BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara...
Transcript of BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara...
41
BAB II
ANALISIS DATA
Pada bab dua ini, peneliti membahas dua kajian. Kajian filologis dan
kajian isi. Kajian filologis membahas tentang cara kerja filologi berdasarkan
penggarapan naskah tunggal yakni metode standar, sedangkan kajian isi
membahas tentang suluk atau mistik yang terkandung dalam naskah SDR ini.
A. Kajian Filologis
Kajian filologis ini digunakan untuk menggambarkan, melukiskan,
menuliskan, melaporkan objek penelitian dengan cara mengkritisi teks yang
bersih dari kesalahan berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya.
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai
wujud dan fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah
pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Edwar Djamaris (2002: 11)
menguraikan bahwa naskah yang sudah berhasil dikumpulkan, segera diolah
berupa deskripsi naskah. Hal-hal yang diungkapkan dalam membuat deskripsi
suatu naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah;
nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan n askah; ukuran
naskah; tebal naskah; jumah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara
penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/
penyalin; asal usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/ cerita.
Deskripsi naskah SDR adalah sebagai berikut :
42
a. Judul Naskah
Naskah ini berjudul Suluk Dewaruci
Gambar 27: Judul naskah SDR
Berbunyi : “Suluk Dewaruci”
Inilah sampul bagian luar pada naskah. Masih terlihat utuh, tetapi pada
jilidan sudah terlihat sobek sedikit, dan pada kertas yang bertuliskan judul juga
terlihat sobek sedikit.
Judul naskah secara eksplisit juga tersurat pada halaman 1 baris pertama.
Gambar 28: Judul naskah secara tersurat
Berbunyi : “Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci…”
Terjemahan : “Ini arti Suluk Dewaruci…”
43
b. Nomor Naskah
Tidak ada nomor naskah pada naskah ini, karena naskah ini merupakan
milik pribadi.
c. Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah ini disimpan di rumah Bapak Joko Setiono yang beralamatkan di
Jalan Raden Patah, Dusun Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan,
Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.
d. Asal Naskah
Naskah SDR ini awalnya dibeli dari seorang pedagang yang berjualan di
pasar loak Gladak, Surakarta, Jawa Tengah.
e. Keadaan Naskah
Keadaan naskah secara fisik masih baik dan utuh/lengkap. Jilidan pada
naskah ini hanya menggunakan benang warna merah, tapi ada yang sobek
sedikit pada jilidan. Tidak ada lembaran naskah yang hilang maupun isi naskah
yang berlubang. Pada halaman 15 kertas bagian tepi agak rapuh/sobek sedikit.
Kertas pada sampul naskah berwarna kebiruan kusam, dengan kertas isi naskah
berwarna putih agak kecoklat-coklatan. Pada sampul naskah tertulis judul
naskah, yang menggunakan bolpoin warna biru. Akan tetapi, pada isi naskah
menggunakan bolpoin warna hitam. Dan terlihat seperti bekas lipatan pada
naskah ini.
44
Gambar 29: Pemakaian tinta biru pada judul
Pemakaian bolpoin biru pada penulisan judul naskah di cover depan.
Gambar 30: Penjilidan naskah
Penjilidan naskah menggunakan benang warna merah dan terlihat masih rapi.
Gambar 31: Bagian tepi naskah
Bagian tepi naskah pada halaman 15 sudah agak rapuh/sobek.
45
Gambar 32: Bekas lipatan pada naskah
Pada naskah yang ditemukan peneliti terlihat adanya bekas lipatan naskah
simetris.
Gambar 33: Kondisi jilidan naskah
Seperti inilah pada jilidan naskah sudah agak sobek sedikit.
46
f. Ukuran Naskah
1) Ukuran Kertas
Panjang : 21,3 cm
Lebar : 17,2 cm
2) Ukuran Teks
Panjang : 17,5 cm
Lebar : 12 cm
Margin atas : 1,7 cm
Margin bawah : 2,1 cm
Margin kanan : 3,1 cm
Margin kiri : 2,1 cm
g. Tebal Naskah
Tebal naskah ini 0,3 cm dengan rincian halaman sebagai berikut :
1) Cover dalam -
2) Isi naskah 38 halaman
3) Halaman kosong 2 halaman kosong setelah sampul depan
Jadi, total halaman pada naskah SDR ada 40 halaman.
h. Jumlah Baris Tiap Halaman
Jumlah baris tiap halaman pada naskah SDR ada 21 baris, kecuali pada
halaman terakhir, yakni halaman 38 ada 23 baris.
47
i. Huruf, Aksara, dan Tulisan
1) Huruf yang digunakan dalam naskah SDR ini menggunakan huruf Jawa.
2) Aksara yang digunakan dalam naskah ini memakai aksara Jawa carik miji
ketumbar (ngȇtumbar).
3) Tulisan
Pada naskah SDR ini tulisannya bolak-balik, rapi, dan jelas. Akan
tetapi ada beberapa halaman yang tintanya sudah mulai luntur. Seperti
pada halaman 25, 27, 29, 30-33 dan 35. Hal ini dimungkinkan kualitas
tinta yang kurang baik, sehingga mengakibatkan penulisan di verso agak
sulit untuk dibaca. Tulisan dalam naskah ini menggunakan style aksara
Jawa miji ketumbar (ngȇtumbar) dengan condong ke kanan. Tulisan
naskah ini juga menggunakan tinta warna hitam, kecuali pada judul
menggunakan tinta biru. Penekanan pena dalam naskah ini tidak menentu,
ada yang tipis ada yang tebal. Mayoritas tulisannya cukup tebal dan jelas.
Tulisan naskah ini bagus, sehingga mudah dibaca. Halaman juga ditulis
dengan aksara Jawa.
48
Gambar 34. Penulisan pada naskah
Seperti inilah tulisan naskah, terlihat rapi dan jelas.
Gambar 35: Penulisan yang mulai luntur tintanya
Contoh : pada halaman 27 tulisannya sudah mulai luntur tintanya, akan
tetapi masih bisa dibaca.
49
j. Cara Penulisan
Penulisan teks pada setiap halaman ditulis dengan bolak-balik atau lebih
dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada
kedua halaman depan belakang. Selain itu teks juga ditulis ke arah lebar,
dimana teks tersebut ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari
kiri ke kanan. Penulisannya sangat rapi.
Gambar 36: Tulisan spidol biru a (halaman 1)
Pada halaman 1 di pojok kanan atas terlihat tulisan dengan spidol warna biru,
tetapi tulisan itu tidak terlalu jelas dan sulit untuk dibaca.
Begitu pula pada halaman 16 dijumpai lagi, akan tetapi tulisan spidol birunya
terdapat di pojok kiri bawah. Seperti gambar di bawah ini.
Gambar 37: Tulisan spidol biru b (halaman 16)
50
Penyisipan ditulis seperti pada di bawah ini:
Gambar 38: Penyisipan a
Berbunyi: “…punika dados jasad…”(halaman 18), penyisipan kata “dados”
ditambahkan di atasnya.
Terjemahan : “…ini menjadi jasad…”
Gambar 39: Penyisipan b
Berbunyi: “….lajȇng….”(halaman 5), penyisipan kata “lajȇng” ditulis di
bawahnya.
Terjemahan: “…selanjutnya…”
Penulisan yang salah jelas dengan adanya coretan. Seperti di bawah ini:
Gambar 40: Coretan a (halaman 7)
51
Gambar 41: Coretan b (halaman 15)
Gambar 42: Coretan c
Berbunyi: “ing jagada. . .” dan “ipun” (halaman 16)
Terjemahan: “ di dunia. . .” dan “nya”
Gambar 43: Coretan d
Berbunyi: “…ing ngandhap…”(halaman 25)
Terjemahan: “…di bawah…”
52
Gambar 44: Coretan e
Berbunyi: “…manjing pangrunguning bapa lan biyang, sabab bapa aningali
biyang wus birahi…” (halaman 31)
Terjemahan: “…memasuki pendengaran bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu
sudah bernafsu…”
k. Bahan Naskah
Bahan yang digunakan pada naskah SDR ini adalah kertas. Kertas
bergaris, tetapi pada kanan dan kiri kertas terdapat garis bantu dengan pensil,
sehingga penulisannya rapi. Selain itu kertasnya berwarna putih kecoklatan,
sedangkan pada sampulnya berwarna kebiru-biruan. Kualitas kertas cukup
baik, akan tetapi kertas ini juga mudah rusak, misalnya pada kertas yg
bertuliskan judul naskah yang bagian tepi sudah ada yang sobek, begitu pula
pada jilidannya.
l. Bahasa Naskah
Naskah SDR menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama, akan tetapi
di dalamnya banyak ditemukan kata-kata serapan dari bahasa Arab.
53
m. Bentuk Teks
Naskah ini berbentuk prosa (gancaran). Keseluruhannya terdiri dari 16
bagian, akan tetapi dalam bagian ke-16 bukan merupakan SDR atau tidak ada
kaitannya dengan SDR, meskipun masih dalam satu jilidan naskah. Adapun
kalimat pada bagian ke-16 yakni:
Gambar 45: Bagian terakhir (halaman 38)
Berbunyi sebagai berikut :
“Punika pȇthikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi
Rugmawati, ingkang pȇpidik wontȇn ing Wukir Mahendra, dhumatȇng buyut,
wastana.
1. tapaning ati iku tȇmȇn, sing sapa tȇmȇn atine, adad barang kang kinarȇpake
tȇka.
2. tapaning nyawa iku mung eling, sing sapa eling ing dalȇm sadina sapisan
kewala, adad barang kang sinȇdya ana.
54
3. tapaning rasa iku mung ȇning, sing sapa ngeningakȇn ing dalȇm sadina
sapisan kewala, adad kang cinipta dadi”.
Terjemahan :
“Inilah kutipan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi
Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya,
bernama.
1. Tapa hati itu bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh, yang siapa
sungguh-sungguh hatinya, maka apa yang diinginkan akan datang.
2. Tapa nyawa itu bertapa di tingkat nyawa itu hanya ingatan, yang siapa
selalu ingat di setiap harinya saja, maka apa yang diinginkan ada.
3. Tapa rasa itu bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih, yang siapa
menjernihkan rasa setiap harinya sekali, maka biasanya yang diinginkan
tercapai.”
Bagian ke-16 ini masih masuk pada naskah halaman 38, akan tetapi bukan
bagian dari SDR. Hal ini dapat dibuktikan pada Blog Kyai Sayyid Ahmad
Muhammad yang berjudul Pustakaraja Purwa Rahasia Sejarah Tanah Djawa
NKRI. Kutipannya sebagai berikut:
Dewi Rukmawati dhawuh:
“He Kupa, salawase kowe tȇmȇn ing ati, saiki wus ora. Jer tapaning ati
wus owah, èngȇta yèn:
tapaning ati iku tȇmȇn
tapaning nyawa iku mung eling
tapaning rasa iku mung ȇning
Sing sapa ing saben sadina sapisan bae ngeningake rahsa, adat barang
kang cinipta dadi
Sing sapa ing sadina sapisan eling, samubarang kang kinarsakna tȇka
Sing sapa tȇmȇn atine salawase adat barang kang kinarȇpna dadi”
55
Terjemahan :
Dewi Rukmawati berpesan:
“Hei Kupa, selamanya kamu sungguh-sungguh di dalam hati, sekarang
sudah tidak. Bahwa bertapa di hati sudah berubah, ingatlah apabila:
Bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh
Bertapa di tingkat nyawa/roh itu hanya ingat
Bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih
Barang siapa di setiap hari sekali saja menjernihkan rasa (perasaan), maka
keinginannya akan tercapai
Barang siapa setiap harinya ingat, maka apapun itu yang diinginkan akan
datang/tercapai.
Barang siapa bersungguh-sungguh hatinya selamanya apapun yang
diinginkan akan terwujud.”
Berdasarkan pembuktian tersebut dapat disimpulkan jika bagian ke-16 bukan
bagian dari SDR, akan tetapi interteks (mengambil dari Pustakaraja). Jadi
naskah SDR hanya terdiri dari 15 bagian.
n. Umur Naskah
Pada naskah SDR ini belum diketahui umurnya, karena dalam naskah
tidak ada keterangan. Akan tetapi jika dilihat dari naskah masih bagus,
dimungkinkan naskah ini tergolong naskah muda dan dilihat dari bahasa
naskah ini menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama serta penulisan aksara
Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan).
56
o. Pengarang/ Penyalin
Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah ini. Meskipun
pada bagian terakhir (bagian 16) naskah tertulis :
“Punika pethikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi
Rugmawati, ingkang pȇpidik wonten ing Wukir Mahendra, dhumateng buyut,
wastana”.
Terjemahan :
Inilah petikan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi
Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya.
Hal ini tidak menunjukkan adanya pengarang/penyalin pada naskah tersebut.
p. Asal Usul Naskah
Naskah SDR ini asalnya saya beli dari pedagang (seorang bapak) yang
rumahnya di Sangkrah, Surakarta yang berjualan di pasar Loak Gladak,
Surakarta.
q. Fungsi Sosial Naskah
SDR ini berfungsi sebagai piwulang atau pȇpèling, untuk menuju
manusia sempurna itu dibutuhkan empat tahap yakni : syariat, tarekat, hakekat,
dan makrifat (sembah raga, budi, manah, dan rasa). Sering digunakan dalam
wejangan pertunjukan wayang/penyajian wayang.
r. Ikhtisar Naskah
Naskah SDR menceritakan kisah Bratasena untuk menuju manusia yang
sempurna guna menemukan jati dirinya atau pencarian sangkan paraning
dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ bisa dikatakan juga manunggaling
57
kawula Gusti, untuk itu Bratasena harus mencari Tirta Pawitrasari (Air
Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dimana termuat amanat
ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju
Tuhannya. Kisah perjalanan Bratasena dalam menuju manusia sempurna atau
jati diri yang sejati ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat.
Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti hanya berisi secara singkat atau
ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka,
lalu mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke
sumur Sigrangga, dilanjutkan pergi ke Samudra Jinȇm (Minangkalbu) dan di
sinilah Bratasena bertemu dengan Dewaruci (Dewa berwujud tubuh kerdil).
Dimana Air Tirta Pawitrasari yang dicari Bratasena secara eksplisit
merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Dalam
cerita ini pengarang secara langsung juga menjelaskan dan menuliskan artinya,
contoh, Bratasena sewaktu membunuh naga estri:
“Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan
prakawis”.
Terjemahan: ”Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya:
mengendalikan nafsu empat perkara.”
Dalam naskah ini selanjutnya lebih menyampaikan pengaplikasian
perjalanan batin manusia, bagaimana melawan pancamaya yang
menggambarkan nafsu manusia dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 5
macam, yakni: merah (nafsu amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah) dan
58
putih (mutmainah). Selain itu, ada penjelasan tentang urut-urutannya alam ada
tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan
kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal baik yang perlu dilakukan manusia
untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi, Sang Kholiq. Inilah yang
membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya. (halaman 22)
2. Kritik Teks
Kritik teks adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya,
memberi evaluasi terhadap teks, meneliti dan mengkaji lembaran naskah,
lembaran bacaan yang mengandung kalimat-kalimat atau rangkaian kata-kata
tertentu (Darusuprapta, 1984 : 4). Kritiks teks bertujuan untuk menyajikan sebuah
teks dalam bentuk yang seasli mungkin dan bersih dari kesalahan berdasarkan
bukti - bukti yang terdapat dalam teks, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Melalui kritik teks inilah peneliti berusaha mengembalikan teks ke
dalam bentuk aslinya atau paling tidak mendekati asli, bersih dari kesalahan dan
dapat dipertanggungjwabkan (Siti Baroroh Baried dkk, 194 : 61). Berdasarkan hal
tersebut peneliti menggunakan pedoman “Ejaan Bahasa Jawa Yang
Disempurnakan (EYD: 2011)”, Kamus Kawi-Jawa (C.F. Winter dan
Ranggawarsita: 1987), Baoesastra Djawa (Poerwadarminta: 1939), dan
sebagainya.
Di dalam kritik teks biasanya ditemukan varian-varian dan varian-varian
tersebut dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.
59
b. Lakuna yaitu bagian yang terlewati atau terlampui, baik huruf, suku kata, kata,
maupun kelompok kata.
c. Ketidakkonsistenan yaitu penulisan suku kata maupun kata yang tidak
konsisten penggunaan huruf/ aksara.
d. Korup yaitu bagian teks hilang, akan tetapi bukan karena kerusakan kertas
melainkan peneliti yakin bahwa pada teks masih ada kelanjutan. Terjadinya
korup pada naskah ini dimungkinkan pengarang istirahat waktu proses
menyalin naskah, atau dimungkinkan pada naskah yang akan disalin
mempunyai daya magic, sehingga pengarang tidak berani untuk menyalinnya.
Pengelompokan varian/ kesalahan pada naskah SDR ini disusun dalam
bentuk tabel. Untuk mempermudah dan memahami, maka dibuat singkatan
sebagai berikut :
No. : menunjukkan nomor urut.
Hal/ brs : halaman/ baris.
@ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat.
* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik.
k : korup pada naskah
Edisi : bacaan yang telah dibetulkan.
Tabel 1: Hiperkorek
No Hal/ brs Kata Gambar Edisi
1 1/ 5 Tanahjultarki
Tanajultarki*
60
2 2/7 Kundur
kondur*
3 18/10 Dadtipun
datipun*
4 29/18
Sahdad
sahadat*
5 30/5 ngȇdad
ngȇdat*
6 33/14 Muttak
mutlak@
7 33/18 Wujudtolah
wujudolah@
9 35/12 Wujudte
wujude*
10 35/20 Tankala
tatkala@
61
11 35/18 Ibulwiyah
uluwiyah@
12 35/21 ghaibul
gaibul*
13 37/3 apȇngale
apngale*
14 37/5 Dadtolah
datolah*
Tabel 2: Lakuna Suku Kata
No Hal/ brs Kata Gambar Edisi
1 1/9 Barat
ibarat@
2 8/10 Panggèning
panggènaning@
62
3 27/4 Ujudipun
wujudipun*
4 32/8 Witaning
wiwitaning@
5 33/19 wakita
waskita@
6 35/20 kèndȇ
kèndȇl@
7 35/21 uwiyah
uluwiyah@
Tabel 3: Ketidakkonsistenan
No Hal/ brs Kata Gambar Edisi
1 ½
1/10
10/5
Idayad
Idayat
Idayad*
63
2 6/10
14/3
Urip
Urib
urip*
3 3/21
7/ 11
nȇpsu
napsu
nȇpsu*
4 11/4
1/6
1/4
2/19
3/1
7/7
7/14
16/5
Dat
dad
dat*
64
16/21
21/14
23/18
23/18
23/20
24/1
5 7/17
31/7
Nasut
nasud
nasut*
6 13/15
12/14
20/11
gaib
ghaib
gaib*
7 15/21
nabati
nabati*
65
15/4
nabadti
8 25/14
21/18
36/11
Mukhamad
Mukamad
Mukhamad*
9 37/9
7/1
hakekat
Khakhekat
hakekat*
Tabel 4: Kategori Korup
No Hal/ brs Kata Gambar Edisi
1 30/6 Kang mo….
…(tidak berani
memberi
rekomendasi)k
66
3. Suntingan Teks, Aparat Kritik, dan Terjemahan
Naskah SDR ini ditulis aksara Jawa carik, maka transliterasi merupakan
langkah yang sangat dibutuhkan dalam rangka penyuntingan teks. Suntingan teks
adalah menyajikan teks bentuk aslinya atau mendekati aslinya, yang bersih dari
kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.
Karena naskah ini merupakan naskah suluk, maka dalam naskah banyak
ditemukan kata-kata yang berbau arab. Seperti kata : “wahdad, akhadiyat,
wakidiyat, ajesan, misal, nganansir”. Kata-kata tersebut tidak mengikuti ejaan
pada kamus dan tetap konsisten penulisannya, sehingga peneliti tidak mengkritisi,
akan tetapi pada terjemahan dan selanjutnya peneliti menyajikan kata-kata serapan
dari bahasa Arab yang tepat.
Aparat kritik merupakan kelengkapan yang menyertai kritik teks sebagai
pertanggungjawaban suntingan (Margono, 2011: 51). Dalam penelitian ini untuk
mendapatkan suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi,
maka suntingan teks, kritik teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan.
Jadi, jika ada kata–kata yang dianggap keliru diberi nomor kritik teks. Sedangkan
pembetulan yang merupakan apparat kritik diletakkan di bawah teks yaitu berupa
catatan kaki (foot note).
Dalam hal ini metode yang digunakan ialah metode standar. Metode
standar adalah metode yang digunakan dalam penyuntingan naskah tunggal. Di
dalam metode standar, penyunting mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks
yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jalan keluar
tersebut ialah (1) apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam
menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika terdapat teks yang salah, penyunting
67
dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas dengan
mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli akan ditandai dan didaftar sebagai
naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan suatu bentuk pemikiran pembaca
yang mempunyai pendapat atas pembetulan bacaan tersebut. Untuk menyunting
sebuah teks, peneliti harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab naskah SDR
ini berbentuk prosa.
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami suntingan teks SDR,
maka di bawah ini adalah pedoman yang digunakan oleh penulis dalam
menyajikan suntingan teks SDR.
a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis teks nama
orang maupun tokoh, nama tempat.
b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam
teks. Contohnya:
adon – adon
isèn - isèning
c. Sastra laku pada penulisan naskah SDR sangat sering muncul, sehingga
perlu penegasan dalam transliterasi, yaitu tidak mengulang konsonan
penutup kata yang di depan. Contohnya:
68
ing ngidayat → ing idayat
dhatȇng ngamarTa → dhatȇng
Amarta
Untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman makna
transliterasi teks SDR, maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Angka Arab [1, 2, 3. . .dst] menunjukkan pergantian lembar halaman teks.
b. Angka Arab [ˡ˒. . .dst] yang berada di dalam teks menunjukkan nomor
kritik teks pada kata yang dianggap keliru.
c. Tanda @ menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan
konteks kalimat.
d. Tanda * menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan
linguistik.
e. Tanda diakritik (ȇ) dibaca “e” seperti pengucapan kata “wontȇn” ‘ada’
jika bahasa Jawa dan kata “teduh” dalam bahasa Indonesia.
f. Tanda diakritik (è) dibaca “e” seperti pengucapan kata “yèn” ‘jika’ untuk
bahasa Jawa dan kata “edukasi” untuk bahasa Indonesia.
g. Tanda diakritik (e) dibaca “e” seperti pengucapan kata ”pengin” ‘ingin’
jika bahasa Jawa dan kata “teras” untuk bahasa Indonesia.
69
SULUK DEWARUCI
[1]Punika tȇgȇsipun: Suluk Dewaruci kawor suraosipun kalayan ngelmi
idayad. Tȇgȇsipun idayad, anȇdahakȇn sawarnining kawontȇnan dad1 sadaya.
Ingkang kawȇdharakȇn saking Tanahjultarki2. Inggih punika sangkan paranipun
dad3 sajati, supados amȇwahana santosaning panggalih. Dene ingkang kadamȇl
bȇbuka suraosipun idayad punika, sawarnining pasȇmonipun ngelmi makripat
utawi barat4. Salajȇngipun dumugi ing idayat
5, sami kocap wontȇn ing ngandhap
punika. Ingkang kadamȇl bȇbuka rumiyin, lȇlampahanipun: Bratasena nalika
puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng anglampahi sapitȇdahipun, ing
ngandhap punika pratelanipun sadaya.
Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun sampun ngambah
ing makripat.
Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka, Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados
Bathara Endra. Tȇgȇsipun Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur,
utawi dados wȇwȇnganing betalmakmur. [2] Rukmakala pȇjahipun dados Bathara
Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas.
Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur Sigrangga, tȇgȇsipun, punika
ngibarat kasing badan.
Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis.
Nuntȇn Bratasena kundur6 dhatȇng Amarta, pamit para kadang badhe anggȇbyur
1 dat*
2 Tanajultarki*
3 dat*
4 ibarat@
5 idayad*
6 kondur*
70
dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami anggèndholi, tȇgȇsipun:
angipatakȇn was-wasing panggalih, angungkurakȇn ing sih katrȇsnan.
Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun sagara Jinȇm,
sajatining Pangeran.
Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat amȇjahi cipta
kaliyan pangrasa.
Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun dhatȇnging dad7
sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih, punika ngibaratipun
amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir tung- [3] gil dad8 sipat asma apngal.
Nuntȇn manjing ing guwa garba. Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn
ing ngalam kabir, tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating
ngalam insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna.
Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali samodra tanpa tȇpi,
inggih punika wahananipun manah.
Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya namanipun inggih
punika wahananing jantung, anglimputi jatining manah, dados pangarsaning
sarira. Mila dipunwastani muka sipat, dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang
linuwih ȇmpanipun wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa,
pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri sajatining
rupa.
7 dat*
8 dat*
71
Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng, abrit, jȇne,
pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn wahananing nȇpsu kawan
pra- [4] kawis, ingkang sami dados durgamaning manah.
Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip
sapanunggilanipun.
Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara, kadosta: panasten,
dȇduka sapanunggilanipun.
Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta, pȇpenginan,
pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.
Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning kautaman,
kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.
Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot wolung warni:
cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru, dadu: inggih punika wahananing
Pangeran, kawimbuhan cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun:
Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi, inggih punika
nisthaning cipta.
Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih punika anȇdahakȇn
du- [5] sthaning cipta.
Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika nȇdahakȇn doraning
cipta.
Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih punika nȇdahakȇn
sȇtyaning cipta.
72
Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika nȇdahakȇn
santosaning cipta.
Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn sambawaning
cipta.
Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika nȇdahakȇn
sambadaning cipta.
Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika nȇdahakȇn ewah
gingsiring cipta.
Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon gumana, awȇning
cahyanipun , punika pramananing suksma, ingkang mimbuhi warna sadaya,
anglimputi jagad alit jagad agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika
gȇsangipun saking pramananing rahsa.
Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk gadhing ingkang
kasawang kados pȇ- [6] putran mutyara, mancur mancorong cahyanipun, punika
pramananing rahsa, kang amurba amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika
gȇsangipun saking Atma.
Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn
ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa wȇwayangan,
inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn saliring ngalam sadaya,
gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip
kita.
73
Punika kawikanana lampahing ngelmi kawan prakawis, ingkang sami
kinawruhan utawi ingkang sami linampahan, dening para wali, manawi sami
sagȇd mirib, sami kasȇbut ing ngandhap punika :
Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng pangalȇm tuwin
panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar.
Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging karsa, lawan
panampik, lampahipun lila.
[7]Khakhekat9 dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng kasuran,
kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.
Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng katrȇsnan
kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.
Dene lampahipun dad10
punika kawan prakawis wau kakumpulakȇn dados
satunggal tȇmȇn, trima, lila, utami.
Punika kawikanana, ingkang kawastanan pancabaya, inggih punika
napsu11
kawan prakawis, ingkang nitahakȇn cahya kawan warni, gangsal
cahyanipun pramana, ingkang sami dados rancananing dad12
sajati, kasȇbut ing
ngandhap punika :
Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing dȇlahan dados cahya
cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning
supe, poma dipunèngȇt.
9 hakekat*
10 dat*
11 nȇpsu*
12 dat*
74
Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka lan murka, ing
dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam lahut, ing ngri- [8] ku
panggènaning rȇkaos, sabab punika awit sangganging adon-adon sadaya, punika
poma-poma dipunpoma.
Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing delahan dados
cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing ngriku panggènaning gingsir,
poma dipunsantosa.
Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados cahya pȇthak,
dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku panggèning13
sumȇrȇp karaton, poma
dipunwaspada, karana ing ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi :
cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging
punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.
Punika kawikanana, isèn–isèning cahya kawan prakawis, gangsal
cahyaning pramana, ingkang sami ngrancana dhatȇng ing kasampurnan jati,
kasȇbut ing ngandhap punika, poma dipunsantosa ing galih, sampun ngantos
gadhah pamilih salah satunggal.
[9]Cahya cȇmȇng kadadosanipun nȇpsu luamah, prabawanipun bumi gonjing,
ingkang katingal salȇbȇtipun cahya cȇmȇng punika, sawarnining sato kewan, ing
ngriku dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun supe, poma dipunèngȇt ing galih.
Cahya abrit, kadadosanipun nȇpsu amarah, prabawanipun latu amarab- marab,
ingkang katingal salȇbȇtipun cahya abrit, ing ngriku warni danawa brakasakan,
13
panggènaning@
75
inggih punika ngalam lahut, tȇgȇsipun sangganging adon-adon sadaya, punika
poma dipunsarèh.
Cahya jȇne, kadadosanipun nȇpsu supiyah prabawanipun angin agȇng, ingkang
katingal ing ngriku warni pȇksi sawarnining ibur-iburan, punika ngalam jabarut,
tȇgȇsipun gingsir, poma dipunsantosa.
Cahya pȇthak, kadadosanipun nȇpsu mutmainah, prabawanipun toya agȇng.
Ingkang katingal ing ngriku sawarnining ulam loh. Inggih punika ngalam
malakut, tȇgȇsipun karaton ka- [10] rana ing ngriku wiwitipun sumȇrȇp karaton.
Sasirnaning cahya kawan prakawis wau. Nuntȇn cahyaning pramana katingal
sarȇng sanalika: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, inggih punika ngalam idayat14
,
tȇgȇsipun ȇnggèning nȇdahakȇn karaton satunggil-tunggilipun, kasȇbut kados ing
ngandhap punika .
Karaton sarwa cȇmȇng, inggih punika karatoning sato kewan, manawi kasȇngsȇm
ing paningal badhe dados sato kewan.
Karaton sarwa abrit, inggih punika karatoning brakasakan, samara bumi
sapanunggilanipun dhanyang, yèn ngantos kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wande
dados bangsaning dhanyang.
Karaton sarwa jȇne, inggih punika karatoning pȇksi, yèn kasȇngsȇm ing ngriku,
botȇn wonde dados pȇksi.
Karaton sarwa pȇthak, punika karatoning buron toya, yèn kasȇngsȇm inggih
dados buron toya.
14
idayad*
76
Karaton sarwa ijȇm, punika karato- [11] ning kȇkayon, yèn kasȇngsȇm ing ngriku,
inggih dados lȇlȇmbat kajeng aèng.
Sasirnanipun cahya pramana, Nuntȇn dhatȇng cahyaning dat kang awȇning,
ingkang katingal ing ngriku, samukawis wȇwarnèn sarwa asri, inggih punika
ngalam uluhiyah, tȇgȇsipun ngalam ing pangeran.
Nuntȇn katingal cahya mancur, ingkang katingal ing ngriku malaekat, tȇgȇsipun
kadosta :
Katingal bapa, kaki sapanunggilanipun, taksih ngalam uluhiyah.
Nuntȇn cahya mancorong, ingkang katingal ing ngriku widadari, tȇgȇsipun
kadosta : katingal biyung, nini, sapanunggilanipun, ingkang nama lȇluhur estri,
inggih taksih ngalam uluhiyah.
Nuntȇn cahya gumilang tanpa wȇwayangan, tanpa arah tanpa ȇnggèn, tanpa
kandha tanpa warna, panggènaning nikmat manpangat rahmat, wontȇn ing
ngalam baka, tȇgȇsipun baka, langgȇng, inggih punika panggènaning dat sajati,
jumȇnȇng kalawan jȇnȇng kita, inggih ingkang gumilang puni- [12] ka botȇn kalih
tȇtiga, amung tunggil sibadènipun.
Dene ingkang katingal bapa kaki wau, inggih punika wȇwayanganing dat kang
saking lȇluhur jalȇr, ingkang sampun limput - linimputan, tȇtȇp tinȇtȇpan, kaliyan
dat kita pribadi.
Dene ingkang katingal biyung nini, sapanunggilanipun wau, inggih makatȇn ugi,
mratandhakakȇn manawi ingkang wau sampun limput linimputan, dat lawan
ingkang mahasuci, lajȇngipun botȇn kenging pisah.
77
Punika kawikanana sasirnanipun ing jisim, wangsul dhatȇng asalipun
saking cahya, dados nukat ghaib15
, benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil,
inggih punika ingkang badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih
wadhag punika:
Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat.
Lajȇng ngambah wahdad.
Lajȇng ngambah wakidiyat.
Lajȇng ngambah ngalam arwah.
[13]Lajȇng ngambah ngalam misal.
Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan.
Lajȇng ngambah ngalam insan kamil.
Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan, sapanginggilipun dumugi
ing ngalam insan kamil malih.
Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis wau, wijanging
satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap punika:
Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah, ing dat sawiji.
Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging dat sawiji,
wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun gaib,: samar, wontȇn
dalȇm manungsa wau.
Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning sipating dat
sawiji.
15
gaib*
78
Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah, tȇgȇsipun Allah
badan.
Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: [14] kadamȇl sêsilih sipat ingkang
mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad alit:
Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib16
, inggih punika sampun kapanjingan
gȇsang.
Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang sampurna.
Dene pramana punika tȇgȇsipun waspada.
Nyawa, tȇgȇsipun urip, ingkang gȇsang rahsanipun.
Suksma, tȇgȇsipun gaib, ingkang gaib ȇnggenipun, inggih punika nukat gaib.
Punika kawikanana wȇwayanganing manah, utawi wȇwayanganing roh,
ati satunggil darbe asma pȇpitu, nanging pakaryanipun tunggil, kasȇbut ing
ngandhap punika pratelanipun satunggil – tunggil:
Ati, sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados andarbeni karsa.
Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani, pandamȇlanipun dados
andarbeni pangrasa.
[15]Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados andarbèni
panȇdya kaliyan pangrasa.
Ati puad, wȇwayanganing roh nabadti17
, pandamȇlipun dados andarbèni panyana
lawan pangesthi.
16
urip* 17
nabati*
79
Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados andarbeni
panggraita lan akal.
Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados andarbeni cipta.
Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados andarbeni karȇp
kaanan sadaya.
Punika kawikanana, tȇgȇsing roh pitung prakawis wau, wȇwȇjanganipun
satunggil-tunggilipun kados ing ngadhap punika:
Roh jasmani, tȇgȇsipun punika jisim.
Roh rokhani, tȇgȇsipun punika Pangeran.
Roh khewani, tȇgȇsipun punika urip, ingkang gȇsang saciptanipun.
Roh nabati, tȇgȇsipun punika cukul. [16] Ingkang cukul rahsanipun.
Roh rahmani, tȇgȇsipun punika murah, ingkang murah Apngalipun.
Roh nurani, tȇgȇsipun punika cahya, inggih cahyaning dad18
.
Roh ilapi, tȇgȇsipun punika wȇning, inggih ingkang gumilang tanpa wayangan,
dumunung wontȇn ing jaman insan kamil.
Punika kawikanana ngalam kawan prakawis, kados ing ngandhap punika:
Ngalam nasut, punika tȇgȇsipun lali.
Ngalam lahut, punika tȇgȇsipun rȇnggang.
Ngalam jabarut, punika tȇgȇsipun gingsir.
Ngalam malakut, punika tȇgȇsipun karaton.
18
dat*
80
Ananging dede karaton kang ginawe mahamulya, inggih punika karatoning nȇpsu
kawan prakawis, mila dipunwaspada sampun ngantos kasamaran.
Punika kawikanana ingkang nama nganansir khak, kados ing ngandhap
punika:
Dad19
, tȇgȇsipun, kagungan,
[17] Sipat, tȇgȇsipun, rupa.
Asma, tȇgȇsipun aran.
Apngal, tȇgȇsipun, panggawe.
Punika kawikanana, ingkang dipunwastani nganansir roh, tȇgȇsipun
nganansir gȇsang, kados ing ngandhap punika:
Wujud, tȇgesipun rupa, inggih punika gȇtih,
Ngelmu, tȇgȇsipun punika, paningal,
Nur, tȇgȇsipun punika cahya,
Suhud, tȇgȇsipun punika saksi, inggih punika napas.
Dene ing benjang ingkang rinacut rumiyin, punika: wujud. nuntȇn, : ngelmu,
nuntȇn,: nur, nuntȇn,: suhud.
Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados ing
ngandhap punika:
Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan riwe.
Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan cahya.
19
dat*
81
Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas.
[18]Kaping sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging.
Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn ,: gȇni, nuntȇn,: angin, nuntȇn,:
bumi.
Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih sipat
ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil - tunggilipun, kasȇbut
kados ing ngandhap punika:
Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung dadtipun20
, mila dipuntȇmbungakȇn
agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn lukak, botȇn wuwuh, kawasa
nglimputi ing jagad sadaya, inggih punika wontȇnipun amung langgȇng.
Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila sipatipun
katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn rupa, botȇn warna,
botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn ngalam baka, tȇgȇsing baka
langgȇng.
Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila asma
dipunbasakakȇn wisesa. [19] Inggih punika ingkang nama amurba, amisesa kang
kawasa.
Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun, tȇgȇsipun
sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit sampun botȇn bȇbadhe
malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa jumȇnȇng kalawan sibadènipun.
Punika ambuka suraosipun, ngelmu gaib ingkang dumunung wontȇn ing
manungsa, sadaya kang wontȇn salȇbȇting badan, sajawining badan kang kangge
20
datipun*
82
pasȇmon para nabi, para wali, para majȇnun, para ratu, para oliya, ing
ngandhap punika maknanipun utawi tȇgȇsipun .
Utawi ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci, kang
ora kawoworan.
Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng ora paran - paran iya ingsun iki ratu
kang mulya tur kang sampurna; tȇgȇse ananing- [20] sun iki, kang ora wiwitan
suwung; ya ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise ana
tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku kang jumȇnȇng
ingsun. Kang tȇmtu ajaling urip sadaya; duk awing - awang uwung - uwung
durung dumadi, ananingsun dhewe kang jumȇnȇng tȇka samȇngko; utawi kang
dados ugȇring eling iku ngelmu ngalim maklum, tȇgȇse kawruh angawruhi,
kinawruhan, sakpanunggilanipun sadaya. Inggih punika ingaranan wiwitaning
sih. Wahyu lan nugraha kang ghaib21
ing Allah tangala tuwin para ratu, kang
saèstu dados pȇpingitan, para Nabi, para wali, para mukmin, para majȇnun, para
ratu oliya, para manungsa sadaya; utawi kawruh punika, anane lan orane, inggih
punika ȇngsih wastanipun.
Utawi ingkang ngawruhi iku, tȇtȇp aning ȇnȇng lan ȇning, sapanunggilanipun
sadaya, inggih punika wahyu wastanipun. Utawi kang kinawruhan iku, ingaranan
sȇpi, samar, samun, suwung, sapanunggilanipun sadaya, inggih [21] punika
nugraha wastanipun, iku poma - poma aja sak aja mosik; inggih punika
patrapipun ngelmu kraton kang luwih sampurna; inggih punika ingaranan
kalimah tokit, tȇgȇse iku ora ana karȇpe kang akèh - akèh, ananging sawiji elinge.
Saèstune karȇp kang sawiji: iya iku rasaning ngelmi .
21
gaib*
83
Utawi tȇgȇsipun kawan prakawis punika, pangucap, pangambu, paningal,
pamiyarsa, ing ngandhap punika dunungipun. :
Sir, sangkaning pangucap: dadining bumi, ananing sabda, nȇnging pangucap
jatine Pangeran, nyatane rasullolah, kumpuling roh kabèh, tȇtȇping wiji, dad22
pȇt yaiku sangkaning paran, langgȇng amurba amisesa.
Karsa, sangkaning pangganda,: dadining angin, paraning pangambu, nyatane
kȇrasa, nȇnging pangganda, jatining mahasuci, nyatane Mukamad23
, kumpuling
urip kabèh, tȇtȇping sih, dat lȇs iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng
kang murba kang misesa.
[22]Obah, sangkaning paningal, dadining banyu, paraning wulan, nyatane suci,
nȇnging paningal jatining Allah, nyatane Nabiyolah, kumpuling rupa kabèh,
tȇtȇping wahyu, dat tap, iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng murba
wasesa.
Osik, sangkaning pamiyarsa, dadining gȇni, paraning srȇngenge, nyataning
pangrungu, nȇnging pamiyarsa, jatining jumȇnȇng, nyataning tunggul, kumpuling
suwara kabèh, tȇtȇping nugraha, datanpa sangkan tan paran langgȇng kang
murba amisesa.
Utawi uriping kandha, uriping warna, uriping ganda, uriping rasa.
Tȇgȇsipun kandha, pamirȇng.
Tȇgȇsipun warna, paningal.
Tȇgȇsipun ganda, pangambu.
22
dat* 23
Mukhamad*
84
Tȇgȇsipun rasa, pangucap.
Uriping jȇsmani.
Tȇgȇse sabda iku pangucap sapisan kang nyata.
Dene kang pȇpitu iku padha mahasuci kabèh.
Utawi kang sinȇbut mahasuci mau, satunggi- [23] l mahasucining kandha.
Kalih mahasucining warna.
Tiga mahasucining ganda.
Sakawan mahasucining rasa.
Gangsal mahasucining urip.
Kaping nȇm mahasucining rupa.
Kaping pitu mahasucining sabda.
Utawi tuduhing guru, kang kawan prakawis punika, ana, ora,sira, pȇsthi.
Ana, dèn anakakȇn ananing dhewe.
Ora, iku ora pisan-pisan, ora ana ananing dhewe.
Sira, tȇgȇse sakawula, ingsun tȇgȇse sagusti.
Utawi wȇkasaning urip punika, urip pitung prakawis kang kasȇbut ing ngajȇng
wau.
Tȇgȇse ingaranan pati, iku patȇmoning dad24
pȇt. Tȇgȇse dad25
pȇt, iku, nȇnging
pangucap.
24
dat* 25
dat*
85
Dad26
plȇng iku nȇnging pamiyarsa.
Milanipun ingaranan pati iku, dening wus pa- [24] titis, patȇmoning dad27
kawan
prakawis, inggih punika sampurnaning pituduhing guru.
Utawi sih wahyu nugrahaning iku,tȇgȇse sih tȇtȇping ganda, nyataning angin
Pangeran tȇtȇping antara.
Wahyu tȇgȇse padhanging paningal, nyataning banyu jatining Allah.
Nugraha, tȇgȇse pamiyarsa jatining gȇni, nyatane nabiyolah.
Pangeran tȇgȇse pangucap, jatining bumi, nyatane rasullolah.
Utawi ingkang botȇn arah, botȇn ȇnggèn, botȇn warna, botȇn kandha.
Punika tȇgȇsipun, kang botȇn ȇnggèn tȇgȇsipun bumi.
Kang botȇn arah tȇgȇsipun angin.
Kang botȇn warna tȇgȇsipun banyu.
Kang botȇn kandha tȇgȇsipun gȇni.
Utawi bangsa kawan prakawis malih kang binasakakȇn, : suwung, samun, sȇpi,
samar.
Tȇgȇsipun suwung jurang.
[25]Tȇgȇsipun samun, ara-ara.
Tȇgȇsipun sȇpi, gunung.
Tȇgȇsipun samar, sagara.
Ing ngandhap punika nyatanipun sadaya.
26
Dat* 27
dat*
86
Suwung, pangucap,
Samun, pangganda,
Sȇpi, paningal,
Samar, pamiyarsa.
Punika inggahipun kawan prakawis malih, rapal makna murat utawi raosipun,
ing ngandhap punika nyatanipun :
Sir, tȇtȇping, karsa, Pangeran arane.
Warna, tȇtȇping kandha, Allah,
Kandha, tȇtȇping warna, Mukhamad,
Yèn karsa tȇtȇping sahrasa, rasullolah arane.
Yèn kandha, warna, amburasa, tȇtȇping urip Pangeran arane.
Yèn urip tȇtȇping Pangeran, mahasuci arane.
Yaiku kang ora wiwitan kang ora wȇkasan. [26] Lagi kahananing kadim,
salawase anglimputi ing jagad iku kabèh.
Punika inggahipun malih, ingkang aran kawula punika, pola, ing ngandhap
punika tȇgȇsipun kawula.
Cipta, ripta, rasa, kȇrasa, bumi tekate.
Ing ngandhap punika buntasipun pindhah kawan prakawis. :
Utawi kang aran di rumangsa,
Di aja rumangsa,
Di waspada,
87
Di aja wȇruh,
Iku rumangsane dening wis kawimbuhan, sih wahyu nugrahaning Pangeran, ora
rumangsa pisan-pisan, yèn anduwenana kang anyar kabèh, iki kagunganing
Pangeran.
Bisa di waspada iku, dèn awas ing sangkan parane, wis ora sak mamang.
Dene basa diaja wȇruh iku, kang ora dèn kawruhi sarupane kang bangsa anyar
kabèh, wis ora pisan yèn ngawruhan.
[27]Utawa basa di rumangsa, di waspada iku, tuduh kang bȇnȇr, lan wȇkase kang
tȇmȇn, iku kang aran sajatining tȇmȇn iku guru.
Utawi wijènipun kawan prakawis punika ujudipun28
:
Sir, sampurnaning ngȇlȇd-ȇlȇdan, nȇpsune luamah, pangidhȇpe rasullolah,
lungguhe ing eling.
Osik, sampurnaning jȇjiling, kumpule ing rȇmpȇla, nȇpsune amarah, pangidhȇpe
ing Allah, lungguhe ing cipta.
Obah, sampurnaning rai, kumpule ing jajantung, nȇpsune supiyah, pangidȇpe ing
Pangeran, lungguhe ing tekat.
Karsa, sampurnane ing utȇk, kumpule ing pusȇr, nȇpsune mutmainah, pangidhȇpe
Mukhamad, lungguhe ing budi.
Utawi kang kocap ing ngajȇng punika, kang bangsa anyar lan kadim, kang
bangsa kawula lan Gusti, kang bangsa batin lan lair.
Utawi kang bangsa suh sirna, iku tan ana kang
28
wujudipun*
88
[28]kȇrasa, amung rasaning kitab, dene kang suh sirna iku, kang katon karungu
lan sak rupane sawiji-wiji kabèh, iku tan ana rasa, iku amung rasa pangrasa
kȇrasa, amung rasaning kitab, iku sajatine tan prabeda rasane, tan prabeda
rupane.
Utawi kang ingaran sajatining manungsa iku, wong kang wis ngawruhi ing
wiwitane ana, tumȇka maring anane ing samȇngko, tumȇkane ing ora anane ing
wȇkasan, yaiku kang jumȇnȇng manungsa, sajatining manungsa.
Utawa bangsa limput-linimputan iku, tȇgȇse wȇngi lan rina, sore lan esuk,
suruping wȇngi kalimputan raina, suruping esuk kalimputan ing sore.
Utawi sampurnaning wȇngi iku pȇtȇnge,
Utawi sampurnaning rina iku padhange,
Utawi kang dados antaraning wȇngi lan raina, esuk antaraning raina, sore
antaraning wȇngi.
Utawa antaraning sakawan punika, dhewe- [29] dhewe,
Ora ana rina lan wȇngi, esuk lan sore, iku kanyataaning donya.
Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar, Gusti lan kawula,
tȇgȇse dhewe - dhewe.
Ora ana kawula dadi Gusti, Gusti dadi kawula.
Ananging ana kalane limput-linimputan.
Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti kalimputan ing kawula,
kawula kalimputan ing Gusti.
89
Utawi karone iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar
tȇka kadim, kang nganakakȇn.
Nyatane Gusti, ananing kawula, lan ananing kawula kanyataaning Gusti.
Utawi kang wus kocap ing ngajȇng wau sadaya, rasaning martabat sanga, lan
rahsaning sahdad29
, lan rasaning kamuksan, lan rasaning kamulyan, kabèh iku
prabot.
Utawi kang sak bȇnȇre, satuhune kang kak,
[30]ora aningali, ora tiningalan.
Ora rumangsa, ora karasa,
Dene pȇpungkasane iku, ora anȇmbah, ora sinȇmbah, ora muji, ora pinuji.
Yaiku jumȇnȇng asma anane ngȇdad30
kang wajibul wujud, kang wajib anane,
kang mo31
Utawi tȇgȇse kaprawiran kaluhuran.
Tȇgȇse kaprawiran iku gȇni lan angin, sabab ora ana kang bisa nyirnakake kaya
gȇni lan angin.
Utawi kaluhuran iku tȇgȇse bumi lan banyu.
ȇndi kang bisa awèh pangan iku nyatane luhur.
Sapa kang bisa nyirnakake, yaiku nyatane luhur prawirane.
Utawi nyatane sipat rahman, lan sipat rahkim
Tȇgȇse sipat rahman iku bumi lan banyu.
29
sahadat* 30
ngȇdat* 31
…..(tidak berani memberi rekomendasi)k
90
[31]Sakrupaning thuthukulan kabèh mȇtu saka bumi, urip tȇka banyu.
Dene tȇgȇsipun sipat rahkim punika angin lan gȇni, ȇndi nyatane, dene tarik-
tinarik, kaya mȇntah matȇng tȇka gȇni, tȇlȇs aking tȇka angin, yaiku nyatane sipat
rahkim lan rahman.
Utawi kang cinatur wau sadaya, kasugihaning Allah, yaiku wajib bikak.
Sampun ngantos sȇmang-sȇmang, gȇni pun lair tumȇka ing batos.
Yèn botȇn dèn kawruhi sadaya, manawi salah surup, gȇni pun nekatakȇn,
pupusing wiji-wiji kang wit-witing kang mȇdharakȇn bangsa kang kathah sadaya
pȇsthi dèn tȇkatakȇn, ing lair tumȇkèng batin.
Utawi wiwitaning alam nasud32
iku, dados wontȇn pangucaping kaki, sabab
kapanjingan cahya kang muklis, dening anak wus birahi.
[32]Utawi wiwitaning alam malakut iku dados cahya kang muklis, manjing
pangrunguning bapa lan biyung, sabab bapa aningali biyang wus birahi.
Utawi wiwitaning alam jabarut punika, dados cahya kang muklis, manjing
patȇmoning bapa lan biyang, kalaning pangantèn, sabab bungah karȇpe bapa lan
biyang, lanang wadon.
Utawi witaning33
alam arwah punika, dados wontȇn sawang-sinawang, ing bapa
lan biyang, sabab cahya kang muklis, manjing wontȇn rasaning johar.
Utawi wiwitaning alam lahut punika, dados cahya kang muklis, sabab manjing
liringing bapa lan biyang, sabab wus kapanjingan rasaning roh ilapi.
32
nasut* 33
wiwitaning@
91
Utawi cahya kang muklis panjinge wontȇn alam lahut, coplok sabab sampun
campuh ing tingaling bapa lan biyang, dene cahya kang coplok saking ing alam
lahut, punika manjing ing alam uluwiyah dados cahya kang muklis, punika
gumantung tanpa canthelan, kang gumilang gilang kang waspada ing
pribadènipun, utawi badhe nyatakakȇn kuwasaning mȇtu nur rasaning u- [33] rip,
Dene kang nampani rasaning roh ilapi, tȇka roh ilapi manjing suwung bapa lan
biyang.
Utawi cahya kang wontȇn ing suwung punika, dados rasa tȇtiga, kang kawȇngku
rasaning suwung iku bakal dados paningal kita.
Utawi rasaning khak datolah, kang kawȇngku ing ratu kawan prakawis, punika
tȇgȇsipun dados pangambu kita.
Utawi rasaning sir, kang kawȇngku mosiking kalamolah, punika dados pangrungu
kita.
Utawi rasaning jumungah kang kawȇngku wontȇn ing sunat panyarok iku, dados
pangucap kita.
Utawi rasaning dad muttak34
, kang kawȇngku ing akhadiyat, dados tokit kita.
Utawi rasaning johar awal, kang kawȇngku ing wahdad iku, dados napas kita.
Utawi rasaning wujudtolah35
, kang kawȇngku ing wakidiyat iku, badhe dadosya
wakita36
.
Utawi cahya kang muklis, mȇnȇng wontȇn wakidiyat, dening badhe nyatakakȇn
rasaning
34
mutlak@ 35
wujudolah* 36
waskita@
92
[34]wujud mokal kang kawȇngku ing jisim alus, mangka lairing wujud meh mokal,
dados rasaning mani, lan manikȇm, kang kawȇngku rasaning kalimah loro, dados
ngalam, tȇgȇse dados kulit kita.
Tȇgȇse alam ajȇsan, dados daging kita.
Tȇgȇse alam misal, dados gȇtih kita.
Tȇgȇse alam arwah, dados balung kita.
Inggih punika laire kalimah kalih, dados alam kawan prakawis.
Dununge wujud kita: utawi cahya kang muklis.
Angsalipun kendȇl wontȇn ing wakidiyat, amawas gone nyatakakȇn ing
kanyataan.
Sarȇng dados coplok saking kalairaning jabang bayi, kang muklis iku manjing
barȇng panangising jabang bayi, inggih punika wȇkasaning kawruh.
Utawi osik punika minangka dados kadhatoning alam arwah, tȇrus rasaning
johar, kang mȇngku urip kita, pitung prakawis.
[35]Dening urip pitung prakara iku kasrah marang roh ilapi.
Dununge wontȇn gène salat kajat sak rȇkangat, tanpa sujud tanpa rukuk, tanpa
puji, tanpa dhikir,wontȇn ing alam lahut.
Yèn kita turu, yèn kita mȇlèk, dununge wontȇn ing alam sulbi, tȇrus ing dhadha
kita, salate kajat kang ngangge sujud rukuk.
93
Dununge salat panȇkung wontȇn ing alam uluhiyah: punika salate: salatun dakim
mulakhak, yahu analkak, yahu-yahu, yahu sakkamalakak-kamalakak wujudte37
,
lah ngali makripattolah.
Utawi lakune roh iku dèn kawruhi, pancate ing lawang siji-sijine, waspadaning
wȇkasan kita tumȇkaning sajati.
Tatkala kèndȇl, roh iku: wontȇn ing alam nasut, ingaranan roh ibulwiyah38
,
pujine: lamaujud dailolah.
Tankala39
kèndȇ40
roh iku: wontȇn alam malakut, ingaranan roh ghaibul41
uwiyah42
, puji-
[36]ne: lamakbud daillollah.
Tatkala kèndȇl roh iku: wontȇn ing alam arwah, ingaranan roh kudus, pujine :
layatkuru laailollah.
Tatkala andungkap ing alam lahut, ingaranan roh ilapi, tanpa puji, tanpa dhikir,
amung arȇp paningale dhewe, iku ingaranan sih nugraha.
Sirolah sirasa rohku: rasaku Allah, amurba rasaning dumadi kabèh.
Rasaku rasa Mukamad43
, anyamadi rasaning dumadi kabèh.
Ya ingsun kumpuling rasa, rasaku rasa wasesa, amȇsesani kang dumadi kabèh.
Ya ingsun witing rasa, anaku ananing rasa, rasaku rasullolah, ajȇjuluka arolah;
ajȇjuluk jalallolah, anglȇbur sakèhing kang ala, ya rasa ya rasullolah.
37
wujude* 38
uluwiyah@ 39
tatkala@ 40
kèndȇl@ 41
gaibul* 42
uluwiyah@ 43
Mukhamad*
94
Punika ngelmu kang linarangan para Nabi, para wali, para mukmin sadaya.
Tȇgȇse kang ingaranan urip iku, ȇ-[37]nȇnge sadurunge ana sir.
Tȇgȇse sadurunge ana karsa, iya iku kang sampurna: apȇngale44
.
Ana dene sir iku nyatane rasa, ingsun yaiku dadtolah45
.
Tȇgȇse rasa iku nyatane aling ingsun, yaiku sipatollah.
Kang ingaran roh ilapi iku, kaya rupa nyata ing dalȇm sadurunge kita nyata,
yaiku hakekat mukamaddiyah arane, lan ya ta rupa ing dalȇm maknawiyah iku :
roh arane kakat manungsa arane.
Dene kang aran ayat sabitah iku cahya, yaiku cahya kang luwih adi-adi, tȇgȇse
rupa sadurunge nyata.
Tȇgȇse roh ilapi, kanyataane sajroning soca, yaiku kang mahasucining Pangeran.
Punika prȇnahing pati, kang datolah prȇnahe rupȇk, sȇbute : hu hu hu hu hu hu:
yaiku sahadate dhewe.
[38]Dene prȇnahe turu iku sipatollah, prȇnahe wus pȇrak, iku prȇnahing Allah,
yaiku sirnaning sipat kabèh.
Dene prȇnahe sȇmbahhyang iku ingkang nama Allah, prȇnahe ingkang ngalȇkah,
iya iku antaraning muni lan mȇnȇng, yaiku antaraning Gusti lan kawula.
Punika panglȇburan badan, sarta tekatipun pisan, ing patine.
Punika sȇbutanipun: Alah lȇbur badan dadi nyawa, lȇbur nyawa dadi cahya,
lȇbur cahya dadi roh ilapi, lȇbur roh ilapi dadi rasa, lȇbur rasa dadi sir, sirna
mulih marang datolah, urip tan kȇna ing pati, urip salawase.
44
apngale* 45
datolah*
95
Terjemahan
[1] Ini artinya : Suluk Dewaruci yang berisi tentang petunjuk ilmu. Artinya
petunjuk, menerangkan tentang beradanya alam semua Dzat. Yang akan dibedah
isinya dari Tanazultarki. Yaitu asal dan tujuan dzat sejati, agar bisa kuat
hatinya/kuat batinnya. Sedangkan yang dibuat untuk pembuka petunjuk
maksudnya itu, penjelasan berbagai macam ilmu makrifat atau ibarat. Selanjutnya
hingga sampai petunjuk, sama-sama mengucap berada di bawah itu. Ini
permulaan/awal, perjalanannya: Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang
Druna, selalu menjalani nasihatnya, di bawah ini semua ceritanya.
Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai memasuki alam
makrifat.
Lalu membunuh raksasa: Rukmaka, Rukmakala, matinya Rukmaka
menjadi/berubah Bathara Endra. Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua
tubuh, atau jadi cahayanya Baitul Makmur. [2] Rukmakala terbunuh menjadi
Bathara Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas.
Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan
atau keperkasaan badan.
Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan empat nafsu
perkara.
Lalu Bratasena pulang ke Amarta, berpamitan dengan saudara karena dia akan
masuk di tengah samudra. Saudara-saudaranya tersebut tidak setuju dan sama-
sama memegang erat-erat, artinya yang menyingkirkan atau menghilangkan
perasaan khawatir, sebagai bentuk pengendalian rasa kasih sayang.
96
Yang kelima Bratasena masuk ke dalam samudra Jinem, artinya segara Jinem,
yaitu hakikat atau sejatinya Pangeran.
Yang keenam, lalu membunuh Naga Nemburnawa, artinya ibarat Bratasena dapat
membunuh pikiran dan perasaan.
Lalu Sang Dewaruci datang, yaitu ibaratnya Dzat sejati datang. Lalu bercakap-
cakap dengan Dewaruci lagi, ibaratnya itu menandakan di alam sunyi sen- [3]
dirian Dzatnya. Lalu masuk di dalam perut. Bertemu dengan Dewaruci itu berada
di alam Kabir, tanda jika tidak dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna,
yaitu menandakan jika sempurna.
Yang ketujuh, Bratasena ketika berada perut, melihat samudra tiada batas,
yaitulah menerangkan perjalanan hati.
Yang kedelapan, Bratasena melihat cahaya bernama Pancamaya, yaitu
menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati, yang menjadi
pimpinan badan. Maka dari itu dinamakan sifat awal (muka sifat), yang kuasanya
menginginkan sifat sejati yang lebih berada di pikiran, tempatnya di penglihatan,
penciuman, perasan, yang tidak samar itu menandakan sejatinya dia.
Yang kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat warna : hitam, merah, kuning,
putih, yaitu yang menerangkan tentang sikap, memberi keberadaan nafsu empat
per- [4] kara, yang bersama-sama menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati.
Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan
sejenisnya.
Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti: iri hati, pemarah
dan sejenisnya.
97
Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan, seperti: banyak
keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya.
Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau serakah terhadap
keutamaan/kebaikan, seperti: bertapa, selalu berdo’a kepada-NYA, dan
sejenisnya.
Yang kesepuluh, Bratasena melihat suatu cahaya yang nyala berkilau delapan
warna: hitam, merah, kuning, putih, hijau, ungu, biru, merah muda: yaitu
menerangkan Pangeran/Allah, ditambah cahayanya terang/cerah, di bawah ini
artinya:
Yang hitam sangat gilap, seperti mustika/kelebihannya bumi, yaitu merendahkan
pikirannya sendiri.
Yang merah sangat gemerlapan, seperti api yang membara, yaitu menunjukkan
ke-[5] licikan pikiran.
Yang kuning bersinar, seperti intan bercahaya, yaitu menunjukkan jahatnya
pikiran.
Yang putih bersih, seperti putihnya mata, yaitu tanda setianya pikiran
Yang hijau berkilau, seperti cahaya manikmaya, yaitu menandakan sentosa/
tentramnya pikiran
Yang biru, seperti nilapakaja, yaitu menerangkan jalannya pikiran.
Yang ungu semu hitam gilap, seperti manik pusparaga, yaitu menandakan pikiran
yang sabar.
Yang merah muda, seperti merah delima, yaitu menandakan perubahan pikiran.
98
Yang kesebelas, Bratasena lalu melihat seperti tawon gumana (anak tawon),
cahayanya sangat cerah, ini pramananing suksma, yang menambahi semua warna
dunia ini, yang meliputi jagad/ dunia kecil dunia besar, seisinya semua, yaitu
makmurnya dari pramananing rahsa.
Yang kedua belas, Bratasena melihat wajah seperti golèk gadhing (boneka gading)
yang terlihat seperti [6] mutiara, cahayanya mencolok/ sumorot, ini pramananing
rahsa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan
dari Dzat atma.
Yang ketiga belas, melihat sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak
berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),
cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa menciptakan
ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam
pada hidup kita sendiri.
Maka ketahuilah jalannya ilmu empat perkara, yang sama-sama harus
diketahui atau yang harus dijalani, oleh para wali, atau yang sama-sama bisa mirip
dengan wali, yang akan disebut di bawah ini:
Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai pemberi simpati/
ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang menyakitkan, jalannya
menerima, artinya sabar.
Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak dan menerima,
jalannya ikhlas.
[7] Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan ketakutan
yang jalannya kejujuran.
99
Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri hati, yang
jalannya utama.
Lalu jalannya Dzat itu ada empat perkara tadi yang jika disatukan jadi satu,
kejujuran, pasrah/ sabar, ikhlas, utama.
Maka ketahuilah, yang menjadi marabahaya/godaan, yaitu adanya empat
macam nafsu, lima cahaya yang terang, yang jadi rencana dzat sejati, yang akan
di bahas di bawah ini:
Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya menjadi cahaya
hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di situ tempatnya kelalaian, oleh
karena itu harus diingat.
Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan keserakahan,
yang nantinya menjadi cahaya merah, yang dinamakan alam lahut, di si- [8] tu
tempat yang sulit, sebab itu datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada.
Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang nantinya jadi cahaya
kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ tempat yang harus disingkirkan,
agar sentosa.
Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi cahaya putih,
yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya mengetahui istana, harap tenang
dan hati-hati, karena di situ cahaya pramana yang datang terlihat: hitam, merah,
kuning, putih, hijau meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang
diatur oleh yang Mahamulia.
100
Maka ketahuilah, isi-isinya empat perkara, lima cahaya cerah, yang bisa
menuju ke kesempurnaan diri, yang disebutkan di bawah ini, yang membuat
damainya hati, sudah sampai punya pilihan salah satunya.
[9] Cahaya hitam seperti nafsu luamah, yang kekuatannya di gerakan bumi, yang
terlihat di dalamnya cahaya hitam itu, berbagai binatang, disitu yang dinamakan
alam nasut, artinya lupa, ketika lupa harap ingat di hati.
Cahaya merah, seperti nafsu amarah, bentuknya seperti nyala api besar, yang
terlihat di dalam cahaya merah, disitu berbagai macam serba kasar, yaitu alam
lahut, artinya yang buat kerusuhan semua, ketika mengalami harap sabar.
Cahaya kuning, seperti nafsu supiyah yang bentuknya seperti angin ribut, yang
terlihat disitu berbagai macam binatang bersayap, itulah alam jabarut, artinya
selalu berubah, harap tetap hati-hati.
Cahaya putih, seperti nafsu mutmainah, yang bentuknya bagai air besar
(samudra), yang terlihat disitu berbagai macam ikan. Yaitu alam malakut, artinya
istana, [10]disitu mulai dari diketahuinya istana. Setelah hilangnya empat perkara.
Selanjutnya cahaya pramana terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau, itulah
alam hidayat, artinya menunjukkan satu-satunya tempat, seperti di bawah ini.
Istana hitam, yaitu istana berbagai bangsa binatang, jika tertarik untuk dilihat
maka akan menjadi bangsa binatang.
Istana serba merah, yaitu istananya bangsa brakasan (jin, setan dan sebagainya),
wujudnya bumi dan sepantarannya dhanyang/abdi, jika sampai tertarik disitu,
pasti akan menjadi bangsanya dhanyang/abdi.
101
Istana serba kuning, yaitu istana sebangsa burung, yang tertarik disitu, tidak lain
akan menjadi bangsanya burung.
Istana serba putih, itu istananya sebangsa ikan, yang jika tertarik akan menjadi
ikan.
Istana serba hijau, yaitu ista- [11]nanya bangsa tumbuhan, yang tertarik disitu
suksmanya akan menjadi tersesat tidak tahu jalan untuk menuju yang Mahakuasa.
Sehilangnya cahaya pramana. Lalu datang dzat cahaya yang jernih, yang terlihat
di situ, serba warna-warna yang hijau/asri, yaitu alam uluhiyah, artinya alam
Pangeran.
Lalu terlihat cahaya memancar, yang terlihat disitu malaikat, artinya seperti:
Terlihat ayah, kakek dan lainnya, yang masih di alam uluhiyah.
Lalu terlihat cahaya berkilauan, di situ yang terlihat bidadari, artinya seperti:
menyerupai ibu, nenek, dan leluhur perempuan, yang masih di alam uluhiyah.
Lalu cahaya berkilauan tanpa bayangan, tanpa arah, tanpa tempat, tanpa bicara,
tanpa warna, tempatnya nikmat, manfaat, rahmat, ada di alam baka, artinya baka,
abadi, yaitu tempatnya Dzat Sejati, berada dari kita sendiri, yaitu yang berkilauan
itu [12] tidak dua, tidak pula tiga, tapi hanya satu.
Sedangkan yang terlihat ayah, kakek tadi, yaitu bayangannya Dzat dari leluhur
laki-laki, yang sudah saling meliputi, saling menetap dengan Dzat pribadi kita.
Sedangkan yang terlihat ibu, nenek, dan lainnya tadi, yaitu menandakan jika yang
sudah saling meliputi, Dzat dengan yang Mahamulia, selanjutnya tidak dapat
pisah.
102
Maka ketahuilah setelah hilangnya jisim, kembali ke asalnya dari cahaya,
menjadi nukat gaib, yang nantinya di alam insan kamil (manusia sempurna), yaitu
yang akan menciptakan menjadi dunia lagi, artinya seperti di bawah ini:
Turunnya ini dikarenakan menginjak/memasuki ahadiyat
Lalu menuju/menginjak wahdat
Lalu menuju wahidiyat
Lalu menuju/menginjak alam arwah
[13] Lalu menuju alam misal
Lalu menuju alam ajsam
Lalu menuju alam insan kamil (manusia sempurna)
Sedangkan yang paling atas mulai dari menuju di alam ajsam, sampai di alam
insan kamil lagi.
Maka ketahuilah, arti alam tujuh perkara tadi, satu persatunya
menerangkan seperti di bawah ini:
Ahadiyat, arti mulainya sesuatu, di situ beradanya Dzat pertama.
Wahdat, arti keberadaan sesuatu, di situlah awal mula keberadaan suatu Dzat, ada
di nukat gaib, artinya nukat,: satu, arti gaib,: samar, ada di dalam manusia tadi.
Wahidiyat, arti akhirnya satu, yaitu akhir dari sifat sesuatu Dzat.
Ajsam, artinya jisim, yaitu sudah dengan Allah, arti Allah adalah badan.
Misal, arti seperti, yaitu [14] yang dinamai sifat yang Mahamulia, ada di dunia
kecil, yang sudah lama dari dunia kecil.
103
Arwah, artinya roh, arti roh hidup, yaitu sudah ditarik dari hidup.
Insan kamil, arti sempurna, yaitu manusia yang sempurna.
Sedangkan pramana artinya waspada/hati-hati.
Nyawa, artinya hidup, yang hidup rahsanya.
Suksma, arti gaib, yang gaib tempatnya, yaitu nukat gaib.
Maka ketahuilah bayangannya hati, atau bayangannya roh, susunannya
mempunyai tujuh nama, tapi setiap namanya beda, berikut di bawah ini susunan
keterangannya:
Hati sir, merupakan bayangan roh jasmani, pekerjaanya menjadi memiliki
kehendak.
Hati suksma, bayangannya rohani, yaitu roh rabani, pekerjaanya memiliki
perasaan.
[15] Hati jinem, bayangannya roh hewani, pekerjaanya memiliki banyak mau/
berkehendak/ keinginan dan rasa.
Hati puad, bayangannya roh nabati, pekerjaanya memiliki sangkaan/ perkiraan
dan pikiran beribadah.
Hati budi, bayangannya roh rahmani, pekerjaanya memiliki angan-angan dan
akal.
Hati maknawi, bayangan roh nurani, pekerjaanya memiliki gagasan/pikiran.
Hati sanubari, merupakan bayangan roh idlafi, pekerjaanya memiliki semua
keinginan.
104
Maka ketahuilah, arti tujuh roh tadi, susunannya menjelaskan seperti yang
di bawah ini:
Roh jasmani, artinya jisim.
Roh rokhani, artinya Pangeran.
Roh hewani, artinya hidup, yang semuanya hidup.
Roh nabati, artinya yang hidup, [16] yang hidup rahsa.
Roh rahmani, artinya murah hati/penyayang, yang murah hati af’al (perbuatan).
Roh nurani, artinya cahaya, yaitu cahaya Dzat.
Roh idlafi, artinya bening/ bersih, yaitu berkilau tanpa bayangan bertempat di saat
insan kamil.
Maka ketahuilah alam empat perkara, seperti yang di bawah ini:
Alam nasut, ini arti lupa.
Alam lahut, ini arti berpisah.
Alam jabarut, ini artinya hilang.
Alam malakut, ini artinya istana.
Tetapi tidak istana yang dibuat Mahaluhur, yaitu istana nafsu empat perkara, maka
dari itu harus hati-hati jangan sampai khilaf.
Maka ketahuilah yang namanya anasir hak, seperti yang di bawah ini:
Dzat, artinya kepunyaan.
[17] Sifat, artinya berwujud/berupa.
Asma, artinya nama.
105
Af’al, artinya perbuatan.
Maka ketahuilah, yang dinamai anasir roh, arti anasir hidup, seperti di
bawah ini:
Wujud artinya rupa, yaitu darah,
Ilmu, artinya penglihat,
Nur, artinya cahaya,
Suhud, artinya saksi, yaitu nafas.
Sedangkan nanti yang disusun dahulu, yaitu: wujud/rupa, lalu ilmu, lalu,: cahaya,
lalu,: suhud.
Maka inilah, yang dinamakan anasir jagad/dunia, seperti di bawah ini:
Yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu air, artinya darah dan keringat. Yang kedua
api, artinya yaitu nafsu dan cahaya. Yang ketiga udara, artinya nafas.[18] Yang
keempat bumi, artinya menjadi jasad, atau kulit daging. Besok yang dicabut
terlebih dahulu air, lalu,: api, lalu,: udara, lalu,: bumi
Maka ketahuilah, yang bernama anasir sifat, yaitu sifat yang Mahasuci,
yang nantinya dijelaskan susunannya, yang disebut seperti di bawah ini:
Sifat jalal, artinya agung, Dzat yang agung, maka disebut agung, karena tanpa
batas, mulai tidak berbelok, tidak tumbuh, berkuasa meliputi semua dunia, yaitu
hanya keberadaannya yang abadi.
Sifat jamal, artinya indah, yang indah itu sifatnya, maka dari itu disebut indah,
karena tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak berupa/berwujud, tidak berwarna,
tidak berarah, tidak bertempat, berada di alam baka, artinya baka abadi.
106
Sifat khahar, artinya kuasa, yang kuasa namanya, maka dari itu diberi nama
kuasa, [19] yaitu yang bernama Pencipta, Kuasa yang berkuasa segalanya.
Sifat kamal, artinya sempurna, yang sempurna perbuatannya, artinya
pulang/kembali dengan sempurna, sudah mulai tidak akan lagi, yaitu keinginan
Mahakuasa berkuasa dengan keinginannya.
Ini membuka maksudnya, ilmu gaib yang berada di manusia, semua yang
ada di dalam badan, penjelasan suatu badan para nabi, para wali, para
abnormal/gila, para ratu, para oliya (kekasih Allah), di bawah ini maknanya atau
artinya:
Atau yang dinamakan Aku itu, hanya satu yang Mahasuci, yang tidak
tercampur.
Atau Aku itu; tempat yang abadi tidak bertujuan, Aku ini ratu yang mulia dan
yang sempurna; artinya Aku ini [20] ada, tidak dimulai dengan kekosongan, Aku
ini yang tentunya diingat-ingat sebelum ada. Setelah ada artinya ingat apa yang
harus diingat; yang diingat tidak asalnya. Yaitu yang berada di Aku. Yang
tentunya meninggalnya semua hidup; menuju sepi, sunyi, senyap sebelum
menjadi; ada Aku sendiri yang berada sampai nanti; atau yang menjadi patokan
ingat itu ilmu ‘alim maklum, artinya megetahui segala ilmu, mengerti, dan
sebagainya. Yaitu dinamakan mulainya mengasihi. Wahyu dan nugraha yang gaib
dari Allah SWT dan para ratu, yang menjadi simpanan para nabi, para wali, para
mukmin, para abnormal/ orang gila, para ratu oliya, para manusia semua; atau
ilmu itu, ada dan tidaknya, yaitu disebut kasih mengasihi.
107
Atau yang namanya mengetahui itu, tetap tapi diam dan jernih, dan sebagainya,
yaitu bernama wahyu. Atau yang mengetahui itu, dinamakan sepi, samar, sepi, tak
terlihat dan sejenisnya, [21] yaitu bernama nugraha, yang harus diingat adalah
sebaiknya tidak banyak bergerak , itulah tatacara ilmu istana yang sempurna; yaitu
dinamakan kalimat tauhid, artinya tidak mempunyai banyak keinginan, tetapi
hanya ingat sesuatu. Sebenarnya sesuatu yang menjadi keinginannya yaitu
mempunyai ilmu.
Atau artinya empat perkara yaitu, mulut, pencium, penglihatan, pendengar, seperti
di bawah ini keberadaannya:
Sir, asalnya dari mulut, jadinya bumi, ada di sabda atau ucapan, tetapi pengucap
dirinya yakni Pangeran, yang nyatanya Rasulullah, berkumpulnya semua roh,
tetapnya sesuatu, Dzat pet yaitu asalnya tujuan abadi yang berkuasa.
Keinginan, asalnya dari penciuman: jadinya udara, tujuannya pencium, yang
terasa nyatanya, tetapi penciuman dirinya Mahasuci, nyatanya yakni Muhammad,
berkumpulnya semua hidup, tetap saling mengasihi, Dzat les yaitu tak berasal tak
bertujuan, yang berkuasa menciptakan inilah yang abadi.
[22] Gerak, asalnya penglihatan, jadinya air, tujuannya bulan, nyatanya suci, tapi
penglihatan diri terhadap Allah, nyatanya pada nabiyallah, berkumpulnya semua
rupa/wujud, tetapnya di wahyu, Dzat tap, yaitu tidak berasal tidak bertujuan, abadi
yang berkuasa.
Gagasan, asalnya dari pendengaran, jadinya api, tujuannya matahari, nyatanya
untuk mendengar, tapi pendengaran yang keberadaannya pada diri, nyatanya di
108
puncak, berkumpulnya semua suara, tetapnya di nugraha, tidak berasal tidak
bertujuan, berkuasa atas segalanya inilah yang abadi.
Atau menandakan hidupnya, hidupnya berwarna, hidupnya mencium, hidupnya
perasaan.
Artinya bicara, pendengaran.
Arti warna, penglihatan.
Arti bau, penciuman.
Arti rasa, mulut.
Hidupnya jasmani
Artinya sabda itu, pengucapan yang nyata.
Sedangkan yang tujuh itu dengan Mahasuci.
Atau yang disebut Mahasuci tadi, menandakan satu [23] Mahasuci,
Dua Mahasucinya warna,
Tiga Mahasucinya penciuman,
Empat Mahasucinya rasa,
Lima Mahasucinya hidup,
Yang keenam Mahasucinya rupa/wujud,
Yang ketujuh Mahasucinya sabda.
Atau petunjuk guru, yang empat perkara itu, ada, tidak, kamu, takdir.
Ada, yang mengadakan adanya sendiri,
109
Tidak, itu tidak satu-satu, tidak ada adanya sendiri,
Kamu, artinya hanya saya, Aku artinya hanya Aku,
Atau akhirnya kehidupan itu, hidup ada tujuh perkara yang disebutkan di depan
tadi.
Atau yang namanya jasad, itu bertemunya Dzat yang hilang, Dzat pȇt (Dzat
hilang) itu tetapi pada pengucapan.
Dzat pleng akan tetapi itu pada pendengaran.
Maka dinamakan jasad itu, sudah berujung[24] bertemunya Dzat empat perkara,
yaitu menunjukkan sempurnanya guru.
Atau yang memberi wahyu serta nugraha itu artinya saling mengasihi tepatnya di
penciuman, nyatanya udara tepatnya antara Pangeran.
Wahyu artinya terangnya penglihatan, nyatanya air dirinya Allah.
Nugraha artinya pendengaran, dirinya api, nyatanya nabiyallah.
Pangeran artinya pengucap, dirinya bumi, nyatanya Rasulullah.
Atau yang tidak berarah, tidak bertempat, tidak berwarna, tidak bertanda.
Ini artinya, yang tidak bertempat artinya bumi.
Yang tidak berarah artinya udara.
Yang tidak berwarna artinya air.
Yang tidak berwujud artinya api.
Atau empat perkara tadi bisa terbinasakan: kosong, senyap, sepi, samar.
Artinya kosong jurang.
110
[25] Artinya senyap, tanah luas tanpa tumbuhan.
Artinya sepi, gunung.
Artinya samar, samudra.
Di bawah ini semua nyatanya:
Kosong, pengucap
Senyap, penciuman
Sepi, penglihatan
Samar, pendengaran
Selanjutnya empat tingkatan lagi, makna lafal wirid atau maksudnya, di bawah ini
nyatanya:
Sir (rahsa), ditentukan kehendak, namanya Pangeran.
Warna, ditentukan wujud, Allah.
Wujud, ditentukan warna, Muhammad.
Jika kehendak ditentukan serahsa, namanya Rasulullah.
Jika wujud, warna, rasa, ditentukan hidup, namanya Pangeran.
Jika hidup ditentukan Pangeran, namanya Mahasuci.
Yaitu yang tidak berawal, yang tidak berakhir. [26] jika keadaannya abadi,
meliputi di dunia selamanya.
Kemudian tahapan selanjutnya, ini yang namanya kawula (hamba), seperti di
bawah ini artinya kawula (hamba):
Pikiran, gagasan, rasa, kepekaan, tekadnya bumi.
111
Inilah berpindahnya akhir empat perkara:
Atau yang namanya di kepekaan,
Jangan sampai dirasakan,
Harus waspada,
Jangan mengetahui,
Itu rasanya jika sudah didapatkan, mengasihi/memberi wahyu nugrahanya
Pangeran, tidak sekedar satu-satu, jika mempunyai semua yang baru, inilah
miliknya Pangeran.
Maka harus waspada, hati-hati di asal tujuannya, sudah tidak terang.
Sedangkan jangan mengetahui itu maksudnya, yang tidak dapat diketahui
serupanya/sewujudnya oleh golongan/bangsa yang baru semua, sudah tidak dapat
jika mengetahui.
[27] Atau yang dirasakan, dikhawatirkan itu merupakan petunjuk yang benar , dan
ucapan jujur, itulah yang dinamakan guru sejati.
Atau adanya empat perkara ini wujudnya:
Sir (rahsa), sempurnanya di lidah, nafsunya luamah, hormatnya pada Rasulullah,
tempatnya diingatan.
Gagasan, sempurnanya hati, berkumpulnya di dalam rȇmpȇla (ampela), nafsunya
amarah, hormatnya pada Allah, tempatnya di pikiran.
Gerak, sempurnanya wajah, berkumpul di jantung, nafsunya supiyah, hormatnya
di Pangeran, tempatnya di tekad (keinginan).
112
Kemauan, sempurnanya di otak, berkumpulnya di puser, nafsunya mutmainah,
hormatnya di Muhammad, tempatnya di budi (sikap).
Atau yang diucapkan di depan tadi, yang sebangsa baru dan abadi, tentang hamba
dan Allah, yang bangsa batin dan lahir.
Atau tentang yang hilang, itu tidak akan ada yang [28] terasa, hanya rasanya kitab,
jika yang hilang itu, yang terdengar dan serupanya semua sesuatu, itu tidak ada
rasa, hanya rasa, perasa, terasa, hanya kitab rasanya, sejatinya tidak ada perbedaan
rasanya, tidak ada perbedaan rupa.
Atau yang dinamakan manusia sejati itu, orang yang sudah mengetahui
dimulainya ada, sampai kepada siapa nantinya dia berada, sampai tidak adanya di
akhir, yaitu yang berada pada manusia, manusia yang sejati.
Atau golongan/bangsa itu saling berkaitan, artinya malam dan siang, sore dan
pagi, masuknya malam tertutupnya siang, masuknya pagi tertutupnya sore.
Atau sempurnanya malam itu gelap.
Atau sempurnanya siang itu terang.
Atau yang menjadi antara malam dan siang, pagi antaranya siang, sore antaranya
malam.
Atau antaranya empat ini sendiri-[29] sendiri,
Tidak ada siang, dan malam, pagi dan sore, itulah adanya kenyataan dunia.
Atau jika tidak ada pagi, sore, siang, malam, abadi dan baru, Allah dan hamba,
artinya sendiri-sendiri.
Tidak ada hamba jadi Allah, Allah jadi hamba.
113
Tetapi ada kalanya saling meliputi.
Baru meliputi abadi, abadi meliputi baru, Allah meliputi di hamba, hamba
meliputi di Allah.
Atau dua-duanya itu semua, kenyataannya saling berkaitan. Abadi melihat yang
baru, adanya yang baru sampai pada keabadian, yang mengadakan.
Nyatanya Allah, adanya hamba, dan adanya hamba itu adanya Allah.
Atau yang sudah diucapkan semua di depan tadi, rasanya sembilan martabat dan
rahsanya sahadat, dan rasanya kehilangan, dan rasanya keluhuran, itu semua
kebutuhan .
Atau yang sebenarnya adalah hak.
[30] Tidak melihat, tidak terlihat,
Tidak berasa, tidak terasa,
Maka akhirnya itu, tidak menyembah, tidak disembah, tidak memuji, tidak dipuji.
Yaitu berada pada nama adanya Dzat yang wajib al wujud, yang wajib adanya,
yang ….
Atau artinya berani keluhurannya.
Artinya berani itu api dan udara, sebab tidak ada yang dapat
menghilangkan/melenyapkan seperti api dan udara.
Atau arti keluhuran itu bumi dan air.
Mana yang bisa memberi makanan maka akan luhur.
Siapa yang bisa menghilangkan, nyatanya yaitu memiliki keberaniaan yang luhur.
Atau yang nyatanya sifat Rahman, dan sifat Rakhim
114
Artinya sifat Rahman itu bumi dan air.
[31] Wujudnya adalah semua tumbuhan yang keluar dari bumi, hidup dengan
adanya air.
Sedangkan arti sifat Rakhim itu udara dan api, yang mana nyatanya jika saling
terkait, seperti mentah dan matang karena adanya api, basah kering karena adanya
udara, yaitu nyatanya sifat Rakhim dan Rahman.
Atau yang bertempat semua tadi, adalah kekayaannya Allah, yaitu wajib
membuka.
Sudah sampai, api dari lahir sampai batin.
Jika tidak semua diketahui, jika salah masuk, apipun nekad, hilangnya sesuatu
permulaan, yang menjelaskan bangsa banyak semua pasti tekadnya dari lahir
sampai batin.
Atau mulainya alam nasut itu, ada di pengucapan anak, sebab masuknya cahaya
yang suci, oleh anak yang sudah berumur.
[32] Atau mulainya alam malakut itu menjadi cahaya yang suci, masuk ke
pendengarannya bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu yang sudah berumur.
Dan mulainya alam jabarut itu, menjadi cahaya yang suci, masuk pertemuannya
bapak dan ibu, saat jadi pengantin, sebab keinginannya bapak dan ibu, laki-laki
dan perempuan untuk bahagia.
Atau mulainya alam arwah itu, menjadi ada saat bapak dan ibu saling lihat-
melihat, sebab sudah memasuki rasanya roh johar.
115
Atau mulainya alam lahut itu, menjadi cahaya yang berkilau, sebab penglihatan
pada bapak dan ibu yang masuk, sudah memasuki roh idlafi.
Dan cahaya yang berkilau masuknya ada di alam lahut, di lihatnya bapak dan ibu
sudah jadi satu bercampur, sedangkan cahaya yang jadi satu, dari alam lahut itu
masuk di alam uluhiyah menjadi cahaya suci, itu tergantung tanpa gantungan,
yang berkilau yang sebaiknya hati-hati pada pribadinya, atau akan
menyatakan/mengungkapkan kuasa-Nya keluar cahaya rasanya hi- [33]dup.
Sedangkan yang menerima rasanya roh idlafi, sampai roh idlafi masuk dalam
kekosongan bapak dan ibu.
Atau cahaya yang ada dalam kekosongan itu, menjadi tiga rasa, yang berpangku
pada rasa kosong itu pasti menjadi penglihatan kita.
Atau rasanya hak Datullah, yang berpangku pada ratu ada empat perkara, ini
artinya menjadi penciuman kita.
Atau rasanya sir (rahsa), yang berpangku pada gerak-gerik Kalamallah, ini
menjadi pendengar kita.
Atau rasanya jumungah yang berpangku pada di sunat panyarok itu, jadi
pengucap kita.
Atau rasanya Dzat mutlak, yang berpangku di ahadiyat, jadi tauhid kita.
Atau rasanya johar awal, yang berpangku di wahdat, jadi nafas kita.
Atau rasanya wujudtallah, yang berpangku di wahidiyat itu, akan menjadikan
kepekaan batin.
Atau cahaya yang suci, diam di wahidiyat, adapun apabila menyatakan rasanya
116
[34] Wujud mokal yang berpangku di jasad halus, maka lahirnya wujud hampir
putus, menjadi rasanya mani, dan manikem, yang berpangku rasanya dua kalimat
menjadi di alam manusia, artinya menjadi kulit kita.
Arti alam ajsam, menjadi daging kita,
Arti alam misal, menjadi darah kita,
Arti alam arwah, menjadi tulang kita.
Yaitu lahirnya dua kalimat, menjadi empat alam:
Berada pada wujud kita: atau cahaya yang suci.
Dapatnya keberanian ada di wahidiyat, merupakan tempat mengungkapkan/
menyatakan apa adanya.
Bersamaan menjadi satu dari kelahiran si bayi, yang suci itu masuk bersamaan
dengan tangisnya si bayi, yaitu akhirnya ilmu.
Atau tumbuhnya gagasan ini maka tempatnya menjadi di alam arwah, lalu
rasanya johar, yang memangku hidup kita, ada tujuh perkara.
[35] Oleh hidup tujuh perkara itu dipasrahkan terhadap roh idlafi.
Keberadaannya ada di shalat hajat satu rakaat, tanpa sujud, tanpa rukuk, tanpa
puji, tanpa dzikir, berada di alam lahut.
Jika kita tidur, jika kita bangun, beradanya ada di alam sulbi, lalu di dada kita,
shalat hajat memakai sujud rukuk.
Keberadaan rajinnya shalat ada di alam uluhiyah: yaitu shalatnya: shalat daim
mulqaq, yahu analkak, yahu -yahu, yahu sakamalakak-kamalakak wujudnya yakni
makripatullah.
117
Atau lakunya roh itu dapat diketahui, di pintu satu-satunya, akhirnya
kewaspadaanya kita sampai pada sejati.
Disaat singgah, roh itu: ada di alam nasut, dinamakan roh uluwiyah, pujinya:
lamaujud dailullah.
Disaat mampir roh itu, ada di alam malakut, dinamankan roh gaib uluwiyah, puji-
[36] nya: lamakbud dailullah.
Disaat singgah roh itu, ada di alam arwah, dinamakan roh kudus, pujinya:
layatkuru laailallah.
Disaat memasuki di alam lahut, dinamakan roh idlafi, tanpa puji, tanpa dzikir,
hanya ingin melihat sendiri, itu dinamakan memberi nugraha.
Siralullah serasa roh-Ku: rasa-Ku Allah, yang berkuasa rasanya menjadikan
semua.
Rasa-Ku Muhammad, yang menjadikan semua rasanya.
Aku-lah tempat berkumpulnya rasa, rasa-Ku rasa kuasa, berkuasa yang
menjadikan semua.
Aku-lah tempat tumbuhnya rasa, ada-Ku adanya rasa, rasa-Ku Rasulullah, yang
berjulukan arullah; yang berjulukan jalalullah, melebur banyaknya yang jelek, ya
rasa ya Rasulullah.
Ini ilmu yang dilarang oleh para nabi, para wali, para mukmin semua.
Arti yang namanya hidup itu, [37] diamnya sebelum ada sir (rahsa)
Arti sebelumnya ada gagasan, yaitu yang sempurna: perbuatannya.
Ada juga sir (rahsa) itu nyatanya rasa, Aku yaitu Dzatullah.
118
Arti rasa itu nyatanya tertutup Aku, yaitu sifatullah.
Yang dinamakan roh idlafi itu, seperti rupa nyata di dalam sebelumnya kita nyata,
yaitu hakikat muhammadiyah namanya, dan juga rupa di dalam maknawiyah itu:
namanya roh kakat yang namanya manusia.
Sedangkan yang namanya ayat sabitah (tetap) itu cahaya, yaitu cahaya yang baik,
artinya wujud sebelum nyata adanya.
Arti roh idlafi, kenyataan di dalam suci, yaitu yang Mahasuci Pangeran.
Ini tepatnya saat meninggal, yang Dzatullah tepatnya rupek, sebutannya: hu hu hu
hu hu hu: yaitu sahadat sendiri. [38] Sedangkan tidur tepatnya itu sifatullah,
tepatnya sudah dekat, tepatnya itu Allah, yaitu menghilangnya semua sifat.
Sedangkan tepatnya sembahyang itu yang bernama Allah, yang tepatnya
melangkah, yaitu diantara bersuara dan diam, yaitu antaranya Gusti dan kawula.
Ini meleburnya badan, serta tekadnya sekalian, di dalam meninggal.
Ini sebutannya: Allah melebur badan menjadi nyawa, melebur nyawa menjadi
cahaya, melebur cahaya menjadi roh idlafi, melebur roh idlafi menjadi rasa,
melebur rasa menjadi sir (rahsa), hilang pulang kepada Dzatullah, hidup tidak
dapat meninggal, hidup selamanya.
B. Kajian Isi
Naskah SDR ini berisi tentang piwulang atau ajaran untuk menuju manusia
yang sempurna (insan kamil). Diawali dengan kisah Bratasena dalam mencari
Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dalam
perjalanan pencarian air kehidupan ini, Bratasena tetap kuat dan mampu
menghadapi apapun yang menghalanginya. Selain itu, di dalam naskah ini lebih
119
ke aplikasi perjalanan batin manusia, bagaimana melawan nafsu, nafsu apa saja
yang ada pada manusia, hal baik yang perlu dilakukan untuk mendekatkan kepada
Hyang Widhi, Sang Kholiq. Kemudian menerangkan tingkatan 7 alam yakni alam
ahadiyat, wahdat, wahidiyat, arwah, misal, ajsam, dan alam insan kamil. Berikut
pemaparan/pembahasan isi di dalam naskah SDR di setiap bagian disertai halaman
pada naskah:
1. Bagian pertama menceritakan perjalanan Bratasena dalam mencari air
Tirta Pawitrasari disertai makna singkatnya. (hal.1-hal.6)
2. Bagian kedua menjelaskan tentang empat tingkatan/tahapan ilmu yang
harus dilaksanakan, yakni: syariat, tarikat, hakekat, makrifat. (hal.6-hal.7)
3. Bagian ketiga menjelaskan tentang marabahaya adanya empat nafsu
diikuti cahaya, nama alam dan makna singkatnya. (hal.7-hal.8)
4. Bagian keempat menjelaskan tentang isi empat perkara yakni empat
cahaya (menandakan empat nafsu) dan diikuti lima cahaya yang
menggambarkan istana, seperti berikut:
a. Hitam = nafsu luamah = alam nasut
b. Merah = nafsu amarah = alam lahut
c. Kuning = nafsu supiyah = alam jabarut
d. Putih = nafsu mutmainah = alam malakut
Setelah hilangnya empat cahaya tersebut, muncul lima cahaya yakni:
a. Istana hitam = istana bangsa binatang
b. Istana merah = istana bangsa jin, setan, dan sebagainya
120
c. Istana kuning = istana bangsa burung
d. Istana putih = istana bangsa ikan
e. Istana hijau = istana bangsa tumbuhan (hal.8-hal.12)
5. Bagian kelima menjabarkan tentang tujuh alam yakni: mulai dari ahadiyat,
wahdat,wahidiyat, arwah, misal,ajsam, insan kamil. (hal.12-hal.13)
6. Bagian keenam menjelaskan tentang makna singkat tujuh alam di bagian
sebelumnya yakni:
Ahadiyat = mulainya sesuatu
Wahdat = beradanya sesuatu
Wahidiyat = akhirnya satu
Arwah = roh
Misal = seperti
Ajsam = jisim
insan kamil = sempurna, serta dijelaskan arti pramana, nyawa, suksma.
(hal.13-hal.14)
7. Bagian ketujuh menjelaskan tentang macam hati atau bayangan roh ada 7
(tujuh), yakni:
a. Hati sir (rahsa) = bayangannya roh jasmani = kehendak
b. Hati suksma = bayangannya rohani = rasa
c. Hati jinȇm = bayangannya roh hewani = kemauan
d. Hati fu’ad = bayangannya roh nabati = perkiraan dan pikiran
121
e. Hati budi = bayangannya roh rahmani = angan-angan dan akal
f. Hati maknawi = bayangannya roh nurani = gagasan
g. Hati sanubari = bayangannya roh idlafi = keinginan (hal.14-hal.15)
8. Bagian kedelapan menjelaskan tentang 7 (tujuh) roh pada bagian
sebelumnya,yakni:
a. Roh jasmani = jisim
b. Roh rohani = Pangeran
c. Roh hewani = hidup
d. Roh nabati = hidup rahsanya
e. Roh rahmani = murah hati/penyayang
f. Roh nurani = cahaya
g. Roh idlafi = bersih tanpa bayangan (hal.15-hal.16)
9. Bagian kesembilan menerangkan tentang empat alam beserta arti, seperti:
a. Alam nasut = lupa
b. Alam lahut = berpisah
c. Alam jabarut = hilang
d. Alam malakut = istana (hal.16)
10. Bagian kesepuluh menjelaskan tentang anasir hak (hal.16-hal.17)
11. Bagian kesebelas menjabarkan anasir roh (hal.17)
122
12. Bagian kedua belas menerangkan tentang anasir jagad (dunia). (hal.17-
hal.18)
13. Bagian ketiga belas menerangkan tentang anasir sifat (hal.18-hal.19)
14. Bagian keempat belas ini pembukaan maksud dari ilmu gaib yang berada
di manusia. (hal.19)
15. Bagian kelima belas menerangkan tentang siapa kawula, siapa Gusti dan
cara manusia dapat bersatu dengan Tuhan. (hal.19-hal.38)
Penggambaran bagian di atas cukup jelas isi naskah SDR. Tidak
sepenuhnya isi di setiap bagian saling berkaitan antara bagian pertama dengan
bagian kedua dan selanjutnya, akan tetapi masih satu kesatuan pembahasannya.
Dalam naskah SDR ini lebih cenderung pada ajaran suluk/tasawuf/mistik Jawa
yang mana dapat pula jika diterapkan pada kehidupan manusia sesungguhnya.
Untuk mengetahui ajaran suluk/tasawuf yang terkandung pada naskah, maka
kandungan isi SDR dibahas secara berurutan.
1. Perjalanan Bratasena
Suluk Dewaruci dimulai dari perjalanan Bratasena yang mencari Tirta
Pawitrasari (air kehidupan) berisi tentang petunjuk ilmu yang menerangkan
tentang beradanya Dzat. Yang akan dibedah isinya dari Tanazultarki, yaitu
asal dan tujuan Dzat sejati. Tokoh Bratasena di sini dapat diartikan lambang
tiap manusia ketika berguru pada Dhanghyang Druna (guru sejati) selalu
menjalani nasihatnya. Tidak memandang resiko yang akan dihadapi oleh
Bratasena. Manusiapun sebaiknya memiliki sikap seperti Bratasena yang
tidak ragu dalam menjalankan nasihat dari sang guru, sayangnya dalam
123
kehidupan sekarang sulit dijumpai manusia yang seperti Bratasena, penuh
ragu-ragu dan was-was.
Perjalanan Bratasena ini diawali pergi ke gunung Reksamuka, yang
artinya mulai memasuki alam makrifat pada tahapan kedua yakni tarikat. Di
gunung Reksamuka Bratasena dapat membunuh raksasa Rukmaka dan
Rukmakala, yang mana matinya Rukmaka menjadi Bathara Endra. Endra
artinya gunung ibarat semua tubuh yang tepatnya di dalam Baitul Makmur,
sedangkan Rukmakala terbunuh menjadi Bathara Bayu, yang artinya angin,
tepatnya di Baitul Muqadas. Selanjutnya Bratasena disuruh datang ke sumur
Sigrangga, artinya ibarat keperkasaan atau kesentosaan badan. Dalam sumur
Sigrangga Bratasena diserang oleh naga betina, akan tetapi akhirnya
Bratasena dapat membunuh naga betina yang artinya dapat mengendalikan
empat nafsu. Lalu Bratasena pulang ke Amarta, untuk berpamitan dengan
saudara-saudaranya karena dia akan masuk di tengah samudra. Akan tetapi
saudara-saudaranya tidak setuju jika Bratasena pergi ke tengah samudra. Oleh
karena itu saudara-saudaranya sama-sama memegang erat-erat. Hanya saja
Bratasena tetap pada pendiriannya untuk meninggalkan saudara-saudaranya
untuk pergi ke tengah samudra sesuai perintah dari sang guru, artinya yang
menyingkirkan atau menghilangkan perasaan khawatir, sebagai bentuk
pengendalian rasa kasih sayang. Lalu sesampai samudra, Bratasena memasuki
lautan atau samudra Jinem, artinya Jinem yaitu hakikat atau sejatinya Tuhan.
Keenam, dalam perjalanan memasuki samudra tersebut, Bratasena diserang
Naga Nemburnawa, dan Bratasena dapat membunuh Naga Nemburnawa,
artinya ibarat Bratasena dapat membunuh pikiran dan perasaan. Selanjutnya
124
datanglah Sang Dewaruci, ibaratnya Dzat Sejati (Tuhan) yang datang. Lalu
bercakap-cakap Dewaruci dengan Bratasena, ibaratnya menandakan berada
pada alam sunyi sendirian. Lalu Bratasena masuk di dalam perut, dan di
situlah bertemu dengan Dewaruci tepatnya di alam Kabir yang tandanya tidak
dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna, yaitu menandakan
kesempurnaan. Yang ketujuh, Bratasena ketika berada di dalam perut, melihat
samudra tanpa batas, yaitu menerangkan perjalanan hati. Kemudian Bratasena
melihat cahaya Pancamaya, yaitu menerangkan jantung, yang meliputi
hakikat atau sejatinya hati. Kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat
warna yang menerangkan tentang sikap, yang sama-sama menjadi halangan
atau godaannya hati yaitu:
a. Warna hitam, menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan
sejenisnya.
b. Warna merah, menyebabkan angkara murka, sperti amarah,
memarahi dan sejenisnya.
c. Warna kuning, menyebabkan hawa kemurkaan, seperti keinginan,
yang disukai, yang disenangi sejenisnya.
d. Warna putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan kemurkaan/
keserakahan terhadap keutamaan/ajaran, seperti : do’a kepada-NYA, dan
sejenisnya.
Setelah hilangnya empat cahaya Bratasena melihat satu barang yang
menyala berkilauan delapan warna, yaitu: hitam, merah, kuning, putih, hijau,
ungu, biru, merah muda yaitu menerangkan Tuhan. Selanjutnya Bratasena
125
lalu melihat cahaya berkilat terang memancar, itulah namanya pramana (ruh,
kewaspadaan). Yang kedua belas, Bratasena melihat seperti mutiara,
cahayanya berkilauan, inilah pramananya rahsa, yang berkuasa menciptakan
segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan dari Dzat atma. Yang ketiga
belas, Bratasena melihat sifat Esa, tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak
terarah tidak ditempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),
cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa
memerintahkan ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, semua
tergantung pada hidup kita sendiri.
2. Ajaran Suluk/Tasawuf/Mistik Jawa
Dalam naskah SDR ini lebih banyak ajaran suluk daripada cerita
perjalanan Bratasena secara lengkap. Terbukti secara tersurat naskah ini
berisi tentang Tuhan, manusia dan bersatunya manusia dengan Tuhan, yang
mana secara tersirat banyak makna dibalik itu semua. Untuk itu, di bawah ini
dapat diulas dan dijelaskan sebagai berikut oleh peneliti.
a. Konsepsi Tuhan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Disini mengajarkan jika
manusia harus berusaha untuk bersatu dengan Tuhan. Usaha untuk bersatu
dengan Tuhan dapat dicapai melalui penghayatan mistik. Di dalam diri
setiap manusia ada Tuhan, dan manusiapun sebaiknya sadar akan diri
sendiri artinya sadar bahwa manusia adalah ciptaan-Nya. Hanya kepada
Tuhan, manusia mendekatkan pada-Nya, karna hanya Tuhan yang paling
126
sempurna, yang kekal abadi. Seperti kutipan teks SDR (halaman 19 dan
20) di bawah ini:
“….ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci,
kang ora kawoworan. Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng
ora paran-paran iya ingsun iki ratu kang mulya tur kang
sampurna; tȇgȇse ananingsun iki, kang ora wiwitan suwung; ya
ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise
ana tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku
kang jumȇnȇng ingsun.”
Terjemahan :
“….yang dinamakan Aku itu, hanya satu yang Mahasuci, yang
tidak tercampur.Atau Aku itu; tempat yang abadi tidak bertujuan,
Aku ini ratu yang mulia dan yang sempurna; artinya Aku ini ada,
tidak dimulai dengan kekosongan, Aku ini yang tentunya diingat-
ingat sebelum ada. Setelah ada artinya ingat apa yang harus
diingat; yang diingat tidak asalnya. Yaitu yang berada di Aku.”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya satu, tidak jamak
atau lebih. Hanya Tuhan yang sempurna, tidak yang lain. Keberadaan
Tuhan tidak berawal dan tidak berakhir, Dialah Dzat yang kekal/abadi.
Tuhan ada sejak alam dan seisinya belum terbentuk. Tuhan hanya
sendirian di alam yang kosong. Maka dari itu, Tuhan sebaiknya diingat
selalu oleh manusia meskipun Tuhan tidak dapat dilihat secara langsung.
Hal tersebut dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:
“….sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn ȇnggèn,
tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa
wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn
saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi,
inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.”
Terjemahan:
“…sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak berarah tidak
bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),
cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang
berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak ada yang
menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita sendiri.”
127
Penjelasan kutipan di atas yakni Tuhan itu tidak laki-laki, tidak
perempuan. Tuhan tidak pula mempunyai arah, tidak memiliki tempat,
tidak berwujud. Hanya Tuhan yang mempunyai kuasa untuk
memerintahkan ke semua alam. Manusia hanya menjalani dan berusaha,
untuk hasilnya tergantung pada manusia itu sendiri. Contoh dalam
kehidupan sehari-hari, keinginan manusia ingin bekerja sebagai manajer
utama di perusahaan ternama. Untuk mendapat kursi manajer, tidak
mungkin langsung didapat dengan mudah. Hal ini akan melewati tahapan-
tahapan yang mungkin berawal menjadi satpam, lalu staff dan seterusnya.
Dalam hal ini pula yang akan dinilai adalah keuletan seseorang. Keuletan
merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk mencapai apa yang
diinginkannya.
Ungkapan tentang Tuhan dalam naskah SDR ini juga dijelaskan
seperti kutipan berikut:
“Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar,
Gusti lan kawula, tȇgȇse dhewe-dhewe. Ora ana kawula dadi
Gusti, Gusti dadi kawula. Ananging ana kalane limput-linimputan.
Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti
kalimputan ing kawula, kawula kalimputan ing Gusti.Utawi karone
iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar
tȇka kadim, kang nganakakȇn. Nyatane Gusti, ananing kawula, lan
ananing kawula kanyataaning Gusti.”
Terjemahan:
“Atau jika tidak ada pagi, sore, siang, malam, abadi dan baru, Allah
dan hamba, artinya sendiri-sendiri. Tidak ada hamba jadi Allah,
Allah jadi hamba. Tetapi ada kalanya saling meliputi. Baru
meliputi abadi, abadi meliputi baru, Allah meliputi di hamba,
hamba meliputi di Allah. Atau dua-duanya itu semua,
kenyataannya saling berkaitan. Abadi melihat yang baru, adanya
yang baru sampai pada keabadian, yang mengadakan. Nyatanya
Allah, adanya hamba, dan adanya hamba itu adanya Allah.”
128
Uraian di atas menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini maupun yang
kita lihat dalam kehidupan di bumi ini saling terkait atau meliputi. Tidak
sendiri-sendiri. Adanya hamba (manusia) itu karena Allah, Allah juga
berada di dalam setiap manusia. Keduanya saling meliputi ataupun
berkaitan. Ibaratnya dalam kehidupan perlu adanya kegotong-royongan
antarmasyarakat, tidak berjalan sendiri-sendiri.
Dalam naskah SDR ini juga disebutkan sifat yang dimiliki Allah.
Seperti pada kutipan berikut:
“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih
sipat ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil -
tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika:
Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung datipun, mila
dipuntȇmbungakȇn agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn
lukak, botȇn wuwuh, kawasa nglimputi ing jagad sadaya, inggih
punika wontȇnipun amung langgȇng.”
Terjemahan:
“Maka ketahuilah, yang bernama anasir sifat, yaitu sifat yang
Mahasuci, yang nantinya dijelaskan susunannya, yang disebut
seperti di bawah ini:
Sifat jalal, artinya agung, Dzat yang agung, maka disebut agung,
karena tanpa batas, mulai tidak berbelok, tidak tumbuh, berkuasa
meliputi semua dunia, yaitu hanya keberadaannya yang abadi.”
Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa sifat yang Mahasuci (Allah) yakni
memiliki sifat jalal, yang artinya agung. Allah Mahabesar. Di dunia ini
hanya Allah yang berkuasa dan hanya Dia yang abadi. Selain itu Allah
juga memiliki sifat jamal. Seperti kutipan berikut:
“Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila
sipatipun katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn
rupa, botȇn warna, botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn
ngalam baka, tȇgȇsing baka langgȇng.”
129
Terjemahan:
“Sifat jamal, artinya indah, yang indah itu sifatnya, maka dari itu
disebut indah, karena tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak
berupa/berwujud, tidak berwarna, tidak berarah, tidak bertempat,
berada di alam baka, artinya baka abadi.”
Uraian tersebut menjabarkan bahwa Allah memiliki sifat jamal
yang artinya indah, sebab Allah tidak laki-laki, tidak pula perempuan.
Tidak berwujud. Tempatnya Allah hanya di alam baka/gaib. Tidak dapat
dapat dilihat secara langsung. Dialah Sang Penguasa atas segalanya, yang
mampu membolak-balikkan takdir seperti hanya membalikkan telapak
tangan. Oleh sebab itu, Tuhan memiliki sifat yang disebut sifat khahar.
“Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila
asma dipunbasakakȇn wisesa. Inggih punika ingkang nama
amurba, amisesa kang kawasa.”
Terjemahan:
“Sifat khahar, artinya kuasa, yang kuasa namanya, maka dari itu
diberi nama kuasa, [19] yaitu yang bernama Pencipta, Kuasa yang
berkuasa segalanya.”
Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah yang berkuasa atas segalanya.
Dialah pencipta adanya bumi dan seisinya. Hanya Allah yang sempurna.
Jika manusia, baik laki-laki dan perempuan yang sempurna wujudnya
maupun sikapnya, kesempurnaan itu hanya milik Sang Khaliq. Seperti
kutipan berikut sifat Allah:
“Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun,
tȇgȇsipun sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit
sampun botȇn bȇbadhe malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa
jumȇnȇng kalawan sibadènipun.”
Terjemahan:
“Sifat kamal, artinya sempurna, yang sempurna perbuatannya,
artinya pulang/kembali dengan sempurna, sudah mulai tidak akan
lagi, yaitu keinginan Mahakuasa berkuasa dengan keinginannya.”
130
b. Konsepsi Manusia
Penggambaran penciptaaan manusia dalam naskah SDR ini sama
halnya penciptaan dunia. Kalau dunia adalah jagad besar dan manusia
merupakan jagad kecilnya.
“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados
ing ngandhap punika:
Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan
riwe. Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan
cahya. Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas. Kaping
sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging.
Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn,: gȇni, nuntȇn,:
angin, nuntȇn,: bumi.”
Terjemahan:
“Maka inilah, yang dinamakan anasir jagad/dunia, seperti di
bawah ini:
Yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu air, artinya darah dan
keringat. Yang kedua api, artinya yaitu nafsu dan cahaya. Yang
ketiga udara, artinya nafas.Yang keempat bumi, artinya menjadi
jasad, atau kulit daging. Besok yang dicabut terlebih dahulu air,
lalu,: api, lalu,: udara, lalu,: bumi.”
Uraian di atas memperjelas bahwa, anasir yang ada di jagad besar
merupakan perwujudan di jagad kecil. Anasir ataupun unsur dalam jagad
besar yakni adanya air, api, udara, bumi. Masing-masing anasir tersebut
merupakan suatu wujud anasir yang ada pada jagad kecil. Seperti, air jika
di jagad besar, akan tetapi dalam jagad kecil (manusia) menjadi
perwujudan darah dan keringat. Di jagad besar ada api, dalam jagad kecil
api menjadi dua perwujudan. Yakni perwujudan yang baik dan
perwujudan buruk. Perwujudan buruk dalam bentuk nafsu (marah, rasa
keinginan, murka), sedangkan perwujudan baik akan memunculkan cahaya
atau kepribadian baik pula (usaha, sabar, ikhlas, selalu menerima).
Selanjutnya ada anasir udara, dalam jagad kecil udara menjadi perwujudan
131
dari nafas. Tanpa nafas manusia tak mungkin hidup. Anasir yang terakhir
yakni bumi. Bumi menjadi perwujudan jasad atau kulit daging. Anasir
bumi yang merupakan perwujudan jasad atau kulit daging ini berhubungan
dengan tȇdhak siten. Tȇdhak siten adalah salah satu prosesi upacara adat
Jawa untuk bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan dalam penanggalan Jawa.
Tȇdhak artinya menapakan/memijak/turun, sedangkan siten yang berarti
siti artinya tanah. Dimana bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan harus dapat
menapakan/memijak/menurunkan kakinya ke tanah. Hal ini dilaksanakan
sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu sebagai
penghormatan kepada bumi, dimana tempat seorang anak tinggal dan
pertama kalinya menginjakkan kaki ke tanah. Sebagai lambang
permohonan do’a kepada Tuhan agar si anak kelak siap menghadapi
halangan, rintangan, cobaan, dapat membahagiakan kedua orang tuanya
serta diberi kemudahan/kelancaran, keselamatan, kesehatan, dan rejeki di
dunia. Ini wajar dilaksanakan bagi masyarakat Jawa yang masih
menjunjung tinggi nilai budaya, karena memang manusia hidup di dunia
sudah ada yang mengatur, dan setiap manusiapun berbeda-beda jalan
nasibnya.
Setiap manusia yang diciptakan-Nya memiliki empat (4) unsur
cahaya dalam dirinya. Dimana cahaya tersebut akan menimbulkan nafsu
pada manusia. Semua tergantung manusia dalam mengendalikan ataupun
menyikapinya. Kutipan dalam SDR sebagai berikut:
“….wahananing nȇpsu kawan prakawis, ingkang sami dados
durgamaning manah.
132
Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip
sapanunggilanipun.
Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara,
kadosta: panasten, dȇduka sapanunggilanipun.
Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta,
pȇpenginan, pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.
Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning
kautaman, kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.”
Terjemahan:
“….keberadaan nafsu empat perkara, yang bersama-sama menjadi
halangan, godaan atau bahayanya hati.
Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa
mengantuk dan sejenisnya.
Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti:
iri hati, pemarah dan sejenisnya.
Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan,
seperti: banyak keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya.
Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau
serakah terhadap keutamaan/ kebaikan, seperti: bertapa, selalu
berdo’a kepada-NYA, dan sejenisnya.”
Empat unsur cahaya di atas adalah godaan dalam kehidupan
manusia di dunia. Jika tak ada empat cahaya yang saling bertolak belakang
seperti di atas, perjalanan hidup manusia akan datar-datar saja. Oleh
karena itu, Tuhan menciptakan manusia dengan adanya unsur tiga cahaya
(hitam, merah, kuning) yang akan mengakibatkan manusia untuk berbuat
keburukan, dan hanya ada satu cahaya (putih) agar manusia untuk berbuat
kebaikan. Hal ini sebagai bentuk penilaian Tuhan terhadap hamba-Nya
seberapa jauh hamba-Nya itu dapat mengendalikan nafsu buruk, untuk
berjalan mendekat kepada-Nya dalam hal kebaikan. Empat cahaya tersebut
memiliki nama nafsu sendiri, seperti kutipan berikut:
“Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing
dȇlahan dados cahya cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut,
tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning supe, poma dipunèngȇt.
133
Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka
lan murka, ing dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam
lahut, ing ngriku panggènaning rȇkaos, sabab punika awit
sangganging adon-adon sadaya, punika poma-poma dipunpoma.
Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing
delahan dados cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing
ngriku panggènaning gingsir, poma dipunsantosa.
Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados
cahya pȇthak, dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku
panggènaning sumȇrȇp karaton, poma dipunwaspada, karana ing
ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi : cȇmȇng, abrit,
jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging
punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.”
Terjemahan:
“Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya
menjadi cahaya hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di
situ tempatnya kelalaian, oleh karena itu harus diingat.
Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan
keserakahan, yang nantinya menjadi cahaya merah, yang
dinamakan alam lahut, di situ tempat yang sulit, sebab itu
datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada.
Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang
nantinya jadi cahaya kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ
tempat yang harus disingkirkan, agar sentosa.
Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi
cahaya putih, yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya
mengetahui istana, harap tenang dan hati-hati, karena di situ cahaya
pramana yang datang terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau
meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang diatur
oleh yang Mahamulia.”
Uraian di atas semakin memperjelas, berbagai perwujudan nafsu
dari berbagai macam cahaya yang kelak di alam gaib akan berbeda pula
alamnya. Semua tergantung manusia yang menjalaninya sewaktu di dunia.
Manusia yang sempurna sebaiknya manusia yang dapat mengendalikan
nafsu luamah, amarah, supiyah, mutmainah.
134
Pemahaman tentang manusia dalam naskah ini juga menjelaskan
bahwa ada tujuh nama hati atau bayangan roh, akan tetapi pada hakikatnya
hanya satu. Seperti berikut kutipannya:
“Ati sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados
andarbeni karsa.
Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani,
pandamȇlanipun dados andarbeni pangrasa.
Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados
andarbèni panȇdya kaliyan pangrasa.
Ati puad, wȇwayanganing roh nabati, pandamȇlipun dados
andarbèni panyana lawan pangesthi.
Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados
andarbeni panggraita lan akal.
Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados
andarbeni cipta.
Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados
andarbeni karȇp kaanan sadaya.”
Terjemahan:
“Hati sir, merupakan bayangan roh jasmani, pekerjaanya menjadi
memiliki kehendak.
Hati suksma, bayangannya rohani, yaitu roh rabani, pekerjaanya
memiliki perasaan.
Hati jinem, bayangannya roh hewani, pekerjaanya memiliki banyak
mau/berkehendak/keinginan dan rasa.
Hati puad, bayangannya roh nabati, pekerjaanya memiliki
sangkaan/perkiraan dan pikiran beribadah.
Hati budi, bayangannya roh rahmani, pekerjaanya memiliki angan-
angan dan akal.
Hati maknawi, bayangan roh nurani, pekerjaanya memiliki
gagasan/ pikiran.
Hati sanubari, merupakan bayangan roh idlafi, pekerjaanya
memiliki semua keinginan.”
135
c. Konsep Manunggaling Kawula Gusti
Pada intinya dalam naskah SDR ini mengajarkan tentang
manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan).
Maksudnya cara hidup yang seperti apa untuk mencapai atau mendapatkan
penghayatan kesatuan antara manusia dengan Sang Khaliq atau Tuhannya.
Untuk mencapai penghayatan tersebut dibutuhkan beberapa tahapan-
tahapan/tingkatan-tingkatan layaknya seperti apa yang telah diketahui
ataupun dijalani oleh para wali. Seperti pada kutipan SDR (halaman 6 dan
7) berikut:
“Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng
pangalȇm tuwin panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar.
Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging
karsa, lawan panampik, lampahipun lila.
Hakekat dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng
kasuran, kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.
Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng
katrȇsnan kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.”
Terjemahan:
“Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai
pemberi simpati/ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang
menyakitkan, jalannya menerima, artinya sabar.
Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak
dan menerima, jalannya ikhlas.
Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan
ketakutan yang jalannya kejujuran.
Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri
hati, yang jalannya utama.”
Kutipan di atas menjelaskan untuk mencapai penghayatan kesatuan
antara manusia dengan Tuhan. Yakni setiap manusia sebaiknya memiliki
sifat sabar. Sabar artinya sabar dalam menghadapi perjalanan hidup di
dunia. Mulai dari permasalahan ringan sampai permasalahan berat,
136
manusia diharapkan untuk sabar dalam menyikapinya. Selanjutnya
manusia sebaiknya mempunyai rasa ikhlas terhadap segala hal, mulai dari
menjalani, ditinggalkan maupun meninggalkan. Jika manusia sudah bisa
menjalani kehidupan dengan sabar, ikhlas, lalu diikuti kejujuran. Manusia
sebaiknya memiliki perbuatan jujur terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.
Terlebih jujur kepada Sang Khaliq. Karena dengan adanya kejujuran,
dengan begitu manusia akan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Dan inilah jalan utama untuk mencapai penghayatan
manusia kepada Tuhan.
Hal ini serupa pula dengan cerita Dewaruci. Perjalanan Bratasena
untuk mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) tidak mudah.
Diperlukannya niat yang sungguh-sungguh dan banyaknya godaan di
setiap langkahnya. Langkah perjalanan Bratasena ini berurutan dan
langkah tersebut merupakan perjalanan mistis dengan (4) empat tahapan,
yakni: syariat, tarikat, hakikat, makrifat. Berikut pemaparannya:
Pada kutipan teks SDR (halaman 1) di bawah ini:
“…Bratasena nalika puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng
anglampahi sapitȇdahipun…”
Terjemahan:
“…Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang Druna selalu
menjalani nasihatnya…”
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Bratasena mempunyai guru yang
bernama Druna. Druna adalah guru yang dipercaya oleh Bratasena. Oleh
karena itu semua yang dikatakan/diperintahkan, pasti dilaksanakan
Bratasena. Ini merupakan tahapan/tingkatan syariat pada perjalanan
Bratasena. Kemudian tahapan tarikat dalam perjalanan Bratasena ini
137
dilambangkan Bratasena mematuhi semua perintah dari Druna, seperti
pada kutipan (halaman 1 dan 2) berikut:
“Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun
sampun ngambah ing makripat. Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka,
Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados Bathara Endra. Tȇgȇsipun
Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur, utawi dados
wȇwȇnganing betalmakmur. Rukmakala pȇjahipun dados Bathara
Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas. Ingkang kaping tiga,
Bratasena dhatȇng sumur sigrangga, tȇgȇsipun, punika ngibarat
kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt
nȇpsu kawan prakawis…”
Terjemahan:
“Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai
memasuki alam makrifat. Lalu membunuh raksasa: Rukmaka,
Rukmakala, matinya Rukmaka menjadi/berubah Bathara Endra.
Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua tubuh, atau jadi
cahayanya Baitul Makmur. Rukmakala terbunuh menjadi Bathara
Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas. Yang ketiga, Bratasena
datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan atau
keperkasaan badan. Bratasena lalu membunuh naga betina yang
artinya: mengendalikan empat nafsu perkara.”
Uraian tersebut membuktikan jika Bratasena seorang murid yang patuh
terhadap perintah dari gurunya yakni Druna. Sang Guru memerintahkan
Bratasena untuk pergi ke gunung Reksamuka untuk mencari Tirta
Pawitrasari. Akan tetapi di sana Bratasena tidak menemukan air
kehidupan, hanya dua raksasa yang menghadang Bratasena. Dua raksasa
tersebut yakni Rukmaka dan Rukmakala. Rukma artinya emas, sedangkan
muka artinya wajah. Dua raksasa ini dapat disimbolkan wanita dan harta.
Rukmaka merupakan perwujudan simbol dari wanita, sedangkan
Rukmakala disimbolkan dengan emas (harta). Wanita dan harta merupakan
godaan duniawi bagi seseorang yang ingin mencari jati dirinya. Dapat
mengalahkannya dua raksasa tersebut merupakan simbol bahwa Bratasena
setidaknya sudah dapat mengendalikan hawa nafsu. Setelah dua raksasa itu
138
dibunuh Bratasena, dua raksasa ini adalah hilang dan berubah menjadi
Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua raksasa tadi merupakan penjelmaan
dari Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua Sang Dewa ini kemudian
menyuruh Bratasena untuk kembali ke Druna dan menanyakan yang
sesungguhnya keberadaan Tirta Pawitrasari. Tanpa berpikir panjang,
Bratasena bergegas meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang
untuk menemui Druna. Setelah sampai dan menemui Druna, lalu
ditunjukkannya sumur Sigrangga. Seperti pada kutipan naskah SDR
(halaman 2)
“Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur sigrangga,
tȇgȇsipun, punika ngibarat kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi
naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis,
Nuntȇn Bratasena kundur dhatȇng Amarta, pamit para kadang
badhe anggȇbyur dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami
anggèndholi, tȇgȇsipun: angipatakȇn was-wasing panggalih,
angungkurakȇn ing sih katrȇsnan.
Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun
sagara Jinȇm, sajatining Pangeran.
Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat
amȇjahi cipta kaliyan pangrasa.”
Terjemahan:
“Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu
ibarat kesentosaan atau keperkasaan badan.
Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan
empat nafsu perkara. Lalu Bratasena pulang ke Amarta, berpamitan
dengan saudara karena dia akan masuk di tengah samudra.
Saudara-saudaranya tersebut tidak setuju dan sama-sama
memegang erat-erat, artinya yang menyingkirkan atau
menghilangkan perasaan khawatir, sebagai bentuk pengendalian
rasa kasih sayang.
Yang kelima Bratasena masuk ke dalam samudra Jinem, artinya
segara Jinem, yaitu hakikat atau sejatinya Pangeran.”
Yang keenam, lalu membunuh Naga Nemburnawa, artinya ibarat
Bratasena dapat membunuh pikiran dan perasaan.
139
Uraian di atas menjabarkan perjalanan Bratasena mencari Tirta
Pawitrasari yang masih pada tahapan/ tingkatan tarikat, yakni mematuhi
apa yang diperintahkan oleh Druna untuk pergi ke sumur Sigrangga.
Tanpa keraguan, Bratasena pergi ke sumur Sigrangga. Di sumur Sigrangga
Bratasena bertemu dengan naga betina yang menyerangnya, akan tetapi
Bratasena dapat mengalahkan naga betina tersebut. Dapat diibaratkan
Bratasena dapat mengendalikan empat nafsu. Terbunuhnya naga betina ini
merupakan penjelmaan dari Dewi Maheswari, dan menyuruh Bratasena
untuk pulang, karena sesungguhnya di sumur Sigrangga tidak ada Tirta
Pawitrasari. Itu hanya tipuan dari Druna. Kemudian Bratasenapun pulang
dan menemui sang guru yakni Druna. Bratasena menceritakan semua apa
yang telah dialaminya tadi, dan Bratasena meminta petunjuk yang
sesungguhnya di mana dapat ditemukannya Tirta Pawitrasari (Air
Kehidupan). Lalu Druna menunjukkan keberadaan Tirta Pawitrasari ada
di tengah samudra. Sebelum Bratasena berangkat ke tengah samudra,
Bratasena pulang ke Amarta untuk berpamitan kepada saudara-saudaranya.
Saat berpamitan kepada saudara-saudaranya, mereka tidak ingin/tidak
setuju Bratasena pergi ke tengah samudra tersebut karena akan beresiko
besar nantinya. Hal ini tetap tidak dihiraukan oleh Bratasena. Tekadnya
untuk pergi ke tengah samudra sudah bulat untuk mencari air kehidupan.
Kemudian Bratasena pergi ke samudra Jinem. Samudra Jinem artinya yaitu
hakikat atau sejatinya Pangeran. Sampai di samudra ini, Bratasena
memandangi lautan luas. Jika Bratasena ingin ke tengah samudra, berarti
Bratasena harus masuk ke dalam samudra tersebut, sama saja
140
menenggelamkan di samudra yang luas dan dalam itu dapat membunuh
dirinya sendiri, akan tetapi jika Bratasena tidak masuk dia hanya
membawa pulang malu. Akhirnya Bratasena berpasrah kepada Tuhan,
kematian dan hidupnya hanya diserahkan kepada Tuhan. Kemudian
Bratasena masuk ke samudra. Di tengah samudra Bratasena dihalangi oleh
Naga Nemburnawa. Pada akhirnya Bratasena dapat mengalahkan Naga
Nemburnawa ibarat dapat membunuh pikiran dan perasaan. Naga
Nemburnawa merupakan simbol nafsu yakni harus dapat mematikan
pikiran untuk tidak makan dan minum semaunya/ sepuasnya dan juga
perasaan yang hanya ingin menuruti ego. Contohnya hanya demi
perempuan yang ingin dinikahinya dia rela bertarung untuk
memperebutkan.
Selesainya Bratasena membunuh Naga Nemburnawa, Bratasena
melihat sosok seperti perwujudannya, hanya saja tubuhnya kecil. Dia
adalah Dewaruci. Di sinilah merupakan tahapan/ tingkatan hakikat dalam
perjalanan Bratasena. Seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 2-4) di
bawah ini:
“Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun
dhatȇnging dad sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih,
punika ngibaratipun amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir
tunggil dad sipat asma apngal. Nuntȇn manjing ing guwa garba.
Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn ing ngalam kabir,
tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating ngalam
insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna.
Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali
samodra tanpa tȇpi, inggih punika wahananipun manah.
Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya
namanipun inggih punika wahananing jantung, anglimputi jatining
manah, dados pangarsaning sarira. Mila dipunwastani muka sipat,
141
dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang linuwih ȇmpanipun
wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa,
pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri
sajatining rupa.
Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng,
abrit, jȇne, pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn
wahananing nȇpsu kawan prakawis, ingkang sami dados
durgamaning manah.
“Lalu Sang Dewaruci datang, yaitu ibaratnya Dzat sejati datang.
Lalu bercakap-cakap dengan Dewaruci lagi, ibaratnya itu
menandakan di alam sunyi sendirian Dzatnya. Lalu masuk di dalam
perut. Bertemu dengan Dewaruci itu berada di alam Kabir, tanda
jika tidak dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna, yaitu
menandakan jika sempurna.
Yang ketujuh, Bratasena ketika berada perut, melihat samudra tiada
batas, yaitulah menerangkan perjalanan hati.
Yang kedelapan, Bratasena melihat cahaya bernama Pancamaya,
yaitu menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati,
yang menjadi pimpinan badan. Maka dari itu dinamakan sifat
awal(muka sifat), yang kuasanya menginginkan sifat sejati yang
lebih berada di pikiran, tempatnya di penglihatan, penciuman,
perasan, yang tidak samar itu menandakan sejatinya dia.
Yang kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat warna: hitam,
merah, kuning, putih, yaitu yang menerangkan tentang sikap,
memberi keberadaan nafsu empat perkara, yang bersama-sama
menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati.”
Uraian di atas menjabarkan sesampainya di dasar samudra,
Bratasena bertemu dengan Dewaruci. Dewaruci adalah Dewa atau Tuhan.
Di sini mereka bercakap-cakap. Bratasenapun juga menanyakan kepada
Dewaruci tentang keberadaan Titra Pawitrasari, akan tetapi jawaban yang
mengejutkan bagi Bratasena jika keberadaan air kehidupan tidak akan
pernah ada wujudnya. Hanya dapat dirasakan dalam kesadaran pada diri
seseorang. Kemudian Dewaruci menyuruh Bratasena masuk ke dalam
tubuh Sang Dewaruci. Di dalam perut Dewaruci inilah Bratasena merasa
sendiri, di tempat luas tiada batas yang sunyi, kosong. Peristiwa ini
merupakan tahapan/tingkatan makrifat. Yakni tingkat yang paling
142
sempurna. Dengan bersatunya Bratasena masuk ke dalam tubuh Dewaruci
merupakan simbol bersatunya manusia dengan Tuhan. Di dalam perut
Dewaruci, Bratasena melihat cahaya yang bernama Pancamaya yang
menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati, yang menjadi
pimpinan badan. Kemudian Bratasena melihat empat warna cahaya yakni
hitam, merah, kuning, putih. Keempat warna tersebut memiliki fungsi
kerja yang berbeda-beda sebagai simbol nafsu yang menjadi godaan
duniawi seperti yang dijelaskan pada halaman 131. Oleh karena itu, empat
nafsu tersebut harus dikendalikan. Setelah melihat empat warna cahaya
tadi, Bratasena melihat sesuatu yang menyala berkilau delapan warna
seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 4 dan 5) berikut:
“Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot
wolung warni: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru,
dadu: inggih punika wahananing Pangeran, kawimbuhan
cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun:
Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi,
inggih punika nisthaning cipta.
Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih
punika anȇdahakȇn dusthaning cipta.
Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika
nȇdahakȇn doraning cipta.
Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih
punika nȇdahakȇn sȇtyaning cipta.
Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika
nȇdahakȇn santosaning cipta.
Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn
sambawaning cipta.
Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika
nȇdahakȇn sambadaning cipta.
Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika
nȇdahakȇn ewah gingsiring cipta.”
143
Terjemahan:
“Yang kesepuluh, Bratasena melihat suatu cahaya yang nyala
berkilau delapan warna: hitam, merah, kuning, putih, hijau, ungu,
biru, merah muda: yaitu menerangkan Pangeran/Allah, ditambah
cahayanya terang/cerah, di bawah ini artinya:
Yang hitam sangat gilap, seperti mustika/kelebihannya bumi, yaitu
merendahkan pikirannya sendiri.
Yang merah sangat gemerlapan, seperti api yang membara, yaitu
menunjukkan kelicikan pikiran.
Yang kuning bersinar, seperti intan bercahaya, yaitu menunjukkan
jahatnya pikiran.
Yang putih bersih, seperti putihnya mata, yaitu tanda setianya
pikiran
Yang hijau berkilau, seperti cahaya manikmaya, yaitu menandakan
sentosa/tentramnya pikiran
Yang biru, seperti nilapakaja, yaitu menerangkan jalannya pikiran.
Yang ungu semu hitam gilap, seperti manik pusparaga, yaitu
menandakan pikiran yang sabar.
Yang merah muda, seperti merah delima, yaitu menandakan
perubahan pikiran.”
Uraian tersebut menjabarkan tentang delapan warna berkilauan yang
dilihat oleh Bratasena. Yang mana delapan warna tersebut mempunyai
pekerjaan masing-masing, itu semua adalah penggambaran yang ada di
dalam jagad kecil yakni manusia.
Sehilangnya delapan warna berkilauan tadi, Bratasena melihat
seperti tawon gumana yang cahayanya sangat cerah. Berikut kutipan pada
naskah SDR (halaman 5):
“Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon
gumana, awȇning cahyanipun, punika pramananing suksma,
ingkang mimbuhi warna sadaya, anglimputi jagad alit jagad
agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika gȇsangipun saking
pramananing rahsa.
Terjemahan:
“Yang kesebelas, Bratasena lalu melihat seperti tawon gumana
(anak tawon), cahayanya sangat cerah, ini pramananing suksma,
144
yang menambahi semua warna dunia ini, yang meliputi jagad/dunia
kecil dunia besar, seisinya semua, yaitu makmurnya dari
pramananing rahsa.”
Kutipan ini menjabarkan jika yang dilihat Bratasena seperti tawon gumana
ini perwujudan pramananing suksma dan pramananing rahsa. Setelah
hilangnya cahaya cerah tadi, Bratasena melihat wajah seperti golèk
gadhing (boneka gading). Seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 6):
“Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk
gadhing ingkang kasawang kados pȇputran mutyara, mancur
mancorong cahyanipun, punika pramananing rahsa, kang amurba
amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika gȇsangipun saking
Atma.
Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn
arah botȇn ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang
tanpa wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa
nitahakȇn saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang
anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.”
Terjemahan:
“Yang kedua belas, Bratasena melihat wajah seperti golèk gadhing
(boneka gading) yang terlihat seperti mutiara, cahayanya
mencolok/sumorot, ini pramananing rahsa, yang berkuasa
menciptakan segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan dari
Dzat atma.
Yang ketiga belas, melihat sifat Esa, bukan laki-laki, bukan
perempuan, tidak berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna
(tak jelas raut wajahnya), cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu
Dzat atma, yang berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak
ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita
sendiri.”
Uraian di atas menjabarkan bahwa yang dilihat Bratasena seperti boneka
gading itu perwujudan Dzat Sejati yang tidak akan pernah dilihat. Tidak
bertempat kedudukan, tidak berwujud, tidak berwarna, tidak perempuan
tidak pula laki-laki. Hanya orang-orang yang waspada. Inilah yang
berkuasa dalam kehidupan diri manusia, karena Dzat ini yang membawa
hidupnya manusia.
145
Itulah wejangan/nasihat yang didapat Bratasena selama berada di
perut Sang Dewaruci. Sesungguhnya perwujudan Tirta Pawitrasari tidak
akan pernah ada, hanya dapat dirasakan dengan ketenangan hati.
Pemahaman atau konsep tentang manunggaling kawula Gusti
dalam naskah ini juga dijelaskan adanya tujuh tingkatan sebagai
perwujudan Tuhan. Seperti kutipan berikut:
“...wangsul dhatȇng asalipun saking cahya, dados nukat gaib,
benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil, inggih punika ingkang
badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih wadhag
punika:
Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat.
Lajȇng ngambah wahdad.
Lajȇng ngambah wakidiyat.
Lajȇng ngambah ngalam arwah.
Lajȇng ngambah ngalam misal.
Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan.
Lajȇng ngambah ngalam insan kamil.
Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan,
sapanginggilipun dumugi ing ngalam insan kamil malih.
Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis
wau, wijanging satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap
punika:
Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah,
ing dat sawiji.
Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging
dat sawiji, wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun
gaib,: samar, wontȇn dalȇm manungsa wau.
Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning
sipating dat sawiji.
Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah,
tȇgȇsipun Allah badan.
Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: kadamȇl sêsilih sipat
ingkang mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad
alit:
146
Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib, inggih punika sampun
kapanjingan gȇsang.
Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang
sampurna.”
Terjemahan:
“…kembali ke asalnya dari cahaya, menjadi nukat gaib, yang
nantinya di alam insan kamil (manusia sempurna), yaitu yang akan
menciptakan menjadi dunia lagi, artinya seperti di bawah ini:
Turunnya ini dikarenakan menginjak/ memasuki ahadiyat
Lalu menuju/ menginjak wahdat
Lalu menuju wahidiyat
Lalu menuju/ menginjak alam arwah
Lalu menuju alam misal
Lalu menuju alam ajsam
Lalu menuju alam insan kamil (manusia sempurna)
Sedangkan yang paling atas mulai dari menuju di alam ajsam,
sampai di alam insan kamil lagi.
Maka ketahuilah, arti alam tujuh perkara tadi, satu persatunya
menerangkan seperti di bawah ini:
Ahadiyat, arti mulainya sesuatu, di situ beradanya Dzat pertama.
Wahdat, artinya keberadaan sesuatu, di situ awal mula keberadaan
suatu Dzat, ada di nukat gaib, artinya nukat,: satu, arti gaib,: samar,
ada di dalam manusia tadi.
Wahidiyat, arti akhirnya satu, yaitu akhir dari sifat sesuatu Dzat.
Ajsam, artinya jisim, yaitu sudah dengan Allah, arti Allah adalah
badan.
Misal, arti seperti, yaitu yang dinamai sifat yang Mahamulia, ada di
dunia kecil, yang sudah lama dari dunia kecil.
Arwah, artinya roh, arti roh hidup, yaitu sudah ditarik dari hidup.
Insan kamil, arti sempurna, yaitu manusia yang sempurna.”
Uraian di atas menjelaskan tentang tujuh tingkatan, yang nantinya
manusia sempurna hanya akan ada di alam baka, tempat-Nya, yaitu Alam
yang abadi.