Bab II Dasar Teori

36
Bab II Dasar Teori 2.1 Buck Converter Buck converter adalah salah satu topologi DC-DC konverter yang digunakan untuk menurunkan tegangan DC. Prinsip kerja rangkaian ini adalah dengan kendali pensaklaran. Komponen utama pada topologi buck adalah penyaklar, dioda freewheel, induktor, dan kapasitor. Pada gambar 2.1 ditunjukkan topologi buck converter yang masih dasar dengan nilai komponen yang belum diketahui. Gambar 2.1 Topologi Buck Converter Penyaklar dapat berupa transistor, mosfet, atau IGBT. Kondisi saklar terbuka dan tertutup ditentukan oleh isyarat PWM. Pada saat saklar terhubung, maka induktor, kapasitor, dan beban akan terhubung dengan 7

description

dasar teori Buck convertr

Transcript of Bab II Dasar Teori

Page 1: Bab II Dasar Teori

Bab II

Dasar Teori

2.1 Buck Converter

Buck converter adalah salah satu topologi DC-DC konverter yang

digunakan untuk menurunkan tegangan DC. Prinsip kerja rangkaian ini adalah

dengan kendali pensaklaran. Komponen utama pada topologi buck adalah

penyaklar, dioda freewheel, induktor, dan kapasitor. Pada gambar 2.1 ditunjukkan

topologi buck converter yang masih dasar dengan nilai komponen yang belum

diketahui.

Gambar 2.1 Topologi Buck Converter

Penyaklar dapat berupa transistor, mosfet, atau IGBT. Kondisi saklar

terbuka dan tertutup ditentukan oleh isyarat PWM. Pada saat saklar terhubung,

maka induktor, kapasitor, dan beban akan terhubung dengan sumber tegangan

seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.2. Kondisi semacam ini disebut dengan

keadaan ON (ON state). Saat kondisi ON maka dioda akan reverse bias.

Sedangkan saat saklar terbuka maka seluruh komponen tadi akan terisolasi dari

sumber tegangan seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.4. Keadaan ini disebut

dengan kondisi OFF (OFF state). Saat kondisi OFF ini dioda menyediakan jalur

7

Page 2: Bab II Dasar Teori

8

untuk arus induktor. Buck converter disebut juga down converter karena nilai

tegangan keluaran selalu lebih kecil dari inputnya.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua kondisi pada buck

converter.

Gambar 2.2 Keadaan ON (ON State)

Pada saat kondisi ON maka rangkaian buck converter akan nampak

seperti gambar 2.2 dan dioda akan reverse bias. Dengan demikian maka tegangan

pada induktor adalah

V L=V s−V o=Ldi L

dt(2.1)

Sehingga diperoleh,

diL

dt=

(V s−V o )L

(2.2)

selama nilai turunan dari arus adalah konstanta positif, maka arus akan bertambah

secara linear seperti yang digambarkan pada gambar 2.3 selama selang waktu 0

sampai dengan DT. Perubahan pada arus selama kondisi ON dihitung dengan

menggunakan persamaan 2.2

diL

dt=

∆iL

∆ t=

∆ iL

DT=

( V s−V o )L

(2.3)

Page 3: Bab II Dasar Teori

9

∆ iL closed=(V s−V o )

LDT (2.4)

Gambar 2.3 Arus induktor pada buck converter

Pada saat kondisi OFF atau saklar terbuka, maka dioda menjadi forward

bias untuk menghantarkan arus induktor, dan rangkaian buck converter akan

nampak seperti gambar 2.4 Tegangan pada induktor saat saklar terbuka adalah

V L=−V o=LdiL

dt(2.5)

Sehingga diperoleh

diL

dt=

−V o

L(2.6)

turunan dari arus di induktor adalah konstanta negatif, dan arus berkurang secara

linear, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.3 pada ruas (1-D)T. perubahan

pada arus induktor ketika saklar terbuka adalah

diL

dt=

∆iL

∆ t=

∆iL

(1−D)T=

−V o

L(2.7)

∆ iL open=−V o

L(1−D)T (2.8)

Page 4: Bab II Dasar Teori

10

Gambar 2.4 Keadaan OFF

Operasi keadaan tunak (steady state) terpenuhi jika arus pada induktor

pada akhir siklus penyaklaran adalah sama dengan saat awal penyaklaran, artinya

perubahan pada arus induktor selama satu periode adalah nol. Hal ini berarti

(∆iL)closed + (∆iL)open = 0

Berdasarkan persamaan (∆iL)closed dan (∆iL)open diperoleh

Vs−VoL

DT−VoL

(1−D ) T=0 (2.9)

Dengan menyelesaikan Vo diperoleh hubungan

Vo=Vs . D (2.10)

Yang sama dengan apabila menghitung nilai dari integral keluaran selama 1

periode

1T∫0

T

vo (t ) dt=¿ 1T∫DT

T

vs ( t )dt +¿ 1T∫

0

DT

0 dt ¿¿

1T∫DT

T

vs ( t ) dt= 1T

Vs (T−DT )=Vs .D (2.11)

0 ≤ D≤ 1

Berdasarkan pada persamaan 2.10 dan 2.11 karena nilai tegangan keluaran buck

converter sebanding dengan nilai duty cycle, maka untuk memperoleh nilai

Page 5: Bab II Dasar Teori

11

keluaran tegangan yang bervariasi, caranya adalah dengan mengubah nilai duty

cyclenya.

Salah satu topologi rangkaian buck converter yang dapat digunakan

ditunjukkan pada gambar 2.5. Topologi ini menggunakan BJT Power Transistor

(TIP3055) sebagai komponen penyaklarnya. Selain itu menggunakan transistor

driver (TIP32) untuk memberikan suplai arus yang cukup ke basis BJT Power

Transistor sehingga dapat bekerja pada daerah saturasinya.

Kapasitor filter pada buck converter dihitung dengan pendekatan pada

persamaan 2.12.

∆ Vo=T .∆ Io8.C

(2.12)

Rangkaian buck converter pada gambar 2.5 menggunakan topologi yang

diberikan oleh datasheet IC TL494.

Gambar 2.5 Topologi Buck converter

Prinsip kerja buck converter ini adalah pada saat level PWM memberikan level

tinggi(1) maka resistor Q3 akan aktif yang membuat arus akan megalir melalui R3

dan menuju ground serta mengaktifkan transistor Q2. Transistor Q1 pun juga

Page 6: Bab II Dasar Teori

12

menjadi aktif dan nilai tegangan pada kaki katoda diode D1 adalah sama dengan

Vs=48V dan nilai tegangan pada kaki-kaki induktor = VL akan sama dengan Vs-

Vo.

Namun saat level PWM adalah low(0) maka transistor Q3 tidak aktif dan

arus tidak dapat mengalir menuju kaki basis Q2 karena nilai tegangan basis pada

Q2 sama dengan tegangan supply DC buck converter, yaitu 48 V. Akibatnya

transistor Q2 menjadi tidak aktif dan menyebabkan Q1 tidak aktif juga serta tidak

dapat mengalirkan arus dari sumber DC 48V.

Dari prinsip kerja ini maka dapat diketahui bahwa buck converter ini akan

menghasilkan tegangan output yang tinggi jika duty cycle PWM tinggi atau

mendekati 100%. Sesuai dengan datasheet IC TL494, duty cycle PWM

dikendalikan dengan memberikan nilai tegangan antara 0,3 V sampai dengan 2,5

V pada kaki DTC (pin.4 TL494). Tegangan 0 V menyebabkan duty cycle 100%

dan tegangan 2,5 V menyebabkan duty cycle 0% (100% dead time).

2.2 Difference Amplifier

Operational Amplifier atau di singkat op-amp merupakan salah satu

komponen analog yang sering digunakan dalam berbagai aplikasi rangkaian

elektronika. Aplikasi op-amp yang paling sering dipakai antara lain adalah

rangkaian inverter, non-inverter, integrator dan differensiator. Aplikasi lain dari

op-amp yang juga sering dipakai adalah error amplifier. Aplikasi ini berdasarkan

pada prinsip kerja op-amp sebagai difference amplifier.

Page 7: Bab II Dasar Teori

13

Difference amplifier adalah rangkaian elektronika analog yang

menggunakan operational amplifier atau op-amp untuk membandingkan dua

masukan pada masukan inverting dan non-inverting. Biasanya gain dibatasi

dengan memberikan feedback.

Vin2

Vin1Vout

3

26

74

15

U1

LM741

R1

100

R2

10k

Gambar 2.6 Difference Amplifier

Pada gambar 2.6 ditunjukkan salah satu penggunaan difference amplifier

yang paling sederhana. Pada rangkaian ini masukan non-inverting langsung

diperoleh dari Vin1. Masukan Vin2 biasanya adalah tegangan referensinya.

Apabila Vin2 dihubungkan ke ground maka rangkaian ini akan menjadi penguat

non-inverting. Namun apabila Vin2 dihubungkan pada sebuah tegangan referensi,

maka nilai tegangan output akan mengikuti persamaan

V out=RfR 1

(V ¿1−V ¿2 ) (2.13)

Dengan menggunakan error amplifier, maka nilai keluaran dari error

amplifier akan selalu dibandingkan sehingga masukan inverting dan non-inverting

sama. Error amplifier dengan menggunakan op-amp adalah salah satu cara

mengurangi error secara analog.

2.3 Sinyal PWM (Pulse width modulation)

Page 8: Bab II Dasar Teori

14

PWM atau pulse width modulation adalah salah satu cara untuk

mendapatkan tegangan yang memiliki kondisi terbuka penuh (ON) atau tertutup

penuh (OFF). Cara paling sederhana untuk mendapatkan sinyal PWM adalah

dengan metode interseksi, yang membutuhkan gelombang gergaji atau gelombang

segitiga dan komparator. Frekuensi gelombang gergaji akan sama dengan

frekuensi PWM. Komparator digunakan sebagai penghasil gelombang kotak

dengan membandingkan masukannya.

Metode pembangkitan PWM dengan membandingkan gelombang

segitiga dan tegangan DC dapat dilihat pada gambar 2.7 di mana saat masukan

sinyal segitiga masih lebih rendah dari sinyal DC pembandingnya maka keluaran

komparator akan rendah/LOW. Dan ketika sinyal segitiga telah lebih tinggi dari

sinyal DC maka keluaran komparator akan tinggi/HIGH. Maka dengan mengubah

nilai tegangan DC-nya akan mempengaruhi perbandingan panjang gelombang

tinggi terhadap periodenya atau yang disebut dengan duty cycle (D).

Gambar 2.7 Pembangkitan PWM secara analog

Teknik pembangkitan gelombang PWM lainnya adalah secara digital.

Pembangkitan ini biasanya dilakukan menggunakan mikrokontroler dengan

metode time proportioning. Metode ini memanfaatkan fitur counter yang terdapat

pada mikrokontroler yang akan bertambah secara periodis yang terhubung

langsung dengan clock/pendetak rangkaian mikrokontroler. Counter akan tereset

Page 9: Bab II Dasar Teori

15

pada akhir setiap periode dari PWM. Ketika nilai counter lebih dari nilai

referensinya, keluaran PWM berubah dari kondisi HIGH ke LOW (atau

sebaliknya sesuai dengan pengaturan). Metode pembangkitan dengan

mikrokontroler ditunjukkan pada gambar 2.8.

Pertambahan nilai dari counter (TCNTn) pada gambar 2.8 mirip dengan

metode gelombang gigi gergaji. Hanya saja penggunaan counter adalah versi

diskret dari metode interseksi. Tingkat ketelitian pada PWM digital sangat

dipengaruhi oleh resolusi counter. Semakin tinggi nilai resolusinya maka akan

diperoleh hasil yang lebih baik.

Gambar 2.8 Pembangkitan PWM dengan counter mikrokontroler

Salah satu pemanfaatan PWM adalah untuk switching. Pada

pengendalian daya dengan frekuensi tinggi penggunaan saklar menggunakan

komponen semikonduktor wajib digunakan, hal ini dikarenakan saklar mekanik

tidak mampu digunakan untuk frekuensi tinggi.

Kondisi on dan off pada PWM digunakan sebagai kontrol saklar

elektronis semikonduktor yang berpengaruh pada kontrol tegangan dan arus yang

mengalir melalui beban.

2.4 Mikrokontroler ATMega8535

Page 10: Bab II Dasar Teori

16

Mikrokontroler ATMega8535 adalah salah satu keluarga dari AVR yang

memiliki fitur yang cukup lengkap. Mulai dari kapasitas memori program dan

memori data yang cukup besar, interupsi, timer/counter, PWM, USART, TWI,

analog comparator, EEPROM internal, dan juga ADC internal semuanya ada

dalam ATMega8535. Sehingga dengan fitur yang cukup lengkap ini

memungkinkan untuk dapat belajar mikrokontroler keluarga AVR dengan lebih

mudah dan efisien, dan bahkan dapat merancang suatu sistem untuk kepentingan

komersial mulai dari yang sederhana sampai dengan sistem yang relatif kompleks

hanya dengan menggunakan satu IC saja, yaitu IC ATMega8535. Oleh karena itu,

IC ATMega8535 dapat dianalogikan seperti sebuah komputer yang dapat

melakukan proses tertentu sesuai dengan programnya.

Selain itu, kemampuan kecepatan eksekusi yang lebih tinggi menjadi

alasan kuat bagi banyak orang untuk memilih ATMega8535, yang juga

mikrokontroler keluarga AVR, dibandingkan dengan mikrokontroler

pendahulunya yaitu keluarga MCS-51.

2.4.1 Fitur ATMega8535

Berikut ini adalah fitur-fitur yang dimiliki oleh ATMega8535:

a. 130 macam instruksi yang hampir semuanya dieksekusi dalam 1 siklus

clock.

b. 32x8-bit register serba guna

c. Kecepatan mencapai 16MIPS dengan clock 16MHz.

d. 8Kbyte Flash Memory, yang memiliki fasilitas In-System Programming.

Page 11: Bab II Dasar Teori

17

e. 512 byte internal EEPROM.

f. 512 byte SRAM.

g. Programming Lock, fasilitas untuk mengamankan kode program.

h. 2 buah timer/counter 8-bit dan 1 buah timer/counter 16-bit.

i. 4 channel output PWM.

j. 8 channel ADC 10-bit.

k. Serial USART.

l. Master/Slave SPI serial interface.

m. Serial TWI atau I2C.

n. On-Chip Analog Comparator.

2.4.2 Konfigurasi Pin ATMega8535

Konfigurasi Pin pada ATMega8535 dapat dilihat pada gambar 2.9

berikut.

Gambar 2.9 Konfigurasi pin ATMega8535

Penjelasan fungsi dari pin ATMega8535 adalah sebagai berikut:

1. VCC pin yang dihubungkan dengan catu daya ±5V.

2. GND pin ini merupakan pin ground.

Page 12: Bab II Dasar Teori

18

3. Port A(PA0..PA7) merupakan pin I/O dua arah yang juga merupakan

masukan ADC.

4. Port B(PB0..PB7) merupakan pin I/O dua arah dan pin dengan fungsi

khusus seperti timer/counter, ISP port, dan analog comparator.

5. Port C(PC0..PC7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus yaitu

TWI dan Timer oscillator.

6. Port D(PD0..PD7) merupakan pin I/O dua arah dan pin fungsi khusus yaitu

komunikasi serial, output PWM, dan interupsi eksternal.

7. RESET adalah pin yang akan aktif jika diberikan logika rendah untuk

mereset program mikrokontroler.

8. XTAL1 dan XTAL2 adalah pin masukan clock eksternal yang berasal dari

kristal osilator.

9. AVCC merupakan masukan tegangan untuk mengaktifkan ADC.

10. AREF merupakan pin masukan untuk tegangan referensi ADC.

2.4.3 Analog to Digital Converter(ADC)

Salah satu fitur ATMega8535 yang cukup penting adalah fitur ADC yang

terintegrasi di dalam chip. Resolusinya pun cukup tinggi yaitu 10bit dengan 8

channel input. Rangkaian internal ADC ini membutuhkan catu daya sendiri, yaitu

pada pin AVCC. Tegangan AVCC yang diperbolehkan adalah VCC±0,3volt ,

sehingga biasanya AVCC dihubungkan dengan VCC secara langsung jika

menggunakan fitur ADC. Selain memiliki resolusi 10-bit, ADC ini juga dapat

Page 13: Bab II Dasar Teori

19

digunakan untuk resolusi 8-bit. Untuk resolusi 8-bit, data hasil konversi ADC

dirumuskan sebagai berikut:

ADC=V ¿ x255

V ref(2.14)

di mana VIN adalah tegangan masukan yang akan dikonversi yang diperoleh dari

pin masukan ADC dan VREF adalah tegangan referensi, atau dalam beberapa sistem

digunakan referensi yang sama dengan VCC.

Proses ADC yang dilakukan oleh ATMega8535 terdiri dari 2 tahap, yaitu

inisialisasi ADC dan konversi ADC.

2.4.3.1 Inisialisasi ADC

Sebelum ADC dapat digunakan untuk mengkonversi nilai tegangan analog

ke digital, ada beberapa register pada ATMega8535 yang harus diatur parameter-

parameternya. Register-register tersebut diantaranya adalah ADMUX dan

ADCSRA. Tiap bit dalam register ADMUX pada gambar 2.10 ataupun ADCSRA

pada gambar 2.11 merupakan parameter bit yang harus dilakukan inisialisasi.

Gambar 2.10 Register ADMUX

Gambar 2.11 Register ADCSRA

Register ADMUX adalah register 8-bit yang digunakan untuk:

Bit 7:6 – REFS1:0 : Reference Selection Bits

Page 14: Bab II Dasar Teori

20

Bit REFS1 dan REFS0 digunakan untuk menentukan tegangan referensi dari

ADC seperti ditunjukkan pada tabel 2.1 berikut.

Page 15: Bab II Dasar Teori

21

Tabel 2.1 Pemilihan tegangan referensi ADC

REFS1 REFS0 Tegangan Referensi

0 0 Pin AREF

0 1 Pin AVCC, dengan pin AREF diberi kapasitor

1 0 Tidak digunakan

1 1 Internal 2,56V dengan pin AREF diberi kapasitor

Bit 5 – ADLAR : ADC Left Adjust Result

Bit ADLAR digunakan untuk mengatur format penyimpanan data ADC pada

register ADCL dan ADCH. Format penyimpanan ini ditunjukkan pada gambar

2.12 untuk nilai ADLAR=1 dan 0.

Gambar 2.12 ADCH dan ADCL

Bit 4:0 – MUX4:0 : Analog Channel and Gain Selection Bits

Pada tabel 2.2 ditunjukkan bahwa dengan melakukan inisialisasi yang berbeda

pada bit MUX4..0 maka channel ADC yang dikonversi pada operasi single-

ended input akan berubah-ubah.

Tabel 2.2 Pemilihan Channel ADC

Page 16: Bab II Dasar Teori

22

Register ADCSRA adalah register 8-bit yang digunakan untuk mengatur

frekuensi yang dipakai ADC dengan menentukan prescalernya serta mengatur

mode kerja ADC.

Bit 7 – ADEN : ADC Enable

Bit ADEN digunakan untuk mengaktifkan dan menonaktifkan fasilitas ADC.

Jika bit di set’1’ maka ADC diaktifkan dan jika bernilai ‘0’ maka ADC tidak

Aktif.

Bit 5 – ADATE : ADC auto trigger enable

Bit ini digunakan untuk mengaktifkan pemicu proses konversi ADC sesuai

dengan bit-bit ADTS pada register SFIOR. Jika bit ADATE bernilai ‘1’ berarti

pemicu ADC diaktifkan.

Bit 4 – ADIF : ADC Interupt Flag

Bit ADIF adalah bendera interupsi ADC yang digunakan untuk menunjukkan

ada tidaknya permintaan interupsi ADC. Bit ADIF akan bernilai ‘1’ jika proses

konversi ADC telah selesai.

Bit 3 – ADIE : ADC Interupt enable

Bit ADIE digunakan untuk menonaktifkan interupsi ADC. Jika bernilai ‘1’ dan

bit-I pada SREG diset ‘1’ maka saat terjadi permintaan interupsi ADCI (bit

ADIF bernilai ‘1’) akan membuat program melompat ke vektor interupsi ADC

yaitu 0x00E.

Bit 2:0 – ADPS2:0 : ADC prescaler Select Bits

Page 17: Bab II Dasar Teori

23

Bit ADPS2, ADPS1, ADPS0 digunakan untuk menentukan faktor pembagi

atau skala frekuensi kristal yang kemudian hasilnya digunakan sebagai

frekuensi clock ADC. Nilai faktor yang diperoleh dengan menginisialisasi bit

ADPS2..0 dapat diketahui pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Skala Clock ADC

2.4.3.2 Konversi ADC

ADC ATMega8535 memiliki 2 mode konversi, yaitu free running dan

single ended conversion. Pada mode single ended, konversi akan dimulai saat bit

ADSC pada register ADCSRA diset ‘1’. Pada mode free runing konversi

dilakukan terus menerus tanpa harus menunggu perintah atau dengan kata lain

konversi selanjutnya dilakukan segera setelah konversi sebelumnya berakhir.

Pengecekan terhadap data hasil konversi dapat diketahui dengan mengetahui nilai

bit ADIF. Saat bit ADIF telah bernilai ‘1’ maka data konversi telah selesai dan

dapat digunakan. Pada mode single ended, untuk memulai konversi berikutnya bit

ADIF harus dinolkan kembali dan bit ADSC diset kembali.

Hasil konversi ADC disimpan pada register ADCH dan ADCL (gambar

2.12). Format penyimpanan ditentukan oleh bit ADLAR pada register ADMUX.

Page 18: Bab II Dasar Teori

24

2.4.3.3 Timer/Counter

ATMega8535 memiliki 3 modul timer/counter. Timer dapat digunakan

sebagai pencacah, pembangkit PWM, dan interupsi. Pada tugas akhir ini,

berfungsi sebagai pembangkit PWM. PWM yang digunakan diatur dengan

menginisialisasi register TCCR (Timer/Counter Control Register). Karena akan

digunakan 2 PWM yang tidak saling mempengaruhi maka Timer/Counter 1 yang

digunakan. Untuk itu, yang diinisialisasi adalah register TCCR1A dan TCCR1B

dengan nama bit parameter seperti pada gambar 2.13. TCCR1A dan TCCR1B

diinisialisasi bersama namun kegunaannya berbeda satu sama lain. Cara

pengaturan bitnya akan dijelaskan pada bagian lain.

Gambar 2.13 Register TCCR1A dan TCCR1B

Dengan mengatur bit parameter TCCR1A dan TCCR1B maka akan

diperoleh mode kerja dan keluaran yang berbeda pada pin OC1A dan OC1B.

Timer/Counter 1 merupakan modul Timer/Counter 16-bit yang dapat

berfungsi sebagai pencacah tunggal, pembangkit PWM 16-bit, pembangkit

frekuensi, pencacah event eksternal, dan sebagai pembangkit interupsi yang terdiri

dari 4 sumber pemicu yaitu 1 interupsi overflow, 2 interupsi output compare

match dan 1 interupsi input capture.

Page 19: Bab II Dasar Teori

25

Inisialisasi kerja Timer/Counter 1 dapat ditentukan dengan mengatur

register TCCR1A, TCCR1B, TCNT1H, TCNT1L, OCR1AH, OCR1AL,

OCR1BH, OCR1BL serta TIMSK dan TIFR. TCNT1 akan membatasi nilai TOP

Timer/Counter1 dan OCR1A atau OCR1B akan menjadi nilai pembandingnya

(Output Compare).

Pola keluaran pada OC1A atau OC1B yang dihasilkan oleh

Timer/Counter1 ditentukan pula oleh bit COM1A1..0 atau COM1B1..0 pada

register TCCR1A. Pola keluaran ini ditunjukkan pada tabel 2.4, tabel 2.5, dan

tabel 2.6.

Tabel 2.4 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode non-PWM

COM1A1/COM1B1

COM1A0/COM1B0

Deskripsi

0 0 Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin

0 1 Toggle jika TCNT1=OCR1A/OCR1B

1 0 Bernilai 0 jika TCNT1=OCR1A/OCR1B

1 1 Bernilai 1 jika TCNT1=OCR1A/OCR1B

Tabel 2.5 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode Fast PWM

COM1A1/COM1B1

COM1A0/COM1B0

Deskripsi

0 0 Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin.

0 1 -Jika WGM13:0=15, OC1A bergulir pada saat

CNT1=OCR1A dan OC1B sebagai port I/O

-WGM yang lain, OC1A/OC1B sebagai port I/O

1 0 Bernilai 0 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B dan

bernilai 1 setelah mencapai TOP.

1 1 Bernilai 1 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B dan

bernilai 0 setelah mencapai TOP.

Page 20: Bab II Dasar Teori

26

Tabel 2.6 Pola Keluaran pin OC1A/OC1B Mode phase correct PWM

COM1A1/COM1B1

COM1A0/COM1B0

Deskripsi

0 0 Operasi normal,OC1A/OC1B tidak terhubung ke pin.

0 1 -Jika WGM13:0=9 atau 14, OC1A bergulir pada saat

CNT1=OCR1A dan OC1B sebagai port I/O

-WGM yang lain, OC1A/OC1B sebagai port I/O

1 0 Bernilai 0 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B saat up

counter dan bernilai 1 setelah

TCNT1=OCR1A/OCR1B saat down counter.

1 1 Bernilai 1 setelah TCNT1=OCR1A/OCR1B saat up

counter dan bernilai 0 setelah

TCNT1=OCR1A/OCR1B saat down counter.

Bit CS12, CS11, CS10 digunakan untuk mengatur skala sumber clock

yang akan digunakan oleh Timer/counter 1 seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2.7 Skala Clock Timer/Counter 1

Skala clock timer/counter, akan digunakan untuk menyekalakan frekuensi

kristal osilator ke frekuensi yang diinginkan. Namun frekuensi PWM hasil dari

penyekalaan ini masih dipengaruhi juga oleh nilai puncak dari timer/counter.

Semakin tinggi resolusi bit timer/counter maka nilai frekuensi maksimal yang

dapat dihasilkan akan semakin rendah.

FOC1A dan FOC1B hanya digunakan pada mode non-PWM.

Page 21: Bab II Dasar Teori

27

Jika FOC1A diset ‘1’ maka pin OC1A akan dipaksa mengeluarkan sinyal

sesuai spesifikasi yang ditentukan oleh COM1A1:0.

Jika FOC1B diset ‘1’ maka pin OC1B akan dipaksa mengeluarkan sinyal

sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh COM1B1:0.

Mode keluaran PWM pada OC1A dan OC1B ada 15 macam. Selain

mengatur pada register TCCR1A, setiap mode operasi juga diperoleh dengan

mengatur bit parameter pada register TCCR1B. Pengaturan itu dapat ditentukan

dengan melihat pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Mode kerja Timer/Counter 1

Nilai frekuensi yang dihasilkan oleh PWM mikrokontroler ditentukan oleh

frekuensi kristal osilator, skala Timer, dan nilai puncak Timer yang digunakan

(TOP).

f OC 1 A=f osc

N∗(1+TOP) (2.15)

dan nilai duty cycle PWM yang dihasilkan:

D=OCR 1 xTOP

x100 % (2.16)

Page 22: Bab II Dasar Teori

28

2.5 IC TL494

TL 494 adalah sebuah IC control pulse-width-modulation (PWM).

Dengan metode pengendalian memanfaatkan lebar pulsa untuk memberikan

variasi suplai tegangan. Block diagram internal IC pada gambar 2.14

menunjukkan bahwa dalam IC TL494 memiliki fitur yang cukup lengkap,

diantaranya error amplifier, pulse steering flip-flop, reference regulator, DTC

(dead time controller), dan 2 keluaran berupa transistor open collector.

Gambar 2.14 Block Diagram IC TL494

Konfigurasi pin pada IC TL494 ditunjukkan pada gambar 2.15. Pada

gambar 2.15 ditunjukan bahwa TL494 merupakan IC yang tergolong kecil dengan

jumlah pin 16.

Gambar 2.15 Konfigurasi Pin IC TL494

Page 23: Bab II Dasar Teori

29

TL494 adalah suatu sirkuit kontrol PWM berfrekuensi tetap. Frekuensi

pada oscilator internal ditentukan oleh komponen CT dan RT, perhitungan nilai

frekuensi osilator ditentukan oleh persamaan:

f osc=1

RT x CT(2.17)

Tetapi frekuensi osilator setara dengan frekuensi output hanya berlaku

untuk aplikasi single-ended. Untuk aplikasi push-pull output frekuensi bernilai

setengah dari frekuensi osilator.

Aplikasi single ended:

f osc¿= 1

RT xCT(2.18)

Aplikasi push-pull:

f osc¿= 1

2¿¿(2.19)

Output PWM dihasilkan dengan perbandingan gelombang segitiga yang

dihasilkan dari internal osilator dengan salah satu dari sinyal kontrol. Sinyal

kontrol dihasilkan dari dua sumber: rangkaian kontrol dead-time (off-time) dan

error amplifier. Dead time control input dibandingkan langsung dengan

komparator kontrol dead time. Sedangkan PWM komparator membandingkan

sinyal kontrol yang dihasilkan oleh error amplifier. Salah satu fungsi dari error

amplifier adalah untuk memonitor tegangan output dan memberikan gain yang

cukup agar kesalahan dalam millivolts pada input menghasilkan nilai yang cukup

pada sinyal kontrol untuk memberikan kontrol modulasi 100%.

TL494 dapat bekerja dengan 2 kondisi yaitu push-pull dan single-ended,

pada push-pull operation kontrol output yang dhubungkan dengan tegangan 5V

referensi (pin 14), di mana kedua output transistor diaktifkan oleh pulse steering

Page 24: Bab II Dasar Teori

30

flip-flop. Frekuensi output sama dengan setengah dari frekuensi osilator.

Sedangkan pada single-ended operation kontrol output dihubungkan ke ground

untuk mematikan pulse steering flip-flop. Ketika arus output drive lebih tinggi

dibutuhkan untuk single-ended operation, Q1 dan Q2 dapat dihubungkan secara

paralel dan frekuensi output akan sama dengan frekuensi osilator.

TL494 mempunyai tegangan referensi internal 5,0V yang mampu untuk

membangkitkan hingga 10mA dari arus beban untuk sirkuit bias eksternal. Nilai

referensi memiliki ketelitian internal dari ±5,0% dengan sebuah tipe

penyimpangan thermal kurang dari 50mV melebihi sebuah nilai operating

temperatur dengan range 00 – 700C.

Dead time control dapat dimanfaatkan juga pada aplikasi soft start saat

perangkat mulai dioperasikan. Soft start akan menyebabkan 100% dead time

sehingga tidak ada arus yang ditarik oleh beban. Seiring dengan pertambahan

waktu, maka nilai PWM perlahan akan dikendalikan oleh keluaran error

amplifier. Penggunaan soft start akan mengurangi resiko kerusakan pada

perangkat karena adanya arus beban awal (inrush) yang berlebihan. Rangkaian

soft start dari datasheet ditunjukkan pada gambar 2.16.

Gambar 2.16 Rangkaian Soft start

Page 25: Bab II Dasar Teori

31

Pengaruh soft start pada PWM sistem adalah seperti ditunjukkan gambar

2.17. PWM mula-mula akan rendah karena tegangan DTC adalah mendekati VREF.

Hal ini disebabkan tegangan pada CS masih rendah. Setelah CS terisi maka

selanjutnya tegangan pada DTC adalah tegangan pada R2 yang merupakan

pembatas nilai duty cycle sehingga tidak terlalu besar.

Gambar 2.17 Keluaran PWM dengan soft start

Waktu yang diperlukan untuk melakukan soft start ditentukan dengan

persamaan 2.19 berikut:

t soft=1f

x siklus (2.20)

dengan nilai CS

CS=t soft

RS

(2.21)