BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori ...negara yang memiliki keunggulan absolut maka...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori ...negara yang memiliki keunggulan absolut maka...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Perdagangan Internasional
2.1.1.a Definisi Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional diartikan sebagai suatu hubungan kerjasama
ekonomi yang dilakukan oleh negara yang satu dengan negara lain yang berkaitan
dengan barang dan jasa sehingga mampu membawa suatu kemakmuran bagi suatu
negara. Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar
negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas
dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan internasional juga
dikenal dengan sebutan perdagangan dunia. Perdagangan internasional terbagi
menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai
perdagangan ekspor impor. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan
di dalam negeri, maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan komplek.
Kerumitan ini disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain sebagai berikut.
a. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan.
b. Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara ke negara lainnya
melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari pembatasan
yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
c. Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam bahasa,
mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam perdagangan dan
sebagainya (Gerber, 2011; Krugman et al., 2012).
Perdagangan internasional merupakan penentu dan faktor penting untuk
merangsang pertumbuhan ekonomi. Perdagangan internasional tidak hanya
dilakukan oleh negara maju saja, namun juga negara berkembang. Perdagangan
internasional ini dilakukan melalui kegiatan ekspor impor. Ekspor adalah kegiatan
menjual barang dan jasa dari dalam negeri ke luar negeri. Adapun impor adalah
kegiatan membeli barang dan jasa dari luar negeri ke dalam negeri. Dengan
melakukan perdagangan internasional melalui kegiatan ekspor impor, negara maju
akan memperoleh bahan-bahan baku yang dibutuhkan industrinya sekaligus dapat
menjual produknya ke negara-negara berkembang. Sementara itu, negara
berkembang dapat mengekspor hasil-hasil produksi dalam negeri sehingga
memperoleh devisa.
2.1.1.b Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional terdiri atas dua teori yang menjelaskan
tentang timbulnya perdagangan internasional, yaitu teori klasik dan merkantilis.
1) Teori Klasik
Teori untuk memecahkan masalah ekonomi dengan bantuan penyelidikan
kearah faktor permintaan dan penawaran yang menentukan harga.
a) Merkantilis
Kaum merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi suatu
negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin
ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya
akan dibentuk dalam aliran emas lantakan atau logam-logam mulia, khususnya
emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh suatu negara
maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian, pemerintah
harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor dan
mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah).
Namun, oleh karena setiap negara tidak secara simultan dapat menghasilkan
surplus ekspor, juga karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada satu saat
tertentu, maka sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan
mengorbankan negara lain. Tujuan utama kaum merkantilis adalah untuk
memperoleh sebanyak mungkin kekuasaan dan kekuatan negara. Dengan
memiliki banyak emas dan kekuasaan maka akan dapat mempertahankan negara
untuk lebih besar dan lebih baik sehingga dapat melakukan konsolidasi kekuatan
di negaranya, peningkatan angkatan bersenjata memungkinkan sebuah negara
untuk menaklukkan lebih banyak koloni. Selain itu, semakin banyak emas berarti
semakin banyak uang dalam sirkulasi dan semakin besar aktivitas bisnis.
Selanjutnya, dengan mendorong ekspor dan mengurangi impor, pemerintah akan
dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional untuk pertumbuhan
negaranya (Gerber, 2011).
b) Adam Smith (1776)
Adam Smith berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah
produksi hasil tenaga kerja serta sumber daya ekonomi. Adam Smith sependapat
dengan doktrin merkantilis yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara
dicapai dari surplus ekspor. Kekayaan akan bertambah sesuai dengan skill, serta
efisiensi dengan tenaga kerja yang digunakan dan sesuai dengan persentase
penduduk yang melakukan pekerjaan tersebut. Menurut Smith suatu negara akan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang
dengan biaya yang secara mutlak lebih murah daripada negara lain, yaitu karena
memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Adapun keunggulan
mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya
yang lebih sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain. Teori Absolute
Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga
sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional.
Murni berarti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti
misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang
dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang
digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value).
Teori Absolute Advantage Adam Smith (1776) yang sederhana
menggunakan teori nilai tenaga kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sangat
sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya
homogeny serta merupakan satu-satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya
tenaga kerja itu tidak homogen. Dikatakan absolute advantage karena masing-
masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara
absolut lebih rendah dari negara lain. Kelebihan dari teori absolute advantage
yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki
keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor
untuk meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu
negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak
akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Salvatore dan Krugman, 2006; Gerber,
2011).
2) Teori Modern Perdagangan Internasional
Teori modern ini mencakup dua teori, yaitu a) Teori Stuart Mill dan David
Ricardo, dan b) Teori Heckscher-Ohlin (H-O).
a) Teori John Stuart Mill dan David Ricardo (1772-1823)
Teori John Stuart Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan
dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage
terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu
barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang
kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan
bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan
untuk memproduksi barang tersebut.
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan
bahwa nilai penukaran terjadi jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan.
Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat
digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki
nilai yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo juga membuat
perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan
kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang
monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur
yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini
barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai
dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang
yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai
penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan. David Ricardo
(Gerber, 2011), mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran
nilai kerja, antara lain sebagai berikut.
1) Perlu diperhatikan adanya kualitas nilai kerja, ada kualitas kerja terdidik dan
tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik
dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk
pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya
diperlukan untuk memproduksi barang.
2) Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu selain kerja masih banyak lagi
jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan.
Teori perdagangan internasional dikemukakan oleh Adam Smith dan
David Ricardo (Gerber, 2011) yang mulai dengan anggapan bahwa lalu lintas
pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara dengan tanpa tembok
pabean, serta kedua negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo
memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang
untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara
memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap
akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan.
Teori comparative advantage telah berkembang menjadi dynamic
comparative advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat
diciptakan. Oleh karena itu penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor
keberhasilan suatu negara (Gerber, 2011). Teori comparative advantage ini
mencakup: 1) Cost Comparative Advantage (Labor efficiency), dan 2) Production
Comperative Advantage (Labor productifity).
b) Teori Heckscher-Ohlin (H-O) atau Factor Proporsion Theory (1933)
Teori modern ini perdagangan internasional dimulai ketika ekonom
Swedia yaitu Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) atau disebut dengan
Teori Hecskher-Ohlin Samuelson atau juga Factor Proporsion Theory yang
mengemukakan mengenai perdagangan internasional yang belum mampu
dijelaskan dalam teori keunggulan komparatif. Sebelum masuk ke dalam
pembahasan teori H-O, tulisan ini sedikit akan mengemukakan kelemahan teori
klasik yang mendorong munculnya teori H-O. Teori Klasik Comparative
Advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena
adanya perbedaan dalam productivity of labor (faktor produksi yang secara
eksplisit dinyatakan) antar negara. Namun teori ini tidak memberikan penjelasan
mengenai penyebab perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O kemudian
mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan
produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaan produktivitas
karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment
factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan
terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu teori modern
H-O ini dikenal sebagai The Proportional Factor Theory.
Teori Heckscher-Ohlin (H-O) ini menjelaskan beberapa pola perdagangan
dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang
menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif. Menurut
Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain
disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan
dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan
komparatif, adalah sebagai berikut.
1) Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi di dalam suatu
negara.
2) Faktor intensity, yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi,
apakah labor intensity atau capital intensity.
Teori modern Heckescher-Ohlin atau teori H-O dijelaskan dengan dua
kurva: (1) kurva isocost yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi
yang sama, dan (2) kurva isoquant yaitu kurva yang menggambarkan total
kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan
bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya
tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan
diperoleh sejumlah produk tertentu. Analisis hipotesis H-O mencakup, antara lain
sebagai berikut.
1) Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing
negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang
dimilikinya.
2) Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara.
3) Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi
yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya.
4) Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu
karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal
untuk memproduksinya.
5) Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang
dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis
akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Hipotesis yang telah dihasilkan oleh Teori H-O, antara lain sebagai berikut.
1) Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara.
2) Produksi barang ekspor di tiap negara naik, sedangkan produksi barang impor
di tiap negara turun.
3) Harga labor di kedua negara cenderung sama, harga barang A di kedua negara
cenderung sama demikian pula harga barang B di kedua negara cenderung
sama.
4) Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi
yang relatif banyak dan murah untuk melakukan produksi.
5) Perdagangan akan terjadi antara negara yang kaya kapital dengan negara yang
kaya labor.
Kelemahan teori H-O dalam menjelaskan perdagangan internasional, antara lain
sebagai berikut.
1) Asumsi persaingan sempurna dalam semua pasar produk dan faktor produksi
lebih menjadi masalah. Hal ini karena sebagian besar perdagangan adalah
produk negara industri yang bertumpu pada diferensiasi produk dan skala
ekonomi yang belum bisa dijelaskan dengan model faktor endowment H-O.
2) Asumsi bahwa kedua negara menggunakan teknologi yang sama dalam
memproduksi adalah tidak valid. Fakta yang ada di lapangan negara sering
menggunakan teknologi yang berbeda.
3) Asumsi spesialisasi penuh suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi
jika melakukan perdagangan tidak sepenuhnya berlaku karena banyak negara
yang masih memproduksi komoditi yang sebagian besar adalah dari impor.
4) Asumsi tidak ada mobilitas faktor internasional. Adanya mobilitas faktor
secara internasional mampu mensubstitusikan perdagangan internasional yang
menghasilkan kesamaan relatif harga produk dan faktor antar negara.
Maknanya adalah hal ini merupakan modifikasi H-O tetapi tidak mengurangi
validitas model H-O (Salvatore, 1997; Gerber, 2011).
2.1.1.c Ilustrasi Terjadinya Perdagangan Internasional/Global
Ilustrasi munculnya perdagangan global seperti yang diilustrasikan ke Gambar 2.1
Gambar 2.1
Ilustrasi Munculnya Perdagangan Global
Sumber: Samson, 2013; http://Ibm-binus-5s.blogspot.com
Faktor penyebab terjadinya perdagangan internasional, antara lain sebagai berikut.
1) Perbedaan dalam memproduksi barang
Satu negara tidak dapat memproduksi barang tertentu.
2) Negara tidak dapat memproduksi barang sesuai dengan permintaan
masyarakat.
Kadang kala masyarakat tidak menyukai barang yang diproduksi oleh
negaranya sendiri. Misalnya saja masyarakat Indonesia, merasa tidak puas
memakai barang produksi dalam negeri. Masyarakat Indonesia lebih menyukai
memakai barang impor dari negara lainnya, misalnya sepatu, tas dan baju yang
lebih bermerek.
3) Produksi dalam negeri yang tidak seimbang dengan permintaan pasar.
Persediaan barang dan permintaan pasar di setiap negara yang tidak seimbang.
4) Perbedaan teknologi.
5) Perbedaan penghematan biaya produksi (Salvatore dan Krugman, 2006).
2.1.1.d Manfaat dan Kerugian pada Perdagangan Internasional
Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional
Setiap negara yang melakukan perdagangan dengan negara lain tentu akan
memperoleh manfaat bagi negara tersebut. Manfaat tersebut disebut positif, antara
lain sebagai berikut.
1) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap
negara. Faktor-faktor tersebut di antaranya: Kondisi geografi, iklim, tingkat
penguasaan IPTEK dan lain-lain.
2) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh
keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Dengan mengadakan
spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat memperoleh keuntungan
sebagai berikut.
a. Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan
dengan lebih efesien.
b. Setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat
diproduksi dalam negeri.
3) Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat
produksinya) dengan maksimal karena khawatir akan terjadi kelebihan
produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk. Dengan adanya
perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya
secara maksimal dan menjual kelebihan produk tersebut ke luar negeri.
4) Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari
teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih
modern.
5) Meningkatkan hubungan persahabatan antar negara.
6) Memperluas lapangan kerja
Kerugian Melakukan Perdagangan Internasional
Setiap negara yang melakukan perdagangan internasional dengan negara
lain akan memperoleh kerugian disebut negatif bagi negara tersebut. Kerugian
tersebut, antara lain sebagai berikut.
1) Impor barang menjadi dominasi. Kegiatan impor yang terlalu mendominasi
dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Jika barang
yang masuk (impor) lebih banyak dari barang yang di ekspor (dikeluarkan)
dapat menyebabkan pendapatan nasional menurun yang diakibatkan pula
sebab nilai mata uang yang melemah.
2) Masalah bagi petani dan produksi barang lainnya. Dampak banyaknya barang
yang didapat atau di impor dari luar negeri, mengakibatkan kerugian bagi para
petani, nelayan atau yang memproduksi barang sebab banyak beredarnya
buah-buahan, sayuran dari luar negeri dengan harga yang nisbi lebih murah.
Hal semacam ini sering menjadi kasus contoh perdagangan internasional.
3) Ketergantungan dengan negara maju. Semakin banyaknya produk-produk dan
bahan-bahan yang berasal dari luar negeri membuat masyarakat menjadi
tergantung menggunakan merek-merek dari luar.
4) Terbukanya perdagangan bebas internasional. Dengan adanya perdangangan
internasional, membuat suatu negara mengalami kerugian, terutama dengan
banyaknya kasus-kasus penyelundupan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab melanggar peraturan pemerintah mengenai perdagangan
internasional.
2.1.1.e Faktor Penghambat Transaksi Perdagangan
Setiap negara selalu menginginkan perdagangan yang dilakukan antar
negara dapat berjalan dengan lancar. Namun, dijumpai kegiatan yang mengalami
beberapa hambatan. Berikut ini beberapa hambatan yang sering muncul dalam
perdagangan internasional: 1) Perbedaan mata uang antar negara, 2) Kualitas
sumber daya yang rendah, 3) Pembayaran antar negara sulit dan risikonya besar,
4) Adanya kebijaksanaan impor dari suatu negara, 5) Terjadinya perang, 6)
Adanya organisasi-organisasi ekonomi regional/internasional, 7) Kurangnya
pengetahuan teknik pemasaran, hukum yang berlaku masing-masing negara,
pemahaman kemudahan-kemudahan, 8) Sistem kuota, 9) Pembiayaan dan
persiapan barang, 10) Kebijakan-kebijakan pemerintah masing-masing negara
(Gerber, 2011; Krugman et al., 2012; https://trinandafiles.wordpress.com).
2.1.1.f Berbagai Kesepakatan Regional dan Internasional
Umumnya perdagangan internasional diregulasikan melalui perjanjian
bilateral antara dua negara. Selama berabad-abad di bawah kepercayaan dalam
merkantilisme kebanyakan negara memiliki tarif tinggi dan banyak pembatasan
dalam perdagangan internasional. Pada abad ke 19, terutama di Britania, ada
kepercayaan akan perdagangan bebas menjadi yang terpenting dan pandangan ini
mendominasi pemikiran di antaranegara barat untuk beberapa waktu sejak itu
dimana hal tersebut membawa ke arah kemunduran besar Britania. Pada tahun-
tahun sejak Perang Dunia II, perjanjian multilateral kontroversial seperti GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) dan WTO (World Trade Organization)
memberikan usaha untuk membuat regulasi global dalam perdagangan
internasional. Kesepakatan perdagangan tersebut kadang-kadang berujung pada
protes dan ketidakpuasan dengan klaim dari perdagangan yang tidak adil yang
tidak menguntungkan secara mutual.
Perdagangan bebas biasanya didukung dengan kuat oleh sebagian besar
negara yang berekonomi kuat, walaupun kadang-kadang melakukan proteksi
selektif untuk industri-industri yang penting secara strategis seperti proteksi tarif
untuk agrikultur oleh Amerika Serikat dan Eropa. Belanda dan Inggris Raya
keduanya mendukung penuh perdagangan bebas dimana secara ekonomis
dominan, sekarang Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang merupakan
pendukung terbesarnya. Bagaimanapun, banyak negara lain (seperti India, Rusia
dan Tiongkok) menjadi pendukung perdagangan bebas karena telah menjadi kuat
secara ekonomi. Karena tingkat tarif turun ada juga keinginan untuk
menegosiasikan usaha non tarif, termasuk investasi luar negeri langsung,
pembelian dan fasilitasi perdagangan. Wujud lain dari biaya transaksi
dihubungkan dengan perdagangan pertemuan dan prosedur cukai.
Umumnya kepentingan agrikultur biasanya dalam koridor dari
perdagangan bebas dan sektor manufaktur seringnya didukung oleh proteksi. Ini
telah berubah pada beberapa tahun terakhir. Bagaimanapun, faktanya lobi
agrikultur, khususnya di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang merupakan
penanggung jawab utama untuk peraturan tertentu pada perjanjian internasional
besar yang memungkinkan proteksi lebih dalam agrikultur dibandingkan
kebanyakan barang dan jasa lainnya. Selama resesi seringkali ada tekanan
domestik untuk meningkatkan tarif dalam rangka memproteksi industri dalam
negeri. Ini terjadi di seluruh dunia selama depresi besar membuat kolapsnya
perdagangan dunia yang dipercaya memperdalam depresi tersebut.
Regulasi dari perdagangan internasional diselesaikan melalui WTO (World
Trade Organization) pada level global dan melalui beberapa kesepakatan regional
seperti MerCOSUR (Mercado Común del Sur) di Amerika Selatan, NAFTA
(North American Free Trade Agreement) antara Amerika Serikat, Kanada dan
Meksiko, dan Uni Eropa antara 27 negara mandiri. Pertemuan Buenos Aires tahun
2005 membicarakan pembuatan dari FTAA (Free Trade Area of America) gagal
total karena penolakan dari populasi negara-negara Amerika Latin. Kesepakatan
serupa seperti MAI (Multilateral Agreement on Invesment) juga gagal pada tahun-
tahun terakhir.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 atau ASEAN Economic
Community (AEC) adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam
menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. Seluruh negara
anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk
mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Dalam menghadapi persaingan yang
teramat ketat selama MEA ini, negara-negara ASEAN haruslah
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang terampil, cerdas dan
kompetitif (https://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_Ekonomi_ASEAN).
2.1.2 Impor
Prinsip kegiatan impor dalam sistem perekonomian mencakup tiga (3) hal
yaitu dalam produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam kaitannya dengan kegiatan
impor yaitu ketiga prinsip ekonomi tersebut dapat berjalan apabila didukung oleh
prasarana dan sarana barang dan jasa dari hasil kegiatan impor. Untuk
memproduksi barang dan jasa tersebut, produsen memerlukan diantaranya bahan
baku dan penolong, bahan konsumsi dan barang modal agar kegiatan produksi
berjalan sesuai harapan. Untuk pencapaian dan distribusi barang dan jasa
diperlukan sarana seperti contoh alat mobilisasi, suku cadang dan lain-lain yang
diperoleh dari komponen barang dan jasa impor.
Kegiatan konsumsi ini dimungkinkan karena ketersediaan barang dan jasa
yang di dalam negeri (Indonesia) kurang. Seperti contoh: kedelai, jagung, beras,
garam, bahan baku tekstil, bahan baja dan lain-lain yang merupakan komoditas
impor yang diperlukan dalam meningkatkan pertumbuhan.
2.1.2.a Pengertian Impor
Impor sebagai fungsi permintaan suatu negara terhadap komoditi dari
pasar internasional. Impor merupakan aliran barang dan jasa ke pasar sebuah
negara untuk dipakai. Negara meningkatkan kemajuan masyarakat dengan cara
mengimpor aneka ragam barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang lebih
rendah daripada yang dapat dihasilkan di dalam negeri (Smith and Blakeslee,
1995). Permintaan impor merupakan selisih antara konsumsi domestik dikurangi
produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara matematis,
impor dapat digambarkan, sebagai berikut (Labys, 1973).
Mt = Ct-Qt-St-1 .................................................................................... (2.1)
Dimana : Mt = jumlah impor pada tahun ke t
Qt = jumlah produksi domestik tahun ke t
Ct = jumlah kosumsi domestik tahun ke t
St-1 = sisa stok pada tahun ke t-1
Fungsi impor suatu negara dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri,
yaitu nilai tukar atau exchange rate (ER) dan harga impor (PM). Dengan
demikian, secara teoritis fungsi impor komoditas suatu negara dapat ditulis
persamaan:
Mt = f (Qt, Ct, St-1, ERt, PMt) ............................................................ (2.2)
Dimana : Qt = jumlah produksi domestik tahun ke t
St-1 = sisa stok pada tahun ke t-1
Ct = jumlah konsumsi domestik tahun ke t
ERt = nilai tukar atau exchange rate tahun ke t
PMt = harga impor tahun ke t
Terdapat beberapa variabel yang akan mempengaruhi permintaan impor
suatu negara seperti biaya transportasi (TC), tarif (T), selera konsumen (PC),
distribusi pendapatan (Y) dan populasi (P) yang dapat memberikan hasil yang
lebih akurat. Impor dalam sistem perekonomian adalah suatu leakage (kebocoran)
dalam suatu sistem perekonomian, di satu pihak sangat diperlukan untuk
memperluas kapasitas produksi dalam negeri yang pada muaranya dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Faktor pendorong suatu negara melakukan aktivitas impor dalam
kaitannya melangsungkan proses pembangunan antara lain: 1) untuk memenuhi
kebutuhan barang bahan baku dan jasa teknologi informasi dalam negeri, 2)
keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara untuk
pembangunan, 3) adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam mengolah sumberdaya ekonomi, 4) Adanya kekurangan
produk dalam negeri sehingga perlu masukan impor untuk pemenuhan dalam
negeri, 5) Adanya perbedaan keadaan seperti sumberdaya alam, iklim, tenaga
kerja, budaya dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil
produksi dan adanya keterbatasan produksi, 6) Adanya kesamaan selera atau
kebutuhan mutlak terhadap suatu barang, 7) Keinginan membuka kerja sama,
hubungan politik dan dukungan dari negara lain, 8) Adanya era globalisasi
sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri dan 9) Secara
keseluruhan kebutuhan impor diperlukan dalam proses pembangunan yang
berkelanjutan (http://bhangga1231.blogspot.co.id)
Aktivitas impor tersebut menunjukkan pentingnya impor pada proses
pembangunan di Indonesia dapat dilihat pada struktur impor Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Struktur Impor Menurut Golongan Penggunaan Barang Tahun 2004-2014
sumber: www.bps.go.id
2.1.2.b Kebijakan Impor
Kebijakan dibedakan menjadi dua, yaitu: tarif dan subsidi.
1) Tarif Impor
Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan kepada suatu komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial. Berdasarkan mekanisme perhitungannya,
tarif terbagi menjadi tiga jenis, di antaranya (Hady, 2004):
a) Tarif Ad Valorem (Ad Valorem Tariff): Tarif ad valorem adalah pajak yang
dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang
diimpor.
b) Tarif Spesifik (Spesific Tariff): Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap
unit barang yang diimpor.
TahunBarang
Konsumsi
Bahan Baku dan
Barang PenolongBarang Modal Jumlah
2004 3.786,50 36.204,20 6.533,80 46.524,50
2005 4.620,50 44.792,00 8.288,40 57.700,90
2006 4.738,20 47.171,40 9.155,90 61.065,50
2007 6.539,10 56.484,70 11.449,60 74.473,40
2008' 8.303,70 99.492,70 21.400,90 129.197,30
2009' 6.752,60 69.638,10 20.438,50 96.829,20
2010' 9.991,60 98.755,10 26.916,60 135.663,30
2011' 13.392,90 130.934,30 33.108,40 177.435,60
2012' 13.408,60 140.126,10 38.154,80 191.689,50
2013' 13.138,90 141.957,90 31.531,90 186.628,70
2014' 12.667,20 136.208,60 29.303,00 178.178,80
c) Tarif Campuran: Tarif campuran adalah gabungan dari tarif ad valorem dan
tarif spesifik, dimana barang yang diimpor dikenakan pungutan dalam jumlah
tertentu dan dikenakan pungutan dalam bentuk persentase.
2) Subsidi: Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan
perlindungan atau bantuan kepada industri dalam negeri berupa keringanan
pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit dan subsidi harga. Subsidi
bertujuan untuk: a) Menambah produksi dalam negeri, b) Mempertahankan
jumlah konsumsi dalam negeri, c) Menjual dengan harga yang lebih murah
daripada produk impor.
Regulasi bidang impor di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2016
diterbitkan sejumlah 58 regulasi. Kebijakan substitusi impor bertujuan antara lain:
a) mengurangi ketergantungan pada impor, terutama barang-barang kebutuhan
pokok, b) memperkuat sektor industri, c) memperluas kesempatan kerja dan d)
menghemat devisa. Sedangkan keterbatasan-keterbatasan impor mengakibatkan:
a) menguntungkan perusahaan asing, b) pasar domestik cepat jenuh, c)
memunculkan atau memperkuat gejala monopoli dan atau oligopoli dan d)
ketergantungan yang makin besar terhadap impor.
Struktur impor di Indonesia mencakup: 1) Barang konsumsi, 2) Bahan
baku dan bahan penolong, 3) Bahan modal. Indonesia mengimpor barang-barang
konsumsi, bahan baku dan bahan penolong serta bahan modal. antara lain 1)
Barang-barang konsumsi merupakan barang-barang yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, susu, mentega
beras dan daging. Sebenarnya untuk kebutuhan seperti makanan dan
minuman Indonesia tidak memerlukan impor yang terlalu besar dikarenakan
pada beberapa bahan baku Indonesia masih memiliki produksi yang cukup besar
namun hasil produksi Indonesia tidak mampu untuk menutupi besarnya
konsumsi masyarakat. Pada beberapa bahan pangan Indonesia masih harus
melakukan impor seperti susu, daging dan mentega. Hal ini disebabkan
Indonesia cenderung tidak mengkonsumsi atau memfokuskan pada bidang
peternakan. Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi daging yang
rendah di mana penduduk Indonesia lebih dominan dalam mengkonsumsi beras
ataupun sayur; 2) Bahan baku dan bahan penolong yang merupakan barang-
barang yang diperlukan untuk kegiatan industri baik bahan baku ataupun bahan
pendukung seperti kertas, bahan-bahan kimia, obat-obatan dan kendaraan
bermotor Indonesia masih harus melakukan kegiatan impor di mana Indonesia
masih minim akan teknologi yang mendukung produksi bahan baku tersebut.
Seperti kendaraan bermotor Indonesia masih mengimpor dari negara maju seperti
Jepang, Amerika dan Jerman; 3) Barang modal: barang-barang yang digunakan
untuk modal usaha seperti mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang
dan alat-alat berat Indonesia masih bergantung dari impor luar negeri.
Pada produk migas Indonesia mengekspor produk mentah ke luar negeri
kemudian mengimpor kembali produk jadi sehingga jika diperhatikan
sesungguhnya Indonesia sudah mampu untuk berdiri sendiri namun tidak mampu
untuk mengolah bahan baku tersebut. Jika dipikirkan kembali sebenarnya
Indonesia mampu untuk mengolahnya sehingga biaya yang dikeluarkan jauh lebih
murah, padahal jika dicermati kembali produk-produk migas diekspor dijual
dengan harga murah namun diimpor dengan harga 2 kali lipat dari harga semula
(www.bps.go.id http://dokumen.tips/documents/analisis-alasan-indonesia-masih-
melakukan-impor-meskipun-produk-ataupun-jasa-terdapat diindonesia.html)
Untuk mengurangi ketergantungan pada barang-barang impor pemerintah
Indonesia telah melakukan kebijakan substitusi impor (SI). Kebijakan substitusi
impor (import substitution) adalah kebijakan memproduksi di dalam negeri
terhadap barang-barang yang tadinya diimpor. Kebijakan ini paling sering
ditempuh pada tahap awal pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan
industri. Ada beberapa manfaat positif yang diperoleh dan kebijakan substitusi
impor, antara lain sebagai berikut.
1) Mengurangi ketergantungan pada impor. Terutama untuk barang-barang
kebutuhan pokok atau yang menghasilkan produk antara.
2) Memperkuat sektor industri. Pengembangan sektor industri diperlukan untuk
memperkuat perekonomian. Salah satu jalan untuk mempercepat
pembangunan industri adalah SI (Substitusi Impor), di mana pemerintah
memberikan fasilitas yang memperbesar minat dan kemampuan swasta untuk
berinvestasi. Industri-industri yang dibangun berdasarkan kebijakan SI pada
tahap awal umumnya adalah yang bersifat padatkarya dan atau berteknologi
rendah. Sebab industri tersebut relatif sesuai dengan kualitas SDM di Negara
Sedang Berkembang (NSB). Lagipula industri-industri tersebut dapat
menghasilkan keunggulan komparatif.
3) Memperluas kesempatan kerja. Bertumbuhnya sektor industri juga dapat
memperluas kesempatan kerja. Dengan demikian tenaga kerja yang melimpah
disektor pertanian akan diserap oleh sektor industri tanpa mengurangi output
sektor pertanian.
4) Menghemat devisa. Penghematan devisa berarti memperbaiki neraca
pembayaran. Perbaikan neraca pembayaran umumnya dilihat dan surplus
neraca perdagangan atau menurunnya defisit neraca perdagangan, karena
impor makin mengecil. Atau dapat juga dilihat dalam neraca modal, di mana
modal masuk lebih besar dari pada modal keluar. Perbaikan neraca
pembayaran ini akan memberikan efek multiplikasi perekonomian domestik,
sekaligus memperbaiki posisi di perekonomian dunia.
Di samping manfaat-manfaat tersebut, SI juga memilki keterbatasan-keterbatasan,
antara lain sebagai berikut.
1) Menguntungkan perusahaan asing. Perusahaan asing yang menanamkan
modal di sektor industri substitusi impor akan memperoleh keuntungan,
karena memperoleh proteksi di balik benteng tarif dan memperoleh fasilitas
keringanan pajak serta insentif penanaman modal.
2) Pasar domestik cepat jenuh. Titik lemah dari kebijakan SI bukanlah pada
aspek penawaran, melainkan aspek permintaan. Rendahnya pendapatan per
kapita penduduk NSB menyebabkan permintaan domestik akan produk-
produk industri amat kecil. Artinya, skala pasar domestik relatif kecil
sehingga cepat jenuh.
3) Memunculkan atau memperkuat gejala monopoli dan atau oligopoli. Kecilnya
skala pasar domestik menyebabkan para investor meminta jaminan kepastian
pasar agar skala jual produksi mereka mencapai tingkat efisiensi ekonomis,
bahkan dapat memberikan keuntungan supernormal (supernormal profit). Hal
ini menjadi salah satu alasan mengapa para investor menuntut hak monopoli
(legal) atau pembatasan jumlah produsen berdasarkan ketentuan hukum.
Tidak mengherankan bila struktur industri di NSB umumnya monopoli atau
oligopoli yang berdasarkan kekuatan hukum.
4) Ketergantungan yang makin besar terhadap impor. Yang menjadi persoalan
besar dalam kebijakan SI adalah tidak tersedianya industri pendukung,
misalnya yang dapat menyediakan mesin-mesin dan bahan-bahan baku.
Akibatnya kebijakan SI justru menimbulkan ketergantungan baru terhadap
impor. Impor bahan baku dan barang modal justru meningkat jika target
pertumbuhan output industri atau ekonomi ditingkatkan
(www.kemendag.go.id/ http://blog.umy.ac.id).
2.1.2.c Pendapatan Nasional dan Perdagangan
Pendapatan nasional adalah jumlah seluruh keluaran produksi atau barang
dan jasa yang dihasilkan di suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional dapat
dilakukan berdasarkan tiga cara, yaitu konsep nilai tambah, pendapatan dan
pengeluaran. Konsep nilai tambah digunakan untuk menghitung pendapatan
dengan menjumlahkan nilai pasar yang diproduksi perusahaan. Pendapatan yang
dilihat dari sisi pendapatan merupakan jumlah berbagai pendapatan faktor yang
dihasilkan pada proses memproduksi keluaran akhir ditambah pajak tak langsung
neto subsidi ditambah penyusutan. Sedangkan dilihat dari sisi pengeluaran,
pendapatan nasional merupakan jumlah dari pengeluaran konsumsi, investasi
pemerintah dan ekspor neto (Lipsey et al., 1995). Dalam perdagangan
internasional, pendapatan nasional mempengaruhi jumlah impor suatu negara
(Deliarnov, 1995). Pendapatan nasional mencerminkan kemampuan masyarakat
dalam membeli barang-barang hasil buatan luar negeri. Semakin tinggi tingkat
pendapatan nasional serta semakin rendah kemampuan dalam menghasilkan
barang-barang tersebut, maka impor semakin tinggi. Hubungan langsung antara
impor dan pendapatan nasional ditentukan oleh nilai kecenderungan mengimpor
atau Marginal Propencity to Import (MPM). MPM merupakan perbandingan atau
rasio antara pertambahan impor dengan pertambahan dalam pendapatan nasional.
Secara matematis ditulis:
m = ΔM/ΔY
Hubungan antara impor dan pendapatan nasional ditulis, sebagai berikut.
M = Mo + mY ................................................................................... (2.3)
Dimana : M = Jumlah impor
m = marginal propencity to import
Mo = Jumlah impor yang nilainya tidak ditentukan oleh Y
Y = pendapatan nasional
(Deliarnov, 1995)
2.1.2d Prosedur Impor di Indonesia
Langkah-langkah yang harus dilalui oleh seorang importir mulai dari:
1) Menentukan barang-barang yang akan diimpor,
2) Mencari indentor,
3) Mencari informasi siapa saja yang menjadi pemasok,
4) Membuka l/c sampai menerima barang impor di pelabuhan impor dan
5) Menyerahkan barang-barang tersebut kepada pemesannya atau untuk
dijualnya sendiri.
Gambar 2.2
Proses Importasi
Sumber: http://pdf.nscpolteksby.ac.id/9-Proses%20dan%20Prosedur%20Impor-
20140522.pdf
Dalam upaya kelancaran impor barang-barang dan untuk kepentingan
negara, pemerintah mengatur barang yang diimpor dan prosedur impor. Prosedur
impor barang-barang bukan sesuatu yang tidak berubah, tetapi prosedur diatur
supaya jangan sampai terjadi:
1) Merugikan investor dalam negeri untuk produk-produk sejenis
2) Tidak merugikan konsumen di dalam negeri dan
3) Tidak merugikan negara.
Gambar Prosedur Impor sebagai berikut.
Eksportir
Rp 10.000/kg
Pengiriman
Asuransi
Bank
Bea Cukai
Penerusan
Importir
Rp 20.000/kg
Gambar 2.3
Prosedur Impor
Sumber: Sumber: http://pdf.nscpolteksby.ac.id/9-
Proses%20dan%20Prosedur%20Impor-20140522.pdf
Prosedur impor yang sering dipakai adalah dengan pembukaan Letter of Credit
(L/C). Prosedur impor seperti Gambar 2.3 tersebut dapat dijelaskan, sebagai
berikut.
1. Terlebih dahulu importir mengirimkan order atau mengadakan surat menyurat
kepada eksportir L.N., bila sepakat, maka dibuat kontrak pembelian (sales
contract) A-B.
2. Setelah kontrak pembelian terjadi, importir membuka Leter of Credit (L/C)
untuk dan atas nama eksportir di luar negeri melalui bank di dalam negeri
(opening bank) A-F.
EXPORTIR SELLER
(B)
IMPORTIR BUYER
(A)
BANK LUAR NEGERI (G)
BANK DALAM NEGERI (F) PELAYARAN
(C)
PABEAN (D)
ASURANSI (E)
LUAR NEGERI
DALAM NEGERI
3
4
4
5
10
6 8
7 9
3. Bank dalam negeri mitra importir menyelenggarakan pembukaan L/C untuk
eksportir melalui bank korespondennya di negara eksportir F-G.
4. Shipping documents diterima oleh bank di dalam negeri dari korespondennya
di luar negeri G-F.
5. Bank di dalam negeri mengakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik oleh
eksportir dan dikirimkan dengan shipping documents dan kemudian
menyelesaikan perhitungan tagihannya dengan importir. Setelah itu, barulah
bank menyerahkan shipping documents kepada importir F-A.
6. Importir menyerahkan Bill of Lading (B/L) kepada maskapai pelayaran (atau
agennya) yang mengangkut barang-barang itu untuk ditukarkan dengan
delivery order (DO) A-C.
7. Importir menyelesaikan berbagai bea masuk dengan pabean A-D.
8. Importir mengambil komoditi dari maskapai pelayaran setelah formulir impor
dan PIB dipenuhi A-C.
9. Importir mengajukan claims (ganti rugi) kepada eksportir atau kepada
maskapai asuransi, dalam hal terdapat kerusakan atau kekurangan A-E & A-B.
10. Melunasi wesel pada hari jatuh temponya, jika hal itu belum diselesaikan
sebelumnya dengan bank A-F.
2.1.3 Ekspor
Ekspor diartikan sebagai pengiriman barang dan jasa dari pelabuhan suatu
negara. Penjual barang dan jasa tersebut disebut sebagai eksportir dan berbasis di
negara pengekspor sedangkan pembeli berbasis di luar negeri disebut sebagai
importir. Dalam perdagangan internasional, ekspor mengacu pada menjual barang
dan jasa yang diproduksi di dalam negeri ke pasar lain (Joshi, 2005; Jhingan,
2010; Dodge, 2013).
Ekspor merupakan komponen utama dari perdagangan internasional dan
risiko makroekonomi serta manfaat mengekspor secara teratur dibahas dan
diperdebatkan oleh para ekonom dan lain-lain. Dua pandangan tentang perspektif
yang berbeda perdagangan internasional saat ini, yaitu: 1) manfaat dari
perdagangan internasional dan 2) Kekhawatiran industri dalam negeri (atau buruh
atau budaya) bisa dirugikan oleh kompetisi asing.
2.1.3a Pengertian Ekspor
Pengertian ekspor adalah berbagai macam barang dan jasa yang diproduksi
di dalam negeri untuk dijual di luar negeri. Ditinjau dari sudut pengeluaran,
ekspor merupakan salah satu faktor terpenting dari Produk Domestik Bruto
(PDB)/Gross Nasional Product (GNP), sehingga dengan berubahnya nilai ekspor
maka pendapatan masyarakat secara langsung juga mengalami perubahan. Di lain
pihak, tingginya ekspor suatu negara akan menyebabkan perekonomian tersebut
akan sangat sensitif terhadap keguncangan-keguncangan atau fluktuasi yang
terjadi di pasaran internasional ataupun di perekonomian dunia.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ekspor, impor dan ekspor neto
suatu negara, meliputi: 1) Selera konsumen terhadap barang-barang produksi
dalam negeri dan luar negeri, 2) Harga barang-barang di dalam dan di luar negeri,
3) Kurs yang menentukan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untuk
membeli mata uang asing, 4) Pendapatan konsumen di dalam negeri dan luar
negeri, 5) Ongkos angkutan barang antar negara, 6) Inflasi dan 7) Kebijakan
pemerintah mengenai perdagangan internasional.
2.1.3.b Fungsi Ekspor
Keuntungan dari ekspor perdagangan luar negeri adalah negara
memperoleh devisa dari keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada
gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan
tingkat output yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dihindari dan
pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2010a, b).
2.1.3.c Tarif
Tarif adalah pajak yang dikenakan untuk barang impor dari suatu negara
dan atau ekspor ke negara lain. Tarif ini menjadi penghambat dalam ekonomi
perdagangan internasional. Cara yang digunakan ketika output domestik suatu
negara baik yang jatuh dan impor dari pesaing asing meningkat, terutama jika
terdapat alasan strategis untuk mempertahankan kemampuan produksi dalam
negeri.Tarif tersebut biasanya menyebabkan hambatan dari ketentuan yang berasal
dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan jika penerapan tarif itu gagal,
akhirnya akan menuju ke arah dimana negara menempatkan tarif terhadap negara
lain meskipun untuk mengesankan tekanan untuk menghapus tarif.
2.1.4 Perbankan Nasional
2.1.4.a Definisi dan Tujuan Bank
Kata bank secara etimologi berasal dari bahasa Italia banque atau banca
yang berarti bangku, dimana para Bankir Florence pada masa Renaissance
melakukan transaksi dengan duduk di belakang meja untuk tempat penukaran
uang. Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia adalah lembaga negara
Indonesia yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas
dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia (UU RI No. 3
Tahun 2004).
Menurut UU RI No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, dijelaskan bahwa tujuan Bank
Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuan yang dimaksud, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan dan harus mempertimbangkan
kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
2.1.4.b Fungsi dan Peranan Bank Indonesia
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu
tujuan tunggal dalam menjalankan fungsi dan peranan, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua
aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan
terhadap mata uang negara lain yang dikenal dengan menjaga gejolak moneter.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua
tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus
dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,
tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan
mudah.
Tiga Pilar Utama Fungsi dan Peranan Bank Indonesia
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar
yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas tersebut perlu
diintegrasi agar mencapai tujuan dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat
dicapai secara efektif dan efisien.
Pilar 1. Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah
kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan
memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka
pendek, menengah ataupun panjang. Implementasi kebijakan moneter dilakukan
dengan menetapkan suku bunga (BI Rate). Perkembangan indikator tersebut
dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi
pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto dan penetapan cadangan wajib
minimum bagi perbankan. Pendekatan pengendalian moneter secara tidak
langsung ini telah dilakukan sejak 1983 dengan mekanisme operasional yang
disesuaikan dengan dinamika perkembangan pasar uang di dalam negeri.
1. Operasi Pasar Terbuka
Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilaksanakan untuk mempengaruhi
likuiditas rupiah di pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat
suku bunga. OPT dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui penjualan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan Intervensi Rupiah.
Penjualan SBI dilakukan melalui lelang sehingga tingkat diskonto yang
terjadi benar-benar mencerminkan kondisi likuiditas pasar uang. Sedangkan
kegiatan intervensi rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyesuaikan
kondisi pasar uang, baik likuiditas ataupun tingkat suku bunga.
2. Penetapan Cadangan Wajib Minimum
Kebijakan ini mewajibkan setiap bank mencadangkan sejumlah aktiva
lancar yang besarnya adalah persentasi tertentu dari kewajiban segeranya. Saat ini,
kebijakan ini tertuang dalam ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 5
persen dari dana pihak ketiga yang diterima bank, yang wajib dipelihara dalam
rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia
memandang perlu untuk mengetatkan kebijakan moneter maka cadangan wajib
tersebut dapat ditingkatkan dan demikian pula sebaliknya.
3. Peran sebagai Lender of The Last Resort
Bank Indonesia juga berfungsi sebagai lender of the last resort. Dalam
melaksanakan fungsi ini, Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya mismatch dalam
pengelolaan dana. Pinjaman tersebut berjangka waktu maksimal 90 hari dan bank
penerima pinjaman wajib menyediakan agunan yang berkualitas tinggi serta
mudah dicairkan dengan nilai sekurang-kurangnya sama dengan jumlah pinjaman.
4. Kebijakan Nilai Tukar
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam
rangka tercapainya stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi.
Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi
peningkatan kegiatan dunia usaha. Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia
telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun
1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun
1978 dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate
system) sejak 14 Agustus 1997. Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini,
nilai tukar rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku
adalah benar-benar pencerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan
permintaan. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-
waktu tertentu melakukan sterilisasi di pasar valuta asing, khususnya pada saat
terjadi gejolak kurs yang berlebihan.
5. Pengelolaan Cadangan Devisa
Cadangan devisa merupakan posisi bersih aktiva luar negeri pemerintah
dan bank-bank devisa, yang harus dipelihara untuk keperluan transaksi
internasional. Dalam mengelola cadangan devisa ini, Bank Indonesia lebih
mengutamakan tercapainya tujuan likuiditas dan keamanan daripada keuntungan
yang tinggi. Walaupun demikian, Bank Indonesia tetap mempertimbangkan
perkembangan yang terjadi di pasar internasional, sehingga tidak tertutup
kemungkinan terjadinya pergeseran dalam portfolio komposisi jenis penempatan
cadangan devisa. Dalam mengelola cadangan devisa yang optimal, Bank
Indonesia menerapkan sistem diversifikasi, baik berdasarkan jenis valuta asing
ataupun berdasarkan jenis investasi surat berharga. Dengan cara tersebut
diharapkan penurunan nilai dalam salah satu mata uang dapat dikompensasi
oleh jenis mata uang lainnya atau penempatan lain yang mempunyai nilai yang
lebih baik.
6. Kredit Program
Dengan status Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang independen,
pemberian kredit program yang selama ini dilakukan selanjutnya berada di luar
lingkup tugas Bank Indonesia. Tugas pemberian kredit program akan dilakukan
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Pemerintah. Pengalihan
tugas ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat lebih memfokuskan perhatian
pada pencapaian sasaran-sasaran moneter serta agar dapat tercipta pembagian
tugas yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia.
Pilar 2. Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Di bidang sistem pembayaran Bank Indonesia
merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari
peredaran. Di sisi lain, dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran Bank Indonesia berwenang melaksanakan, memberi persetujuan dan
perijinan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran seperti sistem transfer
dana baik yang bersifat real time, sistem kliring ataupun sistem pembayaran
lainnya misalnya sistem pembayaran berbasis kartu.
Untuk mewujudkan suatu sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman
dan handal, Bank Indonesia secara terus menerus melakukan pengembangan
sesuai dengan acuan yang ditetapkan yaitu Blue Print Sistem Pembayaran
Nasional. Pengembangan tersebut direalisasikan dalam bentuk kebijakan dan
ketentuan yang diarahkan pada pengurangan risiko pembayaran antar bank dan
peningkatan efisiensi pelayanan jasa sistem pembayaran. Pada sistem pembayaran
non tunai, saat ini penyediaan layanan jasa pembayaran sebagian besar dilakukan
oleh perbankan baik melalui rekening bank di Bank Indonesia, hubungan bilateral
antar bank ataupun melalui jaringan internal bank yang dimilikinya. Layanan
pembayaran dana antar nasabah tersebut biasanya dilakukan melalui transfer
elektronik, sistem kliring ataupun melalui sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS). Dari sisi piranti pembayaran, secara historis sistem
pembayaran non tunai di Indonesia didominasi oleh piranti pembayaran berbasis
warkat, namun dalam perkembangannya piranti elektronik mulai banyak berperan
terutama sejak dioperasikannya sistem BI-RTGS pada bulan November untuk
penyelesaian transaksi bernilai besar atau urgent.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengawasan sistem pembayaran,
Bank Indonesia memiliki tanggung jawab agar masyarakat luas dapat memperoleh
jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat dan aman. Fungsi pengawasan
sistem pembayaran ini selain berwenang untuk memberikan ijin operasional
terhadap pihak yang menyelenggarakan kegiatan di bidang sistem pembayaran
juga berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem
pembayaran baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia ataupun pihak lain di luar
Bank Indonesia.
Pilar 3. Mengatur dan Mengawasi Bank
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia
menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut ijin atas kelembagaan atau
kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank dan
mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang
menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip
kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perijinan, selain memberikan dan
mencabut ijin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan ijin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan
atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan ijin kepada bank
untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung
ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk
pemeriksaan secara berkala ataupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan
tidak langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap
laporan yang disampaikan oleh bank.
Upaya Restrukturisasi Perbankan sebagai upaya untuk membangun
kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian
Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh langkah restrukturisasi perbankan
yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna memfungsikan kembali
perbankan sebagai lembaga perantara yang akan mendorong pertumbuhan
ekonomi, di samping sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan
moneter. Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan
kepercayaan masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit,
penyempurnaan ketentuan perbankan dan peningkatan fungsi pengawasan bank
(www.bi.go.id).
Sebagai institusi moneter tertinggi di Indonesia adalah BI telah memiliki
model untuk mendapatkan dampak yang paling baik bagi kestabilan
perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, sebagai berikut.
Gambar 2.4
Model Stabilitas Perekonomian BI Sumber: Bank Indonesia, 2014
Suku bunga
deposito dan
Kredit yang
disalurkan
Harga asset
(saham, obligasi)
Nilai tukar
Ekspektasi inflasi
Konsumsi
investasi
Ekspor
PRODUK
DOMESTIK
BRUTO
INFLASI
BI RATE
FEEDBACK
2.1.4.c Jenis Bank Umum Nasional
Bank Umum Nasional di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu: Bank Umum
Non Devisa dan Bank Umum Devisa.
Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No.
9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank umum bersifat
umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank umum
sering disebut bank komersial (commercial bank).
Bank devisa yaitu bank umum, baik bersifat konvensional ataupun
berdasarkan prinsip syariah yang dapat memberikan pelayanan lalu lintas
pembayaran dalam dan luar negeri (UU RI No. 10 tahun 1998). Bank devisa
adalah bank yang telah mendapat ijin dari Bank Indonesia untuk melaksanakan
transaksi dalam valuta asing. Termasuk pembayaran transaksi ekspor dan impor,
pengiriman uang ke luar negeri dan jual beli valuta asing. Perbedaan utama antara
bank devisa dengan bank umum adalah pada bank devisa mempunyai bagian-
bagian yang khusus melaksanakan dan mengelola transaksi devisa, yaitu bagian
Ekspor Impor (EXIM), bagian transfer luar negeri dan bagian Treasury.
Masing-masing bagian mempunyai tugas sendiri-sendiri, misalnya bagian
EXIM adalah bagian yang melaksanakan transaksi impor yang tugasnya antara
lain membuka L/C dan membayar dalam valuta asing ke penjual kemudian
transaksi ekspor yang tugasnya meneruskan L/C dan menegosiasi dokumen L/C.
Bagian Treasury adalah bagian yang mengelola dan mencari dana khususnya
dalam valuta asing, jual beli valuta asing dan tugas ini dilakukan oleh dealer
(yang bertugas dalam dealing room) dan treasury operation.
Untuk menjalankan tugas sebagai perantara dan sekaligus pelaksana dalam
transaksi perdagangan internasional, suatu bank devisa tentu saja tidak akan dapat
bekerja sendiri kalau menginginkan tugasnya sebagai perantara berhasil baik dan
sempurna. Untuk itu bank devisa memerlukan hubungan dengan bank
koresponden di luar negeri ataupun di dalam negeri (correspondent relationship)
terutama dalam bank-bank utama (first class bank) yakni bank-bank yang dalam
dunia perbankan dan perdagangan internasional yang mempunyai reputasi yang
baik dan profesional dan mempunyai cabang di banyak negara.
Di samping adanya pemakaian jasa-jasa dari bank di luar negeri ataupun di
dalam negeri, bank devisa akan mendapatkan keuntungan dari hasil hubungan
dengan bank koresponden tersebut atas dasar timbal balik atau asas resiprositas.
Misalnya sebagai bank penerus L/C atas permintaan bank koresponden
memperoleh fee (advising commission) atau komisi penerusan L/C. Sedangkan
bila bertindak sebagai bank pembuka L/C dengan meminta bantuan bank
koresponden tersebut untuk meneruskan L/C berarti memberikan jaminan
pendapatan. Dengan begitu risiko yang dialami oleh bank devisa adalah lebih
komplek dibandingkan dengan apa yang dialami oleh bank non devisa, apalagi
jika ini ditinjau dari segi penggunaan dan penyaluran kredit dalam mata uang
asing. Krisis moneter yang dialami oleh Republik Indonesia pada tahun 1997
hingga 1998 telah meninggalkan bekas kelam bagi bisnis perbankan Indonesia.
Krisis moneter pada masa itu bukan hanya dialami Indonesia tapi juga Asia.
Terutama para perbankan yang telah memiliki portofolio kewajiban dalam bentuk
dollar dan berbagai mata uang asing lainnya mengalami kemacetan atau terjadinya
kenaikan dari segi insolvency (ketidakmampuan memenuhi kewajibannya).
Untuk mendirikan bank devisa atau mengubah bank non devisa menjadi
bank devisa maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya adalah:
a. Kondisi laporan keuangan yang menggambarkan kesehatan bank terebut
selalu dalam keadaan stabil untuk 2 atau 3 tahun yang lalu.
b. Jumlah modal yang dimiliki atau yang disetor minimal Rp 150 miliar sampai
dengan 200 miliar.
c. Diaudit oleh lembaga auditor independent yang memiliki reputasi tinggi dan
dinyatakan posisi unqualified opinion/ wajar tanpa masalah (Riyadi dan
Hadiyati, 2012; Fahmi, 2014).
Jenis bank berdasarkan kepemilikan dibedakan menjadi tiga (3) yaitu: Bank
milik swasta, Bank milik Pemerintah Daerah dan Bank milik asing. Bank umum
milik swasta yang berpredikat bank devisa sejumlah 35, 4 Bank Devisa BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) yaitu Bank Mandiri Tbk (terbuka), Bank BNI 46
Tbk, Bank Tabungan Negara Tbk dan Bank Rakyat Indonesia Tbk (Bank
Indonesia, 2014, 2014a).
2.1.4.d Sistem Perbankan
Sistem perbankan Indonesia adalah sebuah tata cara, aturan-aturan dan
pola bagaimana sektor lembaga perbankan (bank-bank yang ada) menjalankan
usahanya sesuai dengan ketentuan atau sistem yang dibuat oleh pemerintah.
Sistem perbankan di Indonesia terbangun dengan konsep yang dilandaskan pada
sistem perekonomian yang ada. Indonesia menetapkan sistem perekonomiannya
sebagai sistem ekonomi yang demokrasi sesuai dengan landasan negara yaitu
Pancasila. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Azas Perbankan Indonesia, pada
pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992, yang berbunyi: Perbankan Indonesia dalam
menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan prinsip kehati-
hatian.
2.1.4.e Pengawasan Perbankan Nasional
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Indonesia didirikan setahun setelah
Undang-Undang No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diterbitkan
pada 22 November 2011. Setelah OJK dibentuk, secara bertahap otoritas baru ini
mendapatkan pelimpahan tugas dan kewenangan pengaturan dan pengawasan
sektor jasa keuangan. Itu dimulai dari sektor pasar modal dan Lembaga Keuangan
Non Bank (LKNB) pada 31 Desember 2012. Sebelumnya, pasar modal dan
LKNB diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK). Bapepam-LK dilikuidasi seiring dengan lahirnya OJK, tugasnya
dilimpahkan kepada OJK. Setahun kemudian, OJK beroperasi dengan
kewenangan penuh sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi seluruh sektor
jasa keuangan. Per 31 Desember 2013, Bank Indonesia melimpahkan tugas dan
kewenangan mengatur dan mengawasi sektor perbankan kepada OJK (UU No. 21,
2011).
2.1.4.f Teori Rahasia Bank
Banyak teori rahasia bank yang bisa dicari namun secara umum ada 2
(dua) teori rahasia bank yang begitu familiar dikenal publik, yaitu:
1. Teori rahasia bank yang bersifat mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau
keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui bank karena
kegiatan usahanya dalam keadaan apapun juga, dalam keadaan biasa atau
dalam keadaan luar biasa.
2. Teori rahasia bank yang bersifat relatif
Menurut teori ini, bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi
keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak,
misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan hukum.
Pada kedua teori tersebut pada prinsipnya diterapkan berdasarkan pada
situasi dan kondisi yang terjadi. Misalnya dibutuhkan untuk proses penyelidikan
atau tugas perintah pengadilan maka memungkinkan teori kedua ini langsung
diterapkan. Namun jika tidak diperlukan maka cukup hanya yang pertama saja.
Undang-undang yang membahas rahasia bank juga dapat dilihat pada Undang-
undang Nomor 33 PrP 1960 tentang Rahasia Bank, Undang-undang Nomor 14
Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Tujuan pemberian rahasia bank sebenarnya bertujuan untuk memberi
kenyamanan kepada para nasabah yang menempatkan sejumlah dananya di bank
tersebut. Kerahasiaan tersebut bukan hanya pada penabung namun juga berlaku
pada yang mengambil kredit di bank tersebut (UU No. 14, 1967; UU No. 7,
1992).
2.1.4.g Indikator Kinerja Bank
Indikator kinerja bank, antara lain 1) CAMEL (Capital, Asset,
Management, Earning, Liquidity); dan 2) EAGLES (Earning Ability, Asset
Quality, Growth, Liquidity, Equity and Strategic Management).
2.1.4.h Risiko-risiko Perbankan
Risiko perbankan dalam melakukan kegiatannya menghadapi berbagai
kemungkinan risiko, dimana kegiatan yang dilakukan tersebut dapat berdampak
negatif atau tidak seperti yang diharapkan. Basel Accord (aset of
recommendations for regulations in the banking industry) mengklasifikasikan
risiko perbankan, sebagai berikut 1) Risiko pasar, 2) Risiko kredit, 3) Risiko
operasional, 4) Risiko lainnya, risiko usaha, risiko strategis dan risiko reputasi.
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/2003 mengidentifikasi terdapat delapan jenis
risiko yang secara inherent melekat pada industri perbankan, yaitu risiko kredit,
risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional, risiko hukum (legal), risiko
reputasi, risiko strategik dan risiko kepatuhan/compliance (Ghozali, 2007).
2.1.4.i Risiko Kredit
Risiko Kredit (credit risk) yaitu risiko yang timbul akibat debitur gagal
memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran pokok ataupun bunga
sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian kredit, di samping risiko suku
bunga, risiko kredit merupakan salah satu risiko utama dalam pelaksanaan
pemberian kredit bank dan hal ini juga akan berpengaruh terhadap kolektibilitas
kredit. Risiko kredit dalam perbankan didefinisikan sebagai risiko kerugian yang
dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan debitur membayar kewajibannya atau
tidak dapat melunasi hutangnya (Ghozali, 2007). Risiko kredit dapat timbul
karena beberapa hal sebagai berikut.
1) Tidak dipenuhinya kewajiban dimana bank terlibat di dalamnya bisa melalui
pihak lain, misal: kegagalan memenuhi kewajiban pada kontrak derivatif.
2) Adanya kemungkinan pinjaman yang diberikan oleh bank atau obligasi (surat
hutang) yang dibeli oleh bank tidak terbayar.
3) Penyelesaian (settlement) dengan nilai tukar, suku bunga dan produk derivatif.
Kerugian dari risiko kredit dapat timbul sebelum terjadinya default,
sehingga secara umum risiko kredit harus didefinisikan sebagai potensi kerugian
nilai market to market yang mungkin timbul karena pemberian kredit oleh bank.
Settlemen risk dapat terjadi pada transaksi dengan nilai mata uang yang berbeda
karena perbedaan waktu di dunia. Sumber risiko kredit (Ghozali, 2007), antara
lain sebagai berikut.
1) Lending risk yaitu risiko akibat debitur atau nasabah tidak mampu melunasi
fasilitas yang telah disediakan oleh bank. Baik fasilitas kredit langsung
ataupun tidak langsung (cash loan ataupun non cash loan).
2) Counterparty Risk yaitu risiko yang timbul karena pasangan usaha tidak dapat
melunasi kewajibannya, baik sebelum ataupun pada tanggal kesepakatan.
3) Issuer Risk yaitu yang timbul karena penerbit suatu surat berharga tidak dapat
melunasi sejumlah nilai surat berharga yang dimiliki bank.
Menurut Basel II, bank dalam memperhitungkan probability of default
debitur, harus mempertimbangkan seberapa jauh hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap permodalan bank. Probability of default tersebut adalah ketika debitur
tidak membayar bunga dan melunasi pokok pinjaman. Oleh karena itu di satu sisi
bank harus membuat cadangan dari penyisihan gross margin. Jika pencadangan
tersebut tidak dapat mencukupi, kekurangan pencadangan tersebut harus
diperhitungkan sebagai unsur pengurang modal bank. Pengertian risiko kredit
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/25/PBI/2009, adalah
risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada bank. Rasio keuangan yang digunakan dalam mengukur risiko kredit
adalah Non Performing Loan (NPL) yang merupakan perbandingan total kredit
bermasalah dengan total kredit yang diberikan.
Non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah merupakan salah satu
indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank. Semakin tinggi nilai NPL,
maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba
yang diterima oleh bank. Keberadaan NPL yang cukup banyak menimbulkan
kesulitan sekaligus menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Oleh
sebab itu bank dituntut untuk menjaga kreditnya agar tidak berada dalam kategori
kredit bermasalah (NPL). Besarnya kredit yang disalurkan ke masyarakat
(nasabah) tercermin dari besarnya Loan to Deposit Ratio (LDR). Jika LDR
melampaui batas yang ditetapkan regulasi sebesar 100 persen, maka ini berarti
risiko kredit meningkat. Risiko kredit diukur dari rasio NPL, dimana standar
maksimum adalah 5 persen menurut standar dari Bank Indonesia (BI, 2015).
Pengukuran Risiko Kredit
Komite Basel (The Basel Committee) pada tahun 1998 telah
mempublikasikan Kesepakatan Basel Pertama (The First Basel Committee
Accord-Basel I) yang hanya mencakup risiko kredit. Dalam hal ini, modal yang
harus disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit sesuai dengan
perkembangan dan pertimbangan pemikiran pada saat kesepakatan tersebut
dibuat. Pengukuran kecukupan modal menurut risiko kredit berdasarkan pada
beberapa perhitungan yang terdiri dari bobot risiko aktif, penyetaraan dengan
risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi
syarat, kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat dan struktur modal.
Dengan perkembangan hingga dekade 1990-an dimana risiko pasar merupakan
salah satu faktor penting dalam kehancuran bank-bank, kemudian Basel
merumuskan suatu perhitungan risiko pasar dalam perhitungan modal, yang
dipublikasikan dalam The Market Risk Amandment to the Original Accord pada
Januari 1996.
Adanya kelemahan tersebut, kemudian Basel Committee mengembangkan
metode perhitungan risiko dan menambahkan risiko operasional dalam
perhitungan risiko, yang selanjutnya dikenal dengan Basel II. Secara garis besar
Basel II lebih fokus pada internal model, memiliki tingat sensitivitas risiko yang
lebih tinggi, lebih fleksibel untuk disesuaikan terhadap kebutuhan bank yang
berbeda-beda, serta mencakup risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional.
Untuk risiko kredit, pada Basel II terdapat 2 (dua) pilihan untuk menentukan
model perhitungan penyediaan modal minimum, yaitu sebagai berikut.
1) Model portofolio penuh (full portofolio models), yaitu dengan penerapan
teknik option pricing. Model ini merupakan karya Robert Merton pada
penetapan harga dan pengukuran risiko pada option portofolio.
2) Model pemeringkatan (grading models) dimana kalkulasi risiko dilakukan
berdasarkan individual obligor dan risiko portofolio secara sederhana didapat
dari penjumlahan total risiko individual. Model ini digunakan secara luas oleh
lembaga pemeringkat rating seperti Standard & Poor’s dan Moody’s Investor
Services Rating.
Selain itu untuk kewajiban penyediaan modal minimum yaitu pada Pilar 1 Basel
II, risiko kredit pada bank dihitung dengan cara, sebagai berikut.
1) The standardized approach.
2) The internal rating based (IRB) approach, yang terdiri dari The IRB model
foundation approach dan The advanced IRB model approach.
Untuk the standardized approach bank dapat menggunakan external
credit rating yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat. Sedangkan untuk the
internal rating based approach baik foundation model ataupun advanced model,
bank diminta untuk mengembangkan credit rating system sendiri (internal credit
rating). Dengan adanya credit rating assessment ini, bobot risiko yang akan
dibebankan pada masing-masing eksposur kredit disesuaikan dengan kondisi
rating masing-masing debitur.
2.1.4.j Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas yaitu risiko bank tidak memiliki uang tunai atau aktiva
jangka pendek yang dapat diuangkan segera dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi permintaan deposan atau debitur, risiko ini terjadi sebagai akibat
kegagalan pengelolaan antara sumber dana dan penanaman dana (mismatch) atau
kekurangan likuiditas/dana (shortage) yang mengakibatkan bank tidak mampu
memenuhi kewajiban keuangan pada waktu yang telah ditetapkan. Besar kecilnya
risiko likuiditas ditentukan, antara lain sebagai berikut.
1) Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui
incoming transfer ataupun setoran tunai nasabah.
2) Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang
dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring ataupun
penarikan tunai.
3) Membuat analisa sensitivitas likuiditas bank terhadap skenario penarikan
dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar
yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih
rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan
likuiditas Bank.
4) Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang bank.
Melaksanakan fungsi BIS (Asset & Liability Committee) untuk mengatur
tingkat bunga dalam usahanya dan meningkatkan/menurunkan sumber dana
tertentu (PBI No. 11/25/2009, Bank Indonesia, 2014).
5) Selanjutnya Bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi
likuiditas bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen
keuangan yang likuid.
Karenanya, bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan
mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka
akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga
tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuiditas terlalu besar maka akan
menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat
profitabilitas. Jenis-jenis risiko likuiditas, antara lain sebagai berikut.
1) Risiko likuiditas pasar, dimana risiko yang timbul karena bank tidak mampu
melakukan offsetting tertentu dengan harga karena kondisi likuditas pasar
yang tidak memadai atau terjadi gangguan dipasar. Contohnya Bank XXX
memberikan bagi hasil yang tidak wajar misalkan 80 persen (eq.rate 12
persen) agar nasabah dana mau menyimpan dananya padahal pada saat yang
bersamaan pasar hanya eq. rate 8,5 persen.
2) Risiko likuditas pendanaan, dimana risiko yang timbul karena bank tidak
mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana
lain. Contohnya Bank xxx pada saat membutuhkan likuditas, Bank AAA tidak
mampu menjual obligasi yang dimilikinya walaupun sudah diberikan discount
cukup besar.
Peristiwa risiko likuiditas yang sering kali terjadi, meliputi tingkat dimana
dibutuhkan penambahan dana dengan biaya tinggi dan atau menjual aset dengan
harga discount, ketidaksesuaian jatuh tempo (maturing mismatch) antara eraning
assets dan pendanaan, pinjaman jangka pendek (borrow short) dan pembiayaan
jangka panjang (lend long) dengan spread yang lebar dan kontrak mudharabah
mengijinkan nasabah untuk menarik dananya setiap saat tanpa pemberitahuan.
Selain peristiwa tersebut, juga terdapat faktor atau penyebab meningkatnya risiko
likuiditas, yaitu penurunan kepercayaan terhadap sistem perbankan, penurunan
kepercayaan terhadap suatu bank, ketergantungan kepada deposan inti,
berlebihnya dana jangka pendek atau long term asset, keterbatasan secara pada
asset securization karena pembatasan untuk menjual utang (sale of debt).
Risiko perbankan secara umum terbagi dalam tiga kategori: risiko
keuangan, operasional dan lingkungan. Risiko keuangan terdiri atas dua jenis
risiko. Risiko perbankan tradisional termasuk neraca dan struktur laporan
pendapatan, kredit dan solvabilitas, dapat mengakibatkan kerugian bagi bank jika
tidak dikelola dengan baik. Risiko kas, berdasarkan arbitrase keuangan, dapat
menghasilkan keuntungan jika arbitrase sudah benar atau kerugian jika itu salah.
Kategori utama risiko kas adalah risiko likuiditas, risiko tingkat bunga, risiko
mata uang dan risiko pasar.
Menurut PBI No.11/25/2009 (Bank Indonesia, 2011), pengertian risiko
likuiditas adalah risiko bank akibat ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban
bank yang telah jatuh tempo dari pendanaan arus kas dan atau aset yang likuid
tanpa menggangu aktivas bank sehari-hari. Dari pengertian tersebut berarti bank
harus mampu menyediakan dana cadangan bilamana ada penarikan dana nasabah
yang bersifat mendadak dan aktiva yang diivestasikan bank juga cukup likuid
bilamana harus mencairkan untuk menutupi kebutuhan dana.
Menyikapi perubahan sistem keuangan secara struktural serta belajar dari
krisis keuangan yang melatarbelakangi anjloknya pasar keuangan, Basel
Committee on Banking Supervision (BCBS) dari Bank for International
Settlements (BIS) mengkaji kembali rekomendasi dalam dokumen mengenai
Sound Liquidity Risk Management Practices yang dikeluarkan pada tahun 2000
karena dinilai kurang memadai. Selanjutnya, pada September 2008 BCBS telah
mengeluarkan revisi dokumen tersebut dengan memperluas beberapa area penting,
yaitu sebagai berikut.
1) Penetapan level toleransi terhadap risiko likuiditas (liquidity risk tolerance).
2) Pemeliharaan tingkat likuiditas yang memadai, termasuk pencadangan aset
likuid.
3) Perlunya alokasi biaya, manfaat, risiko likuiditas pada aktivitas usaha yang
signifikan.
4) Identifikasi dan pengukuran berbagai spektrum risiko likuiditas, termasuk
risiko likuiditas yang bersumber dari transaksi off balance sheet (contingent
liquidity risks).
5) Disain dan penggunaan skenario stress test yang bersifat worst case.
6) Perlunya rencana pendanaan darurat (contingency funding plan) yang
memadai.
7) Pengelolaan likuiditas intra hari (intraday liquidity risk) dan agunan.
8) Pengungkapan publik untuk mendorong disiplin pasar/market discipline
(www.bi.go.id, http://www.bis.org/bcbs/history.htm).
Risiko likuiditas diukur dengan LDR yang idealnya adalah 75-80 persen,
maksimum 110 persen menurut standar dari Bank Indonesia (BI, 2015).
2.1.4.k Risiko Pasar
Risiko pasar adalah kondisi yang dialami oleh suatu perusahaan yang
disebabkan oleh perubahan kondisi dan situasi pasar di luar dari kendali
perusahaan. Risiko pasar sering disebut juga sebagai risiko yang menyeluruh,
karena sifat umumnya adalah bersifat menyeluruh dan dialami oleh seluruh
perusahaan. Contohnya krisis ekonomi dunia tahun 1930-an, krisis ekonomi di
Indonesia 1997 dan 1998. Risiko pasar secara umum ada 2 (dua) bentuk, yaitu
sebagai berikut.
1) Risiko Pasar (General Market Risk)
General market risk (risiko pasar secara umum) ini dialami oleh seluruh
perusahaan yang disebabkan oleh suatu kebijakan yang dilakukan oleh lembaga
terkait yang mana kebijakan tersebut mampu memberi pengaruh bagi seluruh
sektor bisnis. Contohnya, pada saat bank sentral suatu negara melakukan
kebijakan tight money policy (kebijakan uang ketat) dengan berbagai
instrumennya seperti menaikkan suku bunga BI rate.
Ada beberapa sebab yang menimbulkan terjadinya general market risk
(risiko pasar secara umum), yaitu sebagai berikut.
a) Risiko pertukaran mata uang asing (Foreign Exchange Risk)
Secara umum dalam ilmu keuangan dikenal dua bentuk pasar yaitu pasar
modal (capital market) dan pasar uang (money market).
b) Risiko suku bunga (Interest Rate Risk)
Risiko suku bunga adalah risiko yang dialami akibat dari perubahan suku
bunga yang terjadi di pasaran yang mampu memberi pengaruh bagi pendapatan
perusahaan.
c) Risiko posisi komuditas (Commodity Position Risk)
Commodity position risk (risiko perubahan nilai komoditi) adalah suatu
situasi dan kondisi dimana terjadinya kerugian akibat perubahan harga barang
komoditi di pasar yang disebabkan faktor-faktor tertentu, dimana kondisi ini akan
semakin parah pada saat barang komoditi tersebut telah terikat kontrak dalam
suatu kontrak perjanjian serta informasi tersebut telah sampai ke pasar.
Perbankan adalah lembaga mediasi yang bertugas menjembatani pihak-pihak yang
membutuhkan bantuan dengan tujuan mngefektifikan dan mengefisienkan
berbagai urusan. Dalam kontek ini perbankan bias saja terserat dalam ruang risiko
pada saat pihak-pihak tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya secara efektif.
d) Risiko Posisi Ekuitas (Equity Position Risk)
Equity position risk (risiko perubahan kekayaan) adalah suatu kondisi
dimana kekayaan perusahaan (stock and share) mengalami perubahan dari
biasanya sehingga perubahan tersebut memberi dampak pada keuntungan dan
kerugian perusahaan.
e) Risiko Politk(Politic Risk)
Stabilitas politik adalah sesuatu sangat penting bagi suatu negara.
Stabilitas politik menjanjikan terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.
2) Risiko Pasar Khusus (Spesific Market Risk)
Specific market risk (risiko pasar secara spesifik) adalah suatu bentuk
risiko yang hanya dialami secara khusus pada sektor atau sebagian bisnis saja
tanpa bersifat menyeluruh. Contohnya, pengumuman yang dikeluarkan oleh suatu
lembaga penilai dimana lembaga penilai tersebut memiliki reputasi yang baik dan
diakui oleh publik. Bahwa dengan mengumumkan PT (Perseroan Terbatas) ABC
memiliki kinerja yang rendah dan memiliki utang yang besar serta laporan yang
dipublikasikan selama ini kepada publik sesuai dengan yang sebenarnya.
Sehingga atas berita tersebut saham dan obligasi perusahaan tersebut langsung
jatuh. Dan jatuhnya saham serta obligasi perusahaan tersebut tidak dikuti oleh
perusahaan lain. Salah satu proksi dari risiko pasar adalah suku bunga, yang
diukur dari selisih antara suku bunga pendanaan dengan suku bunga pinjaman
yang diberikan atau dalam bentuk absolut adalah selisih antara total biaya bunga
pendanaan dengan total biaya bunga pinjaman dimana dalam istilah perbankan
disebut Net Interest Margin (NIM). Semakin tinggi NIM maka pendapatan bunga
atas aktiva produktif meningkat, yang berarti kinerja keuangan bank semakin
meningkat. Risiko pasar diukur dengan rasio NIM. Yang idealnya adalah lebih
besar dari 6 persen menurut standar Bank Indonesia (BI, 2015).
2.1.5 Teori Nilai Tukar (Kurs)
Secara garis besar ada dua macam sistem kurs, yaitu sistem kurs
mengambang (floating exchange rate system) dan sistem kurs tetap (fixed
exchange rate system). Di antara kedua macam sistem tersebut ada beberapa
variasinya. Sistem kurs mengambang sering juga disebut dengan freely fluctuating
exchange rate system atau sistem kurs bebas dan flexible exchange rate system
namun yang paling populer yaitu istilah floating exchange rate system.
Di dalam sistem kurs mengambang terkandung dua macam variasi, antara
lain 1) dirty float yaitu apabila pemerintah secara aktif melakukan usaha
stabilisasi kurs valuta asing dan 2) clean float yaitu apabila pemerintah tidak
melakukan usaha stabilisasi kurs. Suatu sistem dikatakan menerapkan sistem kurs
bebas manakala memenuhi persyaratan, sebagai berikut.
1) Mata uang yang beredar tidak konvertibel tehadap emas.
2) Kurs valuta asing ditentukan sepenuhnya oleh pasar. Apabila pemerintah
melakukan intervensi maka yang dilakukan adalah bagaimana kebijakan
pemerintah dapat mempengaruhi sisi permintaan dan penawaran valuta asing.
3) Tidak ada pembatasan penggunaan valuta asing.
Fluktuasi nilai tukar mata uang merupakan interaksi dari berbagai faktor
baik ekonomi ataupun non ekonomi. Keadaan ini secara jelas dapat diilustrasikan
dalam suatu bagan pada Gambar 2.5. Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa
fluktuasi kurs dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tingkat bunga, persepsi dan
ekspetasi pasar, kinerja perbankan, jangka waktu perubahan, jumlah pinjaman luar
negeri, efek eksternal (contagion effect), defisit transaksi berjalan dan juga aspek
non ekonomi seperti stabilitas politik dan sosial.
Gambar 2.5
Pengaruh Flukstuasi Kurs Rupiah terhadap Variabel Makroekonomi
(Samiun, 2012; Yuliadi, 2008)
Tingkat bunga
Non performing
bank
Persepsi dan
ekspektasi pasar
Faktor eksternal
(contagion effect) Faktor fundamental
- Defisit transaksi berjalan
- Pinjaman luar negeri
Pinjaman luar
negeri
Jangka waktu
perubahan nilai tukar
Fluktuasi nilai
tukar
Pada literatur ekonomi, pembahasan mengenai pendekatan teori-teori kurs
(exchange rate theories) dapat dibagi menjadi dua macam pendekatan, yaitu: 1)
pendekatan teori kurs tradisional yang didasarkan pada arus perdagangan dan
paritas daya beli untuk mengetahui pergerakan nilai tukar dalam jangka panjang.
Pendekatan tradisional ini juga dapat dikatakan sebagai pendekatan elastisitas
terhadap pembentukan kurs (trade approach to exchange rate determination) dan
2) pendekatan teori kurs modern dengan menjelaskan perubahan nilai kurs pada
pasar modal dan arus modal internasional serta menganalisis perubahan nilai kurs
dalam jangka pendek. Baik pendekatan teori kurs tradisional ataupun modern
keduanya sama-sama penting dalam upaya untuk menjelaskan kaitan fluktuasi
kurs dalam jangka pendek dengan fluktuasi kurs dalam jangka panjang. Sehingga
dapat diketahui bagaimana rumusan model-model analisis kurs terhadap variabel
ekonomi makro lainnya dalam suatu perekonomian (Yuliadi, 2008).
2.1.5.a Fluktuasi Kurs dengan Model Pendekatan Tradisional (Traditional
Approach)
Penjelasan mengenai fluktuasi kurs dengan model pendekatan tradisional
didasarkan pada kajian terhadap pertukaran barang dan jasa antar negara. Artinya
sejauh mana nilai kurs antara dua mata uang dari dua negara ditentukan
berdasarkan besarnya nilai perdagangan barang dan jasa di antara dua negara
tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa model ini disebut dengan pendekatan
perdagangan (trade approach) atau pendekatan elastisitas terhadap pembentukan
kurs (elasticity approach to exchange rate determination).
Menurut pendekatan ini bahwa kurs keseimbangan adalah kurs yang akan
menyeimbangkan nilai ekspor dan impor suatu negara. Misalnya suatu negara
mengalami defisit neraca perdagangan yaitu nilai ekspor lebih besar daripada nilai
impornya, maka kurs mata uangnya akan meningkat atau dengan kata lain nilai
mata uangnya mengalami penurunan (depresiasi). Artinya bahwa nilai mata uang
suatu negara menjadi semakin rendah dibandingkan mata uang mitra dagangnya.
Dan sebaliknya jika suatu negara mengalami surplus neraca perdagangan dimana
nilai ekspornya lebih besar daripada nilai impornya, maka kurs mata uangnya
akan menurun atau dengan kata lain nilai mata uangnya mengalami peningkatan
(apresiasi).
Dalam sistem kurs bebas nilai kurs yang mengalami depresiasi atau
apresiasi akan mendorong terjadinya arus perubahan ekspor dan impor barang dan
jasa dari suatu negara ke negara lainnya sehingga akan tercapai keseimbangan
nilai kurs dimana nilai ekspor sama dengan nilai impornya. Proses penyesuaian
untuk mencapai keseimbangan nilai kurs ditentukan oleh sejauh mana elastisitas
ekspor dan impor barang dan jasa terhadap perubahan harga (kurs), sehingga
pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan elastisitas (elasticity approach).
Dalam perekonomian yang mengalami full employment dan neraca
perdagangan yang defisit, maka perlu dilakukan kebijakan depresiasi mata uang
yang lebih besar untuk menggeser penggunaan sumber daya domestik ke produk
untuk tujuan ekspor atau barang substitusi impor sehingga mencapai
keseimbangan nilai kurs. Tetapi jika negara tersebut relatif masih jauh dari
keadaan full employment akan kebijakan depresiasi tidak terlalu besar. Atau dapat
ditempuh cara lain untuk mencapai keadaan keseimbangan kurs yaitu dengan
menerapkan kebijakan domestik untuk mengurangi pembelanjaan domestik dan
sumber daya ekonomi dapat diarahkan untuk menghasilkan produk yang
berorientasi ekspor atau untuk menghasilkan barang dan jasa substitusi impor
sehingga akan mencapai keseimbangan baru.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa pendekatan
perdagangan atau pendekatan elastisitas menekankan pada pentingnya peran
perdagangan atau arus pertukaran barang dan jasa dalam pembentukan kurs.
Memang tidak semua fenomena perubahan kurs dapat dijelaskan secara tepat
dengan pendekatan ini namun paling tidak dapat memberikan pondasi terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kurs.
2.1.5.b Fluktuasi Kurs dengan Model Pendekatan Moneter (Monetary Approach)
Teori nilai tukar dengan pendekatan moneter merupakan kombinasi dari
teori kuantitas uang dengan penentuan nilai tukar. Secara matematis dapat
diformulasikan sebagai berikut.
Y = Y)(r, VP
M .................................................................................. (2.4)
Dimana : M = jumlah uang nominal
P = tingkat harga
r = tingkat bunga
Y = pendapatan nasional riil
Persamaan 2.4 mengindikasikan bahwa percepatan peredaran uang merupakan
fungsi dari tingkat bunga dan pendapatan nasional riil yang selanjutnya akan
menentukam tingkat pertumbuhan ekonomi (Yuliadi, 2008).
2.1.5.c Fluktuasi Kurs dengan Model Teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power
Parity/PPP)
Untuk menjelaskan fluktuasi nilai kurs dalam jangka panjang dapat
dijelaskan dengan kerangka teori paritas daya beli. Secara absolut teori paritas
daya beli merumuskan bahwa kurs antara dua mata uang merupakan rasio dari
tingkat harga umum dari dua negara yang bersangkutan. Formulasi persamaan
dari teori paritas daya beli dirumuskan sebagai berikut.
Rab = Pa / Pb ....................................................................................... (2.5)
Dimana : Rab = kurs antara mata uang negara A dan mata uang negara B
Pa = tingkat harga umum yang berlaku di negara A
Pb = tingkat harga umum yang berlaku di negara B
Teori Purchasing Power Parity (PPP) ini dirumuskan berdasarkan suatu
asumsi implisit bahwa dalam kontek perdagangan dan hubungan keuangan
internasional tidak ada biaya transportasi, tarif atau kendala lainnya yang dapat
menghalangi laju perdagangan barang dan uang secara bebas. Juga diasumsikan
bahwa semua jenis komoditas dapat diperdagangkan secara bebas dan tidak terjadi
gangguan struktural misalnya boikot yang terjadi di tiap negara-negara. Karena
asumsi yang dikembangkan dari teori PPP secara absolut jauh dari fakta dan
realita di lapangan dalam kaitannya dengan proses terciptanya kurs, maka
kemudian muncul versi relatif yang lebih realistis dan potensial (Yuliadi, 2008).
2.1.5.d Teori Nilai Tukar Lainnya
Ada teori lain yang dikemukakan oleh Jagdish Baghwati dan Irving Kravis
dari Universitas Pennsylvania dan Robert Lipsey dari City University of New York
yang menjelaskan mengenai lebih rendahnya tingkat harga di negara-negara
miskin. Pandangan lebih menitikberatkan pada perbedaan faktor endowments
yang berupa faktor produksi modal dan tenaga kerja bukan perbedaan tingkat
produktivitas di antara negara-negara. Baghwati-Kravis-Lipsey juga memprediksi
bahwa kenaikan barang dan jasa yang tidak diperdagangkan terjadi jika ada
kenaikan relatif tingkat pendapatan riil per kapita. Di negara yang kaya rasio
modal tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan di negara berkembang sehingga
produktivitas marjinalnya relatif lebih besar sehingga tingkat harga di negara maju
lebih tinggi dibandingkan di negara miskin. Sementara di negara miskin relatif
memiliki jumlah tenaga kerja lebih banyak dibandingkan di negara maju.
Diasumsikan bahwa selisih kelimpahan faktor antara negara kaya dan
miskin cukup besar sehingga mekanisme penyamaan harga faktor-faktor produksi
tidak mudah terjadi. Untuk produksi barang dan jasa yang tidak diperdagangkan
di negara miskin menggunakan tenaga kerja lebih banyak karena merupakan
faktor produksi yang melimpah dan murah.
Untuk menjelaskan bagaimana proses penentuan kurs keseimbangan
terjadi, maka diasumsikan bahwa perekonomian hanya terdiri dari dua negara,
misalnya AS dan Indonesia masing-masing dengan mata uang dollar ($) dan
Rupiah (Rp). Kurs atau nilai tukar mata uang antara dollar dan rupiah pada
dasarnya merupakan konsep yang menjelaskan mengenai berapa jumlah rupiah
yang diperlukan untuk membeli satu dollar AS. Simbol yang dipakai untuk
menjelaskan konsep kurs adalah R dimana rumusnya adalah:
R = Rp/$ ............................................................................................. (2.6)
Dalam kontek perekonomian internasional dimana interaksi ekonomi
terjadi di antara banyak negara dengan mata uang yang berbeda, maka
pengukuran nilai mata uang juga menyangkut berbagai mata uang di dunia.
Konsep pengukuran nilai suatu mata uang terhadap mata uang lainnya disebut
dengan tingkat kurs efektif (effective exchange rate) yang didefinisikan dengan
rata-rata kurs antara mata uang domestik dengan mata uang dari sejumlah negara
lain yang menjadi mitra dagang terpentingnya.
Pertukaran mata uang di dunia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari interaksi perdagangan antar negara. Karena setiap terjadi perdagangan barang
dan jasa antar negara selalu diikuti dengan pertukaran atau transaksi mata uang
asing negara-negara yang terkait dalam perdagangan tersebut. Dalam transaksi
valuta asing ada beberapa pihak yang terkait dalam transaksi tersebut yaitu bank
sentral, bank umum, pedagang perantara, eksportir dan importir. Dalam transaksi
valuta asing akan dijumpai perbedaan kurs pada tiap mata uang. Hal ini
dimungkinkan karena adanya beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1) Perbedaan antara kurs beli dan kurs jual oleh para pedagang valuta asing atau
bank.
2) Perbedaan kurs yang terjadi karena perbedaan dalam prosedur dan cara
pembayarannya.
3) Perbedaan dalam tingkat keamanan dalam penerimaan hak pembayaran pada
suatu bank yang dilibatkan (Yuliadi, 2008).
2.1.6 Inflasi
Laju inflasi merupakan fenomena ekonomi yang lazim terjadi pada suatu
perekonomian. Inflasi akan menjadi suatu persoalan ekonomi yang serius
manakala berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan berada pada level
yang tinggi. Secara teoritis inflasi diartikan dengan meningkatnya harga-harga
barang secara umum dan terus menerus. Jadi kenaikan yang terjadi pada
sekelompok kecil barang belum bisa dikatakan sebagai inflasi.
Pada perekonomian modern, inflasi sangat bersifat inersial artinya bahwa
gejala inflasi memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gejala
ekonomi tersebut sehingga disebut inflasi inersial. Gejala inflasi inersial bersifat
tetap dan jangka panjang sehingga bisa diprediksikan. Namun inflasi inersial akan
mengalami perubahan manakala timbul guncangan (shock) pada sisi permintaan
agregat atau perubahan harga minyak dunia, pergeseran nilai tukar, kegagalan
panen dan sebagainya.
2.1.6.a Jenis-jenis Inflasi
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang menyangkut dimensi ekonomi
dan non ekonomi seperti aspek sosial, politik dan budaya masyarakat. Sehingga
kategorisasi inflasi dapat dilihat dari beberapa dimensi yaitu inflasi berdasarkan
sifatnya, besarnya laju inflasi, sumber asalnya dan berdasarkan faktor penyebab.
1) Inflasi menurut Sifatnya
Sifat perubahan inflasi berbeda-beda tergantung faktor yang
mempengaruhinya. Inflasi dari sifat perubahannya dapat dibagi menjadi tiga
macam (Atkinson, 1982).
a. Inflasi merayap (creeping inflation)
Inflasi yang ditandai dengan laju yang relatif rendah kurang dari 10 persen
per tahun. Pergerakan inflasi berjalan secara lamban dan dalam waktu yang cukup
lama. Melihat sifatnya tersebut, inflasi merayap tidak memberikan pengaruh yang
berarti bagi perekonomian.
b. Inflasi menengah (galloping inflation)
Inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga yang relatif cukup besar
biasanya berkisar antara dua digit atau di atas 10 persen. Sifat inflasi menengah
ini berjalan dalam tempo yang singkat serta berdampak akseleratif dan akumulatif
artinya bahwa inflasi bergerak dengan laju yang semakin besar. Pengaruh yang
ditimbulkan terhadap perekonomian relatif cukup berat dibandingkan jenis inflasi
yang pertama karena akan membebani masyarakat yang berpendapatan tetap
seperti pegawai negeri, buruh dan karyawan kontrak.
c. Inflasi tinggi (hyper inflation)
Inflasi dengan tingkat yang sangat tinggi dan menimbulkan efek merusak
perekonomian karena menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai
uang. Harga barang naik berlipat-lipat dalam jangka pendek. Inflasi tinggi timbul
pada saat terjadi defisit anggaran untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat
darurat dan ditutup melalui kebijakan pencetakan uang.
2) Inflasi menurut Besarnya
Kategorisasi inflasi menurut besarnya bisa dibagi menjadi beberapa
macam (Atkinson, 1982).
a. Inflasi rendah
Inflasi dengan laju kurang dari 10 persen per tahun, sehingga disebut juga
inflasi di bawah dua digit. Sifat inflasi rendah ini sesuai dengan inflasi merayap
(creeping inflation) dan tidak memberikan dampak yang merusak pada
perekonomian. Dalam beberapa hal justru memberikan dorongan bagi pengusaha
untuk lebih bergairah dalam berproduksi karena adanya dorongan kenaikan harga
barang di pasar.
b. Inflasi sedang
Inflasi yang bergerak antara 10 sampai 30 persen per tahun. Pengaruh
yang ditimbulkan cukup dirasakan terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan
tetap seperti pegawai negeri dan karyawan lepas.
c. Inflasi tinggi
Inflasi dengan laju antara 30 sampai 100 persen per tahun. Inflasi tinggi
terjadi pada keadaan politik yang tidak stabil dan menghadapi krisis yang
berkepanjangan. Efek yang ditimbulkan menyebabkan mulai hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga ekonomi masyarakat seperti
perbankan. Aktivitas kredit, asuransi, proses produksi dan distribusi barang
mengalami guncangan karena masyarakat lebih mengambil sikap aman dengan
memegang barang daripada uang. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan
terhadap stabilitas nilai mata uang.
d. Hyper inflation
Inflasi dengan laju di atas 100 persen per tahun dan menimbulkan krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Fenomena hyper inflation biasanya menandai
adanya pergolakan politik dan pergantian pemerintahan atau rezim. Masyarakat
benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap mata uang yang beredar sehingga
perekonomian lumpuh.
3) Inflasi menurut sebabnya
Secara teoritis penyebab timbulnya inflasi karena peningkatan permintaan
masyarakat akan barang-barang dan peningkatan biaya produksi barang. Sehingga
inflasi ditinjau dari sebabnya dibagi menjadi dua macam (Samuelson dan
Nordhaus, 2004).
a. Inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation)
Inflasi yang terjadi karena adanya kenaikan permintaan total (aggregate
demand) sementara produksi telah berada pada kondisi full employment. Pada
kondisi di bawah full employment kenaikan permintaan total di samping
meningkatkan produksi total juga menaikkan harga. Namun manakala kondisi full
employment tercapai dorongan kenaikan permintaan total sepenuhnya akan
mendorong terjadinya kenaikan harga atau inflasi sebagaimana terlihat kurva pada
Gambar 2.6.
Gambar 2.6
Kenaikan Full Employment Tercapai Dorongan Kenaikan Permintaan Total
Sepenuhnya akan Mendorong Terjadinya Kenaikan Harga atau Inflasi
Sumber: Yuliadi, 2008
S
D3
D2 D1
Q1 Q2
2
Q3
Q 0
P
P1
P2
P3
Inflasi karena tarikan permintaan timbul jika peningkatan permintaan
agregat bergerak lebih besar dibandingkan dengan potensi produktif
perekonomian. Sehingga untuk menstabilkan harga harus diimbangi dengan
kebijakan mendorong produksi sektor riil. Fenomena inflasi tarikan permintaan
terjadi pada perekonomian yang mendekati full employment yaitu pengangguran
menurun dan tenaga kerja langka. Manakala pengangguran masih tinggi maka
peningkatan permintaan agregat justru dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
dan menciptakan lapangan kerja.
b. Inflasi dorongan biaya (cost push inflation)
Inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan biaya selama periode
pengangguran tinggi dan penggunaan sumber daya yang kurang aktif. Fenomena
inflasi dorongan biaya diawali dari peningkatan upah yang merupakan komponen
utama dalam aktivitas produksi. Melalui serikat pekerja yang memaksakan
peningkatan upah pekerja sehingga menimbulkan peningkatan biaya produki.
Faktor lain yang berpotensi menimbulkan peningkatan biaya produksi adalah
peningkatan harga bahan bakar minyak, makanan dan pergeseran nilai tukar.
c. Inflasi karena pengaruh impor (Imported inflation)
Inflasi karena pengaruh impor adalah inflasi yang terjadi karena naiknya
harga barang di negara-negara asal barang itu, sehingga terjadi kenaikan harga
umum di dalam negeri. Negara yang perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang
terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun dikatakan tingkat inflasi
rendah, tingkat inflasi berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi tinggi
(Samuelson dan Nordhaus, 2004, www.bi.go.id).
2.1.6.b Perhitungan Inflasi
1) Dengan menggunakan angka Indeks Harga Konsumen
Perhitungan inflasi di Indonesia dengan menggunakan angka Indeks Harga
Konsumen (IHK) yang dihitung di 43 kota mencakup 249-353 komoditas yang
dihitung berdasarkan pola konsumsi hasil survey biaya hidup di beberapa kota.
IHK mencakup 7 kelompok yaitu bahan makanan, makanan jadi, minuman, rokok
dan tembakau, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi dan olahraga,
transportasi dan komunikasi. Dari nilai IHK tersebut kemudian dihitung besarnya
laju inflasi dengan rumus sebagai berikut (Samuelson dan Nordhaus, 2004).
Inflasi = %1001
1
IHKt
IHKtIHKt ................................................. (2.7)
Metode perhitungan nilai IHK dan IHPB menggunakan formula Laspeyres yang
telah dimodifikasi yaitu:
IH = 100xPoQo
Qo1Pn1Pn
Pn
................................................. (2.8)
Dimana : IH = indeks bulanan
Pn = harga pada bulan ke-n
Pn-1 = harga pada bulan ke n-1
Po = harga pada tahun dasar
Qo = kuantitas pada tahun dasar
2) Dengan menggunakan Kurva Phillips
Kurva Phillips (1958) merupakan studi empirik yang dikembangkan oleh
AW Phillips yang mengkuantifikasikan determinan inflasi upah. Dari hasil
studinya, Phillips menemukan adanya korelasi negatif antara pengangguran
dengan perubahan nilai upah. Phillips menemukan bahwa upah cenderung
meningkat pada saat pengangguran rendah dan sebaliknya (Atkinson, 1982).
Dengan kata lain menunjukkan hubungan antara tingkat pengangguran dengan
tingkat inflasi di sebuah negara.
Muncul pertanyaan mengapa pada saat pengangguran rendah upah
cenderung meningkat? Alasannya bahwa para pekerja akan menuntut peningkatan
upah pada saat terdapat banyak alternatif pekerjaan dan perusahaan akan
menentang permintaan upah pada sat tingkat laba menurun. Masalah utama dan
mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah
dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Hubugan terbalik (tradeoff) antara penganguran dan inflasi disebut Kurva
Phillips. Semakin tinggi tingkat pengangguran maka semakin rendah tingkat
inflasi upah. Dalam hal ini pengangguran sebagai output dan menerjemahkan
inflasi sebagai perubahan harga. Kondisi dimana secara simultan pengangguran
tinggi dan diikuti inflasi yang tinggi disebut sebagai stagflasi (Dornbusch, et al.,
2008). Adapun gambar kurva phillips dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Short-Run Phillips Curve (SRPC)
Sumber: Dornbusch, Fisher, Startz. 2008
Argumentasi untuk menjelaskan Kurva Phillips dirumuskan dengan formulasi
sebagai berikut. Laju inflasi = Tingkat kenaikan upah-Tingkat kenaikan
produktivitas.
Kurva Phillips adalah sebuah grafik yang menunjukan hubungan antara
angka inflasi dan angka pengangguran. Pada umumnya teori Kurva Phillips agak
berbeda dengan kurva AS, namun kebanyakan ekonom berpendapat bahwa
pandangan yang didapatkan Berdasarkan analisis AS/AD yang menyangkut
tingkat harga juga berperilaku untuk tingkat inflasi. Pada tingkat inflasi yang
rendah harus menerima tingginya tingkat pengangguran dan pada angka
pengangguran yang rendah harus menerima tingginya tingkat inflasi (Case and
Fair, 2004). Seluruh Negara di dunia mengingingkan tingkat penagangguran yang
rendah dibarengi oleh tingkat inflasi yang rendah, namu kenyataanya jika terjadi
tingkat penganguuran yang rendah maka akan terjadi tingkat inflasi yang tinggi,
Tingkat inflasi yang
diharapkan
Tingkat pengangguran alamiah
Tingkat Pengangguran (persentase angkatan kerja)
3 6 9 12 0
5
10
15
20
a
b
c
SRPC
Tin
gkat
Infl
asi (
per
sen
tase
pe
r ta
hu
n)
sebaliknya jika dihadapkan pada tingkat inflasi yang rendah maka tingkat
pengangguran yang akan meningkat (Soediyono, 2000).
Kurva Phillips menunjukkan hubungan antara inflasi dengan
pengangguran. Dalam jangka pendek, penurunan satu tingkat berarti menaikkan
yang lainnya. Tetapi kurva jangka Phillips jangka pendek cenderung bergeser
terus selama inflasi yang diharapkan dan faktor lainnya berubah. Apabila pembuat
kebijakan bermaksud menjaga pengangguran di bawah NAIRU (Non-Accelerating
Inflation Rate of Unemployment), maka inflasi akan cenderung naik.
Teori inflasi modern berpijak pada konsep NAIRU, yaitu tingkat
pengangguran terendah yang dapat dinikmati tanpa risiko kenaikan inflasi. Hal ini
mewakili tingkat pengangguran dari sumber daya dimana pekerja dan produk
pasar berada dalam keseimbangan inflasi. Berdasarkan teori NAIRU, tidak ada
pertukaran permanen antara pengangguran dan inflasi dan kurva Phillips jangka
panjang adalah vertikal (Samuelson dan Nordhaus, 2004, Rahardja, 2008).
Dalam Hukum Okun (Okun’s Law) mengatakan bahwa bahwa jumlah
pengangguran dalam sebuah negara akan berbanding terbalik dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun dari teori ini cenderung
mengabaikan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di sebuah negara. Begitu juga
keterkaitanya dengan inflasi, Mankiw (2006) menjelaskan bahwa tingkat inflasi
dan pengangguran adalah sesuatu hal yang memiliki hubungan yang negatif. Dan
hal ini menjadikan trade-off pemerintah untuk memperbaiki keadaan
perekonomian dalam skala makro (Phillips, 1958, Mankiw, 2006;
http://strccheesec.blogspot.co.id).
3) Dengan Perkiraan Adaptif (Adaptive Expectation)
Fluktuasi harga mempengaruhi perilaku dan sikap masyarakat dalam
beraktivitas ekonomi. Demikian juga sikap masyarakat dalam memprediksi
perkembangan harga yang diharapkan (expectation) di masa yang akan datang.
Perkembangan ekspetasi masyarakat dimulai sekitar tahun 1970-an yaitu
penyusunan ekspetasi yang bersifat adaptif (adaptive expectation). Menurut teori
ini bahwa harga yang diperkirakan terjadi (adaptive price) didasarkan atas
perkembangan harga yang terjadi sebelumnya. Melalui proses inflasi adaptif,
maka dapat dirumuskan fungsi dari kurva Phillips sebagai berikut.
t = t-1- (t-t*) + ts ................................................................. (2.9)
Dimana t-1 menunjukkan besarnya tingkat ekspektasi inflasi pada waktu –
t (te ) dan menunjukkan koefisien penyesuaian (adjustment coefficient). Pada
kondisi ekspetasi pergeseran kurva Phillips tergantung besarnya inflasi periode
sebelumnya apakah lebih besar atau lebih kecil dibandingkan periode sekarang.
Pada kondisi ekspetasi adaptif inflasi cenderung semakin meningkat
manakala tingkat pengangguran yang ada lebih rendah dibandingkan tingkat
pengangguran alami (natural unemployment). Sebaliknya inflasi cenderung
semakin rendah manakala tingkat pengangguran yang ada lebih tinggi
dibandingkan tingkat pengangguran alami. Sehingga pada kasus ini kurva Phillips
sering juga disebut Kurva Phillips akselerasi (Accelerationist Phillips Curve).
4) Dengan Perkiraan Rasional (Rational Expectations)
Pemikiran perkiraan adaptif mengandung kesalahan yang sistematis karena
diasumsikan masyarakat mengantisipasi perubahan harga di masa yang akan
datang berdasarkan perubahan harga di masa sebelumnya. Pemikiran perkiraan
adaptif yang dikembangkan oleh Milton Friedman mendapatkan banyak kritikan
karena dalam kenyataan bahwa individu bersikap rasional dalam arti akan
menggunakan semua informasi yang tersedia untuk melakukan antisipasi ke
depan. Asumsi yang tidak realistik dan tidak rasional bahwa individu akan
melakukan kesalahan yang sama dan berjalan secara periodik karena hanya
mendasarkan perkiraan pada kesalahan harga masa lalu.
Asumsi yang rasional yaitu bahwa individu akan menghindari kesalahan
sistematik dan secara rasional akan menggunakan semua informasi penting untuk
mengatasi kesalahan sistematik. Asumsi inilah yang menjadi dasar hipotesis
perkiraan rasional (rational expectation) pada perubahan harga di masa depan.
Karena harga barang merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran,
maka perkiraan harga tidak hanya berdasarkan pengalaman masa lalu saja tetapi
juga dipengaruhi oleh informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran barang.
Gambar 2.8
Kurva Fungsi Reaksi Kebijakan Moneter
(Monetary Policy Reaction Function/MPRF) Sumber: Yuliadi, 2008
MPRF
PC
UN’ UN
3
UN 0
P
P
P’
MPRF’
Implikasi dari perkiraan rasional bahwa kebijakan moneter tidak
berpengaruh terhadap besarnya output tetapi hanya mempengaruhi harga saja.
Keadaan ini terjadi karena pada saat pemerintah melakukan kebijakan moneter
ekspansif, maka akan mendorong pergerakan agregat demand (AD) ke kanan
atas. Dengan asumsi bahwa para pelaku ekonomi menggunakan semua informasi
yang ada, maka perubahan AD direspon oleh kaum pekerja dengan menuntut
kenaikan upah. Keadaan ini mendorong kurva agregat supply (AS) bergeser ke
kiri atas. Sehingga dampak kebijakan moneter pada akhirnya hanya meningkatkan
harga barang di pasar. Implikasi kebijakan moneter pemerintah dan pengaruhnya
terhadap perekonomian pada keadaan ekspetasi rasional dapat dilihat pada kurva
fungsi reaksi kebijakan moneter (Monetary Policy Reaction Function) atau MPRF
dapat digambarkan pada Gambar 2.8.
2.1.7 Hukum Okun
Hukum Okun adalah terjadinya tingkat perubahan pada pengangguran
ketika terjadi tingkat perubahan pertumbuhan PDB di suatu negara. Hukum ini
dikemukakan oleh Arthur Okun (1928-1980). Hukum ini mengatakan bahwa
dengan tingkat pertumbuhan PDB mencapai 3 persen per tahun, menunjukkan
tingkat pengangguran tidak akan berubah. Apabila tingkat pertumbuhan naik
sebesar 5 persen per tahun, maka tingkat pengangguran akan turun 1 persen. Studi
ini berdasarkan studi ekonomi di AS sebelum periode yang dipelajari oleh Okun,
namun dapat digunakan sebagai acuan perubahan dalam output pemerintah
(http://id.termwiki.com).
2.1.8 Teori Crowding Out
Crowding out adalah fenomena yang terjadi ketika kebijakan fiskal
menyebabkan suku bunga meningkat sehingga mengurangi investasi (Frey dan
Jegen, 2001). Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan keuangan negara dengan mengontrol pemasukan (dalam bentuk
pajak) dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi pengeluaran agregat
dalam perekonomian dan memperbaiki keadaan ekonomi. dimana yang dimaksud
pengeluaran agregat adalah perbelanjaan yang akan dilakukan dalam
perekonomian dalam waktu tertentu. Dalam ilmu ekonomi, crowding out
diperdebatkan oleh beberapa ekonom menjadi fenomena yang terjadi ketika
meningkat keterlibatan pemerintah dalam sektor ekonomi pasar secara substansial
akan mempengaruhi sisa pasar, baik pada pasokan atau permintaan sisi pasar.
Salah satu jenis yang sering dibahas adalah ketika kebijakan fiskal ekspansif
mengurangi pengeluaran investasi oleh sektor swasta. Pemerintah sedang
crowding out karena menuntut dana investasi lebih dan terjadi peningkatan suku
bunga dari pinjaman (Blanchard, 2008).
Salah satu contoh crowding out adalah pengurangan investasi swasta yang
terjadi karena peningkatan pinjaman pemerintah. Jika peningkatan belanja
pemerintah dan/atau penurunan penerimaan pajak menyebabkan defisit yang
dibiayai oleh peningkatan pinjaman, maka pinjaman dapat meningkatkan suku
bunga, yang mengarah ke penurunan investasi swasta.
Faktor yang menentukan terjadinya crowding out adalah sejauh mana
penyesuaian tingkat suku bunga untuk ekspansi output yang disebabkan oleh
pengeluaran pemerintah yang meningkat, dimana dalam setiap kasus, tingkat
crowding out lebih besar dengan efek kenaikan suku bunga ketika belanja
pemerintah naik. Teori ini sangat relevan diterapkan pada kondisi saat ini (Tyson,
2012). Pada awal resesi tahun 2008 di AS terjadi peminjaman pemerintah federal
(Fed) secara besar-besaran (stimulus) dimana hal tersebut menunjukkan telah
terjadi crowding out dan suku bunga mencapai titik terendah hingga 0,25 poin
ketika permintaan agregat rendah (Krugman, 2011).
Congressional Budget Office (2014) dan Cumming et al. (2006),
mengatakan bahwa crowding out dapat terjadi pada bidang supply (misalnya
keterlibatan pemerintah pada modal ventura) dan demand (misalnya keterlibatan
pemerintah dalam program asuransi kesehatan dan anak negeri/chip). Contoh
nyata dalam bisnis di Indonesia dimana debitur sebagai importir karena intervensi
pemerintah dalam menaikkan suku bunga tinggi walaupun importir mendapatkan
plafon kredit dari suatu bank tidak menggunakan fasilitas tersebut karena tidak
layak dalam bisnis.
2.2 Penelitian Empiris di Indonesia
1) Suyono (2008) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank
oleh variabel CAR (Capital Adequacy Ratio), BOPO (Biaya Operasional
dibandingkan dengan Pendapatan Operasional), NPL (Non Performing Loan),
NIM (Net Interest Margin) dan LDR (Loan to Deposit Ratio). Hasil
penelitian menunjukkan variabel CAR, NIM dan LDR terbukti mempunyai
pengaruh positif terhadap profitabilitas, BOPO mempunyai pengaruh negatif
serta Non Performing Loan tidak terbukti mempunyai pengaruh terhadap
profitabilitas.
2) Penelitian yang telah dilakukan oleh Imamudin Yuliadi (2008) dengan
penelitian yang berjudul “Analisis Impor Indonesia: Pendekatan Persamaan
Simultan”. Dalam penelitian tersebut Yuliadi menemukan bahwa nilai kurs
dolar Amerika berpengaruh yang negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan impor Indonesia.
3) Penelitian Astohar, (2009) menunjukkan hasil bahwa ukuran (size), Capital
Adequacy Ratio (CAR), pertumbuhan deposito, Loan to Deposit Ratio (LDR)
dan listed (kepemilikan bankoleh publik) mempunyai pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap profitabilitas perbankan, sedangkan kepemilikan
saham oleh perusahaan (institusi) dan kurs Rupiah pada Dollar tidak
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap profitabilitas
perbankan.
4) Penelitian yang telah dilakukan oleh Eka Saputra dan Yogi Swara (2013).
Dalam penelitiannya yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi
impor gula Indonesia dalam kurun waktu 2000-2012 yang secara bersamaan
masuk dalam golongan nilai impor non migas, yang berjudul “Pengaruh
Produksi, Konsumsi, Harga Eceran, Inflasi dan Kurs Dollar AS Terhadap
Impor Gula Indonesia”. Dalam penelitian tersebut menemukan inflasi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap impor gula Indonesia.
5) Safitri, H., dkk. (2014). Analisis tentang sektor perdagangan luar negeri
Indonesia selama ini terlalu didominasi oleh analisis tentang ekspor. Di satu
sisi hal ini dapat dipahami karena ekspor merupakan satu-satunya andalan
penghasil devisa yang berasal dari kekuatan sendiri, sehingga negara
berkembang berkepentingan untuk menguasai pengetahuan tentang penghasil
devisanya ini. Peran devisa ini sangat penting, terutama untuk negara
berkembang seperti Indonesia. Walaupun ekspor dapat memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan perekonomian suatu negara
namun impor juga memegang peranan yang penting bagi pembangunan
ekonomi suatu negara. Kebijakan impor sepenuhnya ditujukan untuk
mengamankan posisi neraca pembayaran, mendorong kelancaran arus
perdagangan luar negeri dan meningkatkan lalu lintas modal luar negeri untuk
kepentingan pembangunan, dalam rangka mempertahankan dan
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
6) Hasil penelitian Adiel Pradipta dan Yogi Swara (2015). Tingginya impor non-
migas Indonesia yang mendominasi total impor pertahunnya membawa
dampak positif dan negatif bagi perekonomian. Semakin tinggi impor non-
migas pertahunnya membawa dampak melemahnya industri domestik
ataupun sektor pertanian dikarenakan ketidak mampuan dalam persaingan
harga terhadap produk luar negeri. Namun di sisi lain dengan adanya impor
non-migas pemerintah mampu menyediakan barang-barang untuk
menyokong kemajuan masyarakat. Secara serempak cadangan devisa, PDB,
kurs dollar Amerika dan inflasi signifikan terhadap impor non-migas kurun
waktu waktu 1985-2012. Secara parsial variabel cadangan devisa dan PDB
memiliki pengaruh positif dan signifikan, sedangkan kurs dollar Amerika
memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan, sementara inflasi tidak
berpengaruh signifikan terhadap impor non-migas kurun waktu 1985-2012.
2.3 Penelitian Empiris di Negara Lain
1) Jonathan McCarthy (2000), ketika inflasi terjadi dan harga barang-barang
yang diproduksi dalam negeri mengalami peningkatan, masyarakat akan
mulai beralih mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi dari luar negeri
yang harganya relatif lebih murah. Untuk membatasi akibat dari peningkatan
tingkat inflasi, perusahaan domestik suatu negara harus mampu bersaing
dalam perekonomian terbuka untuk mencapai keseimbangan antara ekspor
dan impor.
2) Mario et al. (2005), posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar sangat
menentukan besarnya perkembangan jumlah impor, dalam kondisi posisi
mata uang yang lemah akan membawa dampak terhadap keinginan
masyarakat dalam mengkonsumsi barang impor. Hal ini karena
mengkonsumsi barang impor ketika mata uang rupiah stabil jumlah uang
yang dibayarkan terhadap barang impor berbeda dengan ketika nilai rupiah
melemah terhadap mata uang asing. Jumlah impor khususnya nilai impor non
migas sangat bergantung terhadap kondisi terapresiasi atau terdepresiasinya
nilai tukar.
3) Penelitian di Nigeria yang dilakukan oleh Sa’asa Abba Abdulahi dan Hassan
Hassan Suleiman (2005) yang berjudul “An Analysis of The Diterminants Of
Nigerian’s Import”. Dengan data dalam kurun waktu 1970-2004, penelitian
tersebut menemukan bahwa indikator PDB memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap total impor pertahunnya. Abba dan Hassan (2005),
menyatakan PDB merupakan indikator penting terhadap total impor di suatu
negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencerminkan masyarakat yang
siap untuk melakukan konsumsi sesuai dengan kemampuan dari
pendapatannya. Hal ini sehubungan dengan teori konsumsi oleh John
Maynard Keynes, jumlah konsumsi saat ini (current disposable income)
berhubungan langsung dengan pendapatannya.
4) Augustine C. Arize (2007), dalam penelitiannya yang membahas tentang
pengaruh cadangan devisa terhadap nilai impor di Amerika Latin yang
berjudul “Foreign Exchange Reserves and Import Demand: Evidence from
Latin America”. Menemukan bahwa nilai impor dalam jangka pendek dan
jangka panjang di Amerika Latin dipengaruhi secara positif dan signifikan
oleh cadangan devisa. Total cadangan devisa yang dimiliki negara,
mempunyai pengaruh yang erat terhadap nilai impor.
5) Penelitian Hiau et al. (2007), menunjukkan elasitisitas permintaan impor
lebih tinggi di negara-negara yang berkembang dengan jumlah penduduk dan
luas wilayah yang luas dibandingkan dengan di beberapa negara maju, hal itu
dikarenakan dalam negara besar membutuhkan berbagai barang-barang
produksi dimana terdapat kemungkinan negara tersebut belum mampu
memproduksi secara efisien untuk mencukupi permintaan.
6) Menurut Alex dan Karen (2008), negara yang menerapkan perdagangan
terbuka, inflasi yang terjadi didalam perekonomiannya akan membawa
pengaruh pada kondisi impor dan ekspor. Tingkat inflasi tinggi biasanya
dikaitkan terhadap kondisi ekonomi yang terlalu panas (overhead), berarti
kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas
produknya dan mengakibatkan harga-harga cenderung mengalami
peningkatan.
7) Towbin dan Weber (2011), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa nilai
tukar yang fleksibel akan membawa dampak yang lebih tinggi terhadap
guncangan perdagangan luar negeri pada suatu perekonomian. Mata uang
yang umum di gunakan dalam proses perdagangan antar negara ini adalah
mata uang Amerika yaitu dollar AS, yang merupakan mata uang
internasional.
8) Penelitian Lambe Isaac (2015), ini menilai dampak dari risiko nilai tukar
terhadap kinerja bank di Nigeria. Penelitian ini menggunakan data sekunder
dari informasi dan menggunakan auto regression conditional sebagai sarana
untuk mengukur risiko. Model yang ditetapkan varians bersyarat sebagai
fungsi deterministik lagged squared residual. Penelitian ini mengungkapkan
bahwa unit kenaikan nilai tukar didorong oleh peningkatan laba setelah pajak
(Profit After Tax/PAT) dan sama-sama menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara manajemen nilai tukar dan kinerja lembaga keuangan,
terutama bank. Dari hasil ini direkomendasikan bahwa sebagai cara yang
efektif untuk mengelola risiko nilai tukar, bank harus membuat badan terpusat
dalam operasinya sebagai strategi kelembagaan untuk menangani aspek-aspek
praktis dari pelaksanaan pertukaran tingkat peramalan, sementara mekanisme
pendekatan lindung nilai harus diadopsi dalam prosedur akuntansi tentang
risiko mata uang.