BAB II - repository.uksw.edu...Kajian Mengenai Jaminan dan Hukum Jaminan a. Pengertian Jaminan dan...
Transcript of BAB II - repository.uksw.edu...Kajian Mengenai Jaminan dan Hukum Jaminan a. Pengertian Jaminan dan...
16
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG
HAK TANGGUNGAN
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
Bank merupakan suatu lembaga pembiayaan yang dapat memberikan fasilitas
kredit kepada masyarakat yang membutuhkan pembiayaan dalam menunjang
perekonomiannya, sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa, fungsi utama bank ialah
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Dalam penerapannya, untuk menjamin fasilitas kredit yang diberikan oleh
Bank, Bank meminta jaminan yang dapat menjamin pelunasan hutangnya. Penjaminan
yang diberikan merupakan hal terpenting dalam hal memberikan kedudukan yang
diistimewakan daripada kreditor-kreditor lainnya. Sehingga keabsahan pemasangan
Hak Tanggungan menjadi poin penting dalam hal penerimaan kredit. Hal ini
disebabkan karena keabsahan pemasangan Hak Tanggungan memberikan
perlindungan hukum bagi para pihak khususnya kreditor yang memberikan fasilitas
kredit.
Oleh sebab itu dalam sub bab berikutnya, penulis akan memaparkan terlebih
dahulu mengenai hukum jaminan yang ada dalam sistem hukum di Indonesia yang
diikuti dengan penelitian dan analisis terhadap kasus yang Penulis teliti. Hal ini
bertujuan agar mengetahui bagaimanakah perlindungan yang diberikan terhadap
absahnya pemasangan Hak Tanggungan dalam sistem hukum di Indonesia, dan apakah
17
yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara perdata Nomor
999/Pdt.G/2013/Pn.Sby.
KAJIAN PUSTAKA: TINJAUAN MENGENAI HUKUM JAMINAN
DI INDONESIA
1. Kajian Mengenai Jaminan dan Hukum Jaminan
a. Pengertian Jaminan dan Hukum Jaminan
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal.1 Dalam suatu perjanjian kredit/perjanjian pengakuan hutang para
debitor dan kreditor mempunyai hak dan kewajiban, dan masing-masing
terikat oleh isi dari perjanjian kredit tersebut. Untuk memberi kepastian
bahwa debitor akan memenuhi kewajibannya kepada kreditor maka
diperlukan suatu jaminan. Biasanya yang dijaminkan adalah sesuatu yang
dapat dinilai dengan uang. Realisasi pinjaman ini juga selalu berupa
menguangkan benda-benda jaminan dan mengambil dari hasil penguangan
benda jaminan itu dan yang menjadi hak kreditor. Salah satu hak yang
dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis serta dapat
dialihkan adalah hak atas tanah. Untuk menjamin pelunasan dari debitor
maka hak atas tanah itulah yang menjadi jaminannya. Sebgai jaminan
1 Adrian Sutedi, Implikasi Hak Tanggungan Terhadap Pemberian Kredit Oleh Bank dan
Penyelesaian Kredit Bermasalah, Jakarta : BP.Cipta Jaya, 206, hal 16-17
18
kredit, hak atas tanah mempunyai kelebihan, antara lain harganya tidak
pernah turun.2
Rumusan atau definisi yang tegas tentang jaminan dalam kitab
undang-undang tidak ditemukan. Di berbagai literatur digunakan istilah
zekerheid untuk jaminan dan zekerheidsrecht untuk hukum jaminan atau
hak jaminan tergantung pada bunyi atau maksud kalimat yang
bersangkutan; sebab recht dalam Bahasa Belanda dapat berarti hukum, hak
atau keadilan, sedangkan hukum menurut Bahasa Inggris adalah Law dan
hak berarti right. Namun, istilah hukum jaminan ternyata mempunyai
makna yang lebih luas dan umum serta bersifat mengatur dibandingkan
dengan hak jaminan seperti halnya hukum kebendaan yang mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas dan mempunyai sifat mengatur dari pada hak
kebendaan. Petunjuk yang dapat dipakai untuk menentukan rumusan
jaminan adalah Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang mensyaratkan
bahwa tanpa diperjanjikanpun seluruh harta kekayaan debitor merupakan
jaminan bagi pelunasan hutangnya. Beberapa perumusan atau definisi
tentang Jaminan dan Hukum jaminan dikemukakan sebagai berikut :
1) Hasanudi Rahman, jaminan adalah tanggungan yang diberikan oleh
debitor atau pihak ketiga kepada kreditor, karena pihak kreditor
2 Arie S. Hutagalung, et al., Asas-Asas Hukum Agraria, Depok : Universitas Indonesia, 2005,
hal. 91.
19
mempunyai suatu kepentingan, bahwa debitor harus memenuhi
kewajibannya dalam suatu perikatan.3
2) Djuhaendah Hasan, memberikan pengertian Jaminan yaitu sarana
perlindungan bagi keamanan kreditor yaitu kepastian akan pelunasan
hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh
penjamin debitor.4
3) J.Satrio, berpendapat bahwa Hukum Jaminan adalah peraturan hukum
yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor
terhadap seorang debitor. Hukum jaminan adalah perangkat hukum
yang mengatur tentang jaminan dari pihak debitor atau dari pihak
ketiga bagi kepastian pelunasan piutang kreditor atau pelaksanaan
suatu prestasi.
4) Hartono Hadisaputro, menyatakan jaminan adalah sesuatu yang
diberikan debitor kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan
bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan.5
5) Salim HS, Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaedah-kaeah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima
3 Hasanuddin, Rahman, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Kredit Perbankan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti,1996), Hal.233. 4 Ade, Hukum Jaminan Pengertian dan Macam-macam Jaminan,
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminan-pengertian-dan-macam-macam-jaminan/,
diunduh 15 Juli 2018 pukul 18;26. 5 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak Yang Memberi Jaminan Jilid
II, Jakarta : Ind-Hill-Co, 2005,hal 5-6.
20
jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk
mendapatkan fasilitas kredit.6
6) Menurut UU No. 7 Tahun 1992 diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998
tentang Perbankan, arti Jaminan yaitu keyakinan atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
perjanjian. Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 jaminan adalah keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Maksud dan Tujuan Hukum Jaminan Pada Umumnya
Menurut Pasal 1131 BW, “segala harta kekayaan seorang debitor, baik
yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang
sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, mejadi jaminan bagi
semua perikatan utangnya”. Dengan berlaku ketentuan tersebut, maka dengan
sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitor
kepada setiap kreditornya atas segala kekayaan debitor itu.7 Permasalahan yang
timbul apabila debitor wanprestasi terhadap salah satu kreditor atau beberapa
kreditor, atau debitor jatuh pailit dan harta kekayaannya harus dilikuidasi,
sudah pasti bahwa para kreditor mempunyai hak terhadap kekayaan debitor itu
sebagai jaminan pelunasan piutangnya masing-masing.
6 Sumber Ilmu, Hukum Jaminan, http://unjalu.blogspot.com/2011/03/hukum-jaminan.html,
diunduh 15 Juli 2018 pukul 18:36. 7 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 163
21
Menurut Pasal 1132 BW, hasil dari penjualan benda-benda yang
menjadi kekayaan debitor dibagi kepada semua kreditornya secara seimbang
atau proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing.
Namun dalam Pasal 1132 BW, memberikan indikasi bahwa diantara para
kreditor dapat didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan. Alasan-alasan yang sah yang dimaksud
dalam Pasal 1132 BW itu ialah alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-
undang. Diantara alasan-alasan yang dimasud dalam Pasal 1132 BW itu,
diberikan oleh Pasal 1132 BW. Menurut Pasal 1133 BW, hak untuk
didahulukan bagi seorang kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain
timbul dari hak istimewa, gadai dan hipotik. Urutan dari hak untuk didahulukan
yang timbul dari ketiga hak yang disebut dalam Pasal 1133 BW itu, menurut
Pasal 1334 BW gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali
dalam hal-hal yang oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dari ketentuan Pasal 1132 BW , bila dihubungkan dengan 1133 BW
sampai dengan 1134 BW, dapat dikatakan baha kreditor yang tidak mempunyai
kedudukan didahulukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan
oleh undang-undang, mempunyai kedudukan yang sama. Sebagaimana yang
telah ditentukan dalam Pasal 1132 BW, hak mereka untuk memperoleh
pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, dalam hal debitor cidera
janji adalah berimbang sexra proporsional menurut besarnya masing-masing
piutang mereka.
22
Pembagian menurut keseimbangan itu juga mendapat penegasan
kembali pada Pasal 1136 BW. Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang
kreditor menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditor-
kreditor lain. karena kedudukan yang sama dengan kreditor-kreditor lain itu
berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditor-kreditor lain dari
hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitor cidera janji,
sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 BW dan 1136 BW. Kedudukan
berimbang yang dimaksud di atas, belum bisa memberikan kepastian akan
terjaminnya pengembalian piutang. Kreditor yang bersangkutan tidak akan
pernah tahu akan adanya kreditor-kreditor lain selain dirinya yang mungkin
akan muncul dikemudian hari. Makin banyak kreditor dari debitor yang
bersangkutan, maka makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian
piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitor menjadi dalam
keadaan insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya). Dan sebagai
akibatnya, kemungkinan dinyatakan oleh pengadilan debitor itu pailit dan harta
kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang,
seperti hipotik dan gadai adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang
kreditor tertentu untuk didahulukan pelunasan piutangnya terhadap kreditor-
kreditor lain. Hal ini juga merupakan tujuan dari eksistensi hak tanggungan
yang diatur dalam UUHT. Kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak untuk
didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain, disebut kreditor konkuren.
23
Sedangkan kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditor-
kreditor lain, disebut kreditor preferen.8
Adapun fungsi jaminan utang adalah untuk:9
1) Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank (kreditor) untuk
mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan
tersebut, apabila nasabah (debitor) melakukan cidera janji, yaitu
tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian.
2) Menjamin agar nasabah atau debitor berperan serta di dalam
transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk
meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan sendiri atau
perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya
kemungkinan untuk berbuat demikian diperkecil terjadinya.
3) Memberi dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian
kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan
yang telah dijaminkan kepada bank.
c. Macam-Macam Jaminan
Jaminan dapat dibedakan dalam jaminan umum dan jaminan khusus.
Pasal 1131 BW mencerminkan suatu jamianan umum, sedangkan Pasal 1132
8 Sjahdeini, Op. Cit, Hal. 7-10. 9 Thomas Suyatno, Op. cit., hal.88.
24
BW disamping sebagai kelanjutan an penyempurnaan Pasal 1131 BW yang
menegaskan persamaan kedudukan para kreditor, juga memungkinkan
diadakannya suatu jaminan khusus apabila diantara para kreditor ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan dan hal ini dapat terjadi karena ketentuan
undang-uandang maupun karena diperjanjikan. Secara umum, macam-macam
jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Jaminan yang lahir karena undang-undang ( Jaminan Umum );
2) Jaminan yang lahir karena Perjanjian (Jaminan Khusus).
Berdasarkan dua jaminan yang telah disebutkan di atas, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Jaminan umum
Pasal 1131 BW mengatakan bahwa “Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Sedangkan Pasal
1132 BW menyatakan seagai berikut “Kebendaan tersebut menjadi
jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan
kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing
kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan.”Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan
25
bahwa jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan
semua kreditor dan menyangkut semua harta kekayaan debitor. Hal ini
berarti benda jaminan tidak diperuntukkan bagi kreditor tertentu dan
dari hasil penjualan-penjualannya dibagi diantara para kreditor
seimbang dengan piutang-piutangnya masing-masing. Jadi apabila
terdapat lebih dari satu kreditor dan hasil penjualan harta benda debitor
cukup untuk menutupi utang-utangnya kepada kreditor, makamana
yang harus didahulukan dalam pembayarannya diantara para kreditor
tidaklah penting karena walaupun semua kreditor sama atau seimbang
(concurrent) kedudukannya, masing-masing akan mendapatkan
bagiannya sesuai dengan piutang-piutangnya. Adanya beberapa
kreditor, baru menimbulkan masalah jika hasil penjualan harta
kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya, oleh
karena itu akan tampak betapa pentingnya menjadi kreditor yang
preferent yaitu kreditor yang harus didahulukan dalam pembayaraannya
diantara kreditor-kreditor lainnya jika debitor melakukan wanprestasi.
Perbuatan debitor yang menjual harta benda kepada pihak ketiga
tentu juga sangat merugikan para kreditor, hal ini antara lain disebabkan
hak menagih para kreditor tidak mengikuti harta benda yang
bersangkutan. Karena hal itu jaminan umum kurang memberi rasa aman
disamping kurang menjamin pemberian kredit oleh pihak pemberi
kredit karena dsatu pihak terdapat beberapa kreditor, maka kedudukan
26
mereka adalah konkuren, dilain pihak debitor dapat melakukan tindakan
yang merugikan kreditor. Itulah sebabnya dalam praktek perbankan,
jaminan umum tidak memberikan rasa aman kepada pihak kreditor.
Kreditor baru merasa aman jika ada benda-benda tertentu yang ditunjuk
secara khusus sebagi jaminan piutangnya.
Jaminan yang timbul karena undang-undang maksudnya adalah
bentuk-bentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu
undang-undang. Jaminan yang lahir karena undang-undang diatur
dalam Pasal 1131 dan 1132 BW. Pasal 1131 BW pada intinya bahwa
segala kekayaan debitor, baik yang sudah ada maupun yang aka nada
dikemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai agunan, menurut
hukum menjadi jaminan atas seluruh utang-utang debitor. Dikatakan
timbul karena undang-Undang disebabkan berdasarkan undang-undang
yaitu Pasal 1131 BW, dengan sendirinya segala harta kekayaan
seseorang menjadi jaminan dari utang yang dibuat. Karena tidak adanya
pengikatan secara khusus dan meliputi seluruh harta kekayaan debitor,
jaminan kredit yang timbul karena undang-undang ini juga menjadi
jaminan bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya. Jadi bila
terhadap harta kekayaan debitor dilakukan penjualan hasil dari pada
penjualan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan sesuai besar kecilnya
pitang masing-masng, kecuali ada alasan-alasan yang sah bagi kreditor
27
satu sama lainnya terhadap harta kekayaan seorang debitor yang deikian
ini lazim disebut sebagai konkuren/saling bersaing.10
2) Jaminan Khusus
Jaminan yang timbul karena perjanjian. Secara yuridis baru
timbul karena adanya suatu perjanjian antara bank dengan pemilik
agunan atau barang jaminan, atau antara bank dengan orang pihak
ketiga yang menanggung utang debitor. Untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan yang ada pada jaminan umum, undang-undang
memungkinkan diadakannya jaminan khusus. Hal ini tersirat dari Pasal
1132 BW dalam kalimat “… kecuali diantara para kreditor ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan.” Dengan demikian Pasal 1132 BW
mempnyai sifat yang mengatur/mengisi/melengkapi karena para pihak
diberi kesempatan untuk membuat perjanjian yan gmenyimpang.
Dengan kata lain ada kreditor yang diberikan kedudukan yang lebih
didahulukan dalam pelunasan hutangnya disbanding kreditor-kreditor
lainnya.
Kemudian Pasal 1132 BW memberikan pernyataan yang lebih
tegas lagi yaitu hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang
terbit dari hak istimewa, dari gadai, dan dari hipotek. Oleh karena itu,
alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena ketentuan undnag-
10 Sutedi, Op.Cit, Hal 24-25
28
undang, dapat juga terjadi karena diperjanjikan antara debitor dan
kreditor. Berdasarkan ketentuan undnag-undang misalnya, yang diatur
dalam Pasal 1134 BW tentang utang piutang yang didahulukan yaiut
Privilege, sedangkan yang terjadi karena perjanjian dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara,yaitu:
1) Kreditor dapat meminta benda-benda tertentu milik debitor
untuk dijadikan sebagai jaminan utang (jaminan kebendaan).
Jaminan kebendaan dapat dilakukan melalui gadai, fidusia,
hipotek, dan hak tanggungan; atau
2) Kreditor meminta bantuan pihak ketiga untuk menggantikan
keudukan kreditor membeyar utang-utang debitor kepada
kreditor apabila debitor lalai membayar utangnya atau
wanprestasi (jaminan perseorangan). Jaminan perorangan dapat
dilakukan melalui perjanjian penanggungan misalnya
birghtoght, garansi, dan lainnya.
Jaminan khusus dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu
bentuk jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan. Apa yang
dimaksud dengan jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Bagan Jaminan Khusus
ORANG
ORANG PERSEORANGAN
29
a) Jaminan peserorangan (Persoonlijke
Zekerheidsrechten/Personal Guaranty)
Menurut Subekti, jaminan perorangan adalah suatu
perjanjian antara seorang kreditor dengan seorang ketiga yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitor. Dengan
demikian, jaminan perorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau
pihak ketiga artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan
pada benda-benda tertentu, karena harta kekayaan pihak ketiga
tersebut hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya
suatu perikatan. Jaminan ini adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan langsung pada perseorangan tertentu dan dapat
dipertahankan terhadap debitor seumumnya. Ciri-ciri jaminan
perorangan adalah:
JAMINAN
BENDA
BADAN HUKUM
GADAI
ORANG PERSEORANGAN
FIDUCIA
ORANG PERSEORANGAN
HIPOTIK
ORANG PERSEORANGAN
HAK TANGGUNGAN
ORANG PERSEORANGAN
JAMINA KEBENDAAN
LAINNYA
ORANG PERSEORANGAN
30
1) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu.
2) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu.
3) Seluruh harta kekayaan debitor menjadi jaminan
pelunasan utang, misalnya borgtocht.
4) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung
asas kesamaan/keseimbangan (konkuren) artinya tidak
membedakan mana piutang yang terjadi lebih dahulu
dan mana piutang yang terjadi kemudian. Dengan
demikian tidak mengindahkan urutan terjadinya karena
semua kreditor mempunyai kedudukan yang sma
terhadap harta kekayaan debitor.
5) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan
dari benda-benda jaminan dibagi diantara para kreditor
seimbang dengan besarnya piutang masing-masing
(Pasal 1136 BW)
b) Jaminan Kebendaan (Zakelijke Zekerheidrechten)
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan
kepada Kreditor atas suatu kebendaan milik debitor hak untuk
memanfaatkan benda tersebut jika debitor melakukan
wanprestasi. Jaminan ini merupakan jaminan yang berupa hak
mutlak atas suatu benda, yang berarti mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu dari debitor, dapat dipertahankan
31
terhadap siapapun, selalu mengikat bendanya (droit de suite) dan
dapat dialihkan. Benda milik debitor yang dijaminkan dapat
berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Untuk
benda begerak dapat dijaminkan dengan gadai (pand) Pasal
1150-1161 BW dan fidusia ( UU NO.42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak setelah
berlakunya UUHT hanya dapat dibebankan pada hipotek (Pasal
1162-1232 BW) atas kapal laut dengan bobot 20 M kubik ke atas
dan pesawat terbang serta helicopter. Sedangkan untuk tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dapat
dibebankan dengan hak tanggungan. Jika debitor wanprestasi,
maka dalam jaminan kebendaan kreditor mempunyai hak
didahulukan (preferent) dalam pemenuhan piutangnya diantara
kreditor-kreditor lainnya dari hasil penjualan penjualan harta
benda milik debitor. Dengan demikian, jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri yang berbeda dari jaminan perorangan. Ciri-
ciri jaminan kebendaan adalah:
1) Merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda.
2) Kreditor mempunyai hubungan langsung dengan
benda-benda tertentu milik debitor.
3) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun.
32
4) Selalu mengikuti asas prioritas, yaitu hak kebendaan
yang lebih dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada
yang terjadi kemudian (droit de preference).
5) Dapat diperalihkan seperti hipotek
6) Bersifat perjanjian tambahan (accesoir)
Jika
- dibandingkan antara jaminan umum dengan jaminan
khusus, maka dalam praktek Perbankan ternyata
jaminan khusus lebih disukai.
d. Sifat dan Kedudukan Perjanjian Jaminan
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara
bank dengan pihak yang membutuhkan (nasabah). Perjanjian kredit selalu
terkait dengan pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak Bank agar
mendapat kepastian bahwa fasilitas kredit yang diberikan kepada nasabah dapat
dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan
dengan melunasi utangnya. Jadi dengan adanya jaminan yang diikat dalam
bentuk perjanjian jaminan tertentu maka dpat mengurangi resiko yang mungkin
terjadi misalnya nasabah yang cidera janji atau tidak dapat mengembalikan
kredit yang dipinjamnya. Dengan demikian jaminan dalam perjanjian kredit ini
bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitor akan dibayar lunas.
Dalam ketentuan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
dikatakan, bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
33
prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
debitor untuk melunasi utangnya.11 Hal ini berarti, dalam memberika fasilitas
kredit, bank harus memperhatikan dan memberikan penilaian berdasarkan
analisis menyangkut watak, kemampuan, modal dan juga jaminan dari calon
peneria kredit yang bersangkutan serta prospek usahanya. Hak-hak jaminan
kredit itu tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan hak lain yang menjadi
hak utamanya. Oleh karena itu, sifat hak-hak jaminan ini adalah accessoir, yaitu
mengikuti perikatan utamanya. Hal ini berarti bahwa apabila perikatan
utamanya telah musnah hak jaminannya musnah pula. Sifat ini melekat pada
semua hak-hak jaminan kredit. Sifat dari hak jaminan itu ada yang bersifat hak
kebendaan dan ada yang bersifat ha perorangan. Tujuan dari jaminan yang
bersifat kebendaan adalah untuk memberikan hak verhaal (hak untuk meminta
pemenuhan piutangnya) kepada keditor, terhadap hasil penjualan dari benda-
benda tertentu dari debitor untuk pemenuhan piutangnya. Sedangkan tujuan
dari jaminan yang bersifat perorangan adalah memberikan hak vershaal kepada
kreditor, terhadap benda keseluruhan dari debitor untuk memperoleh
pemenuhan dari piutangnya.12
Perjanjian yang merupakan perikatan antara kreditor dengan debitr atau
pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang timbul dari pemberian
11 Usman, Rachmadi (b), Op. cit., Hal. 283. 12 Sutedi, Op. Cit., hal 21-23
34
kredit, lazim disebut sebagai Perjanjian Jaminan Kredit. Sifat dari perjanjian ini
lazimnya disebut sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, yaitu senantiasa
merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok. Tetapi
sebaliknya, perjanjian pokok tidak selalu menimbulkan perjanjian jaminan.
Dengan demikian perjanjian jaminan kredit ini dibuat karena adanya perjanjian
yang mendahului yaitu perjanjian kredit. Sesuai dengan tujuannya, perjanjian
jaminan kredit ini memang dibuat untuk menjamin kewajiban dari debitor yang
ada dalam perjanjian kredit, yaitu melunasi kredit tersebut. Jadi tanpa adanya
perjanjian kredit, perjanjian jaminan kredit tidak akan ada.
Dalam ilmu hukum, kedudukan dari perjanjian kredit adalah merupakan
perjanjian pokok (principal). Sedangkan kedudukan dari perjanjian jaminan
kredit adalah sebagai perjanjian ikutan atau tambahan (accessoir). Konsekuensi
hukumnya adalah apabila suatu perjanjian kredit telah dinyatakan tidak berlaku
atau gugur, akibatnya perjanjian kredit sebagai perjanjian ikutan secara
otomatis menjadi gugur. Jadi kedudukan perjanjian jaminan kredit sebagai
perjanjian yang accessoir akan menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut
bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor.13
2. Kajian Mengenai Tanah Sebagai Jaminan Kredit
Maksud dan tujuan jaminan kredit adalah untuk menghindari terjadinya
wanprestasi dan untuk menghindari resiko rugi yang akan dialami oleh pihak
kreditor. Jaminan yang ideal hendaknya dapat membantu perolehan kredit oleh
13 Sutedi, Op. cit.,hal 23-24.
35
pihak yang memerlukan, tidak melemahkan potensi si pencari kredit untuk
melakukan atau meneruskan usahanya dan memberikan kepastian kepada si
pemberi kredit dalam arti bahwa jaminan setiap waktu tersedia untuk
dieskekusi, yaitu bila perlu dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi
utang penerima kredit.
Salah satu hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi serta dapat dialihkan adalah tanah. Untuk
menjamin pelunasan dari debitor, maka tanah itulah yang dijadikan
jaminannya. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai kelebihan yaitu tidak
mudah musnah dan harganya terus meningkat.
Hal yang perlu diperhatikan oleh bank dalam menerima tanah sebagai
jaminan utang (beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum ditandatangani
akad kredit) antara lain:14
1) Asas negatif. Seseorang yang namanya tercantum di dalam suatu
sertifikat atas tanah tersebut dianggap selaku pemilik yang sah atas
tanah namun sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain
maka dengan suatu keputusan Pengadilan kepemilikan tanah itu
dapat dibatalkan.
2) Asas pemisahan horizontal. Dalam hal ini seorang pemilik
bangunan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah di
14 Hutagalung, Arie S (a), Op. cit., hal.332.
36
atas suatu bidang tanah belum tentu sama dengan pemilik tanah
tersebut.
3) Title search. Pengecekan mengenai legalitas ha katas tanah yang
dijadikan jaminan utang apakah asli, palsu atau aspal. Apakah
diatas tanah tersebut terdapat benda-benda lain, tanah dalam
sengketa.
4) Persetujuan suami atau istri. Hal ini diperlukan khusus untuk
jaminannya karena adanya ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (1) dan
Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama dan perbuatan hukum
mengenai harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah
pihak.
5) Persetujuan Komisaris/Pemegang saham bila diperlukan. Apabila
debitor adalah Perseroan Terbatas (PT) harus diperhatikan apakah
untuk menggunakan tanah yang merupakan asset PT tersebut harus
mendapatkan persetujuan Komisaris atau pemegang sahamnya,
karena biasanya dalam Anggaran Dasar suatu PT dinyatakan bahwa
perbuatan hukum meminjam dan menjaminkan asset PT harus ada
persetujuan Komisaris atau pemegang saham.
6) Status pemilik dan calon pemilik tanah dan bangunan. Dalam hal
pemilik atau calon pemilik tanah dan bangunan yang dijaminkan
mempunyai istri atau suami berkewarganegaraan asing maka
37
menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan jo Pasal 21 Ayat (3) UUPA, tanah menjadi tanah
negara apabila dalam jangka waktu 1 tahun tidak dialihkan atau
tidak dilepaskan.
3. Kajian Mengenai Hak Tanggungan
a. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan
Pada mulanya pembebanan ha katas tanah diatur dalam Buku II KUH
Perdata. Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah
dengan Staatsblad 1937-1990 dan Pasal 57 UUPA. Ketiga ketentuan itu telah
dicabut dengan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah karena tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. Ada 4 (empat)
pertimbangan dibentuknya UUHT No. 4 Tahun 1996, yaitu:
1) Bahwa bertambah meningkatnya permbangunan nasional yang
bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyedia dana yang
cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat
dan mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentinga, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
1945;
38
2) Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat
ini, ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai
lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau
tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum
terbentuk;
3) Bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana yang diatur
dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
sepanjnag mengenai tanah, dan ketentuan mengenai
Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, masih
diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-
Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan
perkembangan tata ekonomi Indonesia;
4) Bahwa mengingat perkembangan yang telah dan akan terjadi
dibidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik,
Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk
sebagai obyek Hak Tanggungan oleh UUPA, Hak Pakai atas tanah
tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
39
dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebenai Hak
Tanggungan;
5) Bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk
undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud
dalam UUPA, sekaligus mewujudkan unufikasi Hukum Tanah
Nasional.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 disebutkan
pengertian Hak Tanggugan. Yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lainnya. Unsur- unsur yang tercantum dalam pengertian Hak
Tanggungan, yaitu:
1) Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah;
2) Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
3) Untuk pelunsan utang tertentu;
40
4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya;15
Yang menjadi ciri Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:
1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahului kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20
ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996. Apabila debitor cidera janji, kreditor
pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek yang
dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan
yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-
kreditor lain yang bukan pemegang Hak Tanggungan atau kreditor
pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.
2) Selalu mengikuti obyek yang dijamin dalam tangan siapapun benda
itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini
ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996. Biarpun obyek
Hak Tanggungan sudah dipindahtangankan haknya kepada pihak
lain, kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap masih berhak untuk
menjualnya melalui pelelangan umum jika debitor cidera janji.
15 Salim, HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta:Sinar Grafika,2000),
hal.115.
41
3) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan. Asas spesialitas ini dapat diketahui dari penjelasan
Pasal 11 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa ketentuan ini
menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT). Sedangkan asas publisitas ini dapat
diketahui dari Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan. Dengan didaftarkannya hak tanggungan merupakan
syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan
mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.
4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam UU Nomor 4
Tahun 1996 memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditor
dalam pelaksanaan eksekusi.16
b. Asas-Asas Hak Tanggungan
Di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 dikenal beberapa asas Hak
Tanggunganm yaitu:
1) Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang
Hak Tanggungan ( Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996);
16 Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia – Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, edisi revisi, (Jakarta:Djambatan,2003), hal. 419.
42
2) Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun
1996);
3) Hanya dibebankan pada ha katas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat
(2) UU Nomor 4 Tahun 1996);
4) Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4
Tahun 1996);
5) Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah
yang baru aka nada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor
4 Tahun 1996);
6) Sifat perjanjiannya ada tambahan (accessoir), (Pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 1996);
7) Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru aka nada (Pasal 3
ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1996);
8) Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat 92) UU Nomor
4 Tahun 1996);
9) Mengikuti obyek dalam tangan siapapun obyek itu berada (Pasal 7
UU Nomor 4 Tahun 1996);
10) Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11) Wajib didaftarkan (Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996);
12) Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
13) Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat
(2) UU Nomor 4 Tahun 1996);
43
14) Obyek tidak bolej diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang Hak
Tanggungan bila pemberi Hak tanggungan cidera janji.17
c. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan
Obyek-obyek hak tanggungan adalah:
1) Hak Milik (HM)
2) Hak Guna Bangunan (HGB)
3) Hak Guna Usaha (HGU)
4) Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan
Obyek Hak Tanggungan selain tersebut yang di atas,UUHT juga
membuat kemungkinan pembebanan hak tanggungan atas tanah berikut
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 4 ayat (4) UUHT, yaitu :
“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah
berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau
yang ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan
yang merupakan milik pemegang ha katas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Menurut Habib Adjie, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam
menerapkan Pasal 4 ayat (4), yaitu:18
17 Salim HS., Op. cit., hal.116. 18 Habib Adjie, Hak Tanggungan, Sebagai Lembaga Hak Jaminan Atas Tanah, CV Mandar
Maju, Bandung, 1999, hal. 6.
44
a. Bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu
kesatuan dengan tanahnya atau bangunan tersebut melekat pada
tanah yang bersangkutan.
b. Pembebanan hak tanggungan dinyatakan dengan tegas oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) atau dengan kata lain jika tidak ditegaskan
dalam APHT maka yang dijadikan jaminan atau yang dibebani
Hak Tanggungan hanya tanahnya saja.
Subyek Hak Tanggungan terdiri dari:
a. Pemberi hak tanggungan
Menurut Pasal 8 UUHT ayat (1) pemberi Hak Tanggungan
adalah:
1) Perseorangan atau;
2) Badan Hukum
Baik perseorangan ataupun badan hukum harus mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
obyek-obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan
demikian oleh karena obyek hak tanggungan adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah Negara.
Dengan memperhatikan Pasal 8 ayat (2) UUHT,
kewenangan tersebut sudah harus ada pada saat pendaftaran Hak
45
Tanggungan. Hal ini mengingat lahirnya Hak Tanggungan adalah
pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut dan untuk itu
harus dibuktikan keabsahan dari kewenangan tersebut pada saat
didaftarkan hak Tanggungan yang bersangkutan.19
b. Penerima hak tanggungan
Pemegang hak tanggungan adalah:
1) Perseorangan atau
2) Badan Hukum
Yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9
UUHT). Karena Hak Tanggungan sebaai lembaga jaminan ha
katas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai
secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan,
tanah tetao pada penguasaan pemberi hak Tanggungan kecuali
dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf C
UUHT. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak
Tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan
perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu baik orang
erorangan Warga Negara Indonesia maupun orang asing atau
badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
19 Sutan reny Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan
Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Airlangga University Pers, hal. 56.
46
d. Proses Pemasangan Hak Tanggungan
Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan
Secara umum, prosedur pemberian kredit dengan jaminan hak
tanggungan yang diajukan calon debitor kepada kreditor, yang dalam hal ini
adalah pihak bank yaitu dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1) Calon debitor mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan
berkas-berkas yang diperlukan dan yang telah ditentukan pihak
bank dalam pengajuan kredit;
2) Calon debitor mengisi formulir permohonan kredit yang telah
disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap
dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali pada
pihak bank;
3) Pihak bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas
dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit.
4) Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitor
dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit, maka
kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak. Negosiasi
ini antara lain mengenai maksimal kredit yang diberikan, keperluan
kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi denda, denda,
bunga, dsb;
5) Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka
dilakukan penandatanganan Perjanjian Kredit yang berupa surat
47
pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini
berupa jaminan hak Tanggunganm dihadapan PPAT atau pejabat
bank;
6) Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT
telah memberikan keterangan bahwa calon debitor dinyatakan
telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan
kredit kepada calon debitor.20
Pengikatan jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan dalam perjanjian
kredit yang dimaksud di sini adalah melalui proses pembebanan Hak
Tanggungan sebagaimana ditentukan dalam UUHT yaitu melalui 2 (dua)
tahap:
1) Tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatkan APHT oleh
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang
dijamin;
2) Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan
saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan
memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan kredit yang
diperjanjikan. Janji tersebut wajib dituangkan di dalam dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Utang-Piutang atau perjanjian lain yang
20 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Hukum Perkreditan Edisi Ketiga, (Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama : 1993), hal. 32.
48
menimbulkan utang tersebut.21 Perjanjian tersebut dengan sendirinya harus
tertulis. Bila berupa akta di bawah tangan, bisa juga berbentu otentik,
tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian yang
bersangkutan. Salinan perjanjian kredit diperlihatkan kepada PPAT untuk
mengetahui bahwa pemberian hak tanggungan telah diperjanjikan dan
penunjukkan utang atau utang-utang yang dijamin hak tanggungan.
Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, awal dari tahap Pemberian Hak
Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan dalam perjanjian
utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan
utang tersebut. Sesuai dengan sifat accesoir dari hak Tanggungan maka
pemberian Hak Tanggungan harus merupakan ikutan dari perjanjian pokoknya,
yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lainnya.
Pada waktu pemberian Hak Tanggungan, maka calon pemberi Hak
Tanggungan dan calon penerima Hak Tanggungan harus hadir di hadapan
PPAT, hanya jika dalam keadaan tertentu calon pemberi Hak Tanggungan
tidak dapat hadir sendiri, maka diperkenankan untuk mengusahakannya pada
pihak lain. Pemberian kuasa ini sifatnya wajib jika calon pemberi Hak
Tanggungan tidak dapat hadir. Pemberian kuasa wajib dilakukan di hadapan
21 Pasal 10 ayat 91) UUHT.
49
Notaris dengan akta otentik, yang dibuat khusus dengan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).22
Dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT ditentukan bahwa SKMHT tidak dapat
ditarik kembali karena sebab apapun juga. Ketentuan ini wajar diperlakukan
dalam rangka melindungi kepentingan kreditur, sebagai pihak yang pada
umumnya mendapat kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan. juga
ditentukan bahwa SKMHT tidak dapat berakhir, kecuali kuasa yang
bersangkutan sudah dilaksanakan atau karena melampaui batas waktu
penggunaannya.
Mengenai batas waktu penggunaan SKMHT harus dikaitkan dengan
status tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan, yaitu sudah bersertifikat
atau belum bersertifikat, hal ini ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) sampai
dengan ayat (6) UUHT. Untuk tanah yang sudah bersertifikat, pembuatan Akta
Pemberian hak Tanggungan wajib dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sesudah SKMHT diberikan dan batas waktu 3 (tiga) bulan, jika tanah
yang dijadikan jaminan belum bersertifikat.23 Adapun pembatasan waktu
penggunaan SKMHT tersebut salah satu tujuannya untuk menghindarkan
berlarut-larutnya waktu pelaksanaan pemberian APHT. Dalam APHT wajib
mencantumkan:
1) Nama dan identitas pemberi dan penerima Hak Tanggungan
22 Boedi Harsono, Op Cit, hal. 444 23 Pasal 15 ayat (4) UUHT
50
2) Domisili pihak-pihak pemberi dan penerima Hak Tanggungan
3) Penunjukan secara jelas utang atau utang yang dijaminkan
4) Nilai tanggungan
5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan24
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut sifatnya wajib untuk
menentukan keabsahan suatu pembebanan Hak Tanggungan yang diberikan.
Jika hak tersebut tidak dicantumkan secara lengkap, maka APHT yang
bersangkutan batal demi hukum.
Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Syarat publisitas dipenuhinya dengan didaftarkannya Hak Tanggungan
yang bersangkutan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut wajib
dilaksanakan25, karena pendaftaran akan menentukan saat lahirnya Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Pendafatran APHT dirumuskan dalam Pasal
13 hingga Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan. Setelah APHT dibuat
oleh PPAT dan kemudian ditandatangani oleh para pihak, kemudian APHT
tersebut bersama warkah dan sertifikat tanda bukti hak atas tanah di daftarkan
di Kantor Pertanahan setempat.
Tata cara pendafataran dikemukakan sebagai berikut:
24 Pasal 11 ayat (1) UUHT 25 Pasal 13 ayat (1) UUHT
51
1) PPAT dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah ditandatangani, APHT dan
warkah lainnya wajib didaftarkan kepada kantor pertanahan setempat.
2) Kantor pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan
mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak
tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas
tanah yang bersangkutan.
3) Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlikan bagi
pendaftaran. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka buku
tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
Fungsi Pendaftaran APHT pada Kantor Badan Pertanahan Nasional
antara lain:
1) Untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan
terhadap para pihak
2) Untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak atau
berwenang bahwa tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan.
3) Hak tanggungan yang lahir lebih dahulu memiliki kedudukan yang
lebih tinggi daripada yang lahir kemudian.
4) Untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditor bahwa manakala
debitor cidera janji, maka kreditor mendapat hak preferen sehingga
mendahului dari kreditor-kreditor lain.
52
5) Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap
gangguan pihak ketiga
6) Apabila APHT itu didaftarkan dalam register umum, maka janji yang
terdapat dalam APHT mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga
berkekuatan terhadap seorang pemegang/ pemilik baru.26
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pendaftaran Hak
Tanggungan didahului dengan pembebanan Hak Tanggungan yaitu pemberian
hak tanggungan dihadapan PPAT yang bewenang dan dibuktikan dengan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Di dalam APHT disebutkan syarat-
syarat spesialitas yang meliputi nama dan identitas pemegang dan pemberi hak
tanggungan, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang atau utang yang
dijaminkan pelunasannya dengan hak tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian
jelas mengenai obyek hak tanggungan.
Setelah proses pembebanan hak tanggungan telah dilakukan dan akta
APHT telah ditandatangani oleh kedua belah pihak maka untuk memenuhi
syarat publisitas, APHT tersebut wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan
setempat. Proses pendaftaran tersebut harus dilakukan selambat-lambatnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah akta APHT ditandatangani.27 Namun, jika
pendaftaran APHT menjadi Sertifikat Hak Tanggungan mengalami
keterlambatan yang seharusnya didaftarkan selama rentang waktu 7 (tujuh) hari
26 Herowati Poesko, 2007, Parate Execute Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik
Norma dan kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PREEsindo, Yogyakarta, hal. 108. 27 Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
53
sejak APHT tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak tetapi didaftarkan
melebihi batas ketentuan tersebut, maka BPN mewajibkan PPAT untuk
membuat surat pernyataan terlambat disertai alasan keterlambatan dan berkas
pendaftaran hak tanggungan tersebut bisa diterima dan tetap diproses dengan
alasan dalam pasal tentang pendaftaran APHT menjadi Sertifikat Hak
Tanggungan, jika tidak memenuhi ketentuan batas APHT tersebut tetap sah dan
tetap bisa didaftarkan.28 Hal ini juga jelas tertuang dalam Pasal 114 ayat (7)
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, bahwa:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), (4), (5). Dan (6)
harus juga dilaksanakn oleh Kantor Pertanahan, walaupun pengiriman
berkas oleh PPAT dilakukan sesudah waktu yang ditetapkan pada ayat
(1) dan (2).”
e. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan SKMHT adalah pernyataan pemberian kuasa
yang diberikan oleh pemberi kuasa/pemberi hak tanggungan dalam bentuk
tertulis atau otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris/PPAT dengan
maksud untuk digunakan pada waktu melaksanakan pemberian hak tanggungan
dalam hal pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT
dalam rangka pembuatan APHT. Pada asasnya pemberian hak tanggungan
wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan sebagai
28 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.181.
54
pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan hak
tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Hanya apabila benar-benar
diperlukan dan berhalangan, kehadirannya untuk memberikan hak tanggungan
dan menandatangani APHT-nya dapat dikuasakan kepada pihak lain. SKMHT
pada asasnya hanya dibuat apabila benar-benar diperlukan, dalam hal pemberi
hak tanggungan tidak dapat hadir pada saat pembuatan APHT dihadapan PPAT.
Dengan berlakunya Pasal 15 (1) UUHT, kuasa membebankan hak tanggungan
tidak dapat lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat
terpisah secara khusus.
1) Proses Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa tersebut wajib dilakukan dihadapan Notaris
atau PPAT, dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Bentuk dan isi SKMHT
ditetapkan dengan PMNA/KBPN No. 3/1996. Formulirnya disediakan
oleh BPN melalui kantor-kantor Pos (dulu) dan sekarang di Kantor
Pertanahan dengan memberi tahu jenis yang terpakai dan berapa set
hanya dapat diminta oleh PPAT/PPAT khusus/PPAT sementara/PPAT
pengganti (Pasal 15 (1) UUHT). SKMHT dibuat oleh Notaris atau
PPAT yang bersangkutan dalam dua ganda. Semuanya asli (in
originali), ditandatangani oleh pemberi kuasa, penerima kuasa, 2 orang
saksi dan Noratis atau PPAT yang membuatnya. Selembar disimpan di
Kantor Notaris atau PPAT yang bersangkutan, lembar lainnya diberikan
55
kepada penerima kuasa untuk kperluan pemberian hak tanggungan dan
pembuatan APHT-nya. PPAT wajib menolak membuat APHT
berdasarkan surat kuasa yang bukan SKMHT in originali, yang
formulirnya disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan
bentuk serta isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri di atas.
Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar surat kuasa yang bukan
SKMHT in originali yang bentuk serta isinya ditetapkan oleh Menteri
Negara Negara Agraria/Kepala BPN merupakan cacat hukum dalam
proses pembebanan hak tanggungan. Biarpun telah dilaksankan
pendaftarannya, keabsahan hak tanggungan tetap terbuka kemungkinan
untuk digugat oleh pihak-pihak yang dirugikan. Kreditor yang
dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada PPAT dan Notaris
yang bersangkutan. Dalam pendaftaran hak tanggungan yang diberikan
para Kepala Kantor Pertanahan tidak berwenang, bahkan dilarang
meninjau keabsahan APHT yang didasarkan atas surat kuasa yang
dimaksudkan. Surat kuasa tersebut disimpan oleh PPAT dan tidak
disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Maka para Kepala
Kantor Pertanahan tidak dapat ikut digugat untuk mengganti kerugian
yang diderita kreditor yang bersangkutan. PPAT hanya berwenang
membuat SKMHT mengenai obyek hak tanggungan yang terletak di
wilayah daerah kerjanya. Sebaliknya karena daerah kerjanya tidak
dibatasi, pembatasan itu tidak berlaku terhadap Notaris dalam
pembuatan SKMHT. Ditunjuknya PPAT sebagai pejabat yang bertugas
56
membuat SKMHT adalah dalam rangka memudahkan pemberian
pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan. Berbeda dengan
umumnya para Notaris, PPAT keberadaannya sampai pada wilayah
kecamatan. Kewenangan PPAT membuat SKMHT selain tercantum
dalam Pasal 15 (1) UUHT, juga berdasarkan Penjelasan Umum Angka
7 UUHT menentukan bahwa : PPAT adalah pejabat umum yang
berwenang membuat akta pemindahan ha katas tanah dan akta lain
dalam rangka pembebanan ha katas tanah, yang bentuk aktanya
ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu
mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
Sebagai pejabat umum tersebut, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT
merupakan akta otentik. Pembuatan SKMHT kepada Notaris,
ditugaskan juga kepada PPAT yang keberaaannya sampai pada wilayah
kecamatan untuk memudahkan pelayanan kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Dengan demikian, jika Notaris berwenang membuat
SKMHT untuk tanah-tanah diseluruh wilayah Indonesia, maka PPAT
hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang berada dalam
wilayah jabatannya terutama ditempat-tempat dimana tidak ada Notaris
yang bertugas.29 Oasal 5 (5) UUHT menentukan ketentuan yang
berbeda untuk SKMHT atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Menurut pasal tersebut, SKMHT atas benda-benda yang merupakan
29 Hasbullah, op. cit, hal. 164.
57
satu kesatuan dengan tanah ( untuk dibebani hak tanggungan bersama-
sama tanah yang bersangkutan) hanya dapat dibuat dengan akta otentik.
Sedangkan SKMHT untuk tanahnya menurut ketentuan Pasal 15(1)
UUHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau PPAT. Sekalipun akta
PPAT adakah juga merupakan akta otentik, bagi pembuatan SKMHT
atas benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tidak
dapat dibuat dengan akta PPAT. Hal itu karena PPAT hanya berwenang
membuat akta tanah dan bukan aka selain dari tanah. Sekalipun benda-
benda yang dimaksudkan diatas adalah benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, benda-benda itu bagaimanapun juga tetap saja bukan
tanah. Oleh karena itu PPAT tidak berwenang membuat SKMHT bagi
pembebaban hak tanggungan atas benda-benda itu. Dengan deminkian,
akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh Notaris atau
pejabat umum lainnya yang berwenang untuk membuat akta otentik
untuk benda-benda tersebut. Berkenaan dengan hal yang tersebut di
atas, menjadi terasa adanya ketentuan yang kontrdiktif dari ketentuan
pasal 15 (1) UUHT yang menentukan bahwa SKMHT bagi benda-benda
yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah dapat
dibuat dengan akta PPAT sekaligus bersama-sama dengan SKMHT dari
tanah itu sendiri. Dengan kata lain, UUHT membenarkan PPAT
membuat akta untuk transaksi benda bukan tanah, (hanya saja) apabila
akta itu menyangkut juga tanahnya dan sepanjang pemilik dari benda-
benda terebut adalah juga pemilik dari tanahnya. Disini kembali terlihat
58
kerancuan dan ketidaktatan asas dari UUHT terhadap asas pemisahan
horizontal yang berlaku bagi tanah menurut hukum tanah nasional.30
2) Larangan dan Persyaratan
Pemberian kuasa harus dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak
Tanggungan, sedang akta pemberian kuasanya harus dibuat oleh Notaris
atau PPAT dalam bentuk SKMHT yang formulirnya disediakan oleh
BPN. Selain itu bagi sahnya SKMHT ada larangan dan persyaratan yang
disebut dalam Pasal 15 (1) UUHT :
a) Dilarang SKMHT memuat kuasa untuk melakukan perbuatan
hukum lain daripada membebankan hak tanggungan.
UUHT secra tegas membatasi isi atau muatan dari SKMHT,
yaitu hanya memuat perbuatan hukum membebankan hak
tanggungan. jadi tidak boleh membuat kuasa-kuasa melakukan
perbuatan hukum lain yang bermaksud mendukung tercapainya
maksud pemberian jaminan yang bersangkutan, misalnya tidak
memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek hak
tanggungan, memperpanjang ha katas tanah atau untuk
mengurus perpanjangan sertifikat, mengurus balik nama dan
sebagainya. Jika memang dikehendaki, hal semcam itu dapat
dimuat dalam APHT namun bukan sebagai kuasa tetapi hanya
30 Sjahdeini, op. cit, hal. 121-122
59
berupa janji-janji antara pemberi hak tanggungan dengan
pemegang hak tanggungan seperti halnya dimuat dalam Pasal 11
(2) huruf a-k UUHT. Tidak dilarang memberi kuasa memberikan
janji-janji yang dimaksudkan dalam Pasal 11(2) UUHT.
b) Dilarang memuat kuasa substitusi.
Substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui
pengalihan, hingga ada penerima penerima kuasa baru. Bukan
substitusi, karena tidak terjadi penggantian penerima kuasa,
apabila penerima kuasa menugaskan pihak lain untuk atas
namanya melaksanakan kuasa itu. Namun, jika penerima kiasa
memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan
untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank
menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepa
Cabangnya atau pihak lain, maka ini bukan merupakan substitusi
(Penjelasan Pasal 15(1) huruf b UUHT).
c) Wajib dicantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah
utang, nama serta identitas kreditornya, nama serta identitas
debitor, apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.
Jika SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan
atau apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar
larang-larangan di atas, SKMHT yang bersangkutan menjadi
batal demi hukum, artinya Surat Kuasa itu tidak dapat digunkaan
60
sebagai dasar pembuatan APHT, demikian ditegaskan dalam
Penjelasan pasal tersbeut. PPAT wajib menolak permohonan
untuk menbuat APHT, apabila kuasa tidak diberikan sendiri oleh
pemberi hak tanggungan atau tidak dipenuhi ketentuan di atas.
3) Perlindungan Bagi Kreditor Pemegang Kuasa
Kuasa untuk memberikan hak tanggungan tidak dapat ditarik
kembali dan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, juga jika hak
tanggungan meninggal dunia. Kecuali, kuasa tersebut sudah berakhir
setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Aturan tersebut
sebenarnya merupakan suatu penyimpangan dari BW, karena
berdasarkan Pasal 1813 BW, pemberian kuasa berakhir dengan
ditariknya kembali kuasanya si penerima kuasa melalui pemberitahuan
penghentian kuasa, karena meninggalnya,pengampuannya, atau
pailitnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa, dengan
perkawinannya si perempuan yang memberikan kuasa atau menerima
kuasa. Ketentuan UUHT sudah sewajarnya karena pemberian kuasa
yang dimaksud dalam SKMHT tidaklah sama dengan pemberian kuasa
pada umumnya sebagaimana yang dimaksud Pasal 1792 BW.
Ketentuan dalam UUHT tersebut justru bersifat penegasan agar
pemberian hak tanggungan benar-benar dilaksanakan. Hal ini berarti
dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi
pemegang maupun pemberi hak tanggungan.
61
4) Batas Waktu Penggunaan SKMHT
Guna mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan
terjadinya penyalahgunaan serta demi tercapainya kepastian hukum,
maka berlakunya SKMHT dibatasi jangka waktunya. Mengenai batas
waktu penggunaan SKMHT ditentukan dalam Pasal 15(3) dan (4)
UUHT, yaitu:
a) SKMHT untuk tanah yang bersertifikat wajib diikuti dengan
pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 bulan sesudah
diberikan.
Jika yang dijadikan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah
yang sudah terdaftar, wajib diikuti pembuatan APHT selambat-
lambatnya 1 bulan sesudah diberikan.
b) SKMHT untuk tanah yang belum bersertifikat, selambat-
lambatnya 3 bulan.
Sedangkan apabila yang dijadikan jaminan hak atas tanah yang
belum terdaftar, jangka waktu penggunaannya dibatasi 3 bulan.
Jangka waktu ditetapkan lebih lama, karena untuk keperluan
pembuatan APHT-nya diperlukan penyerahan lebih banyak
surat-surat dokumen kepada PPAT, daripada apabila hak atas
tanahnya sudah didaftar, dalam hal mana cukup menyerahkan
sertifikat haknya. Yang dimaksud dengan tanah yang belum
62
terdaftar adalah tanah-tanah yang hak kepemilikannya telah ada
menurut Hukum Adat, tetapi proses administrasi dalam
konversinya belum selesai dilaksanakan (Penjelasan Pasal 10(3)
UUHT). Jadi merupakan hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Mengingat
tanah hak sebagaimana tersebut saat ini mungkin masih ada,
maka pembebanan hak tanggungan pada hak tanah tersebut,
dimungkinakan asalakan pemberiannya dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut.
Kemungkinan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada pemegang ha katas tanah yang belum bersertifikat untuk
memperoleh kredit dan juga mendorong pensertifikat ha katas
tanah pada umumnya. Penyelesaian pendaftaran hak itu sendiri,
yang umumnya memerlukan waktu lebih dari 3 bulan jika
mengenai Hak Milik bekas hak milik adat, dilakukan sesudah
dibuat APHT-nya. Maka pada waktu dibuat APHT Hak Milik
bekas hak milik adat tersebut belum tentu besertifikaat. Bila
diperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk
menempuh proses pendaftaran tanah-tanah yang belum
bersertifikat, banyak yang meragukan bahwa dalam jangka
waktu kurang dari 3 bulan sertifikat hak atas tanah itu dapat
dikeluarkan. Oleh karena itu adalah lebih realitis apabila jangka
63
waktu berlakunya SKMHT bagi hak atas tanah yang belum
terdaftar ditetapkan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diberikan
SKMHT tersebut, tetapi selambat-lambatnya 3 bulan sejak
tanggal dikeluarkannya sertifikat ha katas tanah yang
bersangkutan.
c) SKMHT untuk tanah yang sudah bersertifikat tapi belum
didaftarkan atas nama pemberi hak tanggungan sebagai
pemegang haknya yang baru, selambat-lambatnya 3 bulan.
Menurut Pasal 15 (4) UUHT, tanah yang sudah bersertifikat
tetapi belum didaftar atas nama pemberi hak tanggungan sebagai
pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum
didaftar peralihan haknya, pemecahannya atau
penggabungannya. Batas waktu 3 bulan itu berlaku juga
bilamana hak atas tanah yang bersangkutan sudah besertifikat,
tetapi belum tercatat atas atas nama pemberi hak tanggungan
sebagai pemegang hak yang baru. Penentuan waktu 3 bulan
tersebut bukan dimaksudkan untuk menyelesaikan pendaftaran
hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan untuk
mempercepat realisasi pmbuatan APHT-nya.
Ketentuan Pasal 15 (3), (4) UUHT tidak berlaku dalam hal
SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 15(50
64
UUHT). Untuk proyek-proyek tertentu, yatu jenis-jenis Kredit Usaha
Kecil, sebagaimana yang dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia tanggal 28 Mei 1993 No. 26/24/KEP/DIR, lalu dicabut
diganti dengan SK Direksi BI tanggal 4 April 1997 No. 30/4/KEP/DIR,
sebagaimana kemudian diubah dengan SK Direksi BR tanggal 8
Agustus 1998 No. 30/55/KEP/DIR ditetapkan batas jangka waktu lain
dengan PMNA/KBPN No. 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas
Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu. Misalnya seperti
Kredit Usaha Kecil (KUK), berlaku sampai berakhirnya perjanjian
pokok KUK tersebut, sedangkan untuk obyek hak tanggungan berupa
hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan,
berlaku sampai terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut ditambah 3
bulan. Jika tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang
ditentukan, SKMHT yang bersangkutan menjadi batal demi hukum
(Pasal 15(6) UUHT). Serta menurut penjelasan Pasal 15 (6) UUHT,
tidak ditutup kemungkinan untuk membuat SKMHT baru apabila
SKMHT yang lama telah batal karena berakhirnya jangka waktu.
f. Beralihnya Hak Tanggungan
Dalam rangka memenuhi syarat publisitas bagi kepentingan pihak
ketiga, peralihan hak tanggungan tersebut wajib didaftarkan oleh kreditor
pemegang hak tanggungan yang baru kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran
65
berlaihnya hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
mencatatnya pada buku tanah hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
(Pasal 16 (3) UUHT). Bagi pihak ketiga yang berkepentingan beralihnya hak
tanggungan baru mempunyai akibat hukum sejak tanggal dibubuhkannya
catatan oleh Kepala Kantor Pertanahan pada Buku Tanah hak tanggungan pada
buku Buku Tanah obyek yang dibebani. Catatan tersebut disalin pada sertifikat
hak tanggungan dan sertifikat obyeknya. Pendaftaran peralihan hak tanggungan
dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas permohonan pemegang hak
tanggungan yang baru, disertai:
1) Sertifikat hak tanggungan;
2) Surat tanda bukti beralihnya piutang yang dijamin dengan hak
tanggungan, berupa:
a) Akta cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie
tersebut;
b) Akta suborgasi atau akta otentik yang menyatakan adanya
suborgasi tersebut;
c) Bukti pewarisan;
d) Bukti penggabungan/peleburan PT atau koperasi.
3) Identitas pemohon dana tau surat kuasa tertulis apabila permohonan
pendaftaran tersbut diajukan oleh pihak lain;
66
4) Apabila sertifikat hak atas tanah atau HMSRS yang dibebabi hak
tanggungan disimpan oleh pemegang hak tanggungan, sertifikat
tersebut juga dilampirkan pada permohonan pendafatran yang
diajukan.
Mengingat pentingnya tanggal tersebut bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, ditetapkan dalam Pasal 16 (4) UUHT bahwa tanggal
pencatatan beralihnya hak tanggungan itu adalah tanggal hari ketujuh setelah
diterima secara lengkap surat-surat yang diperlukan. Antara lain surat tanda
bukti terjadinya perlaihan piutang yang dijamin. Jika hari ketujuh jatuh pada
hari libur, catatan dibubuhan pada hari kerja berikutnya. Untuk keperluan
pendaftaran peralihan hak tanggungan tersebut cukup diserahkan Salinan akta
yang membuktikan peleburan atau penggabungan perusahaan pemegang hak
tanggungan, cessie, suborgasi yang menyebabkan beralihnya piutang yang
dijamin. Tetapi umumnya akta-akta tersebut isinya bermacam-macam dan tidak
mudah dipahami. Sehubungan denganitu untuk memudahkan pada Kepala
Kantor Pertanahan mengetahui bahwa benar terjadi peralihan piutang yang
menyebabkan berlaihnya juga hak tanggungan, cukuplah kiranya diserahkan
kepadanya suatu pernyataan tertulis dari kreditor pemegang hak tanggungan
yang lama dan yang baru, bahwa hak tanggungan tersebut telah beralih dari
pemegang hak tanggungan yang lama kepada yang baru, dengan menunjuk
kepada akta yang dimaksudkan.31
31 Harsono, Op. cit, hal. 449-450
67
g. Eksekusi Hak Tanggungan
Sebagaimana diketahui dalam eksekusi putusan dikenal 4(empat)
macam eksekusi, yaitu:
1) Eksekusi yang diatur dalam Pasal 196 HIR merupakan eksekusi
putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang.
2) Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR adalah eksekusi yang
menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan. Untuk
memenuhi prestasi melakukan suatu perbuatan sudah tentu seseorang
tidak dapat dipaksankan, oleh karena itu pihak yang dimenangkan
dapat meminta kepada hakim agar kepentingan yang akan
diperolehnya dinilai dengan uang.
3) Eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIR tetapi dlam Pasal 1033 RV
yang merupakan pelaksanaan putusan yang berupa pengosongan
benda tidak bergerak. Eksekusi riil ini merupakan pelaksanaan prestasi
yang dibebanakan kepada debitor oleh putusan hakim secara langsung.
Jadi eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada
hasil yang sama seperti apabila dilaksnakan secara sukarela oeh pihak
yang bersangkutan. HIR sendiri menganal eksekusi riil hanya dalam
penjualan lelang (Pasal 200 (11) HIR).
4) Parate executie dikenal juga sebagai eigenmachtige verkoop. Parate
executie terjadi apabila seorang kreditor menjual barang tertentu milik
68
debitor tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155, 1178 (2) BW)
artinya erupakan pelaksanaan perjanjian tanpa melalui gugatan atau
tanpa melalui pengadilan.32
Apabila debitor cidera janji, obyek hak tanggungan oleh kreditor
pemegang hak tanggungan dijual melalui pelalangan umum menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundnag-undangan yang berlaku dan kreditor
pemegang hak tanggungan berhak mengambil seluruh/sebagian dari hasilnya
untuk pelunasan piutangnya yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut,
dengan hak mendahulu dari kreditor-kreditor lain.33 dalam hal debitor cidera
janji pasal 20 (1) huruf a dan b UUHT menetapkan 2 kemungkinan untuk
melaksanakan eksekusi, yaitu :
1) Eksekusi berdasarkan Pasl 6 dan 11 (2) huruf e UUHT, dalam
hal ini apabila debitor cidera janji, maka pemegang hak
tanggungan mempunyai hak untuk menjual obyek hak
tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut lebih dahulu dari kreditor-kreditor lainya. Hak tersebut
harus lebih dahulu diperjanjikan oleh kreditor dan debitor dan
dicantumkan dalam APHT (Pasal 11 (2) huruf e UUHT). Hal ini
disebut eksekusi hak tanggungan. pelaksanaannya lebih mudah
32 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermas. 2003, hal.124 33 Pasal 20 UUHT
69
daripada parate executie, karena tidak iperlukan perintah Ketua
Pengadilan Negeri untuk melakukan penjualan obyek hak
tanggungan melalui pelelangan umum. Kreditor pemegang hak
tanggungan dapat langsung mengajukan permintaan kepada
Kepala Kantor Lelang Negara untuk melakukan penjualan
obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
2) Eksekusi melalui lelang berdasarkan titel eksekutorial (irah-
irah) yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan
sebagaimana dalam Pasal 14 (2) UUHT yang menyatakan
“Sertifikat hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) memuat irah-irah dengan kata DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.”
Menurut ketentuan dalam Pasal 26 UUHT, selama belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan
memperhatikan ketentuan pasal 14, peraturan mengenaik
eksekusi Hypotheek yang ada pada mulai berlakunya undang-
undang ini, berlaku terhadap eksekusi hak tanggungan. acara
parate executie adalah dengan menunjukkan bukti, bahwa
debitor ingkar janji dalam pemenuhan kewajibannyam diajukan
permohonan eksekusi oleh kreditor pemegang hak tanggungan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan
sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya.
Eksekusi akan dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan
70
Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelalangan umum
yang dilakukan oleh kantor Lelang Negara. namun, pelaksanaan
eksekusi hak tanggungan dapat ditangguhkan, apabila pemberi
hak tanggungan dinyatakan pailit atau berada dalam penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Untuk dapat menggunakan kemudahan yang disediakan oleh UUHT,
salah satu syaratnya adalah piutang yang belum dilunasi pembayarannya oleh
debitor itu harus benar-benar terbukti ada dan pasti jumlahnya. Apbila adnaya
dan jumlah piutangnya masih disengketakan, penyelesaiannya harus dilakukan
melalui gugatan perdata biasa. Oleh karena itu perlunya diperhatikan dalam
merumuskan perjanjian utang-piutang tersebut. Menurut ktentuan Pasal 20(5)
UUHT bahwa sampai satt pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan
melalui pelelangan umum dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang
dijamin, berikut biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Maksudnya
adalah sampai dengan dikeluarkannya pengumuman lelang, masih dapat
dilakukan pelunasan utangnya untuk menghindari pelelangan.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS: Analisis Perlindungan
Hukum Bagi Kreditor dalam Kaitannya Dengan Keabsahan
Pemasangan Hak Tanggungan (Putusan Nomor
999/Pdt.G/2013/Pn.Sby)
Dalam melakukan perjanjian kredit, tidak semua pihak menjalankan proses
pemberian kredit hingga pembebanan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan
71
yang berlaku. Hal ini, tentu saja mengakibatkan perjanjian kredit maupun
pembebanan jaminan dapat batal demi hukum. Oleh karena itu, pentingnya
pemasangan hak tanggungan yang sah dalam perjanjian kredit perlu diperhatikan
lebih lagi agar tidak ada permasalahan-permasalahan yang timbul dan
mengakibatkan kerugian bagi para pihak khususnya kreditor pemegang hak
tanggungan. Sebelum menjawab rumusan masalah yang penulis angkat, maka
penulis akan lebih dahulu memaparkan kasus posisi dalam kasus perdata nomor
999/pdt.g/2013/Pn.Sby.
Kasus posisi
Posita
PT. Bank UOB Indonesia Tbk yang berkedudukan di UOB Plaza Jalan
M.H. Thamrin Kavling-10 Jakarta yang disebut sebagai Penggugat, merupakan
kreditur dari Timbul Daud Maurit Nainggolan yang berkedudukan di Jalan Puspa
Raya Blok D No. 10, Citraland, Surabaya yang selanjutnya disebut dengan
Tergugat I. Badan Pertanahan Nasional Kota Surabaya I yang berkududukan di
Jalan Puspa Raya Blok D No. 10, Citraland, Surabaya yang selanjutnya disebut
sebagai Tergugat II.. Bahwa PT. Bank UOB, selaku Penggugat adalah badan
hukum yang bergerak dalam jasa perbankan telah memberikan pinjaman fasilitas
kredit kepada Tergugat sesuai perjanjian kredit No. 01 tertanggal 1 November 2011
yang dibuat dihadapan Notaris / PPAT Anita Anggawidjaja, SH. dalam jangka
waktu 1 November 2011 sampai dengan 1 November 2012.
Bahwa terhadap pinjamannya, Tergugat menyerahkan jaminan sebidang
tanah berikut bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 6281,
seluas 409 m2, sebagaimana terurai dalam surat ukur tertanggal 07.09.2009
No.185/Manukan Kulon/2009, Jl. Raya Manukan Tama No. 51 Surabaya, atas
nama Timbul Daud Muarit Nainggolan.
Bahwa terhadap tanah tersebut sebelumnya telah dijaminkan pada Bank
Mandiri dan sudah dibebani Hak Tanggunan, namun belum di cabut atau di roya
pembebanannya. Tergugat kemudian memberikan surat kuasa kepada Penggugat
untuk membebankan Hak Tanggungan No. 227/2013 tanggal 27 MAret 2013 serta
menyerahkan bukti pelunasan pada Bank Mandiri untuk di roya pembebanannya
dan dialihkan pembebannannya kepada Penggugat.
72
Bahwa pada saat akan dilakukannya roya dan akan dibebani Hak
Tanggungan, ternyata Tergugat II telah mencatatkan adanya permohonan blokir
padahal masih ada pembebanan Hak Tanggungan dan pemblokiran yang di catat
berdasarkan gugatan perdata perkara daftar : 351/Pdt.G/2010/PN.Sby, yang sudah
diputuskan sejak 2 November 2010 dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahwa Tergugat II tidak pernah mengeluarkan penetapan sita terhadap
SHGB No. 6281 sebagaimana Pasal 26 Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun
1977, sehingga pencatatan sita oleh Tergguat II tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat .
Bahwa fasilitas kredit yang diterima Terggugat I telah jatuh tempo sejak
tanggal 1 November 2012, sehingga karenanya Tergugat I wajib melaksanakan
kewajibannya untuk membayar seluruh utangnya secara seketika dan sekaligus
kepada Penggugat.
Bahwa Penggugat sudah memperingatkan kepada Tergugat I untuk
menyelasaikan kewajibannya, akan tetapi Tergugat I tidak segera memenuhi
kewajibannya, sehigga perbuatan Tergugat I tersebut dapat dikategorikan sebagai
perbuatan Wanprestasi.
Berdasarkan alasan-alasan dan bukti-bukti tersebut, maka Penggugat
memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Surabaya untuk memeriksa dan
memutus sebagai berikut :
a. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya
b. Menyatakan bahwa Tergugat I telah mekakukan perbuatan Wanprestasi
c. Menghukum para Tergugat untuk membayar uang ganti rugi materiil
maupun inmateriil dari Tergugat sebesar Rp.1.800.000.000,- (Satu
Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah) dengan perhitungan bunga sebesar
2% sebulan.
d. Menyatakan pencatatan sita oleh Tergugat II terhadap SHGB No. 6281
adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
e. Menghukum Tergugat II untuk mencabut permohonan blokir yang tidak
disertai penetapan pengadilan, sebagaimana ketentuan Pasal 26
Peraturan Menteri Agraria No.3 Tahun 1977.
Bukti-Bukti yang diajukan oleh pihak pemohon
Untuk membuktikan gugatannya, kuasa hukum Penggugat mengajukan bukti
surat-surat di persidangan berupa :
a. Bukti P-1 : Fotokopi Rekening Koran atas nama Debitur Timbul Daud
Mauritz Nainggolan, tanggal cetak 11 Januari 2011.
b. Bukti P-2 : Fotokopi Akta Perjanjian Kredit No.01 tanggal 01
November 2011, yang dibuat di hadapan Anita Anggawidjaja, S.H.,
Notaris di Surabaya.
73
c. Bukti P-3 : Fotokopi Syarat-Syarat Umum Perjanjian Kredit PT. Bank
UOB Indonesia Tbk.
d. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan No.
277/2013, tanggal 27 Maret 2013.
e. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nomor : TOP.CRO/RCO.SBY/6109/2011,
tanggal 01 November 2011, yang ditujukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surabaya.
f. Bukti P-6 : Fotokopi Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 6281, Surat
Ukur No. 185/Manukan Kulon/2009, tanggal 07 September 2009, luas
409 M2 atas nama Timbul Daud Mauritz Nainggolan.
g. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Peringatan Pertama yang ditujukan kepada
Timbul Daud Mauritz Nainggolan, tanggal 05 April 2013.
h. Bukti P-8 : Fotokopi Surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan Kota Surabaya, tanggal 18 November 2012.
Jawaban dari pihak Tergugat 1
Melalui pengacaranya Juang Basuki, S.H., Advokat/Konsultan Hukum pada
Kantor Hukum “JUANG BASUKI & PARTNERS” yang berkedudukan di Jalan
Tambak Wedi Baru 17/22, Kota Surabaya berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 02 Januari 2014 dan telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Surabaya pada tanggal 3 Januari 2014 di bawah No. 09/HK/I/2014,
mengemukakan jawaban terhadap surat gugatan sebagai berikut:
a. Bahwa Tergugat I menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat
kecuali yang secara tegas diakui oleh Tergugat I.
b. Bahwa memang benar Penggugat pada tanggal 01 November 2011 telah
memberikn pinjaman fasilitas kredit No. 01 yang dibuat dihadapan
Notaris/PPAT Anita Anggawidjaja, S.H., kepada Tergugat I.
c. Bahwa terhadap pencairan pinjaman fasilitas kredit tersebut pihak
Penggugat telah menyalahi prinsip-prinsip serta aturan dalam
perbankan, antara lain :
- Prinsip kehati-hatian (prudential principle), dimaksudkan untuk
menumbuh kembangkan Bank yang sehat dan kuat, dengan dalam
hal ini Penggugat sebagai pihak Kreditur menyalahi prosedur
standar operasional dan tidak menjalankan prinsip kehati-hatian
dalam pencairan dana terhadap tergugat.
- Kebijakan Umum Pengkreditan (KUP)34
- Pedoman Pelaksanaan Pengkreditan (PPK), atau ada juga yang
menyebut dengan Standar Operasional Pengkreditan (SOP),
merupakan pelaksanaan pengkreditan yang dapat menjamin
pemberian kredit yang sehat
34 Kebijakan Umum Pengkreditan (KUP) adalah kebijakan pengkreditan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen, mencangkup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasannya.
74
d. Bahwa gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak lengkap ( Plurium
Litis Consortium), hal ini disebabkan karena tidak ditariknya pihak :
- Bank Mandiri Cab. Basuki Rachmad;
Bank Mandiri Cab. Basuki Rachmad sebagai Pemegang Hak
Tanggungan dan sampai saat ini masih tertera sebagai Pemegang
Hak Tanggungan di dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan No.
6281, seluas 409m2 milik Tergugat I;
- Notaris/PPAT Anita Anggawidjaja, S.H.;
Notaris/ PPAT Anita Anggawidjaja, S.H., sebagai pihak yang
membuat Perjanjian Kredit No.01 tertanggal 01 November 2011,
harusnya ditarik sebagai turut tergugat karena ikut
merekomendasikan terjadinya pencairan kredit;
e. Bahwa ganti rugi baik materiil maupun inmateriil sebesar
Rp.1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) yang diminta
Penggugat sangat berlebihan dan tanpa dasar.
Jawaban dari Tergugat II
Melalui Kuasanya KUNCOROBHAKTI HANUNG P. S.H., R. WIDODO AGUS
PURWANTO. S.H., NANANG HArIYANTO, S.H., NUGROHO IMAM
SANTOSO, S.H., dan MUCH MUDZAKIR, AMD yang merupakan para pegawai
pada Kantor Pertanahan Kota Surabaya I Provinsi Jawa Timur, beralamat di Jalan
Taman Puspa Raya Blok D No. 10 Komplek Citra Raya, Sambikerep-Surabaya,
mengemukakan jawaban dari Penggugat sebagai berikut :
a. Bahwa Tergugat II menolak tegas seluruh dalil gugatan Penggugat
tanpa pengecualian
b. Bahwa Pokok gugatan adalah mengenai PERBUATAN
WANPRESTASI yang diduha dilakukan oleh pihak Tergugat I selalu
debitur dari Penggugat yang berkedudukan di Jakarta selaku Kreditur
c. Bahwa Gugatan penggugat terkait kedudukan Tergugat II sebagai pihak
berperkara secara yuridis ABSCUUR LIBEL dengan dasar
alasan/pertimbangan yuridis:
- Bahwa duduk perkara dari adanya gugatan ini adalah terkait dengan
perbuatan wanprestasi yang diduga dilakukan oleh Tergugat I
selaku debitur dari Penggugat / PT. BANK UOB INDONESIA
Tbk, berkedudukan di Jakarta selaku Kreditur, bukan terkait
perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak Tergugat dalam
hal khususnya yang terkait dengan Tergugat II
- Bahwa terkait dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan no.
6281/Kelurahan Manukan kulon, Surat ukur tanggal 07 September
2009 No. 185/ Manukan Kulon/2009, Luas 409m2, atas nama
timbul Daud Nainggolan, berdasarkan data buku tanah Hak Guna
Bangunan saat ini dilekati dengan Hak Tanggungan peringkat I
untuk kepentingan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., Badan hukum
berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta
75
- Bahwa dengan tidak terdaftarnya peralihan Hak Tanggungan untuk
dan atas nama PT. Bank UOB, yang berkedudukan di Jakarta jelas
kabur karena pihak Penggugat tidak pernah ada hubungan hukum
dengan obyek Hak Tanggungan atas Sertifikat Hak Guna Bangunan
No.6281/ Kelurahan Manukan Kulom dan tidak ada hubungan
hukum dengan pihak Tergugat II mengingat Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) belum didaftarkan kepada Tergugat II.
- Bahwa apabila benar terjadi perikatan antara pihak Penggugat
dengan Tergugat I dalam bentuk Hak Tanggungan harus ada
pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan hal ini sebagaimana
diisyaratkan Pasal 44 dan Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.24
Tahun 1977 Jo. Pasal 114 sampai 119 Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
- Bahwa gugatan Penggugat kurang pihak yang seharusnya
melibatkan PT. Bank Mandiri selaku Krediutur mengingat tidak
terdaftarnya Akta Pemberian Hak Tanggungan untuk kepentingan
PT. Bank UOB.
- Bahwa gugatan yang ditujukan pada Tergugat II merupakan
sengketa administrasi yang seharusnya secara yuridis menjadi
kewenangan Absolut Peradilan Tata Usaha Negara bukan menjadi
kewenangan Peradilan umum sebagaimana tersirat dan tersurat
dalam Pasal 1 angka 2 sampai angka 6, Pasal 3 dan Pasal 53
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Jo. No.9 Tahun 2004 Jo. No. 51
Tahun 2009
d. Bahwa pencatatan blokir hanya sekedar penanda adanya perkara atas
bidang tanah dengan hak yang telah terbit di atasnya dan wajib
dilakukan pencatatan dalam buku tanah yang bersangkutan. JANGAN
DISAMAKAN BLOKIR DALAM ARTI SITA YANG DILAKUKAN
OLEH PENGADILAN/PENYIDIK. Tindakan Kepala Kantor
Pertanahan telah sesuai dan mendasar pada Pasal 45 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dan Pasal 54, Pasal 66 dan Pasal 128
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No, 3 Tahun 2011. (
lebih-lebih terkait Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 6281/ Kelurahan
Manukan Kulon terdapat catatan : Laporan Polisi No. Pol : LP
B/176/III/2010/BIRO OPERASI tanggal 19 Maret 2010).
Para Tergugat diduga melanggar kewajiban hukumnya dan merugikan
Penggungat
Tergugat I atau pihak debitur dari Kreditur PT. Bank UOB Indonesia Tbk adalah
Daud Mauritz Nainggolan diduga melanggar kewajiban hukumnya yaitu :
a. Bahwa Penggugat ( PT. Bank UOB Indonesia Tbk) telah memberikan
fasilitas kredit sebesar Rp.1.250.000.000,- ( satu milyar dua ratus lima
puluh juta rupiah) kepada Tergugat I, sebagaimana tersebut pada
Perjanjian Kredit No.01 tertanggal 1 November 2011.
76
b. Bahwa menurut Perjanjian Kredit, fasilitas kredit tersebut sebenarnya
telah jatuh tempo pada tanggal 1 November 2012 namun Tergugat I
tidak segera memenuhi kewajibannya sehingga perbuatan Tergugat I
dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi.
c. Bahwa pada saat akan dilakukannya roya dan akan dibebani Hak
Tanggungan, ternyata Tergugat II telah mencatatkan adanya
permohonan blokir padahal masih ada pembebanan Hak Tanggungan
dan pemblokiran yang di catat berdasarkan gugatan perdata perkara
daftar : 351/Pdt.G/2010/PN.Sby, yang sudah diputuskan sejak 2
November 2010 dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
d. Bahwa Tergugat II tidak pernah mengeluarkan penetapan sita terhadap
SHGB No. 6281 sebagaimana Pasal 26 Peraturan Menteri Agraria No.
3 Tahun 1977, sehingga pencatatan sita oleh Tergguat II tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat .
Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa dari dalil kedua belah pihak yang berperkara, Majelis Hakim
menyimpulkan menjadi 2(dua) pokok perkara, yaitu:
a. Pokok Perkara Pertama
Menimbang, bahwa dari surat bukti yang diajukan oleh
Penggugat yaitu surat Bukti P-1, Bukti P-2, dan Bukti P-3 diketahui
bahwa Penggugat dan Tergugat I dengan persetujuan isterinya pada
tanggal 1 November 2011 telah menandatangani perjanjian kredit,
dimana Penggugat telah menyetujui memberikan fasilitas kredit
rekening koran kepada Tergugat I selaku debitur sejumlah
Rp.1.250.000.000,- ( Satu Milyar Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah)
guna keperluan investasi/kebutuhan modal kerja Tergugat I dengan
jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal 1
November 2011 sampai dengan 1 November 2012 dan bunga sebesar
12,50% per tahun.
Menimbang, bahwa di dalam Pasal 2 dari surat Bukti P-2
tersebut juga diperjanjikan bahwa untuk menjamin pembayaran
hutangnya tersebut, pihak Tergugat I selaku debitur telah memberikan
barang jaminan kepada Penggugat berupa sebidang tanah yang
diuraikan dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 6281/Kelurahan
Manukan Kulon, Surat Ukur tanggal 07 September 2009
No.185/Manukan Kulom/2009, luas 409m2, atas nama Timbul Mauritz
Nainggolan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota
Surabaya I tertanggal 16 Oktober 2009, berikut dengan bangunan
berupa rumah yang berdiri di atasnya termasuk juga tanaman serta hasil
karya yang telah ada dan/ akan ada yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah tersebut yang kemudian barang jaminan tersebut akan
dibebani dengan Hak Tanggungan Peringkat I sebesar
Rp.1.562.500.000,- ( satu milyar lima ratus enam puluh dua juta lima
77
ratus ribu rupiah) sesuai dengan Surat Kuasa Memasang Hak
Tanggungan tersendiri.
Menimbang, bahwa selanjutnya di dalam Pasal 3 dari surat P-2
tersebut telah dinyatakan oleh Tergugat I selaku debitur bahwa barang
jaminan tersebut sebelumnya tersangkut sebagai jaminan pada PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk Regional Credit Operations Surabaya dan
sesuai dengan bukti P-5 oleh PT. Bank Mandiri telah dimohonkan roya
(melepaskan beban) atas jaminan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kota Surabaya karena sudah tidak lagi menjadi agunan kredit dari
Tergugat I.
Menimbang, bahwa selanjutnya dari surat Bukti-P7 diketahui
bahwa Penggugat secara berturut-turut tanggal 5 April 2013, 6 Mei
2013, dan 16 Mei 2013 telah memberikan Surat Peringatan I, Surat
Peringatan II, dan Surat Peringatan III kepada Tergugat I karena
Tergugat I telah melakukan penunggakan kewajiban pembayaran atas
fasilitas kredit yang diterimanya dari Penggugat dan sampai surat
peringatan ke- 3 Tergugat I tetap belum menunjukan itikad baik untuk
melunasinya sehingga Penggugat menyatakan klausula penyimpangan
jangka waktu dalam perjanjian kredit antara Penggugat dengan
Tergugat I telah berakhir dengan mewajibkan kepada Tergugat untuk
melunasi seluruh kredit tersebut secara seketika dan sekaligus.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
dari para pihak yang berperkara tersebut dapatlah disimpulkan bahwa
dengan surat-surat buktinya tersebut pihak Penggugat telah dapat
membuktikan dalil gugatannya bahwa Tergugat I tidak melakukan
kewajibannya sehingga petitum kedua dari gugatan patut untuk
dikabulkan.
b. Pokok Perkara Kedua
Menimbang, bahwa dari surat Bukti P-8 diketahui bahwa Penggugat
melalui kuasanya pernah mengirim surat kepada Tergugat II tertanggal
18 November 2012 dan memohon penjelasan berkaitan dengan barang
jaminan yang diserahkan Tergugat I kepada Penggugat atas fasilitas
kredit yang diterima Tergugat I tersebut yang tidak dapat dimohonkan
Sertifikat Hak Guna Tanggungannya kepada Tergugat II yang selain
dan selebihnya harus dinyatakan ditolak sehingga kepada Tergugat I
garus dihukum untuk membayar biaya perkara ini yang jumlahnya akan
disebutkan dalam amar putusan ini.
Putusan Hakim
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
b. Menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan Perbuatan Wanprestasi
c. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang pokok pinjaman dan
bunga kepada Penggugat dengan perincian :
Fasilitas R/K Pokok Rp.1.287.397.585,- + Bunga Berjalan
Rp.242.476.252,- = Rp.1.529.873.837,- ( satu milyar lima ratus dua
78
puluh Sembilan juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus
tiga puluh tujuh rupiah )
d. Menolak gugatan Penggugat yang selain dan selebihnya
Kemudian, sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan dalam
Bab sebelumnya, maka analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap 2
(dua) pokok permasalahan, yaitu keabsahan pemasangan hak tanggungan
dalam putusan Nomor 999/Pdt.g/2013/Pn.Sby dan bagaimana pertimbangan
hakim memberikan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap hak kebendaan.
1. Keabsahan Pemasangan Hak Tanggungan
Keabsahan pemasangan hak tanggungan memberikan kepastian hukum
terhadap perlindungan bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak
tanggungan serta pihak ketiga apabila proses pembuatan APHT adalah sah dan
tidak memiliki cacat hukum. Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT
bagi pemegang hak tanggungan (kreditor) adalah:
a. Kepastian tanggal kelahiran Hak Tanggungan (Pasal 13 ayat (4)
UUHT)
Bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yang terpenting
adalah berlakunya hak-hak istimewa atau hak mandahulu
daripada kreditor lainnya untuk mendapat pelunasan lebih
dahulu dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan dalam hal
debitor wanprestasi. Untuk menentukan seorang kreditor adalah
preferen terhadap kreditor yang lain, bergantung pada kapan
79
Hak Tanggungannya lahir, yaitu pada Tanggal Buku Tanah Hak
Tanggungan. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUHT,
ternyata bahwa Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah
hari ketujug setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika di hari ketujuh jatuh
pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal
hari kerja berikutnya. Saat pemberian tanggal buku tanah adalah
sangat penting, karena pada saat itulah Hak Tanggungan lahir,
yang berarti mulainya kedudukan preferen bagi kreditor.
b. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
pemegang Hak Tanggungan /Droid De Preference (Pasal 1
Angka (1) UUHT)
Menurut Penjelasan Umum UUHT pada Angka 4, yang
dimaksud dengan “memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan” yaitu jika debitor
wanprestasi, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual tanah yang dijadikan jaminan (obyek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum, dengan hak mendahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya.
c. Hak tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun
obyek Hak Tanggungan itu berada/ Droit de Suite (PAsal 7
UUHT)
80
Hak tanggungan tetap membebani obyek Hak Tanggungan
ditangan siapapun obyek tersebut berada. Ketentuan ini berarti
bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan tetap berhak
menjual lelang obyek Hak Tanggungan, walaupun sudah
dipindahkan haknya kepada pihak lain. dengan demikian, Hak
Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek hak
tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab
apapun juga. Berdasarkan ketentuan ini, pemegang Hak
Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam
tangan siapapun benda beralih.
d. Obyek Hak Tanggungan tidak termasuk dalam harta pailit
(Pasal 21 UUHT)
e. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji
tertentu yang melindungi kreditor (Pasal 11(2) UUHT)
f. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6
dan Pasal 20 UUHT)
Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT bagi pemberi
Hak Tanggugangan (debitor) adalah :
a. Janji yang dilarang dalam APHT (Pasal 12 UUHT)
Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa kreditor dalam
APHT tidak diperkenankan untuk memperjanjikan, bahwa
kalau debitor wanprestasi, benda jaminan otomatis menjadi
81
milik kreditor. Larangan pencantuman janji yang demikian,
dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan
yang lemah dalam menghadapi kreditor karena dalam keadaan
sangat membutuhan hutang terpaksa menerima janji dengan
persyaratan yang berat dan merugikan baginya, terutama jika
nilai obyek hak tanggungan melebihi besarnya hutang yag
dijamin.
b. Pencoretan/Roya Hak Tanggungan (Pasal 22 UUHT)
Adanya pengaturan kepastian pencoretan (proyaan) hak
tanggungan yang diatur dalam pasal 22 UUHT apabila suatu
hari debitor dapat melunasi utangnya. Maka UUHT
memberikan hak kepada pemberi hak tanggungan (debitor)
untuk mengajukan permohonan pencoretan (roya) oleh debitor
dengan melampirkan Sertifikat Hak Tanggungan yang telah
diberi catatan oleh kreditor bahwa hak tanggungan hapus karena
utang sudah lunas. Apabila kreditor tidak bersedia memberi
pernyataan tersebut, jalan keluar yang dapat ditempuh oleh
debitor dengan mengajukan permohonan perintah pencoretan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pencoretan Hak Tanggungan
atau biasa disebut dengan roya, merupakan tindakan
administratif yang perlu dilakukan agar data mengenai tanah
selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Hak tanggungan
hapus bukan karena adanya roya, tetapi justru karena hak
82
tanggungan sudah hapus, maka perlu diikuti dengan
pengroyaan. Dengan dilakukannya pencoretan catatan Hak
Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sehubungan dengan
hapusnya Hak Tanggungan tersebut, maka pihak ketiga yang
berkepentingan akan mengetahui bahwa Hak Tanggungan itu
telah hapus, sehingga debitor atau pemberi Hak Tanggungan
dapat dengan mudah untuk mengalihkan atau membebani
kembali tanah tersebut.
c. Asas spesialitas (Pasal 11 (1) UUHT)
Yang dimaksud asas spesialitas adalah dalam APHT yang harus
dicantumkan secara jelas mengenai nama dan identitas para
pihak, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang
yang dijamin, nilai tanggungan dan uraian yang jelas mengenai
obyek Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (1) UUHT).
Perlindungan hukum yang diberikan oleh UUHT bagi pihak ketiga
adalah adanya asas publisitas yang terkandung dalam hak tanggungan, yakni
berdasarkan Pasal 13 UUHT pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan
kepada kantor pertanahan. Oleh karena itu tata cara pencatatan/ pendaftaran
yang terbuka bagi umum bertujuan agar pihak ketiga dapat mengetahui adanya
pembebanan hak tanggungan atas tanah. Sebaiknya pihak ketiga terlebih
dahulu melakukan pengecekan ke kantor pertanahan sebelum melakukan
83
transaksi yang berkaitan dengan hak atas tanah untuk menghindari berbagai
kasus terhadap hak atas tanah.
Dilihat secara sederhana Hak Tanggungan tidak hanya melibatkan
kreditor dan debitor saja, tetapi juga melibatkan PPAT dan Kantor Pertanahan
serta pihak-pihak lain yang terkait. Agar memberikan perlindungan hukum
bagi semua pihak, maka diperlukan prosedur yang benar agar APHT menjadi
sah dan tidak memiliki cacat hukum. Prosedur Pendaftaran APHT
digambarkan dalam skema di bawah ini.
Dalam praktek dunia perbankan pemberian kredit kepada debitor
walaupun belum ada jaminan yang dipegang oleh bank sering dilakuan, sebab
banyak bank berlomba untuk mencari nasabah dan tidak suka dianggap sebagai
“Bank yang kejam”, maka pada umumnya meskipun kredit telah diberikan
kepada debitor, Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan belum
dibebankan, dan bank merasa cukup aman dengan memegang sertifikat tanah
tersebut yang disertai dengan surat kuasa membebankan Hak Tanggungan yang
dibuat oleh Notaris/PPAT. Bank merasa sudah puas karena bank beranggapan
bahwa debitor tidak dapat mencabut kembali surat kuasa tersebut, dan surat
kuasa itu tidak akan berakhir dengan cara apapun. Bagi kreditor, adanya surat
kuasa akan memberikan beberapa keuntungan diantaranya adalah:
1) Kreditor dianggap sebagai kreditor yang easy going/fleksibel/tidak
terlalu kaku.
84
2) Surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat dibuat secara cepat
dan biayanya murah.
Namun, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan belum benar-benar
memberikan jaminan atas pelunasan hutang debitor. Dengan adanya SKMHT hanya
memberikan pembuktian bahwa obyek jaminan adalah milik debitor dan dapat menjadi
jaminan hak tanggungan bagi kreditor. Oleh karenanya, perlu adanya pemasangan Hak
Tanggungan dengan mendaftarkan pada Kantor Pertanahan. Hal ini bertujuan agar
terdaftarnya Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dan memberikan kedudukan
yang diutamakan dalam pelunasan hutangnya bilamana debitor wanprestasi.
Dalam kasus perdata Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby, PT. Bank UOB Tbk
selaku Penggugat yang bergerak dalam jasa perbankan telah memberikan pinjaman
fasilitas kredit kepada Timbul Daud Nainggolan sesuai dengan Perjanjian Kredit No.
01 tertanggal 1 November 2011 yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT Anita
Anggawidjaja, SH dalam jangka waktu 1 November 2011 sampai dengan 1 November
2012. Timbul Daud Nainggolan menyerahkan jaminan sebidang tanah berikut
bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 6281, seluas 409 M2,
sebagaimana terurai dalam Surat Ukur tertanggal 07.09.2009 No.185/Manukan
Kulon/2009, setempat terletak dan dikenal Jl. Raya Manukan Tama No.51 Kota
Surabaya. Kemudian SGHB yang dijaminkan Tergugat ternyata sudah pernah
dibebankan Hak Tanggungan sebelumnya pada PT. Bank Mandiri namun belum di
cabut/ di roya. Oleh karenanya Tergugat membuat Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan No. 227/2013 tanggal 27 Maret 2013 serta menyertakan Bukti Pelunasan
85
kepada Bank Mandiri untuk diroya pembebanannya dan dialihkan pemebebanannya
kepada PT. Bank UOB Tbk. Oleh karena tidak dapat melakukan peralihan hak dan
mendaftarkan APHT ke kantor pertanahan, maka sampai kasus ini terselenggara, Hak
Tanggungan masih juga dipegang oleh PT.Bank Mandiri dan belum dialihkan kepada
PT. Bank UOB sementara fasilitas kredit sudah diberikan kepada Tergugat dan
Tergugat terbukti melakukan perbuatan wanprestasi.
Dalam kasus perdata No. 999/Pdt.G/2013/PN.Sby, perjanjian kredit yang
dilakukan antara para pihak adalah sah karena perjanjian kredit tersebut sudah tertuang
dalam bentuk akta perjanjian kredit yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT Anita
Anggawidjaja. Namun pemberian fasilitas kredit yang dilakukan antar para pihak tidak
sesuai dengan prosedur perjanjian kredit dengan menjaminkan jaminan sebagai
pelunasan hutang yang dikemukakan oleh Thomas Suyatno, antara lain:
1) Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan
penandatanganan Perjanjian Kredit yang berupa surat pengakuan hutang
dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan hak Tanggungan
dihadapan PPAT atau pejabat bank;
2) Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT telah
memberikan keterangan bahwa calon debitor dinyatakan telah memenuhi
persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit kepada calon
debitor.35
35 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Hukum Perkreditan, Edisi Ketiga, (Jakarta :Gramedia
Pustaka Utama : 1993), hal. 32.
86
Dalam hal ini, kreditor belum melakukan pengikatan jaminan secara sah tetapi
sudah memberikan fasilitas kredit kepada Debitor. Memang dalam praktek, boleh saja
pemberian hak tanggungan dicairkan terlebih dahulu sebelum Akta Pembebanan Hak
Tanggungan sudah di daftarkan kepada Kantor Pertanahan. Hal ini disebabkan
pembebanan APHT cukup memakan waktu yang lama sehingga pencairan dana
dianggap kurang efesien. Jadi boleh saja pemberian fasilitas kredit hanya dengan
SKMHT, namun harus pula disertai dengan pendaftaran APHT meskipin memakan
waktu yang lama, namun memberikan kepastian hukum dalam memberikan
perlindungan pelunasan piutang kreditor apabila hak tanggungan sudah lahir.
Menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT, awal dari tahap Pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu, yang dituangkan dalam perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Sesuai dengan sifat accesoir
dari hak Tanggungan maka pemberian Hak Tanggungan harus merupakan ikutan dari
perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lainnya.
Pada waktu pemberian Hak Tanggungan, maka calon pemberi Hak
Tanggungan dan calon penerima Hak Tanggungan harus hadir di hadapan PPAT,
hanya jika dalam keadaan tertentu calon pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir
sendiri, maka diperkenankan untuk mengusahakannya pada pihak lain. Pemberian
kuasa ini sifatnya wajib jika calon pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir.
87
Pemberian kuasa wajib dilakukan di hadapan Notaris dengan akta otentik, yang dibuat
khusus dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).36
Dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT ditentukan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik
kembali karena sebab apapun juga. Ketentuan ini wajar diperlakukan dalam rangka
melindungi kepentingan kreditur, sebagai pihak yang pada umumnya mendapat kuasa
untuk membebankan Hak Tanggungan. juga ditentukan bahwa SKMHT tidak dapat
berakhir, kecuali kuasa yang bersangkutan sudah dilaksanakan atau karena melampaui
batas waktu penggunaannya.
Dalam kasus ini, kelemahan SKMHT yang dibuat oleh bank dalam prakteknya
adalah karena SKMHT yang dibuat tersebut tidak diikuti dengan pembuatan APHT
dalam waktu yang ditentukan sehingga SKMHT tersebut menjadi batal demi hukum.
Mengenai batas waktu penggunaan SKMHT harus dikaitkan dengan status tanah yang
dijadikan obyek Hak Tanggungan, yaitu sudah bersertifikat atau belum bersertifikat,
hal ini ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) sampai dengan ayat (6) UUHT. Untuk tanah
yang sudah bersertifikat, pembuatan Akta Pemberian hak Tanggungan wajib dilakukan
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah SKMHT diberikan dan batas waktu 3 (tiga)
bulan, jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat.37 Adapun pembatasan
waktu penggunaan SKMHT tersebut salah satu tujuannya untuk menghindarkan
berlarut-larutnya waktu pelaksanaan pemberian APHT. Oleh karena SKMHT dalam
kasus ini tidak dilanjutkan dengan pembuatan APHT, maka ketika pihak debitor
36 Boedi Harsono, Op Cit, hal. 444 37 Pasal 15 ayat (4) UUHT
88
kemudian melakukan wanprestasi dengan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai
jangka waktu dan jumlah yang dijanjikan, mengakibatkan kreditor menderita kerugian.
Fungsi Pendaftaran APHT pada Kantor Badan Pertanahan Nasional
antara lain:
1) Untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak
tanggungan terhadap para pihak
2) Untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak atau
berwenang bahwa tanah tersebut telah dibebankan hak tanggungan.
3) Hak tanggungan yang lahir lebih dahulu memiliki kedudukan yang
lebih tinggi daripada yang lahir kemudian.
4) Untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditor bahwa
manakala debitor cidera janji, maka kreditor mendapat hak preferen
sehingga mendahului dari kreditor-kreditor lain.
5) Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap
gangguan pihak ketiga
6) Apabila APHT itu didaftarkan dalam register umum, maka janji
yang terdapat dalam APHT mempunyai daya berlaku kebendaan
dan juga berkekuatan terhadap seorang pemegang/ pemilik baru.38
Kesalahan yang dilakukan PT. Bank UOB Indonesia adalah tidak mengevaluasi
dan memastikan status jaminan yang dijaminkan padanya. Dilihat dari tanggal SKMHT
38 Herowati Poesko, 2007, Parate Execute Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik
Norma dan kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PREEsindo, Yogyakarta, hal. 108.
89
yang dibuat debitor dan surat untuk dilakukan roya hak tanggungan adalah tertanggal
27 Maret 2013 sedangkan Perjanjian Kredit yang dilakukan antar para pihak tertanggal
1 November 2011. Jelas jangka waktu untuk melakukan pembebanan hak tanggungan
sangat tidak relevan. Pedahal dalam tata cara perikatan perjanjian utang-piutang,
perjanjian tambahan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Dalam hal ini Penulis
mengatakan bahwa PT. Bank UOB Indonesia Tbk sudah lalai dalam prosedur
pemberian kredit.
Kemudian belum diteruskan untuk dibuatkan Akta Pembebanan Hak
Tanggungan oleh Notaris/PPAT dan belum didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
setempat, mengakibatkan Hak Tanggungan tersebut tidak lahir. Dalil Tergugat dalam
perkara ini atas tidak terdaftarnya APHT adalah karena Tegugat II (Badan Pertanahan
Nasional Surabaya) mencatatkan adanya catatan blokir terhadap SHGB berdasarkan
gugatan perdata perkara daftar: 351/Pdt.G/2010/Pn.Sby yang sudah diputuskan sejak 2
November 2010 dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hal ini sebenarnya tidak mempengaruhi pendaftaran Hak Tanggungan, karena
Tergugat II tidak pernah mengeluarkan penetapan sita terhadap SHGB tersebut dan
sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997 ,
sehingga pencatatan sita oleh Tergugat II tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Blokir hanya sekedar penanda adanya perkara atas bidang tanah dengan hak
yang telah terbit di atasnya dan waib dilakukan pencatatan dalam buku tanah yang
bersangkutan. Semua “blokir” adalah “catatan”, namun tak semua “catatan” adalah
90
“blokir”. Blokir pada dasarnya hanya boleh dilakukan oleh Kantor Pertanahan jika
terdapat putusan sela dari pengadilan maupun sita jaminan berdasarkan penetapan dan
berita acara resmi pengadilan. Selama tidak ada putusan sela ataupun sita jaminan
tersebut, maka Kantor Pertanahan/BPN hanya berwenang “mencatat”, bukan
“memblokir. Mencatat adanya gugatan hanya membawa konsekuensi yuridis berupa
keadaan statu quo terhadap hak atas tanah tersebut selama 30 (tiga puluh) hari, dan
pada hari ke-31 Kantor Pertanahan setempat wajib mencoret catatan tersebut.
Begitupula bila telah terdapat “catatan perikatan jaminan Hak Tanggungan”
terhadap hak atas tanah, maka Kantor Pertanahan wajib menghormati dan tunduk pada
catatan tersebut, dan tidak dibenarkan untuk secara overlapping menimpa buku tanah
dengan “catatan” yang mengamputasi “catatan” sebelumnya.
Sesuai dengan Ketentuan Mahkamah Agung lewat Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012, mengatakan:
Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derzen
verzet/perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat
diletakan sita eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak
mungkin dilakukan lelang eksekusi.
Oleh karenanya permasalahan adanya catatan blokir tidak menghambat dalam
pendaftaran Hak Tanggungan berikutnya. Apabila terjadi pencoretan/roya, maka
pembebanan Hak Tanggungan terhadap kreditur baru bisa dilaksanakan. Dalam kasus
ini, pendaftaran Hak Tanggungan baru sampai pada Pembuatan SKMHT saja. Dan
pembuatan SKMHT dalam kasus sudah sah. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1),
(2), dan (3) dikatakan, bahwa:
91
1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat
dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi syarat sebagai
berikut:
a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan Hak Tanggungan;
b) Tidak membuat kuasa substitusi;
c) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan
identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak
Tanggungan.
2) Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik
kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis
jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4).
3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas
tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan
APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
Keterlambatan Pendaftaran APHT karena adanya proses roya,
sebenarnya tidak mentup kemungkinan bahwa membuat Pembebanan Hak
Tanggungan menjadi terhambat. Sesuai dengan ketentuan Dalam Pasal 22
disebutkan bahwa:
1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku-tanah ha katas tanah dan
sertifikatnya.
Pencoretan catatan atau roya Hak Tanggungan dilakukan
demi ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh
hukum terhadap Hak Tanggungan yang bersangkutan yang
sudah hapus.
2) Dengan hapusnya Hak Tanggunganm sertifikat Hak
Tanggngan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama
buku-tanah Hak Tanggungan dinyataan tidak berlaku lagi
oleh Kantor Pertanahan.
3) Apabila sertifikat Hak Tanggungan karena suatu sebab tidak
dikembalikan pada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat
pada buku-tanah hak Tanggungan.
4) Permohonan pencoretan tersebut diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak
Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa
92
Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau
pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan
telah hapus karena piutang itu telah lunas atau karena
kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan
tertulis tersebut, pihak yang berkepentingan dapat
mengajukan permohonan perintah pencoretan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.
6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari
sengketa yang sedang diperiksa oleh Penadilan Negeri lain,
permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
7) Permohonan pencatatan Hak Tanggungan berdasarkan
perintah Pengadilan Negeri tersebut diajukan kepada Kepala
kantor Pertanahan dengan melampirkan Salinan penetapan
atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak
Tanggungan menurut tatacara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).
9) Apabila pelunsan utang dilakukan dengan cara angsuran
sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 2 ayat (2), hapusnya
Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku-tanah
dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku-tanah dan
sertifikat ha katas tanah yang telah bebas dari Hak
Tanggungan yang semula membebaninya.
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa dengan adanya penghapusan
Hak Tanggungan/ Roya terhadap sertifikat tanahnya, maka hal ini dapat diketahui oleh
umum dan masyarakat akan tahu bahwa tanah yang telah dibebankan tersebut telah
bebas dan kembali dalam keadaaan semula. Selain itu roya tersebut dilakukan demi
ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak
Tanggungan yang sudah dihapus. Dan apabila sertifikat hak atas tanah tersebut tidak
segera diroya atau dihapus, maka sertifikat tersebut masih atas nama pemegang Hak
93
Tanggungan dalam hal ini adalah pihak kreditur (bank), karena masih atas nama
kreditur (bank), maka pemilik sertifikat hak atas tanah tidak bisa melakukan perbuatan
hukum, sebelum sertifikat hak atas tanah tersebut dihapus/diroya.39
Tidak dilanjutkan SKMHT dengan pendaftaran APHT menimbulkan tidak
lahirnya Hak Tanggungan, sehingga keabsahann pemasangan Hak Tanggung tersebut
tidak valid. Konsekuensi lewatnya batas waktu mendaftarkan APHT oleh PPAT,
menimbulkan sanksi administratif terhadap PPAT itu sendiri sehingga menimbulkan
kerugian terhadap pihak-pihak yang berkepentingan khushsnya sebab pendaftaran Hak
Tanggungan menjadi penentu keabsahan pemasangan Hak Tanggungan. Pendaftaran
Hak Tanggungan bertujuan agar sertifikat Hak Tanggungan dapat lahir dan kreditur
sebagai pihak yang berkepentingan dilindungi haknya oleh Undang-Undnag Hak
Tanggungan sebagai kreditur preferen yang memiliki kedudukan diutamakan dalam
pelunasan utang debitor. Namun, karena tidak terlaksananya pendaftaran hak
tanggungan oleh pihak berperkara di atas, maka menimbulkan kerugian khususnya bagi
kreditor karena selama Sertifikat Hak Tanggungan belum terbit, maka memiliki akibat
hukum terhadap kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu yang harusnya
berposisi sebagai kreditor preferen sebagai pemegang jaminan kebendaan (karena
APHT sebagai perjanjian jaminan kebendaan mempunyai asas droit de suite, droit de
preference, spesialis, dan publisitas), maka dengan tidak terdaftarnya APHT pada
kantor pertanahan kedudukan kreditor adalah kreditor konkuren yang mempunyai hak
39 Miranda Fitraya, Praktik Pelaksanaan Roya Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan
Kota Samarinda, Jurnal Ilmiah, FH-Unmul Samarinda, 2012, hal.5
94
perseorangan yang merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang
timbul dari undang-undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 BW:
“Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan ada di
kemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”. 40
2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Kaitan Perlindungan Hukum yang
Diberikan Hakim Dalam Putusan Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby
Dalam memutus suatu perkara dengan memberi amar putusan yang
memiliki kekuatan hukum, hakim memberikan pertimbangan hukum agar dapat
menentukan benar dan salah suatu perkara dan menghukum pihak yang kalah
apabila terbukti melanggar atau melakukan tindakan melawan hukum. Dalam
hal ini, Penulis menganalisis pertimbangan hakim dalam perkara nomor
999/pdt.G/2013/Pn.Sby sebagai berikut :
Pertimbangan Hakim
“Menimbang, bahwa dari surat bukti yang diajukan Penggugat
yaitu surat Bukti P-141, P-242, P-343 diketahui bahwa Penggugat
dan Tergugat I dengan persetujuan isterinya pada tanggal 1
November 2011 telah menandatangani perjanjian kredit, dimana
Penggugat telah menyetujui memberikan fasilitas kredit rekening
koran kepada Tergugat I selaku debitor sejumlah
Rp.1.250.000.000,- guna kebutuhan investasi/ kebutuhan modal
kerja dalam jangka waktu 12 bulan terhitung sejak tanggal 1
40 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 41 Fotokopi Rekening Koran atas nama Debitor Timbul Daud Mauritz, tanggal cetak 11
Januari 2011 ; 42 Fotokopi Akta Perjanjian Kredit No.01 Nopember 2011, yang dibuat dihadapan Anita
Anggawidjaja, SH Notaris di Surabaya; 43 Fotokopi Syarat-Syarat Umum Perjanjian Kredit PT. Bank UOB Buana.
95
November 2011 s/d 1 November 2012 dengan Bungan sebesar
12,50% per tahun”
Dalam pertimbangan yang dimaksud di atas, dengan mengajukan bukti
dari Penggugat I maka terbukti bahwa telah terjadi perjanjian kredit antara PT.
Bank UOB Buana Indonesia dengan Debitor Timbul Daud Nainggolan di
hadapan Notaris Anita Anggawidjaja, SH. Berdasarkan prosedur pemberian
kredit, perjanjian kredit dibuat berdasarkan persetujuan para pihak.
Prosedurnya adalah sebagai berikut:
1) Calon debitor mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan
berkas-berkas yang diperlukan dan yang telah ditentukan pihak
bank dalam pengajuan kredit;
2) Calon debitor mengisi formulir permohonan kredit yang telah
disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap
dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali pada
pihak bank;
3) Pihak bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas
dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit.
4) Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitor
dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit, maka
kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak. Negosiasi
ini antara lain mengenai maksimal kredit yang diberikan, keperluan
kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi denda, denda,
bunga, dsb;
96
5) Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka
dilakukan penandatanganan Perjanjian Kredit
Sehingga dengan adanya pembuktian perjanjian kredit yang diajukan dan
adanya penandatanganan perjanjian kredit di hadapan Notaris Anita
Anggawidjaja, SH , maka Hakim dalam pertimbangan jelas menyatakan bahwa
perjanjian kredit antara kedua belah pihak adalah sah.
“Menimbang, bahwa selanjutnya dari surat Bukti P-744 diketahui
bahwa Penggugat secara beturut-turut tanggal 5 april 2013, 6 Mei
2013, dan 16 Mei 2013 telah memberikan surat Peringatan I, Surat
Peringatan II dan Surat Peringatan III kepada Tergugat I namun
Tergugat I belum menunjukkan itikad baik untuk melunasinya
sehingga Penggugat menyatakan kalusula penyimpangan jangka
waktu kredit dalam perjanjian kredit antara Pernggugat dan
Tergugat I telah berakhir dengan mewajibkan Tergugat I untuk
melunasi seluruh kredit tersebut secara seketika dan sekaligus”
Berdasarkan bukti yang diajukan Penggugat dengan mengajukan bukti
surat peringatan, membuktikan bahwa Tergugat I sudah lalai melaksanakan
kewajibannya dalam membayar kreditnya, hingga sampai dengan surat
peringatan ketiga yang diberikan Penggugat, Tergugat I sama sekali tidak
beritikad baik untuk membayar utangnya. Dengan mengakhiri perjanjian kredit
maka segala perjanjian tambahan di bawah perjanjian pokok ikut batal juga.
Sehingga tentu saja hal ini merugikan kreditor. Oleh karena bukti di atas, maka
dari pertimbangan di atas, jelas hakim mengabulkan bahwa tergugat telah
melakukan tindakan wanprestasi.
44 Fotokopi Surat Peringatan Pertama yang diajukan kepada Debitor tanggal 5 April 2013.
97
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
dari para pihak tersebut dapatlah disimpulkan bahwa dengan
surat-surat buktinya tersebut pihak Penggugat telah dapat
membuktikan dalil gugatan bahwa Tergugat I tidak melakukan
kewajibannya sebagai debitor, maka petitum ke-245 dari gugatan
Penggugat patut untuk dikabulkan;
Pertimbangan hakim dalam petitum kedua yang dikabulkan di atas
adalah mengabulkan bahwa Tergugat terbukti melakukan tindakan wanprestasi.
Penulis berpendapat bahwa putusan hakim sudah sesuai dilihat dari bukti-bukti
yang sudah diajukan oleh para pihak. Pendapat Majelis Hakim dalam kasus ini
menggunakan dimensi yuridis apakah tergugat dapat dinyatakan secara hukum
telah melakukan Wanprestasi dengan suatu pihak, dapat dinyatakan melakukan
wanprestasi apabila:
1) Tidak melakukan apa yang seharusnya disanggupi untuk dilakukan;
2) Melaksanakan yang dijanjikan, namun tidak sebagaimana yang
diperjanjikan;
3) Melakukan apa yang telah diperjanjikan, namun terlambat pada waktu
pelaksanaannya;
4) Melakukan sesuatu hal yang di dalam perjanjiannya tidak boleh
dilakukan.
Dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat para tergugat telah
melakukan wanprestasi yaitu tidak melakukan apa yang seharusnya disanggupi
untuk dilakukan.
45 Menyatakan Tergugat I melakukan tindakan wanprestasi
98
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan ganti rugi sebesar
Rp.1.800.000.000,- tersebut Majeis mempertimbangan sebagai
berikut :
a) Bahwa mengenai tuntutan gantu rugi biaya
operasional fee pengacara sebear Rp.50.000.000,-
tersebut ternyata tidak diperjanjikan secara tegas
sebelumnya, demikian juga tuntutan ganti rugi
immaterial sebesar Rp.220.126.163,-, tidak ada
bukti yang diajukan oleh Penggugat yang dapat
mendukungnya, maka Majelis berpendapat
tuntutan tersebut harus ditolak;
b) Bahwa sesuai dengan pasal 1 ayat 2, ayat 5, ayat 6
dan ayat 7 Akta Perjanjian Kredit (Bukti P-2)
menurut pendapat Majelis tuntutan Penggugat
yang dapat dan patut dikabulkan adalah hanya :
Fasilitas R/K Pokok Rp.1.287.397.585,- + Bunga
Berjalan Rp.242.476.252,-- = Rp.1.529.873.837,--
Menimbang, bahwa dengan demikian terhadap petitum ke-3 dari
gugatan Penggugat hanya dapat dikabulkan untuk sebagian;
Menimbang, bahwa selanjutnya mengenai petitum ke-4 dari
gugatan Penggugat yang menuntut Tergugat I membayar uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- setiap keterlambatan
memnuhi isi putusan, maka sesuai dengan ketentuan Putusan
mahkamah Agung RI No.791 K/Sip/1972 tertanggal 26 februari
1973 yang menyatakan bahwa uang paksa tidak berlaku dalam
hal tindakan untuk membayar utang, Majelis berpendapat
tuntutan tersebut harus ditolak;
Pertimbangan hakim dalam hal tuntutan ganti kerugian ini, tidak dapat
dikabulkan seluruhnya, karena segala hal yang tidak diperjanjikan sebelumnya
atau hal yang melampaui hak yang harusnya diterima kreditor tidak dapat
menjadi dasar tuntutan karena tidak ada pembuktian secara tertulis maupun
yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Sehingga yang dapat dikabulkan
oleh Majelis Hakim hanya ganti kerugian uang pokok kredit dan bunga berjalan
99
saja. Sedangkan permintaan pembayaran uang paksa (dwangsom) sudah jelas
di dalam pertimbangan hakim.
Menimbang, bahwa berdasarkan Bukti T.II-146 mengenai alasan
pihak Tergugat II yang menyatakan tidak terdaftarnya peralihan
hak tanggungan untuk atas nama Penggugat atas obyek jaminan
adalah karena pihak Penggugat tidak ada hubungan hukum
dengan obyek hak Tanggungan sehingga tidak ada hubungan
hukum pula dengan pihak Tergugat II mengingat APHT dari
Penggugat belum didaftarkan kepada Tergugat II dapatlah
diterima;
Gugatan yang diberikan Penggugat kepaa Tergugat II adalah
mengenai penghapusan blokir pada buku tanah yang menyebabkan
Penggugat tidak dapat mendaftarkan hak tanggungan, menurut
pertimbangan hakim tidak dapat diterima karena Tergugat II hanyalah
melaksanakan tugasnya saja sesuai dengan Ketentuan 126 ayat 1 dan
ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah RI No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan
pencatatan blokir mana dengan sendirinya akan hapus dalam waktu
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatannya atau karena
pihak yang meminta pencatatan pemblokiran tersebut telah mencabut
sebelum waktu tersebut berakhir.
Oleh karena itu, karena Penggugat juga tidak melakukan
pendaftaran APHT kepada Kantor Pertanahan, maka tidak ada
46 Fotocopy Sertifikat Hak Guna Bangunan No.6281, Surat ukur No.185/Manukan
Kulon/2009, tanggal 07 September 2009, luas 409M2 atas nama Timbul Daud Nainggolan
100
hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat II. Atas dasar
apa Penggugat menggugat Tergugat II kalausaja ternyata pendaftaran
saja tidak lakukan. Maka dalam hal ini, Hakim menerima bahwa
Penggugat tidak dapat menggugat perkara peralihan hak tanggungan
karena tidak pernah didaftarnya APHT dan tidak ada hubungan juga
Penggugat dengan obyek jaminan tersebut.
Menimbang, bahwa mengenai alasan Tergugat II bahwa gugatan
Penggugat kurang pihak Bank Mandiri sebagai pemegang hak
tanggungan, namun dalam bukti P-5 yang ditujukan kepada
Tergugat II, Pihak PT. Bank mandiri (Persero) Tbk Regional
Credit Operation Surabaya sendiri ternyata pada tanggal 1
November 2011 telah memohon roya atas jamian tersebut karena
tidak lagi menjadi agunan krit dari Tergugat I sehingga Majelis
tidak sependapat dengan Tergugat II sebagaimana dalam eksepsi
menyatakan pihak Bank Mandiri harus dilibatkan dalam perkara
ini;
Alasan Para Tergugat untuk melibatkan pihak PT. Bank mandiri
(Persero) Tbk Regional Credit Operation Surabaya menurut pertimbangan
hakim adalah tidak tepat atau hakim tidak sependapat. Berdasarkan Surat Bukti
yang diajukan Penggugat dalam Bukti P-547 PT. Bank mandiri (Persero) Tbk
Regional Credit Operation Surabaya sudah melakukan permohonan roya
kepada Kepala Kantor Pertanahan Surabaya untuk melakukan roya karena
sudah tidak menjadi agunan kredit bagi Tergugat I. Hal ini membuktikan bahwa
Pihak Tergugat II tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam buku
tanah yaitu, menghapus catatan adanya hak tanggungan peringkat I yang pada
47 Fotokopi Surat Nomor : TOP.CRO/RCO.SBY/6109/2011, tertanggal 1 Nopember, yang
diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Surabaya
101
kenyataannya sudah berakhir sehingga SHGB milih Tergugat I tidak memiliki
catatan pembebanan hak tanggungan dari pihak manapun. Namun
pengahapusan atau pencoretan hak tanggungan dalam buku tanah, adalah
sebagai ketertiban administrasi saja agar pihak ketiga mengetahui bahwa obyek
yang hendak jaminan tidak dibebani dengan hak tanggungan sebelumnya.
Yang menjadi permasalahan disini bukanlah karena adanya catatan
pembebanan hak tanggungan terhadap Bank Mandiri yang belum di roya,
melainkan, tidak ada pendaftaran Akta Pembebanan Hak Tanggungan kepada
Tergugat II. Sehingga perncoretan hak tanggungan dan peroyaan hak
tanggungan tidak dilakukan karena memang tidak ada pendaftaran untuk
meroya hak tanggungan.
Menimbang, bahwa dengan demikian alasan pemblokiran karena
adanya pemohonan blokir, Majelis berpendapat bahwa Tergugat
II hanyalah melaksanakan tugasnya dan hal tersebut telah
dilakukan sesuai dengan Ketentuan Pasal 126 ayat 1 dan ayat 2
Peraturan menteri agrarian/Kepala Badan Pertanahan nasional
No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah RI No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan
pencatatan pemblokiran mana dengan sendirinya akan hapus
dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pencatatannya atau
karena pihak yang meminta pencatatan pemblokiran tersebut
telah mencabut sebelum waktu tersebut berakhir. Oleh karena
mana dengan berpedoman pada pasal 126 ayat 3 Majelis
berpendapat pula bahwa Tergugat II tidak terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga petitum ke-8 dari gugatan
Penggugat harus ditolak;
Gugatan Penggugat terhadap Tergugat II karena adanya pencatatan
blokir atas obyek yang hendak dijaminkan menurut pertimbangan hakim,
Tergugat II hanyalah melaksanakan tugasnya dan hal tersebut telah dilakukan
102
sesuai dengan Ketentuan Pasal 126 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan menteri
agrarian/Kepala Badan Pertanahan nasional No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah RI No.24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, dan pencatatan pemblokiran mana dengan sendirinya akan
hapus dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pencatatannya atau karena
pihak yang meminta pencatatan pemblokiran tersebut telah mencabut sebelum
waktu tersebut berakhir. Sehingga menurut Penulis harusnya Penggugat sudah
mengetahui jelas tentang hal ini berdasarkan gugatan, sehingga dalil Penggugat
tidak dapat melakukan roya dan membebankan hak tanggungan atas namanya
hanyalah mencari alasan saja. Menurut penulis Penggugat memang lalai dalam
memberikan fasilitas kredit sejak dari awal pemberian kredit. Hal ini di
karenakan, fasilitas kredit diberikan sebelum Penggugat memasang Hak
Tanggungan atas namanya.
Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, Majelis berpendapat bahwa gugatan Penggugat hanya dapat
dikabulkan untuk sebagian saja, sedang yang lain dan selebihnya dinyatakan
ditolak sehingga kepada Tergugat I harus dihukum untuk membayar biaya
perkara dalam perkara ini yang jumlahnya disebut dalam amar putusan di
bawah ini;
MENGADILI
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menolak eksepsi Tergugat I dan Tergugat II untuk seluruhnya;
3) Menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan wanprestasi;
4) Menghukum Tergugat I untuk membayar uang pokok pinjaman dan
bunga kepada Penggugat dengan perincian : Fasilitas R/K Pokok
Rp.1.287.397.585,- + Bungan Berjalan Rp.242.476.252,- =
Rp.1.529.873.837,- ( satu milyar lima ratus dua puluh Sembilan juta
delapan ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus tiga puluh tujuh
rupiah);
103
5) Menghukum kepada Tergugat I membayar biaya perkara yang timbul
dalam perkara ini yang hinga kini ditaksir sebesar Rp.1.122.000,-;
6) Menolak gugatan Penggugat yang selain dan selebihnya.
Menurut penulis, putusan hakim sudah adil namun tidak
melindungi apa yang melampaui dari hak kreditor. Hak-hak yang
dimaksud adalah hak-hak yang harusnya memberikan kreditor
kedudukan yang istimewa atau menjadi kreditor preferen dalam hal
didahulukan atau diistimewakan dalam hal pelunasan hutangnya.
Dalam hal ini, perikatan yang terjadi antara kreditor dengan debitor
adalah bertumpu pada perjanjian kredit tersebut dan pada pasal 1131
KUH Perdata. Dengan demikian jaminan yang diberikan debitor dan
telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit tetap memiliki kekuatan
hukum sebagai alat bukti di pengadilan .
Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Berdasarkan Pertimbangan Hakim
Dalam Putusan Perkara Nomor 999/Pdt.g/2013/Pn.Sby.
Dari pertimbangan hakim di atas, dapat penulis katakan bahwa
sebenarnya inti gugatan yang diajukan oleh Kreditor yang mana di sini adalah
PT. Bank UOB Indonesia Tbk adalah gugatan wanprestasi terhadap Debitor
Timbul Daud Nainggolan. Perjanjian kredit yang mengikat antara kedua belah
pihak adalah sah berdasarkan Akta Perjanjian Kredit No.01 tertanggal 1
Nopember 2011 di hadapan Notaris Anita Anggawidjaja, SH. Hanya saja,
perjanjian kredit yang diikat antara keduanya, tidak berdasarkan prosedur yang
ditetapkan undang-undang.
104
Perlu diperhatikan juga bahwa dalam suatu perjanjian kredit, prosedur
pembuatan suatu perjanjian kredit akan sangat mempengaruhi sah atau tidaknya
perjanjian kredit tersebut. Apabila proses pembuatannya menyimpang dari
kepatuhan dan kebiasaan serta ketentuan yang berlaku akan dapat
mengakibatkan batal atau dibatalkannya suatu perjanjian kredit walaupun
dibuat dalam bentuk tertulis. Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata menentukan
bahwa setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti setiap persetujuan
mengikat para pihak dari perkataan “setiap” dalam pasal tersebut diatas dapat
disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak.
Apabila perjanjian tersebut dinyatakan batal, sudah tentu penyerahan
sertifikat tanah sebagai jaminan utang dan SKMHT yang dibuat bilamana
dibawah tangan juga dapat dibatalkan atau batal demi hukum karena
merupakan perjanjian accessoir dari perjanjian kredit. Pembatalan ini dapat
dilakukan debitor melalui gugatan di pengadilan sehingga sebagai akibatnya
maka tetap pihak bank selaku kreditor sebagai pihak yang dirugikan.
Dalam kasus ini, Kreditor tidak membuat perjanjian accesoir untuk
menjamin pelunasan hutangnya. Seharusnya, apabila telah terjadi kesepakatan
antara kedua belah pihak maka dilakukan penandatanganan Perjanjian Kredit
yang berupa surat pengakuan hutang dilanjutkan dengan pengikatan jaminan,
dalam hal ini berupa jaminan hak Tanggungan dihadapan PPAT atau pejabat
bank. Sehingga apabila debitor wanprestasi, kreditor dapat mengeksekusi
105
barang jaminan karena bersifat eksekutorial. Pelunasan piutang Kreditor jelas
akan didahulukan daripada kreditor lain karena sebagai pemegang hak
tanggungan maka memberikan kreditor kedudukan preferen daripada kreditor
yang konkuren.
Bagan Ringkasan Putusan
BPN Surabaya
PT.Bank UOB Indonesia Tbk
Timbul Daud
wanprestasi Ganti rugi Catatan blokir
Tidak kabul kabul Kabul sebagian
Tidak kabul kabul
1) Fasilitas R/K Pokok
Rp.1.287.397.585,--
2) Bunga Berjalan
Rp.242.476.252,--
1) operasional fee
pengacara sebesar
Rp.50.000,000,--
2) immaterial sebesar
Rp.220.126.163,--
3) uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.1000.000,--
106
Perlindungan hukum yang dapat diberikan Hakim terhadap Kreditor
berdasarkan bagan di atas, hanyalah Perlindungan dari sisi ganti kerugian
pokok hutang saja. Hal ini disebabkan, karena menurut pertimbangan hakim,
dapat diketahui bahwa Kreditor tidak terdaftar sebagai pemegang hak
tanggungan. Sehingga hak-hak yang menjadi keistimewaan dan
perlindungannya, tidak dapat menjadikan dasar pertimbangan hakim untuk
memberikan perlindungan kepadanya.
Perlindungan ganti rugi yang diberikan dalam pertimbangan hakim
tidak semuanya dikabulkan. Hal ini sebagai terurai sebagai berikut:
1) Terhadap perlindungan ganti rugi yang dikabulkan berupa
Fasilitas R/K Pokok Rp.1.287.397.585,-- dan Bunga Berjalan
Rp.242.476.252,--,. Menurut pertimbangan hakim, pengabulan
ganti kerugian terhadap pokok utang dan bunga berjalan sudah
sesuai dengan pasal 1 ayat 2, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7 Akta
Perjanjian Kredit. Sehingga ganti kerugian pokok utang yang
wajib dipenuhi adalah sebesar Rp.1.529.873.837,--
2) Terhadap perlindungan ganti rugi yang tidak dikabulkan berupa
ganti rugi biaya operasional fee pengacara sebesar
Rp.50.000,000,-- ,Ganti rugi immaterial sebesar
Rp.220.126.163,-- sebagai dana yang harusnya bisa
dikembangkan dinilai sejak tahun 2012 hingga saat ini dan uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp.1000.000,-- setiap keterlambatan
107
memenuhi isi putusan. Menurut pertimbangan Hakim sebagai
berikut:
a) Bahwa mengenai tuntutan ganti rugi biaya operasional
fee pengacara sebear Rp.50.000.000,- tersebut ternyata
tidak diperjanjikan secara tegas sebelumnya sehingga
majelis berpendapat tuntutan tersebut harus ditolak.
b) Demikian juga tuntutan ganti rugi immaterial sebesar
Rp.220.126.163,-, tidak ada bukti yang diajukan oleh
Penggugat yang dapat mendukungnya, maka Majelis
berpendapat tuntutan tersebut harus ditolak juga;
1) Sesuai dengan ketentuan Putusan mahkamah Agung RI No.791
K/Sip/1972 tertanggal 26 februari 1973 menyatakan bahwa
uang paksa tidak berlaku dalam hal tindakan untuk membayar
utang, sehingga Majelis berpendapat tuntutan tersebut harus
ditolak;
Menurut Penulis, tidak ada hal lain yang dapat diberikan Hakim dalam
melindungi kepentingan kreditor. Baik dari sisi perjanjian maupun dari sisi hak
yang harusnya menjadi perlindungan kreditor. Tidak berjalannya proses
pemberian kredit sesuai dengan prosedur yang berlaku mengakibatkan banyak
hal yang membuat kreditor dirugikan. Kelalaian kreditor dalam perkara ini jelas
terlihat dalam pertimbangan hakim di atas, dari tanggal perjanjian kredit hingga
pemasangan hak tanggungan saja butuh waktu 2 tahun baru ingin melaksanakan
108
pembebanan jaminan hak tanggungan. Pedahal proses pemasangan hak
tanggungan selalu mengikuti perjanjian pokok agar dapat menjamin pelunasan
piutangnya. Sehingga menurut penulis, perlindungan yang dapat diberikan oleh
hakim dalam putusan ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.