BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil...

25
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajar Menurut Nana Sudjana (2011: 22), hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart Kingsley dalam bukunya menurut Nana Sudjana, (2011: 22) dibedakan menjadi tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Ketiga hasil belajar (kemampuan) itulah yang harus dimiliki oleh siswa. Hasil belajar ini dapat dilihat dari dua sisi siswa, Sementara menurut Lindgren dalam Agus Suprijono (2011: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Agus Suprijono (2011: 5-6) bahwa hasil belajar itu berupa: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Senada dengan Gagne, Bloom dalam Agus Suprijono (2011: 6-7) mengemukakan bahwa hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysys (menguraikan, menentukan hubungan), sysnthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru, evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization (organisasi), Characterization (karakterisasi). Domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Dari beberapa keseluruhan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah Hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas, menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang didapat dari skor perolehan siswa yang berupa aspek kognitif dengan menggunakan alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hasil Belajar

Menurut Nana Sudjana (2011: 22), hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.

Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart

Kingsley dalam bukunya menurut Nana Sudjana, (2011: 22) dibedakan menjadi

tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1). Keterampilan dan kebiasaan,

(2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Ketiga hasil belajar

(kemampuan) itulah yang harus dimiliki oleh siswa. Hasil belajar ini dapat dilihat

dari dua sisi siswa, Sementara menurut Lindgren dalam Agus Suprijono (2011: 7)

hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal

yang sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Agus Suprijono (2011: 5-6)

bahwa hasil belajar itu berupa: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi

kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.

Senada dengan Gagne, Bloom dalam Agus Suprijono (2011: 6-7)

mengemukakan bahwa

hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.

Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension

(pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan),

analysys (menguraikan, menentukan hubungan), sysnthesis

(mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru,

evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima),

responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization

(organisasi), Characterization (karakterisasi). Domain psikomotor

meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga

mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan

intelektual.

Dari beberapa keseluruhan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar adalah Hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dalam mengikuti

pembelajaran di kelas, menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi

yang didapat dari skor perolehan siswa yang berupa aspek kognitif dengan

menggunakan alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

8

dalam bentuk skor, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

pembelajaran berupa tanya jawab, diskusi, presentasi dan aspek psikomotorik

yang menunjukkan siswa dalam menyimak kompetensi yang diberikan guru

dalam kegiatan pembelajaran berlangsung.

Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam mencapai

suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas

pengukuran. Menurut Endang Poerwanti (2008: 1-4), secara sederhana

pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk

memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga

hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Alat untuk melakukan pengukuran

ini dapat berupa alat ukur standar seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya,

termasuk ukuran-ukuran subyektif yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal,

“sebentar lagi”, dan lain-lain. Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan

pengukuran (measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui

pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan

yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru menaksir prestasi siswa dengan

membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati kinerja

mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan menggunakan indera mereka

seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut

Zainul dan Nasution (2001) pengukuran memiliki dua karakteristik utama yaitu:

1) penggunaan angka atau skala tertentu; 2) menurut suatu aturan atau formula

tertentu. Arikunto dan Jabar (2004) menyatakan pengertian pengukuran

(measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran

tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti

suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan

satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif.

Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut

dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan

untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan

wawancara, skala sikap dan angket.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

9

Berdasarkan pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk

mengukur hasil belajar siswa digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik

yang dapat digunakan dalam asesmen pembelajaran untuk mengukur hasil belajar

siswa dengan menggunakan teknik tes dan non tes, antara lain:

1. Tes

Secara sederhana tes dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang

harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-

tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu

aspek tertentu dari peserta tes dan dalam kaitan dengan pembelajaran aspek

tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi (Endang Poerwanti, dkk. 2008:4-

3). Menurut Ebster’s Collegiate dalam Arikunto, 1995 (Endang Poerwanti, dkk.

2008:4-4), Tes merupakan serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang

digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan

atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes menurut Nana Sudjana

(2008:35) sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan

kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan),

dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan).

Jadi kesimpulan dari pengertian tes adalah suatu alat yang digunakan untuk

mengukur kemampuan siswa dan menggunakan langkah – langkah dan kriteria -

kriteria yang sudah ditentukan. Berikut ini adalah teknik tes menurut (Endang

Poerwanti, 2008, 4-9) :

a. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan

1. Tes Tertulis

Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal

maupun jawabannya

2. Tes Lisan

Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response) semuanya

dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki rambu-

rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan

biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrumen

asesmen yang lain.

3. Tes Unjuk Kerja

Pada Tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai

indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

10

b. Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya

1. Tes Jawaban Pendek

Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes

diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esai, tetapi

memberikan jawaban-jawaban pendek dalam bentuk rangkaian kata-kata

pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.

2. Tes objektif

Tes objektif adalah adalah tes yang keseluruhan informasi yang

diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karenanya sering pula

disebut dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).

2. Non Tes

Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif

dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek

kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Endang Poerwanti, 2008:3-19 – 3-

31), yaitu:

1. Observasi

Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat

dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen

yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar

peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh

pendidik tanpa menggunakan instrumen.

2. Komposisi dan Presentasi

Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya.

3. Proyek Individu dan Kelompok

Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat digunakan

untuk individu maupun kelompok

Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara

pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian

portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan

pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas

instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan

menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau

mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi,

pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir

pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian

tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah

valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya

diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

11

penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, menyimak,

tanya jawab, diskusi, presentasi dan LKS.

Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat kisi-

kisi. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau

matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik

atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang

kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman

menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Dalam menyusun kisi-kisi

soal menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) menjelaskan bahwa

Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal

yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus

memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi

dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singkat dan

jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh

Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll

(2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan

(C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi

(C6).

Dalam penyusunan kisi-kisi maka untuk itu Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran IPA kelas IV semester 2 berdasarkan

Permendiknas nomor 22 tahun 2006. Adapun Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Standar Kompetensi :

4. Memahami gaya dapat mengubah gerak dan/atau bentuk suatu benda

Kompetensi Dasar :

7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat

mengubah gerak suatu benda.

Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau

evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation dalam bahasa Inggris. Menurut

Davies dalam Dimyati dan Mudjiono (2006:190-191) mengemukakan bahwa

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

12

evaluasi merupakan proses sederhana memberikan/menetapkan nilai kepada

sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan masih

banyak yang lain. Sedangkan menurut Nana Sudjana dalam Dimyati dan

Mudjiono (2006:191) pengertian evaluasi dipertegas lagi dengan batasan sebagai

proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan

suatu kriteria tertentu. Naniek Sulistya Wardani dkk, (2010:2.8) mengartikannya,

bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan

kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran

tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan

hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau

ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria tersebut dapat berupa proses

atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM (Kriteria Ketuntasan

Minimal), atau batas keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa

kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain.

Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat

ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan

pengukuran. Kriteria tersebut dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang

dipersyaratkan seperti KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), atau batas

keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk

kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas

kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak

disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria

(PAP/PAK), sedangkan kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran

dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut

dengan Penilaian Acuan Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR).

Di dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun

2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan

minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh

satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok

mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas

ambang kompetensi.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

13

2.1.2 Pendekatan Contextual Teaching Learning dengan Menemukan Sendiri

Pendekatan pembelajaran merupakan sudut pandang terhadap proses

pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang

sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan,

dan melatari metode pembelajaran.

Pembelajaran kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru

mengkaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan

mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari- hari. Pengetahuan dan

ketrampilan siswa diperolah dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan

dan ketrampilan baru ketika ia belajar ( muslich, 2009: 40-41)

Pendapat lain mengenai pembelajaran kontekstual (Johnson, 20011: 64)

yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk

menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa

untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok,

menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai

standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik. Belajar kontektual akan terjadi

ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang telah diajarkan

berkaitan dengan masalah nyata. Pembelajaran kontekstual pada intinya adalah

melibatkan sumber maupun terapan materi pembelajaran.Masalah kontekstual

bukan hanya masalah yang dialami siswa saja, namun dapat difikir, dibayangkan

dan dirasakan juga termasuk masalah kontekstual.

Menurut Zahorik (Nurhadi,2002:7) ada lima elemen yang harus

diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu : 1)Pengaktifan

pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), 2) Pemerolehan pengetahuan

baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu,

kemudian memperhatikan detailnya. 3) Pemahaman pengetahuan (understanding

knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b)

melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan

atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, 4)

Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), 5)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

14

Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan tersebut.

Departemen Pendidikan Nasional (2003:5) mengemukakan bahwa

pembelajaran CTL (Contextual Teaching Learning) adalah konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia

nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan

melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu : konstruktivisme,

bertanya, menemukan (inkuiri), masyarakat belajar, permodelan dan penilaian

sebenarnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Contextual

Teaching Learning merupakan sebuah model pembelajaran yang dapat digunakan

oleh guru dalam mencapai tujuan pembelajaran dimana dalam pelaksanakannya

guru membantu siswa memahami makna dalam materi yang dihubungkan dengan

kontak kehidupan sehari-hari secara nyata. Sehingga materi pembelajaran dapat

diserap oleh siswa dengan baik.

Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Dasar

Pendekatan Contextual Teaching Learning mempunyai tujuh komponen utama

yaitu; 1) Konstruktivisme; 2) Menemukan Sendiri (inkuiri); 3) Bertanya

(Questioning); 4) Masyarakat belajar (Learning Comumnity); 5) Permodelan; 6)

Refleksi; 7) Penilaian yang sebenarnya.

Dalam ketujuh komponen pendekatan Contextual Teaching Learning

peneliti mengambil salah satu dari ketujuh komponen tersebut yaitu Menemukan

sendiri. Arti menemukan sendiri dalam Pembelajaran Contextual Teaching

Learning adalah Suasana pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara

langsung untuk menemukan sendiri konsep materi yang diajarkan. Jadi, siswa

mencari sesuatu sampai tingkatan “yakin” (percaya). Tingkatan ini dicapai

melalui dukungan fakta, analisis, interpretasi, dan pembuktiannya. Dalam

pendidikan formal itu merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk

menguasai cara belajar untuk belajar mandiri di kemudian hari. Untuk itu, siswa

dilatih untuk berfikir kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

15

dengan sedikit batuan dengan guru sebagai mediator. Peranan guru dalam

membimbing proses belajar mengajar siswa yaitu guru harus membimbing dan

membantu siswa untuk mengidentifikasi pertanyaan, masalah, membantu siswa

dalam menemukan sumber informasi dan membimbing siswa melakukan

penyelidikan. Misalnya menyiapkan tugas, masalah yang akan dipecahkan oleh

siswa, sebagai sumber informasi, jika diperlukan oleh siswa, dan membantu siswa

agar dapat secara mandiri merumuskan kesimpulan dan implikasi-implikasinya.

Strategi menemukan sendiri dalam proses pembelajaran adalah strategi

yang melibatkan siswa dalam tanya jawab, mencari informasi, dan melakukan

penyelidikan. Peranan siswa dalam Pendekatan Contextual Teaching Learning

dengan menemukan sendiri pada mata pelajaran IPA di SD antara lain :

a. Siswa aktif menggunakan cara belajar mereka sendiri.

b. Siswa bebas melakukan eksplorasi dan diberi kesempatan untuk

melakukan pemilihan alternatif pemecahannya.

c. Siswa dapat dikondisikan aktif belajar, ikut menentukan tujuan, isi, dan

cara belajar.

Pada penerapan Contextual Teaching Learning dengan menemukan sendiri

dalam pembelajaran IPA bahwa siswa akan belajar lebih bermakna apabila siswa

dilibatkan secara langsung dalam kehidupan nyata contohnya dalam materi

pelajaran tentang; Memahami perubahan kenampakan permukaan bumi dan benda

langit dan Memahami berbagai bentuk energi dan cara penggunaannya dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri siswa

akan mudah untuk menemukan konsep dan ketrampilan baru.

Berdasarkan kajian teori mengenai Contextual Teaching Learning dengan

menemukan sendiri maka peneliti memaparkan langkah-langkah inkuiri menurut

beberapa ahli. Eggen & Kauchak dalam Trianto (2007: 141) menyatakan, ada

enam tahapan yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran dengan

menggunakan pendekatan inkuiri, yaitu:

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

16

1. Menyajikan Pertanyaan atau Masalah

Pada tahapan menyajikan pertanyaan atau masalah guru membimbing

siswa mengidentifikasi masalah dan masalah dituliskan di papan tulis.

Guru membagi siswa dalam kelompok.

2. Membuat Hipotesis

Pada tahapan membuat hipotesis guru memberikan kesempatan pada siswa

untuk curah pendapat dalam bentuk hipotesis. Guru membimbing siswa

dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan

memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan.

3. Merancang Percobaan

Pada tahapan merancang percobaan guru memberikan kesempatan pada

siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis

yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-

langkah percobaan.

4. Melakukan Percobaan Untuk Memperoleh Informasi

Pada tahapan ini guru membimbing siswa mendapatkan informasi melalui

percobaan.

5. Mengumpulkan dan Menganalisis Data

Pada tahapan mengumpulkan dan menganalisis data guru memberi

kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan

data yang terkumpul.

6. Membuat Kesimpulan

Tahap terakhir adalah tahap membuat kesimpulan dimana siswa diarahkan

untuk menemukan jawaban atau kesimpulan yang paling tepat atas

permasalahan yang diajukan berdasarkan analisis data sebelumnya.

Dari enam langkah-langkah menurut Eggen & Kauchak, Sanjaya

(2008:202) juga mengungkapkan bahwa langkah-langkah pembelajaran

menemukan (inkuiri) itu meliputi: orientasi, merumuskan masalah, merumuskan

hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.

Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

17

1. Orientasi

Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim

pembelajaran yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini

adalah: Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat

dicapai oleh siswa; menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus

dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan

langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah

merumuskan merumuskan masalah sampai dengan merumuskan

kesimpulan; menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini

dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.

2. Merumuskan masalah

Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu

persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah

persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-

teki dalam rumusan masalah tentu ada jawabannya, dan siswa didorong

untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang

sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui proses

tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai

upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.

3. Merumuskan hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji.

Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Salah satu

cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan

menebak (berhipotesis) pada setiap anak adalah dengan mengajukan

berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat

merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai

perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.

4. Mengumpulkan data

Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan

untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri,

mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

18

pengembangan intelektual. Proses pemgumpulan data bukan hanya

memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga

membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi

berpikirnya.

5. Menguji hipotesis

Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima

sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan

pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan

kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan

bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh

data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Merumuskan kesimpulan

Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang

diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai

kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa

data mana yang relevan.

Setelah langkah-langkah menurut Eggen, Kauchak dan Sanjaya adapun

langkah-langkah pembelajaran menemukan (inkuiri) Menurut Komalasari,

Kokom (2011: 73-74) antara lain:

1. Merumuskan masalah

Pembelajaran biasanya dimulai dengan pertanyaan pembuka yang

memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan satu

fenomena. Siswa diberi kesempatan bertanya, yang dimaksudkan sebagai

pengarah kepertanyaan inti yang akan dopecahkan oleh siswa. Selanjutnya,

guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus

dipecahkan oleh siswa.

2. Mengamati atau melakukan observasi lapangan.

Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi

pendukung. Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari

sumber atau objek yang diamati.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

19

3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,bagan,

tabel dan karya lain.

4. Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman

sekelas, guru, atau audien lainya karya siswa disampaikan kepada teman

sekelas atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan. Bertanya

jawab dengan teman. Memunculkan ide-ide baru.

5. Melakukan refleksi

Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya didinding sekolah,

majalah dinding, majalah sekolah, dan sebagainya.

Sejalan dari ketiga teori di atas, langkah-langkah pembelajaran

menemukan (inquiri) menurut Bruce Joyce dan Marssha Weil (sunaryo. 1989: 99-

100) adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama, Guru memberi permasalahan dan menjelaskan prosedur

pelaksanaan inkuiri kepada siswa. Pelaksanaan inkuiri dapat dimulai

dengan masalah, ide, atau pikiran yang sederhana, utamanya adalah siswa

mendapatkan pengalaman proses berfikir secara inkuiri.

2. Tahap kedua, Verifikasi yaitu siswa mengumpulkan data atau informasi

tentang peristiwa/ masalah yang telah mereka lihat atau alami, dengan

mengajukan pertanyaan sedemikian rupa sehingga guru hanya menjawab

“ya” atau “tidak”.

3. Tahap ketiga, Melakukan eksperimentasi, siswa mengajukan faktor atau

unsur baru kedalam permasalahan agar dapat melihat apakah peristiwa itu

terjadi secara berbeda. Selanjutnya guru harus memperdalam proses

inkuiri siswa dengan memperluas jenis-jenis informasi yang diperoleh.

4. Tahap keempat, Guru meminta siswa untuk mengorganisir data dan

menyusun suatu penjelasan. Artinya data tersebut serelah diorganisir

dideskripsikan sehingga menjadi suatu paparan hasil temuannya.

5. Tahap kelima, Siswa diminta untuk menganalisis proses inkuiri. Ananlisis

dari siswa ini penting karena menjadi dasar pelaksanaan dari inkuiri

berikutnya, artinya guru harus memperbaiki kekurangan-kekurangan atau

kesalah yang telah dilakukan.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

20

Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah

pembelajaran dengan menggunakan inkuiri yang sudah termodifikasi, yaitu

Tahap penyajian masalah, Tahap membuat hipotesis, Tahap merancang dan

melakukan percobaan, Tahap Penyajian Hasil Percobaan, Tahap Penarikan

Kesimpulan.

1. Tahap penyajian masalah

a. Siswa dibagi dalam 6 kelompok yang anggotanya 6-7 siswa.

b. Setiap kelompok menerima lembar permasalahan yang berbeda.

c. Siswa menyampaikan persepsi tentang permasalahan yang dihadapi.

2. Tahap membuat hipotesis

a. Siswa dalam kelompok menyimak materi yang diberikan dan membuat

hipotesis.

3. Tahap melakukan percobaan

a. Siswa dalam kelompok melakukan percobaan gaya gerak suatu benda

dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah percobaan yang akan

dilakukan siswa antara lain:

1) Guru dan siswa menyiapkan alat dan bahan percobaan, antara

lain: bola, meja, jendela kelas, kursi, buku pelajaran, bolpoin atau

pensil.

2) Guru membagi masalah yang akan dilakukan dalam percobaan

kepada setiap kelompok.

3) Guru menjelaskan aturan dalam melakukan setiap percobaan.

4) Siswa mengambil alat dan bahan yang dibutuhkan dalam

melakukan percobaan.

5) Setiap kelompok melakukan kegiatan percobaan. Guru menjadi

fasilitator.

b. Kelompok yang sudah melakukan percobaan itu berdiskusi (pemecahan

masalah) dan mengutarakan hasil pengamatannya untuk disimpulkan.

c. Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk menyimpulkan bahwa gaya

dapat mempengaruhi gerak suatu benda.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

21

4. Tahap Penyajian Hasil Percobaan

a. Siswa mempresentasikan hasil percobaan tentang gaya dapat

mempengaruhi gerak suatu benda gaya gerak yang ada disekitar

lingkungan siswa.

5. Tahap Penarikan Kesimpulan

a. Siswa membuat kesimpulan dari materi pelajaran yang telah dipelajari.

b. Siswa dan guru melakukan refleksi mengenai materi yang telah

dipelajari.

2.1.3 Pembelajaran IPA

a. Latar Belakang Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu

tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan

pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat

menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam

sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam

kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian

pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan

memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri

(menemukan sendiri) dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk

memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan

pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum

KTSP (Depdiknas RI No. 22, 2006) bahwa “IPA berhubungan dengan cara

mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan

kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga

merupakan suatu proses penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang

bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala

alam tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

22

faktual. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk

menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual.

IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan

manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.

Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk

terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran

Salingtemas (Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat) yang diarahkan

pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui

penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.

Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific

inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah

serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh

karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman

belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan

proses dan sikap ilmiah..

b. Tujuan Pembelajaran IPA

Pembelajaran IPA juga memiliki beberapa tujuan pembelajaran bagi

peserta didik. Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah

Dasar dan MI oleh Refandi (2006 : 37) bahwa mata pelajaran IPA di SD/MI

memiliki beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,

teknologi dan masyarakat.

Menurut Sumantri. (2001: 33) juga menyebutkan bahwa Tujuan

pembelajaran IPA bagi peserta didik agar peserta didik memiliki berbagai

kemampuan. Kemampuan tersebut diantaranya sebagi berikut:

1. Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan

keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

23

2. Mengembangkan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat di

terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,

teknologi, dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,

memecahkan masalah dan membuat keputusan.

Kesimpulan dari beberapa tujuan IPA yaitu belajar IPA tidak hanya

menimbun pengetahuan, tetapi harus dikembangkan serta diaplikasikan kedalam

bentuk yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

c. Proses Belajar Mengajar IPA

Proses dalam pengertian disini merupakan interaksi semua komponen atau

unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling

berhubungan (inter independent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan (Usman,

2000:5).

Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu

berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sesuai

dengan yang diutarakan Burton bahwa seseorang setelah mengalami proses

belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya,

keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa,

dari tidak mengerti menjadi mengerti. (Usman, 2000: 5).

Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggungjawab

moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam

kegiatan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan

anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar.

Proses belajar mengajar merupakan suatu inti dari proses pendidikan

secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peran utama. Proses belajar

mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru

dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi

edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

24

antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses

belajar mengajar (Usman, 2000: 4).

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar

IPA meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan

kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut untuk mencapai tujuan yang

optimal.

d. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA

Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang

standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam

Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang

secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan

kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk

membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang

difasilitasi oleh guru. Secara rinci Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

untuk mata pelajaran IPA di SD yang diitujukan bagi siswa kelas IV, Semester 2

disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran IPA Sekolah

Dasar Negeri Salatiga 12 kelas IV semester 2

tahun ajaran 2011/2012

Kelas IV, Semester 2

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

7. Memahami gaya

dapat mengubah

gerak dan/atau

bentuk suatu benda

7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya

(dorongan dan tarikan) dapat mengubah gerak

suatu benda

7.2 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya

(dorongan dan tarikan) dapat mengubah bentuk

suatu benda

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

25

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian Eka Deny Wahyu Saputra. 2011 yang berjudul Upaya

meningkatkan Hasil Belajar Siswa melalui pendekatan Contextual Teaching

Learning tentang cahaya pada pelajaran IPA kelas V semester II SDN I

Karanggeneng Tahun ajaran 2010/ 2011. Menunjukkan bahwa penelitian

dilakukan selama dua siklus, pada siklus I menunjukkan siswa yang tuntas

sebanyak 14 (70%) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 6 siswa (30%)

sedangkan pada siklus II hasil penelitian menunjukkan siswa yang tuntas

sebanyak 18 siswa (90%) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 2 siswa (10%).

Kelebihan yang dicapai dalam penelitian ini adalah keberhasilan dalam melatih

siswa untuk bekerjasama dengan teman atau berkelompok, menjadikan suasana

pembelajaran lebih efektif dan melatih siswa untuk berargumen antar sesama

teman. Kekurangan dalam penelitian ini adalah masih perlunya bimbingan yang

diberikan karena yang diberikan bimbingan adalah bimbingan secara individu

juga bimbingan secara berkelompok. Kelemahan yang lain adalah penelitian ini

diperlukan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga siswa saat melakukan

percobaan dan menulis hasil kesimpulan tidak tergesa-gesa sehingga diperlukan

pengaturan waktu yang baik agar hasil belajar tercapai.

Penelitian Rubiyatun. 2010. Yang berjudul Penggunaan Pendekatan

Contextual Teaching dan Learning untuk meningkatkan hasil belajar

matematika siswa kelas IV SD Negeri Meger kecamatan Cepu Kabupaten

Klaten Tahun pelajaran 2009/ 2010, dapat dilihat dari nilai akhir dan nilai rata-

rata kelas yang mengalami peningkatan dari siklus I nilai rata-rata 74, siklus II

nilai rata-rata 84. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siklus I dan II terbukti

terjadi peningkatan hasil belajar dengan pendekatan contextual teaching learning.

Kelebihan yang dicapai dari penelitian ini adalah peningkatan tiap siklus yang

signifikan karena guru melatih siswa untuk lebih aktif dalam berdiskusi dan

menuangkan ide dalam memcahkan masalah dari hasil percobaan sedangkan

kelemahannya siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk

mengikuti proses pembelajaran

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

26

Penilitian Imam Triyanto 2011. Yang berjudul Upaya meningkatkan hasil

belajar IPS tentang kegiatan perekonomian masyarakat melalui pendekatan

kontekstual pada siswa kelas IV semester II SD Negeri karanglo cilongok

Banyumas 2010/2011 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kwalitas belajar,

setelah dilakukan tindakan pada siklus ke I mencapai 57,1% dan siklus ke II

mencapai 61,8%. Adapun observasi tindakan guru dalam pembelajaran

kontekstual pada siklus ke I 73%, dan pada siklus ke II 83%. Kelebihan yang

dicapai dalam penelitian ini bahwa pemerataan penguasaan materi dapat dicapai

dalam waktu yang lebih singkat karena kemampuan siswa yang sudah terbiasa

belajar dalam kelompok kelemahannya siswa yang aktif lebih condong dalam

melakukan percobaan, dengan tidak mengontrol jalannya diskusi sehingga hasil

data yang diperoleh dari diskusi tidak optimal.

Penelitian Muji Hartono. 2010. Yang berjudul Upaya peningkatan hasil

belajar IPS materi mengenal benua dengan menggunakan pendekatan

kontekstual bagi siswa kelas VI SD Negeri 7 Depok kecamatan Toroh

kabupaten Grobogan semester I tahun ajaran 2009/ 2010. Menunjukkan bahwa

penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada

mata pelajaran IPS kelas VI SD Negeri 7 Depok Tahun ajaran 2009/2010 pada pra

siklus, siklus ke II sebesar 37,5%, 69% dan 100%. Kelebihan yang dicapai dari

penelitian ini adalah kemampuan siswa cepat menangkap materi dari penjelasan

guru kemudian siswa bersama kelompok mudah dalam membuat hipotesis tentang

permasalahan yang dihadapinya sedangkan kelemahannya siswa tidak aktif dalam

proses belajarnya sehinggga dalam menulis kesimpulan siswa kesulitan.

Penelitian Supadmi. 2010. Yang berjudul Penggunaan pendekatan

pembelajaran kontekstual dalam upaya meningkatkan hasil belajar mata

pelajaran matematika pada meteri operasi hitung “KPK dan FPB” siswa kelas

VI SD Negeri 3 Dlimas kecamatan Ceper Kabupaten Klaten tahun Ajaran

2009/2010. Berdasarkan data tes siklus I setelah pelaksanaan tindakan dari 17

siswa kelas VI yang mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan

pendekatan pembelajaran kontekstual nilai rata-rata 72,65, sebanyak 12 siswa atau

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

27

70,59% siswa mampu mencapai standar KKM (6,5) yang ditetapkan 14 nilai

siswa 82,35% telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Hasil tes siklus II

setelah pelaksanaan tindakan , dari 17 siswa mampu mencapai standar KKM (6,5)

dan 15 siswa atau 88,23% telah memenuhi kriteria ketuntasan siswa. Kelebihan

yang dicapai dalam penelitian ini adalah keberhasilan siswa dalam

mengembangkan kerjasama, keberanian siswa dalam mengungkapkan pendapat,

serta melatih siswa untuk berpikir dan kritis dalam menanggapi permasalahan

yang diberikan guru. Sedangkan kekurangan dalam penelitian ini adalah perlunya

pengawasan guru terhadap proses pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran

berjalan dengan baik dan kondusif, perlunya bimbingan yang diberikan guru baik

bimbingan perseorangan maupun bimbingan pada kelompok, dan motivasi dari

guru kepada siswa perlu ditingkatkan agar dapat memunculkan ide-ide kreatif

untuk menemukan sendiri konsep yang telah diajarkan.

Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa pembelajaran yang

menggunakan pendekatan Contextual Teaching Learning dapat meningkatkan

hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar tersebut terlihat dalam pembelajaran

IPA, Matematika dan IPS. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar

karena dalam pendekatan ini menekankan kepada proses keterlibatan siswa

secara penuh untuk dapat menemukan sendiri konsep materi yang diajarkan

sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannnya dalam kehidupan

sehari-hari. Sehubungan dengan hal di atas, peneliti merasa perlu untuk

mengembangkan penelitian supaya pendekatan Contextual Teaching Learning

dapat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan

hasil belajar siswa.

Secara umum bahwa pendekatan Contextual Teaching Learning dapat

meningkatkan hasil belajar namun tidak semua siswa yang tuntas dalam

pembelajaran yang diajarkan hal ini bukan berarti tidak berhasilnya penerapan

pendekatan Contextual Teaching Learning namun dikarenakan dari faktor

siswanya sendiri kurang memperhatikan pada saat pembelajaran berlangsung, dan

juga dalam suasana pembelajaran guru belum melibatkan siswa aktif secara

langsung untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

28

2.3 Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Hubungan antara pendekatan pembelajaran dan CTL

menemukan sendiri.

Rutinitas pembelajaran yang berlangsung di kelas, adalah pembelajaran

yang berpusat pada guru. Guru mendominasi seluruh waktu pembelajaran dengan

menyampaikan materi IPA melalui metode ceramah. Akibatnya Pembelajaran

Guru

menyampaikan

materi ceramah

Pembelajaran

konvensional

(pembelajaran

Monoton)

Pendekatan

kontekstual dengan

menemukan sendiri

Pembelajaran IPA

KD 7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan

tarikan) dapat mengubah gerak suatu benda.

Siswa pasif,

mengantuk dan

bermain sendiri

Guru fasilitator

pendamping

Hasil belajar

Rendah

Siswa tidak berpikir

dan hanya

mendengarkan guru

ceramah

Hasil

belajar

siswa

tinggi

Pembelajaran CTL dengan menemukan

sendiri dengan langkah-langkah :

Siswa dibagi dalam 6 kelompok yang

anggotanya 6-7 siswa.

Setiap kelompok menerima lembar

permasalahan yang berbeda.

Siswa menyampaikan persepsi tentang

permasalahan yang dihadapi.

Siswa dalam kelompok menyimak materi

yang diberikan dan membuat hipotesis

Siswa dalam kelompok melakukan percobaan

gaya gerak suatu benda dalam kehidupan

sehari-hari.

Kelompok yang sudah melakukan percobaan

itu bekerja sama (pemecahan masalah) dan

mengutarakan hasil pengamatannya untuk

disimpulkan.

Siswa mempresentasikan hasil percobaan

gaya gerak suatu benda yang ada disekitar

lingkungan siswa.

Siswa membuat kesimpulan

Siswa dan guru melakukan refleksi

Penilaian hasil belajar:

Proses : Menyimak,

tanya jawab, diskusi,

presentasi dan LKS.

Produk : Tes Formatif

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

29

yang berlangsung siswa menerima materi pelajaran menjadi pasif. Pada waktu

guru menjelaskan materi pelajaran pada kondisi ini guru menyelipkan pertanyaan-

pertanyaan yang harus dijawab siswa sehingga respon siswa terhadap

pembelajaran yang dilakukan guru, adalah siswa tidak segera dapat peduli dengan

situasi yang ada baik yang diadakan oleh guru atau siswa yang lain, sehingga

siswa cenderung pasif, mengantuk dan bermain sendiri. Kondisi ini jika siswa

diberi pertanyaan atau tes, hasilnya tidak dapat mengerjakan secara optimal,

sehingga hasil belajar siswa yang diperoleh rendah.

Perubahan paradigma pembelajaran menuntut siswa aktif, agar

kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum 2006 dapat tercapai. Suatu

pembelajaran akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri

secara langsung dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan dapat menemukan

sendiri atau memahami sendiri konsep yang telah diajarkan yaitu dengan

mengalami langsung. Untuk mengatasi paradigma di atas, guru mencoba

menerapkan suatu teknik pembelajaran melalui pendekatan Contextual Teaching

Learning dengan menemukan sendiri. Pembelajaran Contextual Teaching

Learning dengan menemukan sendiri adalah pembelajaran dengan siswa aktif

berpartisipasi atau melibatkan diri secara langsung dalam proses pembelajaran

dengan guru hanya sebagai fasilitator siswa diharapkan dapat menemukan sendiri

atau memahami sendiri konsep yang telah diajarkan dalam kehidupan nyata

mereka. Menemukan sendiri (inkuiri) adalah pendekatan pembelajaran yang

terdiri atas lima tahapan yang digunakan untuk mereview fakta serta informasi

dasar yang digunakan untuk mengatur interaksi antar peserta didik. Kelima

tahapan dalam Contextual Taching Learning dengan menemukan sendiri (inkuiri)

adalah sebagai berikut:

1. Penyajian Masalah

Pembelajaran diawali dengan guru menyajikan pertanyaan atau masalah

bersamaan siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian guru

membimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah yang telah diberikan.

2. Membuat Hipotesis

Pada tahapan guru memberikan kesempatan pada siswa

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

30

untuk bekerja sama dalam kelompok untuk menjawab sementara

permasalahan yang telah diberikan. Guru kemudian membimbing siswa

dalam menentukan dugaan yang relevan dari permasalahan yang telah

diberikan kemudian untuk dilakukan percobaan

3. Melakukan Percobaan (LKS)

Pada tahapan ini guru memberikan kesempatan pada siswa untuk

menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan permasalahan yang akan

dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah

percobaan. Siswa melakukan percobaan untuk memperoleh informasi.

4. Menyajikan hasil percobaan

Pada tahapan menyajikan hasil dari percobaan guru memberi kesempatan

pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan datanya untuk

di presentasikan.

5. Penarikan kesimpulan

Tahap terakhir adalah tahap membuat kesimpulan dimana siswa diarahkan

untuk menemukan jawaban atau kesimpulan yang paling tepat atas

permasalahan yang diajukan berdasarkan analisis data sebelumnya.

Cara ini melibatkan siswa secara langsung untuk menemukan sendiri

konsep materi yang diajarkan, siswa akan konsentrasi dari apa yang dilakukan,

siswa akan tertarik dengan apa yang dilihat pada kejadian tersebut, siswa akan

memunculkan kreatifitasnya dalam mencari konsep materi yang telah diajarkan,

sehingga aktivitas siswa menjadi terekam dan siswa akan dapat

mengungkapkannya kembali aktivitas yang dilakukan dengan kreativitas-

kreativitas yang muncul. Hasil inilah yang diharapkan melalui pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching Learning dengan

menemukan sendiri. Hasil yang diharapkan adalah optimal. Oleh karena itu, untuk

mengukurnya keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, maka

dalam proses pembelajaran berlangsung akan dilakukan penilaian proses seperti:

Menyimak, tanya jawab, diskusi, presentasi, LKS dan tes formatif. Skor capaian

pengukuran ini akan menunjukkan kenaikan skor yang signifikan. Untuk itu, guru

perlu melakukan pemamantapan tindakan yaitu mengulang kembali dengan

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajarrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/816/3/T1_292008049_BAB II.pdf, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti

31

pendekatan Contextual Teaching Learning dengan menemukan sendiri agar

kompetensi yang diharapkan tercapai yaitu hasil belajar siswa optimal di atas

KKM yang ditentukan yaitu ≥ 90.

2.4 Hipotesis Penelitian

Dengan menggunakan Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)

dengan menemukan sendiri pada mata pelajaran IPA dapat meningkatkan hasil

belajar siswa di kelas IV SD Negeri Salatiga 12 Kecamatan Sidorejo Kota

Salatiga Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012 sebesar 90% dari seluruh siswa

mendapatkan nilai ≥ 90.