BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori -...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori -...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Pada bab II ini penelitian ini, secara berturut-turut akan dibahas mengenai
belajar, hasil belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, keaktifan belajar,
urgensi keaktifan belajar, jenis-jenis keaktifan belajar, kegiatan-kegiatan dalam
meningkatkan keaktifan belajar, indikator keaktifan belajar, pembelajaran
kooperatif tipe time token, konsep dan prinsip pembelajaran kooperatif, tujuan
pembelajaran kooperatif, tipe-tipe pembelajaran kooperatif, pengertian model
pembelajaran kooperatif tipe time token, langkah-langkah pembelajaran kooperatif
tipe time token, pengertian IPA, fungsi dan tujuan pembelajaran IPA di SD, kajian
penelitian yang relevan, kerangka pikir, dan hipotesis tindakan.
2.1.1 Belajar
Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yan dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
(Slameto, 2003: 2). Belajar juga dianggap sebagai proses perubahan perilaku
sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Hilgard (Sanjaya, 2007: 112),
mengemukakan bahwa:
“Learning is process by which an activity originates or changed through
training procedures (weather in the laboratory or in the natural environment) as
distinguished from change by factor not atributable to training.
Terjemahannya adalah sebagai berikut: belajar itu adalah proses perubahan
melalui kegiatan atau prosedur latihan baik di dalam laboratorium maupun
dilingkungan alamiah. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan.
Belaja adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena
adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.
9
Belajar juga bisa dikatakan sebagai suatu proses perubahan dari tidak
mengerti atau tidak memahami sampai menjadi mengerti dan paham akan materi
yang telah disampaikan. Sebagaimana pendapat Nasution (2000: 68), bahwa
seseorang dapat dikatakan belajar apabila pada dirinya terjadi perubahan tingkah
laku yang disebabkan oleh hasil interaksi antara dirinya dengan lingkungannya,
dihasilkan oleh pengalaman tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk
memperoleh pengalaman baru.
Proses perubahan tingkah laku diri siswa adalah akibat dari interaksi siswa
dengan lingkungannya. Interaksi ini biasansya berlangsung secara disengaja dan
tidak berubah dengan sendirinya. Perubahan perilaku ini disebabkan oleh guru
yang mengajar dalam memberikan dan menyampaikan materi pembelajaran, serta
mengatur dan mengelola lingkungan belajar yang baik. Sebagaimana pendapat
Nasution (2000: 4) bahwa mengajar adalah aktivitas mengorganisasi lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses
belajar mengajar.
2.1.2 Hasil Belajar
Perubahan perilaku hasil kegiatan belajar mengakibatkan siswa memiliki
penguasaan terhadap materi pengajaran yang disampaikan dalam kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran. Pemberian tekanan penguasaan
materi, mengakibatkan perubahan dalam diri siswa setelah belajar. Soedjiarto
(1993: 49) mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat penguasaan yang dicapai
oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar mengajar, sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Sedangkan Winkel (1999: 51) mengemukakan
bahwa hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah
dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek perubahan ini mengacu kepada
taksonomi tujuan pengajaran yang dikemukakan oleh Bloom, et.al (Winkel, 1999:
244) mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.
10
Pada aspek kognitif terdiri dari enam jenis perilaku, diantaranya:
a) Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal yang telah
dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan ini berkenaan dengan
fakta, persitiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip atau metode.
b) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal
yang dipelajari.
c) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk
menghadapi masalah yang nyata dan baru.
d) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-
bagian, sehingga sturktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru.
f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal
berdasarkan kriteria tertentu.
Aspek afektif terdiri dari lima perilaku, antara lain:
a) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan
memperhatikan hal tersebut.Misalnya, kemampuan mengakui adanya
perbedaan.
b) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan
berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Misalnya, mematuhi aturan.
c) Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup meneriman suatu nilai,
menghargai, mengakui dan menentukan sikap. Misalnya menerima suatu
pendapat orang lain.
d) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk sistem nilai sebagai
pedoman dan pegangan hidup. Misalnya menempatkan nilai dalam suatu
skala nilai.
e) Pembentukan pola hidup, yaitu mencakup kemampuan menghayati dan
membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya kemampuan
berdisiplin.
Aspek psikomotor terdiri dari tujuh jenis perilaku, yaitu:
a) Persepsi, mencakup kemampuan memilah-milah hal yang khas dan
menyadari adanya perbedaan tersebut.
11
b) Kesiapan, mencakup kemampuan menempatkan diri dalam keadaan
dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan
ini mencakup jasmani dan rohani.
c) Gerakan terbimbing, mencakup kegiatan gerakan sesuai contoh atau
gerakan peniruan.
d) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan ketrampilan
melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh.
e) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan ketrampilan
yang terdiri dari banyak tahap secara lancar efisien dan tepat.
f) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan
perubahan dan penyesuaian pola gerak dengan persyaratan khusus yang
berlaku.
g) Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola gerak yang baru atas
dasar prakarsa sendiri.
Meskipun begitu, dalam penelitian ini aspek-aspek yang akan diukur yaitu
aspek kognitif saja yang meliputi aspek pengetahuan (C1), pemahaman (C2), dan
penerapan (C3). Hasil dari proses belajar di sekolah berupa tingkat penguasaan
terhadap materi pelajaran sebagai akibat dari perubahan tingkah laku berdasarkan
tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Kemudian hasil belajar tersebut
dievaluasi untuk mengukur taraf keberhasilan siswa dalam proses belajar
mengajar dan juga untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran yang
direncakan telah tercapai atau tidak. Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan
melalui tes maupun non tes. Dalam penelitian ini, pengukuran/evaluasi dilakukan
dengan menggunakan teknik tes. Tes yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
tes tertulis, dan secara khusus dalam penelitian ini akan digunakan tes tertulis
berbentuk pilihan ganda.
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Menurut Syah (2006: 144, 150-152); Slameto (2003: 54-60) faktor yang
mempengaruhi belajar digolongkan menjadi tiga, yaitu faktor internal, eksternal
dan faktor pendekatan belajar.
12
a) Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam siswa sendiri baik fisik
maupun mental. Faktor tersebut dibagi menjadi dua yaitu aspe fisiologis (yang
bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah). Aspek fisiologi
(jasmani) yaitu semua keadaan yang berhubungan dengan keadaan tubuh meliputi
kesehatan seluruh badan, faktor cacat tubuh. Sedangkan aspek psikologis yaitu
keadaan yang berhubungan dengan kejiwaan seseorang, seperti intelegensi,
perhatian, minat, bakat dan motivasi.
b) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor
tersebut terdiri dari tiga yaitu:
1) Faktor dari lingkungan keluarga, meliputi cara orang tua mendidik,
hubungan antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi,
keluarga, dan perhatian orang tua.
2) Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru
dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat
pengajaran, keadaan gedung waktu sekolah dan standar pelajaran di atas
ukuran.
3) Faktor yang berasal dari masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam
masyarakat, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
c) Faktor pendekatan belajar
Faktor pendekatan belajar adalah segala cara atau strategi yang digunakan
siswa, dalam menunjang keektifan dan efisiensi proses mempelajari materi
tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. Faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf
keberhasilan proses belajar siswa tersebut.
2.1.4 Keaktifan Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 3), kata
keaktifan berasal dari kata aktif, artinya giat atau sibuk, dan mendapatkan awalan
ke- akhiran-an. Kata keaktifan sama artinya dengan kegiatan dan kesibukan.
13
Sedangkan dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan keaktifan adalah
segala aktivitas atau kegiatan yang dilakukan siswa dalam mengikuti proses
belajar mengajar di sekolah.
2.1.5 Urgensi Keaktifan Belajar
Desain kurikulum yang berpusat pada siswa, siswa mempunyai peran
penting dalam menentukan bahan pelajaran. Dengan demikian, aktivitas siswa
merupakan faktor dominan dalam pengajaran. Karena, seharusnya siswa itu
sendiri membuat perencanaan, menentukan bahan ajar dan corak proses belajar
mengajar, sedangkan guru, hanya bertindak sebagai koordinator saja.
Belajar tidak hanya semata-mata sebagai suatu upaya merespon stimulus,
tetapi lebih dari itu, belajar dilakukan melalui kegiatan seperti mengalami,
mengerjakan dan memahami belajar melalui proses belajar itu sendiri. Jadi, Hasil
belajar dapat diperoleh bila siswa aktif dan tidak pasif.
Dalam konsep tersebut, sesunggunya hasil belajar itu dapat dicapai bila
melalui proses yang bersifat aktif. Dalam melakukan proses ini, siswa
menggunakan seluruh kemampuan dasar yang dimiliki, seabgai dasar untuk
melakukan berbagai kegiatan agar memperoleh hasil belajar. Sedangkan fungsi
guru adalah:
a) Memberi perangsang atau motivasi agar siswa mau melakukan kegiatan
belajar.
b) Mengarahkan seluruh kegiatan belajar kepada suatu tujuan tertentu.
c) Memberi dorongan agar siswa mau melakukan seluruh kegiatan yang
mampu dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Atas dasar semua itu, menurut Muhammad Ali (2007: 68-69), selanjutnya
dikembangkan suatu upaya, yaitu bagaimana menciptakan suatu bentuk
pengajaran yang dapat mengaktifkan kegiatan baik oleh guru maupun siswa dalam
proses belajar mengajar.
14
2.1.6 Jenis-Jenis Keaktifan Belajar
Ada beberapa aktivitas belajar dalam beberapa situasi antara lain
(Supriyopono, 1991: 125-130):
a) Mendengarkan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bergaul dengan orang lain. Dalam
pergaulan itu terjadi komunikasi verbal berupa percakapan. Percakapan
memberikan situasi tersendiri bagi orang-orang yang terlibat ataupun yang tidak
terilbat, tetapi secara tidak langsung seseorang dapat mendengar informasi. Situasi
ini memberikan kepada seseorang untuk belajar. Seseorang menjadi belajar atau
tidak dalam situasi ini tergantung ada tidaknya kebutuhan dan motivasi. Dengan
adanya keadaan dan kondisi pribadi seperti itu, memungkinkan seseorang tidak
hanya sekedar mendengar, melainkan mendengar secara aktif dan bertujuan.
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, sering ada ceramah dari guru.
Tugas siswa adalah mendengarkan. Tidak setiap orang dapat memanfaatkan
situasi belajar ini untuk belajar, apabila tidak didorong oleh kebutuhan, motivasi
dan tujuan tertentu. Seperti yang terjadi dalam situasi diskusi, seminar, lokakarya,
demonstrasi ataupun resitasi, jika dalam situasi-situasi ini, orang mendengarkan
dengan set tertentu untuk mencapai tujuan belajar, karena melalui
pendengarannya, seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungannya sehingga
dirinya berkembang.
b) Memandang
Setiap stimuli visual memberi kesempatan seseorang untuk belajar. Dalam
kehidupan sehari-hari, banyak hal yang dapat kita pandang, akan tetapi, tidak
semua pandangan atau penglihatan kita adalah belajar. Meskipun pandangan kita
tertuju kepada suatu objek visual, apabila dalam diri kita tidak terdapat kebutuhan,
motivasi serta set tertentu untuk mencapai suatu tujuan, maka pandangan
demikian tidak termasuk dalam belajar. Alam sekita kita, termasuk sekolah
dengan segala aktifitasnya, merupakan objek-objek yang memberi kesempatan
untuk belajar. Apabila kita memandang segala sesuatu dengan set tertentu yaitu
untuk mencapai tujuan yang mengakibatkan perkembangan pada diri kita, maka
dalam hal ini kita sudah disebut belajar.
15
c) Meraba, Membau, dan Mencicipi atau Mencecap
Meraba, membau, mencicipi atau mencecap adalah aktivitas sensoris seperti
halnya dengan mendengarkan dan memandang. Segenap stimuli yang dapat
diraba, dicium, dicecap merupakan situasi yang memberi kesempatan bagi
seseorang untuk belajar. Aktivitas meraba, membau, maupun aktivitas mencecap
dapat dikatakan belajar, apabila aktivitas-aktivitas itu didorong oleh kebutuhan,
motivasi untuk mencapai suatu tujuan dengan menggunakan set tertentu, untuk
memperoleh perubahan tingkah laku.
d) Menulis atau Mencatat
Setiap aktivitas pendengaran kita yang bertujuan, akan memberikan kesan-
kesan yang berguna bagi belajar kita selanjutnya. Kesan-kesan itu merupakan
material untuk maksud-maksud belajar tertentu. Material atau obyek yang ingin
kita pelajari harus memberi kemungkinan untuk dipraktekan. Beberapa material
diantaranya terdapat di dalam buku-buku di kelas, ataupun catatan-catatan kita
sendiri. Kita dapat mempelajari isi buku catatan dalam setiap kesempatan. Dari
sumber manapun, kita dapat membuat fotocopy isi pelajaran dan membuat catatan
dari setiap buku yang kita pelajari. Bahkan dalam dari setiap situasi seperti
ceramah, diskusi, demonstrasi dan sebagainya, dapat kita catat untuk keperluan
belajar dimasa-masa selanjutnya.
e) Membaca
Membaca termasuk aktivitas belajar. Membaca untk keperluan belajar harus
menggunakan set tertentu, seperti dengan memulai memperhatikan judul-judul
bab, topik-topik utama dengan orientasi kepadad kebutuhan dan tujuan yang
dilanjutkan dengan memilih topik yang relevan dengan kebutuhan tujuan itu.
Materi-materi bacaan yang bersifat teknis dan mendetail memerlukan kecepatan
membaca lambat agar dapat memahami isi bacaan, sedangkan untuk materi
bacaan yang bersifat populer dan impresif, memerlukan kecepatan membaca yang
tinggi, karena dengan membaca cepat lebih membantu dalam menyerap materi
lebih komprehensif.
Pada kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai seseorang yang membaca
buku pelajaran sambil berbaring santai ditempat tidurnya, hanya dengan maksud
16
agar dia bisa tidur, atau ada pula yang membaca sambil berbaring untuk keperluan
belajar. Maka membaca semacam itu belum dikatakan aktivitas belajar. Menurut
ilmu jiwa, membaca seperti itu belum dikatakan sebagai belajar, karena belajar
aktif dan membaca untuk keperluan belajar hendaknya dilakukan ditempat belajar,
bukan ditempat tidur; karena membaca sambil tiduran, perhatian dapat terbagi dan
tujuan belajar tidak akan tercapai.
f) Membuat Ikhitisar atau Ringkasan dan Mengggaris bawahi
Banyak orang merasa terbantu dalam belajarnya, karena menggunakan
ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan dapat membantu
dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku untuk masa-masa
yang akan datang. Untuk keperluan belajar yang intensif, membuat ikhtisar saja
belum cukup. Untuk itu, pada saat membaca, jika kita menemukan hal-hal yang
penting, kita beri garis bawah (underlining), karena dapat membantu kita dalam
usaha untuk menemukan kembali materi itu dikemudian hari.
g) Mengamati Tabel-Tabel, Diagram-Diagram dan Bagan-Bagan
Dalam buku ataupun di lingkungan lain, sering kita jumpai tabel, diagram
atau bagan-bagan. Materi non-verbal semacam ini sangat berguna bagi kita dalam
mempelajari materi yang relevan itu. Demikian pula gambar-gambar, peta-peta
dan lain-lain, dapat menjadi bahan ilustratif yang membantu pemahaman kita
tentang sesuatu hal.
h) Menyusun Paper atau Kertas Kerja
Dalam membuat paper, pertama yang perlu mendapat perhatian ialah
rumusan topik paper itu. Dari rumusan topik-topik itu, kita akan dapat
menentukan materi yang relevan. Kemudian kita perlu mengumpulkan materi
yang akan ditulis kedalam paper dengan mencatatkan pada buku notes atau kartu-
kartu catatan. Paper yang baik memerlukan perencanaan yang masak, dengan
terlebih dahulu mengumpulkan ide-ide yang menunjang, serta penyediaan
sumber-sumber yang relevan. Dalam hal ini aktivitas menyusun paper adalah
termasuk aktivitas belajar.
17
i) Mengingat
Mengingat dengan maksud agar ingatan kita tentang sesuatu belum
termasuk aktivitas belajar. Mengingat yang didasari atas kebutuhan serta
kesadaran untuk mencapai tujuan belajar lebih lanjut adalah termasuk aktivitas
belajar, apalagi jika mengingat itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas belajar
lainnya.
j) Berpikir
Berpikir termasuk aktivitas belajar, karena dengan berpikiri orang
memperoleh penemuan baru, setidak-tidaknya seseorang menjadi tahu tentangn
hubungan antar sesuatu.
k) Latihan/Praktek
Latihan atau praktek adalah termasuk aktivitas belajar. Orang yang
memerlukan kegiatan berlatih, tentunya sudah mempunyai dorongan untuk
mencapai tujuan tertentu, yang dapat mengembangkan sesuatu aspek pada dirinya.
Dalam berlatih atau berpraktek terjadi interaksi yang interaktif antara
subyek dengan lingkungannya. Dalam kegiatan berlatih atau praktek, segenap
tindakan subyek terjadi secara integratif dan terarah ke suatu tujuan. Hasi dari
latihan atau praktek itu sendiri akan berupa pengalaman yang dapat mengubah diri
serta lingkungannya. Sehingga, lingkungan dapat berubah dalam diri anak
tersebut.
Sementara Paul D. Dierich (dalam Hamalik: 2001: 172-173), membagi
kegiatan belajar menjadi delapan kelompok, yaitu:
1) Kegiatan-kegiatan visual, terdiri dari: membaca, melihat gambar-gambar,
mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran dan mengamati orang lain
bekerja atau bermain.
2) Kegiatan-kegiatan lisan, terdiri dari mengemukakan fakta atau prinsip,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,
mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
3) Kegiatan-kegiatan mendengarkan, yaitu: mendengarkan penyajian bahan,
mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu
permainan, mendengarkan radio.
18
4) Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa
karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisi angket.
5) Kegiatan-kegiatan menggambar: menggambar, membuat grafik, chart,
diagram peta dan pola.
6) Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat,
melaksanankan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan,
menari dan berkebun.
7) Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,
menganalisis, dan membuat keputusan.
8) Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang, dan lain-
lain.
2.1.7 Kegiatan-Kegiatan Dalam Meningkatkan Keaktifan Belajar
Aktivitas guru mengajar mencerminkan strategi pembelajaran, sedangkan
aktivitas siswa tercermin dalam menggunakan isi khazanah pengetahuan dalam
memecahkan masalah, menyatakan gagasan dalam bahasa sendiri, menyusun
rencana satuan pelajaran atau eksperimen.
Menurut Ali (2007: 68-69), ciri-ciri keaktifan belajar siswa dalam
pengajaran, dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a) Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun atau membuat perencanaan,
proses belajar mengajar dan evaluasi.
b) Adanya keterlibatan intelektual-emosional siswa baik mengalami,
menganalisa, berbuat dan pembentukan sikap.
c) Adanya keikutsertaan siswa secara kreatif dalam menciptakan situasi belajar
yang cocok untuk berlangsungnya proses belajar mengajar.
d) Guru bertindak sebagai fasilitator dan koordinator kegiatan belajar siswa,
bukan sebagai pengajar (instruktur) yang mendominasi kegiatan di kelas.
e) Biasanya menggunakan berbagai metode secara bervariasi, alat dan media
pengajaran. Semakin banyak ciri yang dimiliki dalam suatu proses
pengajaran, semakin tinggi pula kadar keaktifan belajar siswa.
19
Menurut Sriyono (2000: 15-18), ada beberapa kegiatan yang dapat
menunjang dan meningkatkan keaktifan belajar siswa diantaranya: adanya
stimulus belajar, perhatian dan motivasi, respons yang dipelajari, penguatan dan
umpan balik, serta pemakaian dan pemindahan.
a) Stimulus belajar
Pesan yang diterima siswa dari guru melalui informasi biasanya dalam
bentuk stimulus. Stimulus tersebut dapat berbentuk verbal, atau bahasa, visual,
auditif, taktik-taktik dan lain-lain. Stimulus hendaknya mengkomunikasikan
infromasi atau pesan yang hendak disampaikan oleh guru kepada siswa. Ada dua
cara yang dapat membantu para siswa agar pesan tersebut mudah diterima.
Pertama, perlu adanya pengulangan, sehingga membantu siswa dalam
memperkuat pemahamannya. Kedua, siswa menyebutkan kembali pesan yang
disampaikan oleh guru kepadanya.
b) Perhatian dan Motivasi
Perhatian dan motivasi merupakan prasyarat utama dalam proses belajar
mengajar. Tanpa adanya perhatian dan motivasi, hasil belajar yang dicapai siswa
tidak akan optimal. Stimulus belajar yang diberikan oleh guru tidak akan berarti
tanpa adanya perhatian dan motivasi dari siswa. Perhatian dan motivasi belajar
siswa tidak akan bertahan lama selama proses belajar mengajar berlangsung;
maka perlu diusahakan oleh guru. Ada beberapa cara untuk menumbuhkan
perhatian dan motivasi antara lain melalui cara mengajar yang bervariasi
mengadakan pengulangan informasi, memberikan stimulus baru misalnya melalui
pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk
menyalurkan keinginan belajarnya, menggunakan media dan alat bantu yang
menarik perhatian siswa seperti gambar, foto, diagram dan lain-lain. Secara
umum, siswa akan terangsang untuk belajar, apabila melihat bahwa situasi belajar
mengajar cenderung memuaskan dirinya sesuai dengan kebutuhannya. Motivasi
belajar bisa tumbuh dari luar dirinya. Kebutuhan akan belajar pada siswa akan
mendorong motivasi dari dalam dirinya, sedangkan stimulus mendorong motivasi
dari luar.
20
c) Respons yang dipelajari
Belajar adalah proses aktif, sehingga apabila tidak dilibatkan dalam
berbagai kegiatan belajar, sebagai respons siswa terhadap stimulus guru, tidak
mungkin siswa dapat mencapai hasil belajar yang dikehendaki.
Keterlibatan atau respons siswa terhadap stimulus guru bisa meliputi
berbagai bentuk perhatian, proses internal terhadap kegiatan belajar seperti
kegiatan memecahkan masalah, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh
guru, menilai kemampuan dirinya dalam menguasai informasi, melatih diri dalam
menguasai informasi yang diberikan oleh guru dan lain-lain.
d) Penguatan
Setiap tingkah laku yang diikuti oleh kepuasan terhadap kebutuhan siswa,
akan mempunyai kecenderungan untuk diulang kembali apabila diperlukan. Ini
berarti bahwa apabila respons siswa terhadap stimulus guru memuaskan
kebutuhannya, maka siswa cenderung untuk mempelajari tingkah laku tersebut.
Sumber penguat belajar untuk pemuasan kebutuhan berasal dari luar dan dari
dalam dirinya. Penguat belajar yang berasal dari luar dirinya seperti nilai,
pengakuan prestasi siswa, persetujuan pendapat siswa, ganjaran, hadiah dan lain-
lain – merupakan cara memperkuat respons siswa. Sedangkan penguat dari dalam
dirinya bisa terjadi apabila respons yang dilakukan siswa benar-benar memuaskan
dirinya sesuai dengan kebutuhannya.
e) Pemakaian dan Pemindahan
Pikiran manusia mempunyai kesanggupan menyimpan informasi yang tidak
terbatas jumlahnya. Dalam hal penyimpanan informasi yang tak terbatas ini,
penting sekali pengaturan dan penempatan informasi, sehingga dapat digunakan
kembali apabila diperlukan. Pengingatan kembali informasi yang diperoleh,
terjadi apabila digunakan dalam situasi yang serupa. Dengan kata lain, perlu
adanya asosiasi. Belajar dengan memperluas pembentukan asosiasi, dapat
meningkatkan kemampuan siswa untuk memindahkan apa yang telah dipelajari
kepada situasi lain yang serupa dimasa mendatang. Asosiasi dapat dibentuk
melalui pemberian bahan yang bermakna berorientasi pada pengetahuan yang
21
dimiliki siswa, pemberian contoh yang jelas, pemberian latihan yang teratur,
pemecahan masalah yang serupa, dilakukan dalam situasi yang menyenangkan.
2.1.8 Indikator Keaktifan Belajar
Menurut Tafsir (1995: 146), untuk mengukur terwujudnya keaktifan siswa dalam
belajar, dapat diukur melalui beberapa indikator, yakni:
a) Segi siswa
1) Dapat dilihat dari adanya keinginan, keberanian menampilkan minat,
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapinya.
2) Keingian dan keberanian siswa serta kesempatan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan persiapan, proses dan kelanjutan belajar.
3) Siswa dapat menampilkan berbagai usaha atau kekreatifan belajar
dalam menjalani dan menyelesaikan kegiatan belajar, sampai
mencapai keberhasilannya.
4) Kemandirian belajar.
b) Segi guru
1) Usaha mendorong, membina gairah belajar dan berpartisipasi dalam
proses pengajaran secara aktif.
2) Peranan guru tidak mendominasi kegiatan belajar siswa.
3) Memberi kesempatan siswa untuk belajar menurut cara dan keadaan
masing-masing.
4) Menggunakan berbagai metode mengajar dan pendekatan multi
media.
c) Segi program
1) Tujuan pengajaran sesuai dengan minat, kebutuhan serta
kemampuan siswa.
2) Program cukup jelas bagi siswa dan menantang siswa untuk
melakukan kegiatan belajar.
d) Segi situasi
Adanya hubungan erat antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, guru
dengan guru, serta dengan unsur pimpinan sekolah.
22
e) Segi sarana belajar
1) Sumber belajar yang cukup
2) Fleksibilitas waktu bagi kegiatan belajar
3) Dukungan bagi media pengajaran
4) Kegiatan belajar di dalam maupun di luar kelas.
2.1.9 Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan paham konstruktivis. Model pembelajaran ini merupakan strategi
belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat
kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Amalya Nattiv dkk (dalam Lie, 2005: 20). Dalam
kelompok pembelajaran ini, belajar dikatakan belum selesai, jika salah satu teman
dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Pembelajaran kooperatif adalah sebuah strategi pengajaran yang melibatkan
partisipasi siswa dalam kelompok belajar dan menekankan pada interaksi positif
diantara mereka. Strategi ini dilakukan dengan membentuk sebuah kelompok
kecil yang terdiri dari beberapa orang dengan perbedaan kemampuan (diferent
levels of ability). Anggota kelompok tersebut bekerja sama dalam aktivitas
pembelajran untuk memperbaiki pemahaman mereka terhadap materi pelajaran
tertentu. Howard Margolis (1990:2). Partisispasi keaktifan setiap anak dalam
kelompok kooperatif merupakan hal yang paling penting dan harus menjadi
pertimbangan utama, mengingat pembelajaran kooperatif termasuk model
pembelajaran yang berorientasi pada keatifan siswa. Mel (1996:111). Dalam
pelaksanaannya, para siswa dihargai atas usahanya baik secara individu maupun
kelompok.
Native Amalya dkk (dalam Lie, 2005: 24), mendefenisikan pembelajaran
kooperatif sebagai sebuah metode pengajaran dimana para siswa bekerja sama
dalam kelompok kecil untuk melakukan penilitian dengan tujuan umum. Bentuk
kerja sama ini telah terjadi sejak awal tahun 1970, ketika para peneliti dan guru-
23
guru kelas menemukan bahwa kerja kelompok lebih efektif jika berbagai
komponen yang diperlukan oleh sebuah kelompok terpenuhi . komponen yang
dimaksud adalah: a). Adanya tangggungjawab individu (individual
accountability); b). Tujuan kelompok (group goal); c). dukungan tugas (task
support); dan d). Sosial atau Pengembangan ketrampilan tugas (social task skill
development). Oleh karena itu, kerja kelompok yang didalamnya terdapat berbagai
komponen dianggap sebagai pembelajaran kooperatif. Sebuah tim atau kelompok
pada biasanya terdiri dari empat sampai dengan enam anggota kelompok pada
umumnya bersifat heterogen dalam hal tingkat kemampuan, jenis kelamin, suku.
Setiap anggota dalam tim memiliki tugas yang berbeda agar kerja kelompok dapat
berjalan untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.
Hasan Solihatin dan Raharjo (2007:4) mengemukakan bahwa kooperatif
mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama.
Sehubungan dengan pengertian tersebut. Slavin (dalam Sanjaya, 2006:241)
mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran
dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang, dengan
struktur kelompok yang bersifat heterogen untuk mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan pengetian diatas, maka pembelajaran kooperatif menurut Wina
Sanjaya (2006:241) minimal memiliki empat unsur penting yaitu: a). Adanya
peserta dalam kelompok: b). Adanya aturan dalam kelompok: c). Adanya upaya
setiap anggota kelompok dan: d). Adanya tujuan yang harus dicapai.
2.1.10 Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kooperatif
Beberapa konsep mendasar yang perlu diperhatikan dan diupayakan oleh
guru dalam pembelajaran kooperatif menurut Robert J. Stahl adala meliputi
sebagai berikut: a). perumusan tujuan belajar siswa harus jelas: b). penerimaan
yang menyeluruh oleh siswa tentang tujuan belajar: c). ketergantungan yang
bersifat positif: d). interaksi yang bersifat terbuka: e). tanggungjawab individu: f).
kelompok bersifat heterogen: g). interaksi sikap dan perilaku sosial yang positif:
24
h) tindak lanjut (follow up) dengan melakukan analisis bagaimana penampilan dan
hasil kerja siswa dalam kelompok belajarnya.
Beberapa hal lain yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif
adalah: a). bagaimana hasil kerja yang dihasilkan: b). bagaimana mereka
membantu anggota kelompoknya dalam mengerti dan memahami materi dan
masalah yang dibahas: c). bagaiman sikap dan perilaku mereka dalam interaksi
kelompok belajar bagi keberhasilan kelompoknya: dan d). apa yang mereka
butuhkan untuk menigkatkan keberhasilan kelompok belajarnya di kemudian hari:
serta e). kepuasan dalam belajar. Setiap siswa dan kelompok harus memperoleh
waktu yang cukup untuk belajar dalam mengembangkan pengetahuan,
kemampuan, dan ketrampilannya. Apabila siswa tidak memperoleh waktu yang
cukup dalam belajar, maka keuntunmgan akademis dari penggunaan pembelajaran
kooperatif akan sangat terbatas. Perolehan belajar siswa pun sangat terbatas
sehingga guru hendaknya mampu merancang dan mengalokasikan waktu yang
memadai dalam menggunakan model ini dalam pembelajarannya.
2.1.11 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Setiap model pembelajaran ditandai dengan struktur tugas, struktur tujuan
dan struktur reward. Struktur tugas menunjujan cara pelajaran diorganisasikan dan
jenis pekerjaan yang diperintahkah kepada siswa. Struktur tugas pembelajaran
kooperatif adalah menuntut kerja sama dan interpendensi di antara siswa untuk
menyelesaikan tugas secara bertanggungjawab. Sementara struktur tujuan
menunjukan pada tujuan yang bersifat individualistik, tujuan yang bersifat
kompetitif dan struktur tujuan kooperatif. Pembelajaran kooperatif lebih menekan
pada struktur tujuan kooperatif yang melahirkan interdepensi sosial dan kegiatan
bersama membuat usaha siswa dianggap sebagai faktor primer kesuksesan belajar.
Selanjutnya struktur reward juga terbagi ke dalam tiga jenis yaitu struktur reward
individualis yang diperoleh siswa apabila berhasil melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang lain, struktur reward kompetitif diakui usaha individu apabila
dibandingkan dengan usaha orang lain dan struktur reward kooperatif diperoleh
25
apabila usaha individu dalam membantu orang lain mendapat struktur rewardnya.
Arends (2008:165).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka diketahui bahwa tujuan pembelajaran
kooperatif berbeda dengan kelompok tradisional yang menerapkan sistem
kompetisi, dimana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang
lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi
dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan
kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran. Ketiga pembelajaran yang dimaksud
yaitu:
Pertama, hasil belajar akademik. Beberapa ahli mengemukakan bahwa
model ini unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang
cukup sulit. Model struktur penghargaan kooperatif telah dapat menigkatkan nilai
siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan
hasil belajar. Selain mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar,
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok
bawah maupun kelompok atas yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas
akademik yang diberikan guru.
Kedua, penerimaan terhadap perbedaan individu. Tujuan lain dari model
pembelajaran kooperatif ini adalah penerimaan secara luas dari individu-individu
yang berbeda berdasarkan kemampuan akademik, ras, budaya. Kelas dan tingkat
sosial. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar
belakang dan kondisi untuk bekerja sama dengan saling bergantung pada tugas-
tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling
menghargai satu individu yang satu dengan yang lain.
Ketiga, pengembangan ketrampilan sosial. Tujuan penting lainnya dari
pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan siswa ketrampilan bekerja sama dan
kolaborasi. Ketrampilan sosial ini penting dimilik oleh siswa karena saat ini
banyak siswa yang kurang ketrampilan sosialnya. Ketrampilan sosial dikemban
gkan antara lain adalh beberapa tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang
lain, bekerja dalam kelompok. Kompromi dan sebagainya.
26
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok pembelajaran
tradisional yang menerapkan sistem kompetisi, dimana keberhasilan individu
diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sejak awal terbentuknya pendidikan
formal, siswa dipicu agar menjadi lebih baik dari teman-teman sekelasnya dan
sistem kompetisi ini nampaknyan sangat mendominasi dunia pendidikan,
sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan
kelompoknya. Untuk lebih jelasnya perbedaan kelompok belajar kooperatif
dengan kelompok belajar konvensional dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1.
Perbedaan kelompok Belajar Kooperatif Dengan Kelompok Belajar Konvensional
KELOMPOK BELAJAR KOOPERATIF KELOMPOK BELAJAR
KONVENSIONAL
a) Adanya saling ketergantungan positif, saling
membantu dan saling memberikan motivasi
sehingga ada interaksi promotif
a) Guru sering membiarklan adanya
siswa yang mendominasi kelompok atau
menggantungkan diri pada kelompok
b) Adanya akuntabilitas individual yang mengukur
penguasaan materi pelajaran tiap anggota
kelompok, dan kelompok diberi umpan balik
tentang hasil belajar para anggotanya sehingga
dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan
bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
b) Akuntabilitas individual sering
diabaikan sehingga tugas-tugas sering
diborong oleh salah seorang anggota
kelompok sedangkan anggota kelompok
lainnya ganya “mendompleng”
keberhasilan “pemborong”
c) Kelompok belajar heterogen, baik dalam
kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik
dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui
siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang
memberikan bantuan
c) Kelompok belajar biasanya
homogeny
d) Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis
atau bergulir untuk memberikan pengalaman
memimpin bagi para anggota kelompoknya
d) Pemimpin kelompok sering
ditentukan oleh guru atau kelompok
untuk memilih pemimpinnya dengan
cara masing-masing
e) Ketrampilan sosial diperlukan dalam kerja
gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan
berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan
mengola konflik secara langsung diajarkan
e) Ketrampilan sosial sering tidak
secara langsung secara diajarkan
f) Pada saat belajar kooperatif sedang
berlangsung, guru terus melakukan pemantauan
melalui observasi dan melakukan intervensi jika
terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota
kelompok
f) Pemantauan melalui observasi dan
intervensi sering tidak dilakukan oleh
guru pada saat belajar kelompok sedang
berlangsung
g) Guru memperhatikan secara proses kelompok
yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar
g) Guru sering tidak memperhatkan
proses kelompok yang terjadi dalam
kelompok-kelompok belajar
h) Penekanan tidak hanya pada penyelesian tugas
tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar
pribadi yang saling menghargai)
h) Penekanan sering hanya pada
penyelesian tugas
(Killen. 1996:12)
27
2.1.12 Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif
Arends dalam Lie, (2005:40-43), membagi pembelajaran kooperatif menjadi
empat pendekatan yaitu:
a) Pendekatan Student Team Achievment Divisions (STAD). Pendekatan STAD
ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas
John Hopkins dan dipandang sebagai pendekatan pembelajaran kooperatif
yang paling sederhana dari pembelajaran kooperatif. Guru yang
menggunakan STAD juga memacu kepada kelompok belajar siswa,
menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu
menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu
dibagi menjadi beberapa kelompok atau tim dengan masing-masing
kelompok terdiri dari empat atau lima orang, setiap kelompok haruslah
heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan,berasal dari berbagai suku
dan etnik, memiliki kemampuan campuran (tinggi.sedang, dan rendah). Tiap
anggota tim menggunakan lembar akademik, saling membantu satu sama
lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tanya jawab atau diskusi.
Secara individual atau tim tiap minggu atau dua minggu siswa dilakukan
evaluasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan
akademik yang telah dipelajari. Tiap individu dan tim diberi skor atas
penguasaannya terhadap bahan ajar kepada individu atau tim yang
berprestasi tinggi diberi penghargaan. Kadang-kadang beberapa atau seluruh
tim diberikan penghargaan apabila mampu mencapai kriteria atau standar
tertentu itu.
b) Pendekatan Jigsaw. Pendekatan Jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan
di uji coba oleh Elliot Aronson dan teman-temannya dari Universitas Texas
dan kemudian diadaptasikan oleh Slavin dkk. Dengan pendekatan ini siswa
di bagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terjadi dari lima sampai
enam orang dengan karakteristik heterogen. Bahan akademik disajikan
dalam bentuk teks dan tiap siswa bertanggung jawab mempelajari suatu
bagian dari bahan akademik tersebut. Kelompok siswa seperti ini disebut
“kelompok ekspert” (expert group). Para siswa dari tim yang berkumpul
28
dengan siswa lain yang memiliki tanggung jawab yang sama dari kelompok
lain, selanjutnya mereka bekerja sama mempelajari atau mengerjakan
bagian tersebut. Kemudian masing-masing siswa kembali ke kelompoknya
sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya dalam kelompok pakat
kepada anggota kelompoknya. Setelah diadakan pertemuan dan diskusi
dalam kelompoknya setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam
kelompok para siswa dievaluasi secara individu atas bahan yang telah
dipelajari. Dalam pendekatan Jigsaw versi Slavin, penskoran dilakukan
sama seperti dalam pendekatan Student Achievement Devison (STAD).
Indvidu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh
guru.
c) Pendekatan GI (Group Ivestigation). Dasar-dasar pendekatan grup
investigasi (GI) dirancang oleh Herbert Thelen dan slelanjutnya
diadaptasikan oleh Sharan dkk dari Universitas Tel Aviv. Pendekatan Grup
Investgiasi (GI) sering dipandang sebagai pendekatan pembelajaran
kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Berbeda
dengan Student Team Achievmen Devision (STAD) dan Jigsaw, dalam
pendekatan GI siswa dilibatkan dalam perencanaan baik dalam menentukan
topik maupun cara mempelajari melalui investigasi. Pendekatan ini
menuntut siswa untuk memiliki kemampuan komunikasi maupun dalam
ketrampilan proses kelompok (group process skill). Dalam penerapan
investigasi kelompok ini, guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok
dengan anggota limma atau enam siswa dengan karakteristik yang
heterogen. Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan
mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam
topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk yang ingin dipelajari,
mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai sub topik yang telah
dipilih kemudian menyiapkan dan menyajikan laporannya kepada
keseluruhan kelas.
d) Pendekatan struktural. Pendekatan ini dikembangkan oleh Spencer Kagan
dkk. Meskipun memiliki kesamaan dengan pendekatan lainnya, tetapi
29
pendekatan ini memberi penekananan pada penggunaan struktur tertentu
yang dirancan untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Berbagai sturktur
tersebut dikembangkan oleh Kagan dengan maksud agar menjadi alternatif
dari berbagai struktur kelas tradisional , seperti metode resistas, yang
ditandai dengan pengajuan pertnyaan oleh guru kepada seluruh siswa dalam
kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan
ditunjuk oleh guru. Struktur yang dikembangkan oleh Kagan menghendaki
agar siswa bekerja saling bargantung dalam kelompok kecil secara
kooperatif. Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan
penguasaan isi akademik dan pula struktur yang di rancang untu
mengajarkan ketrampilan sosial think-pair-share dan numberedhead-togther
adalah struktur yang dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan isi
akademik, sedangkan active listening dan time tokens adalah struktur yang
dikembangkan utnuk mengajarkan ketrampilan sosial.
e) Time token. Pembelajaran kooperatif tipe time token merupakan salah satu
varian dari pendekatan struktural yang dikembangkan oleh Spencer Kagan
dkk. Pembelajaran kooperatif tipe time token merupakan varian dari model
pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural yang menekankan
pada kemampuan ketrampilan sosial.
Lie (2005:55-73) mengemukakakn beberapa metode pembelajaran lain yang
termasuk pembelajaran kooperatif untuk mengembangkan nilai-nilai sosial,
diantaranya: a). mencari pasangan (make to match), dikembangkan oleh Lorna
Curran tahun 1994: b). bertukar pasangan dan berpikir berpasangan berempat
yang dikembangkan dari teknik think-pair-share dari Frank Lyman dan think-
pair-square dari Spencer Kagan tahun 1992: e). dua tinggal dua tamu (two stay to
stary) yang dikembangakan oleh Spencer Kagan: f). keliling kelompok: h)
kancing gemerincing yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992): dan i)
lingkaran kecil lingkaran besar yang di kembangkan oleh Spencer Kagan 1992):
j). Jigsaw yang dikembangkan oleh Aronson.
30
Tabel 2.2
Perbandingan Pendekatan dalam Pembelajaran Kooperatif
Variabel Tipe STAD Tipe Jigsaw Tipe
Investigasi
Pendekatan
Struktural
Tujuan
Kognitif
Informasi
akademik
sederhana
Informasi
akademik
sederhana
Informasi
akademik
tingkat tinggi
Informasi
akademik
sederhana
Tujuan
Sosial
Kerja kelompok
dan kerja sama
Kerja kelompok
dan kerja sama
Kerja sama
kelompok
kompleks
Ketrampilan
kelompok
dan
ketrampilan
social
Struktur Tim Kelompok
belajar heterogen
dengan 4-5
orang anggota
Kelompok belajar
heterogen
dengan5-6
anggota
menggunakan pola
kelompok “asal”
dan kelompok
“ahli”
Kelompok
belajar
heterogen
dengan 5-6
orang anggota
kelompok
Bervariasi
berdua,
bertiga
kelompok
dengan 4-5
orang
anggota
Pemilihan
topik
Biasanya guru Biasanya guru Biasanya siswa Biasanya
guru
Tugas utama Siswa dapat
menggunakan
lembar kegiatan
dan saling
membantu untuk
menuntuskan
materi belajarnya
Siswa
mempelajari
materi dalam
kelompok “ahli”
kemudian
membantu
anggota kelompok
“asal” mengkaji
materi
Siswa
menyelesaikan
inkuiri komleks
Siswa
mengerjakan
tugas-tugas
yang
diberikan
secara sosial
dan kognitif
Penilaian Tes mingguan Bervariasi dapat
berupa tes
mingguan
Proyek menulis
laporan dapay
menggukana
tes essay
Bervariasi
Pengakuan Lembar
pengakuan dan
publikasi lain
Publikasi lain Lembar
pengakuan dan
publikasikan
lain
Bervariasi
2.1.13 Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token
Salah satu pendekatan struktural dalam pembelajaran kooperatif yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan meningkatkan perolehan
hasil belajar adalah pembelajaran kooperatif tipe time token. Menurut Suprijono
31
(2009: 133), tipe pembelajaran time token dimaksudkan sebagai alternatif untuk
mengajarkan ketrampilan sosial, yang bertujuan untuk menghindari siswa
mendominasi atau siswa diam sama sekali, dan menghendaki siswa saling
membantu dalam kelompok kecil, dan lebih dicirikan pada penghargaan
kooperatif daripada individu.
Menurut Yatim Riyanto (2002: 270), Time Token merupakan tipe dari
pendekatan struktural dari beberapa model pembelajaran kooperatif, untuk
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu
pelajaran, dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Time
Token pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok, dimana ciri
khasnya adalah setiap siswa diberi kupon bicara ±10 atau 15 detik waktu
berbicara. Apabila siswa telah menghabiskan kuponnya, siswa itu tidak dapat
berbicara lagi. Sudah barang tentu, ini menghendaki agar siswa yang masih
pegang kupon untuk ikut berbicara dalam diskusi itu. Cara ini menjamin
keterlibatan semua siswa. Cara ini juga merupakan upaya yang sangat baik untuk
meningkatkan tanggungjawab individual dalam diskusi kelompok.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe Time Token adalah suatu model pengajaran guru dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif, yang secara tekniknya dapat membantu
siswanya belajar di setiap mata pelajaran, dimana siswa bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil, saling membanu belajar satu sama lainnya, dengan
beranggotakan 2-6 siswa atau lebih, dengan memberikan kupon bicara pada siswa
masing-masing kelompok. Patokan bicara disini adalah bicara sesuai dengan
materi yang dibahas atau materi yang dipresentasikan, bukan bicara yang asal-
asalan yang tidak ada hubungannya dengan materi. Kemudian secara acak guru
menunjuk salah satu kelompok untuk menjawab atau mempresentasikan di depan
kelas, dengan menggunakan kupon bicara tersebut.
2.1.14 Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token
Menurut Yatim Riyanto (2002: 270), pembelajaran yang menggunakan
model kooperatif tipe Time Token memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
32
a) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi
belajarnya.
b) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang
dan rendah.
c) Membagi tugas dan tanggungjawab bersama.
d) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
e) Pemberian kupon bicara.
2.1.15 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token
Setiap model pembelajaran memiliki langkah-langkah yang khas, begitupun
model pembelajaran kooperatif tipe Time Token. Langkah-langkah pembelajaran
tersebut dirumuskan secara terstruktur, sehingga penerapannya tetap dalam jalur
yang benar. Menurut Suyatno (2009: 51) langkah-langkah pembelajaran
kooperatif tipe Time Token adalah sebagai berikut:
a) Guru membagi siswa ke dalam kelompok yang beranggotakan 2-6 orang
dan kepada setiap anggota diberikan kupon bicara ±10 atau 15 detik.
b) Guru memberi pertanyaan atau penugasan kepada siswa.
c) Setiap siswa berpikir bersama dan siswa menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan itu, dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya
mengetahui jawaban itu.
d) Guru menunjuk salah satu anggota kelompok untuk menjawab pertanyaan
atau memberi pendapat kepada kelompok lain.
e) Bila telah selesai bicara, kupon yang dipegang siswa diserahkan dan setiap
berbicara satu kupon.
f) Siswa yang telah habis kuponnya tidak boleh bicara lagi, yang masih
pegang kupon harus bicara sampai kuponnya habis.
2.1.16 Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang alam
semesta, dengan menggunakan metode-metode sains. IPA membahas tentang
gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis, yang didasarkan pada hasil
33
percobaan dan pengamatan, yang dilakukan oleh manusia. Powler (dalam
Winataputra, 1999: 122) mengatakan bahwa IPA merupakan ilmu yang
berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan sistematis, yang tersusun
secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan
eksperimen.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 untuk SD/MI
dijelaskan mengenai pembelajaran IPA, yaitu (BNSP: 13):
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga
merupakan proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekita, serta prospek
pembangunan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat, sehingga
dapat membantu peserta didik memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam sekitar.
2.1.17 Fungsi dan Tujuan Pembelajaran IPA di SD
Menurut Depdiknas (2003: 3), pada prinsipnya, pembelajaran IPA harus
dirancang dan dilaksanakan sebagai cara “mencari tahu dan cara
mengerjakan/melakukan yang dapat membantu siswa memahami fenomena alam
secara mendalam. Pada tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran
Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat) yang diarahkan pada
pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan
konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Berdasarkan fungsi yang demikian, maka menurut Depdiknas (2006: 27)
tujuan pembelajaran IPA di SD/MI adalah sebagai berikut:
1) Menanamkan pengetahuan dan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dalam
kehidpuan sehari-hari;
34
2) Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positif terhadap IPA dan teknologi;
3) mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan;
4) Ikut serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam;
5) Mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan saling mempengaruhi
antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat; dan
6) Menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan
Tuhan.
Selanjutnya menurut BNSP (2007: 13), mata pelajaran IPA di SD/MI
bertujuan agar peserta didik memiliki kompetensi dasar, yaitu:
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi,
dan masyarakat.
4) Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam.
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam semesta dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
2.2 Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Ana Ivar Irianti. 2012, dengan judul
penelitian “Penerapan Metode Pembelajaran Time Token Arend Pada Siswa
VIII A SMPN 1 Prambanan Dalam Upaya Meningkatkan Keaktifan dan
Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan”. Penelitian ini bertujuan untuk
35
mengetahui upaya peningkatan keaktifan dan prestasi belajar siswa kelas VIII A
di SMP N 1 Prambanan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Time Token Arend dalam pembelajaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian tindakan kelas (PTK). Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe Time Token Arend pada mata pelajaran PKn
dapat meningkatkan keaktifan siswa dan prestasi belajar siswa. Hal ini terbukti
dari hasil observasi peningkatan keaktifan siswa pada siklus II. Pada siklus I,
siswa yang melakukan keaktifan mencapai kriteria cukup, yaitu sebanyak 20
siswa, dimana skor yang diperoleh masih di bawah 70. Sedangkan yang mencapai
kriteria baik 16 siswa, dengan mendapatkan skor minimal 70. Pada siklus II yang
mencapai kriteria cukup sebanyk 8 siswa, dan mendapat kriteria baik 27 siswa.
Dari data tersebut dapat diliha adanya peningkatan, dimana pada siklus I yang
mendapat kriteria cukup dari 20 menurun menjadi 9 siswa pada siklus II;
sedangkan yang mendapatkan kriteria baik dari siklus I sebanyak 16 siswa, naik
menjadi 28 siswa. Dari hasil tersebut dapat dikatakan keaktifan siswa meningkat,
karena telah memenuhi kriteria minimal 25 siswa dengan memperoleh skor
minimal 70. Peningkatan hasl belajar siswa pada mata pelajaran PKn dari tahap
siklus I, rata-rata yang diperoleh 72,08 naik menjadi rata-rata 81,94 pada tahap
siklus II.
Penelitian yang dilakukan oleh Yeni Sendiko. 2012, dengan judul penelitian
“Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Time Token Pada Mata
Pelajaran PKn Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN Mangunsari 03
Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran Time Token pada Mata
Pelajaran PKn Terhadap hasil belajar siswa kelas IV SDN Mangunsari 03 Salatiga
Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil uji hipotesis penelitian menunjukan
bahwa hasil belajar siswa kelas eksperimen yang menggunakan penerapan
pembelajaran Time Token hasilnya lebih baik dari pada kelas kontrol yang
menggunakan model pembelajaran konvesional dala pembelajaran. Hasil ini dapat
menunjukan bahwa penggunaan model pembelajaran Time Token berpengaruh
36
terhadap hasil belajar siswa kelas IV SDN Telogo (kelas eksperimen) pada mata
pelajaran PKN dengan materi pokok bahasan Globalisasi.
Meskipun sama-sama melakukan penelitian dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe time token, namun demikian ada beberapa perbedaan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang akan
dilaksanakan pertama subjek penelitian. Penelitian pertama menggunakan subjek
penelitian yaitu siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan menggunakan
subjek siswa SMP tentu akan memberikan perbedaan pada hasil penelitian.
Logikanya adalah siswa SMP telah memiliki pengetahuan yang lebih banyak baik
tentang pelajaran maupun tentang ketrampilan sosial. Kedua, mata pelajaran.
Penelitian-penelitian terdahulu tidak menggunakan mata pelajaran IPA sebagai
mata pelajaran yang akan diajarkan dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe time token. Ketiga, lokasi penelitian. Meskipun penelitian kedua
menggunakan subjek yang sama yaitu siswa kelas 4 SD, namun perbedaan lokasi
penelitian membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Pemikirannya adalah mesikpun penelitian dilaksanakan sama-sama pada siswa
kelas 4 SD, namun dengan perbedaan lokasi tentu juga berimplikasi pada
perbedaan sumber daya dari kedua subyek tersebut, baik itu sumber daya sekolah
(guru dan fasilitas) maupun sumber daya peserta didiknya itu sendiri.
2.3 Kerangka Berpikir
Model pembelajaran kooperatif sesungguhnya merupakan model
pembelajaran dengan menekankan pada kerjasama dan keberhasilan kelompok,
namun di dalamnya, keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh
tanggungjawab individu sebagai anggota dalam kelompok bersangkutan. Karena
itu model pembelajaran ini tepat diterapkan pada situasi belajar yang menuntut
keaktifan belajar siswa. Hal ini didukung oleh kajian teoretis bahwa model
pembelajaran ini sangat menekankan kerjasama antar anggota kelompok, tetapi
juga keaktifan anggota kelompok sebagai bentuk tanggungjawab, demi
keberhasilan kelompok tersebut. Selain pembuktian teoritis, dua penelitian
terdahulu juga membuktikan bahwa model pembelajaran ini ternyata mampu
37
meningkatkan keaktifan belajar dan juga hasil belajar siswa. Dengan demikian
penelitian kali ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token
dengan pemikiran yang sama dengan kajian teoretis maupun dengan hasil
penelitian sebelumnya, yakni bahwa model pembelajaran ini dapat meningkatkan
keaktifan maupun hasil belajar siswa.
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian
ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token dapat
meningkatkan keaktifan belajar dan hasil belajar IPA materi perubahan
kenampakan bumi siswa kelas 4 SDN Salatiga 09 Semester II Tahun Ajaran
2012/2013.