BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI...
Transcript of BAB II BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN DI...
60
BAB II
BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA PERANAKAN
DI JAWA
Pertunjukan teater boneka Potehi merupakan kesenian
milik komunitas Tionghoa dari etnis Hokkian yang di bawa ke
wilayah pesisir Jawa. Pada perjalanan waktu etnis Tionghoa
lainnya yang berada di Jawa merasa ikut memiliki seni
pertunjukan Potehi tersebut. Hal ini disebabkan etnis Tionghoa
lainnya tidak memiliki kesenian yang dibawa dalam perantauan
dan mereka melihat ciri khas Tionghoa dalam pertunjukan Potehi
sehingga seni pertunjukan Potehi telah dianggap mewakili
perwujudan identitas Tionghoa (Cina). Pada perkembangannya
keturunan Tionghoa peranakan di Jawa menganggap Potehi
sebagai milik mereka.
Para penikmat pertunjukan tersebut tidak terbatas pada
masyarakat Tionghoa Peranakan, namun juga suku setempat
seperti etnis Jawa. Dewasa ini para sehu teater boneka Potehi
banyak berasal dari etnis Jawa. Guna memahami teater boneka
Potehi di Jawa, perlu dipahami pula mengenai masyarakat
Tionghoa Peranakan sebagai masyarakat pemilik pertunjukan
tersebut. Pengetahuan mengenai pemilik teater boneka Potehi akan
didapat gambaran utuh mengenai pertunjukan teater boneka
Potehi Tionghoa Peranakan. Pertalian Negara Indonesia khususnya
61
Pulau Jawa dengan etnis Tionghoa sudah terjalin ratusan tahun
silam. Hal ini dapat disimak sebagai berikut.
A. Para Perantau Tionghoa
Perantau Tionghoa di wilayah Nusantara sebagian besar
berasal dari Provinsi Fujian, terutama daerah Fujian Selatan.
Arkeolog Belanda, De Flins, dalam penelitian mengenai barang
pecah belah yang digali dari bumi Nusantara menyimpulkan
bahwa sebelum 2000 tahun yang lalu sudah ada orang Tionghoa
yang datang dan bermukim di Banten, Jawa Barat.1 Provinsi
Fujian terletak di pesisir Tiongkok Tenggara dengan kota bandar
yang besar Quanzhou di Fujian Selatan. Kota Quanzhou
merupakan kota penting bagi kegiatan perniagaan yang
berhubungan dengan wilayah luar Tiongkok. Di kota tersebut
sudah didirikan kantor perkapalan.
1. Ekspansi Tiongkok Pada Dinasti Yuan
Pada masa Dinasti Yuan (1271-1368 M) perantau Fujian
Selatan lebih awal datang jika dibandingkan dengan para perantau
dari Provinsi Guangdong. Mereka adalah bagian dari pasukan Tar
Tar yakni pasukan Raja Kubhilai Khan yang hendak menyerang
Kerajaan Singasari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara.
Ketika sampai di Singasari ternyata Raja Kertanegara sudah
meninggal dalam peristiwa penyerangan oleh prajurit Kediri di
1 De Flins dalam Yuanzi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia (Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer-Kelompok Gramedia, 2005), 184.
62
bawah pimpinan Jayakatwang. Di antara para prajurit Cina
banyak yang disersi atau membelot untuk tidak ikut kembali ke
negeri Tiongkok: „Prajurit yang dipimpin oleh Shi Bi untuk
ekspedisi ke Jawa atas titah kaisar pertama Dinasti Yuan banyak
berasal dari Fujian Selatan. Kemudian mereka menetap di Jawa
dan hidup turun temurun‟.2
2. Ekspansi Utusan Tiongkok Pada Masa Dinasti Song (宋)
Pada abad ke-13, Kerajaan Tiongkok dibawah kaisar
Dinasti Song (宋) mengirimkan utusan sekitar 10.000 orang untuk
datang ke Jawa. Pada saat utusan tiba di Jawa, terjadi kerusuhan
di Tiongkok yang menyebabkan runtuhnya kekaisaran Song (宋).
Hal tersebut membuat para utusan memilih menetap di Jawa dan
tidak kembali ke Tiongkok, seperti ditulis Witanto.
Runtuhnya Dinasti Song (宋) ke tangan penguasa Mongol
pada abad ke-13 M, yang ketika itu bertepatan dengan
sedang berlayarnya utusan resmi Dinasti Song ke Jawa (diperkirakan sekitar 10.000 orang). Kabar buruk ini segera
menyebabkan tidak kembalinya para utusan itu dan kemudian menetap di Jawa.3
3. Ekspansi Muslim Tionghoa Pada Masa Dinasti Ming (明)
Pada periode Dinasti Ming (明) (138-1644) orang-orang
Fujian yang merantau ke Nusantara semakin banyak seperti yang
ditulis Xu Fuyuan,
2 Yuanzi, 2005: 185. 3 Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi Etnis Cina ke
Indonesia” (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-UI, 2000), 15.
63
Penduduk di pesisir Tiongkok Tenggara, khususnya Provinsi Fujian banyak yang merantau ke tanah seberang
sejak jaman dahulu. Empat daerah yaitu Fuzhou, Singhua, Quanzhou, dan Zangzhou di Fujian masing-masing terletak
di antara gunung dengan laut sehingga kekurangan tanah garapan. Bagi mereka khususnya penduduk Zhangzhou di Fujian Selatan, satu-satunya jalan keluar adalah merantau
ke tanah seberang dengan mengarungi laut. Orang berbondong-bondong merantau ke tanah seberang seperti arus yang bergelora dengan dasyatnya.4
Pada masa Dinasti Ming (明) agama Islam sudah
berkembang di Tiongkok, sehingga banyak orang-orang Tionghoa
muslim datang ke Majapahit. Kehadiran mereka pada abad ke-14
sudah dicatat oleh Pigeaud dalam Java in The 14th Century (1960).
Dikatakan oleh Pigeaud bahwa pada abad tersebut para pedagang
Cina Selatan dan Campa (Vietnam) semakin aktif di Jawa. Pada
abad ke-14 para pedagang Cina sudah memiliki daerah
pemukiman sendiri (Pecinan) di beberapa kota pelabuhan di
pesisir dan sungai besar Jawa. Ada kemungkinan kalau kapal
tambang Hayam Wuruk tahun 1358, mengacu pada masyarakat
kapal yang menyusuri sungai-sungai besar di Jawa Timur,
dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan antara
keraton dengan banyak wilayah perdagangan di luar batas
masyarakat agraris Jawa dan wilayah hunian keluarga kelas
menengah yang sebagian orang Jawa-Cina.5 Pada abad ke-15 dan
ke-16, kota-kota pelabuhan yang paling penting di pantai utara
4 Xu Fuyuan dalam Yuanzi, 2003: 186. 5 Th. G. Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Culture History.
5 Vol (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1960), 477-478.
64
Jawa diduga dihuni masyarakat kelas menengah pedagang dari
keturunan campuran yang mendiami daerah mereka sendiri yang
disebut Pecinan. Mereka menjalin hubungan dikalangan mereka
sendiri, dengan Keraton Majapahit dan juga dengan penguasa
tanah air mereka yakni Tiongkok.6
Kedudukan masyarakat pedagang Tionghoa-Jawa atau
Cina–Jawa (Peranakan) sejak abad ke-14 sangat penting. Banyak
uang logam dan barang-barang keramik Cina yang diimpor ke
Jawa. Uang logam Cina (Chien) berbentuk bulat dengan lubang di
tengahnya dan digantungkan pada tali, menjadi alat tukar di
Majapahit dan fungsinya terus berlaku sampai kini di Bali.7 Gaya
keramik peninggalan Majapahit yang ditemukan membuktikan
adanya pengaruh Cina. Majapahit menjalin hubungan baik dengan
Negeri Tiongkok.
Pada dekade terakhir abad ke-13 Jawa pernah diserbu oleh tentara kaisar Mongol Kubhilai Khan. Jalannya Ekspedisi
ini tercatat dalam naskah Cina daratan maupun naskah-naskah Jawa (lihat Brandes, Pararaton Edisi 2) Hal ini
merupakan peristiwa penting dalam sejarah politik dan budaya Jawa, karena Kerajaan Majapahit yang didirikian pada waktu itu sebagai pengganti kerajaan sebelumnya,
tampaknya menjalin hubungan baik dengan kerajaan Cina. Tukang-tukang Cina banyak bekerja di Istana Majapahit.8
Banyak para pedagang Cina muslim berdiam di wilayah
Majapahit, meskipun ada pula pendatang dari wilayah Hokkian
6 H. J. De Graff, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, Antara Historis
dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 180. 7 Pigeaud, 1960: 494-504. 8 De Graff, 2004: 146.
65
yang non-muslim. Seorang laksamana terkenal pada jaman
Dinasti Ming (明) yakni Laksamana Cheng Ho (The Hoo) (郑和) atau
disebut pula Sam Po Bo adalah seorang Kasim beragama Islam. Ia
pernah datang ke Majapahit dalam salah satu ekspedisinya sekitar
tahun 1411.
Laksamana Haji Sam Po Bo merebut daerah Tumapan (Tumapel) di Jawa Timur, dan memberikan itu kepada Raja
Su King Ta (Suhita), Gan Eng Wan, saudara Gang Eng Cu menjadi Gubernur Tumapan bawahan kerajaan Majapahit.
Dialah bupati pertama yang beragama Islam di Kerajaan Majapahit.9
Kaisar Ming (明) menempatkan seorang duta besar
Tiongkok bernama Ma Hong Fu di Keraton Majapahit. Setelah
kematian Ratu Suhita, Ma Hong Fu meninggalkan Majapahit. Ma
Hong Fu adalah menantu Gubernur Campa Bong Tek Kong, putra
dari Panglima Yunnan yang termashyur. Bong Tek Kong
merupakan kakek dari Bong Swi Ho yang dikenal sebagai Sunan
Ampel salah satu dari Wali Sanga yang tertua.
Komunitas Cina di wilayah pesisir utara Jawa kebanyakan
memeluk agama Islam mahzab Hanafi. Di Tiongkok, mahzab
Hanafi berkembang dengan pesat sehingga para Cina muslim yang
datang ke wilayah Indonesia khususnya Jawa pun bermahzab
Hanafi.10 Banyak masjid didirikan oleh komunitas muslim Cina di
9 De Graff, 2004: 7. 10 Mahzab Hanafi merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni
yang memiliki jalur Arab, Sriwijaya, Tiongkok dan pesisir utara Jawa. Mahzab
yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah ini merupakan mahzab terbesar dengan
66
Jawa pada waktu itu. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel menjadi
pemimpin Islam mahzab Hanafi ketika Haji Bo Tak Keng kakeknya
dan Haji Gang Engcu wafat. Bong Swi Ho atau Sunan Ampel juga
berinisiatif menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-
hari dan mendekatkan kaum muslim Cina dengan orang Jawa,
seperti yang tertulis dalam Catatan Tahunan Melayu Semarang
berikut.
Setelah Laksamana Haji Sam Po Bo (Cheng Ho), Haji Bong
Tak Keng dan Haji Gan Eng Cu wafat, maka Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif memimpin komunitas Cina
muslim Hanafi di Pulau Jawa, Kukang dan Sambas yang mulai hancur, tanpa hubungan dengan Tiongkok. Bong Swi Hoo juga mengambil inisiatif untuk beralih ke bahasa Jawa
dan memperkuat komunitas Cina muslim Hanafi dengan orang-orang Jawa. Akibatnya, sangat menentukan sejarah
pulau Jawa.11
Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) menyuruh Jin Bun seorang
Tionghoa Peranakan putra dari Kertabhumi dengan seorang
dayang Cina, untuk mendiami daerah di sebelah timur Semarang, 30% pengikut dan dijadikan sebagai mazhab resmi negara semasa kekuasaan
Abbasiyah. Mahzab Hanafi terbuka dengan ide modern. Mahzab ini
meggunakan sumber hukum fikih dari: Al‟quran, Sunnah, Atsar, Qias, Istihsan, Ijma‟, dan Urf.
Mahzab Syiah muncul dari pemahaman bahwa Nur Muhammad hanya
dapat diwariskan kepada keturunan Nabi Muhammad SAW yaitu Hasan dan
Husein. Keduanya gugur dalam pertempuran di Karbela pada tanggal 10
Muharam. Pengikut Syiah memperingatinya lebih penting dari Idul Fitri. Makam Hasan Husein lebih keramat dari Ka‟bah. Mereka mengikuti tasawuf wujudiah
yaitu bahwa segala sesuatu yang berwujud yang terdapat di dunia adalah
percikan sinar Illahi. Manusia merupakan percikan sinar Illahi. Inti ajarannya
adalah: “Saya adalah Tuhan”. Aliran ini di Jawa berkembang di Pajang, Jawa
Tengah bagian Selatan (Yogyakarta).
Mahzab Syafi‟i datang lebih kemudian yang dirintis Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i. Mahzab ini merupakan salah satu mahzab fiqih Islam Sunni.
Penyebaran Mahzab Syafi‟i di Indonesia dilakukan melalui pengkajian kitab-
kitab yang ditulis oleh para ulama Mahzab Syafi‟i, salah satunya Nuruddin ar-
Raniri (wafat 1659 M) yang menulis kitab fiqih dalam bahasa Melayu. 11 De Graff, 2004: 12.
67
di kaki Gunung Muria. Jin Bun ditugaskan untuk membentuk
komunitas muslim mahzab Hanafi karena para Cina muslim
mahzab Hanafi di Semarang sudah banyak yang murtad. Seorang
Tionghoa Peranakan lainnya yaitu Kin San diperintahkan ke
Majapahit untuk menjadi mata-mata, karena sejak kepergian Ma
Hong Fu tidak ada lagi penghubung antara komunitas Cina
muslim dengan Istana Majapahit.
Sekitar tahun 1478 Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel wafat.
Chen Jin Wen atau Tan Jin Bun segera memimpin penyerbuan ke
Majapahit. Kertabhumi sang ayah ditawan di Istana beserta tanda-
tanda kebesaran kerajaan diboyong ke Demak tetapi Istana
Majapahit tidak dihancurkan. Tan Jin Bun memerintah Kerajaan
Demak dan disebut Raden Patah. Kin San menjadi Bupati
Semarang dan memerintah Semarang dengan bijaksana. Orang-
orang Cina non-muslim tidak dibasmi bahkan ia menunjuk Gan Si
Cang seorang Tionghoa non-muslim untuk menjadi kapten
masyarakat Tionghoa non-Muslim. Orang-orang Tionghoa non-
muslim patuh kepada kepemimpinan Raja Demak Jin Bun dan
Bupati Kin San. Jin Bun sendiri masih membutuhkan para
Tionghoa non-muslim karena keahlian teknik mereka utamanya di
bidang pembuatan kapal. Kin San membangun kembali galangan
kapal dan penggergajian kayu yang dulu didirikan oleh Sam Po Bo
di Semarang. Galangan kapal inilah yang kelak menjadi tempat
68
pembuatan kapal perang Demak ketika menyerang Portugis di
Malaka.12 Hal menarik adalah para Tionghoa non-muslim ikut
membantu penyelesaian Masjid Demak secara suka rela. Mereka
membuat Saka Tatal yang legendaris di Masjid Demak seperti
kutipan berikut.
Bangunan kayu masjid Demak dibuat oleh tukang-tukang kayu Tionghoa yang sudah sepuluh abad turun temurun
membuat Jung. Tiang besar: Saka Tatal memang benar dibangun menurut konstruksi master kapal di Tiongkok
jaman dinasti Ming. Dikabarkan tiang besar itu dibuat dari kepingan-kepingan kayu yang disusun dengan ketelitian yang tinggi. Tiang itu sangat fleksibel dan sangat tahan
segala angin topan dan segala terpaan air laut.13
‘Saka Tatal‟ dalam legenda para wali di Jawa dipercaya
sebagai buatan Kanjeng Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali
Sanga yang terkenal. Menurut legenda ketika Masjid Agung
Demak didirikan, para Wali diberi tugas untuk membuat masing-
masing satu buah saka (tiang) dari kayu jati. Mereka kemudian
mencari gelondongan kayu jati terbaik. Secara serentak mereka
mengerjakan saka (tiang) karena akan dipasang keesokan paginya.
Kanjeng Sunan Kalijaga ketiduran saat para Wali lainnya sedang
mengerjakan saka (tiang) dari kayu jati yang mereka bawa dari
berbagai daerah. Keesokan paginya Sunan Kalijaga baru ingat
harus menyetor satu buah saka (tiang) untuk pendirian Masjid
Agung Demak. Mengingat beliau belum mencari bahan, akhirnya
12 De Graff, 2004: 13-14. 13 Parlindungan dalam H. J De Graff, 2004: 23.
69
beliau melihat serutan-serutan kayu jati yang menumpuk dari
para Wali lain yang telah selesai mengerjakan tugas mereka, maka
dengan kesaktiannya Sunan Kalijaga membuat saka (tiang) dari
serutan-serutan kayu tersebut. Jadilah sebuah saka yang kuat
dan unik, yang disebut Saka Tatal.14 Saka artinya tiang, Tatal
artinya serutan kayu, Saka Tatal adalah tiang yang dibuat dari
serutan kayu. Demikianlah masyarakat menggunakan logika
legenda untuk menjelaskan fenomena keberadaan sebuah tiang
kayu yang dibuat dengan cara menempelkan kepingan kayu tipis
dengan ketelitian tinggi sebagaimana disebut De Graff.
Wali Sanga adalah sembilan orang shaleh yang
menyebarkan agama Islam dan merupakan panutan masyarakat
di Jawa saat itu. Delapan dari mereka merupakan keturunan
Tionghoa yaitu: Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat
alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan
Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo–Toh
A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu–Ja Tik Su/Chen Jinwen,
Sunan Giri adalah cucu Bong Swie Ho, Sunan Muria alias Chen
14 Legenda rakyat tentang masjid Demak yang terletak di Jl Sultan
Fatah, Desa Kauman, Demak. Menurut sumber Kompas Minggu 4 Agustus
2013, empat tiang saka guru dibuat oleh empat wali. Sebelah Tenggara buatan
Sunan Ampel, Barat Daya buatan Sunan Gunung Jati, Barat Laut oleh Sunan
Bonang dan Timur laut buatan Sunan Kalijaga. Tinggi tiang utama 19,54 meter
dan diameter 1,45 meter.
70
Yinghua/Tan Eng Hoat.15 Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam
di Jawa diperintah oleh muslim Tionghoa Peranakan (Cina-Jawa)
yang cukup berwibawa untuk beberapa generasi. Pemegang
kekuasaan Demak berturut-turut adalah Raden Patah (Tan Jin
Bun/Chen Jinwen) (1478-1518), Adipati Unus (Yat Sun) (1518-
1521), Trenggana (Tung Ka Lo) (1521-1546), dan Sunan Prawata
(Muk Ming) (1546-1546).16 Akhirnya kerajaan muslim Tionghoa
tersebut dikalahkan oleh serbuan prajurit dari pedalaman Jawa
(wilayah Pengging). Dengan demikian kekuasaan muslim Tionghoa
di Jawa Tengah usai sudah. Di Cirebon kekuasaan muslim
Tionghoa Peranakan justru baru dimulai. Seorang Cina muslim
bermahzab Hanafi memegang kendali tertinggi tahta Cirebon.17
Pada jaman tiga dinasti di atas yakni Dinasti Yuan, Dinasti
Song (宋) dan Dinasti Ming (明) orang-orang Tionghoa (Cina) tidak
terlalu mencolok keberadaannya. Mereka seakan berbaur dengan
masyarakat setempat mengingat dandanan mereka tidak begitu
berbeda dengan masyarakat asli, baik tatanan rambut, baju, dan
lain sebagainya. Masyarakat Tionghoa (Cina) nampak mencolok
ketika masa Dinasti Qing (清), karena orang-orang Tionghoa
dipaksa menggunakan tauwtjang (kucir) bagi para lelaki.
15 Sie Hok Tjwan, The 6th Overseas Chinese State {Australia: Nanyang
Huaren CSES, J. C. Univ. Of N-Queensland, 1990), 154. Lihat De Graff, 2004:
67. 16 De Graff, 2004: 83. 17 De Graff, 2004: 126-130.
71
4. Pendatang Tionghoa pada Masa Dinasti Qing (Chi’ng) (清)
Pada tahun 1770-an (abad ke-18) tatkala Kaisar Yong
Zheng dari Dinasti Qing (Chi‟ng/清), berkuasa di Tiongkok,
Gubernur Zheijiang dari Fujian memberikan laporan pada kaisar
bahwa penduduk yang merantau ke luar negeri Tiongkok
sebanyak 60-70% berasal dari Provinsi Fujian, sedangkan 30-40%
lainnya dari Provinsi Guangdong, Jiangsu dan Zhejiang.18 Para
perantau Tionghoa sejak masa Dinasti Qing (Chi‟ng/清),
diwajibkan memakai tauwtjang (kucir). Pemaksaan ini di Negeri
Tiongkok mengundang pemberontakan besar-besaran
sebagaimana diungkapkan Hembing Wijayakusuma sebagai
berikut.
Di dalam negeri Tiongkok, tauwtjang merupakan
penghinaan dari orang-orang Manchuria ketika menjajah Tiongkok di tahun 1644 M. Semua bermula dari aksi perlawanan rakyat Tiongkok kepada kaisar pertama dinasti
Ch‟ing, Soen-Ti yang menyebabkan kaisar murka dan memaksa rakyat memakai tauwtjang. Alasan mengapa
disebut penghinaan, karena kepala orang yang memiliki tauwtjang pada saat berlutut menyembah kaisar akan
terlihat seperti kuda karena tauwtjcang yang berjuntai mirip dengan ekor kuda.19
Sumber lain mengatakan bahwa pemaksaan penggunaan
tauwtjang (kucir) karena bangsa Manchu sangat memuja kuda.
Bangsa Manchu dulunya adalah suku nomaden, mereka sangat
18 Catatan Song Si Pu Zhi (Titah-titah Kaisar) Vol. 46 dalam Yuanzhi.
2003: 186. 19 Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740 Tragedi Berdarah
Angke, (Jakarta: Pustaka Popeler Obor, 2003), 72. Periksa Nio Joe Lan, 1952:
157-158.
72
bergantung pada kuda-kuda perkasa ketika berpindah dari satu
tempat ke tempat lain atau mengadakan penyerbuan ke daerah
suku-suku lainnya. Kucir (tauwtjang) merupakan lambang
kejantanan dan kegagahan seorang pria menurut bangsa
Manchu.20
Gb. 2.1: Para lelaki Tionghoa ber-kucir (tauwtjang).
(Sumber foto: Anonim D, 2011)
Kebiasaan yang dikenakan bagi kaum lelaki adalah
pemakaian tauwtjang (kucir), sementara kebiasaan atau adat yag
dikenakan untuk para perempuan pada masa Dinasti Qing adalah
san cun cing lian (kaki kecil). Seperti pada gambar di bawah jika
dilihat tidak ada yang aneh, hanya foto dua orang wanita paruh
baya, namun apabila dicermati akan terlihat keganjilannya yakni
sepatu runcing dan mungil yang dikenakan oleh kedua nyonya
20 Lihat Anonim E, “Kaki yang Terlipat”.
(http://jcglobalcitizen.wordpress.com/2009/04/21/kaki-yang-terlipat/#more-
274, 2009).
73
tersebut. Kaki dengan telapak mungil merupakan tipologi
kecantikan pada jaman Dinasti Qing (清). Ukuran kecantikan saat
itu makin kecil kaki akan nampak makin cantik.
Gb. 2.2: Wanita Tionghoa Totok dengan kaki kecil.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Budaya kaki kecil dalam bahasa Tiongkok adalah san cun
cing lian yang artinya San Cun (3 inci), Cing (emas), Lian (gadis),
jika diterjemahkan menjadi kaki kecil tiga inci yang dimiliki gadis
dari keluarga kaya. Menurut Myra Sidarta tradisi kaki lipat atau
tradisi ikat kaki justru sudah berlangsung sejak jaman Dinasti
Song (宋) seperti ungkapan berikut.
Pada usia sebelum remaja, mereka harus menanggung
penderitaan karena kakinya harus diikat demi kecantikan pada masa itu. Tradisi ikat kaki ini telah berlangsung sejak
dinasti Song (宋), dan berlangsung sampai tahun 1917.
Sejak usia lima tahun kaki diikat sedikit demi sedikit
untuk mencegah pertumbuhannya sampai akhirnya hanya berukuran 10-13 sentimeter. Ukuran kaki yang kecil ini
74
dibanding bobot badannya, menyebabkan mereka tidak bebas bergerak karena sulit menjaga keseimbangan, lagi
pula ikatannya menyebabkan kesakitan yang luar biasa.21
Gb. 2.3: Kaki lipat perempuan Tionghoa di era Dinasti Qing.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Gb. 2.4: Kaki yang terlipat (San Cun Cing Lian).
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Kaki kecil atau kaki lipat seperti gambar berikut adalah
upaya mendapatkan kecantikan standar jaman itu. Seorang anak
perempuan saat berumur tiga atau empat tahun akan dikenakan
21 Sidharta dalam I Wibowo, (ed), Harga yang Harus Dibayar, Sketsa
Pergulatan Etnis di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Pusat Studi
Cina, 2001), 107.
75
proses „kaki lipat‟ atau san cun cing lian. Proses tersebut adalah
jari-jari kaki kecuali jempol akan dilipat dengan cara dipatahkan
ke dalam, kemudian dibebat kuat dengan kain. Si anak akan
menderita beberapa bulan sampai kaki tersebut sembuh. Setiap
hari si anak digendong atau ditandu oleh seorang perawat yang
disebut „Mak Cie‟ yang setiap malam bertugas pula merendam kaki
si anak tersebut dalam ramuan obat-obatan tradisional Tiongkok.
Setelah sembuh, tahap yang akan dilakukan selanjutnya adalah
menekuk tungkai ke dalam untuk mempertemukan tumit dengan
bagian depan, sehingga jarak antara jempol kaki dengan tumit
sependek mungkin. Ukuran ideal adalah 3 inci. Pembebatan pun
dilakukan lagi sampai keadaan yang dikehendaki. Proses ini
memakan waktu sampai si anak berusia 11 hingga 12 tahun. Kaki
terlipat merupakan simbol status sosial, kecantikan, keanggunan,
dan derajat seorang wanita. Semakin kecil kaki, semakin cantik
menurut adat saat itu.
Pada masa itu seorang wanita dengan kaki „utuh‟ dianggap
barbar, biadab, dan rendahan, contohnya kelas pekerja, buruh,
pelayan, dayang di istana, dan petani. Para gadis anak bangsawan
atau orang kaya harus tahan menderita demi standar kecantikan
yang berlaku pada masa itu. Cara berjalan para perempuan
Tionghoa dengan kaki yang sudah dilipat disebut sebagai dahan
76
pohon willow yang melambai. Tradisi ini ternyata dibawa pula oleh
sebagian perantau Tionghoa ke Indonesia, Jawa khususnya.
Gb. 2.5: Proses menekuk tungkai agar dekat dengan bagian depan.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Tradisi telapak kaki kecil di kalangan Tionghoa Peranakan
di Jawa cukup dikenal juga busana celana gombrong, sehingga
sering para wanita Tionghoa dipanggil emak kathok atau nyah
kathok, seperti diungkapkan oleh Eddy seorang keturunan
Tionghoa Peranakan Semarang.
Di Indonesia, mungkin sekarang ini masih ada beberapa wanita usia lanjut yang masih memiliki bentuk kaki yang
demikian. Masa saya kecil, teman-teman angkatan saya masih ada cukup banyak yang mempunyai nenek dengan
kaki yang terlipat. Di Semarang, masyarakat kebanyakan menyebutnya dengan emak kathok (emak celana), yaitu
nenek-nenek yang berpakaian seperti terlihat dalam foto. Kelompok nenek-nenek ini mengenakan celana panjang komprang dengan baju atas lengan panjang seperti dalam
foto. Kelompok ini disebut juga dengan Tionghoa Totok,
77
masih asli dari Cina, merupakan pendatang yang langsung dari Cina masuk ke Indonesia.22
Gb. 2.6: Golden Lilies seorang gadis cantik dengan kaki kecil.
(Sumber foto: Anonim E, 2009)
Kaki kecil yang diyakni sebagai bagian untuk tampil cantik
dan menawan bagi standar kecantikan perempuan Tionghoa
merupakan cara perempuan Tionghoa Ngadi Sarira yaitu cara
untuk mempercantik diri semacam gigi hitam (sisig) bagi
perempuan Jawa tempo dulu, telinga panjang bagi perempuan
Dayak atau leher panjang bagi orang Thailand, dsb. Ketika hal-hal
semacam kucir (tauwtjang), kaki kecil, adat istiadat leluhur dll
masih dipertahankan oleh kaum Tionghoa Peranakan di
perantauan, Jawa khususnya, hal tersebut merupakan
manifestasi sebuah identitas diri bahwa mereka adalah komunitas
yang memiliki pula ciri khas dan budaya.
5. Kedatangan Orang Tionghoa Pada Masa Kolonialisme
22 Lihat Anonim E, 2009.
78
Masa ketika penguasa Kolonial Barat mengembangkan
pertambangan dan perkebunan di berbagai tempat di Asia
Tenggara, termasuk di Indonesia, banyak orang-orang Tionghoa
yang didatangkan atau datang sendiri untuk menjadi kuli atau
pekerja tambang. Kebanyakan dari para buruh ini berasal dari
keluarga-keluarga miskin yang nekad merantau tanpa satu
pengetahuan pun mengenai daerah tujuan, semata-mata dalam
konteks ekonomi untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Di
Indonesia, pola ini berlangsung sejak dibukanya banyak
pertambangan emas di daerah Kalimantan Barat.23 Sesudah
Perang Candu pada pertengahan abad ke-19, banyak petani desa
dan penduduk miskin di kota terpaksa merantau ke tanah
seberang untuk mencari nafkah, sehingga jumlah perantau
Tionghoa di Asia Tenggara bertambah pesat jumlahnya. Pada
pertengahan abad ke-20 jumlah perantau Tionghoa di Indonesia
bertambah besar, dengan rincian tahun 1920 bertambah 800.000
orang dan tahun 1930 bertambah menjadi 1.200.000 orang.24
Penduduk etnis Tionghoa di perantauan terus bertumbuh
seiring dengan laju perkembangan yang terjadi di wilayah ini.
Merangkum berbagai kajian yang telah diuraikan di atas, berikut
dipaparkan beberapa fase pertumbuhan penduduk etnis Tionghoa
23 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1983), 194. 24 Pramudya Ananta Tour, Hoakkiau di Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia, 1998), 221.
79
(Cina) di perantauan, sebagaimana diuraikan oleh Anthony Reid
sebagai berikut.
a. Abad ke10-16 M ditandai dengan ciri-ciri: 1) orang-orang Cina, yang kebanyakan adalah para pedagang, umumnya jarang menetap secara permanen, 2) para
pedagang umumnya mengunjungi banyak pelabuhan di Asia Tenggara, 3) dari kebanyakan para pedagang ini, terdapat pula beberapa orang yang kemudian
terasimilasi secara permanen. Umumnya, hal ini terjadi karena pedagang tersebut menikahi wanita setempat
dan kemudian memilih untuk menetap selamanya di tanah baru tersebut.
b. Tahun 1567 - ±1800, ditandai dengan beberapa ciri,
antara lain: 1) permukiman pedagang Cina di kota-kota utama semakin besar dan permanen, seperti misalnya
Batavia, 2) muncul komunitas-komunitas penambang di Pulau Bangka, Kalimantan, sekitar permulaan tahun 1700-an, 3) semakin membesarnya komunitas creole (Peranakan) di Jawa, 4) proporsi penduduk etnis Tionghoa (Cina) atau peranakan Tionghoa mencapai
puncaknya sekitar tahun 1800-an. c. Masa ± tahun 1800–1860, ditandai dengan ciri jumlah
penduduk etnis Tionghoa (Cina) di perantauan
meningkat dengan pasti.25
Demikianlah gambaran mengenai proses migrasi etnis
Tionghoa ke Indonesia dari latar belakang historis. Proses tersebut
terbentuk tidak dalam waktu yang singkat. Hal menarik dalam
proses migrasi etnis Tionghoa adalah tidak hanya khusus terfokus
pada kajian perpindahannya saja, melainkan bagaimana proses
itu mengiringi pembentukan permukiman dan kelompok
masyarakat di tempat baru mereka dalam hal ini di Indonesia.
Proses dialektik antara budaya pendatang dan budaya lokal
25 Roderich Ptak dalam Eddy Prabowo Witanto, “Meretas Sejarah Migrasi
Etnis Cina ke Indonesia”. (Jakarta: Makalah Seminar Program Studi Cina FS-
UI, 2000), 15.
80
memainkan peran penting dan menghasilkan produk tersendiri,
seperti halnya pertunjukan teater boneka Potehi (布袋戲) di Pulau
Jawa yang menggunakan bahasa Melayu (kini Bahasa Indonesia).
B. Wilayah Pecinan: Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia
Pemukiman orang-orang Tionghoa sudah ada di Indonesia
jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa, terutama di bandar-
bandar perdagangan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Struktur pemukiman yang terbentuk saat itu tidak dalam rupa
Chinatown atau Pecinan seperti sekarang ini. Bentuk Pecinan
mulai berkembang mencapai bentuknya yang sekarang sejak
Belanda memantapkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal
di Hindia Belanda.26 Pada saat Belanda memantapkan
kedudukannya di Indonesia, penduduk Tionghoa bertambah
banyak dan tersebar secara luas. Pendatang Tionghoa meningkat
pesat ke wilayah Nusantara seiring dengan meningkatnya kegiatan
Belanda dalam mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam
Indonesia. Wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan jumlah
emigran Tionghoa terkait kegiatan eksploitasi alam adalah Pulau
Bangka, Belitung, dan Kalimantan Barat.27 Emigran Tionghoa
tersebut kebanyakan suku Hakka (Kek), Teowchiu, Hokkian, dan
26 Coppel dalam Witanto, “Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah? Kajian
Historis Pemukiman Masyarakat Cina di Indonesia”, dalam I Wibowo, (ed), Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 2001), 194. 27 Witanto, 2001: 195.
81
Kanton (Kwongfu), yang bekerja sebagai buruh tambang. Emigran
Tionghoa yang datang selain didorong oleh aktivitas eksploitasi
tambang dan buruh perkebunan seperti di Sumatera Timur juga
karena aktivitas perdagangan yang meningkat seperti di Jawa,
Sulawesi, dan sebagian Sumatera.
Gambaran umum di hampir sebagian besar wilayah Asia
Tenggara, termasuk Indonesia biasanya berupa jajaran toko-toko
yang menempati tempat-tempat strategis di suatu kota. Hal itu
oleh Rutz disebut The Chinese business district.28 Lokasi yang
sangat disukai orang-orang Tionghoa adalah di sepanjang jalan
besar dan di perempatan-perempatan utama untuk menjajakan
dagangan atau jasa mereka. Potensi yang dimiliki wilayah Pecinan
antara lain: 1. merupakan kawasan hunian sekaligus kawasan
perdagangan, sehingga terjadi kelangsungan kegiatan selama 24
jam, 2. memiliki rumah-rumah tinggal berarsitektur Cina, 3.
memiliki pasar tradisional dengan citra pasar tradisional Cina, 4.
memiliki sosial kemasyarakatan yang berlatar budaya Cina.29
Hunian mereka biasanya memiliki ciri khas arsitektur Cina seperti
gambar berikut:
28 Rutz dalam Witanto, 2001: 196. 29 Wijanarka, Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah,
(Ombak: Yogyakarta, 2007 ), 30.
82
Gb. 2.7: Pecinan di Singkawang.
(Foto repro: Hirwan Kuardhani)
Masyarakat Cina membawa bentuk arsitektur daerah asalnya
untuk tempat tinggalnya seperti penjelasan Rutz berikut ini,
These Chinese immigrants did not adopt the autochthonous method of construction suited to the tropic.With their traditionalist culture, they imported two story form and closed, compac method of building wich distinguish the Chinese district as an independent structural element of the town and cities in the East Indies.
(Imigran Cina tidak mengadopsi metode konstruksi setempat yang sesuai dengan iklim tropis. Dengan budaya
tradisionalnya mereka membawa format dua lantai dan metode bangunan tertutup dan ringkas, yang membedakan
Wilayah pecinan sebagai elemen struktur kota yang independen di Hindia Timur).30
Pada masa pra kolonial pemukiman masyarakat Tionghoa
terbagi atas tiga segmen daerah hunian yaitu: 1. kelas dagang, 2.
kelompok fungsional, 3. kelompok masyarakat biasa.31 Kelompok
kelas pedagang dan kelompok fungsional umumnya menempati
30 Rutz dalam Witanto, 2001: 195. 31 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.
83
bagian kota yang paling mudah didatangi dan paling
menguntungkan terkait akses langsung ke jalur transportasi
utama. Kelentheng selalu ada dalam pemukiman Tionghoa dan
biasanya terdapat wilayah pemukiman Tionghoa di luar kelas
pedagang dan kelas fungsional, namun masih dalam lingkup
wilayah Pecinan. Letak kelentheng terdapat pada persilangan
ketiga segmen tersebut. Kelentheng menjadi elemen penting dan
utama dalam sebuah pemukiman masyarakat Tionghoa karena
fungsinya mengikat dan menyatukan ketiga segmen tersebut di
atas. Elemen penting lainnya adalah pasar dan pelabuhan. Pasar
merupakan pusat pertemuan berbagai elemen kelompok sosial
khususnya antara komunitas Tionghoa dengan penduduk
setempat. Pelabuhan merupakan penghubung dengan daerah
luar.32
C. Perayaan Hari Besar Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para warga etnis Tionghoa di Indonesia masih merayakan
hari besar yang berkait dengan peri kehidupan mereka, meskipun
terkadang sudah berbeda dengan tempat asalnya. Beberapa
perayaan yang masih sering dilakukan oleh warga etnis Tionghoa
di Indonesia adalah sebagai berikut.
32 Widodo dalam Witanto, 2001: 197.
84
1. Perayaan Tahun Baru Imlek
Perayaan ini disebut pula pesta musim semi (Cung
Jie/Ch’ung Chieh) di Tiongkok, namun karena di Indonesia tidak
ada musim semi maka warga Tionghoa di Indonesia hanya
menyebutnya dengan hari raya Imlek. Hari raya Imlek dirayakan
pada tanggal 1 penanggalan Imlek yang jatuh pada kisaran akhir
Januari sampai awal Februari pada penanggalan Masehi, misalnya
Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal 29 Januari 2008. Pada hari
raya Imlek biasanya orang-orang Tionghoa akan „mudik‟ seperti
ketika orang Islam merayakan Idul Fitri. Mereka akan berkumpul
bersama selama lima belas hari. Tahun Baru Imlek akan diakhiri
oleh perayaan Cap Go Meh.33
Menjelang datangnya Tahun Baru Imlek terdapat adat
kebiasaan untuk membersihkan rumah tiga atau dua hari
menjelang hari raya. Mereka meyakini ritual membuang barang-
barang yang sudah tak terpakai dan membersihkan rumah akan
membuang aura buruk (kesialan) yang terjadi di tahun
sebelumnya, dan Dewa Dapur Ts’Chung/Caouzhung akan
berangkat ke langit untuk melaporkan semua peristiwa di dunia.
Mereka juga akan mengganti gambar Dewa Dapur yang lama
dengan gambar baru serta mengolesinya dengan madu agar sang
dewa membicarakan hal-hal yang baik saja pada Raja Langit.
33 James Dananjaya, Folklore Tionghoa (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2007), 365-373.
85
Sehari menjelang Tahun Baru Imlek, warga keturunan Tionghoa
melakukan pemujaan dan memberikan persembahan untuk Dewa
Dapur. Mereka percaya, pada saat tahun baru, Dewa Dapur akan
memberikan penilaian dan melaporkan pada Raja langit. Untuk
itu warga keturunan Tionghoa membuatkan sesajian makanan
untuk Dewa Dapur sebagaimana terlihat pada gambar di bawah
ini.34
Gb. 2.8: Persembahan untuk Dewa Dapur.
(Sumber foto: Anonim F, 2009)
Hal menarik di dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di
Jawa adalah masakan persembahan untuk Dewa Dapur berbeda
dengan di negeri asalnya. Masyarakat Tionghoa (Cina) Peranakan
di Indonesia punya menu tersendiri untuk suguhan di meja
persembahan dan saat jamuan makan bersama keluarga. Mereka
menyajikan masakan peranakan yang merupakan perpaduan seni
34 Dananjaya, 2007: 366.
86
kuliner Tionghoa (Cina), Jawa, dan Belanda. Persembahan di meja
panjang tersebut meliputi menu lodeh yang berasal dari Jawa, roti
bluder dari Belanda, dan sayur asin dari Cina. Tak lupa tersedia
juga berbagai buah-buahan manis seperti kelengkeng, duku,
rambutan, pepaya, pisang raja, manggis, apel, dan jeruk kecil. Ada
pula kue-kue manis yang diletakkan dalam piring kecil. Kue manis
merupakan perlambang manisnya kehidupan di tahun berikutnya.
Tidak hanya kue keranjang yang sudah menjadi tradisi
masyarakat Tionghoa, ada pula kue khas Indonesia seperti kue
mangkok merah, onde-onde, kue cucur, dan sebagainya. Tersaji
juga berbagai manisan seperti mangga kering, keripik pisang
madu, cermai, kiamboy hitam, kiamboy madu, dan jelly. Sebagai
pelengkapnya, biasanya tersedia minuman pendamping yaitu arak
Cina. Seluruh sajian berjumlah dua belas sesuai tradisi Cina.35
Bersih–bersih rumah dilakukan dengan tuntas sebelum
Imlek karena pada saat hari raya Imlek sampai satu minggu
sesudahnya dilarang untuk menyapu dan bersih-bersih. Hal ini
jika dilakukan diyakini bisa membuang rezeki yang datang. Hari
raya 1 Imlek diharapkan turun hujan, karena jika turun hujan
35 Lihat Anonim F, “Persembahan untuk Dewa Dapur”
(http://life.viva.co.id/news/read/24452-persembahan_untuk_dewa_dapur,
2009).
87
maka sepanjang tahun akan lancar rezeki. Air merupakan
lambang dari rezeki.36
Menjelang hari raya Imlek, di kota-kota besar seperti
Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Pontianak, Singkawang dan
di daerah Pecinan lainnya akan dibuka pasar malam yang menjual
keperluan untuk tahun baru. Berbagai keperluan Imlek seperti
aneka jajanan, bahan masakan, bunga-bunga, jeruk dan buah-
buahan lainnya, lilin, hio (hiosua) untuk sembahyang, dan lain
sebagainya. Pada malam hari raya Imlek mereka melakukan
sembahyang dan juga keesokan paginya. Acara sembahyang
dilakukan sekitar dua jam disertai doa-doa kepada Tuhan, mereka
pun mendoakan arwah leluhur dan membakar dupa hio. Setelah
dupa hampir habis terbakar dilakukan Siao Pwee yakni
melemparkan dua keping mata uang. Jika jatuh dengan posisi
berbeda, maka mengisayaratkan arwah leluhur telah memberikan
restu. Kemudian ritual persembahyangan ditutup dan dilanjutkan
dengan menyantap hidangan dan mengunjungi kerabat yang lebih
tua. Hidangan yang tidak boleh disajikan pada hari raya Imlek
adalah bubur dan tahu putih. Bubur melambangkan kemiskinan
dan diyakini dapat menyebabkan ketidakberuntungan. Makanan
berbahan dasar tahu juga tidak boleh disajikan pada hari raya
Imlek, terutama tahu yang berwarna putih. Menurut kepercayaan
36 Wawancara keluarga Liliana, sebuah keluarga Cina yang selalu
merayakan Imlek secara adat Cina, 3 April 2006, di Bekasi, Jakarta.
88
Tionghoa, warna putih bermakna kesedihan atau kematian. Hal
unik lainnya adalah ketika menyantap ikan bandeng saat
perjamuan Imlek tidak diperkenankan membalik ikan bandeng.
Pada saat daging bagian atas telah habis, ikan tidak boleh dibalik
untuk memperoleh daging di bagian bawah, melainkan ikan harus
diangkat pada posisi tetap membujur. Daging ikan bandeng tidak
boleh dihabiskan, namun harus disisakan untuk lauk esok
harinya. Ikan bandeng diyakini melambangkan kelimpahan,
kemakmuran dan kebersamaan.37
Gb. 2.9: Hidangan hari raya Imlek (Sumber: Anonim G, 2012)
2. Perayaan Cap Go Meh
Perayaan ini dilakukan pada hari ke-15 Tahun Baru Imlek
yakni saat berakhirnya para anggota keluarga kumpul bersama.
Sejak tanggal 1 tahun baru sampai hari raya Cap Go Meh orang-
37 Lihat Anonim G, “Makanan yang Tidak Boleh Ada di Tahun Baru
Imlek” (http://sekilasinfoforyou.blogspot.com/2012/01/ makanan-yang-tidak-
boleh-ada-di-tahun.html, 2012).
89
orang Tionghoa saling mengucap Gong Xi Fat Cai, Kiong Hie Fat
Coi, Sin Cun Kiong Hi, Thiam Hok Siu yakni ucapan selamat tahun
baru serta memberikan angpao yang berisi uang. Anak-anak kecil
paling suka acara ini, mirip saat lebaran Idul Fitri. Mereka akan
diberi kue-kue dan angpao dari sanak saudara dan tetangga.
Perayaan pesta Gap Go Meh di Jakarta dahulu dimulai
pada hari ke-13 dengan berbagai tontonan seperti musik keliling
Tanjidor dan wayang Cokek yang ditarikan oleh empat orang
wanita berkostum baju kurung diiringi musik Gambang Kromong.
Ada pula pertunjukan sepasang badut yang bernama Empe Sin
Siang dan Mak Babu. Pertunjukan wayang Si Pat Moh dengan dua
orang penarinya berpakaian Tionghoa Klasik membawa tambur
dan menyanyikan lagu berbahasa Tionghoa. Wayang Sinpe yaitu
wayang yang pemainnya terdiri dari anak-anak dipimpin seorang
dewasa yang menjadi pengiring lagu dengan alat musik tehian
(rebab), Komedi Stambul, dan Opera Bangsawan.38 Pada malam
ke-15, puncak dari pesta Cap Go Meh, dipertunjukkan Barongsay,
Liang-Liong, dan Cungge. Barongsay adalah pertunjukan memakai
boneka singa besar yang dilakukan dengan atraksi-atraksi salto
dan silat yang mengagumkan. Liang-liong atau Liongsay berbentuk
naga panjang yang meliak-liuk. Liongsay tidak seperti Barong yang
bisa melakukan salto atraksi lompat dan naik tangga. Liongsay
38 Dananjaya, 2007: 374.
90
hanya bergerak bak ular yang sedang menari dan dimainkan oleh
lima sampai sepuluh orang tergantung panjang naga. Cungge
adalah semacam tandu berhias berisikan anak-anak kecil yang
berkostum tokoh-tokoh mitologi atau legenda Tiongkok Kuno
seperti: Sie Jin Kui, Koan Kong, Sun Go Kong, dan lain-lain.39
Perayaan Cap Go Meh di daerah Singkawang, Pontianak
dan sekitarnya berbeda lagi dengan yang ada di Jakarta atau
tempat lain. Menjelang Cap Go Meh dipasang ratusan lampion.
Dua hari menjelang puncak acara telah diadakan arak-arakan
yang dilakukan oleh Tatung/Louya (ada yang menyebut Wu Shi),
dan hanya ada di wilayah Singkawang, Pontianak dan sekitarnya.
Tatung/Louya adalah orang-orang yang dipercaya mempunyai
kekuatan gaib, karena dalam dirinya dirasuki oleh roh-roh leluhur
atau dewa-dewi. Roh-roh yang memasuki tubuh Tatung/Louya
adalah Tai Ce, Pek Kong, Cing Kung, dan Nio (dewi). Para
Tatung/Louya akan turun ke jalan menyusuri gang-gang untuk
mengusir roh-roh jahat yang mengganggu masyarakat. Awal
keberadaan Tatung/Louya dahulu adalah ketika wilayah-wilayah
yang akan dijadikan tambang emas masih merupakan hutan
belantara yang konon sangat angker. Karenanya para Tai-Ko yakni
pemimpin tertinggi kelompok penambang mendatangkan
39 Dananjaya, 2007: 375.
91
Tatung/Louya dari daratan Tiongkok untuk mengusir roh-roh
jahat yang mengganggu perkampungan penambang emas.40
Para Tatung/Louya segera turun ke jalan-jalan mengusir
roh–roh jahat penyebab wabah penyakit dan gangguan-gangguan
lainnya, diiringi tetabuhan musik dan pembakaran hio yang terus
menerus sampai wilayah tersebut aman. Ritual itu disebut se lu
biasanya dilakukan selama dua hari. Selama ritual pembersihan
roh–roh jahat tak jarang para Tatung/Louya mendapatkan
gangguan berat, untuk itu para Tatung/Louya menggunakan
penangkal yakni seyu, sehelai kertas putih untuk Tatung/Louya
akan menggambarkan lubang hitam di atas kertas tersebut.
Lubang hitam (seyu) berfungsi untuk menyedot roh-roh jahat yang
mengganggu.41
Sebelum perayaan Cap Go Meh para Tatung/Louya
mengadakan persiapan batin dengan cara tiga puluh hari sebelum
perayaan harus bebas dari perbuatan jahat seperti judi dan
mabuk. Mereka hanya makan nasi putih, sayur mayur, dan
minum air putih saja serta pantang melihat matahari. Satu hari
menjelang perayaan Cap Go Meh para Tatung/Louya melakukan
upacara tolak bala (Ta Cia) dengan diadakan ritual naik tangga
langit yakni tangga kayu bercat merah dengan anak tangga
40 Hirwan Kuardhani, “Tatung dalam Cap Go Meh di Singkawang”
dalam Majalah Gong Edisi 101/IX/2008 (Yogyakarta: Yayasan Media & Seni
Tradisi, 2009), 22-23. 41 Kuardhani, 2008: 23.
92
terbuat dari parang dan benda tajam lainnya. Tatung senior akan
naik terlebih dahulu baru diikuti para Tatung/Louya yunior.
Sambil menunggu pelepasan parade dalam rangka perayaan Cap
Go Meh, para Tatung/Louya di atas tandu berdiri di sebuah kursi
atau meja yang dipasangi benda-benda tajam. Ketika tanda
pelepasan parade dibunyikan, para Tatung/Louya menunjukkan
kemampuannya yaitu pipi ditusuk besi tidak berdarah, ditusuk
paku, ruji sepeda, ditebas parang, dan lain sebagainya diiringi
tetabuhan dan asap hio yang dibakar terus menerus.
Masyarakat yang menonton larut dalam atraksi magis para
Tatung/Louya. Prosesi terakhir perayaan Cap Go Meh di
Singkawang, Pontianak, dan sekitarnya adalah diadakannya
pelelangan barang-barang yang telah diberkati. Barang-barang
tersebut antara lain gantungan berbentuk Chien (uang kepeng
Cina) terbuat dari logam kuning, genta-genta, miniatur Barongsay,
berbagai jenis kue, jeruk, bahkan minuman kaleng dan botol.
Harga barang lelangan tersebut mencapai ratusan ribu bahkan
jutaan rupiah. Hal ini dipercaya jika mendapatkan barang-barang
yang dilelang dan telah diberkati, maka akan membawa
keberuntungan sepanjang tahun.42
42 Kuardhani, 2008: 23-24.
93
Gb. 2.10 Gb. 2 .11
Gb. 2.10 dan 2.11: Tatung/Louya dalam Perayaan Cap Go Meh di Singkawang.
(Sumber foto: Dinas Pariwisata Singkawang)
3. Pesta Rakyat Perahu Naga (Pek Cun)
Pesta ini diadakan pada tanggal 5 bulan 5 tahun Imlek,
kira-kira bulan Juni. Pesta Perahu Naga (Duan wu Jie/Tuan Wu-
chieh) disebut demikian karena perahu-perahu yang dilombakan
diukir dengan kepala naga dan ekor naga. Setiap perahu memuat
delapan sampai lima belas pasang pendayung, dua orang berdiri
ditengah perahu, dan satu orang pemukul tambur untuk aba-aba
merampakkan gerak. Festival perahu naga juga dikenal dengan
nama festival bulan kelima (Wu Yue Jie).43
43 Dorothy Perkins dalam Dananjaya, 2007: 378.
94
Pesta perayaan perahu naga di Indonesia disebut Pek Cun
(Yang Jie). Perayaan ini dimaknai sebagai Cinta Tanah Air.
Menurut legenda, munculnya perayaan perahu naga adalah untuk
mengenang tokoh patriotis Qu Yuan. Pada jaman kerajaan
berperang terjadi berbagai intrik yang menyebabkan Qu Yuan,
seorang penasihat kerajaan, kehilangan kepercayaan dari sang
raja. Qu Yuan banyak menulis syair yang berisi kritikan tehadap
kerajaan. Tatkala datang serangan Kerajaan Qin dan
menghancurkan istana serta merusak kuil leluhur kerajaaan,
maka Qu Yuan bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke
sungai. Raja Chu menyuruh para tentaranya untuk menolong Qu
Yuan karena sang raja baru sadar akan kesetiaan Qu Yuan. Para
tentara naik perahu dan saling berlomba untuk menolong
penasihat yang setia itu. Mereka melemparkan bacang yaitu nasi
berisi daging ayam atau babi yang dibungkus daun bambu atau
daun teratai agar ikan tidak memakan tubuh Qu Yuan tetapi
memakan bacan.44
Versi lain seperti dikisahkan oleh David Kwa. Khut Goan,
seorang patriot yang karena kecintaannya kepada negeri tercinta
harus mengorbankan dirinya ke dalam Sungai Beklo. Rakyat
sangat kehilangan sosoknya tersebut dan khawatir rohnya
kelaparan. Oleh karena itu, mereka mengirimkan nasi yang
44 Dorothy Perkins dalam Dananjaya, 2007: 378.
95
dimasukkan ke dalam bumbung bambu, begitulah kisahnya
menurut legenda rakyat populer. Untuk mengenang jasa patriot
besar ini rakyat juga mendirikan sebuah kelentheng peringatan
(rumah abu) yang disebut Khut-cu Su (Rumah Abu Pujangga Khut).
Kelentheng peringatan ini hingga kini masih berdiri di kota
Beklo.45
Versi lain lagi mengatakan bahwa nasi dilemparkan ke
dalam sungai agar ikan, udang, dan kepiting tidak memakan
jenazah Khut Goan. Namun ternyata kiriman tersebut tidak
sampai. Pada tarikh Kian Bu (26-55 M) semasa pemerintahan
Kaisar Han Kongbu Te (25-57 M) dari Dinasti Han Timur, seorang
bernama Au Hue yang berasal dari Tiangse bermimpi didatangi roh
Khut Goan. Dalam mimpinya, Khut Goan mengeluhkan makanan
dalam bumbung bambu yang dikirimkan kepadanya tidak sempat
dinikmatinya sebab telah terlebih dahulu disantap oleh naga
sungai dan ikan-ikan. Supaya tidak dimakan ikan dan naga
sungai, demikian usul roh Khut Goan, makanan tersebut harus
dibungkus dengan daun yang kasap atau berduri yang dibentuk
segitiga, serta diikat dengan benang sutra lima warna yang
semuanya ditakuti oleh naga sungai dan ikan-ikan di sungai.
Dengan demikian jadilah penganan baqcang (bahcang). Penganan
bahcang adalah penganan terbuat dari ketan berbentuk piramid
45 David Kwa, “Wayang Pouw Tee Hie: Duta Sastra Klasik Cina”, Majalah
Gong No. 67/VI/2005 (Yogyakarta: Yayasan Media & Seni Tradisi, 2009), 18-19.
96
segitiga berisi daging, biji teratai, jamur, telur asin, dan
sebagainya. Bentuknya bermacam-macam tergantung daerah,
tetapi bentuk bahcang yang umum kita kenal adalah bahcang
Hokkian berbentuk segitiga. Walaupun aslinya di Tiongkok
bahcang terbuat dari ketan, namun di wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kue bahcang dibuat
dari beras.
Hal ini merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya
kuliner. Sementara kaum Tionghoa Peranakan di Jawa Timur dan
Jawa Tengah tetap menyukai bahcang dari ketan. Varian dari
penganan bahcang muncul yaitu knicang (kue cang). Knicang
disebut demikian karena dibuat dengan knicui, di kalangan
Tionghoa Peranakan di Jabodetabek disebut air abu. Penganan
knicang juga terbuat dari ketan, tetapi tidak ada isinya, warnanya
kuning dari kunyit atau hijau dari daun suji dan disantap dengan
air gula atau sirup. Pek Cun atau pesta perahu naga di Indonesia
diselenggarakan di Kalimantan, Jakarta (Kali Angke dan Kali Pasar
Baru), Sumatera (Sungai Musi, Palembang), bahkan di Yogyakarta
diadakan di Pantai Parangtritis.
4. Perayaan Ceng Beng
Hari raya Ceng Beng merupakan hari raya untuk berziarah
ke makam leluhur sekaligus menziarahi makam-makan yang tidak
pernah diziarahi yang mungkin tidak ada lagi keturunannya atau
97
sangat miskin. Pada hari raya ini ada tradisi „makan dingin‟ yang
artinya orang-orang Tionghoa tidak menyalakan api dapur. Jadi
mereka makan makanan yang sudah dimasak hari sebelumnya
dan tidak dipanaskan. Tradisi ini konon untuk memperingati
Hanshijie (Han: dingin, shi: makanan, jie: perayaan/festival).46
Menurut legendanya Hanshijie adalah tradisi untuk memperingati
Jie Zitui yang tewas terbakar di Gunung Mianshan. Raja Muda Jin
Wengong dari negara Jin pada periode Chunqiu, akhir dari Dinasti
Zhou, memerintahkan rakyat untuk tidak menyalakan api pada
hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan disantap dalam kondisi
dingin.
Asal mula hari raya Ceng Beng dengan tradisi
membersihkan kuburan dan mendoakan bagi orang mati yang
tidak punya sanak keluarga. Menurut legenda, konon seorang
bocah bernama Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) lahir dari
keluarga sangat miskin sehingga ia dititipkan di sebuah kuil
untuk dipelihara. Tatkala ia sudah dewasa dan berhasil menjadi
raja ia dikenal sebagai pendiri Dinasti Ming. Ia tidak tahu lagi di
mana makam leluhurnya, maka ia perintahkan seluruh rakyat
untuk menziarahi makam leluhur masing-masing dan memberi
tanda kertas kuning pada makam yang telah diziarahi. Maka di
atas kuburan yang tidak ada tanda kertas kuning, Kaisar Ming
46 Dananjaya, 2007: 381.
98
lalu menziarahi sebagai makam leluhurnya. Kebiasaan lainnya
adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur, dan
mengukir kulit telur.47
5. Sembahyang Chong Yen Cie
Menurut kepercayaan orang Tionghoa pada bulan 7 tanggal
15 tahun Imlek arwah-arwah manusia yang terlantar diberi
kebebasan selama 1 bulan. Karena itu, diadakanlah sembahyang
Cioko atau sembahyang rebutan. Sembahyang itu diperuntukkan
bagi arwah yang tidak diupacarakan oleh kerabatnya. Usai
upacara sembahyang Cioko segala yang tersaji bisa direbut atau
dibagikan pada fakir miskin tanpa membedakan asal, suku, atau
agamanya.48
Dari upacara ini muncul permainan rakyat Jailangkung
yakni permainan memanggil arwah seperti Nini Thowok dalam
masyarakat Jawa. Jailangkung di tempat asalnya Tiongkok juga
memakai boneka yang terbuat dari keranjang sayur maka disebut
Cailan’gong (cailan: keranjang sayur) tetapi di Indonesia memakai
jangka yang ditancapkan pada sebuah lingkaran dan lingkaran itu
sudah diberi abjad dan angka. Ujung jangka akan dipegang ringan
sehingga jika ada roh yang masuk maka jangka akan bergerak
sendiri dan menunjuk huruf-huruf atau angka sesuai jawaban
47 Dananjaya, 2007: 381-382. 48 Brigjen TNI Tedy Jusuf, Sekilas Budaya Tionghoa di Indonesia.
(Jakarta: PT Bhuana Populer Kelompok Gramedia, 2000), 11-13.
99
yang diberikan oleh roh yang masuk. Ada mantra kecil yang harus
diucapkan dalam permainan ini.
Jalangkung-jalangse di sini ada pesta kecil-kecilan Silahkan datang, di sini ada kuah tape kalau kurang Ambil sendiri, kalau pulang tidak diantarin.49
6. Hari Raya Tang Cie
Hari raya Tang Cie di kota Malang, Jawa Timur disebut
sebagai hari raya Ronde. Karena pada hari itu dibuatlah ronde
(kue ketan bulat di dalamnya terdapat gula dan berkuah jahe).
Pada waktu pembuatan ronde hanya para perempuan yang
diperkenankan. Perempuan yang sedang datang bulan atau habis
berduka tidak diperkenankan membuat. Mereka menunggu
hantaran dari sanak keluarga atau tetangga. Bagi perempuan yang
sedang hamil ada kebiasaan melemparkan sebutir ronde yang
belum direbus ke dalam api. Jika pecah konon bayi yang
dikandung berjenis kelamin perempuan, jika tidak pecah berjenis
kelamin lelaki. Jajanan ronde kemudian meluas menjadi salah
satu jenis kudapan yang nikmat terutama di musim hujan.50
7. Perayaan Cing Ciu Cie
Hari raya ini disebut pula hari raya bulan purnama dan
jatuh pada bulan ke-8 tanggal 15 Imlek. Di negeri asalnya, pesta
ini diwarnai dengan berkumpulnya keluarga di teras atau di
49 Dananjaya, 2007: 383. 50 Dananjaya, 2007: 387.
100
balkon rumah sambil memandang bulan purnama dan
bercengkerama menikmati kue bulan (tiong ciu pia), kacang tanah
goreng, kwaci, dan minuman. Kacang tanah dan kwaci
melambangkan bibit kehidupan dan pertumbuhan. Pada saat itu
orang tua bercerita tentang legenda kuno tentang bulan.51 Para
Tionghoa Peranakan di Indonesia kemudian marak membuat kue
bulan dan saling memberi antar keluarga yang tidak tinggal
serumah, juga tetangga dekat.
Gb. 2.12: Kue Bulan untuk perayaan Cing Ciu Cie.
(Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)
D. Adat Istiadat Pernikahan Tionghoa Peranakan di Indonesia
Para perantau Cina membawa pula tata cara pernikahan
dari negeri leluhurnya, namun telah mengalami akulturasi dengan
adat setempat dalam hal ini di Indonesia. Pada masa sekarang
51 Jusuf, 2000: 13-16.
101
orang Tionghoa sudah menyerahkan perjodohan di tangan sang
anak. Hal ini tidak seperti masa lalu yang semuanya diatur oleh
orang tua sehingga sering para calon mempelai tidak saling
mengenal bahkan belum pernah saling melihat. Setelah disetujui
orang tua masing-masing maka dilalui langkah-langkah sebagai
berikut.52
1. Usul Resmi
Si pemuda menghadap orang tuanya menyampaikan usul
resmi untuk menikahi calon istrinya. Pada saat itu pula sang
pemuda minta izin agar calon istrinya dapat diperkenalkan pada
mereka.
2. Lamaran
Setelah diadakan perkenalan dengan orang tua pihak
pemuda maka pada hari yang telah ditentukan pihak orang tua
pemuda bersama sang pemuda akan datang melamar pada
keluarga calon mempelai perempuan. Jika sudah disetujui maka
ibu sang pemuda akan memasangkan kalung emas kepada calon
menantunya sebagai simbol ikatan. Saat itu sang calon mempelai
perempuan juga diharuskan menghidangkan teh dan makanan
kecil pada keluarga calon mertuanya. Pada saat itu pula akan
dibicarakan hari Sangjit yaitu hari hantaran hadiah pernikahan (di
Jawa dikenal sebagai Asok Srono atau Srah-srahan).
52 Wawancara dengan Keluarga Thio tiong Gie, di Gang Lombok
Semarang, 20 Januari 2010.
102
3. Hari Sangjit (Sung Li)
Hari saat pihak calon mempelai pria menghantarkan
sejumlah barang sebagai hadiah kepada calon pengantin putri
terdiri dari: uang dalam jumlah tertentu sebagai uang susu dan
uang sangjit (pesta pernikahan), sepasang lilin merah, perhiasan
dan benda berharga lainnya, pakaian dan perlengkapan mempelai
perempuan, kue-kue, kembang gula dan manisan, buah-buahan,
minuman anggur dan lain-lain. Hantaran tersebut diterima oleh
pihak calon mempelai perempuan. Uang sangjit bisa diterima
seluruhnya atau hanya separuh, biasanya tergantung keadaan
keuangan pihak perempuan. Setelahnya ada hantaran balasan
dari pihak perempuan berupa: Perangkat berisi uang sangjit
sebagian atau seluruhnya serta sepasang lilin merah,
perlengkapan kamar tidur pengantin, pakaian dan perlengkapan
lelaki sehari-hari, kue-kue, gula-gula dan manisan, buah-buahan,
anggur dan minuman lainnya. Dalam memberikan hantaran
balasan diperhitungkan jangan sampai jumlah hantaran pihak
perempuan terlalu melebihi jumlah hantaran pihak lelaki karena
fungsi hantaran balasan sebagai ucapan terimakasih bukan
bersaing.
103
Gb. 2.13: Tenong keranjang hantaran pengantin.
(Sumber Foto: Kedai barang antik)
4. Upacara Cio Tau (Jiao Dao)
Menjelang malam pernikahan di rumah mempelai
perempuan diadakan upacara Cio Tau (Jiao Dao), yakni upacara
memberi nasihat dan bekal untuk sang calon pengantin putri.
Calon mempelai duduk di atas tampah atau karpet bundar di
depannya terdapat gantang beras yang berisi kitab suci, cermin,
benang tujuh warna, pedang atau pisau lipat, gunting, sisir,
timbangan, dan pelita. Pada acara ini kerabat calon mempelai
putri berdatangan diundang. Jika calon mempelai putri
mempunyai kakak lelaki yang belum menikah maka dia diberi
kesempatan untuk minta izin dengan memberi tanda mata berupa
gunting dan kemudian dipakai untuk menggunting pita yang
dipasang di pintu masuk kamar sang kakak. Diharapkan dengan
terguntingnya pita, jodoh sang kakak akan terbuka. Di wilayah
104
Malang, Jawa Timur, ada kebiasaan di kalangan Tionghoa
Peranakan yakni sang kakak lelaki akan memukul adiknya (calon
mempelai putri) dengan seikat sapu lidi yang merupakan alat
membersihkan ranjang.53
Para kerabat dekat yang telah menikah kemudian
menyerahkan barang-barang yang ada dalam gantang sebagai
simbol nasihat antara lain: beras yang melambangkan
kesejahteraan pangan; kitab suci yang melambangkan ibadah
yang taat dan rajin; cermin melambangkan introspeksi diri
hendaknya calon pengantin selalu memperbaiki diri; benang
melambangkan kewajiban akan ketercukupan sandang dan
memeliharanya; pedang atau pisau lipat melambangkan istri
harus mendorong suami untuk bersikap ksatria; gunting
melambangkan istri harus selalu membantu suami untuk
memecahkan masalah rumah tangga; pelita atau lampu
melambangkan keluarga senantiasa diterangi kebenaran;
timbangan melambangkan istri harus hidup adil dalam segala hal
terutama terhadap keluarga baik keluarga pihak suami maupun
keluarga pihak istri; sisir melambangkan istri harus selalu
merawat diri.54 Sementara itu di rumah calon mempelai lelaki
diadakan acara menata kamar dan ranjang pengantin yang
53 Dananjaya, 2007: 336. Periksa Catherin Lim G. S., Gateway to
Pranakan Culture (Singapore: Asiapac Books, 2003), 103-109. 54 Dananjaya, 2007: 337-338.
105
dilakukan oleh ibu-ibu yang dianggap sukses dalam rumah tangga
dan karir. Seusai menata lalu sepasang bocah lelaki dan
perempuan disuruh berjumpalitan secara menyilang di atas
tempat tidur. Diharapkan supaya mempelai cepat mendapat anak
lelaki dan perempuan.
5. Upacara Penjemputan Mempelai
Pada pagi hari pernikahan, mempelai pria didampingi
saudara lelaki yang masih lajang mendatangi rumah calon
istrinya. Setibanya di rumah calon istri, mempelai pria akan
disambut oleh saudara lelaki mempelai putri dengan
menggunakan payung merah dan orang tua mempelai putri
menyambut. Selanjutnya sepasang pengantin melakukan teepai
(jing cha) yakni memberi hormat dengan bersujud kepada orang
tua pengantin putri. Usai upacara itu pengantin putri dibawa ke
rumah mempelai pria. Keduanya dijemput dengan memakai
payung merah kemudian di depan pintu, mereka berhenti untuk
di sawer dengan uang logam dan beras kuning sebagai lambang
rezeki yang berlimpah. Anak-anak kecil berebut uang logam
saweran. Kedua mempelai kemudian melakukan teepai kepada
orang tua mempelai lelaki. Usai upacara adat biasanya dilanjutkan
dengan pencatatan sipil dan resepsi pernikahan.55 Terdapat
perbedaan nilai mengenai pernikahan antara masyarakat Tionghoa
55 Dananjaya, 2007: 339-340.
106
dan masyarakat Jawa khususnya. Pada masyarakat Tionghoa,
pernikahan adalah untuk melanjutkan kelangsungan hidup
keluarga atau klan-nya sehingga dalam memilih pasangan hidup
banyak melibatkan keluarga inti dan pertimbangan keluarga
besarnya meskipun di Indonesia tidak lagi seketat di Tiongkok.
Pada masyarakat Jawa, perkawinan dimaksudkan untuk
membentuk suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Pada
dasarnya pemilihan calon pasangan merupakan urusan pribadi.56
Gb. 2.14: Pernikahan Tionghoa Peranakan di Tangerang masa kini.
(Foto repro: Hirwan Kuardhani)
Adat pernikahan di atas yang dibawa oleh leluhur dari
Tiongkok mengalami adaptasi di kalangan Tionghoa Peranakan.
56 Paulus Hariyono, Menggali Latar Belakag Stereotip dan Persoalan Etnis
Cina di Jawa (Semarang: Mutiara Wacana, 2006), 237-238.
107
Sejumlah pernikahan dalam masyarakat Tionghoa Peranakan di
Jawa ditangani pihak perempuan sebagaimana layaknya adat di
Jawa. Hal ini berbeda dengan adat tradisi han di Tiongkok dengan
pihak lelaki-lah yang menyelenggarakan pernikahan. Pada resepsi
acara pernikahan masyarakat Tionghoa Peranakan selalu
mendirikan bedeng dari bambu dan di kedua sisi pintunya
dipasang pohon pisang lengkap dengan buahnya yang berjuntai.
Pada pohon pisang tersebut digantungi pula malai padi dan dua
buah kelapa (cengkir gading). Malai padi melambangkan kekayaan
atau rezeki, setandan pisang melambangkan anak cucu yang
banyak, dan cengkir gading melambangkan kehormatan yang
tinggi.57 Perlengkapan perhelatan pengantin (Jawa: ubo rampe
temanten) seperti itu biasa dilakukan dalam perhelatan
pernikahan di Jawa. Busana mempelai wanita biasanya
menggunakan pakaian pengantin model Dinasti Qing, mempelai
laki-laki mengenakan pakaian perang seperti prajurit jaman kuno.
Kedua mempelai kemudian mencicipi dua belas macam masakan,
hal ini merupakan adat Fujian Selatan. Usai acara pernikahan
para tamu undangan akan berjabat tangan dengan mempelai dan
orang tuanya sebagai ucapan selamat, merupakan hal yang tidak
ditemui di Tiongkok karena hal itu merupakan adat di Jawa.58
57 Lim Thian Joe dalam Yuanzi, 2005: 478-479. 58 Yuanzhi, 2005: 478.
108
E. Upacara Kematian
Upacara kematian suku Tionghoa saat ini sering dilakukan
di tempat atau ruang duka baik di rumah sakit atau rumah
khusus untuk rumah duka. Jika dilihat, begitu ramai aneka
perhiasan rumah-rumahan dengan perlengkapannya dan upacara
yang bising serta pakaian duka cita yang dipakai oleh anak,
menantu dan cucu-cucunya. Mereka mempercayai terdapat
hubungan antara seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-
kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun
tidak langsung seperti berikut: 1. Cut Sie adalah reinkarnasi bagi
semua manusia yang meninggal, 2. Kokut adalah hukum karma
bagi semua perbuatan manusia, 3. Ceng Beng adalah menjamu
arwah leluhur, 4. Tuapekong adalah menghormati leluhur dan
orang pandai, 5. kutukan para leluhur melalui kuburan dan batu
nisan (bompay) yang dirusak, 6. apa yang dilakukan di dunia akan
dialami di akhirat, 7. kehidupan sesudah mati.59
F. Sistem Religi Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Para Tionghoa di Indonesia memeluk bermacam-macam
agama. Mereka beragama Budha, Kong Hu Cu, Tao, Islam, Kristen,
Katolik, dan sebagainya. Tatkala pemerintah meleburkan agama
Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi agama Tridarma pada masa
59 Dananjaya, 2007: 347-352.
109
pra Orde Baru, telah banyak berdiri tempat-tempat ibadah
masyarakat Tionghoa seperti kelentheng, vihara dan lithang. Istilah
kelentheng sesungguhnya merupakan istilah yang hanya ada di
Indonesia. Konon istilah itu muncul karena suara lonceng
„theng…theng…theng...‟ yang didengar seorang sais kereta ketika
mengantar orang-orang Tionghoa pergi ke tempat ibadah
mereka.60 Sejak itu tempat ibadah orang Kong Hu Cu disebut
kelentheng atau bio (mio) dan kiong atau gong untuk tempat
ibadah agama Taois. Vihara merupakan asrama (biara) Budhis
dalam istilah Tionghoa adalah sie atau si. Biara untuk kaum Taois
adalah kuan atau guan. Sejak Orde Baru berkuasa, istilah
kelentheng diarahkan menjadi vihara meskipun kurang tepat
dalam fungsi dan penggunaannya sebagaimana kutipan berikut.
Sejak masa pemerintahan Orde Baru, banyak diterbitkan peraturan yang membatasi aktivitas kelentheng dan diarahkan menjadi vihara. Sebenarnya tidak semua
bangunan peribadatan itu disebut vihara, karena kriteria vihara tidak dimiliki oleh kelentheng. Lebih parah lagi, para
pengurus kelentheng selain mengubah nama kelentheng dangan vihara, juga mengganti nama dewata yang
dipujanya. Sungguh merupakan suatu pengingkaran yang irasional. Nama kelentheng yang begitu indah dan puitis
seenaknya diganti dengan kata-kata Sansekerta yang notabene juga berasal dari bahasa asing.61
Banyak bangunan kelentheng yang bersejarah dan bernilai
budaya dirobohkan dengan berbagai alasan pada jaman Orde
60 Wawancara dengan Tio Thiong Gie ketua agama Kong Hu Cu dan
sehu di Klentheng Tay Kak Sie Semarang, 23 Juli 2007. 61 Yoest, Riwayat Kelentheng, Vihara, Lithang di Jakarta & Banten
(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer-kelompok Gramedia, 2008), 143.
110
Baru. Tulisan Cina sebagai nama kelentheng diturunkan diganti
dengan istilah Sansekerta. Terdapat satu pemaksaan ideologis
yang sesungguhnya merugikan dan menghambat akulturasi
budaya masyarakat Tionghoa dengan masyarakat sekitarnya,
seperti penggantian nama Kelentheng Wan Ji Sie menjadi Vihara
Budhayana, Kelentheng Boen Hay Bio menjadi Vihara Karunayala,
Kelentheng Boen San Bio menjadi Vihara Nimmala, Kelentheng
Boen Tek Bio menjadi Vihara Padumuttara, dan lain sebagainya.
Penggabungan agama Kong Hu Cu, Tao, dan Budha menjadi
agama Tridarma merupakan bentuk pemasungan kebebasan
beribadah bagi umat penganutnya yang mayoritas kaum Tionghoa
Peranakan. Hal ini menjadikan banyak masalah muncul, sebagai
contoh sebuah kasus pernikahan pasangan Budi dan Lany dalam
agama Kong Hu Cu tidak diakui oleh Catatan Sipil karena
dianggap Kong Hu Cu bukan agama melainkan filsafat dan sempat
mengundang polemik panjang. Agama Kong Hu Cu atau
Konfusianisme sejak jaman Orde Baru tidak lagi diakui sebagai
agama di Indonesia melainkan sebagai ajaran etika atau bentuk
filsafat yang mengajarkan kebajikan tertentu.62
Dewasa ini Kong Hu Cu atau Konfusianisme memiliki
fungsi dan kedudukan ganda antara lain sebagai filsafat, budaya,
62 Th. Sumartana, (ed), Konfusianisme di Indonesia Pergulatan Mencari
Jati Diri. Seri Dian III Tahun II (Yogyakarta: Interfidei, 1995), xviii.
111
dan agama. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Lasiyo sebagai
berikut.
Ajaran Konfusianisme di Indonesia yang juga mendapatkan banyak pengaruh dari konfusianisme di Cina kiranya dapat ditinjau dari sudut etika dan metafisika. Konsep metafisika
dititikberatkan pada ajaran tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Konsep tentang Tuhan Yang Maha Esa (Thian) sering dikelompokkan menjadi ajaran yang
monoteistik.63
Akibat pelarangan dan urusan yang rumit sejak jaman
Orde Baru, banyak orang Tionghoa yang memeluk agama Kristen
atau Katolik karena tidak ingin dipersulit dalam urusan
administrasi kewarganegaraan. Banyak pula yang menuliskan
agama Budha dalam KTP-nya meskipun mereka menganut agama
Kong Hu Cu atau Taois. Negara dalam hal ini telah mempolitisir
agama sebagai satu kebijakan yang sangat represif terhadap
masyarakat Tionghoa di Indonesia, walaupun dalam UUD 1945
disebutkan adanya kebebasan dalam memeluk dan beribadah
sesuai kepercayaan dan agama yang dianut, namun tidak
demikian dalam praktik di lapangan. Seperti dikatakan Gus Dur,
Memilih agama adalah bagian paling azasi dari hak azasi manusia. Warga Negara mempunyai hak sendiri terlepas dari Negara dalam perkawinan dan agama. Dengan
demikian Negara berfungsi melayani warga Negara, bukan sebaliknya. Kenyataannya ketika kebebasan dan
keterbukaan dicanangkan. Orang masih harus menderita karena sikap negative terhadap agama lain. Kasus penolakan pencatatan oleh kantor Catatan Sipil atas
perkawinan pasangan Kong Hu Cu Budi dan Lany
63 Lasiyo, “Ajaran Konfusianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat“ dalam
Th. Sumartana, 1995: 21.
112
membuka mata kita bahwa hukum dipakai sebagai alat kekuasaan dan nilai-nilai kemanusiaan diabaikan.64
Gb. 2.15: Vihara Chi Kung di Singkawang.
(Sumber foto: Dinas Pariwisata Singkawang)
G. Binatang Mitologi Tionghoa
Masyarakat Tionghoa masih percaya pada binatang-
binatang mitologi yang diyakini dapat membawa berkah
keselamatan, rezeki, dan umur panjang. Adapun binatang mitologi
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Naga
Naga adalah Tiongkok, demikian termashyurnya naga
sebagai binatang simbol dari masyarakat Tionghoa. Naga
bukanlah monster yang menakutkan bagi masyrakat Tionghoa
64 Periksa Suryadinata, 2002: 189-191. Periksa Abdulrahman Wahid,
”Konfusianisme di Indonesia Sebuah Pengantar” dalam Th Sumartana, 1995,
xxv-xxxiii. Periksa Tabloid Target Th. 1, No. 12 (30 Juli-5 Agustus 1996).
113
melainkan lambang kekuatan dan kebaikan yang luar biasa. Anak
yang terlahir ditahun Naga dipercaya akan beruntung dan kaya,
mampu menjadi pelindung keluarga. Naga merupakan pimpinan
dari semua reptil di Tiongkok. Di dalam mitologi masyarakat
Tionghoa, ada tiga spesies naga yang dijadikan simbol yakni,
a. Lung adalah Naga penjaga langit dan tinggal di langit. Lung
bertanduk, berjenggot, dan berambut pada pinggir mulutnya.
b. Li adalah Naga penjaga lautan. Naga Li tidak bertanduk.
c. Chaio adalah Naga penjaga Bumi. Naga Chaio hidup di gunung
dan rawa-rawa, tanpa tanduk dengan sisik digambarkan
berwarna hijau pada punggung, sisi-sisinya kuning, dan
bagian dada merah tua.65
Ketiga spesies naga di atas dibagi menjadi 9 jenis yaitu: 1)
P’u-lao yaitu naga yang biasa digunakan sebagai ukiran lonceng
dan gong, dianggap jenis naga ini berkemampuan berteriak keras,
2) Ch’iu-niu yaitu naga yang biasanya terukir di atas skrup-skrup
biola sebagai simbol seleranya terhadap music, 3) Pi-his yaitu naga
yang merupakan simbol dewa sungai yang diberkahi kekuatan
supranatural, biasanya terukir pada bagian atas lempengan-
lempengan batu karena kesukaannya terhadap sastra, 4) Pa-hsia
yaitu naga yang biasanya terukir pada monumen batu karena
dianggap mampu menyangga beban berat, 5) Chao-feng yaitu naga
65 Morgan, 2007: 6-8.
114
yang biasanya terukir pada bagian atap kuil-kuil sebagai penjaga
kuil dan dipercaya sanggup menantang bahaya, 6) Chih-wen yaitu
naga yang biasanya diukir pada tiang-tiang jembatan dan atap-
atap bangunan sebagai penangkal api karena kesukaannya pada
air, 7) Suan-ni yaitu naga yang biasanya terdapat pada mahkota
Budha, 8) Yai-tzhu yaitu naga yang biasanya diukir pada pangkal
bilah pedang, ia merupakan simbol kekuatan dan keberanian, 9)
Pi-kan yaitu naga yang bersisik dengan satu tanduk, biasanya
ditemukan terukir pada gerbang-gerbang penjara serta
merupakan lambang kegarangan dan kekuatan.66
Naga menjadi simbol penjagaan dan kewaspadaan, yang
telah disucikan oleh agama kuno masyarakat Tionghoa di
Tiongkok. Singgasana kaisar pun disebut sebagai singgasana
naga. Hiasan naga bertarung memperebutkan mestika menjadi
hiasan baju orang Tionghoa jaman Dinasti Han hingga Dinasti
Ching. Jubah kaisar disulam dengan gambar naga bercakar lima
dan untuk pegawai kerajaan dengan pangkat di bawah kaisar
disulam dengan naga bercakar empat. Hanya kaisar yang
dipebolehkan memakai sembilan pola naga pada jubahnya.
Bendera Cina sebelum tahun 1911 bergambar naga dengan latar
warna kuning.67
66 Morgan, 2007: 7. 67 Morgan, 2007: 8. Periksa Dananjaya, 2007: 97.
115
Gb. 2.16: Naga di sebuah lukisan.
(Sumber foto: Anonim B, 2009)
2. Burung Phoenix
Merupakan simbol kehangatan matahari dan dipercaya
kicauan burung phoenix merdunya bagai simponi para dewa.
Burung ini selalu menantikan kedamaian di negeri Tiongkok.
Gambar burung phoenix menginspirasi corak batik pesisiran.
Phoenix dipercaya sebagai raja dari para burung. Burung phoenix
yang didiskripsikan dalam literatur adalah penggabungan
beberapa binatang seperti burung walet (wajah), ular (leher), kura-
kura (punggung pundak), bulus (perut depan), bangau (dahi),
ayam jantan (paruh), angsa (Anser cygnoides) (dada), ikan (ekor),
dan rusa (kaki belakang). Ada juga yang mendeskripsikan phoenix
adalah burung perpaduan dari angsa (kepala), bebek Tiongkok (Aix
galericulcata), kaki dari bangau putih (Egretta intermedian), ekor
dari burung merak (Pavo cristatus), paruhnya dari burung beo,
dan sayapnya dari burung walet. Ada pendapat pula bahwa
116
phoenix perpaduan dari burung onta (Struthio camelus), burung
kasuari (Casuarius spp.), dan burung cenderawasih
(Paradisaeidae).68
Gb. 2.17: Lukisan burung phoenix (burung hong)
(Sumber foto: Anonim B, 2009)
3. Kie-Lin/Chi-Lin
Kie-Lin (Hokkian) atau Chi-Lin (Mandarin) adalah mahluk
seperti unicorn, yakni kuda bertanduk. Ia merupakan lambang
kesempurnaan, keagungan, dan kebahagiaan. Kie-Lin (Chi-Lin)
adalah binatang tunggangan para dewa, tugasnya mengantarkan
ke mana para dewa hendak pergi karena Kie-Lin merupakan wakil
68 Morgan, 2007: 8. Periksa Dananjaya, 2007: 103-104.
117
dari 18 binatang yang ada di dunia.69 Patung Kie-Lin dapat
dijumpai di gerbang masuk beberapa kelentheng.
Gb. 2.18: Patung Kie-Lin
(Sumber foto: Anonim B, 2009)
4. Singa
Persepsi umum berbentuk menyerupai singa dan sering
dipertunjukan dalam kesenian barongsai disebut Panthera Leo.
Patung singa sering dipasang di depan pintu. Singa yang berada di
pintu bagian kiri dengan kaki kirinya menginjak bola api adalah
singa jantan yang bermakna proteksi akan ancaman luar,
sedangkan yang berada di pintu bagian kanan dan kaki kanannya
menginjak anak adalah singa betina yang berarti melindungi
keluarga.
69 Periksa Kompas, 31 Januari 2003.
118
a. Singa Betina b. Singa Jantan
Gb. 2.19a, b: Singa penjaga
(Sumbe foto: Anonim B, 2009)
5. Kura-Kura
Kura-kura melambangkan musim dingin, kekuatan, dan
ketahanan sekaligus lambang kesejahteraan. Konon dari
punggung kura-kura tersebut Kaisar Fu Shi, kaisar pertama di
negeri Tiongkok Kuno, memperoleh petunjuk tentang 9 qi (9
kunci).70 Tanda lekukan pada tempurung punggungnya mewakili
konstelasi langit dan garis di bawah tempurung melambangkan
dunia.71
H. Tetumbuhan yang Dipuja Masyarakat Tionghoa
Flora atau tetumbuhan tertentu mempunyai kedudukan
penting dalam masyarakat Tionghoa. Tumbuhan tersebut
dipercaya mendatangkan berkah dan kekuatan, juga pengaruh
70 Morgan, 2007: 8. 71 Dananjaya, 2007: 106.
119
baik dalam kehidupan. Karenanya tetumbuhan tersebut akan
ditanam, dipajang, atau hanya di lukiskan dalam kain maupun
tembikar sebagai hiasan. Adapun tetumbuhan tersebut antara
lain,
1. Pinus
Pohon pinus dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai pohon
lambang panjang usia dan mempunyai daya penyembuh yang luar
biasa. De Grout dalam „Religius System of Cina‟ menuliskan bahwa
pinus dan cemara dianugerahi kekuatan dan daya hidup meski di
tengah terpaan musim dingin maupun musim panas, namun
pohon-pohon itu tetap hijau. Jika orang mengkonsumsi getah dari
pinus yang sudah berusia 300 tahun maka niscaya akan panjang
umur. Buah pinus jika dikonsumsi akan membuat kulit sehat dan
awet muda.72 Masyarakat Tionghoa menyukai motif pinus dan
cemara dalam lukisnya. Mereka memajang lukisan bergambar
pinus atau cemara sebagai upaya memperoleh kesehatan dan
kekuatan.
2. Bambu
Bambu merupakan jenis kayu-kayuan yang paling banyak
digunakan untuk bangunan di Tiongkok. Bambu mempunyai
tempat khusus dalam budaya Tionghoa. Bagi masyarakat
Tionghoa bambu merupakan lambang kerendahan hati,
72 Degrout dalam Morgan, 2007: 112.
120
keterbukaan, dan kehalusan budi sekaligus pelindung dari
marabahaya. Louise Wallce Hackney dalam bukunya Guide Post to
Chinese Painting menuliskan bahwa seniman Tiongkok
mempelajari bambu begitu tekun, menganalisa daun-daunnya
secara detail, hingga tahu bagaimana bambu menyebar dalam
cuaca yang bersahabat, menggelantung dengan kencang ketika
hujan turun, melilit satu sama lain ketika dihembus angin, dan
menjulang ke atas dalam selimut embun.73 Lukisan bambu
banyak menghiasi ruangan rumah masyarakat Tionghoa sebagai
pemberi energi positif dalam ruangan. Dalam hukum fengshui
dipercaya seseorang yang mempunyai rumah dengan letak „tusuk
sate‟ disarankan menanami bambu di luar pagar rumah sebagai
penangkal hawa buruk (sachi).74
3. Persik
Pohon persik diyakini mempunyai kekuatan gaib,
karenanya para pendeta Budha dan Tao menggunakan kayu
pohon persik untuk membuat tongkat dan benda-benda jimat.
Banyak masyarakat Tionghoa yang menyimpan benda jimat
dengan bahan kayu persik. Selain itu, pohon persik dianggap
sebagai simbol perkawinan, umur panjang, dan kebahagiaan
karena pohon persik berbunga setiap awal musim semi. Seluruh
daunnya tanggal dan hanya bunga yang menyelimuti pohon.
73 Hackney dalam Morgan, 2007: 116. 74 Wawancara dengan Kang Gong Kian, 3 Maret 2006 di Jakarta.
121
Bunga persik sering ditebarkan di depan pintu rumah untuk
mengusir roh jahat.
4. Pohon Jeruk
Buah jeruk merupakan buah istimewa bagi masyarakat
Tionghoa. Dalam acara lamaran pengantin, buah yang dibawa
sebagai hantaran adalah buah jeruk. Jeruk cinabar dipajang
disaat-saat perayaan tahun baru Imlek. Buah jeruk merupakan
simbol keabadian dan keberuntungan.75
Gb. 2.20: Rumah, kantor, tempat usaha, toko, memajang
pohon jeruk yang sarat buah pada hari raya Imlek. (Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)
5. Bunga Teratai
Bunga teratai merupakan bunga keramat bagi masyarakat
Tionghoa. Bunga ini simbol kesejahteraan dan anak banyak. Kaki
sang Budha menyentuh mahkota teratai, karenanya teratai
75 Morgan, 2007: 115.
122
dianggap bunga keramat. Teratai banyak dijadikan motif-motif
pada kain, porselen, dan pahatan logam ataupun kayu. Selain
teratai terdapat pula bunga peony (lou yang) yang disukai sebagai
lambang cinta dan kasih sayang serta bunga krisan sebagai simbol
keceriaan.76
Budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia sudah ratusan
tahun silam berkembang dan mengalami proses akulturasi dengan
budaya setempat, wilayah mereka tinggal, di Indonesia ini. Banyak
hal yang sesungguhnya telah diserap oleh masyarakat setempat
sehingga tidak lagi „terasa‟ bahwa hal itu asalnya dari Cina. Di
bidang kuliner, misalnya, seperti bakpau, kecap, tahu, dan bakmi.
Gaya corak batik wilayah pesisir pantai utara Jawa juga sangat
dipengaruhi oleh gambar-gambar khas Cina. Demikian pula
permainan rakyat seperti jailangkung. Pesta adat dan kepercayaan
telah berkembang dalam coraknya sendiri yang berbeda dari
negeri asalnya. Mereka mengajarkan cara budidaya pertanian
seperti menanam padi, mengolah gula tebu dengan memakai
penggilingan yang dijalankan sapi, pembuatan tembikar, dan
kerajinan keramik Tiongkok yang berkembang pesat di
Singkawang.77 Kaum pendatang dari Tiongkok sudah melebur
dalam kancah kehidupan masyarakat di Nusantara tanpa
pergolakan.
76 Morgan, 2007: 122. 77 Lombart, 1996: 250-253.
123
I. Masyarakat Tionghoa Peranakan di Jawa
Kaum peranakan yang merupakan keturunan kawin
campur antara pendatang Tionghoa Totok dengan masyarakat
setempat (umumnya lelaki Tionghoa menikahi perempuan
pribumi) merupakan kelompok masyarakat yang menerapkan dua
kebudayaan. Kebudayaan Tiongkok didapat dari garis ayah,
sedangkan kebudayaan pribumi didapat dari garis ibu.
Sebagaimana halnya di wilayah lain di Indonesia, terjadi alih
teknologi diberbagai bidang seperti pembuatan mie, pengolahan
berbagai masakan dan penganan, pertukangan, pertanian, dan
sebagainya. Keterampilan batik di Jawa diwarisi dari garis ibu
dipadukan dengan pengetahuan motif Tiongkok dari garis ayah
menjadikan corak batik dengan motif dan warna menawan.
Batik Tiga Negri istilah untuk corak batik di wilayah
Lasem, Rembang dan Cirebon menjadi sangat terkenal. Batik Tiga
Negri dengan motif yang memuat warna merah, biru dan soga.
Tiap batik Tiga Negri diwarnai ditiga daerah. Motif warna merah
diwarnai di Lasem, biru di Pekalongan atau Rembang, dan Soga di
Cirebon.78
Bentuk Esuk Sore yakni kain batik yang memiliki dua corak
bersebelahan, sehingga dapat dipakai pada dua kesempatan
dengan corak yang berbeda. Batik yang dibuat sebelum tahun
78 Lihat Kompas Minggu 11 Agustus 2013: 14.
124
1910 oleh pengusaha keturunan Cina memuat ragam hias
binatang dari mitologi Cina seperti naga, burung hong (phoenix),
dan singa. Setelah tahun 1910 batik Cina mengadopsi motif
bunga, dedaunan dan kupu-kupu dari batik Belanda.79
Gb. 2.21: Corak batik Lasem Tionghoa Peranakan
(Sumber foto: Anonim H, 2008)
Pada abad 18 komunitas Peranakan menjadi stabil, dalam
arti, para Tionghoa Totok pendatang dari daratan Tiongkok sudah
nyaris tidak ada sementara keturunan kawin campur (Tionghoa
Peranakan) menikah di antara komunitas mereka sendiri. Kaum
Tionghoa Peranakan dalam kesehariannya tidak lagi berbicara
dalam bahasa garis ayah tetapi cenderung berbicara dalam bahasa
setempat (bahasa dari garis ibu dalam hal ini Jawa). Peranakan
menjadi tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa dan hanya bisa
berbicara dengan bahasa daerah Indonesia.80 Di daerah pesisir
79 Lihat Kompas, Minggu 11 Agustus 2013: 14. 80 Suryadinata, 2002: 70.
125
utara Jawa, banyak etnis Tionghoa bermukim. Bahasa Melayu-
Pasar mulai berkembang sebagai Lingua Franca antar orang
Tionghoa. Bahasa ini kemudian Melayu yang tercampur istilah
Hokkian.81
Sistem pertalian keluarga ala Fujian digunakan dalam
masyarakat Tionghoa Peranakan dan sebutan–sebutan dalam
bahasa Hokkian pun digunakan dalam keluarga. Sebagai contoh,
entia (sebutan ayah), empek (sebutan kakak dari ayah, Jawa: pak
dhe), encik (paman adik dari ayah, Jawa: pak lik), encim (bibi, adik
ayah), engkim (bibi, adik ibu), engkong (kakek), enci atau tacie
(kakak perempuan), engkoh atau koh (kakak laki-laki), engso
(kakak ipar), engtia (ayah mertua), hiancay (menantu laki-laki),
siocia (nona), dan sebagainya.82 Adat istiadat Hokkian lama
kelamaan mulai berubah dan disesuaikan dengan keadaan di
Jawa seperti kutipan berikut ini.
Pakaian kaum Tionghoa-Peranakan merupakan kombinasi
antara unsur Jawa dan Tionghoa. Sampai akhir abad ke-19, kaum laki-laki peranakan masih memakai baju Cina panjang (tengsha) dan kopiah batok. Mereka masih
memakai kucir (tauwtjang) dan kalau menyapa mereka ber-soja (membungkuk tanda beri hormat). Sedangkan kaum
wanita peranakan memakai baju kurung atau kebaya. Mereka mengunyah sirih. Ketika menyapa, mereka
berjongkok seperti wanita pribumi.83
81 Suryadinata, 2002: 70. 81 Yuanzhi, 2005: 203-225. 82 Wawancara dengan Toni Harsono (Tok Hok Lay) 5 Agustus 2011 di
Gudo Jombang. 83 Tio Ie Soei dalam Suryadinata, 2002: 71.
126
Gb. 2.22: Keluarga Tionghoa Peranakan di Jawa.
(Sumber: Twang Peck Yang, foto repro: Hirwan Kuardhani)
Gb. 2.23: Sebuah Altar untuk sembahyang di keluarga Tionghoa
Peranakan. (Foto: Hirwan Kuardhani, koleksi pribadi)
Anak-anak kaum Tionghoa Peranakan dibesarkan secara
peranakan. Mereka mempertahankan nama keluarga Tionghoa,
makan makanan Tionghoa (termasuk daging babi), dan mereka
mempertahankan pemujaan pada leluhur dengan menyimpan
altar di rumah dan bersembahyang di kelentheng.84 Ketika
84 Suryadinata, 2002: 71.
127
mengadakan sembahyang hari wafat leluhur, ayah, ibu, atau
anggota keluarga lain, maka di meja sembahyang disediakan
empat macam sesajian yaitu pisang, nanas, kue mangkok, dan
sarikaya. Keempat makanan ini melambangkan harapan akan
nasib baik dan rezeki.85
J. Diskriminasi Rasial Terhadap Masyarakat Tionghoa
Peranakan
1. Jaman Belanda
Kedamaian irama hidup masyarakat Tionghoa yang telah
membaur dengan masyarakat setempat di berbagai wilayah
Nusantara kala itu menjadi terusik dengan kedatangan bangsa
Belanda. Belanda awalnya datang ke Nusantara untuk mencari
rempah-rempah dan berdagang. VOC adalah perusahaan dagang
Belanda yang mendirikan kantor (nassau) di Batavia. Seiring
dengan semakin ramainya perdagangan di Batavia, banyak budak
didatangkan di kota tersebut dari beberapa negara salah satunya
Tiongkok. Kaum Tionghoa menjadi budak diberbagai proyek
Belanda seperti pembangunan kanal, tembok kota, dan
sebagainya. Para warga Tionghoa yang sudah lama menetap di
Batavia dan sekitarnya berprofesi sebagai pedagang, petani,
tukang, dan lain-lain berbaur dengan pendatang baru dari
Tiongkok yang menjadi budak dan buruh kasar Belanda. Akhirnya
85 Dananjaya, 2007: 382.
128
komunitas Tionghoa kian banyak, Belanda kemudian menerapkan
pajak kepala dan kebijakan sistem Opsir (kapitan Tionghoa),
sistem pemukiman, dan pas jalan. Kebijakan tersebut membuat
batas pemisah yang jelas antara kaum Tionghoa Peranakan
dengan penduduk setempat.86
a. Sistem Kapitan Tionghoa (Sistem Opsir)
Jan Pieterzoon Coen ketika menaklukkan Jayakarta
memanfaatkan orang-orang Tionghoa sebagai buruh dan
pedagang. Orang Tionghoa ditempatkan jauh dari pribumi. Untuk
menguasai mereka, Coen menunjuk seorang Tionghoa kaya Souw
Beng Kong untuk menjadi kapitan Cina.87 Kapitan dalam hal ini
tidak terkait dengan urusan militer, melainkan sebuah gelar yang
diberikan kepada kepala kelompok ras. Seorang kapitan diberi
kekuasaan untuk mengatur urusan kelompok rasnya oleh
pemerintah kolonial. Urusan tersebut berupa penarikan pajak
kepala, izin menetap atau menikah, agama, dan adat istiadat.
Kapitan diharapkan mampu menyelesaikan pertikaian di dalam
kelompoknya sesuai hukum adat.
Orang Belanda menerapkan system ini kepada masyarakat Tionghoa di Batavia. Pada tahun 1618, Souw Beng Kong
terpilih oleh Coen dari 400 penduduk Tionghoa yang bermukim di Batavia dan diberikan kuasa untuk
86 G. William Skinner, “Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Cina
Indonesia dan Muangthai” dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara (Jakarta: Pustaka Utama
Grafika, 1991), 306. 87 Suryadinata, (ed), 2002: 73.
129
memerintah rasnya dalam urusan sipil. Namun hal-hal yang penting masih harus diserahkan kepada penguasa
Belanda.88
Pada perkembangannya emigran Tiongkok semakin
banyak, masyarakat peranakan semakin bertambah kemudian
kapitan Cina akhirnya dilengkapi dengan letnan dan mayor.
Sistem opsir ini dianggap sudah lengkap. Penunjukan opsir-opsir
Cina pada mulanya berdasarkan kedudukannya dalam
masyarakat Tionghoa, tetapi pada akhirnya situasi berubah.
Menurut Ong Tae Hai, pedagang yang kaya raya dan big dealers
telah mengumpulkan banyak kekayaan. Karena itu mereka
menyuap orang Belanda supaya bisa ditunjuk sebagai kapitan,
letnan, boedelmeester dan titel-titel lainnya.89
Opsir Tionghoa ini sesungguhnya tidak digaji. Para opsir
tersebut adalah para pedagang yang memanfaatkan posisinya
untuk memperbaiki bisnis mereka. Para kapitan bekerja di kantor
yang bernama Kong Koan (Gong Guan), mereka berfungsi sebagai
administrator. Tugas mereka salah satunya menjelaskan
peraturan pemerintah kolonial kepada kaum Tionghoa dan
melaksanakan pemungutan pajak atas orang-orang Tionghoa.90
Pada gilirannya kekuasaan para opsir dianggap menjadi
bumerang bagi Belanda. Belanda merasa kewalahan dalam
88 Hoetink, dalam Suryadinata, (ed), 2002: 74 89 Ong Tae Hai dalam Suryadinata, (ed), 2002: 75. 90 Suryadinata, (ed), 2002: 74.
130
mengontrol para opsir. Hal ini yang menjadi pemicu terjadinya
peristiwa pembantaian massal tahun 1740 dan dikenal sebagai
Tragedi Berdarah Angke.91 Tragedi ini bermula dari peraturan izin
tinggal dan pajak kepala yang diberlakukan bagi etnis Tionghoa di
Batavia. Peraturan tersebut membuat warga Tionghoa keberatan
dan banyak yang menentang. Hal ini dijadikan alasan oleh
Belanda untuk selalu mengawasi dan memeriksa kepemilikan izin
tinggal. Tanggal 25 Juli 1740 diberlakukan resolusi berupa
penangkapan warga Tionghoa yang dianggap mencurigakan, baik
mereka yang sudah memiliki izin tinggal maupun yang belum
memiliki izin tinggal. Bagi mereka (warga Tionghoa) yang tidak
bisa membuktikan dirinya memiliki pekerjaan tetap akan dibuang
ke Srilangka. Warga Tionghoa yang terus menerus terdesak dan
banyak yang ditangkap karena dianggap mencurigakan mulai
mengadakan perlawanan di bawah pimpinan Wang Tai Pan dan
Wang Pan Kuan.92 Pasca perlawanan warga Tionghoa terhadap
Belanda, keluarlah maklumat bagi warga Tionghoa yang tinggal di
Batavia.93 Pertama, dilarang masuk kota dan membawa keluar
wanita Tionghoa untuk mengungsi. Kedua, warga Tionghoa yang
menolak menyerahkan senjata atau melawan pejabat hukum dan
melawan pasukan luar benteng kota akan ditembak. Ketiga, mulai
91 Wijayakusuma, 2005: 93. 92 Wijayakusuma, 2005: 94. 93 Wijayakusuma, 2005: 97.
131
jam 18.30 warga Tionghoa harus berada dalam rumah tanpa
menyalakan lampu, jika ada yang keluar rumah akan ditembak.
Berbagai berita dan isu yang saling dilontarkan
menyebabkan suasana chaos hingga akhirnya terjadi sebuah
kebakaran di perkampungan etnis Tionghoa. Hal ini merupakan
pemicu kerusuhan yang berakibat terjadinya pembantaian massal.
Belanda mengerahkan tentara, buruh-buruh pribumi, dan budak
kulit hitam untuk melakukan penjarahan dan pembantaian di
perkampungan etnis Tionghoa. Keesokan harinya pada pukul
09.00 tanggal 10 Oktober 1740, pembunuhan massal belum
mereda bahkan semakin mengerikan. Gubernur Jenderal
Valckenier menginstruksikan kepada kompeni untuk
mengumpulkan warga Tionghoa yang tersisa, termasuk yang ada
di penjara dan rumah sakit. Setelah itu ia kembali memberikan
perintah kepada kompeni dan para budak untuk membunuh
mereka semua. Dikabarkan saat itu Valckenier menjanjikan
hadiah dua dukat per kepala warga etnis Tionghoa yang berhasil
dipancung.94 Pasca terjadinya Tragedi Angke, kondisi
perekonomian di Batavia menjadi hancur karena sesungguhnya
warga Tionghoa-lah penggerak roda perekonomian kota Batavia.
Hal ini sangat merugikan Belanda sehingga mengeluarkan
instruksi untuk memberikan pengampunan kepada warga
94 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Perguruan
Kementerian P & K, 1955), 50.
132
Tionghoa yang tersisa dan peraturan surat izin tinggal dihapus.
Warga Tionghoa yang tersisa ditempatkan di wilayah baru yakni
Dietspoort (sekarang bernama Glodog). Belanda menempatkan
sejumlah serdadu guna menjaga agar tidak terulang lagi peristiwa
Tragedi Angke. Warga Tionghoa yang selamat dari pembantaian
tersebut berjumlah sekitar 3.431 jiwa yang terdiri dari 1.442
pedagang, 935 petani, 728 pekerja perkebunan tebu dan
perkayuan, dan 336 tukang kayu dan tukang batu.95 Pada abad
ke-20 sistem opsir pada akhirnya dihapuskan karena dianggap
sudah tidak berguna. Opsir-opsir Tionghoa dianggap simbol
kepentingan Belanda.
b. Sistem Pemukiman
Sistem pemukiman ini diterapkan pada tahun 1835 di
Pulau Jawa. Peraturannya berbunyi: „Orang Timur asing yang
merupakan penduduk Hindia Belanda sedapat mungkin
dikumpulkan di daerah-daerah terpisah di bawah pimpinan kepala
masing-masing. Pada tahun 1866 peraturan tersebut diubah.
Pejabat setempat diberikan kekuasaan untuk tidak melaksanakan
peraturan tersebut jika dipandang tidak perlu. Hal ini berubah lagi
pada akhir abad ke-19. Gubernur Jenderal Belanda memberi
instruksi bahwa sistem pemukiman harus dijalankan dengan
95 Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A History of
Chinese Establishment in Colonial Society (Jakarta: Jambatan, 1996), 16.
133
ketat.96 Penerapan peraturan ini menyebabkan warga Tionghoa
Peranakan yang dahulunya sudah membaur lebur dalam
masyarakat setempat menjadi terkucilkan. Kebijakan tersebut
dimaksudkan oleh Belanda untuk memudahkan kontrol atas
kaum Tionghoa Peranakan. Identitas mereka sebagai warga
Tionghoa lebih jelas terlihat.97
Pemisahan warga Tionghoa Peranakan dipertebal dengan
kebijakan daerah tinggal dalam kategori ras (sistem ras). Kategori
pertama, warga Eropa termasuk Belanda. Kategori kedua adalah
warga yang disamakan dengan warga Eropa. Kategori ketiga, para
pribumi Indonesia. Kategori keempat adalah warga Tionghoa
Peranakan dan orang Asia lainnya. Kebijakan inilah salah satu
faktor yang membuat warga Tionghoa menjadi warga eksklusif dan
seolah-olah tidak mau berbaur dengan penduduk setempat.98
c. Peraturan Pas Jalan
Peraturan adanya pas jalan mewajibkan warga Tionghoa
yang bermukim di sebuah wilayah baru boleh meninggalkan
tempatnya jika mempunyai pas jalan (passenstelsel).99 Pas jalan
secara resmi diberlakukan pada tahun 1863. Peraturan pas jalan
ini diberikan oleh Belanda untuk perdagangan dan industri atau
96 William dalam Suryadinata, (ed), 2002: 75-76. 97 Skiner dalam Mackie, 1991: 305. Periksa Witanto, 2001: 200-203. 98 Skiner dalam Mackie, 1991: 306. Periksa Witanto, 2001: 197. 99 Pas jalan merupakan surat jalan atau keterangan perjalanan
berbentuk kartu atau lembaran kertas. Lihat Gb. 2.32 a,b,c,d, pada hal 155.
134
usaha lain yang berguna, namun pas jalan dapat dicabut jika
dipandang mengganggu stabilitas keamanan. Hal ini
sesungguhnya untuk pengawasan lebih ketat oleh Belanda
terhadap kegiatan warga Tionghoa. Warga Tionghoa sampai-
sampai harus membawa pas jalan setiap kali meninggalkan
rumah.100
Sistem Kapitan, sistem pemukiman, sistem pas jalan, dan
sistem status ras yang diterapkan oleh Belanda pada warga
Tionghoa sesungguhnya upaya pemecahbelahan sendi kehidupan
bermasyarakat. Dahulu pada abad ke-15 dan ke-16, para
perantau Tionghoa pun telah mendiami wilayah pecinan yakni
sebuah wilayah tempat para pendatang Tiongkok dan
keturunannya (Tionghoa Peranakan) tinggal di kota-kota niaga tepi
pantai. Namun, interaksi komunitas Tionghoa dengan warga
setempat, dengan Keraton Majapahit, bahkan dengan Negara
Tiongkok terjalin dengan baik dan tidak ada peraturan-peraturan
yang bersifat pengekangan. Wilayah Pecinan kala itu benar-benar
sebuah wilayah tinggal bagi pendatang Tiongkok untuk
memudahkan koordinasi antar sesamanya tanpa bermaksud
eksklusif.
Upaya Belanda inilah yang sesungguhnya menjadi embrio
bagi sistem-sistem pembatasan dan pengekangan warga Tionghoa
100 Suryadinata, (ed), 2002: 76.
135
bahkan berabad-abad setelahnya. Belanda sadar betul bahwa
persatuan dua kelompok ras atau lebih akan membahayakan
kedudukan Belanda seperti bersatunya warga Tionghoa dengan
Jawa. Jika terjadi pemberontakan akan sulit mengatasinya. Hal ini
pernah terjadi ketika sisa-sisa warga Tionghoa lari dari Tragedi
Angke ke Jawa Tengah. Orang-orang Tionghoa bersatu dengan
pasukan Raden Mas Garendi di Surakarta dan bersama-sama
melawan Belanda terlihat pada kutipan berikut.
Pasukan Raden Mas Garendi kemudian bergabung dengan
kawanan etnis Tionghoa Batavia yang ada di Semarang. Selain pasukan Raden Mas Garendi, terdapat pula pasukan lainnya seperti pasukan Mangkuyuda di Bojong,
Mangkubraja di Pakojan, dan Wirasastra di Kaligawe. Diperkirakan terdapat 20 ribu orang pasukan etnis Jawa dibawah pimpinan 20 tumenggung serta sekitar 3500 orang
etnis Tionghoa.101
Perlawanan Raden Mas Garendi bersama dengan pasukan
etnis Tionghoa berhasil merepotkan Belanda meski pada akhirnya
Belanda dapat mengatasinya. Belanda terpaksa mengerahkan
pasukan yang besar dan berhasil menangkap Raden Mas Garendi
kemudian membuangnya ke Srilangka.102 Upaya Belanda untuk
melakukan pemecahbelahan kerukunan masyarakat, utamanya
etnis Tionghoa, dilakukan dengan berbagai cara. Selain cara-cara
yang telah ditempuh seperti tersebut di atas, kemudian diterbitkan
Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang melarang etnis Tionghoa
101 Wijayakusuma, 2005: 148. 102 Wijayakusuma, 2005: 153. Periksa Witanto, 2002: 201-202.
136
menjadi petani sehingga warga Tionghoa hanya diperbolehkan
menjadi pedagang perantara.103 Dampak dari aturan ini, jika masa
sebelumnya pendatang Tiongkok dan Tionghoa Peranakan
sebagian membaur dalam kancah masyarakat petani, karena tidak
semua pendatang Tionghoa adalah pedagang kemudian direnggut
untuk keluar dari kehidupan pertanian dan hanya bekerja sebagai
pedagang perantara. Aktivitas sebagai pedagang perantara
memaksa mereka harus tinggal di kota-kota. Di samping sebagai
pedagang perantara, banyak pula warga Tionghoa berdagang
keliling dari rumah ke rumah menjajakan berbagai dagangan
bahkan sampai ke desa-desa. Profesi dagang mereka bermacam-
macam, misalnya, tukang sutra adalah pedagang kain sutra
keliling dengan cara bayar tunai atau dikredit dan tukang
kelontong adalah pedagang keliling menjajakan bermacam-macam
kebutuhan. Ketika menjajakan dagangan alat bunyi kelonthong
dibunyikan „klonthong...klonthong…klonthong….‟ sehingga disebut
tukang kelontong.
103 Wijayakusuma, 2005: 164.
137
Gb. 2.24: Alat kelonthong para pedagang kelontong.
(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen 1821-1905, koleksi Priyombodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.25: Tukang kelontong di Batavia.
(Sumber foto: Isidore van Kinsbergen1821-1905 koleksi
Priyambodo Prayitno, 2009)
138
Gb. 2.26: Seorang pedagang sutra Tionghoa Peranakan, kain sutra
Cina merupakan kain mewah yang digandrungi para wanita.
Pedagang ini menjual kainnya dari rumah ke rumah. (Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.27: Tukang sepatu (toekang tambel sepatu)
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
139
Gb. 2.28: Tukang patri keliling Tionghoa Peranakan
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Gb. 2.29: Tukang patri Tionghoa dengan asisten orang Jawa.
(Sumber foto: Priyambodo Prayitno, 2009)
Belanda mendirikan Hollands Chines School (HCS). Sekolah
Belanda yang khusus diperuntukkan bagi warga etnis Tionghoa.
Hal seperti ini sesungguhnya memicu rasa tidak suka warga
setempat terhadap etnis Tionghoa. Sekolah bagi warga pribumi
masih merupakan barang mewah, hanya orang-orang tertentu dari
140
golongan bangsawan dan pamong praja yang dapat menikmati,
sementara Belanda justru menyediakannya bagi warga Tionghoa.
2. Jaman Jepang
Periode penjajahan Jepang merupakan periode terburuk di
tanah Nusantara. Para penduduk Tionghoa pun mengalami
penderitaan yang sama dengan penduduk asli lainnya. Pada saat
itu tindak kekerasan oleh Jepang secara fisik dan mental dialami
oleh warga Tionghoa. Aksi kekerasan terhadap Tionghoa muncul
dalam berbagai manifestasi, antara lain, perampokan,
pembunuhan, dan pemerkosaan. Terdapat juga kekerasan dalam
bentuk lain yakni „sunat paksa‟ yang terjadi di berbagai daerah
seperti Bekasi, Kudus, pantai utara Jawa Tengah, Jombang, dan
Kediri.104 Di luar Jawa aksi serupa juga berlangsung dalam skala
yang lebih hebat, namun dengan alasan yang berbeda. Lelaki
dewasa Tionghoa di daerah Kandangan (Kalimantan Selatan)
akhirnya melakukan gerakan „sunat sukarela‟ agar tidak diganggu
Jepang.105 Pada saat yang sama dilaporkan pula terjadinya
pemerkosaan wanita Tionghoa, seperti di Bekasi (50 orang) dan di
pantai utara Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat penyanderaan
yang dilakukan oleh gerombolan perampok. Puncak kekerasan
104 Pakpahan, 1261 Hari di Bawah Matahari Terbit (Jakarata: Marisan
Jaya, 1979), 39. Periksa Yang, 1987: 46. 105 Soemarno Sosroatmodjo, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (Jakarta:
Gunung Agung, 1981), 249.
141
adalah terbunuhnya orang-orang Tionghoa, misalnya, di Kudus,
Bekasi, Jombang, dan Aceh.106
Orang Tionghoa di Jawa Barat pada akhirnya mengambil
cara „membeli keamanan‟ dengan jalan membayar perampok
untuk menjaga harta bendanya. Kesetiaan mereka tertuju pada
mereka yang mampu memberikan jaminan keamanan.
Saat-saat dimana „law and order’ absen, adalah periode yang mengerikan bagi „middleman minority‟ yakni di masa penjajahan Jepang (1942-1945). Periode ini memberikan
banyak contoh, bagaimana „jaminan keamanan‟ bisa mengalihkan loyalitas „middleman minority’, bahkan
terhadap musuh besarnya sekalipun, selama mereka mampu menyediakan keamanan. Pada saat-saat kedatangan bala tentara Jepang (Maret 1942), aparat
keamanan kolonial tiba-tiba menghilang, mereposisikan Tionghoa dari „middlemen minority‟ menjadi „defenceless minority‟ (minoritas tanpa perlindungan).107
Pada saat itu diadakan pendaftaran bangsa asing (Undang-
Undang No. 7 th 1942). Orang Tionghoa lelaki membayar f. 100
dan wanita f. 50 (boleh dicicil). Dengan membayar biaya tersebut,
mereka akan mendapat kartu identitas dan „keamanannya akan
dijamin Dai Nippon‟. Kartu identitas inilah yang merupakan cikal
bakal SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)
yang menyulitkan warga Tionghoa Peranakan kelak ketika
Indonesia sudah merdeka.
106 Yang, 1987: 44. 107 Didi Kwartanada, “Tionghoa Dalam Dinamika Sejarah Indonesia
Modern Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan” (Leiden: Diskusi Terbuka Sapu
Lidi, 5 Juni 2004), 5.
142
Tindakan lain yang dilakukan orang-orang Tionghoa untuk
mendapat keamanan adalah menyuplai perempuan penghibur
(jugun ianfu) kepada tentara Jepang. Motivasi mereka melakukan
hal itu demi „menjilat‟ Jepang untuk mencari selamat. Menurut
pengakuan Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dalam memori
mereka, penguasa Jepang sering memberi perintah kepada
pemimpin Hua Ch’iao Tsung Hui (HCTH), organisasi Tionghoa
jaman Jepang, untuk menyuplai jugun ianfu. Sebagai akibatnya,
beberapa orang Tionghoa tewas dalam pemberontakan legendaris
yang dipimpin Supriyadi.108
Orang Tionghoa jaman Jepang juga diharuskan memiliki
pas jalan jika ingin bepergian ke luar kota untuk berbagai
keperluan seperti misalnya berdagang. Banyak pedagang keliling
yang mengurus surat jalan untuk melancarkan pekerjaannya.
Surat jalan tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan minoritas
asing, seperti Tionghoa dan Indo, karena mereka dicurigai oleh
Jepang. Surat ini diperlukan untuk seorang pedagang Tionghoa
yang hendak bepergian ke luar kota. Hua Chiao Chung Hui (HCCH)
atau bahasa Jepangnya Kakyo Sokai adalah satu-satunya
organisasi Tionghoa yang diperbolehkan eksis pada zaman yang
108 Didi Kwartanada, “Golongan Tionghoa dan Fasisme Jepang: Jawa
1942-1945“ dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa
(Yogyakarta: Kanisius-Realino, 1997), 34. Periksa Pakpahan, 1987: 138.
143
sangat menindas tersebut.109 Gambar di bawah merupakan contoh
pas jalan.
2.30a
2.30b
2.30c
109 Kwartanada, 2004: 1.
144
2.30d
Gb. 2.30a, b, c, d: gambar di atas merupakan surat jalan yang diterbitkan oleh Bogor Syuu Hua Chiao Chung Hui untuk
keperluan seorang pedagang kue yang bertempat tinggal di jalan Minami Bandoori. Pedagang tersebut hendak bepergian ke Jakarta,
Bandung, dan Tasikmalaya satu bulan lamanya. Tertanggal 23 Djoegatsu 2603. Menggunakan penanggalan Jepang (Kalender Showa). Jika diterjemahkan dalam penanggalan Masehi adalah: 23
Januari 1943. Surat Jalan dilengkapi tanda tangan ketua dan cap dalam huruf kanji.
(Foto koleksi: Neneng Usman, 2009)
Di masa penjajahan Jepang, pengangguran merupakan
masalah sosial yang utama dan baru bagi kalangan Tionghoa.
Ditutupnya beberapa perusahaan Belanda dan melemahnya sektor
bisnis menjadikan kaum Tionghoa kehilangan pekerjaan terutama
yang bergerak di bidang nonbisnis. Ratusan pengungsi di kota-
kota mendapat bantuan dari organisasi Tionghoa. Banyak
pengungsian memadati sekolah-sekolah dan tempat peribadatan.
Mereka akhirnya mengelola usaha-usaha perdagangan di kios-kios
kecil untuk menyambung hidup. Di samping itu banyak pula yang
menyelundupkan barang-barang dagangan kebutuhan sehari-hari.
Pada jaman pendudukan Jepang, kebudayaan Tionghoa justru
tidak seburuk nasibnya dibandingkan dengan sektor lain seperti
145
ekonomi, politik, dan sosial. Masa pendudukan Jepang di
Nusantara diwarnai dengan berbagai usaha „resinifikasi’
(pencinaan kembali). Peranakan Tionghoa dianggap sudah terlalu
banyak dipengaruhi kebudayaan Barat.110 Karena itu, Jepang
mendorong kaum Peranakan Tionghoa untuk belajar bahasa
Tionghoa dan juga menghidupkan kembali berbagai bentuk
budaya Tionghoa. Jepang pun menjadikan hari raya Imlek 1943
sebagai hari libur resmi berdasarkan keputusan Osamu Seirei No.
26 tanggal 1 Agustus 1942.111 Inilah pertama kali dalam sejarah
Tionghoa di Indonesia, Imlek menjadi hari libur resmi.
Hal menarik lain seiring keputusan Osamu Seirei No. 26
tanggal 1 Agustus 1942 adalah diperintahkannya rakyat
Yogyakarta tanpa terkecuali untuk mengibarkan bendera Jepang
pada hari raya Imlek. Seorang propagandis Tionghoa menyebut
saat itu sebagai perayaan tahun baru Imlek pertama dalam
suasana baru.112 Musik tradisional Tionghoa diizinkan untuk
dimainkan di stasiun radio milik pemerintah, padahal di jaman
Belanda tidak ada kesempatan seperti itu. Acara kesenian
tradisonal seperti Barongsay seringkali ditampilkan dalam acara-
acara resmi pada jaman Jepang. Demikian pula pertunjukan
teater boneka Potehi diizinkan tampil secara leluasa. Sebuah
110 Kwartanada, 1997: 306-311. 111 Kwartanada, 2004: 4. 112 Tjeng dalam Kwartanada, 2004: 6.
146
ironisme di jaman Jepang bahwa Jepang yang dianggap sebagai
musuh besar kaum Tionghoa, namun justru Jepang pula yang
bertindak sebagai pihak dalam membangkitkan kembali aktivitas
budaya Tionghoa.
Gb. 2.31: Kaum Tionghoa Peranakan sedang bermain musik.
(Sumber foto: Anonim J, 2010)
3. Masa Kemerdekaan dan Jaman Orde Lama
Di masa awal revolusi, pemerintah RI juga mengizinkan
perayaan hari raya Tionghoa. Misalnya Presiden Soekarno
mengeluarkan maklumat supaya kantor pemerintah mengibarkan
bendera nasional Republik Tiongkok disamping Sang Merah Putih
pada setiap perayaan hari lahirnya Republik Tiongkok. Demikian
juga orang Tionghoa „boleh mengibarkan bendera kebangsaan
Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa‟. Seperti juga di
jaman Jepang, Imlek dijadikan hari libur resmi. Dalam tahun
ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi
147
Konghucu, dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi.113 Beberapa
orang Tionghoa yang ikut aktif dalam perjuangan kemerdekaan
bersama para nasionalis sejak tahun 1930 misalnya Lim Koen
Hian, dan kawan-kawan dalam partai Tionghoa Indonesia. Banyak
orang Tionghoa bersedia memandang diri mereka sebagai bagian
dari bangsa Indonesia termasuk pimpinan Baperki, Siauw Giok
Thjan.114 Namun, hubungan yang „rumit‟ antara Republik
Indonesia, pemerintah di Taiwan, dan Republik Rakyat Tiongkok
memperlambat proses tersebut.
Pada masa Presiden Soekarno pun terdapat peristiwa
rasialis terhadap masyarakat Tionghoa. Hal ini bermula dari
Kongres Importir Nasional. Pada tanggal 19 Maret 1956
dilangsungkan Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di
Surabaya. Dalam kesempatan itu Asaat Datuk Mudo, mantan
pejabat presiden Republik Indonesia, berorasi bahwa orang-orang
Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan
tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut
berdagang. Sebagai penutup Asaat berkata bahwa ia percaya pada
masa itu diperlukan perlindungan khusus di bidang ekonomi bagi
warga negara Indonesia asli. Pidato ini menjadi awal „gerakan
Asaat‟ atau „pribumisasi‟ yang dinilai berpengaruh besar pada
113 Kwartanada, 1997: 485. 114 Gungwu dalam Wibowo, (ed), 2001: 24.
148
„gerakan anti Cina‟ selanjutnya.115 Diterapkan politik benteng yaitu
Tionghoa dilarang membuat perusahaan kalau tidak ada saham
dari etnis lain. Hal ini salah satu kebijakan rasialis pada jaman
Soekarno.116
Dilihat dari fakta yang terjadi di lapangan, pada era 1950-
an hampir semua toko di Indonesia memang dimiliki pengusaha
keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan,
hingga toko makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya
Betawi, Alwi Shahab, yang menyatakan bahwa pada masa
mudanya di daerah Kwitang merupakan pusat perekonomian di
Jakarta. Masyarakat betul-betul bergantung pada pengusaha
keturunan Tionghoa.
Di Jakarta, sampai akhir 1950-an warga Cina memiliki
toko-toko besar dan kecil di pasar-pasar. Termasuk pedagang keliling berupa tukang kelontong yang dipikul oleh kulinya. Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa
yang tinggal di kampung-kampung Selam (Islam), setelah mereka dibolehkan pindah dari Cina Town Glodok. Dalam
berhitung mereka menggunakan sipoa yang tidak kalah cepatnya dalam menghitung dengan para pedagang
sekarang yang gunakan kalkulator.117
Pada bulan November 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 dan
ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero
115 Tjung Ju Lan, „Empat Masa Persoalan Cina‟ dalam Majalah Tempo,
Edisi 13, 19 Agustus 2007. 116 Gusti Lesek & Sotyati, “Mereka Hilang Entah Kemana“ dalam
Pembaruan Indonesia Media, 3 Maret 2008. 117 Wawancara dengan Alwi Shahab, 30 September 2009 di Jakarta.
149
yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Nopember 1959
oleh Menteri Muda Kehakiman Sahardjo. Peraturan Pemerintah
tersebut berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang
perdagangan eceran ditingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu
kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga
negara Indonesia. Mereka diharuskan menutup perdagangannya
sampai batas 1 Januari 1960.118 Peraturan ini sebetulnya
dimaksudkan terhadap orang Tionghoa WNA (Warga Negara
Asing/RR Cina). Namun pada kenyataanya, PP tersebut berimbas
pada semua orang Tionghoa baik WNA maupun WNI. Tidak jelas
apakah seluruh keturunan Cina selain WNA dilarang berdagang
dan bermukim di pedesaan karena Pangdam Siliwangi Kolonel
Kosasih pun memaksa mereka pindah.119 Penerapannya memakan
korban jiwa yang dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak.120 Di
Yogyakarta, para Tionghoa berduyun-duyun keluar dari pedesaan
dan menetap di kampung-kampung kota Yogya. Di Kalimantan
Barat terjadi pembantaian, pengusiran, dan penjarahan harta
benda orang-orang Tionghoa. Akibat PP No. 10/1959, terjadi
eksodus besar-besaran, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri
leluhur. Karena itu, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok sengaja
mengirimkan sebuah kapal untuk mengangkut mereka ke daratan
118 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95. 119 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006. 120 Periksa majalah Tempo, Edisi 13, tanggal 19 Agustus 2007: 94-95.
150
Cina. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRT ini baru
dapat diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan
PM Cho En Lai dari Republik Rakyat Tiongkok datang ke
Jakarta.121
4. Masa Orde Baru
Runtuhnya pemerintahan Soekarno dan diganti oleh
Soeharto dengan landasan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas
Maret) menyebabkan berganti pula sebuah era yaitu Orde lama
diganti dengan Orde Baru. Keruntuhan Orde Lama rupanya ikut
memperparah runtuhnya kegiatan budaya masyarakat etnis
Tionghoa Peranakan di Indonesia. Kegiatan kebudayaan
masyarakat Tionghoa Peranakan yang telah berabad-abad
dilakukan, membaur, dan berakulturasi secara harmonis
mendadak dihentikan. Segera setelah Soeharto memegang tampuk
kekuasaan di republik ini, berbagai aturan dan pelarangan
diberlakukan. Pasca pemberontakan G30S/PKI tahun 1965
Republik Rakyat Tiongkok dicurigai sebagai penyokong gerakan
makar tersebut. Alasan lain adalah agar upaya asimilasi orang-
orang Tionghoa di Indonesia dan keturunannya (Tionghoa
peranakan) dapat berlangsung dengan cepat untuk itu harus
diputus hubungannya dengan seluk beluk negeri Tiongkok.
Dikeluarkanlah Inpres No. 14 Tahun 1967, Surat Edaran
121 Periksa Republika, Sabtu, 23 September 2006.
151
Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, dan Keputusan
Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.
Diberlakukan „anjuran‟ bahwa WNI keturunan yang masih
menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama
Indonesia sebagai upaya asimilasi. Nama Tionghoa biasanya terdiri
dari tiga suku kata seperti telah dijelaskan di bagian depan. Warga
Tionghoa Peranakan yang kemudian disebut WNI Keturunan
diwajibkan berganti nama atau setidaknya memiliki nama yang
bernuansa Indonesia dan bukan nama Tiongkok seperti Eka Tjipta
Widjaja, Prayoga Pangestu, Tommy Winata. Kadangkala, untuk
mencari aman, Tionghoa yang putih sipit diberi nama Tugimin,
Suratman, Kamijo dan sebagainya. Nama yang bernuansa sangat
Jawa dan ndeso.122 Hal ini banyak dijumpai di kalangan
masyarakat Tionghoa etnis Teowchiu dan Hakka (Kek) di
Kalimantan Barat. Bagi warga Tionghoa yang tinggal di kota
menyiasati nama Indonesia-nya dengan mengambil sebagian suku
kata nama aslinya, seperti, Tan Guan Bun beralih nama Indonesia
menjadi Tanjung Guana dan lain sebagainya.
Hal yang sesungguhya terkesan apriori dan diskriminatif
sampai nama-nama rumah ibadah (kelentheng) harus diganti
dengan nama yang bukan Tiongkok. Nama kelentheng lebih sering
122 Di Pontianak banyak ditemui nama Jawa untuk nama nasional orang
Cina, sebagai contoh ipar adik penulis bernama Tugimin nama Cina-nya A
Cung.
152
diganti dengan nama bernuansa bahasa Sansekerta, sebuah
bahasa yang sesungguhnya pun asing dan bukan asli Indonesia.
Selain itu, pelarangan bagi warga Tionghoa Peranakan (WNI
Keturunan) untuk bersekolah di sekolah asing dan pembatalan
pengakuan agama Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia.
Hal ini berdampak masyarakat Tionghoa yang memeluk agama
Kong Hu Cu pindah ke agama lain yang diizinkan dan sekolah-
sekolah Tionghoa ditutup. Adapun isi Inpres No. 14 Tahun 1967
adalah sebagai berikut.
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO.14 TAHUN 1967
TENTANG AGAMA KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA
KAMI PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
Bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psycologis,
mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada
proporsi yang wajar.
Mengingat:
1. Undang-undang Dasar 1945 pasal 4 ayat 1, dan pasal 29 2. Ketetapan MPRS No XXVII/MPRS/1966 Bab III pasal 7, dan
penjelasan pasal 1 ayat (a)
3. Penjelasan Presidium Kabinet no.3/ U/IN/6/1967 4. Keputusan Presiden 171 tahun 1967.jo.163 tahun 1966
Menginstruksikan kepada: 1. Menteri Agama 2. Menteri Dalam Negeri
3. Segenap Badan Badan dan Alat Pemerintah di Pusat dan Daerah.
153
Untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina sebagai berikut:
PERTAMA:
Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan
menunaikan ibadatnya, tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam
hubungan keluarga atau perorangan.
KEDUA:
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina
dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
KETIGA:
Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM)
KEEMPAT:
Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri
bersama-sama Jaksa Agung.
KELIMA:
Instruksi ini berlaku pada hari ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 desember 1967 PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO Jenderal TNI
154
Dengan landasan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967
tersebut, segala aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia yang
berkaitan dengan kebudayaan bagaikan ditebas. Semua aspek
kegiatan budaya baik kesenian, ritual keagamaan, upacara adat,
dan perayaan hari besar dan keagamaan benar-benar „dipasung‟.
Pertunjukan teater boneka Potehi pun mengalami masa suram dan
pelarangan pentas untuk publik. Pemerintah melarang adanya
pementasan teater boneka Potehi untuk umum secara terang-
terangan. Pentas hanya diperbolehkan dilaksanakan di dalam
kelentheng tanpa menggunakan pengeras suara. Perizinan bagi
perayaan di dalam kelentheng yang akan dipergelarkan
pertunjukan Potehi sering dipersulit seperti yang dialami Thio
Tiong Gie pada pentas di awal tahun 1967. Usai pentas seperti
biasa Thio Tiong Gie mendapat angpao (amplop merah) dari para
penggemarnya. Angpao dalam tradisi Tionghoa adalah amplop
merah berisi uang hadiah. Di dalam salah satu angpao yang
dibuka Thio ada surat yang isinya pendek „Besok pagi harap
datang ke kantor Kodim‟ sebuah kalimat yang membuatnya
gelisah. Keesokan harinya Thio segera menghadap ke Kodim dan
di sana ia diinterogasi. Ada dua pertanyaan yang ditekankan
pejabat Kodim. Pertama, soal bahasa yang dipakai dalam pentas
Potehi. Kedua, gambar bunga yang terdapat pada sebuah kain
yang dipakai sebagai properti pentas. Menurut jawaban Thio
155
bahwa bahasa dalam Potehi menggunakan bahasa Indonesia
sebagai kelanjutan dahulu bahasa Melayu Rendah atau Melayu
Pasar. Hanya saja pada bagian tertentu sepert nyanyian dan sulian
pek masih memakai bahasa Tiongkok. Untuk gambar bunga
sesungguhnya adalah gambar bunga cung hwe simbol dari
kelanggengan. Bunga cung hwee dipandang oleh pejabat Kodim
sebagai bunga teratai yang merupakan lambang organisasi
Baperki, sebuah organisasi yang dianggap pemerintah Orde Baru
dekat dengan PKI. Akhirnya pentas tahun 1967 tersebut
merupakan pentas terakhir bagi Thio di depan umum selama
masa Orde Baru.123 Perihal pembatasan pentas dialami pula oleh
sehu Poteh lainnya yaitu Sesomo dari Jombang.
Pada masa Orde Baru wayang Potehi, seperti halnya kebudayaan Tionghoa lainnya, mengalami tekanan.
Wayang Potehi sempat mengalami masa kesuraman sekitar tahun 1970-1990-an berkaitan dengan pelarangan pemerintah terhadap kebudayaan Tionghoa. Pada waktu
itu para dalang Potehi sangat sulit mendapatkan kesempatan bermain. Terkadang ada yang telah
menyediakan dana, tetapi justru perizinannya sulit keluar.124
Pelarangan-pelarangan terhadap segala sesuatu yang
berkait dengan budaya Tionghoa merambah pula ke ranah
intelektual. Prof. Slamet Mulyana di dalam bukunya yang berjudul
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
123 Wawancara dengan Thio Tiong Gie, 20 Januari 2010 di Gang Lombok
Semarang. 124 Wawancara dengan Sesomo, 3 Februari 2008 di Ketandan
Yogyakarta. Simak pendapatnya yang dilansir harian Kompas, 11 Maret 2003.
156
Islam di Nusantara mengungkapkan bahwasanya raja-raja Islam
jaman Demak serta para Wali Sanga penyebar agama Islam adalah
orang-orang keturunan Tionghoa. Buku tersebut pada tahun 1971
dilarang beredar.125 Menurut pemerintah Orde Baru karena isi
buku tersebut sangat peka dan pemerintah menilai menyangkut
masalah SARA. Alasan yang sesungguhnya dibuat-buat dan
merupakan pengingkaran sejarah. Jika saja buku-buku sejenis
dengan tulisan Prof. Slamet Mulyana tidak dilarang beredar,
dimungkinkan masyarakat luas akan membaca dan
mencermatinya. Justru ketika masyarakat mengetahui bahwa Wali
Sanga, panutan dalam siar Islam, adalah keturunan Tionghoa dan
para raja Kerajaan Demak adalah keturunan Tionghoa mungkin
masyarakat akan menerima keberadaan komunitas Tionghoa
dengan lebih baik.
Diskriminasi terhadap kaum Tionghoa hampir mendera di
segala lini kehidupan mereka. Peristiwa di Kalimantan Barat pada
1967 menyebabkan 42.000 Tionghoa mati ditambah dengan
tuduhan komunis bagi orang-orang Tionghoa. Hal ini membuat
harta benda kaum Tionghoa dijarah. Adanya isu bahwa mereka
ingin mendirikan negara Tionghoa di Kalimantan Barat makin
memperparah keadaan. BAKIN pun mengawasi gerak-gerik
125 Sie Hok Tjwan, “The 6th Overseas Chinese State“ dalam Nanyang
Huaren (Australia: CSEAS, J. C. Univ. of N-Queensland, 1990), 65-99.
157
masyarakat Cina melalui sebuah badan yang bernama Badan
Koordinasi Masalah Cina (BKMC).126
Di wilayah Yogyakarta, khususnya, hak-hak mereka
semakin dipangkas. Orang-orang Tionghoa di Daerah Istimewa
Yogyakarta tidak diperbolehkan memiliki tanah. Berdasarkan
Instruksi Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
K.898/I/A/1975. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HGB (Hak
Guna Bangunan) yang hampir seperti menyewa sepanjang masa.
Larangan tersebut sebenarnya bertentangan dengan Hukum
Agraria Nasional, UU No. 33 Tahun 1984 yang mewajibkan
penerapan secara penuh UU No. 5/1960 di Derah Istimewa
Yogyakarta. Terbitnya UU No. 12 tahun 2006 sesungguhnya dapat
menganulir pula Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
K.898/I/A/1975 dalam hal pemberian hak atas tanah kepada WNI
Keturunan Tionghoa. Implementasi Instruksi Kepala Daerah
Yogyakarta sesungguhnya sudah tidak relevan jika dikaji dari tata
urutan perundangan, azas preferensi hukum, dan perkembangan
hukum saat ini. Pada kenyataannya Instruksi Gubernur DIY
masih saja diberlakukan.
Permasalahan tersebut di atas sedikit mendapat penjelasan
dari seorang aktivis Komunitas Keistimewaan DIY H. M. Yzazir ASP
dalam acara talk show di Stasiun TVRI Yogyakarta. Dikatakan
126 Tjwan, 1990: 65-99.
158
bahwa dengan dikuatkannya Undang-Undang Keistimewaan DIY,
maka DIY dapat leluasa mengatur rumah tangganya yang dapat
dimanfaatkan oleh rakyat DIY, salah satu contoh, peraturan
kepemilikan tanah di DIY. Ada dua jenis status tanah di DIY yaitu
tanah keraton dan bukan tanah keraton. Status kepemilikan
tanah untuk warga nonpri, misalnya, warga Cina di DIY hanya
diperbolehkan berstatus HGB (Hak Guna Bangunan). Hal ini
sesuai dengan Keistimewaan DIY. Dahulu dalam perjajian warga
Cina dengan Sultan HB II disebutkan bahwa warga Cina diberi
wilayah-wilayah strategis, tetapi tidak boleh memilikinya karena
keraton memiliki wewaler (aturan) mengenai status tanah yakni
handarbeni (hak milik) dan hak guna bangunan.127
Sejak awal berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadinigrat sesungguhnya telah terjadi hubungan baik antara
Sultan Yogyakarta dengan kaum Tionghoa. Masyarakat Tionghoa
sudah berada di Yogyakarta sejak kota tersebut didirikan tahun
1756. Pada waktu itu pemerintah Kolonial Belanda telah
mengangkat seorang kapitan Tionghoa bernama To In untuk
memimpin komunitas Tionghoa.128 Kaum Tionghoa ikut
membangun kota Yogyakarta. Sultan mempercayakan pada orang
Tionghoa untuk mengurusi administrasi penagihan aneka pajak di
wilayah Yogyakarta dan daerah kekuasaannya. Sultan
127 Talk show, 3 Desember 2012, TVRI Yogyakarta. 128 Susanto dalam Wibowo, 2001: 63.
159
Hamengkubuwono II bahkan mengambil seorang perempuan
Tionghoa sebagai selirnya. Jasa kaum Tionghoa pada saat ada
peperangan di Yogyakarta pada abad 18 adalah sebagai penyedia
logistik untuk pasukan sultan sehingga sultan menghadiahi
sebidang tanah di dekat keraton yang kemudian didirikan sebuah
kelentheng. Pada tahun 1813 seorang kapitan Tionghoa Tan Jin
Sing diangkat menjadi bupati oleh sultan dan mendapat gelar
Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.129
Diskriminasi yang kemudian dialami oleh komunitas
Tionghoa di Yogyakarta dan daerah lain agaknya sudah dianggap
hal yang biasa. Meskipun demikian, di wilayah Yogyakarta
komunitas Tionghoa cukup mendapat „jaminan‟ keamanan. Sejak
dahulu masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tidak pernah
mengalami kekerasan meskipun pernah terjadi kerusuhan anti
Cina di Solo dan sekitarnya, namun tidak merambah Yogyakarta.
Hal ini diduga disebabkan pula masyarakat Tionghoa hidup
membaur dan sederhana. Mereka kebanyakan pedagang kelas
menengah ke bawah, pegawai, dokter, guru, dosen, dan lain-lain
serta jarang yang menjadi pengusaha kelas atas atau konglomerat.
Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya kesenjangan
sosial dan tidak adanya kecemburuan etnik karena kekayaan. Di
wilayah lain tidak ada pelarangan atas kepemilikan tanah.
129 Susanto dalam Wibowo, 2001: 79.
160
Pelarangan hanya diberlakukan bagi Tionghoa penduduk Daerah
Istimewa Yogyakarta.130 Soeharto pertama kali mencabut SBKRI
pada 1986 dengan Keppres No. 56/1986. Namun, pada
kenyataannya masih efektif berlaku. Pada 1998, B. J. Habibie
melakukan pencabutan sekali lagi walaupun tidak jelas apa yang
dicabut. Setelah itu Gus Dur menyatakan tidak ada diskriminasi
lagi. Pada praktiknya di lapangan SBKRI tetap saja diminta sampai
sekarang.131 Peraturan yang dibuat mengambang justru membuka
peluang besar adanya korupsi dan pungli (pungutan liar)
merajalela dan semakin parah. Hal ini bisa terjadi karena
peraturan pelaksanaan dalam tingkatan yang lebih rendah, yakni
SKB Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M.01-
UM.09.03-80 dan No. 42 Tahun 1980 yang tidak dicabut sampai
sekarang. Karena itu, ketika warga Tionghoa akan membuat
paspor atau membuat surat-surat yang lain tetap harus
menyertakan SBKRI. Jika tidak punya, mereka harus meminta
turunannya dari Depkeh (sekarang Depkumdang) atau pengadilan
negeri, di sinilah terjadi celah pungli (pungutan liar).
5. Era Reformasi
130 Penjelasan Notaris Diduk Suparminingsih, 2 Mei 2007 di Yogyakarta.
Didukung wawancara dengan penari Didik Nini Thowok, 4 Februari 2010 di Yogyakarta. Didik tidak diperkenankan memiliki sertifikat hak milik atas tanah
yang baru dibelinya ketika mendatangi BPPN Yogyakarta karena beliau Cina
dan hanya diizinkan memiliki HGB atas tanah tersebut. 131 Wawancara dengan beberapa orang Cina termasuk adik ipar penulis,
Meri Liliana, 1 Desember 2007 di Yogyakarta.
161
Selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa di Indonesia,
pada akhirnya terjadi kemelut di dalam negeri sehingga
menyebabkan aksi damai „melengserkan‟ Soeharto. Wakil Presiden
Habibie menggantikan Soeharto sampai diselenggarakannya
Pemilihan Umum (Pemilu). Hasil Pemilu menetapkan
Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur
menjadi Presiden RI. Hal monumental pertama yang dilakukan
oleh Gus Dur adalah mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Beliau
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2000 yang isinya
sebagai berikut.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
1. Bahwa penyelengaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak azasi manusia.
2. Bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina,
dirasakan oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya.
3. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a dan b, dipandang perlu mencabut Instruksi Presiden nomor 14
tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat Istiadat Cina dengan Keputusan Presiden.
162
Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) dan pasal 29 Undang–Undang Dasar 1945
2. Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia (lembaran Negara tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan lembaran Negara nomor 3886)
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA,
KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA.
PERTAMA:
Mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan,dan Adat Istiadat Cina.
KEDUA:
Dengan berlakunya keputusan Presiden ini, semua ketentuan Pelaksanaan yang ada akibat nstruksi Presiden Nomor 14
tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina Tersebut dinyatakan tidak berlaku.
KETIGA:
Dengan ini menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaanDan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin Khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
KEEMPAT:
Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 17 Januari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Sejak dikeluarkannya Inpres tersebut kegiatan budaya dan
keagamaan masyarakat Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa
mulai marak kembali.
163
Menyimak uraian di atas terlihat bahwa pertunjukan teater
boneka Potehi mengalami pasang surut. Pada jaman penjajahan
Belanda, kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa tidak
mengalami hambatan. Pada masa penjajahan Jepang, kesenian
Tionghoa termasuk pertunjukan Potehi mendapat dukungan dari
pemerintah Jepang. Pada masa kemerdekaan meski terjadi
beberapa konflik politik antara Cina dan Indonesia, namun tidak
mempengaruhi kegiatan berkesenian masyarakat Tionghoa.
Mereka bebas menggelar berbagai perayaan keagamaan dan
pentas seni termasuk teater boneka Potehi pada era Orde Lama
tersebut. Pada era Orde Baru, segala kegiatan kesenian dilarang
berpentas di depan umum dan hanya diperbolehkan berpentas
dalam kelentheng untuk kepentingan ritual keagamaan.
Orde Reformasi menggantikan Orde Baru setelah Rezim
Suharto berkuasa selama 32 tahun. Presiden Abdurrahman Wahid
membolehkan masyarakat Tiongha melaksanakan kegiatan
keagamaan dan kesenian secara terbuka dan leluasa termasuk
pentas Potehi. Sehu Thio Tiong Gie berpentas untuk umum
pertama kali pada acara Seminar Tradisi Lisan Nusantara tahun
1998 di Taman Ismail Marzuki. Hal tersebut mengundang minat
para peserta seminar. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid
memberikan cahaya terang bagi keberlangsungan seni
pertunjukan boneka Potehi. Pada bab berikut akan di bahas
164
secara mendetail mengenai seluk beluk pertunjukan boneka Potehi
Tionghoa Peranakan di Jawa. Di awali dengan bentuk-bentuk
panggung Potehi, boneka Potehi dan cara pembuatannya, para
dalang yang ada di belakang pertunjukan Potehi, lakon dan
pementasannya, fungsi pertunjukannya, dsb. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada
pembaca disertasi ini agar mendapat gambaran yang jelas
mengenai teater boneka Potehi milik komunitas Tionghoa
Peranakan di Jawa.