BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 2.1.1. Pengertian Autis “autism ...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. 2.1.1. Pengertian Autis “autism ...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep-konsep yang
berhubungan dengan permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini,
antara lain : penjelasan mengenai autisme, kemampuan bahasa reseptif,
DIR/floortime.
1.1. Autis
2.1.1. Pengertian Autis
Kata “autism” berasal dari kata auto yang berarti sendiri.
Penyandang autism seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autism
baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini
sudah ada sejak berabad-abad yang lampau. Dahulu dikatakan autism
merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autism masa kanak-
kanak ini dapat dikoreksi (Handojo, 2003).
Autis sering disebut gangguan spectrum autis (GSA) yaitu salah satu
jenis gangguan perkembangan yang berat pada masa kanak-kanak, ditandai
oleh gangguan kualitatif dibidang kemampuan interaksi sosial, kemampuan
berkomunikasi dan pola perilaku (American Psychiatric Association, 2000).
Menurut Hartono Pusponegoro (2003) autis adalah suatu sindrom
gangguan perkembangan dengan gejala kesulitan bicara, kurangnya kontak
mata, terisolasi dari lingkungan, tidak takut bahaya, mengulang-ulang hal
yang sama dan sering hiperktif. Surviana (2009) menyebutkan autis adalah
kelainan perkembangan yang luas dan berat dan mempengaruhi anak secara
mendalam. Sedangkan menurut Budiman (2002) mengatakan autis adalah
suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa autis adalah gangguan perkembangan yang kompleks pada anak
dengan gejala adanya gangguan interaksi sosial, gangguan bahasa dalam
berkomunikasi, dan pola perilaku. Anak yang terdiagnosa autis cenderung
mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi serta pola perilaku di mana
tingkah laku dan pikirannya suka memusatkan diri secara subjektif, dan
berulang-ulang.
2.1.2. Kriteria Diagnostik Autis
Kriteria diagnostic autis menurut DSM-IV (American Psychiatric
Association, 2007) adalah sebagai berikut :
a. Harus ada sedikitnya enam gejala dari 1, 2 dan 3 dengan minimal
dua indikasi dari gejala1 dan masing-masing satu indikasi dari
gejala 2 dan 3.
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.
Minimal harus ada dua indikasi di bawah ini :
9
a) Tidak mampu menjalani interaksi sosial yang cukup
memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka
kurang hidup, dan gerak-gerik kurang tertuju.
b) Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.
a. Tidak ada empati (tidak dapat merasakan apa yang
dirasakan orang lain).
c) Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan
emosional yang timbal balik.
2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal
harus ada satu dari indikasi di bawah ini :
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak
berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi
secara non-verbal.
a. Bila anak bisa bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk
komunikasi.
b. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-
ulang.
c. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan
kurang dapat meniru.
3) Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang
dalam perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada satu
dari indikasi di bawah ini :
a) Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang
sangat khas dan berlebihan.
b) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas
yang tidak ada gunanya.
a. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
c) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu
dari sebuah benda.
b. Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau
gangguan dalam bidang interaksi sosial, bicara dan berbahasa,
cara bermain yang monoton dan kurang variatif.
c. Bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan
Disintegratif masa kanak.
Beberapa perilaku yang nampak pada anak yang mengalami
gangguan autis antara lain diungkapkan oleh Dyah, P (2003) sebagai berikut
:
a. Dalam bidang penginderaan anak-anak ini menunjukkan respon yang
tidak wajar. Ada anak yang tampak begitu menikmati jatuhnya sinar
matahari dari balik jendela, ada anak yang sibuk memutar-mutar benda
bulat di depannya selama berjam-jam.
10
b. Anak autis biasanya cenderung mengeksplorasi lingkungannya melalui
indera peraba, pengecapan, dan pembauan seperti anak-anak kecil di
bawah usianya. Setiap kali memegang benda, anak autis cenderung
untuk mencium baunya terlebih dahulu.
c. Anak autis menunjukkan kurang sekali kontak mata dengan orang lain
dan biasanya disertai dengan perilaku yang tidak wajar lainnya seperti
sangat tertarik dengan sinar atau benda gemerlap.
d. Beberapa anak autis bahkan tidak pernah berbicara walau mereka
mengeluarkan suara-suara. Suara-suara yang dikeluarkan oleh anak autis
itu tidak jelas dan biasanya berupa teriakan-teriakan.
e. Anak autis tidak mampu memahami makna bahasa tubuh atau bahasa
non verbal dalam komunikasi.
f. Anak autis juga kurang memahami emosi orang lain dan dapat dikatakan
kurang peka atau kurang berperasaan.
g. Suka melambaikan tangan, berjalan berjingkat, goyang-goyang tubuh
dengan ekspresi wajah aneh, badannya sangat kaku, kadang-kadang
badannya berputar-putar tanpa merasa pusing.
Menurut Handojo (2003) penyandang autism mempunyai
karakteristik antara lain :
a. Selektif berlebihan terhadap rangsang.
b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru.
c. Respon stimulus diri sehingga mengganggu integrasi sosial.
d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari
stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan
terhadap perilaku stimulasi dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa
suara. Hal ini menyebabkan anak autis selalu mengulang perilakunya
secara khas.
Berdasar uraian mengenai gejala atau kriteria diagnostik autis,
peneliti lebih merujuk pada kriteria diagnostik menurut DSM-IV yaitu
gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik; gangguan
kualitatif dalam bidang komunikasi; adanya suatu pola yang dipertahankan
dan diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan; sebelum umur tiga
tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang interaksi
sosial, bicara dan berbahasa, cara bermain yang monoton dan kurang variatif;
autism bukan disebabkan oleh Sindrom Rett atau Gangguan Disintegratif
masa kanak; selain itu gejala menonjol yang ada pada anak autis adalah
kurang sekali kontak mata dengan orang lain.
11
2.1.3. Tipe-Tipe Autis
Seringkali orang menganggap autism merupakan sebuah
penyakit.Namun, autism merupakan gejala keterbatasan gangguan
perkembangan, termasuk autism ringan hingga gangguan mental berat.
Berikut beberapa tipe-tipe autism (Knoers & Monks, 1993).
1. Autism Masa Kanak (Childhood Autism)
Autism masa kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang
gejalanya sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun.
Perkembangan yang terganggu adalah dalam bidang :
a. Komunikasi; kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti
ditunjukkan dibawah ini:
- Perkembangan bicaranya terlambat, atau sama sekali tidak
berkembang.
- Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik
muka untuk mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
- Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara
suatu pembicaraan dua arah yang baik.
- Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
- Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya
permainannya kurang variatif.
b. Interaksi sosial ; adanya gangguan dalam kualitas interaksi sosial
- Kegagalan untuk bertatap muka, menunjukkan ekspresi fasial, maupun
postur dan gerak tubuh, untuk berinteraksi secara layak.
- Kegagalan untuk membina hubungan hubungan sosial dengan teman
sebaya, dimana mereka bisa berbagi emosi, aktivitas, dan interes
bersama.
- Ketidak mampuan untuk berempati, untuk membaca emosi orang lain.
- Ketidak mampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi
kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
c. Perilaku ; aktivitas, perilaku dan interesnya sangat terbatas, diulang-
ulang dan stereotipik, seperti dibawah ini :
- Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola
perilaku yang tidak
normal, misalnya duduk dipojok sambil menghamburkan pasir seperti
air hujan, yang bisa dilakukannya berjam-jam.
- Adanya suatu kelekatan pada suatu rutin atau ritual yang tidak
berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi,
pakai piyama, menggosokkan kaki dikeset, baru naik ke tempat tidur.
Bila ada satu rutinitas yang terlewat atau terbalik urutannya maka ia
akan sangat terganggu dan menangis berteriak-teriak minta diulang.
12
- Adanya gerakan-gerakan mtorik aneh yang diulang-ulang, seperti
misalnya mengepak-ngepakkan lengan, menggerak-gerakkan jari
dengan cara tertentu, dan mengetuk-ngetukkan sesuatu.
- Adanya preokupasi dengan bagian benda atau mainan tertentu yang
tidak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan
bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya.
2. Gangguan Perkembangan Pervasif (PDD-NOS)
PDD-NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam
bidang komunikasi, interaksi maupun perilaku, namun gejalanya tidak
sebanyak seperti pada autism masa kanak. Kualitas dari gangguan tersebut
lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa bertatap
mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau.
3. Sindroma Rett
Sindroma rett adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami
oleh anak wanita. Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan
normal sampai sekitar umur 6 bulan. Lingkaran kepala normal pada saat
lahir.
Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran
perkembangan.Pertumbuhan kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan
sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tidak terkendali, gerakan yang
terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri
secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi.
Seringkali memasukkan tangan ke mulut, menepukkan tangan dan membuat
gerakan dengan dua tangannya seperti orang sedang mencuci baju. Hal ini
terjadi antara umur 6-30 bulan.
4. Disintegrasi Masa Kanak
Pada gangguan disintegrasi masa kanak, hal yang mencolok adalah
bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa
tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat.Gejalanya biasanya timbul
setelah umur 3 tahun.anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat
lancar, sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja
bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan
ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga
timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik.
5. Sindrom Asperger
Seperti autism masa kanak, sindrom asperger (SA) juga lebih banyak
terdapat pada anak laki-laki daripada wanita.Anak SA juga mempunyai
gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial maupun perilaku,
namun tidak separah seperti pada autism.Pada kebanyakan dari anak-anak ini
perkembangan bicara tidak terganggu.Bicaranya tepat waktu dan cukup
lancar, meskipun ada juga yang bicaranya terlambat. Namun meskipun
mereka pandai bicara, mereka kurang bisa komunikasi secara timbale balik.
13
Komunikasi biasanya jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai
apa yang saat itu menjadi obsesinya, tanpa bisa merasakan apakah lawan
bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka mempunyai cara
bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang
menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila
disbanding anak-anak lain seumurnya.
Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda atau objek
tertentu, seperti : mobil, pesawat terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka
mengetahui dengan sangat detail mengenai hal yang menjadi obsesinya.
Obsesi inipun biasanya berganti-ganti. Kebanyakan anak SA cerdas,
mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam
pelajaran sekolah. Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila
mereka telah mempelajari sesuatu aturan, maka mereka akan menerapkannya
secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain melanggar
peraturan tersebut. Misalnya : harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning,
membuang sampah dijalan secara sembarangan.
Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau
komputer daripada teman. Mereka sulit berempati dan tidak bisa melihat
atau menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain. Perilakunya kadang-
kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang
seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang di depan orang tersebut
tanpa merasa bersalah (misalnya : “ibu, lihat itu kepalanya botak dan
hidungnya besar”). kalau diberi tahu bahwa tidak boleh mengatakan begitu,
ia akan menjawab : “Tapi itu kan benar bu”. Anak SA jarang yang
menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang aneh seperti mengepak-ngepak
atau melompat-lompat atau stimulasi diri.
1.2. Bahasa Reseptif
2.2.1. Definisi Bahasa
Wibowo (2001) bahasa adalah sistem symbol bunyi yang bermakna
dan beratikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbriter dan
konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh manusia untuk
melahirkan perasaan dan pikiran. Sedangkan menurut Walija (1996) bahasa
ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide,
perasaan, pesan, maksud dan pendapat kepada orang lain.
Bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa
yang terjadi pada sistem saraf (Pangabean, 1981). Menurut Soejono (2003)
bahasa adalah suatu sarana perhubungan yang amat penting dalam kehidupan
bersama. Sedangkan Santoso (1990) mengatakan bahasa adalah rangkaian
bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.
14
Dari beberapa definisi tentang bahsa menurut para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai untuk
mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain.
2.2.2. Aspek-Aspek Perkembangan Bahasa
Terdapat perbedaan di dalam berbahasa antara anak lainnya dengan
anak autis. Untuk memahami perbedaan indikator bahasa antara anak lainnya
dengan anak autis, dapat dilihat dari tabel aspek perkembangan bahasa antara
keduanya (Devi, 2010), agar kita bisa melihat secara riil perbedaannya:
Tabel 2.1. Aspek-Aspek Perkembangan bahasa Anak Normal
Usia (dalam bulan) Aspek Perkembangan
2 Suara-suara Vokal, mendekuk
6 ”Pembicaraan” vokal atau bertatap muka
Suara – suara konsonan mulai muncul
Berbagai intonasi ocehan
8 Mengocehkan potongan-potongan kata
secara berulang – ulang (ba-ba,ma-ma)
Gerakan menunjuk mulai muncul
12 Kata-kata pertama mulai muncul
Penggunaan kata dengan intonasi yang
seperti kalimat
Bahasa yang paling sering digunakan
untuk menanggapi lingkungan dan
permainan vokal
Penggunaan bahasa tubuh plus
vokalisasi untuk mendapatkan
perhatian,menunjukkan benda-benda dan
mengajukan permintaan
18 3 – 50 kosa-kata
Bertanya pertanyaan yang sederhana
Perluasan makna kata yang berlebihan
(misalnya,”papa”untuk semua laki-laki)
Menggunakan bahasa untuk
menaggapi,meminta sesuatu dan
tindakan,dan mendapatkan perhatian
Mungkin sering melakukan
perilaku”echo”atau meniru
24 Kadang-kadang 3 – 5 kata digabung
(ucapan yang bersifat ”telegrafik”
Bertanya pertanyaan yang sederhana
15
Menggunakan kata ”ini” disertai
perilaku menunjuk
Menyebut diri sendiri dengan nama
bukannya ”saya”
Tidak dapat mempertahankan topik
pembicaraan
Bisa dengan cepat membalikkan kata-
kata ganti
36 Bahasa berfokus pada di sini dan
sekarang
Kosa-kata sekitar 1.000 kata
Kebanyakan morfem gramatical
digunakan secara tepat
Perilaku echo jarang terjadi pada usia ini
Bahasa semakin banyak digunakan
untuk berbicara mengenai ”di sana”dan
”kemudian”
Banyak bertanya,sering kali lebih untuk
melanjutkan interaksi daripada mencari
informasi
48 Struktur kalimat yang kompleks
Dapat menmertahakan topik
pembicaraan dan menambah
Informasi baru
Bertanya pada orang lain untuk
menjelaskan ucapan – ucapan
Menyesuaikan kualitas bahasa denga
pendengar
Tabel 2.2. Aspek-Aspek Perkembangan bahasa Anak Autis
Usia (dalam bulan) Perkembangan Bahasa Reseptif
6 Tangisan Sulit Dipahami
8 Ocehan yang terbatas atau tidak normal
Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh,
ekspresi
12 Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi
seringkali tidak bermakna
Sering menangis keras-keras tetapi sulit untuk
difahami
24 Biasanya kurang dari 15 kata
16
Kata-kata muncul, kemudian hilang
Bahasa tubuh tidak berkembang, sedikit
menunjuk pada benda
36 Kombinasi kata-kata jarang
Mungkin ada kalimat-kalimat yang bersifat
echo tapi tidak ada penggunaan bahasa yang
kreatif
Ritme, tekanan, atau penekanan yang aneh
Artikulasi yang sangat rendah separuh dari
anak-anak normal
Separuhnya atau lebih tanpa ucapan –ucapan
yang betrmakna
Menarik tangan orang tua dan membawanya
ke suatu objek
Pergi ke tempat yang sudah biasa dan
menunggu untuk mendapatkan sesuatu
48 Sebagaian kecil bisa mengombinasikan dua
atau tiga kata secara kreatif
Echolali masih ada, mungkin digunakan
secara komunikatif
Meniru iklan TV
2.2.3. Definisi Kemampuan Bahasa Reseptif
Bahasa reseptif adalah kemampuan pikiran manusia untuk
mendengarkan bahasa bicara dari orang lain dan menguraikan hal tersebut
dalam gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran, dimana dipahami
dan digunakan oleh penerima, sedangkan kemampuan bahasa reseptif adalah
kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa (Yuwono, 2009).
Menurut Danuatmaja (2005) kemampuan bahasa reseptif merupakan
potensi yang berkembang dan harus dikembangkan untuk dapat memberikan
respons sesuai dengan informasi atau rangsangan yang diterima.
Sedangkan menurut Indriati (2011) kemampuan bahasa reseptif
sebagai kemampuan anak dalam mendengar dan memahami bahasa, anak
yang baik bahasa reseptifnya, akandapat menjawab dengan benar ketika
ditanya dan dapat menjalankan tugas sesuai dengan instruksi yang
diberikannya.
Dari beberapa definisi kemampuan bahasa reseptif yang
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan bahasa
reseptif adalah kemampuan di dalam mendengar dan memahami bahasa dari
orang lain.
17
2.2.4. Perkembangan Bahasa Reseptif Pada Anak
Menurut Indriati (2011),perkembangan bahasa reseptif pada anak
bisa dilihat di dalam tabel di bawah ini
Tabel 2.3.Perkembangan bahasa reseptif
Usia Perkembangan Bahasa Reseptif
0 – 7 bulan Mengerti namanya sendiri (merespon ketika
dipanggil, misal dengan menoleh)
Berespon terhadap sumber suara dengan
menoleh atau melihat mata orang yang
berbicara kepadanya
Berespon secara tepat terhadap nada suara
orang yang ramah dengan orang yang marah
(menangis/takut)
8 – 12 bulan Mengenal nama dari beberapa objek yang
familiar baginya
Mengikuti instruksi sederhana
Mengerti kata-kata tidak dan ya (boleh)
Mulai mengerti pertanyaan sederhana
Mulai mengerti sedikit nama bagian tubuh
13 – 18 bulan Mengerti instruksi satu tahap
Mengenal nama bagian tubuh jika disebutkan
namanya
Mampu menunjukkan nama-nama benda atau
binatang yang ada dalam gambar apabila
disebutkan
19 – 24 bulan Mampu menggunakan minimal 2 proposisi
(dibawah, diatas, didalam)
Mampu mengikuti dua tahap instruksi
25 – 36 bulan Mengetahui konsep ukuran : besar dan kecil
Mengikuti instruksi tiga tahap sekaligus
Mengerti konsep di bawah, diatas, didalam
(minimal tiga proposisi)
Mengerti kata Tanya siapa, dimana, apa yang
sedang dilakukan
Mengerti konsep gender, laki-laki dan
perempuan
18
Sedangkan menurut Indriati (2011), tahapan perkembangan bahasa
reseptif pada anak :
Tabel 2.4.Perkembangan bahasa reseptif
Usia Perkembangan Bahasa Reseptif
0 – 6 bulan Bereaksi terhadap suaradi sekitarnya
Memperhatikan orang berbicara
6 – 12 bulan Bereaksi dengan gerakan (misalnya
Selamat tinggal, dengan melambaikan
tangan)
Memahami nama-nama benda (misalnya
bola, susu)
Merespon dengan benar untuk instruksi
secara lisan yang sederhana
dengan disertai gerakan (misalnya
memberikan bola)
Memahami pertanyaan sederhana
(misalnya Dimana bola?)
Bereaksi atau merespon saat di[anggil
namanya
12 – 18 bulan Memahami katadi luar konteks
Merespondengan benar untukpetunjuk
sederhana
tanpagerakanyang menyertai
18 – 24 bulan Mengangguk atau menggeleng untuk
menjawab pertanyaan (ya / tidak)
Memahami arti kata-kata tindakan
sederhana (duduk, berikan) tanpa gerakan
Mulaimemahami kalimat
2 – 3 tahun Merespon 2 instruksi dengan benar
(misalnya :ambilkan jaket dan sepatu)
Memahami pertanyaan "Di mana? Apa?
Siapa?Siapakah namamu? "
Memahami pengertian tentang "di, pada,
lebih, di bawah, tinggi, rendah,di atas, di
bawah "
Dapat menunjukkan bagian tubuh
3 – 4 tahun Mengikuti percakapan
Memahami konsep tata ruang (di samping,
di depan,dari, belakang,dekat) dan
19
pengertian kuantitas (sedikit, banyak,lebih)
Memahami pertanyaan yang melibatkan
"Berapa banyak?Mengapa?Kapan? "
Mengetahui warna dasar
Dapat membedakan antara besar dan kecil
4 – 5 tahun Memahami gagasan kemarin, hari ini,
besok,sekarang, segera
Dapat membedakan antara sedikit dan
banyak,panjang dan pendek
Merespon dengan benar untuk pertanyaan
"Mengapa?" (Lebih mode rumit)
dan"Bagaimana?"
Bisa mengikuti 3 petunjuk
60 Penggunaan struktur yang kompleks secara
lebih tepat
Struktur gramatical sudah matang secara
umum
Kemampuan untuk menilai kalimat secara
gramatical / non gramatical dan membuat
perbaikan
Mengembangkan kemampuan memahami
lelucon dan sindiran, mengenali kerancuan
verbal
Meningkatkan kemampuan untuk
menyesuaikan bahasa dengan perspektif
dan peran pendengar
1.3. Floortime
2.3.1. Penjelasan Umum DIR/Floortime
Floortime merupakan teknik intervensi yang berdasarkan pada
pendekatan DIR. Pendekatan DIR berlandaskan pada prinsip bahwa
perkembangan anak dipengaruhi oleh factor biologis yang dibawa seorang
anak sejak lahir, factor lingkungan sosial, dan interaksi antara kedua faktor
tersebut. Oleh karena itu, asesmen psikologis dengan model DIR bertujuan
untuk memahami tahapan perkembangan anak (Developmental), fungsi
biologis anak (Individual Differences), serta hubungan anak dengan
lingkungan sosial (Relationship), sehingga rencana intervensi yang akan
diberikan pada anak dapat disesuaikan dengan profil khusus yang dimiliki
anak. Berbeda dengan pendekatan behavioral yang memfokuskan pada
perubahan symptom/perilaku maladaptive pada anak, model DIR lebih
20
menekankan pada pencapaian tahapan-tahapan perkembangan yang adaptif
oleh anak.Selain itu, model DIR juga menekankan pentingnya affective
relationship (hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang) dalam
perkembangan anak. Melalui hubungan yang hangat dengan caregiver,
emosi yang muncul pada diri anak akan mendorong anak untuk mengenal
dunia di luar dirinya. Sebagai contoh, emosi senang yang dirasakan anak
saat mendengar suara lembut dari orang lain akan menggerakkan otot beserta
sistem motorik anak untuk menoleh dan mendekati orang tersebut
(Greenspan & Wieder, 2006).
2.3.2. Developmental, Individual-Differences, Relationship (DIR)
Model
Berikut ini akan diuraikan penjelasan mengenai D, I, dan R dalam
pendekatan DIR.
1. Developmental (D), mengacu pada 6 kemampuan kemampuan dasar
dari 6 tahapan perkembangan emosional (Functional Emotional
Milestone). Keenam kemampuan tersebut merupakan dasar dari proses
belajar dan pertumbuhan anak. Setiap anak biasanya menguasai
kemampuan tersebut dengan relative mudah. Akan tetapi, anak
berkebutuhan khusus cenderung terhambat karena faktor biologis dari
dalam diri yang menyebabkan proses penguasaan kemampuan tersebut
menjadi relatif sulit. Setiap kemampuan yang telah dikuasai pada satu
tahapan, akan menjadi landasan untuk menguasai kemampuan pada
tahapan berikutnya. Berikut akan dijelaskan setiap tahapan
perkembangan tersebut beserta karakteristik dari setiap tahapan.
(Greenspan & Wieder, 2006).
A. Level 1 : Shared Attention and Regulation (0-3 bulan)
Pada tahap ini, anak menerima stimulus multisensory (cahaya, suara,
bau, sentuhan dsb) dari lingkungan, kemudian belajar untuk
memroses dan merespon terhadap stimulus tersebut dengan bantuan
dari caregiver yang responsif.Melalui pengalaman yang berulang,
anak mengenali dan menikmati stimulus yang menyenangkan bagi
diri mereka dan menggunakan pengalaman tersebut untuk merasa
nyaman.Seiring dengan kematangan fungsi biologis/fisiologis dan
sikap caregiver yang sensitive terhadap kebutuhan mereka, anak
belajar untuk mentolerir beragam stimulasi dari lingkungan serta
tetap merasa tenang. Pada tahap ini, selain berperan untuk membantu
anak meregulasi diri, caregiver juga berperan untuk membina
interaksi sosial yang menyenangkan dengan anak, sehingga dengan
perlahan, ketertarikan anak terhadap dunia di luar dirinya akan
meningkat (Greenspan & Wieder, 2006).
B. Level 2 : Engagementand Relating (2 – 7 bulan)
21
Setelah meregulasi diri dan memiliki ketertarikan terhadap dunia luar
(level 1), selanjutnya anak akan membentuk hubungan/ikatan
emosional dengan orang di sekitarnya, khususnya kepada caregiver
yang selama ini memberikan pengalaman menyenangkan bagi
dirinya. Ketertarikan dan perhatian anak terhadap orang lain
meningkat dibandingkan terhadap objek inanimate. Anak belajar
mengenal perbedaan ekspresi wajah, nada suara, dan spektrum emosi
dari orang di sekitarnya melalui interaksi emosional yang berulang.
Ikatan emosional yang terbentuk (khususnya terhadap caregiver)
menajdi cikal bakal pembentukan attachment yang akan
memengaruhi kemampuan penyesuain diri, keahlian sosial, dan
fungsi kognitif (Cassidy & Shaver, dalam Greenspan & Wieder,
2006).
C. Level 3 : Two-Way Intentional Affective Signaling and
Communication (3 – 10 bulan)
Setelah memiliki ketertarikan dengan orang lain (level 2), anak
belajar membaca sinyal komunikasi dari orang lain kemudian
meresponnya dengan komunikasi preverbal (ekspresi wajah, gerak
tungkai, suara, ataupun postur tubuh). Proses komunikasi tersebut
terjadi secara timbale balik antara anak dan caregiver. Masing-
masing anak ataupun caregiver dapat menjadi pihak yang terlebih
dulu menginisiasi komunikasi (opening the circle of communication),
sementara pihak yang lain akan merespon sinyal komunikasi tersebut
(closing the circle of communication). Semakin kompleks
komunikasi yang terjadi, anak semakin memahami penggunaan
bahasa preverbal sebagai alat untuk berkomunikasi.Mereka juga
belajar memahami tujuan yang ingin disampaikan caregiver melalui
komunikasi yang terjalin. Dengan adanya komunikasi timbale balik,
terbentuk pula pemahaman mengenai hubungan sebab akibat, yaitu
tindakan seseorang membawa pengaruh terhadap tindakan orang lain
(Greenspan & Wieder, 2006).
D. Level 4 : Long Chains of Coregulated Emotional Signaling and
Shared Social Problem Solving (9 – 18 bulan)
Keterlibatan anak dalam interaksi yang kompleks dengan caregiver
semakin diarahkan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk
menyelesaikan masalah atau menyampaikan keinginan. Saat anak
merasa frustasi, anak belajar untuk mengkomunikasikan hal tersebut
pada caregiver sehingga kecenderungan anak untuk berperilaku
tantrum akan semakin jarang. Melalui komunikasi dengan caregiver,
anak belajar menyelesaikan masalah yang menyebabkan rasa
frustasinya. Pada tahap ini, anak juga belajar mengenal pola (pattern
recognition) melalui reaksi yang dimunculkan orang lain saat
22
berinteraksi dengannya. Pattern recognition mencakup pemahaman
tentang hal yang baik/buruk serta pola perilaku diri sendiri dan orang
lain; misalnya, jika anak merengek, ibu akanberteriak marah.Pattern
recognition membantu anak memahami bagaimana suatu kejadian
terjadi, sehingga ia mampu memprediksi hal-hal sederhsns yang akan
terjadi (Greenspan & Wieder, 2006).
E. Level 5 : Creating Representation (or Ideas) (18 – 30 bulan)
Akhir tahun kedua, seorang anak menciptakan mental images sebagai
representasi dari hal-hal yang dikenalnya melalui interaksi sosial
yang terjalin selama ini. Mental images tersebut kemudian
digunakan untuk membentuk ide pikiran ataupun tema-tema,
misalnya mental images tentang telepon genggam yang digunakan
dengan cara didekatkan ke telinga tertuang dalam kegiatan bermain
pura-pura dengan menggunakan balok yang ditempelkan ke telinga.
Sejalan dengan perkembangan motor oral, anak mulai menggunakan
kata-kata untuk menyampaikan perasaan, harapan, dan tujuannya
(Greenspan & Wieder, 2006).
F. Level 6 : Building Bridges between Ideas – Logical Thinking (30 –
48 bulan)
Anak mampu menghubungkan ide-ide yang telah ada sebelumnya
menjadi lebih logis dan terintegrasi, termasuk memahami bagaimana
suatu kejadian mendahului kejadian yang lain, bagaimana kejadian
terhubung dari suatu waktu ke waktu lainnya, dan menggunakan ide
untuk memahami perasaannya (Greenspan & Wieder, 2006).
2. Individual – Differences (I), perbedaan antar individu secara biologus
merupakan hasil dari factor genetik, kondisi prenatal, perinatal, dan
variasi dalam proses kematangan. Menurut Greenspan & Wieder (2006)
perbedaan antar individu dapat dikategorikan menjadi :
A. Sensory modulation, yaitu kemampuan anak dalam menerima
informasi sensori dari lingkungan seperti sentihan, suara, cahaya,
bau, rasa, dan gerakan. Beberapa anak cenderung underreactive, atau
overreactive, beberapa yang lain justru memiliki kombinasi
underreactive dan overreactive.
B. Sensory processing, meliputi kemampuan auditory processing,
language processing, dan visuospatial processing. Processing
merupakan kemampuan memahami dan memaknai (register, decode,
comprehend) urutan informasi serta pola abstrak.
C. Sensory affective processing, yaitu kemampuan memroses dan
merespon terhadap informasi yang melibatkan affect, serta
kemampuan anak untuk menghubungkan symbol/tindakan dengan
emosi dan tujuan.
23
D. Muscle tone, yaitu tingkat ketegangan yang terlihat saat kondisi otot
seseorang sedang rileks atau beristirahat. Anak dengan low tone
umumnya terlihat lemas (loose and floppy).
E. Motor planning dan sequencing, yaitu kemampuan mengorganisir
tindakan secara bertujuan berdasarkan informasi yang diterima,
termasuk menyusun pikiran, kata-kata, dan konsep spasial serta
mengeksekusi ide/tindkan yang dimiliki dengan melibatkan gerak
tubuh.
3. Relationship-Based (R), merupakan gambaran hubungan anak dengan
caregiver, anggota keluarga, dan budaya. Hubungan dengan caregiver
merupakan sarana untuk perubahan (means for change) anak serta faktor
penting dalam proses perkembangan anak. Penguasaan kemampuan
pada tahapan perkembangan (Functional Emotional Development) terjadi
dalam konteks interaksi anak dengan caregiver. Karakteristik yang
dibawa caregiverselama berinteraksi dengan anak sangat menentukan
perubahan yang akan terjadi pada anak. Evaluasi terhadap karakteristik
caregiver biasanya mencakup :kepribadian, temperamen, sikap umum
dalam berelasi, harapan terhadap anak, nilai-nilai budaya, dan
pengalaman caregiver sebelumnya dengan orangtua (Greenspan &
Wieder, 2006).
2.3.3. Circle of Communication (CoC)
Pendekatan DIR/floortime menitik beratkan pada pentingnya
komunikasi yang tertuang dalam konsep tentang lingkaran komunikasi
(circle of communication). Lingkaran komunikasi merupakan interaksi
timbale balik (reciprocal, back and forth) dimana anak merespon terhadap
isyarat verbal ataupun nonverbal dari caregiver, dan sebaliknya (Greenspan
& Wieder, 2006). Satu lingkaran komunikasi dimulai dari tindakan
membuka lingkar komunikasi oleh satu pihak, kemudian diikuti tindakan
menutup lingkar komunikasi oleh pihak yang lain. Seseorang disebut
membuka lingkaran komunikasi apabila ia melakukan auatu tindakan atau
menunjukkan minat dan ketertarikan dengan orang lain. Seseorang disebut
menutup lingkaran komunikasi apabila ia merespon terhadap tindakan yang
telah dimulai oleh orang lain atau melanjutkan lingkar komunikasi tersebut
(Grenspan & Wieder, 1998). Contoh lingkaran komunikasi yang terjadi
dalam interaksi terapis dan anak:
Anak : mengambil bola dan melirik kea rah terapis (membuka
lingkar komunikasi pertama)
Terapis: mengangguk kepala dan tersenyum pada anak (menutup
lingkar komunikasi pertama)
Anak : melempar bola ke terapis (membuka lingkar komunikasi
kedua)
24
Terapis: menangkap bola dari anak (menutup lingkar komunikasi
kedua) kemudian melemparkan kembali bola ke anak
(membuka lingkar komunikasi ketiga)
Anak : menangkap bola dari terapis dan tersenyum (menutup
lingkar komunikasi ketiga)
Peningkatan kemampuan anak dalam melakukan interaksi timbale
balik dapat terlihat dari jumlah lingkaran komunikasi yang terbentuk sertaa
kompleksitas lingkaran komunikasi (apakah anak hanya mampu menutup
atau membuka lingkaran komunikasi, apakah anak hanya merespon dengan
bahasa nonverbal atau verbal, apakah bahasa verbal anak tergolong
sederhana atau semakin kompleks).Semakin panjang dan kompleks lingkaran
komunikasi yang terbentuk, semakin meningkat pula kemampuan anak untuk
melibatkan emosi dan mengarahkan perilaku secara bertujuan saat
berinteraksi. Interaksi timbale balik merupakan hal yang sangat esensial
bagi perkembangan anak, karena anak belajar mengenai lingkungannya
melalui respon yang ia terima melalui interaksi tersebut (Greenspan &
Wieder, 1998).
2.3.4. DefinisiFloortime
Menurut Greenspan (2010) metode floortime merupakan suatu
metode belajar yang mengacu pada pendekatan perkembangan yang
terintegrasi untuk anak yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi,
dan metode belajar ini berbasis bermain dalam kegiatan spontan dan
menyenangkan untuk kepentingan anak, dan dapat dilakukan kapan saja dan
diamana saja.
Sedangkan Sutadi, dkk (2000), mengatkan bahwa floortime
merupakan metode pendekatan yang bersahabat (hangat dan akrab),
membangun hubungan dengan anak sebagai individu untuk membantu
memperbaiki proses perkembangan anak melalui bahasa tubuh (gesture),
kata-kata serta media bermain (pretend play).
Floortime adalah suatu cara sistematis bermain dengan anak melalui
suasana atau situasi yang disukai anak, media permainan yang diminati anak,
kata-kata, serta bermain pura-pura untuk membantunya melalui tahapan
perkembangan, dengan harapan dapat membentuk emosi yang sehat, sosial,
dan intelektual (Homdijah, 2004).
Berdasar beberapa definisi tentang floortime diatas, peneliti lebih
merujuk pada definisi floortime menurut Greenspan yaitu suatu metode
pembelajaran untuk anak yang mempunyai kesulitan dalam berkomunikasi,
metode ini berbasis bermain spontan yang menyenangkan, dapat dilakukan
dimana saja dan kapan saja.
2.3.5. Langkah-langkah dalam Floortime
25
Dalam pelaksanaan metode floortime, terdapat beberapa langkah
yang selalu diterapkan Greenspan (2010), yaitu :
a) Observasi (observation)
Observasi ini meliputi mendengarkan ataupun mengamati baik
ekspresi muka, nada suara, gesture, kata-kata yang dikeluarkan anak,
apakah anak cenderung komunikatif atau menarik diri, anak senang
atau ketakutan, dan sebagainya yang semua ini penting agar kita
dapat menentukan bagaimana harus mendekati anak secara efektif.
b) Pendekatan – membuka lingkaran komunikasi (Approach – open
cercle of communication)
Sekali kita dapat mengamati anak dengan baik kita dapat mendekati
anak dengan kata – kata dan gesture yang pas sehingga kita dapat
membuka lingkaran komunikasi dengan anak.
c) Mengikuti aktivitas yang diamati anak (Follow the child’s lead)
Setelah kita berhasil melakukan pendekatan pertama selanjutnya ikuti
aktivitas yang menarik minat anak, dengan jalan menjadi teman
bermain dan sebagai seorang yang siap membantu bila anak
memerlukan.Berikan kesempatan anak untuk membuat sendiri aturan
dalam permainannya, dengan demikian kita membantu anak untuk
merasa dihargai, dapat mengambil keputusan serta memberikan
kesempatan mereka untuk punya pengaruh dalam dunianya.
d) Memperluas permainan (Extend and Expand play)
Sementara kita mengikuti permainan yang dipilih anak kita dapat
melibatkan diri untuk mengembangkan permainannya dengan
komentar yang membangun tentang permainannya dan kemudian
menanyakan sesuatu untuk merangsang daya pikir anak dalam
permainan tanpa kesan mengganggu. Hal ini akan membantu anak
mengembangkan gagasan mereka.
e) Biarkan anak menutup lingkaran komunikasi (Child closes the circle
of communication)
Seperti halnya kita sudah membuka lingkaran komunikasi, berikan
kesempatan kepada anak untuk menutup lingkaran tersebut dengan
respons baik itu melalui gesture, ataupun dengan komentar.Semakin
banyak lingkaran komunikasi yang berhasil kita berikan dan semakin
banyak anak dapat meresponnya ini berarti session kita dianggap
berhasil.
1.4. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Vidya Pangestika (2000)
tentang „Pengaruh Pendekatan Floor Time Terhadap Kemampuan Berbahasa
Pada Anak Autistik”.Penelitian dengan menggunakan desain repeated
measures pada 3 subjek yang berusia 3-5 tahun. Hasil penelitian diuji dengan
26
Wilcoxon 2-related samples, dan hasilnya adalah pendekatan floor time
memberikan pengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak autistik.
Peningkatan rata-rata kemampuan berbahasa yaitu engagement 8,20, imitasi
2,07, bahasa reseptif 6,53, bahasa ekspresif 4,00. Peningkatan kemampuan
berbahasa juga dipengaruhi oleh kontinuitas dan kehadiran orang tua
terutama ibu. Kedua hal ini cukup membantu dalam meningkatkan
kemampuan berbahasa pada anak autistik.
Maryse Dionne, Rose Martini (2011) juga melakukan penelitian
tentang “Floor Time Play with a child with autism: A single-subject study”,
dan hasil analisis statistic di dalam penelitian tersebut menunjukkan hasil
yang signifikan antara komunikasi sebelum dan sesudah intervensi Floor
time. Penelitian ini memberikan bukti bahwa pendekatan Floortime efektif
untuk anak autis.
1.5. Efektivitas Metode Floortime Untuk Meningkatkan Kemampuan
Bahasa Reseptif Pada Anak Autis
Bahasa merupakan sarana komunikasi yang memiliki peranan sangat
penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbahasa adalah
kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa untuk kepentingan
berkomunikasi dengan orang lain. Kemampuan berbahasa merupakan suatu
kemampuan yang penting dan mendasar bagi manusia guna mengikuti
pendidikan (Sutadi, dkk. 2009).
Kemampuan berbahasa yang perlu dikuasai oleh setiap individu
dalam berkomunikasi adalah bahasa reseptif dan bahasa ekspresif, seperti
yang diungkapkan oleh Tilton (dalam Yuwono, 2009) bahwa bahasa reseptif
adalah kemampuan pikiran manusia untuk mendengarkan bahasa bicara dari
orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam gambaran mental yang
bermakna atau pola pikiran, dimana dapat dipahami dan digunakan oleh
penerima. Anak yang baik bahasa reseptifnya, maka dapat memahami
makna bahasa yang disampaikan baik secara verbal maupun nonverbal.
Dengan demikian kemampuan bahasa reseptif tentu sangat penting dimiliki
oleh anak agar bisa belajar dengan baik.
Kemampuan bahasa reseptif yang dimiliki setiap anak berbeda. Ada
yang lambat dan ada pula yang sesuai dengan perkembangan tergantung
pada kematangan anak, termasuk dalam kecerdasan dan keadaan organ
sensorisya, stimulus yang didapat dari lingkungan, pola asuh dan pola didik,
serta perkembangan kemampuan masing-masing.Aspek bahasa reseptif
merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan untuk dapat
memberikan respons sesuai dengan informasi atau rangsangan yang diterima
(Danuatmaja, 2005).
Suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut interaksi
sosial, perilaku, komunikasi dan bahasa adalah anak autis.Anak autis
27
mempunyai masalah dalam gangguan perkembangan neurobiologis yang
meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan
bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensori (Yuwono, 2009).
Azwandi (2005), menjelaskan tentang ciri-ciri anak autis dalam segi
komunikasi dan bahasa bahwa dalam segi komunikasi, sekitar 50% anak
autis mengalami keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan
berbicara. Mereka juga mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-
kata serta penggunaan bahasa yang tidak sesuai konteksnya, berbicara sering
monoton, kaku dan menjemukan.Mereka sukar mengatur volume dan
intonasi suaranya, kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosi
melalui suara. Mereka juga mengalami gangguan dalam komunikasi non-
verbal.
Mengingat betapa pentingnya bahasa reseptif bagi anak autis, maka
diperlukan metode pendekatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa
reseptif tersebut. Dalam penelitian ini yang digunakan untuk
mengembangkan kemampuan bahasa reseptif anak autis adalah metode
floortime karena metode floortime merupakan suatu cara berhubungan
dengan anak secara hangat, akrab dan penuh cinta untuk membantu
memperbaiki proses perkembangan anak melalui tahapan perkembangan,
dengan harapan dapat membentuk emosi yang sehat, sosial, dan intelektual,
dimana dalam hal ini anak berperan aktif dalam melakukan suatu interaksi
kepada orang lain.
Greenspan (2010), menegaskan bahwa metode floortime mempunyai
keunggulan dalam membantu proses perkembangan anak, membentuk
keterampilan kognitif, membantu anak mengenal bahasa, mengekspresikan
emosi, mengungkapkan ide, meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan
berinteraksi sosial dengan orang lain dan lingkungan di sekitar anak.
Suatu metode pembelajaran akan lebih efektif jika didukung dengan
adanya media terutama pada anak autis yang memiliki hambatan
kemampuan bahasa reseptif. Dalam penelitian ini sarana media bermain
untuk mendukung keefektifan metode floortime yaitu dengan menggunakan
alat permainan balok pelangi. Menurut Soetjiningsih (2002) alat permainan
balok pelangi adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan
perkembangan anak sesuai usia dan tingkat perkembangannya dan yang
berguna untuk pengembangan aspek fisik, bahasa, dan kognitif anak.
Balok pelangi digunakan untuk membantu pembelajaran
kemampuan bahasa reseptif anak autis ketika anak memahami dan
melakukan instruksi kata kerja sederhana yaitu mengambil dan memasukkan
benda. Selain itu juga melatih konsentrasi anak pada saat anak berusaha
memasukkan benda (balok-balok) tersebut pada tempatnya. Metode
floortime menitikberatkan pada pentingnya komunikasi dua arah baik secara
verbal ataupun nonverbal. Jadi, pada penelitian ini subjek dibiarkan bebas
28
bermain menggunakan permainan balok pelangi yang telah disediakan, dan
subjek terus diberi instruksi- instruksi kata kerja sederhana berupa “ambil
dan masukkan”. Dengan metode floortime dan pemberian instruksi-instruksi
kata kerja sederhana pada anak autis diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan bahasa reseptifnya.
1.6. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan di dalam penelitian ini bahwa ada pengaruh
metode floortime untuk meningkatkan kemampuan bahasa reseptif pada anak
autis.