referat autis

22
A. PENDAHULUAN Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan interaksi sosial. Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun. Beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam proses emosi pada anak autistik. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan pusat emosi mengakibatkan anak autistik kesulitan mengendalikan emosi, mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut (Moetrasi dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anak-anak autistik adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada rutinitas

description

psikiatri

Transcript of referat autis

Page 1: referat autis

A. PENDAHULUAN

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai

dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan interaksi sosial.

Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun. Beberapa penelitian terdahulu

ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi

dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali

emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem

limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan

yang penting dalam proses emosi pada anak autistik. Gangguan pada sistem limbik yang

merupakan pusat emosi mengakibatkan anak autistik kesulitan mengendalikan emosi,

mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak

tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan

tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut (Moetrasi

dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anak-anak autistik adalah suatu

cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan menyakiti diri sendiri seperti,

membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri dilakukan anak autis untuk

menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari

perhatian. Kembali pada rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan

mengontrol rasa takut atau suatu cara untuk lari dari situasi yang membingungkan

(Azwandi, 2005).

Salah satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan adalah

pemrosesan sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat

mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut

pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif

atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan

anak salah menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan

reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006). Anak-

anak autistik mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan

makna pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan

memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan untuk

Page 2: referat autis

berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan

pemahaman/atau gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai pemahaman. Anakanak

melihat, mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka kemudian belajar untuk

menghayati, memahami, untuk berpikir abstrak. Pemahaman berhubungan dengan proses

seperti memperhatikan dan mengingat.

Gangguan pemrosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah

menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan reaksi

emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan

ketakutan. Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi pengganti sehingga

mereka memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa teori dan penelitian

mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon

emosi. Anak autistik yang mengalami permasalahan pemrosesan sensorik dapat sangat

peka atau kurang peka pada rangsangan (Greenspan dan Wieder, 2006).Penyandang

autisme mendapatkan terapi medikamentosa, terapi biomedik, terapi wicara, terapi

perilaku dan terapi okupasi untuk meminimalkan gejala autisme.

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152- per

10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang

hanya 2-4 per 10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di lndonesia setiap

tahun akan lahir lebih kurang 69000 anak penyandang autis (Yanwar Hadiyanto, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan Melly Budiman (2001) memperlihatkan bahwa pada

tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan tahun 2001 menjadi 1/150 anak.

C. ETIOLOGI

Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya autisme diantaranya adalah

sebagai berikut:

1. Faktor Psikodinamika dan Keluarga

Anggapan bahwa orang tua yang “dingin” yang menyebabkan anaknya menjadi

autis sudah tidak dianut lagi.

2. Faktor Neurologik dan Biologik

Page 3: referat autis

Komplikasi perinatal lebih banyak ditemukan dibanding dengan anak normal.

Sebagian kasus mengalami seizure (serangan kejang) suatu ketika dalam

hidupnya, dan sebagian menunjukkan pelebaran ventrikel pada CT-Scan.

Berbagai kelainan EEG ditemukan pada 10-83% anak autistik walaupun tidak

ada yang patognomonik. Pada otopsi ditemukan kekurangan jumlah sel purkinje,

dan pada pemeriksaan PET ditemukan peningkatan mentabolisme kortikal.

3. Faktor Genetik

2-4% saudara kandung dari anak autistic juga menunjukkan gejala autism.

4. Faktor Imunologik

Adanya inkompatibilitas imunologik antara ibu dan janin yang dikandung

mungkin mempunyai andil dalam menyebabkan autism.

5. Faktor Perinatal

Riwayat perdarahan setelah trimester 1, mekonium dalam cairan amnion,

penggunan obat-obatan pada saat kehamilan, serta kondisi hipoksia saat

persalinan, lebih banyak didapatkan pada anak autis daripada pada anak normal.

6. Faktor Neuroanatomik

Penelitian dengan MRI menemukan peningkatan volume otak pada lobus

oksipital, temporal, dan parietal pada kelompok anak autistik. Lobus temporalis

dianggap penting dalam terjadinya abnormalitas otak pada autisme. Hal ini

didasarkan pada laporan adanya autistic like syndrome pada mereka dengan

kerusakan lobus temporalis. Penemuan lain adalah berkurangnya sel purkinje di

otak kecil yang mengakibatkan gangguan perhatian, arousal, dan proses-proses

sensorik.

7. Faktor Biokimia

Pada sepertiga pasien autisme ditemuykan peningkatan kadar serotonin pada

plasma. Pada beberapa anak autistik, peningkatan kadar homovanilic acid

(metabolit dopamine) dalam cairan serebrospinal berhubungan dengan perilaku

menarik diri serta gerakan stereotipik.

8. Faktor Lingkungan

Sallie Bernard menemukan kumpulan gejala yang sangat mirip antara kasus

autisme dengan keracunan air raksa dan mengklaim bahwa autism adalah suatu

Page 4: referat autis

bentuk keracunan Hg. Merkuri yang berlebihan akan mempengaruhi

ketidakseimbangan immune cells, mengakibatkan tingginya kadar IgE,

mempengaruhi respon imun terhadap makanan (IgE dan IgG), mengganggu

fungsi enzim DDPIV (Dipeptidil Peptidase IV), dan mempengaruhi mielinisasi

jaringan saraf. Pada banyak anak autistik ditemukan logam berat (Hg, Pb, As, Al

dan Cd) yang berlebihan pada pemeriksaan rambut.

9. Teori Opioid

Menurut teori ini, autisme muncul dari adanya opioid yang berlebihan pada

system saraf pusat yang berlangsung lama. Opioid tersebut dianggap bersumber

pada hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan atau casein berupa

morphine like peptides yaitu casomorfin dan gliadorfin. Teori ini juga berkaitan

dengan adanya leaky gut sehingga peptide itu bias menembus mukosa usus masuk

ke peredaran darah dan menembus sawar darah otak.

10. Mikroorganisme Patogen dalam Saluran Cerna

Pada umumnya anak autis mengalami gangguan pencernaan kronis, berupa diare

dan atau konstipasi, nyeri perut atau kembung. Pada biakan feces, ditemukan

berbagai agen penyebab, termasuk jamur, bakteri, virus, dan parasit.

11. Defisiensi Nutrisi

Pada kelompok anak autistik ditemukan defisiensi Zn, Ca, Mg, Omega-3 fatty

acid, serat (fiber), anti oksidan dan berbagai vitamin. Konsekuensi dari defisiensi

tersebut adalah gangguan pencernaan, fungsi imunologi, dan fungsi otak.

12. Autoimunitas

Penelitian oleh Singh V.K et al, menunjukkan adanya anti Myelin Basic Protein

(suatu antibodi) pada kasus autisme.

D. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN

Tidak diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan tambahan

lainnya seperti EEG, CT-Scan kepala, MRI kepala, ataupun Brain Mapping. Diagnosis

didasarkan atas anamnesis yang teliti dan observasi perilaku anak. Anamnesis meliputi

perkembangan anak sejak lahir, serta keadaan ibu sebelum dan selama hamil serta saat

persalinan, kemudian ditambah riwayat keluarga untuk berbagai gangguan perkembangan

Page 5: referat autis

serta gangguan jiwa. Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan tambahan kadang

diperlukan apabila ada indikasi untuk memastikan faktor-faktor etiologi, diagnosis

banding, atau apabila ada kondisi atau gangguan lain yang menyertainya.

DSM IV ( 1995) Kriteria Gangguan Autisme:

A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan

masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :

1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2

dari beberapa gejala berikut ini :

a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi

wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.

b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan

tingkat perkembangannya.

c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.

d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala

berikut ini:

a. Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang

dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.

b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi

c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.

d. Kurang mampu bermain imajinatif ( make believe play ) atau permainan imitasi

sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.

3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada

1dari gejala berikut ini :

a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang

abnormal atau berlebihan.

b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas

Page 6: referat autis

c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan

tangan, bertepuk tangan,menggerakkan tubuh.

d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari

obyek.

B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah

satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain

simbolik dan imajinatif.

C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.

Kriteria Diagnosis Autisme menurut PPDGJ-3

A. Abnormalitas atau terganggunya perkembangan sudah terkihat sebelum usia 3 tahun,

minimal satu area di bawah ini:

1. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dalam komunikasi social.

2. Perkembangan kelekatan sosial yang selektif atau interaksi sosial timbal balik.

3. Kemampuan menggunakan mainan sesuai fungsinya atau bermain pura-pura.

B. Minimal ada enam gejala total dari 1, 2, dan 3, dengan sedikitnya dua gejala dari 1,

dan satu gejala dari masing-masing 2 dan 3.

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial. Minimal dua dari:

a. Kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik untuk

melakukan interaksi sosial.

b. Gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi dengan sebaya yang

meliputi minat, aktivitas, dan emosi.

c. Kurangnya kemampuan timbal balik secara sosial dan emosional.

d. Kurangnya minat untuk berbagi kegembiraan atau kesenangan dengan orang

lain (misal: memamerkan benda, menunjuk benda atau orang lain).

2. Abnormalitas secara kualitatif dalam komunikasi. Minimal satu dari:

a. Terlambat atau belum bias berbahasa serta kurang mampu menggunakan

bahasa isyarat.

b. Kegagalan memulai suatu atau mempertahankandialog timbal balik.

c. Penggunaan bahasa yang stereotipi atau berulang-ulang.

d. Kurang daya khayal serta kemampuan bermain pura-pura dan meniru.

Page 7: referat autis

3. Perilaku berulang (stereotipi) serta minat dan aktivitas yang terbatas. Minimal

satu dari:

a. Preokupasi terhadap satu atau lebih minat yang abnormal dalam hal isi, atau

keterpakuan, atau intensitasnya.

b. Kelekatan yang kompulsif pada rutinitas yang tak bertujuan atau suatu ritual.

c. Gerakan motorik berulang pada tangan atau jari-jari, kepak-kepak atau gerakan

memelintir, atau gerakan tubuh yang kompleks.

d. Preokupasi terhadap bagian dari benda atau mainan (misal: pada baunya,

teksturnya, suaranya, atau getaran yang ditimbulkannya).

C. Gambaran klinis tidak sesuai untuk kelompok gangguan perkembangan pervasif,

gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa, gangguan kelekatan rektif

atau gangguan kelekatan terhambat, retardasi mental, skizofrenia onset masa kanak,

dan sindrom Rett.

E. DIAGNOSIS BANDING

Gangguan Perkembangan Pervasif sering disebut dengan Gangguan Spektrum

Autisme. Ada 5 diagnosis banding, yaitu:

1. Sindrom Rett

2. Gangguan Desintegratif Masa Kanak Lainnya

3. Sindrom Asperger

4. Gangguan Aktivitas Berlebih yang Berhubungan dengan Retardasi Mental dan

gerakan stereotipik

5. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT (Tak khas)

F. METODE TERAPI PADA AUTISME

Autisme masih mempunyai harapan untuk sembuh walaupun tidak sembuh secara

total, karena ada kelainan pada otaknya. Namun dapat diusahakan agar sel-sel otak yang

yang masih baik dapat mengambil alih dan berfungsi menggantikan sel yang rusak asal

dilakukan dengan cepat dan tepat dan dimulai sejak gejalanya masih ringan. Hal

terpenting yang mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti

oleh penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh anak

Page 8: referat autis

autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih mempunyai harapan untuk

lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat yang normal.

Semakin cerdas anak, semakin cepat kemajuannya (Yanwar Hadiyanto, 2003).

Berbagai Jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan

anak autisme agar dapat hidup mendekati normal seperti medikamentosa, terapi

biomedik, terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi (Bonny Danuatmaja, 2003).

Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta

meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan

bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang

menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra, 2003). Hal yang paling ditakuti jika

anak tidak diterapi adalah ketidak mampuan anak melakukan segala sesuatunya sendiri

dengan kata lain anak: tidak akan bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gasok

gigi, dan kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003). Bahkan literature mengatakan 75%

anak autisme yang tidak tertangani, akhimya menjadi tunagrahita (Clara Westy, 2004).

Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang ditentukan,

karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti dan terapi yang

diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat pertama kali diterapi

dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak penyandang autisme harus

ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya anak normal, sebuah penelitian

menunjukkan anak yang diintervensi secara terus menerus selama lebih kurang 6 minggu

secara terstruktur memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh

fasilitasi dalam menjalankan terapi dimana pada saat anak diberikan terapi perilaku

mereka mendapatkan satu ruangan perorang sehingga anak bebas dari gangguan dari

lingkungan sekitamya seperti bunyi-bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak

untuk menerima materi dengan mudah karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan

terapis lebih konsentrasi menangkap kemajuan yang diperlihatkan oleh anak autistik.

1. TERAPI WICARA Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan, yang

menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Bahasa

berarti menyatakan dan menerima informasi dalam suatu cara tertentu. Bahasa

Page 9: referat autis

merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk

mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah

kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, member

tanda) atau auditorik. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin

saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua

kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk

dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan

keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah

ini sering kali tumpang tindih.

Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme mempunyai

keterlambatan dalam bicara dan kesulitan dalam berbahasa, maka terapi ini adalah suatu

keharusan (Y.Handoyo, 2003). Terapi wicara yang dilakukan pada anak autisme

disekolah ini banyak yang memperlihatkan kemajuan dimana hal ini bisa disebabkan

oleh karena anak sudah pemah mempunyai konsep pemahaman, konsep ujaran decoding

Page 10: referat autis

(menerima atau memberi tanggapan) dan encoding (memberi ransangan atau atau

stimulus) sesuai umumya (Bonny Danuatmaja, 2003). Selain itu anak yang bisa

mengikuti terapi ini dengan baik telah sampai pada terapi symptomatic jadi pemahaman

sudah lebih baik. Terapi symptomatic merupakan tahapan dari terapi wicara dimana

terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai kemampuan

sendiri atau ekspresif (Bonny Danuatmaja, 2003).

Tahapan komunikasi anak autistik:

1. The Own Agenda Stage

Anak terlihat sibuk dengan dirinya sendiri

Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain

Mengambil sendiri makanan atau benda-benda

Interaksi hanya dengan orangtua atau pengasuh

Belum dapat bermain dengan benar

Menangis atau berteriak bila terganggu

2. The Requester Stage

Sadar bahwa tingkahlakunya mempengaruhi orang lain

Menarik tangan bila ingin sesuatu

Menyukai kegiatan fisik

Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri

Dapat mengikuti perintah sederhana

Memahami rutinitas sehari-hari

3. The Early communication Stage

Komunikasi dengan gesture, suara, gambar

Menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten

Komunikasi untuk pemenuhan kebutuhan

Memahami kalimat sederhana

Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal konsep

"Ya/Tidak"

4. The Partner Stage

Mulai melakukan percakapan sederhana

Page 11: referat autis

Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum

terpenuhi

Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan

Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar atau

tulisan

Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial

Terapi wicara yang dapat diberikan:

1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya

fungsional, maka terapis wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral

Peripheral Mechanism Exercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan

organ bicara yang mengalami kesulitan.

2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:

Artikulasi atau pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya

gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat

Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau

pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya:

rumah menjadi lumah, omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu;

distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan

addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan

antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.

3. Untuk Bahasa:

Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:

1. Phonology (bahasa bunyi);

2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;

3. Morphology (perubahan pada kata),

4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;

5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),

6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;

7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).

Page 12: referat autis

4. Suara:

Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas, kualitas, atau

penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang

mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara,

mempengaruhi si pembicara ataupun si pendengar, dan tidak pantas

(inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu

sendiri.

5. Pendengaran:

Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan

dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat

medis akan di rujuk pada dokter yang terkait; (2) Penggunaan sensori lainnya

untuk membantu komunikasi;

Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara dimana

hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak baik dan adanya

gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga perkembangan bahasa dan

wicaranya belum mempunyai konsep pemahaman dan ujaran dan belum

terhubungnya antara pusat pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat

motoriknya (area broca's) (Agus Suryana, 2004). Dari segi pendidikan, bahasa

memiliki kedudukan penting dan mendasar karena dengan memiliki kemampuan

bahasa, anak akan mengerti dan memahami materi yang disampaikan oleh orang lain

dan akhimya mampu mengoperasikannya (Dyah Puspita, 2003). Komunikasi akan

lebih baik didapatkan oleh anak apabila selain disekolah anak juga diajarkan

berkomunikasi dengan baik oleh keluarga.

2. TERAPI PERILAKU

Terapi perilaku merupakan salah satu terapi yang diberikan kepada

penyandang autisme dimana terapi ini difokuskan kepada kemampuan anak untuk

berespon terhadap lingkungan dan mengajarkan anak perilaku-perilaku yang umum

(Yanwar Hadiyanto, 2004). Pemberian terapi perilaku pada anak autisme, dapat

meningkatkan kemajuan terutama pada anak yang melakukan terapi ini dengan baik.

Hal ini bisa disebabkan oleh metode yang diterapkan dimana materi yang diajarkan

Page 13: referat autis

sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya prompt

(bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan mendapatkan imbalan.

Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat mendukung dimana latihan dilakukan

dengan berulang-ulang sampai anak berespon dengan sendiri tanpa prompt serta

adanya evaluasi yang sesuai dengan kriteria yang sudah dibuat (Y.Handoyo, 2003).

Kemampuan terapis juga ikut mendukung kemajuan dari anak autisme. Menurut Dyah

Puspita (2004), salah satu yang mempengaruhi keberhasilan kemajuan pada anak

autisme adalah kecerdasan anak. Dengan pemberian terapi yang baik dan kemampuan

anak dalam menangkap materi yang diajarkan akan dapat mengoptimalkan kemajuan

pada anak autisme.

Pada 10 anak yang melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang

memperlihatkan kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh

efek terapi yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau

terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada susunan

saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada otak mereka,

contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6 (Pyridoksin) sehingga

efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat anak masih berada dalam

keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang diberikan (Y.Handoyo, 2003).

Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat penyaluran informasi antar otak

semakin kacau mengingat obat yang dipakai adalah obat-obatan yang bekerja pada

susunan saraf pusat (Agus Suryana, 2004).

Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik

dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan

(belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah

Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University

of California Los Angeles (UCLA). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak

pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi

yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila

anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia

tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini

diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi

Page 14: referat autis

kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang

diberikan.

Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C;

yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C

(consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi

yang diberikan oleh seseorang kepada anak dengan autisme. Melalui gaya

pengajarannya yang terstruktur, anak dengan autism kemudian memahami Behavior

(perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut

diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak

memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang

menyenangkan.

Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan

kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang

signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.