BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB...

22
4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja ( point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau disekitar kawasan tersebut. Curah hujan setiap hari yang direkam dari stasiun hujan digunakan sebagai masukan untuk mengetahui intensitas hujan yang ada pada suatu wilayah. (Handayani, 2012). Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan dihubungkan dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan jangka pendek ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan alat pencatat hujan otomatis. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe. (Yulius, 2014) Analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Dalam statistik dikenal empat macam distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi, yaitu distribusi Normal, Log-Normal, Gumbel dan Log Pearson Type III. Masing-masing distribusi mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan jenis distribusi yang tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over estimated maupun under estimated. (Harto, 1993)

Transcript of BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB...

Page 1: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

4

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjuan Pustaka

Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang

terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan

sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu

penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini

diperlukan hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa

stasiun penakar hujan yang ada di dalam atau disekitar kawasan tersebut. Curah

hujan setiap hari yang direkam dari stasiun hujan digunakan sebagai masukan untuk

mengetahui intensitas hujan yang ada pada suatu wilayah. (Handayani, 2012).

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu.

Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung

makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya.

Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara

statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan dihubungkan dengan

durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman.

Data curah hujan jangka pendek ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan

alat pencatat hujan otomatis. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang

ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus

Mononobe. (Yulius, 2014)

Analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data

yang diperoleh dari rekaman data hujan. Dalam statistik dikenal empat macam

distribusi frekuensi yang banyak digunakan dalam hidrologi, yaitu distribusi

Normal, Log-Normal, Gumbel dan Log Pearson Type III. Masing-masing distribusi

mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya

dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan jenis distribusi

yang tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik

over estimated maupun under estimated. (Harto, 1993)

Page 2: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

5

Analisis kurva Intensity Duration Frequency (IDF) dan Depth Area

Duration (DAD) telah dilakukan di Kota Praya. Dari hasil analisis tersebut dapat

diambil kesimpulan nilai IDF di Kota Praya dengan durasi 30 menit berdasarkan

kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan 25 tahun diperoleh intensitas hujan

berturut-turut yaitu I2 = 44,234 mm/jam, I5 = 57,934 mm/jam, I10 = 66,785 mm/jam

dan I25 = 77,809 mm/jam. Berdasarkan bentuk lengkung kurva IDF periode ulang

2, 5, 10 dan 25 tahun dapat diambil kesimpulan bahwa semakin lama waktu hujan

yang terjadi maka intensitas hujan yang terjadi semakin kecil dan begitu juga

sebaliknya semakin pendek durasi hujan yang terjadi maka intensitas hujan semakin

besar. Berdasarkan analisis Depth Area Duration (DAD) diperoleh besaran hujan

maksimum per 6 jam dengan durasi 6 jam, 12 jam, 18 jam dan 24 jam untuk luasan

20 km2 berturut-turut adalah 76,09 mm; 81,4 mm; 80,42 mm dan 80,42 mm.

Berdasarkan bentuk lengkung kurva DAD yang tergambar dapat diambil

kesimpulan bahwa semakin besar luas area tangkapan hujannya maka kedalaman

hujan yang terjadi semakin kecil, dan begitu juga sebaliknya semakin kecil luas

area tangkapan hujannya maka kedalaman hujan yang terjadi semakin besar.

(Irwan, 2015)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 DAS (Daerah Aliran Sungai)

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-

punggung gunung atau pegunungan di mana air hujan yang jatuh di daerah tersebut

akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik atau stasiun yang ditinjau. Air

hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau,

sedangkan yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya. Luas

DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS

sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS

semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran

permukaan atau debit sungai. (Triatmodjo, 2008)

Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dipandang sebagai bagian dari

permukaan bumi tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke

Page 3: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

6

sungai menjadi aliran sungai menuju ke suatu titik di sebelah hilir (down stream

point) sebagai titik pengeluaran (catchment outlet). Setiap DAS besar yang

bermuara ke laut merupakan gabungan dari beberapa DAS sedangkan sub DAS

adalah gabungan dari sub DAS kecil-kecil. (Soewarno, 1995)

Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

(Sumber : Google Image)

2.2.2 Hujan

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini akan dialihragamkan

menjadi aliran sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran

antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater

flow). Untuk mendapatkan perkiraan besar hujan yang terjadi di seluruh DAS,

diperlukan data kedalaman hujan dari banyaknya stasiun hujan yang tersebar di

seluruh DAS. Kerapatan data hujan dan jumlah stasiun pencatat hujan dalam suatu

DAS akan memberikan perbedaan dalam besaran hujan yang didapatkan. (Harto,

1993).

Menurut Soemarto (1987), jika membicarakan data hujan ada 5 buah unsur

yang harus ditinjau :

Page 4: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

7

1. Intensitas (I), adalah laju hujan = tinggi air per satuan waktu (mm/menit,

mm/jam, mm/hari),

2. Lama waktu (t), adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit atau

jam,

3. Kedalaman hujan (d), adalah jumlah atau banyaknya hujan dinyatakan

dalam ketebalan air diatas permukaan datar dalam mm,

4. Frekuensi biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return period) (T),

misalnya sekali dalam T tahun,

5. Luas (A), adalah luas geografi curah hujan, dalam m2.

Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di

dalam tampungan baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah dan

variasi debit sungai tergantung pada jumlah, intensitas dan distribusi hujan.

Terdapat hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang

bersangkutan. Apabila data pencatatan debit tidak ada, data pencatatan hujan dapat

digunakan untuk memperkirakan debit aliran. (Triatmodjo, 2008).

2.2.3 Pengukuran Curah Hujan

Pengukuran hujan dilakukan dengan menampung hujan yang jatuh di

beberapa titik yang sudah ditentukan dengan menggunakan alat pengukur hujan.

Hujan yang terukur mewakili suatu luasan daerah disekitarnya yang dinyatakan

dengan kedalaman hujan. Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh curah hujan

dalam suatu satuan waktu dan intensitas hujan. Jadi intensitas curah hujan berarti

jumlah presipitasi atau curah hujan dalam waktu relatif singkat. Intensitas curah

hujan ini dapat diperoleh atau dibaca dari kemiringan kurva (tangen kurva) yang

diukur oleh alat ukur hujan otomatis. (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

2.2.4 Pengujian Konsistensi Data Hujan

Perubahan lokasi stasiun hujan atau perubahan prosedur pengukuran dapat

memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jumlah hujan yang terukur,

sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yang berupa ketidakpanggahan

data (inconsistency). Uji konsistensi berarti menguji kebenaran data lapangan yang

Page 5: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

8

tidak dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengiriman atau saat pengukuran.

Pengujian konsistensi data hujan dibagi dalam 2 (dua) tahap yaitu :

a. Analisis Kurva Massa Ganda

Jika terdapat data curah hujan tahunan dengan jangka waktu pengamatan

yang panjang, maka kurva massa ganda dapat digunakan untuk memperbaiki

kesalahan pengamatan yang terjadi yang disebabkan oleh perubahan posisi atau

cara pemasangan yang tidak baik dari alat ukur curah hujan. Kesalahan-kesalahan

pengamatan tidak dapat ditentukan dari setiap data pengamatan. Hal ini masih

sering menimbulkan keraguan karena masih terdapat kemungkinan tidak

panggahnya stasiun referensi. Cara ini tidak dapat digunakan untuk data curah

hujan jangka waktu yang singkat (curah hujan harian atau perjam). (Sosrodarsono

dan Takeda, 2003).

b. Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS)

Uji konsistensi dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums)

merupakan pengujian untuk individual stasiun (stand alone station). Uji konsistensi

ini digunakan untuk menguji ketidakpanggahan antar data dalam stasiun itu sendiri

dengan mendeteksi pergeseran nilai rata-rata (mean).

Pengujian dilakukan terhadap penyimpangan kumulatif dari nilai reratanya

yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :

Sk*0 = 0 (2-1)

Sk* = ∑ (𝑌𝑖 − 𝑌𝑟)𝑘𝐼+1 (2-2)

Dy2 = ∑ (𝑌𝑖−𝑌𝑟)𝑛

𝐼−1

𝑛 (2-3)

Sk** = 𝑆𝑘∗

𝐷𝑦 (2-4)

Dengan :

Yi = data curah hujan,

Yr = rerata curah hujan,

n = jumlah data hujan,

k = 1, 2, 3,……, n.

Untuk data yang panggah atau homogen nilai Sk* akan berkisar mendekati

nol. Grafik kumulatif digunakan untuk menetapkan posisi dimana terjadi

Page 6: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

9

perubahan, yaitu bilamana grafik menunjukkan perubahan secara nyata. Dalam

model ini nilai maksimum dari besaran Sk* merupakan petunjuk posisi titik

perubahan tersebut. RAPS diperoleh dengan cara membagi Sk* dengan nilai

simpangan baku Dy.

Pengujian dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri yaitu pengujian

dengan komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-rata dibagi dengan akar

komulatif rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya, lebih jelas lagi

bisa dilihat pada rumus nilai statistik Qy dan Ry.

Nilai statistik Qy :

Qy = Maks |Sk**| (2-5)

0 ≤ k ≤ n

Nilai statistik R :

Ry = Maks Sk** - Min Sk** (2-6)

0 ≤ k ≤ n 0 ≤ k ≤ n

Dengan :

Sk*0 = simpangan awal,

Sk* = simpangan mutlak,

Sk** = nilai konsistensi data,

Q = nilai statistik Q untuk 0 ≤ k ≤ n,

n = jumlah data,

Dy = simpangan rata-rata,

R = nilai statistik (range)

Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Qy/√n dan

Ry/√n. Hasil yang di dapat dibandingkan dengan nilai Qy/√n syarat dan Ry/√n

syarat, jika hasil lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten. Nilai statistik

Q dan R diberikan pada Tabel 2.1. (Harto, 1993)

Page 7: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

10

Tabel 2.1 Persentase nilai Qy/√n dan Ry/√n

Jumlah

Data

Qy/√n Ry/√n

90% 95% 99% 90% 95% 99%

10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38

20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60

30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70

40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74

50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78

100 1,17 1,29 1,53 1,50 1,62 1,86

>100 1,22 1,36 1,55 1,62 1,75 2,00

(Sumber : Sri Harto Br, 1993)

2.2.5 Penetapan Seri Data

Menurut Sri Harto (1993) disebutkan bahwa penetapan seri data yang

dipergunakan dalam analisis frekuensi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai

berikut :

1. Maximum annual series

Cara maximum annual series, dilakukan dengan mengambil data

maksimum setiap tahunnya, yang berarti jumlah seri data akan sama dengan

panjang data yang tersedia. Akibatnya, besar hujan atau banjir maksimum kedua

dalam satu tahun yang mungkin lebih besar dari hujan atau banjir maksimum tahun

lain yang tidak diikutkan dalam analisis. Hal seperti ini dianggap oleh sebagian

pihak kurang realistik. Untuk mengatasi itu digunakan partial series.

2. Partial series

Cara partial series, dilakukan dengan menetapkan suatu batas bawah

tertentu (threshold) dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya resiko

kegagalan, jenis proyek, daerah yang terkena imbas bila terjadi kegagalan, dan

peraturan yang berlaku bila ada. Dalam hal ini batasan yang diambil diusahakan

menghasilkan debit rancangan yang optimal baik dari segi keamanan struktur

maupun dari segi ekonomi. Selanjutnya, besaran yang ada di atas batasan tersebut

digunakan sebagai input dalam analisis frekuensi. Cara penentuan hujan rata-rata

Page 8: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

11

dilakukan dengan cara mencari hujan maksimum tahunan stasiun I dalam satu tahun

tertentu. Selanjutnya dicari hujan untuk stasiun lainnya pada waktu yang sama,

selanjutnya dihitung hujan rata-rata DAS. Masih dalam tahun yang sama, dicari

hujan maksimum tahunan untuk stasiun II dan dicari hujan di stasiun lainnya pada

waktu yang sama dan dicari rata-ratanya. (Harto, 1993)

2.2.6 Penentuan Hujan Kawasan

Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana

stasiun tersebut berada (point rainfall) sehingga hujan pada suatu luasan harus

diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat

lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang

tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. (Triatmodjo, 2008).

Dalam analisis hidrologi point rainfall harus diubah menjadi hujan kawasan

(areal rainfall). Beberapa cara yang dapat digunakan untuk merubah hujan lokal

(point rainfall) menjadi hujan kawasan (areal rainfall) adalah sebagai berikut :

1. Metode polygon Thiessen

Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang

mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa

hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan

yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan

apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan

curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap

stasiun.

Pembentukan polygon Thiessen adalah sebagai berikut :

a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk

stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan,

b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus)

sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi

dengan panjang yang kira-kira sama,

c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga dengan garis penuh,

Page 9: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

12

d. Garis-garis berat tersebut membentuk polygon yang mengelilingi tiap

stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh polygon. Untuk

stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas

tertutup dari polygon,

e. Luas tiap polygon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan

di stasiun yang berada di dalam polygon,

f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas

daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam

bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini :

�̅� = 𝐴1𝑝1+𝐴2𝑝2+𝐴3𝑝3+⋯+𝐴𝑛𝑝𝑛

𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 (2-7)

dengan :

�̅� = hujan rerata kawasan

p1, p2, …., pn = hujan pada stasiun 1, 2, 3,…., n

A1, A2, .., An = luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2, 3,…, n

Gambar 2.2 Polygon Thiessen

(Sumber : Jurnal Dewi Handayani, 2012)

Metode polygon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rerata

kawasan. Polygon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu.

Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan, seperti pemindahan atau

Page 10: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

13

penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi polygon yang baru. (Triatmodjo,

2008).

2. Metode Isohyet

Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman

hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah

di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua

garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut

ini :

a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah

yang ditinjau,

b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi

dengan pertambahan nilai yang ditetapkan,

c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai

kedalaman hujan yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis

isohyet dan intervalnya,

d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian

dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohyet,

e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan

luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah

tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat dihitung dengan

persamaan sebagai berikut :

�̅� =

𝐼1+𝐼2

2 𝐴1+

𝐼2+𝐼3

2 𝐴2+⋯+

(𝐼𝑛−1)+𝐼𝑛

2 𝐴𝑛

𝐴1+𝐴2+⋯+𝐴𝑛 (2-8)

dengan :

�̅� = hujan rerata kawasan,

I1, I2, …., In = garis isohyet ke 1, 2, 3, …, n, n+1,

A1, A2, …, An = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke 1 dan 2,

2 dan 3, …., n dan n+1.

Page 11: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

14

Metode isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman

hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian

yang lebih banyak dibanding dua metode sebelumnya. (Triatmodjo, 2008).

Gambar 2.3 Garis Isohyet

(Sumber : Soemarto, 1987)

2.2.7 Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi digunakan untuk menetapkan besaran hujan atau debit

dengan kala ulang tertentu. Analisis frekuensi dapat dilakukan untuk seri data yang

diperoleh dari rekaman data baik data hujan atau debit, dan didasarkan pada sifat

statistik data yang tersedia untuk memperoleh probabilitas besaran hujan atau debit

di masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut maka berarti bahwa sifat

statistik data yang akan datang diandaikan masih sama dengan sifat statistik data

yang telah tersedia. Secara fisik dapat diartikan bahwa sifat klimatologis dan sifat

hidrologi DAS diharapkan masih tetap sama. (Harto, 1993)

1. Parameter Statistik

Parameter-parameter yang digunakan dalam pemilihan jenis distribusi

curah hujan yaitu :

a. Nilai rerata (average)

Nilai rerata merupakan nilai yang dianggap cukup representatif dalam suatu

distribusi. Nilai rata-rata tersebut dianggap sebagai nilai sentral dan dapat

dipergunakan untuk pengukuran sebuah distribusi.

Page 12: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

15

�̅� = ∑ 𝑋𝑖𝑛

𝑖=1

𝑛 (2-9)

dengan :

�̅� = rerata,

Xi = variabel random,

n = jumlah data.

b. Standar deviasi

Umumnya ukuran dispersi yang paling banyak digunakan adalah deviasi

standar (standard deviation). Apabila penyebaran data sangat besar terhadap nilai

rata-rata maka nilai deviasi standar (S) akan besar pula, akan tetapi apabila

penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka (S) akan kecil.

S = √∑ (𝑋𝑖−�̅�)²𝑛

𝑖=1

𝑛−1 (2-10)

c. Koefisien variasi

Koefisien variasi (variation coefficient) adalah nilai perbandingan antara

standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi.

Cv = 𝑆

�̅� (2-11)

d. Koefisien kemencengan (asimetri)

Kemencengan (skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat

ketidaksimetrisan (asymmetry) dari suatu bentuk distribusi.

Cs = 𝑛 𝑥 ∑ (𝑋𝑖−�̅�)³𝑛

𝑖=1

(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆³ (2-12)

e. Koefisien kurtosis

Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari

bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.

Ck = 𝑛2𝑥 ∑ (𝑋𝑖−�̅�)4𝑛

𝑖=1

(𝑛−1)(𝑛−2)(𝑛−3)𝑥 𝑆4 (2-13)

dengan :

S = simpangan baku dari sampel,

n = jumlah data,

Cs = koefisien kemencengan (asimetri),

Cv = koefisien variasi,

Page 13: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

16

Ck = koefisien kurtosis,

Xi = data curah hujan,

�̅� = rerata curah hujan.

2. Penentuan Jenis Agihan

Berdasarkan hasil analisis parameter statistik, maka dapat ditentukan jenis

agihan yang dapat digunakan berdasarkan syarat dari masing-masing jenis agihan.

Pemilihan agihan yang tidak benar dapat mengakibatkan kesalahan perkiraan yang

cukup besar. Oleh karena itu, pengambilan salah satu agihan secara sembarang

untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan. (Harto,

1993).

Tabel 2.2 Syarat Penentuan Agihan

No Agihan Syarat

1 Agihan Normal Cs ≈ 0

Ck = 3

2 Agihan Log Normal Cs ≈ 3Cv

Cs > 0

3 Agihan Gumbel Cs ≈ 1,14

Ck ≈ 5,4

4 Agihan Log Pearson Type III Tidak ada syarat (seluruh nilai diluar

agihan 1, 2, dan 3)

(Sumber : Sri Harto Br, 1993)

3. Uji Kecocokan Agihan

Untuk mengetahui data tersebut benar sesuai dengan jenis agihan yang

dipilih maka perlu dilakukan pengujian kecocokan data. Sebelum dilakukan

pengujian data yang telah diurutkan, digambarkan pada kertas probabilitas dengan

cara Weibull, yaitu :

P = 𝑚

𝑛+1𝑥100% (2-14)

dengan :

P = peluang empiris,

Page 14: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

17

m = nomor urut data,

n = jumlah data.

Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menguji apakah jenis distribusi

yang dipilih sesuai dengan data yang ada, yaitu uji Chi-Kuadrat dan Smirnov

Kolmogorov. Pengujian ini dilakukan setelah digambarkan hubungan antara

kedalaman hujan atau debit dan nilai probabilitas pada kertas probabilitas.

(Triatmodjo, 2008).

a. Uji Chi-Kuadrat

Uji Chi-Kuadrat menggunakan nilai X2 yang dapat dihitung dengan

persamaan berikut :

X2 = ∑(𝑂𝑓−𝐸𝑓)²

𝐸𝑓

𝑁𝑡=1 (2-15)

dengan :

X2 = nilai Chi-Kuadrat terhitung,

Ef = frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan

pembagian kelasnya,

Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama,

N = jumlah sub kelompok dalam satu grup.

Nilai X2 yang diperoleh harus lebih kecil dari nilai X2cr (Chi-Kuadrat

kritik), untuk suatu derajat nyata tertentu yang sering diambil 5%. Derajat

kebebasan dihitung dengan persamaan :

DK = K – (α + 1) (2-16)

dengan :

DK = derajat kebebasan,

K = banyaknya kelas,

α = banyaknya keterikatan (banyaknya parameter), untuk uji Chi-

Kuadrat adalah 2.

Nilai X2cr diperoleh dari Tabel 2.3. Disarankan agar banyaknya kelas tidak kurang

dari 5 dan frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari 5 pula. (Triatmodjo, 2008).

Page 15: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

18

Tabel 2.3. Nilai Xcr2 untuk uji chi – kuadrat

Derajat

Bebas (γ)

0.200 0.100 0.050 0.010 0.001

1 1,642 2,706 3,841 6,635 10,827

2 3,219 4,605 5,991 9,210 13,815

3 4,642 6,251 7,815 11,345 16,268

4 5,989 7,779 9,488 13,277 18,465

5 7,289 9,236 11,070 15,086 20,517

6 8,558 10,645 12,592 16,812 22,457 7 9,803 12,017 14,067 18,475 24,322

8 11,030 13,362 15,507 20,090 26,125

9 12,242 14,987 16,919 21,666 27,877

10 13,442 15,987 18,307 23,209 29,588

11 14,631 17,275 19,675 24,725 31,264

12 15,812 18,549 21,026 26,217 32,909

13 16,985 19,812 22,362 27,688 34,528

14 18,151 21,064 23,685 29,141 36,123

15 19,311 22,307 24,996 30,578 37,697

16 20,465 23,542 26,296 32,000 39,252

17 21,615 24,769 27,587 33,409 40,790 18 22,760 25,989 28,869 34,805 42,312

19 23,900 27,204 30,144 36,191 43,820

20 25,038 28,412 31,410 37,566 45,315

(Sumber : Bambang Triatmodjo, 2008)

b. Uji Smirnov Kolmogorov

Uji Smirnov Kolmogorov ini biasanya digunakan untuk menguji simpangan

atau selisih terbesar antara peluang pengamatan (empiris) dengan peluang teoritis.

Uji Smirnov Kolmogorov sering disebut juga dengan uji non parametrik, karena

pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu.

Prosedur dalam pengujian ini adalah sebagai berikut :

1. Urutkan data (dari yang terbesar ke yang terkecil atau sebaliknya) dan

tentukan besarnya peluang tak terlampaui dari masing-masing data tersebut.

X1 = P(X1)

X2 = P(X2)

Xn = P(Xn)

2. Tentukan nilai masing-masing peluang tak terlampaui teoritis dari hasil

penggambaran data (persamaan distribusinya).

Page 16: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

19

X1 = P’(X1)

X2 = P’(X2)

Xn = P’(Xn)

3. Tentukan selisih terbesar antara peluang pengamatan dengan peluang

teoritis.

Rumus :

Dmax = [P(Xm) - P’(Xm)] (2-17)

dengan :

P(x) = 𝑚

𝑛+1 (2-18)

P’(x) = F(t) = 1-t (2-19)

F(t) = 𝑥𝑖−𝑥

𝑠 (2-20)

dimana :

D = selisih terbesar antara peluang empiris dengan teoritis,

P(x) = sebaran frekuensi teoritik berdasar Ho,

P’(x) = sebaran frekuensi komulatif berdasar sampel,

F(x) = nilai unit variable normal

m = nomor urut kejadian, atau peringkat kejadian,

n = jumlah data.

4. Tentukan harga Do berdasarkan tabel nilai kritis Smirnov-Kolmogorov.

Apabila D lebih kecil dari Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk

menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila nilai D lebih besar dari

Do maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi

tidak dapat diterima. (Soewarno, 1995).

Tabel 2.4. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov – Kolmogorov.

N

α

0,20 0,10 0,05 0,01

Page 17: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

20

5 0,45 0,51 0,56 0,67

10 0,32 0,37 0,41 0,49

15 0,27 0,30 0,34 0,40

20 0,23 0,26 0,29 0,36

25 0,21 0,24 0,27 0,32

30 0,19 0,22 0,24 0,29

35 0,18 0,20 0,23 0,27

40 0,17 0,19 0,21 0,25

45 0,16 0,18 0,20 0,24

50 0,15 0,17 0,19 0,23

N > 50

(Sumber : Soewarno, 1995)

Catatan : α = derajat kepercayaan

4. Distribusi Curah Hujan

a. Distribusi Normal

Dalam analisis hidrologi distribusi normal banyak digunakan untuk

menganalisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi curah hujan

tahunan, dan debit rata-rata tahunan. Distribusi normal atau kurva normal disebut

pula distribusi Gauss. Persamaan umum yang digunakan adalah :

Xt = Xr + k.Sx (2-21)

dengan :

Xt = curah hujan rancangan (mm),

Xr = curah hujan rerata (mm),

k = faktor frekuensi,

Sx = standar deviasi.

b. Distribusi Log-Normal

1,07

𝑁0,5

1,22

𝑁0,5

1,36

𝑁0,5

1,63

𝑁0,5

Page 18: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

21

Distribusi Log-Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi

Normal, yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X.

Rumus yang digunakan dalam perhitungan metode ini adalah sebagai berikut :

Log Xt = 𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑟̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅ + k. Slogx (2-22)

dengan :

Log Xt = nilai logaritmik curah hujan rancangan,

Log Xr = nilai logaritmik curah hujan rerata,

K = faktor frekuensi,

Slogx = nilai logaritmik standar deviasi.

c. Distribusi Gumbel

Distribusi Gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum, seperti

untuk analisis frekuensi banjir. Rumus yang digunakan adalah :

Xt = �̅�+(𝑌𝑡−𝑌𝑛)

𝑆𝑛 x Sx (2-23)

dengan :

Xt = curah hujan rencana dalam periode ulang T tahun (mm),

�̅� = curah hujan rerata hasil pengamatan (mm),

Yt = reduced variabel, parameter Gumbel untuk periode T tahun,

Yn = reduced mean, merupakan fungsi dari banyaknya data (n),

Sn = reduced standar deviasi, merupakan fungsi dari banyaknya data (n),

Sx = standar deviasi.

d. Distribusi Log Pearson Type III

Bentuk distribusi Log Pearson Type III merupakan hasil transformasi dari

distribusi Pearson Type III dengan menggantikan varian menjadi logaritmik.

Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung curah hujan rancangan

dengan metode Log Pearson Type III adalah sebagai berikut :

Log X = 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ + k. Slogx (2-24)

Nilai rata-rata : 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ = ∑ 𝐿𝑜𝑔 𝑥

𝑛 (2-25)

Page 19: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

22

Standar deviasi : S = √∑(𝐿𝑜𝑔 𝑥− 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ )²

𝑛−1 (2-26)

Koefisien kemencengan : Cs = ∑ (𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖− 𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ )³𝑛

𝑖=1

(𝑛−1)(𝑛−2)𝑆³ (2-27)

dimana :

Log X = logaritma curah hujan rancangan dalam periode ulang T tahun,

𝐿𝑜𝑔 𝑋̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ = logaritma rerata dari curah hujan,

n = jumlah data,

Cs = koefisien kemencengan,

k = faktor frekuensi,

S = simpangan baku dari logaritma curah hujan.

2.2.8 Intensitas Curah Hujan

Dalam membuat perencanaan bangunan air pertama-tama yang harus

ditentukan adalah berapa besar debit yang harus diperhitungkan atau sering disebut

dengan debit banjir rancangan. Besarnya debit banjir rancangan ditentukan oleh

intensitas hujan yang dinyatakan dengan rumus :

I = 𝑑

𝑡 (2-28)

dengan :

I = intensitas hujan,

d = tinggi hujan,

t = lama waktu.

Pada umumnya makin besar t intensitas hujan akan semakin kecil. Jika tidak

ada waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena

alatnya tidak ada, dapat ditempuh dengan cara empiris dengan menggunakan rumus

Mononobe :

I = 𝑅24

24 (

24

𝑡)

2

3 (2-29)

dengan :

I = intensitas hujan (mm/jam),

t = waktu (durasi) curah hujan,

Page 20: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

23

R24 = tinggi hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

Rumus Mononobe digunakan untuk waktu sembarang. (Soemarto, 1987).

Menurut Suyono dan Takeda (1993) cara-cara perhitungan intensitas curah

hujan jangka pendek disampaikan oleh Talbot, Sherman dan Ishiguro. Adapun

rumus-rumus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Rumus Talbot

I = 𝑎

𝑡+𝑏 (2-30)

a = ∑(𝐼.𝑡).∑(𝐼2)−∑(𝐼2.𝑡).∑ 𝐼

𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-31)

b = ∑(𝐼).∑(𝐼.𝑡)−𝑁.∑(𝐼2.𝑡)

𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-32)

Rumus Sherman

I = 𝑎

𝑡𝑛 (2-33)

a = ∑(log 𝐼).∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡.log 𝐼).∑(log 𝑡)

𝑁.∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡).∑(log 𝑡) (2-34)

n = ∑(log 𝐼).∑(log 𝑡)−𝑁.∑(log 𝑡.log 𝐼)

𝑁.∑(log 𝑡)²−∑(log 𝑡).∑(log 𝑡) (2-35)

Rumus Ishiguro

I = 𝑎

√𝑡+𝑏 (2-36)

a = ∑(𝐼.√𝑡).∑(𝐼2)−∑(𝐼2.√𝑡).∑ 𝐼

𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-37)

b = ∑(𝐼).∑(𝐼.√𝑡)−𝑁.∑(𝐼2.√𝑡)

𝑁.∑(𝐼2)−∑(𝐼).∑(𝐼) (2-38)

2.2.9 Analisis Intensity Duration Frequency (IDF)

Intensitas Durasi Frekuensi (IDF) biasanya diberikan dalam bentuk kurva

yang memberikan hubungan antara intensitas hujan sebagai ordinat, durasi hujan

sebagai absis dan beberapa grafik yang menunjukkan frekuensi atau periode ulang.

Analisis IDF dilakukan untuk memperkirakan debit puncak di daerah tangkapan

kecil, seperti dalam perencanaan sistem drainase kota, gorong-gorong dan

jembatan. Di daerah tangkapan yang kecil, hujan deras dengan durasi singkat

Page 21: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

24

(intensitas hujan dengan durasi singkat adalah sangat tinggi) yang jatuh di berbagai

titik pada seluruh daerah tangkapan hujan dapat terkonsentrasi di titik kontrol yang

ditinjau dalam waktu yang bersamaan, yang dapat menghasilkan debit puncak.

Hujan deras dengan durasi singkat (5, 10 atau 15 menit) dapat diperoleh dari kurva

IDF yang berlaku untuk daerah yang ditinjau. (Triatmodjo, 2008)

Analisis intensitas durasi frekuensi (IDF) dilakukan untuk memperkirakan

debit aliran puncak berdasar data hujan titik (satu stasiun pencatat hujan). Data yang

digunakan adalah data hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi dalam waktu

singkat, seperti hujan 5, 10, 15, 20 menit atau lebih. Untuk itu diperlukan data hujan

dari stasiun pencatat hujan otomatis. (Triatmodjo, 2008)

Pembuatan kurva IDF dapat dilakukan dengan prosedur berikut ini :

1. Ditetapkan durasi hujan tertentu, misalnya 5, 10, 15 menit atau lebih.

2. Dari data pencatatan hujan otomatis, yang menunjukkan jumlah kumulatif

hujan terhadap waktu, dicatat kedalaman hujan deras dengan beberapa

durasi tersebut. Selanjutnya dipilih kedalaman hujan maksimum untuk

masing-masing tahun pencatatan, sehingga terdapat sejumlah data yang

mewakili seluruh tahun pencatatan.

3. Kedalaman hujan yang diperoleh dalam butir 2 dapat dikonversi menjadi

intensitas hujan dengan menggunakan hubungan I=𝑑

𝑡, dimana d adalah

kedalaman hujan dan t adalah durasi hujan.

4. Dihitung intensitas hujan ekstrim untuk beberapa periode ulang.

5. Dibuat kurva hubungan antara intensitas hujan dan durasi hujan untuk

beberapa periode ulang, sehingga didapat kurva IDF.

2.2.10 Analisis Depth Area Duration (DAD)

Setelah data curah hujan yang memadai untuk suatu wilayah dikumpulkan,

data-data tersebut dapat dianalisis dan diproses untuk menghasilkan informasi yang

berguna dalam bentuk kurva atau nilai statistik untuk digunakan dalam perencanaan

proyek pengembangan sumber daya air. Banyak masalah hidrologi yang

membutuhkan analisis waktu serta distribusi areal curah hujan badai. Analisis

Depth Area Duration (DAD) dari badai dilakukan untuk menentukan jumlah

Page 22: BAB II DASAR TEORIeprints.unram.ac.id/15073/3/BAB II - DASAR TEORI TA.pdf · 2019. 12. 2. · 4 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjuan Pustaka Data hujan yang diperoleh dari alat penakar

25

maksimum curah hujan dalam berbagai durasi di suatu wilayah dengan luas area

yang beragam. (Sen, 2008).

Penggambaran kurva DAD dapat dilakukan dengan langkah-langkah

berikut :

1. Periksa data curah hujan dari wilayah dimana daerah tangkapan air yang

dipertimbangkan berada. Dari data tersebut pilih data badai yang paling

tinggi serta lihat juga tanggal terjadi dan durasinya.

2. Siapkan peta isohyet untuk data hujan atau badai tertinggi tersebut dan

tentukan nilai curah hujan di area masing-masing isohyet (kontur curah

hujan).

3. Gambarlah kurva grafik yang menghubungkan luas daerah dan curah hujan

untuk jangka waktu yang berbeda, misalnya curah hujan 1 hari, 2 hari dan

seterusnya.