggu. ... Ada...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan - sinta.unud.ac.id II.pdf · fungsi seksual terganggu. ... Ada...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1. Pendahuluan
Penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau
adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah
seluruh komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan
mulai terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada
umumnya orang menganggap menjadi tua adalah takdir yang memang harus
terjadi dan membiarkan berbagai tanda dan gejala penuaan yang mulai
muncul tanpa mempertanyakan mengapa menjadi tua, sakit dan akhirnya
meninggal. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui
proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan akhirnya membawa kepada
kematian. Berbagai faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti radikal bebas, hormon
yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, kekebalan yang
menurun, dan gen. Faktor eksternal antara lain gaya hidup tidak sehat, diet
tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan
(Pangkahila, 2011).
Anti Aging Medicine menanggapi dan memperlakukan penuaan sebagai
salah satu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat,
bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dipertahankan (Pangkahila,
2011).
10
11
Ketika manusia menjadi tua, tubuh hanya mampu memproduksi hormon
lebih sedikit sehingga levelnya menurun. Hal ini menyebabkan berbagai
fungsi tubuh terganggu sehingga timbullah berbagai keluhan. Keluhan
tersebut antara lain menjadi tidak tahan terhadap suhu dingin, gerakan menjadi
lambat, massa otot berkurang, lemak tubuh meningkat, ingatan menurun dan
fungsi seksual terganggu. Karena berbagai hormon saling berkaitan, maka
kurangnya produksi hormon tertentu mempengaruhi produksi hormon yang
lain (Pangkahila, 2011) . Beberapa peneliti menduga bahwa penurunan kadar
estrogen pada masa menopause juga dihubungkan dengan peningkatan kadar
kortisol, suatu hormon yang berhubungan dengan keadaan stres yang
memicu akumulasi lemak abdomen (Harvard, 2006). Lingkar pinggang
perempuan dewasa bertambah 4cm dalam 9 tahun (Tchkonia, 2010)
2.1.2 Teori Penuaan
Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai proses penuaan,
yaitu :
• Teori Wear and Tear
Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan
karena penggunaan yang berlebihan dan penggunaan yang salah (overuse
and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya,
menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi
berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar
ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Kerusakan ini terjadi
pada organ dan di tingkat sel (Pangkahila, 2011).
12
• Teori neuro endokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memproduksi
hormon berkurang. Produksi hormon yang berkurang pada akhirnya akan
mengganggu berbagai sistem tubuh (Pangkahila, 2011).
• Teori kontrol genetik
Teori ini berfokus pada genetik, dimana kita dilahirkan dengan kode
genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu.
Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat seseorang menjadi
tua dan berapa lama seseorang dapat hidup (Pangkahila, 2011).
• Teori radikal bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat menjadi tua karena
terjadi kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah molekul yang
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal
bebas ini akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal
bebas tersebut, sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,
dan akhirnya kematian sel. Molekul di dalam tubuh yang dapat dirusak
oleh radikal bebas ialah DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya
usia, maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin
bertambah, sehingga mengganggu metabolismee sel, meransang mutasi
sel, yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan kematian. Teori ini
meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang
tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya
13
dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan
mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).
2.1.3. Perubahan pada proses Penuaan
Penuaan berhubungan dengan hilangnya lemak subkutan wajah dan
peningkatan lemak subkutan abdomen. Perbedaan spesifik lokasi adiposit
dan ekspresi gen berperanan penting dalam penimbunan lemak setempat
yang berhubungan dengan bertambahnya usia. Chon mengisolasi dan
mengkarakterisasi preadiposit wajah manusia dan mempelajari perbedaan
pola diferensiasi preadiposit wajah dan abdominal (Chon, 2014)
Pada wajah yang mengalami penuaan terdapat perubahan yang
spesifik, banyak di antaranya hanya dikaitkan dengan efek gravitasi
terhadapt kulit, otot dan lemak. Hal ini menjadi pertimbangan utama untuk
dilakukan face lift dan reposisi jaringan ptotic. Pada penuaan, terjadi
perubahan yang kompleks dimana hilangnya volume wajah merupakan hal
yang paling signifikan. Perubahan ini mencakup atrofi otot, atrofi lemak
dan resopsi tulang. Ada penelitian dimana perubahan tulang wajah dan
perubahan bantalan lemak tulang pipi seiring dengan berjalannya waktu.
Hasil dari studi ini menyatakan tulang satu per tiga bagian bawah dari
wajah menjadi lebih masuk ke dalam karena penuaan dibandingkan
dengan wajah bagian atas. Peneliti studi tersebut menduga adanya proses
remodelling pada dinding anterior maksila membuat jaringan lunak turun
ke bawah (Baumann, 2009).
Pada suatu studi lain, ditemukan peningkatan insiden a negative
vector face. A negative vector face adalah mereka yang memiliki timbunan
14
pada bantalan lemak tulang pipi yang mengarah ke belakang menuju ke
suatu daerah yang sejajar di bawah kornea di cincin orbital. Dengan
perubahan ini, lemak pada kelopak mata bawah tampak lebih menonjol
tapi sebenarnya tidak mengalami hipertrofi (Baumann, 2009).
Baumann pada tahun 2009 dengan menggunakan MRI mendapatkan
dalamnya lipatan nasolabial merupakan kombinasi ptosis dan hipertrofi
wajah atau kulit. Mereka menemukan perbedaan redistribusi lemak di
dalam bantalan lemak tulang pipi seiring dengan bertambahnya umur
dimana pada wanita yang lebih tua terjadi peningkatan ketebalan bagian
tengah dari tulang pipi secara relatif dan kulit yang tumpang tindih
dibandingkan dengan wanita yang lebih muda. Terdapat hal yang menarik
dimana mereka tidak menemukan pertambahan panjang otot levator labii
superior (Baumann, 2009).
2.2 Obesitas
2.2.1 Prevalensi
Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia. Hal
ini dikarenakan obesitas mengakibatkan banyak komplikasi penyakit
degeneratif dan menahun bahkan kematian. Penyakit-penyakit tersebut
antara lain diabetes mellitus tipe 2, toleransi glukosa terganggu,
hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, penyakit kardiovaskular, sleep
apnea, batu saluran empedu, osteoartrois, infertil dan penyakit kanker
(Grundy, 2004).
15
Obesitas dapat diidentifikasi oleh meningkatnya angka dan ukuran
adiposit. Adiposit, yang menyimpan kelebihan energi, mengeluarkan
faktor parakrin yang menginduksi pertumbuhan dan perkembangan pre-
adiposit di sekitarnya. Oleh karena itu, baik supresi diferensiasi dan
penurunan viabilitas sel pre-adiposit dan adiposit adalah cara yang
memungkinkan untuk mengatasi obesitas. Saat ini, banyak studi yang
memfokuskan inhibisi adipogenesis. Bagaimanapun juga, kemampuan
adiposit yang nyata untuk menahan apoptosis belum sepenuhnya
dimengerti (Hailan dkk., 2011).
Pada tahun 2008, lebih dari 1,4 milyar orang dewasa berumur 20
tahun ke atas mengalami obesitas di seluruh dunia. Dari jumlah
tersebut,lebih dari 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan obesitas
memiliki resiko tinggi komplikasi metabolik dan kematian dini. Secara
global, kegemukan dan obesitas adalah penyebab kematian kelima
tertinggi di dunia pada tahun 2012 dan saat ini sedikitnya 3,4 juta orang
dewasa meninggal setiap tahun sebagai akibat kegemukan atau obesitas.
Disamping itu, 44% dari beban diabetes, 23% dari beban penyakit jantung
iskemik dan antara 8-40% dari beban penyakit kanker tertentu melekat
pada kegemukan dan obesitas (WHO, 2014).
Untuk di Indonesia, berdasarkan data SUSENAS tahun 2004,
prevalensi obesitas pada anak telah mencapai 11%. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional obesitas
umum pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah 10,3% terdiri dari laki-
laki 13,9%, dan perempuan 23,8% , sedangkan prevalensi overweight pada
16
anak-anak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%.
Angka ini hampir sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak
umur 5-17 tahun. Prevelensi gemuk dan obesitas pada penduduk di atas
usia 18 tahun, pada tahun 2010 menunjukkan angka yang tinggi.
Sebanyak 21,7% penduduk di atas umur 18 tahun yang masuk golongan
gemuk dan obesitas (Republika, 2011).
Prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir
dan sekarang mencapai 15% dari populasi dewasa di Inggris dan sampai
50% pada kelompok ras tertentu (Davey, 2002).
2.2.2 Definisi
Obesitas dan kegemukan didefinisikan sebagai akumulasi lemak
abnormal atau berlebih yang menimbulkan risiko bagi kesehatan.
Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah
penyakit kronis, termasuk diabetes, penyakit jantung dan kanker. Ukuran
populasi obesitas adalah indeks massa tubuh (BMI), berat badan (dalam
kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Orang
dengan BMI lebih dari 30 kg/m2 atau lebih umumnya dianggap obesitas.
(WHO, 2014)
Overweight didefinisikan memiliki berat badan berlebih jika
dibandingkan dengan orang sehat yang seumur. Istilah obesitas digunakan
pada orang yang sangat overweight dengan presentasi lemak tubuh yang
tinggi (Stern, 2009).
17
2.2.3 Etiopatogenesis
2.2.3.1 Genetik
Faktor genentik dan lingkungan merupakan faktor utama dalam
perkembangan obesitas. Efek genetik bersifat kompleks dan poligenik
dengan kemungkinan diturunkan 40%-70% (Davey, 2002).
Suatu studi dimana beberapa orang kembar monozigot yang diberi
makanan berlebih sebanyak 100 kkal/hari, 6 hari perminggu selama lebih
dari 100 hari ditemukan bahwa jumlah pertambahan berat badan yang
secara signifikan bervariasi di antara pasangan kembar tersebut (Davey,
2002).
2.2.3.2 Neuroendokrin
Neuropeptida Y (hormon Hipotalamus yang merangsang nafsu
makan) dan leptin (hormon peptida yang disintesa di jaringan lemak yang
bekerja di hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan pengeluaran
energi), bekerja sama dengan neurotransmiter lain, mengatur
keseimbangan energi. Mutasi dari reseptor dan transmiter berhubungan
dengan obesitas pada tikus percobaan dan beberapa kasus obesitas berat
yang jarang pada manusia (Davey, 2002).
2.2.3.3 Obat-obatan yang terbukti meningkatkan terjadinya obesitas
Menurut Davey (2012), beberapa obat yang dapat meningkatkan
terjadinya obesitas antara lain:
18
Tabel 2.1
Obat-obatan yang meningkatkan obesitas
KATEGORI OBAT YANG MENYEBABKAN OBESITAS
Neuroleptics Thioridazine, olanzepine quetiapine, resperidone,
clozapine, ziprasodone
Antidepresan trisiklik Amitriptyline, nortriptyline
Inhibitor Monoamine
oxidase
Impramine, mitrazapine
Selective serotonin reuptake
inhibitors
Paroxetine
Anti konvulsan Asam Valproat, carbamazepine, gabapentin
Anti diabetes Insulin, sulfonilurea, thiazolidinediones
Anti serotonin Pizotifen
Anti histamin Siproheptadin
β-adrenergic bloker Propanolol, terazosin
Hormon Steroid kontrasepsi,glukokortikoid,progestational steroids
2.3 Penilaian Obesitas
2.3.1 Estimasi Berat Badan Ideal
Karena definisi overweight yang bervariasi, para ahli berusaha
mengembangkan definisi yang bermanfaat untuk berat badan yang sehat.
Rekomendasi mereka telah berkembang dari standar berat badan untuk
tinggi badan menjadi berat badan berdasarkan jenis kelamin (Stern,2009)
19
Pengukuran berat badan ideal terbaru yang diusulkan adalah Body
Mass Index (BMI) atau Indeks massa tubuh (IMT) yang diaplikasikan
untuk semua orang dewasa. Indeks Massa Tubuh dihitung dengan cara :
IMT = berat badan (kg)/ tinggi badan (m2)
Angka ini digunakan untuk menganalisa efek kesehatan berat
badan. Karena dalam penghitungan Indeks massa tubuh, umur dan
populasinya tidak berdasarkan ukuran tertentu/independen, Indeks massa
tubuh dapat digunakan untuk perbandingan studi silang di seluruh dunia.
Penghitungan Indeks massa tubuh dimaksudkan untuk diaplikasikan hanya
pada orang dewasa yang berumur 20 tahun ke atas (Stern, 2009).
Menurut International Obesity Task Force (IOTF) WHO pada
tahun 2004, klasifikasi berat badan berdasarkan IMT pada Penduduk Asia
sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini
Tabel 2.2
Klasifikasi Berat Badan yang diusulkan berdasarkan IMT
pada Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2004)
Kategori IMT (kg/m2) Risiko Comorbiditas
Underweight < 18.5 kg/m2 Rendah (tetapi risiko terhadap masalah-
masalah klinis lain meningkat)
Normal 18.5 - 22.9 kg/m2 Rata rata
Overweight: > 25
At Risk 27.5- 29.9 kg/m2 Meningkat
Obesitas I 30.0 -32.49kg/m2 Sedang
Obesitas II 35.0–37.49 kg/m2 Berbahaya
Obesitas III >40kg/ m2 Berbahaya
20
2.3.2 Pengukuran Lingkar Pinggang
Pengukuranan lingkar pinggang paling tepat untuk menentukan
obesitas sentral. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita plastik
atau logam yang tidak elastis, di daerah setinggi umbilicus atau pada titik
tengah antara tulang iga paling bawah dengan puncak tulang iliaka.
Walaupun pengukuran lemak viseral/sentral yang paling akurat adalah
dengan CT scan atau MRI, tetapi mahal dan tidak praktis. Penelitian-
penelitian membuktikan lingkar perut adalah pemeriksaan yang baik dan
praktis serta tidak sulit (Despres, 2001).
Jaringan subkutan atau hipodermis adalah salah satu jaringan yang
terbesar yang Ada pada tubuh manusia. Komponen Utama lapisan ini
adalah adiposit, jaringan fibrosa, dan pembuluh darah. Diperkirakan
lapisan ini mewakili 9%-18% dari berat badan pada pria dengan berat
badan normal dan 14-20 dari berat badan pada wanita dengan berat badan
normal. Massa lemak dapat meningkat empat kali lipat pada obesitas berat,
yang mewakili 60-70% dari berat badan. Meskipun Pertambahan lemak ini
tidak diinginkan oleh banyak orang, kehilangan lemak di wajah juga
memiliki implikasi tersendiri secara kosmetik. Pertambahan dan hilangnya
jaringan adiposa dan perubahan volumenya berkontribusi pada penampilan
wajah dan tubuh yg menua (Baumann, 2009).
Jaringan subkutan biasanya tidak terlalu diperhatikan dibandingkan
dengan dermis atau epidermis Karena kelainan pada lapisan ini dapat di
deteksi dengan kerokan atau small punch biopsy. Jaringan subkutan Akan
21
diperhatikan bila telah mengalami defek yang luas dan akhirnya
diperlukan large punch biopsy (Baumann, 2009).
Mengetahui jumlah total lemak di dalam tubuh adalah hal utama
untuk mengetahui tingkat obesitas dan bahaya kesehatan yang
ditimbulkannya, hal lain yang juga tak kalah penting adalah mengetahui
distribusi atau lokasi lemak tersebut berada (Baumann, 2009).
Lemak yang berada di sekitar perut (abdominal fat) memberikan
risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di daerah paha atau
bagian tubuh.yang lain (gluteofemoral fat). Suatu metode yang sederhana
namun cukup akurat untuk mengetahui hal tersebut adalah mengukur
lingkar pinggang (Baumann, 2009).
Pengukuran lingkar pinggang adalah sebuah tolak ukur dari massa
lemak intra abdominal dan total body fat. Perubahan dalam lingkar
pinggang menggambarkan perubahan faktor risiko penyakit
kardiovaskular dan penyakit-penyakit kronik lainnya (WHO, 2014).
2.4 Hubungan Obesitas dengan Penuaan
Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya
fungsi berbagai organ tubuh. Akibat penurunan fungsi itu, muncul
berbagai tanda dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua
bagian, yaitu tanda fisik dan tanda psikis. Tanda fisik seperti massa otot
berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi
seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang. Tanda
psikis antara lain menurunnya gairah hidup sulit tidur, mudah cemas,
mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi (Pangkahila, 2011).
22
Obesitas adalah sebuah kondisi dimana terjadi akumulasi lemak
yang abnormal yang menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan dan
penurunan harapan hidup. Bertambahnya berat badan dan akumulasi
jaringan lemak meningkatkan risiko penyakit-penyakit seperti penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus tipe dua, penyakit muskuloskletal,
penyakit paru-paru dan beberapa jenis kanker. Ketidakseimbangan
komposisi tubuh dan berat badan merupakan sebuah keadaan
meningkatnya stres oksidatif dan inflamasi dalam tubuh. Meningkatnya
stres oksidatif dan inflamasi mempengaruhi telomer. Telomer merupakan
sebuah protein DNA yang ditemukan pada ujung kromosom eukariot dan
berfungsi sebagai penanda penuaan biologis. Telomer juga berfungsi
mempertahankan integritas genom dan berperan dalam disfungsi
metabolik akibat penuaan. Erosi telomer berbahaya bagi sel yang sehat,
dan dikenal sebagai mekanisme senesens atau penuaan sel dini dan
berkurangnya harapan hidup. Hubungan antara telomere dan stres oksidatif
terbukti secara in vitro, dimana stres oksidatif meningkatkan proses erosi
pada setiap siklus replikasi. Telomer yang memendek dikaitkan dengan
meningkatnya indeks massa tubuh, meningkatnya adipositas, dan
meningkatnya waist to hip ratio serta akumulasi lemak viseral yang
berlebih. Gangguan metabolik yang diakibatkan oleh obesitas
mengakibatkan disfungsi organ yang menyerupai proses penuaan
(Tzanetakou, 2012).
23
2.5 Penimbunan lemak setempat
Manusia merupakan mahluk yang unik diantara mamalia dalam hal
perbedaan total lemak tubuh dan distribusinya pada laki-laki dan
perempuan. Sekitar 15% dari massa tubuh pria dewasa sehat adalah lemak
sedangkan pada wanita sekitar 27%. Perbedaan ini timbul sejak lahir,
tetapi selama masa pubertas peningkatan kadar estrogen menurunkan
kemapuan wanita untuk mengoksidasi lemak dan meningkatkan kapasitas
wanita untuk menyimpan lemak. Jaringan adiposa wanita terdeposit
terutama di daerah subkutan abdomen, payudara, pinggul, dan paha
sedangkan pada pria lebih cenderung terakmuluasi pada jaringan adiposa
viseral (Bellisari, 2013).
Berat badan cenderung bertambah seriring dengan bertambahnya
usia karena menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan
pengeluaran energi dibanding jumlah makanan yang dikonsumsi
(Chapman, 2010).
Timbunan lemak lokal terjadi ketika jaringan lemak terakumulasi
pada bagian-bagian tertentu dari tubuh pada wanita dan laki-laki (Anonim,
2014).
Pada proses penuaan terjadi peningkatan deposit lemak dan
penurunan massa lemak bebas karena berkurangnya otot skeletal sehingga
orang tua memiliki lemak tubuh lebih banyak dibanding orang muda.
Pada suatu studi, rata-rata presentasi lemak tubuh pada orang yang berusia
75 tahun dengan berat 80kg adalah 29%, sedangkan orang muda yang
berusia 20 tahun dengan berat badan sama hanya memiliki 15% lemak
24
tubuh. Peningkatan lemak tubuh ini memiliki banyak sebab yaitu
penurunan aktivitas fisik, penurunan sekresi growth hormon, penurunan
hormon seks, dan penurunan resting metabolic rate (Chapman, 2010).
Penimbunan lemak setempat adalah masalah yang umum terjadi dan
menyebabkan penampilan yang kurang baik secara estetik dari tubuh
(timbunan lemak) dan kulit (selulit) (Anonim, 2104).
Pada manusia, sebagian besar lemak terdeposit pada subkutan,
sampai dengan 20% dari total lemak tubuh terdeposit pada jaringan
adiposa di dalam rongga abdomen. Pola distribusi lemak adalah penentu
utama dari variasi bentuk tubuh (Bray, 2005).
2.4.1 Variasi bentuk tubuh
Terdapat 3 macam variasi bentuk tubuh berdasarkan karakteristik
distribusi lemak (Boyko, 2000), antara lain:
1. Gynoid (Bentuk Peer)
Lemak disimpan di sekitar pinggul dan bokong Tipe ini cenderung
dimiliki wanita. Risiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya
kecil, kecuali risiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena
(varicose veins)
Gambar 2.1 Bentuk tubuh Gynoid
25
2. Apple Shape (Android)
Biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut.
Risiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe
Gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan
lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel
lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah
dapat menyebabkan penyempitan arteri (hipertensi), diabetes, penyakit
kandung empedu, stroke, dan jenis kanker tertentu (payudara dan
endometrium
Gambar 2.2 Bentuk tubuh Apple Shape
3. Ovioid (bentuk kotak buah)
Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid
umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik
Gambar 2.3 Bentuk Tubuh Ovioid
26
Beberapa contoh penimbunan lemak setempat yang berkaitan
dengan penuaan antara lain :
1. Selulit
Selulit terjadi terutama pada wanita tua pada bokong, perut dan paha.
Faktor risiko seperti kurang berolahraga, obesitas, usia tua, memiliki
hormon berlebih dan drainase limfatik yang kurang baik mencetuskan
timbulnya selulut. Hal ini ditandai dengan lekukan dan nodul pada kulit,
dimana kulit tampak dan terasa tidak rata, seperti kulit jeruk (Baumann,
2009).
Selulit lebih banyak dihasilkan dari perubahan di dermis daripada di
jaringan subkutan. Meskipun selulit sering ditemukan pada wanita yang
sehat, tidak obesitas tetapi selulit akan diperburuk dengan adanya obesitas.
Selulit diperkirakan terbentuk dari penghancuran kolagen di dalam dermis,
yang memicu adanya area yang lemah di dermis dan penonjolan lemak
subkutan ke dermis seperti penekanan mikrosirkulasi di dermis.
Pengurangan massa lemak dapat juga dilakukan dengan lipolisis, seperti
liposuction dan mesoterapi (Baumann, 2009).
2. Lipodistrofi
Lipodistrofi adalah istilah yang menjelaskan suatu abnormalitas dimana
terjadi peningkatan lemak subkutan (lipohipertrofi) atau penurunan lemak
subkutan (lipoatrofi). Lipodistrofi dapat terjadi secara kongenital atau
didapat, terjadi meluas, sebagian atau setempat. Dua bentuk kelainan yang
umum terjadi yaitu lipodistrofi karena proses penuaan dan karena HIV
(Baumann, 2009).
27
Selain berbagai masalah bagi kesehatan yang dapat terjadi, obesitas
juga dapat mengurangi penampilan fisik seseorang. Penimbunan lemak
setempat yang seringkali disertai dengan selulit, khususnya pada wanita,
membuat wanita menjadi tidak nyaman dan kurang percaya diri dengan
penampilannya. Hal ini yang mendorong para wanita untuk mengatasi hal
tersebut dengan berbagai cara (Dunn, 2003).
Penanganan obesitas selalu diawali dengan perubahan pola makan
dengan mengkonsumsi diet rendah kalori, dan berolahraga teratur. Bila
tidak berhasil atau disertai dengan komorbiditas, maka perlu diberikan
terapi medis dalam penanganannya. Pemilihan terapi medis dalam
penanganan obesitas disesuaikan dengan berat badan seseorang. Terapi
medis yang diberikan mulai dari perubahan gaya hidup, pola makan yang
sehat, farmakoterapi hingga tindakan bedah seperti Liposuction, yang
diikuti risiko infeksi dan ketakutan, seperti komplikasi pada anestesi
umum (Dunn, 2003).
2.4.2 Penanganan Timbunan Lemak Setempat
Meskipun obesitas dianggap sebagai penyakit, tetapi sumber daya
untuk mengatur dan menanganinya sangat terbatas (Wimalawansa, 2014).
Sangat penting untuk mendapat pendekatan baru untuk mengidentifikasi
mereka yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk komplikasi lebih lanjut
dan untuk mengembangkan rencana intervensi yang memiliki target
dengan biaya yang terjangkau. Seperti penyakit lain, obesitas mempunyai
penyebab (kalori yang tidak berimbang, makanan yang berkalori tinggi,
makanan yang bergizi rendah), patofisiologi (distribusi lemak abnormal
28
dan mekanisme kontrol berat badan tidak jelas) dan ketersediaan terapi
yang efektif (Wimalawansa, 2014).
Rasa takut terhadap operasi dan komplikasinya telah melahirkan
metode alternatif yang lebih aman dan efektif untuk mendapat reduksi
deposit lemak setempat pada wajah atau tubuh (Hexsel dkk., 2003).
Teknik yang paling banyak digunakan untuk membentuk tubuh
selama ini adalah liposuction. Sekarang ini, banyak metode untuk
penanganan obesitas yang telah diperkenalkan di seluruh dunia dan
banyak laporan kasus yang telah dipublikasi. Senyawa fosfatidilkolin dan
asam deoksikolat adalah satu diantaranya, dan telah diperkenalkan untuk
mereduksi lemak jaringan secara efisien tanpa komplikasi serius (Noh,
2012).
Injeksi Subkutan Fosdatidilkolin dan Asam Deoksikolat telah
digunakan secara luas di banyak negara untuk jangka waktu yang lama
untuk mengeliminasi timbunan lemak sebagai alternatif Liposuction (Won
dkk., 2013).
Koreksi pembentukan tubuh dapat menurunkan faktor resiko
obesitas tetapi lebih penting hal ini meningkatkan kepercayaan diri pasien.
Contoh yang khas untuk pembentukan tubuh yaitu liposuction. Prosedur
ini dilakukan dengan anestesi umum dan lebih mahal. Lebih jauh lagi
komplikasi fatal dapat terjadi, seperti emboli lemak dan sepsis, walaupun
hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, banyak metode lain yang
dikembangkan untuk membentuk tubuh melalui reduksi lemak setempat.
Meskipun banyak dari prosedur ini telah tersedia, masih sedikit yang telah
29
diuji efikasi dan keamanannya untuk mereduksi sel dan jaringan adiposa
(Noh, 2012).
Mesoterapi merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk
mereduksi penimbunan lemak setempat. Mesoterapi adalah penggunaan
injeksi intrakutan atau subkutan yang mengandung bahan atau kombinasi
bahan untuk mengobati penyakit medis lokal dan beberapa kondisi
kosmetik. Mesoterapi juga dikenal sebagai intradermotherapy, yang tidak
menunjukkan pengobatan setiap kondisi tertentu, melainkan
menggambarkan suatu metode pengiriman obat (Rotunda, 2006). Zat–zat
yang dimasukkan antara lain aminophylline, pentoxifylline, L-carnitin,
procaine, lidocaine, phosphatidylcholine, organic silicium (Rittes dkk.,
2006).
2.6. Ekstrak Kedelai
2.6.1 Taksonomi
Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi
bahan dasar banyak makanan seperti kecap dan tempe.
Nama ilmiah : Glycine Soja Sieb. et Zucc
N a m a l o k a l : K e d e l a i ( In d o n e s i a )
K e d h e l e ( M a d u r a )
K e d e l a i , K a c a n g j e p u n , K a c a n g b u l u
( S u n d a )
La w u i ( B i m a )
D e l e , D a n gs u l , D e k e m a n (Jawa)
Retak Menjong (Lampung)
30
KacangR i m a n g ( M i n a n g k a b a u )
S a r u p a p a ( T i t a k )
K a d a l e ( U j u n g P a n d a n g )
Gadelei (Halmahera)
Nama asing : Soybean (Inggris), Soyaboon (Belanda).
Berikut adalah klasifikasi ilmiah dari kedelai :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonnae
Ordo : Leguminales
Famili : Leguminoceae
Marga : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merill (Adisarwanto,2005)
Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati,
serat, oligosakarida, isoflavon dan mineral. Karbohidrat kompleks
dan kandungan serat berkontribusi terhadap indeks glikemik yang rendah,
yang menguntungkan bagi penderita diabetes, mengurangi risiko diabetes.
Mengganti protein hewani dengan sayuran dapat mengurangi ekskresi
kalsium urin dan mengurangi risiko osteoporosis. Komponen serat makanan
mencakup serat larut dan tak larut, yang bermanfaat bagi kesehatan. Mineral
dalam kedelai, dapat mengurangi risiko osteoporosis dan hipertensi.
Protein kedelai memiliki daya cerna protein yang sama baiknya
dengan protein telur. Kedelai juga dapat menurunkan kolesterol karena
31
kandungan protein dan isoflavonnya. Isoflavon kedelai dapat berfungsi juga
sebagai antioksidan (Anderson dkk., 1999).
Kedelai mengandung asam linoleat yang merupakan asam lemak yang
dominan dan 7% asam linolenat (Anderson dkk., 1999). Kedelai juga
mengandung lesitin sekitar 2%. Lesitin ini merupakan sumber senyawa
kolin yang penting untuk pembentukan fosfolipid di dalam membran sel
(Maria, 2008). Lesitin ini terdiri dari 98% fosfolipid, yaitu fosfatidilkolin
(25,0%), fosfatidiletanolamin (22,0%), fosfatidilinositol (18,0%), lyso-
fosfatidilkolin (1,0%), fosfolipid lainnya dan glikolipid (34,0% ) (Drake,
1998).
Kedelai Indonesia dengan kandungan lemak tertinggi yaitu 19,3-20,8%
adalah kedelai Argomulyo. Kandungan lemak ini hampir setara dengan
kedelai impor yang mengandung lemak sekitar 21,4-21,7%, Keunggulan
lain dari kedelai Argomulyo adalah sifatnya yang resisten terhadap hama
daun sehingga mudah dibudidaya (Ginting dkk., 2009).
2.7. Fosfatidilkolin
Fosfatidilkolin banyak terdapat pada kedelai (Noh, 2012).
Fosfatidilkolin merupakan komponen fosfolipid utama pada membran sel
dan menjadi precursor dari asetilkolin. Molekul phosphatydilcholine terdiri
dari kelompok phosphorylcholine, gliserol phosphat, dan dua rantai asam
lemak yang bervariasi. Zat ini mencegah akumulasi lemak dan digunakan
untuk mengobati gagal hati yang diinduksi fatty liver, iskemi miokardium,,
strok dan demensia. Fosfatidilkolin juga telah diperkenalkan untuk lipolisis
untuk penanganan obesitas di Amerika, Eropa dan Amerika Selatan. Asam
32
deoksikolat digunakan untuk memproduksi deterjen sehingga fosfatidilkolin
dapat terlarut dengan baik (Noh, 2012).
Gambar 2.4 Molekul fosfatidilkolin (Dikutip dari Kurniawan, 2010)
Gambar 2.5 Biosintesis fosfatidilkolin ( Dikutip dari Kurniawan, 2010)
33
Fosfatidilkolin adalah fosfolipid yang diekstraksi dari lesitin kedelai
yang terdapat dalam jumlah banyak di dalam membran sel, secara aktif
terlibat dalam struktur dan transportasi antarsel. Zat ini dapat mengubah
kolestrol dan metabolisme trigliserid lain. Zat ini dapat meningkatkan
kelarutan kolestrol, mengubah komposisi deposit lemak, dan menghambat
agregasi plak. Karena alasan-alasan tersebut, fosfatidilkolin digunakan
secara intravena pada pengobatan ateroma lemak, hiperkolestrolemi, emboli
lemak, deposit lemak atau adhesi plak di dinding arteri, gangguan mental,
gangguan jantung dan hati yang diinduksi pengobatan, alkohol, polusi, virus
dan toksin (Hexsel dkk., 2003).
Peningkatan fosfatidilkolin pada membran sel dapat mempercepat
lipolisis dengan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin. Disamping itu,
fosfatidilkolin adalah fosfolipid utama pada surfaktan di paru. Di sisi lain,
fosfatidilkolin menginduksi apoptosis sel kanker hati. Selain itu, ukuran
lipoma berkurang setelah suntikan fosfatidilkolin intralesi (Hailan dkk.,
2011).
Rotunda mengemukakan bahwa efek lipolitik yang dimiliki
fosfatidilkolin dalam darah dan hati memberikan hasil yang memuaskan
untuk efek lipolitiknya setelah injeksi subkuta (Rotunda, 2006).
Fosfatidilkolin pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an.
Fosfatidilkolin digunakan pertama kali sebagai pilihan pengobatan untuk
kasus kardiovaskular, penyakit cerebrovaskular, dan pencegahan demensia.
Pada tahun 1980an, fosfatidilkolin dilaporkan untuk terapi estetik pada
International Convention of Mesotherapy di Paris. Pada konvensi ini, dr.
34
Sergio Magguion dari Italia mengumumkan pertama kali efek lipolitik
fosfatidilkolin untuk mengatasi xantelasma pada kelopak mata. Pada
pertengahan 1990an, seorang dermatolog dari Brazil, dr.Patricia Rittes
mempublikasi petunjuk penggunaan fosfatidilkolin untuk menghilangkan
lemak intraorbital. Hal ini menginisiasi penemuan-penemuan banyak teknik
lipolisis parsial di seluruh dunia dan banyak penelitian di Amerika Serikat di
bawah pengawasan FDA. Pada tahun 2006, dr. Franz Hasengschwandtner
dari Austria mempublikasi penemuan dimana 441 pasien yang mendapat
suntikan fosfatidilkolin mengalami efek lipolisis. Dia menjelaskan bahwa
fosfatidilkolin sangat aman, dan 6 pasien yang terlibat dalam studi tersebut
sangat puas dengan hasilnya (Noh, 2012).
Dari beberapa laporan yang dihasilkan membuat banyak praktisi
medis di Perancis, Italia dan Brasil mulai menggunakan Lipostabil® (yang
diperuntukkan untuk injeksi intravena) sebagai injeksi subkutan untuk
menghancurkan deposit lemak lokal. Di Brazil, penggunaan fosfatidilkolin
untuk kosmetik dimulai pada akhir tahun 1990an. Fosfatidilkolin telah
digunakan secara luas di Brazil untuk berbagai kondisi klinis dimana
terdapat penumpukan lemak di jaringan subkutan. Kondisi ini diobati secara
konvensional dengan liposuction atau dermolipectomy. Fosfatidilkolin lebih
efektif dan memiliki efikasi lebih tinggi pada beberapa kasus, baru, kurang
invasif, pengobatan potensial yang menjanjikan untuk kondisi yang meliputi
”buffalo-hump” (kondisi yang tidak estetik yang berhubungan dengan HIV
dengan Fat Redistribution Syndrome/FRS), lipoma, eye bulging, dan
35
Xantelasma. Kemungkinan penggunaan lain meliputi lemak setempat di
paha, pinggul, perut leher, bagian bawah wajah (Hexsel dkk., 2003).
2.7.1 Mekanisme kerja fosfatidilkolin
Mekanisme kerja fosfatidilkolin yang disuntikkan ke dalam jaringan
subkutan belum jelas, namun diduga obat ini menembus sel lemak melalui
double lipid layer dan berperan sebagai bahan yang melarutkan lemak
(emulfying agent). Namun, belum ada studi histologis dan atau
farmakodinamis yang menguatkan dugaan tersebut (Hexsel dkk., 2003).
Formulasi fosfatidilkolin yang umumnya digunakan di klinik berisi
fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Hal ini menandakan bahwa asam
deoksikolat (deterjen dalam formulasi fosfatidilkolin) adalah zat aktif
untuk menghancurkan lemak dan bukan fosfatidilkolin. Efek samping
utama dari penyuntikkan formulasi fosfatidilkolin hanya ringan seperti
kemerahan, bengkak dan kulit menjadi sensitif bila disentuh di bawah area
suntikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa efek samping yang tersebut di
atas terjadi karena asam deoksikolat, bukan karena fosfatidilkolin itu
sendiri. Asam deoksikolat menginduksi lisis membran sel yang kemudian
menghasilkan nekrosis. Hal ini menjadi menarik karena hasil pemeriksaan
MTT dengan jelas mengindikasikan bahwa fosfatidilkolin sendiri tanpa
asam deoksikolat menginduksi apoptosis sel 3T3-L1 pre-adipocytes. Hasil
ini juga menunjukkan bahwa efek kematian sel 3T3-L1 oleh formulasi
fosfatidilkolin tidak hanya tergantung pada asam deoksikolat. Disamping
itu, percobaan flow cytometric menunjukkan bahwa terapi dengan
Lipobean® menyebabkan lisis membran sel karena asam deoksikolat.
36
Perbedaan besar pada luasnya viabilitas sel saat ini dengan eviden di
antara 0,5mg/ml-1mg/ml Lipobean®. Konsentrasi Lipobean® ini
merupakan ambang batas untuk stabilitas membran (Hailan dkk., 2011).
Pada studi Hailan dkk, formulasi fosfatidilkolin dengan asam
deoksikolat menginduksi lisis berbagai sel termasuk pre-adipocytes,
fibroblas normal, sel endotel, dan sel otot rangka dalam cara yang tidak
spesifik. Injeksi formulasi fosfatidilkolin dengan asam deoksikolat dapat
menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan fosfatidilkolin sendiri tanpa
asam deoksikolat tidak menginduksi kematian sel fibroblas normal. Hal ini
menjadi penting bahwa fosfatidilkolin hanya mereduksi viabilitas adiposit
secara spesifik, tetapi tidak menurunkan viabilitas sel lain seperti fibroblas.
Di sisi lain, formulasi fosfatidilkolin dan asam deoksikolat menginduksi
kematian dua tipe sel. Hasil ini mengindikasikan bahwa kandungan asam
deoksikolat di dalam fosfatidilkolin menginisiasi lisis sel yang memicu
terjadinya nekrosis sel. Studi lebih jauh dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
hal tersebut (Hailan dkk., 2011).
Fosfatidilkolin menginduksi apoptosis di sel seperti sel kanker kolon,
sel endotel vaskular dan makrofag. Fosforilasi dari jalur stress-activated
protein kinase dan pembelahan dari caspases merupakan jalur utama
apoptosis. Khususnya, aktivasi induksi the death-receptor dari caspase-8
dan jalur mitokondria adalah hal yang utama dalam jalur apoptosis.
Fosfatidilkolin yang menginduksi apoptosis dikarenakan meningkatnya
aktvasi reseptor kematian sel. Kemungkinan ini dapat diperiksa lebih jauh
37
untuk menjelaskan jalur apoptosis yang diinduksi oleh fosfatidilkolin
(Hailan dkk., 2011).
Kematian sel, termasuk apoptosis dan nekrosis, diikuti pembelahan
protein dan DNA. Dua jalur kematian sel ini dihubungkan dengan
perbedaan pola dari pembelahan protein. Sebagai contoh, pembelahan
poly(ADP-ribose) polymerase (PARP) memicu fragmen 85kD selama
apoptosis tetapi memicu fragmen 50kD pada nekrosis sel mati. Caspase-3
adalah sinyal transduser pada pre-adiposit 3T3-L1 (Hailan dkk., 2011).
Walaupun jaringan adiposa secara umum dipertimbangkan sebagai
tempat penyimpanan energi sementara pada tubuh manusia, jaringan
adiposa juga berfungsi sebagai organ endokrin yang mengontrol sistem
vaskular, respons imun, dan metabolisme melalui sekresi growth factor,
hormon, sitokin dan enzim. Hormon yang diproduksi jaringan adiposa
disebut juga Adipokines, seperti adiponektin, leptin dan resistin secara
dominan disekresi oleh jaringan adiposa dan merupakan protein bioaktif
yang penting yang mengatur perkembangan obesitas dan komplikasinya
termasuk Diabetes Mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Sebagai
tambahan, adiposit sangat esensial untuk memproduksi pro-inflamatory
cytokines seperti TNF-α, Interleukin-6 (IL-6), dan chemokin monocyte
chemotactic protein-1 (MCP-1) (Won dkk., 2013).
Pada studi in vivo lainnya dengan bahan percobaan menggunakan
kelinci menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara lemak yang
disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin dan kontrol 21 hari setelah
penyuntikkan. Bagaimanapun juga, studi tersebut melaporkan inflamasi
38
berat dan fibrosis selama durasi ekperimen seluruhnya. Beberapa laporan
mendukung hipotesis bahwa preparat fosdatidilkolin/asam deoksikolat
menginduksi sel inflamasi yang menginfiltrasi ke tempat suntikkan dan
terjadi kerusakan jaringan secara progresif setelah suntikkan (Won dkk.,
2013).
Studi lain melaporkan bahwa hanya dengan suntikan asam
deoksikolat ke kulit daging babi yang baru dibuang menyebabkan
rusaknya jaringan sel lemak, serupa dengan suntikkan kombinasi preparat
fosdatidilkolin/asam deoksikolat (Won dkk., 2013).
Oleh karena itu, penemuan Won dkk dapat mencerminkan kematian
adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam deoksikolat sendiri.
Fosfatidilkolin sendiri tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan
berperan protektif melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam
deoksikolat (Won dkk., 2013). Meskipun Palumbo dkk melakukan
percobaan secara in vitro ke dalam jaringan adiposa yang telah dibelah
dan adiposit, saran mereka mungkin merupakan penjelasan yang krusial
mengapa injeksi hanya dengan fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA
adiposa pada studi tersebut (Palumbo, 2010). Karena alasan ini,
fosfatidilkolin dapat meregulasi penurunan ekspresi gen hormon jaringan
adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan asam
deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang
menghasilkan penurunan ekspresi gen hormon (Won dkk., 2013).
39
Pemberian fosfatidilkolin meningkatkan transkripsi Hormon-
sensitive Lipase, enzim kunci dari lipolisis, dan menurunkan peripilin
(anti-lipolytic factor) (Won dkk., 2013).
Pada penelitian yang lebih dahulu yang mencakup 3T3-L1 cell lines,
pengobatan dengan fosfatidilkolin sendiri meningkatkan lipolisis
(moderately) sama seperti dengan pengobatan dengan isoproterenol, dan
studi ini tidak menunjukkan toksisitas ke dalam sel. Sebaliknya, kombinasi
fosfatidilkolin/asam deoksikolat tidak mempengaruhi lipolisis dan
menunjukkan sitotoksisitas ke dalam sel, meskipun aktivitas dari
fosfatidilkolin sendiri tidak diobservasi dengan dosis tertentu (Klein dkk.,
2009). Meskipun memiliki aktivitas lipolitik yang lemah, fosfatidilkolin
dapat menginduksi lipolisis dengan mekanisme yang berbeda dari respon
katekolamin adiposit. Hal ini didukung oleh observasi Won dkk dimana
terdapat penurunan ekspresi gen ATGL (adipose triglyceride lipase) dan
TGH (triacylglycerol hydrolase) pada bantalan lemak yang telah diobati
dengan fosfatidilkolin, yang mencakup respon lipolitik dan PPARγ
(peroxisome proliferator-activated receptor-γ), suatu petanda lipogenesis.
Lebih jauh lagi, pengobatan dengan asam deoksikolat sendiri mereduksi
ekspresi gen dari semua faktor-faktor yang berhubungan dengan lipolisis
dan petanda lipogenesis. Kerusakan adiposit dari asam deoksikolat sendiri
dapat menurunkan gen ini (Won dkk., 2013).
Pada studi Won, ekspresi gen IL-1β, IL-6, MCP-1, dan IL-10
menurun pada bantalan lemak yang disuntik dengan fosfatidilkolin dan
asam deoksikolat. Transkripsi TNF-α terjadi hanya pada jaringan yang
40
telah disuntikkan fosfatidilkolin (Won dkk., 2013). Bechara dkk,
melaporkan bahwa preparat fosfatidilkolin/asam deoksikolat secara drastis
menaikkan level mRNA dari TNF-α, IL-6, IL-8 dan IL-10 pada human
lipoma 48 jam setelah injeksi intralesi, sedangkan IFN-γ, IL-2, dan IL-5
yang tidak dapat terdeteksi di jaringan. Pada studi sebelumnya ditunjukkan
bahwa netrofil menjadi populasi terbesar dari sel yang menginfiltrasi ke
jaringan lipoma yang disuntikkan dengan preparat fosfatidilkolin/asam
deoksikolat sampai dengan 48 jam setelah pengobatan, setelah itu, jumlah
netrofil secara bertahap melebihi sel T dan makrofag (Bechara dkk., 2007).
Sehingga, di dalam studi ini, penyuntikkan jaringan adiposa dengan asam
deoksikolat sendiri merangsang invasi oleh sel inflamasi khususnya
makrofag (yang merupakan produsen utama IL-1β, IL-6 dan TNF-α).
Secara umum, dapat dipercaya bahwa TNF-α dan IL-6 menghambat
produksi adiponektin di jaringan adiposa dan juga sebaliknya, seperti
adiponektin menekan sekresi TNF-α dan IL-6 (Won dkk., 2013). Fantuzzi
memperkenalkan a self-sustaining inflamatory loop , yang digambarkan
bahwa inflamasi yang diinduksi obesitas memperlambat produksi
adiponektin, nilai rendah dari adiponektin menyebabkan inflamasi yang
lebih hebat, membantu menjelaskan kelainan metabolime yang berkaitan
dengan adiponektin (Fantuzzi, 2008). Paradigma ini sangat penting untuk
dimengerti bahwa aksi fosfatidilkolin di jaringan adiposa. Hasil penelitian
Won dkk menunjukkan pengobatan fosfatidilkolin meningkatkan secara
siginifikan ekpresi gen sitokin dan secara simultan penurunan transkripsi
mRNA adiponektin. Selain itu, pada pengamatan bahwa TNF-α
41
merangsang lipolisis di Murine dan kultur adiposit manusia mendukung
hipotesis bahwa fosfatidilkolin sendiri memiliki aktivitas lipolitik (Won
dkk., 2013).
Berlawanan dengan peran anti-inflamatory yang dimiliki
adiponektin, leptin dan resistin biasanya dikategorikan sebagai pro-
inflamatory adipokines. Namun telah dilaporkan bahwa leptin merangsang
produksi baik sitokin pro-inflamatory dan anti-inflamatory secara timbal
balik, sehubungan dengan kondisi eksperimen, dan bahwa ekspresi leptin
diregulasi baik secara negatif dan positif oleh stimulasi inflamasi berbeda.
Kondisi penelitian dengan injeksi fosfatidilkolin akan merangsang leptin
yang berperan sebagai anti-inflammatory, seperti adiponektin (Won dkk.,
2013).
Efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa
mencetus perubahan sitokin pro-inflammatory, lipase dan hormon jaringan
adiposa. Bagaimanapun juga, terdapat perbedaan bermakna antara
fosfatidilkolin dan asam deoksikolat. Pada ekspresi sitokin, TNF-α
diinduksi oleh fosfatidilkolin tetapi tidak oleh asam deoksikolat. Pada
ekspresi lipase, Hormon-sensitive Lipase ditingkatkan oleh fosfatidilkolin
tetapi diturunkan oleh asam deoksikolat. Efek yang berbeda dari
fosfatidilkolin dan asam deoksikolat pada jaringan adiposa dapat
menyebabkan hasil yang berbeda. Tujuh hari setelah injeksi fosfatidilkolin
atau asam deoksikolat, fosfatidilkolin menginduksi turunnya berat jaringan
adiposa tetapi asam deoksikolat menginduksi reduksi massa DNA tanpa
penurunan berat badan. Hasil morfologi pada penelitian Won dkk
42
menunjukkan perbedaan efek dari fosfatidilkolin dan asam deoksikolat
pada jaringan adiposa. Dengan kata lain, fosfatidilkolin sendiri bertindak
sebagai agen lipolitik tetapi asam deoksikolat sendiri dapat menginduksi
kerusakan jaringan, walaupun studi lebih jauh diperlukan untuk
pemahaman yang lebih baik pengaruh secara sistemik toksisitas yang
diinduksi asam deoksikolat dan efek lanjutan dari fosfatidilkolin sendiri
pada jaringan adiposa (Won dkk., 2013).
2.7.2 Toksisitas dan Efek Samping Fosfatifilkolin
Semua test yang dilakukan sebelum dan sesudah pengobatan tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan baik pada fungsi hati maupun
profil lipid. Studi yang lebih luas untuk meyakinkan keamanan obat ketika
diinjeksi subkutan. Pada penelitian Hexel dkk fosfatidilkolin tidak
menunjukkan hepatotoksik dan menyebabkan perubahan pada
metabolisme lemak ketika digunakan untuk mengurangi ketebalan
subkutan dengan dosis yang tepat. Beberapa pasien akan mengalami
perubahan pada hasil laboratorium, seperti pada penderita diabetes,
dyslipidosis, obesitas, dan penyakit endokrin serta pasien dengan
gangguan hati. Pada pasien-pasien ini, peringatan dan pengontrolan hasil
lab diperlukan untuk pengobatan dengan injekasi fosfatidilkolin (Hexsel
dkk., 2003).
Meskipun ketertarikan pada fosfatidilkolin meningkat saat ini, studi
tentang efek lipolisis yang dimiliki fosfatidilkolin masih sedikit. Beberapa
studi tentang lipolisis yang dilaporkan menggunakan kelinci tetapi
hasilnya tidak dapat disimpulkan (Noh, 2012).
43
Ekstrak fosfatidilkolin yang telah dimurnikan yang berasal dari
lesitin yang terdapat di dalam kuning telur dan kedelai yang digunakan
untuk menyiapkan nutrisi parentral dalam bentuk emulsi. Hal ini telah
dijelaskan bahwa di dalam infus berisi 1,2% fosfatidilkolin yang berasal
dari ekstrak kuning telur dan 55% glukosa (1ml/kg/jam) yang diberikan
kepada kucing, didapatkan insiden yang rendah akibat efek samping. Oleh
karena itu, fosfatidilkolin dipertimbangkan sebagai obat yang non-toksis
untuk penggunaan parentral (Hexsel dkk., 2003).
Efek samping yang diobservasi setelah penyuntikkan fosfatidilkolin
pada jaringan adiposa hanya sementara, tidak serius, dan tidak ada luka
permanen. Efek samping biasanya muncul setelah 2-5 hari setelah
penyuntikkan, tetapi bervariasi antara satu pasien dan yang lain tergantung
metabolisme masing-masing individu. Beberapa faktor yang menentukan
kurang berhasilnya atau makin besarnya faktor resiko seperti, injeksi yang
terlalu berlebihan pada satu titik, antisepsis yang salah, dosis yang
berlebihan, jarak antar suntikan yang terlalu dekat, injeksi superfisial
kurang dari 1 cm di bawah permukaan epidermal dan orang yang tidak
kompeten melakukan penyuntikkan. komplikasi yang terjadi antara lain
infeksi, alergi, nekrosis jaringan dan iregularitas permukaan tubuh (Hexsel
dkk., 2003).
Beberapa laporan mengenai efek samping injeksi subkutan
fosfatidilkolin juga dilaporkan berdasarkan dari beberapa praktisi baik
diluar maupun di dalam negeri. Beberapa efek samping yang pernah
dilaporkan antara lain :
44
1. Rasa terbakar yang dapat berlangsung 15-20 menit
2. Nyeri sedikit selama beberapa hari
3. Sedikit pembengkakan yang dapat berlangsung 1-5 hari
4. Sedikit perubahan warna kulit yang dapat hilang sendiri atau dapat
5. Risiko kecil terkena infeksi (risiko pada semua injeksi obat)
(Bauman, 2003).
2.8. Liposom
Liposom adalah vesikel yang sangat kecil yang terbuat dari bahan
yang sama dengan membrane sel. Liposom dapat diisi dengan obat
digunakan untuk mengantar obat untuk pengobatan kanker dan penyakit
lainnya (Dua dkk., 2012).
Gambar 2.6 Struktur Liposom (Dua dkk.,2012)
Liposom berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu, Lipos
yang berarti lemak dan Soma yang berarti tubuh/badan. Secara struktur,
Liposom adalah gelembung konsentris yang dalam volume yang encer
seluruhnya diselubungi oleh 2 lapis membran lemak (bilayer lipid).
Membran tersebut biasanya terbuat dari fosfolipid yang memiliki bagian
45
kepala dengan sifat hidrofilik dan bagian ekor dengan sifat hidrofobik (Dua
dkk., 2012).
Ketika membran fosfolipid rusak, fosfolipid dapat merakit kembali
dirinya sendiri menjadi lapisan yang sangat tipis, lebih kecil dari sel normal
baik sebagai lapisan satu lapis maupun lapisan dua lapis. Struktur lapisan
dua lapis ini disebut Liposom. Struktur lapisan satu lapis disebut Micelles.
Lemak di dalam membran plasma terutama terdiri dari fosfolipid seperti
fosfatidiletanolamin dan fosfatidilkolin (Dua dkk., 2012).
Liposom umumnya diaplikasikan melalui intravena, tetapi aplikasi
secara topikal, subkutan, intramuskular dan intraperiotenal juga masih
memungkinkan untuk memasukkan liposom ke dalam tubuh. Liposom yang
diberikan secara oral memiliki kemungkinan lebih besar untuk terdegradasi
sebelum sampai pada target organ sehingga pemberian liposom secara oral
jarang digunakan sebagai sistem penghantar obat (Moghimi dan Patel,
1998)
Pemberian Liposom melalui intravena akan membawa liposom
masuk ke dalam sirkulasi darah. Di dalam sirkulasi darah, Liposom akan
berinteraksi dengan lipoprotein atau protein pengenal zat asing yaitu
opsonin. Interaksi liposom dengan lipoprotein menyebabkan membran
bilayer liposom kehilangan fosfolipidnya sehingga membran rusak dan obat
keluar dari liposom. Selain berinteraksi dengan lipoprotein, liposom yang
merupakan benda asing akan mengalami pembersihan (clearance) dari
sirkulasi darah. Proses clearance ini didahului oleh penempelan opsonin
pada liposom dan membentuk jembatan yang menghubungkan antara
46
makrofag dan liposom sebagai substrat yang akan difagosit.Dengan adanya
opsonin, liposom akan diambil makrofag dalam darah dan terdistribusi pada
organ-organ yang banyak mempunyai makrofag seperti hepar,limfa, paru-
paru dan kulit.Oleh karena itu, liposom berpotensi baik sebagai media
penghantar obat untuk penyakit yang menyerang organ-organ tersebut
(Moghimi dan Patel, 1998).
Liposom yang diberikan secara subkutan mulanya akan tertahan
pada lokasi injeksi kemudian akan memasuki aliran darah melalui sistem
limfatik. Hal ini menyebabkan pemberian liposom secara subkutan lebih
efektif dibandingkan secara intravena. Hal ini dikarenakan pada pemberian
secara intravena kadar optimal obat akan tercapai dalam 7,5 jam setelah
pemberian liposom kemudian kadarnya menurun. Sedangkan pada
pemberian secara subkutan kadar obat akan terus meningkat walaupun lebih
dari 24 jam setelah injeksi (Wilson dkk., 2007).
2.8.1 Manfaat Liposom
1. Menyediakan target selektif menuju jaringan tumor (liposomal
doxorubicin)
2. Meningkatkan efikasi indeks terapi
3. Meningkatkan stabilitas melalui encapsulasi.
4. Mengurangi toksisitas pada agen yang sudah dienkapsulasi.
5. Memperbaiki efek farmakokinetik (mengurangi eliminasi,
meningkatkan waktu sirkulasi)
6. Fleksibilitas untuk berpasangan dengan senyawa spesifik untuk
mencapai target (Dua dkk., 2012).
47
2.8.2 Metode Preparasi Liposom
Secara umum, metode preparasi liposom meliputi tiga tahap dasar:
a. Mengeringkan campuran lipid dari pelarut organik
b. Mendispersi lipid pada media larutan
c. Pemisahan dan pemurnian liposom (Sonia, 2012)
Gambar 2.7 Metode Preparasi Liposom (Dua dkk.,2012)
Parameter Preparasi Liposom yang tepat antara lain:
1. Karakteristik fisik dan kimia bahan diikat dan menjadi komposisi dari
liposom
2. Natur dari medium dari gelembung lemak disebarkan.
3. Komsentrasi efektif dari zat yang terikat dan potensi toksisitasnya.
4. Proses tambahan yang terlibat selama pemakaian / pengiriman gelembung
tersebut.
5. Ukuran optimal.
6. Keseragaman produksi dan kemungkinan untuk produksi skala besar
produk Liposom yang aman dan efisien (Dua dkk., 2012).
48
2.8.3 Penggunaan Liposom
Liposom digunakan untuk mengantarkan obat karena keunikannya.
Liposom mengkapsulasi suatu regio pada larutan encer (aquous solution)
di dalam membran hidrofobik. Pelarut hidrofilik yang terlarut tidak dapat
dengan segera melalui lemak. Bagian hidrofobik dapat terlarut melalui
membran dan dengan cara ini liposom dapat membawa baik molekul
hidrofobik dan hidrofilik. Untuk mengantarkan molekul ke target, bilayer
lipid dapat bergabung dengan bilayer yang lain seperti membran sel
kemudian mengantarkan isi liposom tersebut (Dua dkk., 2012).
Liposom digunakan sebagai model untuk sel-sel khusus. Liposom
juga dapat didesain untuk mengirim obat dengan cara yang lain. Liposom
dengan pH rendah atau tinggi dapat diformulasikan seperti larutan obat
yang larut dapat di dalam suatu larutan. Sebagimana pH akan dinetralkan
di dalam liposom (proton dapat melalui membran), obat juga akan
dinetralkan, membuat obat tersebut dengan bebas dapat melalui membran.
Liposom bekerja mengirim obat dengan berdifusi ke dalam sel secara
langsung. Strategi lain untuk pengantaran obat oleh liposom adalah target
endositosis (Dua dkk., 2012).
Liposom dapat dibuat dalam rentang ukuran khusus yang membuat
liposom tersebut menjadi target yang viable untuk fagositosis oleh
makrofag alami. Liposom ini sudah dapat dicerna ketika sedang
difagositosis oleh makrofag. Pada saat itulah, obat yang dibawa keluar dari
liposom. Liposom dapat juga ditambah dengan opsonin dan senyawa untuk
mengaktivasi endositosis pada tipe sel lain (Dua dkk., 2012).
49
Penggunaan liposom untuk transformasi atau transfeksi DNA ke
dalam sel penjamu disebut Lipofeksi (lipofection) (Dua dkk., 2012).
Penggunaan liposom pada kosmetologi nano juga memiliki banyak
manfaat, termasuk memperbaiki penetrasi dan difusi dari komposisi zat
aktif, transport selektif zat aktif, waktu release yang lebih panjang, zat
aktif yang lebih stabil, reduksi efek samping yang tidak diinginkan dan
biokompatibilitas yang tinggi (Dua dkk., 2012).
2.8.4 Proteksi terhadap enzim yang mendegradasi obat
Lemak yang digunakan pada formulasi liposom tidak rentan
terhadap proses degradasi oleh enzym sehingga obat yang terdapat di
dalam liposom terproteksi selama gelembung lemak tersebut berada di
dalam sirkulasi di dalam cairan ekstraseluler (Dua dkk., 2012).
2.8.5 Topical Drug Delivery
Penggunaan Liposom pada permukaan kulit telah terbukti efektif
mengantarkan obat ke dalam kulit. Liposom meningkatkan permeabilitas
kulit terhadap berbagai obat yang terdapat di dalam liposom dan pada saat
bersamaan mengurangi efek samping dari obat tersebut karena hanya
dibutuhkan dosis yang lebih rendah (Dua dkk., 2012).
2.8.6 Meningkatkan efikasi dan keamanan antimikrobial
Terdapat 2 alasan mengapa antimikrobial dikapsulkan dalam
liposom. Pertama, liposom mampu melindungi obat tersebut dari proses
degradasi. Kedua, lemak dari liposom tersebut meningkatkan ambilan
antibiotik ke dalam mikroorganisme sehingga dapat mengurangi dosis
50
efektif dan toksisitas sebagaimana yang telah diujikan pada formulasi
liposom pada Amfoterisin B (Dua dkk., 2012).
2.9. Lipolisis
Pada beberapa tahun yang lalu, tindakan lipolisis nonbedah sudah
meningkat dan tindakan injeksi subkutan paling ekonomis untuk mereduksi
lemak via lipolisis kimiawi. Injeksi fosfatidilkolin menggunakan varian
formulasi fosfatidilkolin sangat dikenal sebagai terapi untuk local
adiposities. Bagaimanapun juga, tidak ada produk penghancur lemak yang
disetujui oleh FDA dan MHRA (Medicines and Health-care Products
Regulatory Agency), karena kurangnya data yang berkaitan dengan efikasi
dan keamanan (Hailan dkk., 2011).
Banyak studi klinis yang telah melaporkan bahwa injeksi subkutan
formulasi fosfatidilkolin dapat mereduksi lemak. Meskipun mekanisme
biokimianya masih belum banyak dipelajari, dapat dikatakan bahwa
fosfatidilkolin tidak memiliki jalur lipolitik. Sehingga, dipikirkan bahwa
formulasi fosfatidilkolin yang menghancurkan deposit lemak setempat
dengan cara yang tidak spesifik. Formulasi fosfatidilkolin belum disetujui
oleh FDA untuk menghancurkan lemak (Hailan dkk., 2011).
Pengalaman sekarang mengenai efek lipolitik fosfatidilkolin/asam
deoksikolat pada tikus percobaan telah menyediakan informasi yang
bermanfaat tentang efikasi fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan menjadi
dasar untuk uji klinis di masa depan. Bantalan lemak inguinal tikus
percobaan merupakan bagian yang mudah untuk dimaniuplasi sehingga
dapat bermanfaat untuk penelitian (Noh, 2012).
51
Studi sebelumnya melaporkan bahwa injeksi subkutan dari
fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat dan bahan lain yang
dapat mereduksi lemak pada tempat suntikan. Bagaimanapun juga, hal ini
masih belum jelas dimana komposisi fosfatidilkolin/asamdeoksikolat adalah
komponen aktif yang mempunyai efek reduksi lemak. Pada studi ini
ditemukan bahwa tujuh hari setelah suntikan, massa lemak menurun oleh
suntikan fosfatidilkolin, sedangkan massa DNA menurun hanya pada
jaringan yang mendapata suntikan asam deoksikolat (Won dkk., 2013).
Senyawa fosfatidilkolin dan asam deoksikolat telah digunakan untuk
lipolisis parsial dan memiliki efikasi serta tidak terlalu invasif jika
dibandingkan dengan liposuction dan dermolipectomy yang telah digunakan
sebelumnya (Noh, 2012).
Lipolisis parsial yang terjadi setelah injeksi fosfatidilkolin/asam
deoksikolat lebih efisien, efektif dan noninvasif daripada liposuction dan
dermolipectomy yang telah sering dilakukan sebelumnya. Beberapa Dokter
menggunakan teknik tersebut sekarang ini untuk mengatasi buffalo hump
,lipoma dan xantelasma yang berkaitan dengan HIV. Beberapa klinik
Swasta menggunakannya untuk membuang lemak setempat pada paha, leher
dan wajah (Noh, 2012).
Secara umum, Lipolisis didefinisikan sebagai perubahan asam lemak
dari Triasilgliserol (TAG) yang tersimpan di Adiposit untuk menyediakan
energi. Selama lipolisis, TAG dihidrolisa menjadi Diasilgliserol (DAG),
Monoasilgliserol (MAG), dan gliserol melalui kerja dari beberapa enzim
52
lipase, dimana asam lemak menjadi produk akhir yang dikeluarkan dari
setiap langkah hidrolisa tersebut (Won dkk., 2013).
Lipolisis diinisiasi oleh berbagai rangsangan dan rangsangan ini
memicu aktivasi dari jalur utama yang berhubungan dengan HSL (Hormon-
sensitive Lipase) dan periplin. Hormon-sensitive Lipase adalah enzim kunci
untuk mengkatalisa pemecahan Triasilgiserol menjadi Diasilgliserol dan
pemecahan Diasilgliserol menjadi Monoasilgliserol (Won dkk., 2013).
Periplin melapisi tetesan lemak di adiposit dan melindungi mereka dari
lipase-mediated lipolyis (Won dkk., 2013).
Tiga grup penelitian yang lain secara terpisah menemukan hal yang
berbeda dimana ATGL (adipose triglyceride lipase), yang merupakan
komponen baru yang mengkatalisis hidrolisa Triasilgliserol menjadi
Diasilgliserol (Won dkk., 2013).
Enzim baru lainnya Triacylglycerol Hidrolase (TGH), juga terlibat
dalam pemecahan Triasilgliserol. Berlawanan dengan lipolisis, glukosa
berlebihan dapat dikonversi menjadi Triasilgliserol dan disimpan di jaringan
adiposa melalui lipogenesis yang dikendalikan oleh peroxisome proliferator-
activated receptor-γ (PPAR γ) (Won dkk., 2013).
Untuk menginvestigasi efek fosdatidilkolin yang mengandung asam
deoksikolat pada jaringan adiposa, Won dkk pada tahun 2013 menyuntikkan
fosdatidilkolin yang mengandung asam deoksikolat, masing-masing, ke
dalam lemak tikus dan menentukan ekspresi mRNA dari hormon, lipolysis-
associated molecules, dan sitokon di dalam jaringan. Pada penemuan ini
didapatkan kematian adiposit atau kerusakan sitotoksik oleh karena asam
53
deoksikolat sendiri (Won dkk., 2013) Palumbo dkk menemukan bahwa
fosfatilkolin tidak mempengaruhi viabilitas adiposit dan berperan protektif
melawan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh asam deoksikolat (Palumbo
dkk, 2010). Meskipun Palumbo dkk melakukan percobaan secara in vitro ke
dalam jaringan adiposa yang telah dibelah dan adiposit, penemuan mereka
mungkin merupakan penjelasan yang krusial mengapa injeksi hanya dengan
fosfatidilkolin tidak mereduksi massa DNA adiposa pada studi Won dkk.
Fosfatidilkolin dapat langsung meregulasi penurunan ekspresi gen hormon
jaringan adiposa seperti adiponektin, leptin dan resistin sedangkan suntikan
asam deoksikolat sendiri dapat merusak jaringan adiposa inguinal, yang
pada akhirnya menurunkan ekspresi gen hormon. Pemberian fosfatidilkolin
meningkatkan transkripsi HSL, dan menurunkan peripilin (Won dkk.,
2013).
Pada penelitian Noh dkk tahun 2012 mengenai efikasi fosfatidilkolin
yang larut dalam asam deoksikolat melalui studi eksperimental dengan
model tikus dilakukan pemeriksaan mikroskopis pada sampel dan
didapatkan data eksperimental dari 4 kategori menunjukkan perbadaan
histologi yang bermakna jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Seluruh data juga menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik dengan
tes Wilcoxon signed-rank (p<0,01). Terdapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok kontrol dan eksperimen dalam hal jaringan lemak normal,
inflamasi, nekrosis, dan fibrosis (Noh, 2012). Selain itu terdapat perbedaan
yang bermakna secara statistik antara kelompok ekperimen dengan
fosfatidilkolin/asam deoksikolat dan kelompok kontrol dalam hal jaringan
54
lemak normal, aktivitas inflamasi, nekrosis dan stadium fibrosis pada lemak
inguinal tikus percobaan. Hal ini menandakan suntikkan
fosfatidilkolin/asam deoksikolat mempengaruhi komponen jaringan lemak
tikus secara histologi dan menjadi dasar untuk uji klinis dan penelitan yang
terkait di masa yang akan datang (Noh, 2012).
2.10. Penggunaan tikus (Rattus Norvegicus) di laboratorium
Perkembangan dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang
melibatkan penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Salah satu hewan
coba yang menjadi pilihan adalah tikus. Tikus laboratorium adalah spesies
tikus Rattus norvegicus ( Gambar 2.8 ) yang dibesarkan dan disimpan untuk
penelitian ilmiah.
Gambar 2.8 Tikus Coba Galur Wistar (Kusumawati, 2004)
Jenis galur ini dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk
digunakan dalam biologi dan penelitian medis. Saat ini tikus wistar ini menjadi
salah satu strain tikus paling populer digunakan untuk penelitian laboratorium.
Ciri tikus ini adalah mempunyai kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor
panjang yang tidak melebihi panjang tubuhnya (Kusumawati, 2004).
Pada penelitian ini, digunakan tikus putih jantan obesitas. Penentuan tikus
obestitas berdasarkan Indeks Lee yaitu: (Campos,2008)
Indeks Lee : 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑏𝑏𝐵𝐵𝑏𝑏𝐵𝐵𝑏𝑏 𝐵𝐵𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 (𝑔𝑔𝐵𝐵)𝑃𝑃𝐵𝐵𝑏𝑏𝑃𝑃𝐵𝐵𝑏𝑏𝑔𝑔 ℎ𝑡𝑡𝑏𝑏𝑡𝑡𝑏𝑏𝑔𝑔−𝐵𝐵𝑏𝑏𝑡𝑡𝑡𝑡 (𝑐𝑐𝑐𝑐)
>0,3=obese