BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara...

106
41 BAB II ANALISIS DATA Pada bab dua ini, peneliti membahas dua kajian. Kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis membahas tentang cara kerja filologi berdasarkan penggarapan naskah tunggal yakni metode standar, sedangkan kajian isi membahas tentang suluk atau mistik yang terkandung dalam naskah SDR ini. A. Kajian Filologis Kajian filologis ini digunakan untuk menggambarkan, melukiskan, menuliskan, melaporkan objek penelitian dengan cara mengkritisi teks yang bersih dari kesalahan berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya. 1. Deskripsi Naskah Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud dan fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Edwar Djamaris (2002: 11) menguraikan bahwa naskah yang sudah berhasil dikumpulkan, segera diolah berupa deskripsi naskah. Hal-hal yang diungkapkan dalam membuat deskripsi suatu naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan n askah; ukuran naskah; tebal naskah; jumah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/ penyalin; asal usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/ cerita. Deskripsi naskah SDR adalah sebagai berikut :

Transcript of BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara...

Page 1: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

41

BAB II

ANALISIS DATA

Pada bab dua ini, peneliti membahas dua kajian. Kajian filologis dan

kajian isi. Kajian filologis membahas tentang cara kerja filologi berdasarkan

penggarapan naskah tunggal yakni metode standar, sedangkan kajian isi

membahas tentang suluk atau mistik yang terkandung dalam naskah SDR ini.

A. Kajian Filologis

Kajian filologis ini digunakan untuk menggambarkan, melukiskan,

menuliskan, melaporkan objek penelitian dengan cara mengkritisi teks yang

bersih dari kesalahan berdasarkan data yang ditemukan atau sebagaimana adanya.

1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai

wujud dan fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah

pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Edwar Djamaris (2002: 11)

menguraikan bahwa naskah yang sudah berhasil dikumpulkan, segera diolah

berupa deskripsi naskah. Hal-hal yang diungkapkan dalam membuat deskripsi

suatu naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah;

nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah; keadaan n askah; ukuran

naskah; tebal naskah; jumah baris per halaman; huruf, aksara, tulisan; cara

penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur naskah; pengarang/

penyalin; asal usul naskah; fungsi sosial naskah; dan ikhtisar teks/ cerita.

Deskripsi naskah SDR adalah sebagai berikut :

Page 2: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

42

a. Judul Naskah

Naskah ini berjudul Suluk Dewaruci

Gambar 27: Judul naskah SDR

Berbunyi : “Suluk Dewaruci”

Inilah sampul bagian luar pada naskah. Masih terlihat utuh, tetapi pada

jilidan sudah terlihat sobek sedikit, dan pada kertas yang bertuliskan judul juga

terlihat sobek sedikit.

Judul naskah secara eksplisit juga tersurat pada halaman 1 baris pertama.

Gambar 28: Judul naskah secara tersurat

Berbunyi : “Punika tȇgȇsipun Suluk Dewaruci…”

Terjemahan : “Ini arti Suluk Dewaruci…”

Page 3: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

43

b. Nomor Naskah

Tidak ada nomor naskah pada naskah ini, karena naskah ini merupakan

milik pribadi.

c. Tempat Penyimpanan Naskah

Naskah ini disimpan di rumah Bapak Joko Setiono yang beralamatkan di

Jalan Raden Patah, Dusun Jambean, Desa Cekok, Kecamatan Babadan,

Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur.

d. Asal Naskah

Naskah SDR ini awalnya dibeli dari seorang pedagang yang berjualan di

pasar loak Gladak, Surakarta, Jawa Tengah.

e. Keadaan Naskah

Keadaan naskah secara fisik masih baik dan utuh/lengkap. Jilidan pada

naskah ini hanya menggunakan benang warna merah, tapi ada yang sobek

sedikit pada jilidan. Tidak ada lembaran naskah yang hilang maupun isi naskah

yang berlubang. Pada halaman 15 kertas bagian tepi agak rapuh/sobek sedikit.

Kertas pada sampul naskah berwarna kebiruan kusam, dengan kertas isi naskah

berwarna putih agak kecoklat-coklatan. Pada sampul naskah tertulis judul

naskah, yang menggunakan bolpoin warna biru. Akan tetapi, pada isi naskah

menggunakan bolpoin warna hitam. Dan terlihat seperti bekas lipatan pada

naskah ini.

Page 4: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

44

Gambar 29: Pemakaian tinta biru pada judul

Pemakaian bolpoin biru pada penulisan judul naskah di cover depan.

Gambar 30: Penjilidan naskah

Penjilidan naskah menggunakan benang warna merah dan terlihat masih rapi.

Gambar 31: Bagian tepi naskah

Bagian tepi naskah pada halaman 15 sudah agak rapuh/sobek.

Page 5: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

45

Gambar 32: Bekas lipatan pada naskah

Pada naskah yang ditemukan peneliti terlihat adanya bekas lipatan naskah

simetris.

Gambar 33: Kondisi jilidan naskah

Seperti inilah pada jilidan naskah sudah agak sobek sedikit.

Page 6: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

46

f. Ukuran Naskah

1) Ukuran Kertas

Panjang : 21,3 cm

Lebar : 17,2 cm

2) Ukuran Teks

Panjang : 17,5 cm

Lebar : 12 cm

Margin atas : 1,7 cm

Margin bawah : 2,1 cm

Margin kanan : 3,1 cm

Margin kiri : 2,1 cm

g. Tebal Naskah

Tebal naskah ini 0,3 cm dengan rincian halaman sebagai berikut :

1) Cover dalam -

2) Isi naskah 38 halaman

3) Halaman kosong 2 halaman kosong setelah sampul depan

Jadi, total halaman pada naskah SDR ada 40 halaman.

h. Jumlah Baris Tiap Halaman

Jumlah baris tiap halaman pada naskah SDR ada 21 baris, kecuali pada

halaman terakhir, yakni halaman 38 ada 23 baris.

Page 7: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

47

i. Huruf, Aksara, dan Tulisan

1) Huruf yang digunakan dalam naskah SDR ini menggunakan huruf Jawa.

2) Aksara yang digunakan dalam naskah ini memakai aksara Jawa carik miji

ketumbar (ngȇtumbar).

3) Tulisan

Pada naskah SDR ini tulisannya bolak-balik, rapi, dan jelas. Akan

tetapi ada beberapa halaman yang tintanya sudah mulai luntur. Seperti

pada halaman 25, 27, 29, 30-33 dan 35. Hal ini dimungkinkan kualitas

tinta yang kurang baik, sehingga mengakibatkan penulisan di verso agak

sulit untuk dibaca. Tulisan dalam naskah ini menggunakan style aksara

Jawa miji ketumbar (ngȇtumbar) dengan condong ke kanan. Tulisan

naskah ini juga menggunakan tinta warna hitam, kecuali pada judul

menggunakan tinta biru. Penekanan pena dalam naskah ini tidak menentu,

ada yang tipis ada yang tebal. Mayoritas tulisannya cukup tebal dan jelas.

Tulisan naskah ini bagus, sehingga mudah dibaca. Halaman juga ditulis

dengan aksara Jawa.

Page 8: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

48

Gambar 34. Penulisan pada naskah

Seperti inilah tulisan naskah, terlihat rapi dan jelas.

Gambar 35: Penulisan yang mulai luntur tintanya

Contoh : pada halaman 27 tulisannya sudah mulai luntur tintanya, akan

tetapi masih bisa dibaca.

Page 9: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

49

j. Cara Penulisan

Penulisan teks pada setiap halaman ditulis dengan bolak-balik atau lebih

dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada

kedua halaman depan belakang. Selain itu teks juga ditulis ke arah lebar,

dimana teks tersebut ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari

kiri ke kanan. Penulisannya sangat rapi.

Gambar 36: Tulisan spidol biru a (halaman 1)

Pada halaman 1 di pojok kanan atas terlihat tulisan dengan spidol warna biru,

tetapi tulisan itu tidak terlalu jelas dan sulit untuk dibaca.

Begitu pula pada halaman 16 dijumpai lagi, akan tetapi tulisan spidol birunya

terdapat di pojok kiri bawah. Seperti gambar di bawah ini.

Gambar 37: Tulisan spidol biru b (halaman 16)

Page 10: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

50

Penyisipan ditulis seperti pada di bawah ini:

Gambar 38: Penyisipan a

Berbunyi: “…punika dados jasad…”(halaman 18), penyisipan kata “dados”

ditambahkan di atasnya.

Terjemahan : “…ini menjadi jasad…”

Gambar 39: Penyisipan b

Berbunyi: “….lajȇng….”(halaman 5), penyisipan kata “lajȇng” ditulis di

bawahnya.

Terjemahan: “…selanjutnya…”

Penulisan yang salah jelas dengan adanya coretan. Seperti di bawah ini:

Gambar 40: Coretan a (halaman 7)

Page 11: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

51

Gambar 41: Coretan b (halaman 15)

Gambar 42: Coretan c

Berbunyi: “ing jagada. . .” dan “ipun” (halaman 16)

Terjemahan: “ di dunia. . .” dan “nya”

Gambar 43: Coretan d

Berbunyi: “…ing ngandhap…”(halaman 25)

Terjemahan: “…di bawah…”

Page 12: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

52

Gambar 44: Coretan e

Berbunyi: “…manjing pangrunguning bapa lan biyang, sabab bapa aningali

biyang wus birahi…” (halaman 31)

Terjemahan: “…memasuki pendengaran bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu

sudah bernafsu…”

k. Bahan Naskah

Bahan yang digunakan pada naskah SDR ini adalah kertas. Kertas

bergaris, tetapi pada kanan dan kiri kertas terdapat garis bantu dengan pensil,

sehingga penulisannya rapi. Selain itu kertasnya berwarna putih kecoklatan,

sedangkan pada sampulnya berwarna kebiru-biruan. Kualitas kertas cukup

baik, akan tetapi kertas ini juga mudah rusak, misalnya pada kertas yg

bertuliskan judul naskah yang bagian tepi sudah ada yang sobek, begitu pula

pada jilidannya.

l. Bahasa Naskah

Naskah SDR menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama, akan tetapi

di dalamnya banyak ditemukan kata-kata serapan dari bahasa Arab.

Page 13: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

53

m. Bentuk Teks

Naskah ini berbentuk prosa (gancaran). Keseluruhannya terdiri dari 16

bagian, akan tetapi dalam bagian ke-16 bukan merupakan SDR atau tidak ada

kaitannya dengan SDR, meskipun masih dalam satu jilidan naskah. Adapun

kalimat pada bagian ke-16 yakni:

Gambar 45: Bagian terakhir (halaman 38)

Berbunyi sebagai berikut :

“Punika pȇthikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi

Rugmawati, ingkang pȇpidik wontȇn ing Wukir Mahendra, dhumatȇng buyut,

wastana.

1. tapaning ati iku tȇmȇn, sing sapa tȇmȇn atine, adad barang kang kinarȇpake

tȇka.

2. tapaning nyawa iku mung eling, sing sapa eling ing dalȇm sadina sapisan

kewala, adad barang kang sinȇdya ana.

Page 14: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

54

3. tapaning rasa iku mung ȇning, sing sapa ngeningakȇn ing dalȇm sadina

sapisan kewala, adad kang cinipta dadi”.

Terjemahan :

“Inilah kutipan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi

Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya,

bernama.

1. Tapa hati itu bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh, yang siapa

sungguh-sungguh hatinya, maka apa yang diinginkan akan datang.

2. Tapa nyawa itu bertapa di tingkat nyawa itu hanya ingatan, yang siapa

selalu ingat di setiap harinya saja, maka apa yang diinginkan ada.

3. Tapa rasa itu bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih, yang siapa

menjernihkan rasa setiap harinya sekali, maka biasanya yang diinginkan

tercapai.”

Bagian ke-16 ini masih masuk pada naskah halaman 38, akan tetapi bukan

bagian dari SDR. Hal ini dapat dibuktikan pada Blog Kyai Sayyid Ahmad

Muhammad yang berjudul Pustakaraja Purwa Rahasia Sejarah Tanah Djawa

NKRI. Kutipannya sebagai berikut:

Dewi Rukmawati dhawuh:

“He Kupa, salawase kowe tȇmȇn ing ati, saiki wus ora. Jer tapaning ati

wus owah, èngȇta yèn:

tapaning ati iku tȇmȇn

tapaning nyawa iku mung eling

tapaning rasa iku mung ȇning

Sing sapa ing saben sadina sapisan bae ngeningake rahsa, adat barang

kang cinipta dadi

Sing sapa ing sadina sapisan eling, samubarang kang kinarsakna tȇka

Sing sapa tȇmȇn atine salawase adat barang kang kinarȇpna dadi”

Page 15: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

55

Terjemahan :

Dewi Rukmawati berpesan:

“Hei Kupa, selamanya kamu sungguh-sungguh di dalam hati, sekarang

sudah tidak. Bahwa bertapa di hati sudah berubah, ingatlah apabila:

Bertapa di tingkat hati itu sungguh-sungguh

Bertapa di tingkat nyawa/roh itu hanya ingat

Bertapa di tingkat rasa itu hanya jernih

Barang siapa di setiap hari sekali saja menjernihkan rasa (perasaan), maka

keinginannya akan tercapai

Barang siapa setiap harinya ingat, maka apapun itu yang diinginkan akan

datang/tercapai.

Barang siapa bersungguh-sungguh hatinya selamanya apapun yang

diinginkan akan terwujud.”

Berdasarkan pembuktian tersebut dapat disimpulkan jika bagian ke-16 bukan

bagian dari SDR, akan tetapi interteks (mengambil dari Pustakaraja). Jadi

naskah SDR hanya terdiri dari 15 bagian.

n. Umur Naskah

Pada naskah SDR ini belum diketahui umurnya, karena dalam naskah

tidak ada keterangan. Akan tetapi jika dilihat dari naskah masih bagus,

dimungkinkan naskah ini tergolong naskah muda dan dilihat dari bahasa

naskah ini menggunakan bahasa Jawa Baru ragam krama serta penulisan aksara

Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan).

Page 16: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

56

o. Pengarang/ Penyalin

Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah ini. Meskipun

pada bagian terakhir (bagian 16) naskah tertulis :

“Punika pethikan saking Srat Pustakaraja, andikanipun Risang Suyati, Dewi

Rugmawati, ingkang pȇpidik wonten ing Wukir Mahendra, dhumateng buyut,

wastana”.

Terjemahan :

Inilah petikan dari Serat Pustakaraja, beliau adalah Risang Suyati, Dewi

Rugmawati, yang bertempat tinggal di Gunung Mahendra, kepada buyutnya.

Hal ini tidak menunjukkan adanya pengarang/penyalin pada naskah tersebut.

p. Asal Usul Naskah

Naskah SDR ini asalnya saya beli dari pedagang (seorang bapak) yang

rumahnya di Sangkrah, Surakarta yang berjualan di pasar Loak Gladak,

Surakarta.

q. Fungsi Sosial Naskah

SDR ini berfungsi sebagai piwulang atau pȇpèling, untuk menuju

manusia sempurna itu dibutuhkan empat tahap yakni : syariat, tarekat, hakekat,

dan makrifat (sembah raga, budi, manah, dan rasa). Sering digunakan dalam

wejangan pertunjukan wayang/penyajian wayang.

r. Ikhtisar Naskah

Naskah SDR menceritakan kisah Bratasena untuk menuju manusia yang

sempurna guna menemukan jati dirinya atau pencarian sangkan paraning

dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’ bisa dikatakan juga manunggaling

Page 17: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

57

kawula Gusti, untuk itu Bratasena harus mencari Tirta Pawitrasari (Air

Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dimana termuat amanat

ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju

Tuhannya. Kisah perjalanan Bratasena dalam menuju manusia sempurna atau

jati diri yang sejati ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu : syariat,

tarekat, hakikat, dan makrifat.

Dalam naskah yang diteliti oleh peneliti hanya berisi secara singkat atau

ringkas gambaran perjalanan Bratasena berawal pergi ke Gunung Reksamuka,

lalu mengalahkan dua raksasa yakni Rukmaka dan Rukmakala, selanjutnya ke

sumur Sigrangga, dilanjutkan pergi ke Samudra Jinȇm (Minangkalbu) dan di

sinilah Bratasena bertemu dengan Dewaruci (Dewa berwujud tubuh kerdil).

Dimana Air Tirta Pawitrasari yang dicari Bratasena secara eksplisit

merupakan penggambaran sumber orang hidup yakni Tuhan sendiri. Dalam

cerita ini pengarang secara langsung juga menjelaskan dan menuliskan artinya,

contoh, Bratasena sewaktu membunuh naga estri:

“Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan

prakawis”.

Terjemahan: ”Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya:

mengendalikan nafsu empat perkara.”

Dalam naskah ini selanjutnya lebih menyampaikan pengaplikasian

perjalanan batin manusia, bagaimana melawan pancamaya yang

menggambarkan nafsu manusia dengan diwujudkan cahaya yang berwarna 5

macam, yakni: merah (nafsu amarah), hitam (luamah), kuning (sufiah) dan

Page 18: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

58

putih (mutmainah). Selain itu, ada penjelasan tentang urut-urutannya alam ada

tujuh yakni alam akhadiyat, wahdad, wakidiyat, arwah, misal, ajȇsan, insan

kamil. Dalam naskah ini juga memuat hal baik yang perlu dilakukan manusia

untuk mendekatkan kepada Hyang Widhi, Sang Kholiq. Inilah yang

membedakan naskah ini dengan naskah Dewaruci lainnya. (halaman 22)

2. Kritik Teks

Kritik teks adalah menempatkan teks pada tempat yang sewajarnya,

memberi evaluasi terhadap teks, meneliti dan mengkaji lembaran naskah,

lembaran bacaan yang mengandung kalimat-kalimat atau rangkaian kata-kata

tertentu (Darusuprapta, 1984 : 4). Kritiks teks bertujuan untuk menyajikan sebuah

teks dalam bentuk yang seasli mungkin dan bersih dari kesalahan berdasarkan

bukti - bukti yang terdapat dalam teks, sehingga dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah. Melalui kritik teks inilah peneliti berusaha mengembalikan teks ke

dalam bentuk aslinya atau paling tidak mendekati asli, bersih dari kesalahan dan

dapat dipertanggungjwabkan (Siti Baroroh Baried dkk, 194 : 61). Berdasarkan hal

tersebut peneliti menggunakan pedoman “Ejaan Bahasa Jawa Yang

Disempurnakan (EYD: 2011)”, Kamus Kawi-Jawa (C.F. Winter dan

Ranggawarsita: 1987), Baoesastra Djawa (Poerwadarminta: 1939), dan

sebagainya.

Di dalam kritik teks biasanya ditemukan varian-varian dan varian-varian

tersebut dalam penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:

a. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

Page 19: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

59

b. Lakuna yaitu bagian yang terlewati atau terlampui, baik huruf, suku kata, kata,

maupun kelompok kata.

c. Ketidakkonsistenan yaitu penulisan suku kata maupun kata yang tidak

konsisten penggunaan huruf/ aksara.

d. Korup yaitu bagian teks hilang, akan tetapi bukan karena kerusakan kertas

melainkan peneliti yakin bahwa pada teks masih ada kelanjutan. Terjadinya

korup pada naskah ini dimungkinkan pengarang istirahat waktu proses

menyalin naskah, atau dimungkinkan pada naskah yang akan disalin

mempunyai daya magic, sehingga pengarang tidak berani untuk menyalinnya.

Pengelompokan varian/ kesalahan pada naskah SDR ini disusun dalam

bentuk tabel. Untuk mempermudah dan memahami, maka dibuat singkatan

sebagai berikut :

No. : menunjukkan nomor urut.

Hal/ brs : halaman/ baris.

@ : edisi teks berdasarkan konteks kalimat.

* : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik.

k : korup pada naskah

Edisi : bacaan yang telah dibetulkan.

Tabel 1: Hiperkorek

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 1/ 5 Tanahjultarki

Tanajultarki*

Page 20: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

60

2 2/7 Kundur

kondur*

3 18/10 Dadtipun

datipun*

4 29/18

Sahdad

sahadat*

5 30/5 ngȇdad

ngȇdat*

6 33/14 Muttak

mutlak@

7 33/18 Wujudtolah

wujudolah@

9 35/12 Wujudte

wujude*

10 35/20 Tankala

tatkala@

Page 21: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

61

11 35/18 Ibulwiyah

uluwiyah@

12 35/21 ghaibul

gaibul*

13 37/3 apȇngale

apngale*

14 37/5 Dadtolah

datolah*

Tabel 2: Lakuna Suku Kata

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 1/9 Barat

ibarat@

2 8/10 Panggèning

panggènaning@

Page 22: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

62

3 27/4 Ujudipun

wujudipun*

4 32/8 Witaning

wiwitaning@

5 33/19 wakita

waskita@

6 35/20 kèndȇ

kèndȇl@

7 35/21 uwiyah

uluwiyah@

Tabel 3: Ketidakkonsistenan

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 ½

1/10

10/5

Idayad

Idayat

Idayad*

Page 23: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

63

2 6/10

14/3

Urip

Urib

urip*

3 3/21

7/ 11

nȇpsu

napsu

nȇpsu*

4 11/4

1/6

1/4

2/19

3/1

7/7

7/14

16/5

Dat

dad

dat*

Page 24: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

64

16/21

21/14

23/18

23/18

23/20

24/1

5 7/17

31/7

Nasut

nasud

nasut*

6 13/15

12/14

20/11

gaib

ghaib

gaib*

7 15/21

nabati

nabati*

Page 25: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

65

15/4

nabadti

8 25/14

21/18

36/11

Mukhamad

Mukamad

Mukhamad*

9 37/9

7/1

hakekat

Khakhekat

hakekat*

Tabel 4: Kategori Korup

No Hal/ brs Kata Gambar Edisi

1 30/6 Kang mo….

…(tidak berani

memberi

rekomendasi)k

Page 26: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

66

3. Suntingan Teks, Aparat Kritik, dan Terjemahan

Naskah SDR ini ditulis aksara Jawa carik, maka transliterasi merupakan

langkah yang sangat dibutuhkan dalam rangka penyuntingan teks. Suntingan teks

adalah menyajikan teks bentuk aslinya atau mendekati aslinya, yang bersih dari

kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.

Karena naskah ini merupakan naskah suluk, maka dalam naskah banyak

ditemukan kata-kata yang berbau arab. Seperti kata : “wahdad, akhadiyat,

wakidiyat, ajesan, misal, nganansir”. Kata-kata tersebut tidak mengikuti ejaan

pada kamus dan tetap konsisten penulisannya, sehingga peneliti tidak mengkritisi,

akan tetapi pada terjemahan dan selanjutnya peneliti menyajikan kata-kata serapan

dari bahasa Arab yang tepat.

Aparat kritik merupakan kelengkapan yang menyertai kritik teks sebagai

pertanggungjawaban suntingan (Margono, 2011: 51). Dalam penelitian ini untuk

mendapatkan suntingan teks yang dapat dipertanggungjawabkan secara filologi,

maka suntingan teks, kritik teks dan aparat kritik dilakukan secara bersamaan.

Jadi, jika ada kata–kata yang dianggap keliru diberi nomor kritik teks. Sedangkan

pembetulan yang merupakan apparat kritik diletakkan di bawah teks yaitu berupa

catatan kaki (foot note).

Dalam hal ini metode yang digunakan ialah metode standar. Metode

standar adalah metode yang digunakan dalam penyuntingan naskah tunggal. Di

dalam metode standar, penyunting mengidentifikasi sendiri bagian dalam teks

yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar. Jalan keluar

tersebut ialah (1) apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam

menyarankan bacaan yang lebih baik, (2) jika terdapat teks yang salah, penyunting

Page 27: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

67

dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas dengan

mengacu pada aparat kritik dan bacaan asli akan ditandai dan didaftar sebagai

naskah (Robson, 1994: 25). Hal ini merupakan suatu bentuk pemikiran pembaca

yang mempunyai pendapat atas pembetulan bacaan tersebut. Untuk menyunting

sebuah teks, peneliti harus memperhatikan pemenggalan kata, sebab naskah SDR

ini berbentuk prosa.

Untuk mempermudah pembaca dalam memahami suntingan teks SDR,

maka di bawah ini adalah pedoman yang digunakan oleh penulis dalam

menyajikan suntingan teks SDR.

a. Dalam suntingan teks, huruf kapital digunakan untuk menulis teks nama

orang maupun tokoh, nama tempat.

b. Pemakaian tanda hubung untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam

teks. Contohnya:

adon – adon

isèn - isèning

c. Sastra laku pada penulisan naskah SDR sangat sering muncul, sehingga

perlu penegasan dalam transliterasi, yaitu tidak mengulang konsonan

penutup kata yang di depan. Contohnya:

Page 28: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

68

ing ngidayat → ing idayat

dhatȇng ngamarTa → dhatȇng

Amarta

Untuk mempermudah dalam pembacaan dan pemahaman makna

transliterasi teks SDR, maka digunakan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Angka Arab [1, 2, 3. . .dst] menunjukkan pergantian lembar halaman teks.

b. Angka Arab [ˡ˒. . .dst] yang berada di dalam teks menunjukkan nomor

kritik teks pada kata yang dianggap keliru.

c. Tanda @ menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan

konteks kalimat.

d. Tanda * menunjukkan bahwa edisi teks berdasarkan pertimbangan

linguistik.

e. Tanda diakritik (ȇ) dibaca “e” seperti pengucapan kata “wontȇn” ‘ada’

jika bahasa Jawa dan kata “teduh” dalam bahasa Indonesia.

f. Tanda diakritik (è) dibaca “e” seperti pengucapan kata “yèn” ‘jika’ untuk

bahasa Jawa dan kata “edukasi” untuk bahasa Indonesia.

g. Tanda diakritik (e) dibaca “e” seperti pengucapan kata ”pengin” ‘ingin’

jika bahasa Jawa dan kata “teras” untuk bahasa Indonesia.

Page 29: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

69

SULUK DEWARUCI

[1]Punika tȇgȇsipun: Suluk Dewaruci kawor suraosipun kalayan ngelmi

idayad. Tȇgȇsipun idayad, anȇdahakȇn sawarnining kawontȇnan dad1 sadaya.

Ingkang kawȇdharakȇn saking Tanahjultarki2. Inggih punika sangkan paranipun

dad3 sajati, supados amȇwahana santosaning panggalih. Dene ingkang kadamȇl

bȇbuka suraosipun idayad punika, sawarnining pasȇmonipun ngelmi makripat

utawi barat4. Salajȇngipun dumugi ing idayat

5, sami kocap wontȇn ing ngandhap

punika. Ingkang kadamȇl bȇbuka rumiyin, lȇlampahanipun: Bratasena nalika

puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng anglampahi sapitȇdahipun, ing

ngandhap punika pratelanipun sadaya.

Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun sampun ngambah

ing makripat.

Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka, Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados

Bathara Endra. Tȇgȇsipun Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur,

utawi dados wȇwȇnganing betalmakmur. [2] Rukmakala pȇjahipun dados Bathara

Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas.

Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur Sigrangga, tȇgȇsipun, punika

ngibarat kasing badan.

Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis.

Nuntȇn Bratasena kundur6 dhatȇng Amarta, pamit para kadang badhe anggȇbyur

1 dat*

2 Tanajultarki*

3 dat*

4 ibarat@

5 idayad*

6 kondur*

Page 30: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

70

dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami anggèndholi, tȇgȇsipun:

angipatakȇn was-wasing panggalih, angungkurakȇn ing sih katrȇsnan.

Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun sagara Jinȇm,

sajatining Pangeran.

Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat amȇjahi cipta

kaliyan pangrasa.

Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun dhatȇnging dad7

sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih, punika ngibaratipun

amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir tung- [3] gil dad8 sipat asma apngal.

Nuntȇn manjing ing guwa garba. Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn

ing ngalam kabir, tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating

ngalam insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna.

Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali samodra tanpa tȇpi,

inggih punika wahananipun manah.

Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya namanipun inggih

punika wahananing jantung, anglimputi jatining manah, dados pangarsaning

sarira. Mila dipunwastani muka sipat, dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang

linuwih ȇmpanipun wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa,

pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri sajatining

rupa.

7 dat*

8 dat*

Page 31: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

71

Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng, abrit, jȇne,

pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn wahananing nȇpsu kawan

pra- [4] kawis, ingkang sami dados durgamaning manah.

Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip

sapanunggilanipun.

Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara, kadosta: panasten,

dȇduka sapanunggilanipun.

Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta, pȇpenginan,

pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.

Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning kautaman,

kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.

Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot wolung warni:

cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru, dadu: inggih punika wahananing

Pangeran, kawimbuhan cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun:

Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi, inggih punika

nisthaning cipta.

Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih punika anȇdahakȇn

du- [5] sthaning cipta.

Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika nȇdahakȇn doraning

cipta.

Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih punika nȇdahakȇn

sȇtyaning cipta.

Page 32: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

72

Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika nȇdahakȇn

santosaning cipta.

Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn sambawaning

cipta.

Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika nȇdahakȇn

sambadaning cipta.

Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika nȇdahakȇn ewah

gingsiring cipta.

Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon gumana, awȇning

cahyanipun , punika pramananing suksma, ingkang mimbuhi warna sadaya,

anglimputi jagad alit jagad agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika

gȇsangipun saking pramananing rahsa.

Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk gadhing ingkang

kasawang kados pȇ- [6] putran mutyara, mancur mancorong cahyanipun, punika

pramananing rahsa, kang amurba amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika

gȇsangipun saking Atma.

Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn

ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa wȇwayangan,

inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn saliring ngalam sadaya,

gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip

kita.

Page 33: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

73

Punika kawikanana lampahing ngelmi kawan prakawis, ingkang sami

kinawruhan utawi ingkang sami linampahan, dening para wali, manawi sami

sagȇd mirib, sami kasȇbut ing ngandhap punika :

Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng pangalȇm tuwin

panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar.

Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging karsa, lawan

panampik, lampahipun lila.

[7]Khakhekat9 dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng kasuran,

kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.

Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng katrȇsnan

kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.

Dene lampahipun dad10

punika kawan prakawis wau kakumpulakȇn dados

satunggal tȇmȇn, trima, lila, utami.

Punika kawikanana, ingkang kawastanan pancabaya, inggih punika

napsu11

kawan prakawis, ingkang nitahakȇn cahya kawan warni, gangsal

cahyanipun pramana, ingkang sami dados rancananing dad12

sajati, kasȇbut ing

ngandhap punika :

Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing dȇlahan dados cahya

cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning

supe, poma dipunèngȇt.

9 hakekat*

10 dat*

11 nȇpsu*

12 dat*

Page 34: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

74

Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka lan murka, ing

dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam lahut, ing ngri- [8] ku

panggènaning rȇkaos, sabab punika awit sangganging adon-adon sadaya, punika

poma-poma dipunpoma.

Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing delahan dados

cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing ngriku panggènaning gingsir,

poma dipunsantosa.

Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados cahya pȇthak,

dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku panggèning13

sumȇrȇp karaton, poma

dipunwaspada, karana ing ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi :

cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging

punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.

Punika kawikanana, isèn–isèning cahya kawan prakawis, gangsal

cahyaning pramana, ingkang sami ngrancana dhatȇng ing kasampurnan jati,

kasȇbut ing ngandhap punika, poma dipunsantosa ing galih, sampun ngantos

gadhah pamilih salah satunggal.

[9]Cahya cȇmȇng kadadosanipun nȇpsu luamah, prabawanipun bumi gonjing,

ingkang katingal salȇbȇtipun cahya cȇmȇng punika, sawarnining sato kewan, ing

ngriku dipunwastani ngalam nasut, tȇgȇsipun supe, poma dipunèngȇt ing galih.

Cahya abrit, kadadosanipun nȇpsu amarah, prabawanipun latu amarab- marab,

ingkang katingal salȇbȇtipun cahya abrit, ing ngriku warni danawa brakasakan,

13

panggènaning@

Page 35: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

75

inggih punika ngalam lahut, tȇgȇsipun sangganging adon-adon sadaya, punika

poma dipunsarèh.

Cahya jȇne, kadadosanipun nȇpsu supiyah prabawanipun angin agȇng, ingkang

katingal ing ngriku warni pȇksi sawarnining ibur-iburan, punika ngalam jabarut,

tȇgȇsipun gingsir, poma dipunsantosa.

Cahya pȇthak, kadadosanipun nȇpsu mutmainah, prabawanipun toya agȇng.

Ingkang katingal ing ngriku sawarnining ulam loh. Inggih punika ngalam

malakut, tȇgȇsipun karaton ka- [10] rana ing ngriku wiwitipun sumȇrȇp karaton.

Sasirnaning cahya kawan prakawis wau. Nuntȇn cahyaning pramana katingal

sarȇng sanalika: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, inggih punika ngalam idayat14

,

tȇgȇsipun ȇnggèning nȇdahakȇn karaton satunggil-tunggilipun, kasȇbut kados ing

ngandhap punika .

Karaton sarwa cȇmȇng, inggih punika karatoning sato kewan, manawi kasȇngsȇm

ing paningal badhe dados sato kewan.

Karaton sarwa abrit, inggih punika karatoning brakasakan, samara bumi

sapanunggilanipun dhanyang, yèn ngantos kasȇngsȇm ing ngriku, botȇn wande

dados bangsaning dhanyang.

Karaton sarwa jȇne, inggih punika karatoning pȇksi, yèn kasȇngsȇm ing ngriku,

botȇn wonde dados pȇksi.

Karaton sarwa pȇthak, punika karatoning buron toya, yèn kasȇngsȇm inggih

dados buron toya.

14

idayad*

Page 36: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

76

Karaton sarwa ijȇm, punika karato- [11] ning kȇkayon, yèn kasȇngsȇm ing ngriku,

inggih dados lȇlȇmbat kajeng aèng.

Sasirnanipun cahya pramana, Nuntȇn dhatȇng cahyaning dat kang awȇning,

ingkang katingal ing ngriku, samukawis wȇwarnèn sarwa asri, inggih punika

ngalam uluhiyah, tȇgȇsipun ngalam ing pangeran.

Nuntȇn katingal cahya mancur, ingkang katingal ing ngriku malaekat, tȇgȇsipun

kadosta :

Katingal bapa, kaki sapanunggilanipun, taksih ngalam uluhiyah.

Nuntȇn cahya mancorong, ingkang katingal ing ngriku widadari, tȇgȇsipun

kadosta : katingal biyung, nini, sapanunggilanipun, ingkang nama lȇluhur estri,

inggih taksih ngalam uluhiyah.

Nuntȇn cahya gumilang tanpa wȇwayangan, tanpa arah tanpa ȇnggèn, tanpa

kandha tanpa warna, panggènaning nikmat manpangat rahmat, wontȇn ing

ngalam baka, tȇgȇsipun baka, langgȇng, inggih punika panggènaning dat sajati,

jumȇnȇng kalawan jȇnȇng kita, inggih ingkang gumilang puni- [12] ka botȇn kalih

tȇtiga, amung tunggil sibadènipun.

Dene ingkang katingal bapa kaki wau, inggih punika wȇwayanganing dat kang

saking lȇluhur jalȇr, ingkang sampun limput - linimputan, tȇtȇp tinȇtȇpan, kaliyan

dat kita pribadi.

Dene ingkang katingal biyung nini, sapanunggilanipun wau, inggih makatȇn ugi,

mratandhakakȇn manawi ingkang wau sampun limput linimputan, dat lawan

ingkang mahasuci, lajȇngipun botȇn kenging pisah.

Page 37: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

77

Punika kawikanana sasirnanipun ing jisim, wangsul dhatȇng asalipun

saking cahya, dados nukat ghaib15

, benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil,

inggih punika ingkang badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih

wadhag punika:

Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat.

Lajȇng ngambah wahdad.

Lajȇng ngambah wakidiyat.

Lajȇng ngambah ngalam arwah.

[13]Lajȇng ngambah ngalam misal.

Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan.

Lajȇng ngambah ngalam insan kamil.

Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan, sapanginggilipun dumugi

ing ngalam insan kamil malih.

Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis wau, wijanging

satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap punika:

Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah, ing dat sawiji.

Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging dat sawiji,

wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun gaib,: samar, wontȇn

dalȇm manungsa wau.

Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning sipating dat

sawiji.

15

gaib*

Page 38: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

78

Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah, tȇgȇsipun Allah

badan.

Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: [14] kadamȇl sêsilih sipat ingkang

mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad alit:

Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib16

, inggih punika sampun kapanjingan

gȇsang.

Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang sampurna.

Dene pramana punika tȇgȇsipun waspada.

Nyawa, tȇgȇsipun urip, ingkang gȇsang rahsanipun.

Suksma, tȇgȇsipun gaib, ingkang gaib ȇnggenipun, inggih punika nukat gaib.

Punika kawikanana wȇwayanganing manah, utawi wȇwayanganing roh,

ati satunggil darbe asma pȇpitu, nanging pakaryanipun tunggil, kasȇbut ing

ngandhap punika pratelanipun satunggil – tunggil:

Ati, sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados andarbeni karsa.

Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani, pandamȇlanipun dados

andarbeni pangrasa.

[15]Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados andarbèni

panȇdya kaliyan pangrasa.

Ati puad, wȇwayanganing roh nabadti17

, pandamȇlipun dados andarbèni panyana

lawan pangesthi.

16

urip* 17

nabati*

Page 39: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

79

Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados andarbeni

panggraita lan akal.

Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados andarbeni cipta.

Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados andarbeni karȇp

kaanan sadaya.

Punika kawikanana, tȇgȇsing roh pitung prakawis wau, wȇwȇjanganipun

satunggil-tunggilipun kados ing ngadhap punika:

Roh jasmani, tȇgȇsipun punika jisim.

Roh rokhani, tȇgȇsipun punika Pangeran.

Roh khewani, tȇgȇsipun punika urip, ingkang gȇsang saciptanipun.

Roh nabati, tȇgȇsipun punika cukul. [16] Ingkang cukul rahsanipun.

Roh rahmani, tȇgȇsipun punika murah, ingkang murah Apngalipun.

Roh nurani, tȇgȇsipun punika cahya, inggih cahyaning dad18

.

Roh ilapi, tȇgȇsipun punika wȇning, inggih ingkang gumilang tanpa wayangan,

dumunung wontȇn ing jaman insan kamil.

Punika kawikanana ngalam kawan prakawis, kados ing ngandhap punika:

Ngalam nasut, punika tȇgȇsipun lali.

Ngalam lahut, punika tȇgȇsipun rȇnggang.

Ngalam jabarut, punika tȇgȇsipun gingsir.

Ngalam malakut, punika tȇgȇsipun karaton.

18

dat*

Page 40: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

80

Ananging dede karaton kang ginawe mahamulya, inggih punika karatoning nȇpsu

kawan prakawis, mila dipunwaspada sampun ngantos kasamaran.

Punika kawikanana ingkang nama nganansir khak, kados ing ngandhap

punika:

Dad19

, tȇgȇsipun, kagungan,

[17] Sipat, tȇgȇsipun, rupa.

Asma, tȇgȇsipun aran.

Apngal, tȇgȇsipun, panggawe.

Punika kawikanana, ingkang dipunwastani nganansir roh, tȇgȇsipun

nganansir gȇsang, kados ing ngandhap punika:

Wujud, tȇgesipun rupa, inggih punika gȇtih,

Ngelmu, tȇgȇsipun punika, paningal,

Nur, tȇgȇsipun punika cahya,

Suhud, tȇgȇsipun punika saksi, inggih punika napas.

Dene ing benjang ingkang rinacut rumiyin, punika: wujud. nuntȇn, : ngelmu,

nuntȇn,: nur, nuntȇn,: suhud.

Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados ing

ngandhap punika:

Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan riwe.

Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan cahya.

19

dat*

Page 41: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

81

Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas.

[18]Kaping sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging.

Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn ,: gȇni, nuntȇn,: angin, nuntȇn,:

bumi.

Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih sipat

ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil - tunggilipun, kasȇbut

kados ing ngandhap punika:

Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung dadtipun20

, mila dipuntȇmbungakȇn

agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn lukak, botȇn wuwuh, kawasa

nglimputi ing jagad sadaya, inggih punika wontȇnipun amung langgȇng.

Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila sipatipun

katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn rupa, botȇn warna,

botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn ngalam baka, tȇgȇsing baka

langgȇng.

Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila asma

dipunbasakakȇn wisesa. [19] Inggih punika ingkang nama amurba, amisesa kang

kawasa.

Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun, tȇgȇsipun

sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit sampun botȇn bȇbadhe

malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa jumȇnȇng kalawan sibadènipun.

Punika ambuka suraosipun, ngelmu gaib ingkang dumunung wontȇn ing

manungsa, sadaya kang wontȇn salȇbȇting badan, sajawining badan kang kangge

20

datipun*

Page 42: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

82

pasȇmon para nabi, para wali, para majȇnun, para ratu, para oliya, ing

ngandhap punika maknanipun utawi tȇgȇsipun .

Utawi ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci, kang

ora kawoworan.

Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng ora paran - paran iya ingsun iki ratu

kang mulya tur kang sampurna; tȇgȇse ananing- [20] sun iki, kang ora wiwitan

suwung; ya ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise ana

tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku kang jumȇnȇng

ingsun. Kang tȇmtu ajaling urip sadaya; duk awing - awang uwung - uwung

durung dumadi, ananingsun dhewe kang jumȇnȇng tȇka samȇngko; utawi kang

dados ugȇring eling iku ngelmu ngalim maklum, tȇgȇse kawruh angawruhi,

kinawruhan, sakpanunggilanipun sadaya. Inggih punika ingaranan wiwitaning

sih. Wahyu lan nugraha kang ghaib21

ing Allah tangala tuwin para ratu, kang

saèstu dados pȇpingitan, para Nabi, para wali, para mukmin, para majȇnun, para

ratu oliya, para manungsa sadaya; utawi kawruh punika, anane lan orane, inggih

punika ȇngsih wastanipun.

Utawi ingkang ngawruhi iku, tȇtȇp aning ȇnȇng lan ȇning, sapanunggilanipun

sadaya, inggih punika wahyu wastanipun. Utawi kang kinawruhan iku, ingaranan

sȇpi, samar, samun, suwung, sapanunggilanipun sadaya, inggih [21] punika

nugraha wastanipun, iku poma - poma aja sak aja mosik; inggih punika

patrapipun ngelmu kraton kang luwih sampurna; inggih punika ingaranan

kalimah tokit, tȇgȇse iku ora ana karȇpe kang akèh - akèh, ananging sawiji elinge.

Saèstune karȇp kang sawiji: iya iku rasaning ngelmi .

21

gaib*

Page 43: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

83

Utawi tȇgȇsipun kawan prakawis punika, pangucap, pangambu, paningal,

pamiyarsa, ing ngandhap punika dunungipun. :

Sir, sangkaning pangucap: dadining bumi, ananing sabda, nȇnging pangucap

jatine Pangeran, nyatane rasullolah, kumpuling roh kabèh, tȇtȇping wiji, dad22

pȇt yaiku sangkaning paran, langgȇng amurba amisesa.

Karsa, sangkaning pangganda,: dadining angin, paraning pangambu, nyatane

kȇrasa, nȇnging pangganda, jatining mahasuci, nyatane Mukamad23

, kumpuling

urip kabèh, tȇtȇping sih, dat lȇs iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng

kang murba kang misesa.

[22]Obah, sangkaning paningal, dadining banyu, paraning wulan, nyatane suci,

nȇnging paningal jatining Allah, nyatane Nabiyolah, kumpuling rupa kabèh,

tȇtȇping wahyu, dat tap, iya iku tan sangkan tan paran-paran, langgȇng murba

wasesa.

Osik, sangkaning pamiyarsa, dadining gȇni, paraning srȇngenge, nyataning

pangrungu, nȇnging pamiyarsa, jatining jumȇnȇng, nyataning tunggul, kumpuling

suwara kabèh, tȇtȇping nugraha, datanpa sangkan tan paran langgȇng kang

murba amisesa.

Utawi uriping kandha, uriping warna, uriping ganda, uriping rasa.

Tȇgȇsipun kandha, pamirȇng.

Tȇgȇsipun warna, paningal.

Tȇgȇsipun ganda, pangambu.

22

dat* 23

Mukhamad*

Page 44: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

84

Tȇgȇsipun rasa, pangucap.

Uriping jȇsmani.

Tȇgȇse sabda iku pangucap sapisan kang nyata.

Dene kang pȇpitu iku padha mahasuci kabèh.

Utawi kang sinȇbut mahasuci mau, satunggi- [23] l mahasucining kandha.

Kalih mahasucining warna.

Tiga mahasucining ganda.

Sakawan mahasucining rasa.

Gangsal mahasucining urip.

Kaping nȇm mahasucining rupa.

Kaping pitu mahasucining sabda.

Utawi tuduhing guru, kang kawan prakawis punika, ana, ora,sira, pȇsthi.

Ana, dèn anakakȇn ananing dhewe.

Ora, iku ora pisan-pisan, ora ana ananing dhewe.

Sira, tȇgȇse sakawula, ingsun tȇgȇse sagusti.

Utawi wȇkasaning urip punika, urip pitung prakawis kang kasȇbut ing ngajȇng

wau.

Tȇgȇse ingaranan pati, iku patȇmoning dad24

pȇt. Tȇgȇse dad25

pȇt, iku, nȇnging

pangucap.

24

dat* 25

dat*

Page 45: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

85

Dad26

plȇng iku nȇnging pamiyarsa.

Milanipun ingaranan pati iku, dening wus pa- [24] titis, patȇmoning dad27

kawan

prakawis, inggih punika sampurnaning pituduhing guru.

Utawi sih wahyu nugrahaning iku,tȇgȇse sih tȇtȇping ganda, nyataning angin

Pangeran tȇtȇping antara.

Wahyu tȇgȇse padhanging paningal, nyataning banyu jatining Allah.

Nugraha, tȇgȇse pamiyarsa jatining gȇni, nyatane nabiyolah.

Pangeran tȇgȇse pangucap, jatining bumi, nyatane rasullolah.

Utawi ingkang botȇn arah, botȇn ȇnggèn, botȇn warna, botȇn kandha.

Punika tȇgȇsipun, kang botȇn ȇnggèn tȇgȇsipun bumi.

Kang botȇn arah tȇgȇsipun angin.

Kang botȇn warna tȇgȇsipun banyu.

Kang botȇn kandha tȇgȇsipun gȇni.

Utawi bangsa kawan prakawis malih kang binasakakȇn, : suwung, samun, sȇpi,

samar.

Tȇgȇsipun suwung jurang.

[25]Tȇgȇsipun samun, ara-ara.

Tȇgȇsipun sȇpi, gunung.

Tȇgȇsipun samar, sagara.

Ing ngandhap punika nyatanipun sadaya.

26

Dat* 27

dat*

Page 46: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

86

Suwung, pangucap,

Samun, pangganda,

Sȇpi, paningal,

Samar, pamiyarsa.

Punika inggahipun kawan prakawis malih, rapal makna murat utawi raosipun,

ing ngandhap punika nyatanipun :

Sir, tȇtȇping, karsa, Pangeran arane.

Warna, tȇtȇping kandha, Allah,

Kandha, tȇtȇping warna, Mukhamad,

Yèn karsa tȇtȇping sahrasa, rasullolah arane.

Yèn kandha, warna, amburasa, tȇtȇping urip Pangeran arane.

Yèn urip tȇtȇping Pangeran, mahasuci arane.

Yaiku kang ora wiwitan kang ora wȇkasan. [26] Lagi kahananing kadim,

salawase anglimputi ing jagad iku kabèh.

Punika inggahipun malih, ingkang aran kawula punika, pola, ing ngandhap

punika tȇgȇsipun kawula.

Cipta, ripta, rasa, kȇrasa, bumi tekate.

Ing ngandhap punika buntasipun pindhah kawan prakawis. :

Utawi kang aran di rumangsa,

Di aja rumangsa,

Di waspada,

Page 47: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

87

Di aja wȇruh,

Iku rumangsane dening wis kawimbuhan, sih wahyu nugrahaning Pangeran, ora

rumangsa pisan-pisan, yèn anduwenana kang anyar kabèh, iki kagunganing

Pangeran.

Bisa di waspada iku, dèn awas ing sangkan parane, wis ora sak mamang.

Dene basa diaja wȇruh iku, kang ora dèn kawruhi sarupane kang bangsa anyar

kabèh, wis ora pisan yèn ngawruhan.

[27]Utawa basa di rumangsa, di waspada iku, tuduh kang bȇnȇr, lan wȇkase kang

tȇmȇn, iku kang aran sajatining tȇmȇn iku guru.

Utawi wijènipun kawan prakawis punika ujudipun28

:

Sir, sampurnaning ngȇlȇd-ȇlȇdan, nȇpsune luamah, pangidhȇpe rasullolah,

lungguhe ing eling.

Osik, sampurnaning jȇjiling, kumpule ing rȇmpȇla, nȇpsune amarah, pangidhȇpe

ing Allah, lungguhe ing cipta.

Obah, sampurnaning rai, kumpule ing jajantung, nȇpsune supiyah, pangidȇpe ing

Pangeran, lungguhe ing tekat.

Karsa, sampurnane ing utȇk, kumpule ing pusȇr, nȇpsune mutmainah, pangidhȇpe

Mukhamad, lungguhe ing budi.

Utawi kang kocap ing ngajȇng punika, kang bangsa anyar lan kadim, kang

bangsa kawula lan Gusti, kang bangsa batin lan lair.

Utawi kang bangsa suh sirna, iku tan ana kang

28

wujudipun*

Page 48: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

88

[28]kȇrasa, amung rasaning kitab, dene kang suh sirna iku, kang katon karungu

lan sak rupane sawiji-wiji kabèh, iku tan ana rasa, iku amung rasa pangrasa

kȇrasa, amung rasaning kitab, iku sajatine tan prabeda rasane, tan prabeda

rupane.

Utawi kang ingaran sajatining manungsa iku, wong kang wis ngawruhi ing

wiwitane ana, tumȇka maring anane ing samȇngko, tumȇkane ing ora anane ing

wȇkasan, yaiku kang jumȇnȇng manungsa, sajatining manungsa.

Utawa bangsa limput-linimputan iku, tȇgȇse wȇngi lan rina, sore lan esuk,

suruping wȇngi kalimputan raina, suruping esuk kalimputan ing sore.

Utawi sampurnaning wȇngi iku pȇtȇnge,

Utawi sampurnaning rina iku padhange,

Utawi kang dados antaraning wȇngi lan raina, esuk antaraning raina, sore

antaraning wȇngi.

Utawa antaraning sakawan punika, dhewe- [29] dhewe,

Ora ana rina lan wȇngi, esuk lan sore, iku kanyataaning donya.

Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar, Gusti lan kawula,

tȇgȇse dhewe - dhewe.

Ora ana kawula dadi Gusti, Gusti dadi kawula.

Ananging ana kalane limput-linimputan.

Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti kalimputan ing kawula,

kawula kalimputan ing Gusti.

Page 49: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

89

Utawi karone iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar

tȇka kadim, kang nganakakȇn.

Nyatane Gusti, ananing kawula, lan ananing kawula kanyataaning Gusti.

Utawi kang wus kocap ing ngajȇng wau sadaya, rasaning martabat sanga, lan

rahsaning sahdad29

, lan rasaning kamuksan, lan rasaning kamulyan, kabèh iku

prabot.

Utawi kang sak bȇnȇre, satuhune kang kak,

[30]ora aningali, ora tiningalan.

Ora rumangsa, ora karasa,

Dene pȇpungkasane iku, ora anȇmbah, ora sinȇmbah, ora muji, ora pinuji.

Yaiku jumȇnȇng asma anane ngȇdad30

kang wajibul wujud, kang wajib anane,

kang mo31

Utawi tȇgȇse kaprawiran kaluhuran.

Tȇgȇse kaprawiran iku gȇni lan angin, sabab ora ana kang bisa nyirnakake kaya

gȇni lan angin.

Utawi kaluhuran iku tȇgȇse bumi lan banyu.

ȇndi kang bisa awèh pangan iku nyatane luhur.

Sapa kang bisa nyirnakake, yaiku nyatane luhur prawirane.

Utawi nyatane sipat rahman, lan sipat rahkim

Tȇgȇse sipat rahman iku bumi lan banyu.

29

sahadat* 30

ngȇdat* 31

…..(tidak berani memberi rekomendasi)k

Page 50: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

90

[31]Sakrupaning thuthukulan kabèh mȇtu saka bumi, urip tȇka banyu.

Dene tȇgȇsipun sipat rahkim punika angin lan gȇni, ȇndi nyatane, dene tarik-

tinarik, kaya mȇntah matȇng tȇka gȇni, tȇlȇs aking tȇka angin, yaiku nyatane sipat

rahkim lan rahman.

Utawi kang cinatur wau sadaya, kasugihaning Allah, yaiku wajib bikak.

Sampun ngantos sȇmang-sȇmang, gȇni pun lair tumȇka ing batos.

Yèn botȇn dèn kawruhi sadaya, manawi salah surup, gȇni pun nekatakȇn,

pupusing wiji-wiji kang wit-witing kang mȇdharakȇn bangsa kang kathah sadaya

pȇsthi dèn tȇkatakȇn, ing lair tumȇkèng batin.

Utawi wiwitaning alam nasud32

iku, dados wontȇn pangucaping kaki, sabab

kapanjingan cahya kang muklis, dening anak wus birahi.

[32]Utawi wiwitaning alam malakut iku dados cahya kang muklis, manjing

pangrunguning bapa lan biyung, sabab bapa aningali biyang wus birahi.

Utawi wiwitaning alam jabarut punika, dados cahya kang muklis, manjing

patȇmoning bapa lan biyang, kalaning pangantèn, sabab bungah karȇpe bapa lan

biyang, lanang wadon.

Utawi witaning33

alam arwah punika, dados wontȇn sawang-sinawang, ing bapa

lan biyang, sabab cahya kang muklis, manjing wontȇn rasaning johar.

Utawi wiwitaning alam lahut punika, dados cahya kang muklis, sabab manjing

liringing bapa lan biyang, sabab wus kapanjingan rasaning roh ilapi.

32

nasut* 33

wiwitaning@

Page 51: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

91

Utawi cahya kang muklis panjinge wontȇn alam lahut, coplok sabab sampun

campuh ing tingaling bapa lan biyang, dene cahya kang coplok saking ing alam

lahut, punika manjing ing alam uluwiyah dados cahya kang muklis, punika

gumantung tanpa canthelan, kang gumilang gilang kang waspada ing

pribadènipun, utawi badhe nyatakakȇn kuwasaning mȇtu nur rasaning u- [33] rip,

Dene kang nampani rasaning roh ilapi, tȇka roh ilapi manjing suwung bapa lan

biyang.

Utawi cahya kang wontȇn ing suwung punika, dados rasa tȇtiga, kang kawȇngku

rasaning suwung iku bakal dados paningal kita.

Utawi rasaning khak datolah, kang kawȇngku ing ratu kawan prakawis, punika

tȇgȇsipun dados pangambu kita.

Utawi rasaning sir, kang kawȇngku mosiking kalamolah, punika dados pangrungu

kita.

Utawi rasaning jumungah kang kawȇngku wontȇn ing sunat panyarok iku, dados

pangucap kita.

Utawi rasaning dad muttak34

, kang kawȇngku ing akhadiyat, dados tokit kita.

Utawi rasaning johar awal, kang kawȇngku ing wahdad iku, dados napas kita.

Utawi rasaning wujudtolah35

, kang kawȇngku ing wakidiyat iku, badhe dadosya

wakita36

.

Utawi cahya kang muklis, mȇnȇng wontȇn wakidiyat, dening badhe nyatakakȇn

rasaning

34

mutlak@ 35

wujudolah* 36

waskita@

Page 52: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

92

[34]wujud mokal kang kawȇngku ing jisim alus, mangka lairing wujud meh mokal,

dados rasaning mani, lan manikȇm, kang kawȇngku rasaning kalimah loro, dados

ngalam, tȇgȇse dados kulit kita.

Tȇgȇse alam ajȇsan, dados daging kita.

Tȇgȇse alam misal, dados gȇtih kita.

Tȇgȇse alam arwah, dados balung kita.

Inggih punika laire kalimah kalih, dados alam kawan prakawis.

Dununge wujud kita: utawi cahya kang muklis.

Angsalipun kendȇl wontȇn ing wakidiyat, amawas gone nyatakakȇn ing

kanyataan.

Sarȇng dados coplok saking kalairaning jabang bayi, kang muklis iku manjing

barȇng panangising jabang bayi, inggih punika wȇkasaning kawruh.

Utawi osik punika minangka dados kadhatoning alam arwah, tȇrus rasaning

johar, kang mȇngku urip kita, pitung prakawis.

[35]Dening urip pitung prakara iku kasrah marang roh ilapi.

Dununge wontȇn gène salat kajat sak rȇkangat, tanpa sujud tanpa rukuk, tanpa

puji, tanpa dhikir,wontȇn ing alam lahut.

Yèn kita turu, yèn kita mȇlèk, dununge wontȇn ing alam sulbi, tȇrus ing dhadha

kita, salate kajat kang ngangge sujud rukuk.

Page 53: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

93

Dununge salat panȇkung wontȇn ing alam uluhiyah: punika salate: salatun dakim

mulakhak, yahu analkak, yahu-yahu, yahu sakkamalakak-kamalakak wujudte37

,

lah ngali makripattolah.

Utawi lakune roh iku dèn kawruhi, pancate ing lawang siji-sijine, waspadaning

wȇkasan kita tumȇkaning sajati.

Tatkala kèndȇl, roh iku: wontȇn ing alam nasut, ingaranan roh ibulwiyah38

,

pujine: lamaujud dailolah.

Tankala39

kèndȇ40

roh iku: wontȇn alam malakut, ingaranan roh ghaibul41

uwiyah42

, puji-

[36]ne: lamakbud daillollah.

Tatkala kèndȇl roh iku: wontȇn ing alam arwah, ingaranan roh kudus, pujine :

layatkuru laailollah.

Tatkala andungkap ing alam lahut, ingaranan roh ilapi, tanpa puji, tanpa dhikir,

amung arȇp paningale dhewe, iku ingaranan sih nugraha.

Sirolah sirasa rohku: rasaku Allah, amurba rasaning dumadi kabèh.

Rasaku rasa Mukamad43

, anyamadi rasaning dumadi kabèh.

Ya ingsun kumpuling rasa, rasaku rasa wasesa, amȇsesani kang dumadi kabèh.

Ya ingsun witing rasa, anaku ananing rasa, rasaku rasullolah, ajȇjuluka arolah;

ajȇjuluk jalallolah, anglȇbur sakèhing kang ala, ya rasa ya rasullolah.

37

wujude* 38

uluwiyah@ 39

tatkala@ 40

kèndȇl@ 41

gaibul* 42

uluwiyah@ 43

Mukhamad*

Page 54: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

94

Punika ngelmu kang linarangan para Nabi, para wali, para mukmin sadaya.

Tȇgȇse kang ingaranan urip iku, ȇ-[37]nȇnge sadurunge ana sir.

Tȇgȇse sadurunge ana karsa, iya iku kang sampurna: apȇngale44

.

Ana dene sir iku nyatane rasa, ingsun yaiku dadtolah45

.

Tȇgȇse rasa iku nyatane aling ingsun, yaiku sipatollah.

Kang ingaran roh ilapi iku, kaya rupa nyata ing dalȇm sadurunge kita nyata,

yaiku hakekat mukamaddiyah arane, lan ya ta rupa ing dalȇm maknawiyah iku :

roh arane kakat manungsa arane.

Dene kang aran ayat sabitah iku cahya, yaiku cahya kang luwih adi-adi, tȇgȇse

rupa sadurunge nyata.

Tȇgȇse roh ilapi, kanyataane sajroning soca, yaiku kang mahasucining Pangeran.

Punika prȇnahing pati, kang datolah prȇnahe rupȇk, sȇbute : hu hu hu hu hu hu:

yaiku sahadate dhewe.

[38]Dene prȇnahe turu iku sipatollah, prȇnahe wus pȇrak, iku prȇnahing Allah,

yaiku sirnaning sipat kabèh.

Dene prȇnahe sȇmbahhyang iku ingkang nama Allah, prȇnahe ingkang ngalȇkah,

iya iku antaraning muni lan mȇnȇng, yaiku antaraning Gusti lan kawula.

Punika panglȇburan badan, sarta tekatipun pisan, ing patine.

Punika sȇbutanipun: Alah lȇbur badan dadi nyawa, lȇbur nyawa dadi cahya,

lȇbur cahya dadi roh ilapi, lȇbur roh ilapi dadi rasa, lȇbur rasa dadi sir, sirna

mulih marang datolah, urip tan kȇna ing pati, urip salawase.

44

apngale* 45

datolah*

Page 55: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

95

Terjemahan

[1] Ini artinya : Suluk Dewaruci yang berisi tentang petunjuk ilmu. Artinya

petunjuk, menerangkan tentang beradanya alam semua Dzat. Yang akan dibedah

isinya dari Tanazultarki. Yaitu asal dan tujuan dzat sejati, agar bisa kuat

hatinya/kuat batinnya. Sedangkan yang dibuat untuk pembuka petunjuk

maksudnya itu, penjelasan berbagai macam ilmu makrifat atau ibarat. Selanjutnya

hingga sampai petunjuk, sama-sama mengucap berada di bawah itu. Ini

permulaan/awal, perjalanannya: Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang

Druna, selalu menjalani nasihatnya, di bawah ini semua ceritanya.

Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai memasuki alam

makrifat.

Lalu membunuh raksasa: Rukmaka, Rukmakala, matinya Rukmaka

menjadi/berubah Bathara Endra. Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua

tubuh, atau jadi cahayanya Baitul Makmur. [2] Rukmakala terbunuh menjadi

Bathara Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas.

Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan

atau keperkasaan badan.

Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan empat nafsu

perkara.

Lalu Bratasena pulang ke Amarta, berpamitan dengan saudara karena dia akan

masuk di tengah samudra. Saudara-saudaranya tersebut tidak setuju dan sama-

sama memegang erat-erat, artinya yang menyingkirkan atau menghilangkan

perasaan khawatir, sebagai bentuk pengendalian rasa kasih sayang.

Page 56: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

96

Yang kelima Bratasena masuk ke dalam samudra Jinem, artinya segara Jinem,

yaitu hakikat atau sejatinya Pangeran.

Yang keenam, lalu membunuh Naga Nemburnawa, artinya ibarat Bratasena dapat

membunuh pikiran dan perasaan.

Lalu Sang Dewaruci datang, yaitu ibaratnya Dzat sejati datang. Lalu bercakap-

cakap dengan Dewaruci lagi, ibaratnya itu menandakan di alam sunyi sen- [3]

dirian Dzatnya. Lalu masuk di dalam perut. Bertemu dengan Dewaruci itu berada

di alam Kabir, tanda jika tidak dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna,

yaitu menandakan jika sempurna.

Yang ketujuh, Bratasena ketika berada perut, melihat samudra tiada batas,

yaitulah menerangkan perjalanan hati.

Yang kedelapan, Bratasena melihat cahaya bernama Pancamaya, yaitu

menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati, yang menjadi

pimpinan badan. Maka dari itu dinamakan sifat awal (muka sifat), yang kuasanya

menginginkan sifat sejati yang lebih berada di pikiran, tempatnya di penglihatan,

penciuman, perasan, yang tidak samar itu menandakan sejatinya dia.

Yang kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat warna : hitam, merah, kuning,

putih, yaitu yang menerangkan tentang sikap, memberi keberadaan nafsu empat

per- [4] kara, yang bersama-sama menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati.

Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan

sejenisnya.

Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti: iri hati, pemarah

dan sejenisnya.

Page 57: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

97

Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan, seperti: banyak

keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya.

Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau serakah terhadap

keutamaan/kebaikan, seperti: bertapa, selalu berdo’a kepada-NYA, dan

sejenisnya.

Yang kesepuluh, Bratasena melihat suatu cahaya yang nyala berkilau delapan

warna: hitam, merah, kuning, putih, hijau, ungu, biru, merah muda: yaitu

menerangkan Pangeran/Allah, ditambah cahayanya terang/cerah, di bawah ini

artinya:

Yang hitam sangat gilap, seperti mustika/kelebihannya bumi, yaitu merendahkan

pikirannya sendiri.

Yang merah sangat gemerlapan, seperti api yang membara, yaitu menunjukkan

ke-[5] licikan pikiran.

Yang kuning bersinar, seperti intan bercahaya, yaitu menunjukkan jahatnya

pikiran.

Yang putih bersih, seperti putihnya mata, yaitu tanda setianya pikiran

Yang hijau berkilau, seperti cahaya manikmaya, yaitu menandakan sentosa/

tentramnya pikiran

Yang biru, seperti nilapakaja, yaitu menerangkan jalannya pikiran.

Yang ungu semu hitam gilap, seperti manik pusparaga, yaitu menandakan pikiran

yang sabar.

Yang merah muda, seperti merah delima, yaitu menandakan perubahan pikiran.

Page 58: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

98

Yang kesebelas, Bratasena lalu melihat seperti tawon gumana (anak tawon),

cahayanya sangat cerah, ini pramananing suksma, yang menambahi semua warna

dunia ini, yang meliputi jagad/ dunia kecil dunia besar, seisinya semua, yaitu

makmurnya dari pramananing rahsa.

Yang kedua belas, Bratasena melihat wajah seperti golèk gadhing (boneka gading)

yang terlihat seperti [6] mutiara, cahayanya mencolok/ sumorot, ini pramananing

rahsa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan

dari Dzat atma.

Yang ketiga belas, melihat sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak

berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),

cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa menciptakan

ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam

pada hidup kita sendiri.

Maka ketahuilah jalannya ilmu empat perkara, yang sama-sama harus

diketahui atau yang harus dijalani, oleh para wali, atau yang sama-sama bisa mirip

dengan wali, yang akan disebut di bawah ini:

Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai pemberi simpati/

ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang menyakitkan, jalannya

menerima, artinya sabar.

Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak dan menerima,

jalannya ikhlas.

[7] Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan ketakutan

yang jalannya kejujuran.

Page 59: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

99

Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri hati, yang

jalannya utama.

Lalu jalannya Dzat itu ada empat perkara tadi yang jika disatukan jadi satu,

kejujuran, pasrah/ sabar, ikhlas, utama.

Maka ketahuilah, yang menjadi marabahaya/godaan, yaitu adanya empat

macam nafsu, lima cahaya yang terang, yang jadi rencana dzat sejati, yang akan

di bahas di bawah ini:

Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya menjadi cahaya

hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di situ tempatnya kelalaian, oleh

karena itu harus diingat.

Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan keserakahan,

yang nantinya menjadi cahaya merah, yang dinamakan alam lahut, di si- [8] tu

tempat yang sulit, sebab itu datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada.

Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang nantinya jadi cahaya

kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ tempat yang harus disingkirkan,

agar sentosa.

Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi cahaya putih,

yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya mengetahui istana, harap tenang

dan hati-hati, karena di situ cahaya pramana yang datang terlihat: hitam, merah,

kuning, putih, hijau meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang

diatur oleh yang Mahamulia.

Page 60: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

100

Maka ketahuilah, isi-isinya empat perkara, lima cahaya cerah, yang bisa

menuju ke kesempurnaan diri, yang disebutkan di bawah ini, yang membuat

damainya hati, sudah sampai punya pilihan salah satunya.

[9] Cahaya hitam seperti nafsu luamah, yang kekuatannya di gerakan bumi, yang

terlihat di dalamnya cahaya hitam itu, berbagai binatang, disitu yang dinamakan

alam nasut, artinya lupa, ketika lupa harap ingat di hati.

Cahaya merah, seperti nafsu amarah, bentuknya seperti nyala api besar, yang

terlihat di dalam cahaya merah, disitu berbagai macam serba kasar, yaitu alam

lahut, artinya yang buat kerusuhan semua, ketika mengalami harap sabar.

Cahaya kuning, seperti nafsu supiyah yang bentuknya seperti angin ribut, yang

terlihat disitu berbagai macam binatang bersayap, itulah alam jabarut, artinya

selalu berubah, harap tetap hati-hati.

Cahaya putih, seperti nafsu mutmainah, yang bentuknya bagai air besar

(samudra), yang terlihat disitu berbagai macam ikan. Yaitu alam malakut, artinya

istana, [10]disitu mulai dari diketahuinya istana. Setelah hilangnya empat perkara.

Selanjutnya cahaya pramana terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau, itulah

alam hidayat, artinya menunjukkan satu-satunya tempat, seperti di bawah ini.

Istana hitam, yaitu istana berbagai bangsa binatang, jika tertarik untuk dilihat

maka akan menjadi bangsa binatang.

Istana serba merah, yaitu istananya bangsa brakasan (jin, setan dan sebagainya),

wujudnya bumi dan sepantarannya dhanyang/abdi, jika sampai tertarik disitu,

pasti akan menjadi bangsanya dhanyang/abdi.

Page 61: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

101

Istana serba kuning, yaitu istana sebangsa burung, yang tertarik disitu, tidak lain

akan menjadi bangsanya burung.

Istana serba putih, itu istananya sebangsa ikan, yang jika tertarik akan menjadi

ikan.

Istana serba hijau, yaitu ista- [11]nanya bangsa tumbuhan, yang tertarik disitu

suksmanya akan menjadi tersesat tidak tahu jalan untuk menuju yang Mahakuasa.

Sehilangnya cahaya pramana. Lalu datang dzat cahaya yang jernih, yang terlihat

di situ, serba warna-warna yang hijau/asri, yaitu alam uluhiyah, artinya alam

Pangeran.

Lalu terlihat cahaya memancar, yang terlihat disitu malaikat, artinya seperti:

Terlihat ayah, kakek dan lainnya, yang masih di alam uluhiyah.

Lalu terlihat cahaya berkilauan, di situ yang terlihat bidadari, artinya seperti:

menyerupai ibu, nenek, dan leluhur perempuan, yang masih di alam uluhiyah.

Lalu cahaya berkilauan tanpa bayangan, tanpa arah, tanpa tempat, tanpa bicara,

tanpa warna, tempatnya nikmat, manfaat, rahmat, ada di alam baka, artinya baka,

abadi, yaitu tempatnya Dzat Sejati, berada dari kita sendiri, yaitu yang berkilauan

itu [12] tidak dua, tidak pula tiga, tapi hanya satu.

Sedangkan yang terlihat ayah, kakek tadi, yaitu bayangannya Dzat dari leluhur

laki-laki, yang sudah saling meliputi, saling menetap dengan Dzat pribadi kita.

Sedangkan yang terlihat ibu, nenek, dan lainnya tadi, yaitu menandakan jika yang

sudah saling meliputi, Dzat dengan yang Mahamulia, selanjutnya tidak dapat

pisah.

Page 62: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

102

Maka ketahuilah setelah hilangnya jisim, kembali ke asalnya dari cahaya,

menjadi nukat gaib, yang nantinya di alam insan kamil (manusia sempurna), yaitu

yang akan menciptakan menjadi dunia lagi, artinya seperti di bawah ini:

Turunnya ini dikarenakan menginjak/memasuki ahadiyat

Lalu menuju/menginjak wahdat

Lalu menuju wahidiyat

Lalu menuju/menginjak alam arwah

[13] Lalu menuju alam misal

Lalu menuju alam ajsam

Lalu menuju alam insan kamil (manusia sempurna)

Sedangkan yang paling atas mulai dari menuju di alam ajsam, sampai di alam

insan kamil lagi.

Maka ketahuilah, arti alam tujuh perkara tadi, satu persatunya

menerangkan seperti di bawah ini:

Ahadiyat, arti mulainya sesuatu, di situ beradanya Dzat pertama.

Wahdat, arti keberadaan sesuatu, di situlah awal mula keberadaan suatu Dzat, ada

di nukat gaib, artinya nukat,: satu, arti gaib,: samar, ada di dalam manusia tadi.

Wahidiyat, arti akhirnya satu, yaitu akhir dari sifat sesuatu Dzat.

Ajsam, artinya jisim, yaitu sudah dengan Allah, arti Allah adalah badan.

Misal, arti seperti, yaitu [14] yang dinamai sifat yang Mahamulia, ada di dunia

kecil, yang sudah lama dari dunia kecil.

Page 63: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

103

Arwah, artinya roh, arti roh hidup, yaitu sudah ditarik dari hidup.

Insan kamil, arti sempurna, yaitu manusia yang sempurna.

Sedangkan pramana artinya waspada/hati-hati.

Nyawa, artinya hidup, yang hidup rahsanya.

Suksma, arti gaib, yang gaib tempatnya, yaitu nukat gaib.

Maka ketahuilah bayangannya hati, atau bayangannya roh, susunannya

mempunyai tujuh nama, tapi setiap namanya beda, berikut di bawah ini susunan

keterangannya:

Hati sir, merupakan bayangan roh jasmani, pekerjaanya menjadi memiliki

kehendak.

Hati suksma, bayangannya rohani, yaitu roh rabani, pekerjaanya memiliki

perasaan.

[15] Hati jinem, bayangannya roh hewani, pekerjaanya memiliki banyak mau/

berkehendak/ keinginan dan rasa.

Hati puad, bayangannya roh nabati, pekerjaanya memiliki sangkaan/ perkiraan

dan pikiran beribadah.

Hati budi, bayangannya roh rahmani, pekerjaanya memiliki angan-angan dan

akal.

Hati maknawi, bayangan roh nurani, pekerjaanya memiliki gagasan/pikiran.

Hati sanubari, merupakan bayangan roh idlafi, pekerjaanya memiliki semua

keinginan.

Page 64: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

104

Maka ketahuilah, arti tujuh roh tadi, susunannya menjelaskan seperti yang

di bawah ini:

Roh jasmani, artinya jisim.

Roh rokhani, artinya Pangeran.

Roh hewani, artinya hidup, yang semuanya hidup.

Roh nabati, artinya yang hidup, [16] yang hidup rahsa.

Roh rahmani, artinya murah hati/penyayang, yang murah hati af’al (perbuatan).

Roh nurani, artinya cahaya, yaitu cahaya Dzat.

Roh idlafi, artinya bening/ bersih, yaitu berkilau tanpa bayangan bertempat di saat

insan kamil.

Maka ketahuilah alam empat perkara, seperti yang di bawah ini:

Alam nasut, ini arti lupa.

Alam lahut, ini arti berpisah.

Alam jabarut, ini artinya hilang.

Alam malakut, ini artinya istana.

Tetapi tidak istana yang dibuat Mahaluhur, yaitu istana nafsu empat perkara, maka

dari itu harus hati-hati jangan sampai khilaf.

Maka ketahuilah yang namanya anasir hak, seperti yang di bawah ini:

Dzat, artinya kepunyaan.

[17] Sifat, artinya berwujud/berupa.

Asma, artinya nama.

Page 65: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

105

Af’al, artinya perbuatan.

Maka ketahuilah, yang dinamai anasir roh, arti anasir hidup, seperti di

bawah ini:

Wujud artinya rupa, yaitu darah,

Ilmu, artinya penglihat,

Nur, artinya cahaya,

Suhud, artinya saksi, yaitu nafas.

Sedangkan nanti yang disusun dahulu, yaitu: wujud/rupa, lalu ilmu, lalu,: cahaya,

lalu,: suhud.

Maka inilah, yang dinamakan anasir jagad/dunia, seperti di bawah ini:

Yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu air, artinya darah dan keringat. Yang kedua

api, artinya yaitu nafsu dan cahaya. Yang ketiga udara, artinya nafas.[18] Yang

keempat bumi, artinya menjadi jasad, atau kulit daging. Besok yang dicabut

terlebih dahulu air, lalu,: api, lalu,: udara, lalu,: bumi

Maka ketahuilah, yang bernama anasir sifat, yaitu sifat yang Mahasuci,

yang nantinya dijelaskan susunannya, yang disebut seperti di bawah ini:

Sifat jalal, artinya agung, Dzat yang agung, maka disebut agung, karena tanpa

batas, mulai tidak berbelok, tidak tumbuh, berkuasa meliputi semua dunia, yaitu

hanya keberadaannya yang abadi.

Sifat jamal, artinya indah, yang indah itu sifatnya, maka dari itu disebut indah,

karena tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak berupa/berwujud, tidak berwarna,

tidak berarah, tidak bertempat, berada di alam baka, artinya baka abadi.

Page 66: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

106

Sifat khahar, artinya kuasa, yang kuasa namanya, maka dari itu diberi nama

kuasa, [19] yaitu yang bernama Pencipta, Kuasa yang berkuasa segalanya.

Sifat kamal, artinya sempurna, yang sempurna perbuatannya, artinya

pulang/kembali dengan sempurna, sudah mulai tidak akan lagi, yaitu keinginan

Mahakuasa berkuasa dengan keinginannya.

Ini membuka maksudnya, ilmu gaib yang berada di manusia, semua yang

ada di dalam badan, penjelasan suatu badan para nabi, para wali, para

abnormal/gila, para ratu, para oliya (kekasih Allah), di bawah ini maknanya atau

artinya:

Atau yang dinamakan Aku itu, hanya satu yang Mahasuci, yang tidak

tercampur.

Atau Aku itu; tempat yang abadi tidak bertujuan, Aku ini ratu yang mulia dan

yang sempurna; artinya Aku ini [20] ada, tidak dimulai dengan kekosongan, Aku

ini yang tentunya diingat-ingat sebelum ada. Setelah ada artinya ingat apa yang

harus diingat; yang diingat tidak asalnya. Yaitu yang berada di Aku. Yang

tentunya meninggalnya semua hidup; menuju sepi, sunyi, senyap sebelum

menjadi; ada Aku sendiri yang berada sampai nanti; atau yang menjadi patokan

ingat itu ilmu ‘alim maklum, artinya megetahui segala ilmu, mengerti, dan

sebagainya. Yaitu dinamakan mulainya mengasihi. Wahyu dan nugraha yang gaib

dari Allah SWT dan para ratu, yang menjadi simpanan para nabi, para wali, para

mukmin, para abnormal/ orang gila, para ratu oliya, para manusia semua; atau

ilmu itu, ada dan tidaknya, yaitu disebut kasih mengasihi.

Page 67: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

107

Atau yang namanya mengetahui itu, tetap tapi diam dan jernih, dan sebagainya,

yaitu bernama wahyu. Atau yang mengetahui itu, dinamakan sepi, samar, sepi, tak

terlihat dan sejenisnya, [21] yaitu bernama nugraha, yang harus diingat adalah

sebaiknya tidak banyak bergerak , itulah tatacara ilmu istana yang sempurna; yaitu

dinamakan kalimat tauhid, artinya tidak mempunyai banyak keinginan, tetapi

hanya ingat sesuatu. Sebenarnya sesuatu yang menjadi keinginannya yaitu

mempunyai ilmu.

Atau artinya empat perkara yaitu, mulut, pencium, penglihatan, pendengar, seperti

di bawah ini keberadaannya:

Sir, asalnya dari mulut, jadinya bumi, ada di sabda atau ucapan, tetapi pengucap

dirinya yakni Pangeran, yang nyatanya Rasulullah, berkumpulnya semua roh,

tetapnya sesuatu, Dzat pet yaitu asalnya tujuan abadi yang berkuasa.

Keinginan, asalnya dari penciuman: jadinya udara, tujuannya pencium, yang

terasa nyatanya, tetapi penciuman dirinya Mahasuci, nyatanya yakni Muhammad,

berkumpulnya semua hidup, tetap saling mengasihi, Dzat les yaitu tak berasal tak

bertujuan, yang berkuasa menciptakan inilah yang abadi.

[22] Gerak, asalnya penglihatan, jadinya air, tujuannya bulan, nyatanya suci, tapi

penglihatan diri terhadap Allah, nyatanya pada nabiyallah, berkumpulnya semua

rupa/wujud, tetapnya di wahyu, Dzat tap, yaitu tidak berasal tidak bertujuan, abadi

yang berkuasa.

Gagasan, asalnya dari pendengaran, jadinya api, tujuannya matahari, nyatanya

untuk mendengar, tapi pendengaran yang keberadaannya pada diri, nyatanya di

Page 68: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

108

puncak, berkumpulnya semua suara, tetapnya di nugraha, tidak berasal tidak

bertujuan, berkuasa atas segalanya inilah yang abadi.

Atau menandakan hidupnya, hidupnya berwarna, hidupnya mencium, hidupnya

perasaan.

Artinya bicara, pendengaran.

Arti warna, penglihatan.

Arti bau, penciuman.

Arti rasa, mulut.

Hidupnya jasmani

Artinya sabda itu, pengucapan yang nyata.

Sedangkan yang tujuh itu dengan Mahasuci.

Atau yang disebut Mahasuci tadi, menandakan satu [23] Mahasuci,

Dua Mahasucinya warna,

Tiga Mahasucinya penciuman,

Empat Mahasucinya rasa,

Lima Mahasucinya hidup,

Yang keenam Mahasucinya rupa/wujud,

Yang ketujuh Mahasucinya sabda.

Atau petunjuk guru, yang empat perkara itu, ada, tidak, kamu, takdir.

Ada, yang mengadakan adanya sendiri,

Page 69: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

109

Tidak, itu tidak satu-satu, tidak ada adanya sendiri,

Kamu, artinya hanya saya, Aku artinya hanya Aku,

Atau akhirnya kehidupan itu, hidup ada tujuh perkara yang disebutkan di depan

tadi.

Atau yang namanya jasad, itu bertemunya Dzat yang hilang, Dzat pȇt (Dzat

hilang) itu tetapi pada pengucapan.

Dzat pleng akan tetapi itu pada pendengaran.

Maka dinamakan jasad itu, sudah berujung[24] bertemunya Dzat empat perkara,

yaitu menunjukkan sempurnanya guru.

Atau yang memberi wahyu serta nugraha itu artinya saling mengasihi tepatnya di

penciuman, nyatanya udara tepatnya antara Pangeran.

Wahyu artinya terangnya penglihatan, nyatanya air dirinya Allah.

Nugraha artinya pendengaran, dirinya api, nyatanya nabiyallah.

Pangeran artinya pengucap, dirinya bumi, nyatanya Rasulullah.

Atau yang tidak berarah, tidak bertempat, tidak berwarna, tidak bertanda.

Ini artinya, yang tidak bertempat artinya bumi.

Yang tidak berarah artinya udara.

Yang tidak berwarna artinya air.

Yang tidak berwujud artinya api.

Atau empat perkara tadi bisa terbinasakan: kosong, senyap, sepi, samar.

Artinya kosong jurang.

Page 70: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

110

[25] Artinya senyap, tanah luas tanpa tumbuhan.

Artinya sepi, gunung.

Artinya samar, samudra.

Di bawah ini semua nyatanya:

Kosong, pengucap

Senyap, penciuman

Sepi, penglihatan

Samar, pendengaran

Selanjutnya empat tingkatan lagi, makna lafal wirid atau maksudnya, di bawah ini

nyatanya:

Sir (rahsa), ditentukan kehendak, namanya Pangeran.

Warna, ditentukan wujud, Allah.

Wujud, ditentukan warna, Muhammad.

Jika kehendak ditentukan serahsa, namanya Rasulullah.

Jika wujud, warna, rasa, ditentukan hidup, namanya Pangeran.

Jika hidup ditentukan Pangeran, namanya Mahasuci.

Yaitu yang tidak berawal, yang tidak berakhir. [26] jika keadaannya abadi,

meliputi di dunia selamanya.

Kemudian tahapan selanjutnya, ini yang namanya kawula (hamba), seperti di

bawah ini artinya kawula (hamba):

Pikiran, gagasan, rasa, kepekaan, tekadnya bumi.

Page 71: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

111

Inilah berpindahnya akhir empat perkara:

Atau yang namanya di kepekaan,

Jangan sampai dirasakan,

Harus waspada,

Jangan mengetahui,

Itu rasanya jika sudah didapatkan, mengasihi/memberi wahyu nugrahanya

Pangeran, tidak sekedar satu-satu, jika mempunyai semua yang baru, inilah

miliknya Pangeran.

Maka harus waspada, hati-hati di asal tujuannya, sudah tidak terang.

Sedangkan jangan mengetahui itu maksudnya, yang tidak dapat diketahui

serupanya/sewujudnya oleh golongan/bangsa yang baru semua, sudah tidak dapat

jika mengetahui.

[27] Atau yang dirasakan, dikhawatirkan itu merupakan petunjuk yang benar , dan

ucapan jujur, itulah yang dinamakan guru sejati.

Atau adanya empat perkara ini wujudnya:

Sir (rahsa), sempurnanya di lidah, nafsunya luamah, hormatnya pada Rasulullah,

tempatnya diingatan.

Gagasan, sempurnanya hati, berkumpulnya di dalam rȇmpȇla (ampela), nafsunya

amarah, hormatnya pada Allah, tempatnya di pikiran.

Gerak, sempurnanya wajah, berkumpul di jantung, nafsunya supiyah, hormatnya

di Pangeran, tempatnya di tekad (keinginan).

Page 72: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

112

Kemauan, sempurnanya di otak, berkumpulnya di puser, nafsunya mutmainah,

hormatnya di Muhammad, tempatnya di budi (sikap).

Atau yang diucapkan di depan tadi, yang sebangsa baru dan abadi, tentang hamba

dan Allah, yang bangsa batin dan lahir.

Atau tentang yang hilang, itu tidak akan ada yang [28] terasa, hanya rasanya kitab,

jika yang hilang itu, yang terdengar dan serupanya semua sesuatu, itu tidak ada

rasa, hanya rasa, perasa, terasa, hanya kitab rasanya, sejatinya tidak ada perbedaan

rasanya, tidak ada perbedaan rupa.

Atau yang dinamakan manusia sejati itu, orang yang sudah mengetahui

dimulainya ada, sampai kepada siapa nantinya dia berada, sampai tidak adanya di

akhir, yaitu yang berada pada manusia, manusia yang sejati.

Atau golongan/bangsa itu saling berkaitan, artinya malam dan siang, sore dan

pagi, masuknya malam tertutupnya siang, masuknya pagi tertutupnya sore.

Atau sempurnanya malam itu gelap.

Atau sempurnanya siang itu terang.

Atau yang menjadi antara malam dan siang, pagi antaranya siang, sore antaranya

malam.

Atau antaranya empat ini sendiri-[29] sendiri,

Tidak ada siang, dan malam, pagi dan sore, itulah adanya kenyataan dunia.

Atau jika tidak ada pagi, sore, siang, malam, abadi dan baru, Allah dan hamba,

artinya sendiri-sendiri.

Tidak ada hamba jadi Allah, Allah jadi hamba.

Page 73: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

113

Tetapi ada kalanya saling meliputi.

Baru meliputi abadi, abadi meliputi baru, Allah meliputi di hamba, hamba

meliputi di Allah.

Atau dua-duanya itu semua, kenyataannya saling berkaitan. Abadi melihat yang

baru, adanya yang baru sampai pada keabadian, yang mengadakan.

Nyatanya Allah, adanya hamba, dan adanya hamba itu adanya Allah.

Atau yang sudah diucapkan semua di depan tadi, rasanya sembilan martabat dan

rahsanya sahadat, dan rasanya kehilangan, dan rasanya keluhuran, itu semua

kebutuhan .

Atau yang sebenarnya adalah hak.

[30] Tidak melihat, tidak terlihat,

Tidak berasa, tidak terasa,

Maka akhirnya itu, tidak menyembah, tidak disembah, tidak memuji, tidak dipuji.

Yaitu berada pada nama adanya Dzat yang wajib al wujud, yang wajib adanya,

yang ….

Atau artinya berani keluhurannya.

Artinya berani itu api dan udara, sebab tidak ada yang dapat

menghilangkan/melenyapkan seperti api dan udara.

Atau arti keluhuran itu bumi dan air.

Mana yang bisa memberi makanan maka akan luhur.

Siapa yang bisa menghilangkan, nyatanya yaitu memiliki keberaniaan yang luhur.

Atau yang nyatanya sifat Rahman, dan sifat Rakhim

Page 74: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

114

Artinya sifat Rahman itu bumi dan air.

[31] Wujudnya adalah semua tumbuhan yang keluar dari bumi, hidup dengan

adanya air.

Sedangkan arti sifat Rakhim itu udara dan api, yang mana nyatanya jika saling

terkait, seperti mentah dan matang karena adanya api, basah kering karena adanya

udara, yaitu nyatanya sifat Rakhim dan Rahman.

Atau yang bertempat semua tadi, adalah kekayaannya Allah, yaitu wajib

membuka.

Sudah sampai, api dari lahir sampai batin.

Jika tidak semua diketahui, jika salah masuk, apipun nekad, hilangnya sesuatu

permulaan, yang menjelaskan bangsa banyak semua pasti tekadnya dari lahir

sampai batin.

Atau mulainya alam nasut itu, ada di pengucapan anak, sebab masuknya cahaya

yang suci, oleh anak yang sudah berumur.

[32] Atau mulainya alam malakut itu menjadi cahaya yang suci, masuk ke

pendengarannya bapak dan ibu, sebab bapak melihat ibu yang sudah berumur.

Dan mulainya alam jabarut itu, menjadi cahaya yang suci, masuk pertemuannya

bapak dan ibu, saat jadi pengantin, sebab keinginannya bapak dan ibu, laki-laki

dan perempuan untuk bahagia.

Atau mulainya alam arwah itu, menjadi ada saat bapak dan ibu saling lihat-

melihat, sebab sudah memasuki rasanya roh johar.

Page 75: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

115

Atau mulainya alam lahut itu, menjadi cahaya yang berkilau, sebab penglihatan

pada bapak dan ibu yang masuk, sudah memasuki roh idlafi.

Dan cahaya yang berkilau masuknya ada di alam lahut, di lihatnya bapak dan ibu

sudah jadi satu bercampur, sedangkan cahaya yang jadi satu, dari alam lahut itu

masuk di alam uluhiyah menjadi cahaya suci, itu tergantung tanpa gantungan,

yang berkilau yang sebaiknya hati-hati pada pribadinya, atau akan

menyatakan/mengungkapkan kuasa-Nya keluar cahaya rasanya hi- [33]dup.

Sedangkan yang menerima rasanya roh idlafi, sampai roh idlafi masuk dalam

kekosongan bapak dan ibu.

Atau cahaya yang ada dalam kekosongan itu, menjadi tiga rasa, yang berpangku

pada rasa kosong itu pasti menjadi penglihatan kita.

Atau rasanya hak Datullah, yang berpangku pada ratu ada empat perkara, ini

artinya menjadi penciuman kita.

Atau rasanya sir (rahsa), yang berpangku pada gerak-gerik Kalamallah, ini

menjadi pendengar kita.

Atau rasanya jumungah yang berpangku pada di sunat panyarok itu, jadi

pengucap kita.

Atau rasanya Dzat mutlak, yang berpangku di ahadiyat, jadi tauhid kita.

Atau rasanya johar awal, yang berpangku di wahdat, jadi nafas kita.

Atau rasanya wujudtallah, yang berpangku di wahidiyat itu, akan menjadikan

kepekaan batin.

Atau cahaya yang suci, diam di wahidiyat, adapun apabila menyatakan rasanya

Page 76: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

116

[34] Wujud mokal yang berpangku di jasad halus, maka lahirnya wujud hampir

putus, menjadi rasanya mani, dan manikem, yang berpangku rasanya dua kalimat

menjadi di alam manusia, artinya menjadi kulit kita.

Arti alam ajsam, menjadi daging kita,

Arti alam misal, menjadi darah kita,

Arti alam arwah, menjadi tulang kita.

Yaitu lahirnya dua kalimat, menjadi empat alam:

Berada pada wujud kita: atau cahaya yang suci.

Dapatnya keberanian ada di wahidiyat, merupakan tempat mengungkapkan/

menyatakan apa adanya.

Bersamaan menjadi satu dari kelahiran si bayi, yang suci itu masuk bersamaan

dengan tangisnya si bayi, yaitu akhirnya ilmu.

Atau tumbuhnya gagasan ini maka tempatnya menjadi di alam arwah, lalu

rasanya johar, yang memangku hidup kita, ada tujuh perkara.

[35] Oleh hidup tujuh perkara itu dipasrahkan terhadap roh idlafi.

Keberadaannya ada di shalat hajat satu rakaat, tanpa sujud, tanpa rukuk, tanpa

puji, tanpa dzikir, berada di alam lahut.

Jika kita tidur, jika kita bangun, beradanya ada di alam sulbi, lalu di dada kita,

shalat hajat memakai sujud rukuk.

Keberadaan rajinnya shalat ada di alam uluhiyah: yaitu shalatnya: shalat daim

mulqaq, yahu analkak, yahu -yahu, yahu sakamalakak-kamalakak wujudnya yakni

makripatullah.

Page 77: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

117

Atau lakunya roh itu dapat diketahui, di pintu satu-satunya, akhirnya

kewaspadaanya kita sampai pada sejati.

Disaat singgah, roh itu: ada di alam nasut, dinamakan roh uluwiyah, pujinya:

lamaujud dailullah.

Disaat mampir roh itu, ada di alam malakut, dinamankan roh gaib uluwiyah, puji-

[36] nya: lamakbud dailullah.

Disaat singgah roh itu, ada di alam arwah, dinamakan roh kudus, pujinya:

layatkuru laailallah.

Disaat memasuki di alam lahut, dinamakan roh idlafi, tanpa puji, tanpa dzikir,

hanya ingin melihat sendiri, itu dinamakan memberi nugraha.

Siralullah serasa roh-Ku: rasa-Ku Allah, yang berkuasa rasanya menjadikan

semua.

Rasa-Ku Muhammad, yang menjadikan semua rasanya.

Aku-lah tempat berkumpulnya rasa, rasa-Ku rasa kuasa, berkuasa yang

menjadikan semua.

Aku-lah tempat tumbuhnya rasa, ada-Ku adanya rasa, rasa-Ku Rasulullah, yang

berjulukan arullah; yang berjulukan jalalullah, melebur banyaknya yang jelek, ya

rasa ya Rasulullah.

Ini ilmu yang dilarang oleh para nabi, para wali, para mukmin semua.

Arti yang namanya hidup itu, [37] diamnya sebelum ada sir (rahsa)

Arti sebelumnya ada gagasan, yaitu yang sempurna: perbuatannya.

Ada juga sir (rahsa) itu nyatanya rasa, Aku yaitu Dzatullah.

Page 78: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

118

Arti rasa itu nyatanya tertutup Aku, yaitu sifatullah.

Yang dinamakan roh idlafi itu, seperti rupa nyata di dalam sebelumnya kita nyata,

yaitu hakikat muhammadiyah namanya, dan juga rupa di dalam maknawiyah itu:

namanya roh kakat yang namanya manusia.

Sedangkan yang namanya ayat sabitah (tetap) itu cahaya, yaitu cahaya yang baik,

artinya wujud sebelum nyata adanya.

Arti roh idlafi, kenyataan di dalam suci, yaitu yang Mahasuci Pangeran.

Ini tepatnya saat meninggal, yang Dzatullah tepatnya rupek, sebutannya: hu hu hu

hu hu hu: yaitu sahadat sendiri. [38] Sedangkan tidur tepatnya itu sifatullah,

tepatnya sudah dekat, tepatnya itu Allah, yaitu menghilangnya semua sifat.

Sedangkan tepatnya sembahyang itu yang bernama Allah, yang tepatnya

melangkah, yaitu diantara bersuara dan diam, yaitu antaranya Gusti dan kawula.

Ini meleburnya badan, serta tekadnya sekalian, di dalam meninggal.

Ini sebutannya: Allah melebur badan menjadi nyawa, melebur nyawa menjadi

cahaya, melebur cahaya menjadi roh idlafi, melebur roh idlafi menjadi rasa,

melebur rasa menjadi sir (rahsa), hilang pulang kepada Dzatullah, hidup tidak

dapat meninggal, hidup selamanya.

B. Kajian Isi

Naskah SDR ini berisi tentang piwulang atau ajaran untuk menuju manusia

yang sempurna (insan kamil). Diawali dengan kisah Bratasena dalam mencari

Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) yang disebut juga Tirta Pawitra Suci. Dalam

perjalanan pencarian air kehidupan ini, Bratasena tetap kuat dan mampu

menghadapi apapun yang menghalanginya. Selain itu, di dalam naskah ini lebih

Page 79: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

119

ke aplikasi perjalanan batin manusia, bagaimana melawan nafsu, nafsu apa saja

yang ada pada manusia, hal baik yang perlu dilakukan untuk mendekatkan kepada

Hyang Widhi, Sang Kholiq. Kemudian menerangkan tingkatan 7 alam yakni alam

ahadiyat, wahdat, wahidiyat, arwah, misal, ajsam, dan alam insan kamil. Berikut

pemaparan/pembahasan isi di dalam naskah SDR di setiap bagian disertai halaman

pada naskah:

1. Bagian pertama menceritakan perjalanan Bratasena dalam mencari air

Tirta Pawitrasari disertai makna singkatnya. (hal.1-hal.6)

2. Bagian kedua menjelaskan tentang empat tingkatan/tahapan ilmu yang

harus dilaksanakan, yakni: syariat, tarikat, hakekat, makrifat. (hal.6-hal.7)

3. Bagian ketiga menjelaskan tentang marabahaya adanya empat nafsu

diikuti cahaya, nama alam dan makna singkatnya. (hal.7-hal.8)

4. Bagian keempat menjelaskan tentang isi empat perkara yakni empat

cahaya (menandakan empat nafsu) dan diikuti lima cahaya yang

menggambarkan istana, seperti berikut:

a. Hitam = nafsu luamah = alam nasut

b. Merah = nafsu amarah = alam lahut

c. Kuning = nafsu supiyah = alam jabarut

d. Putih = nafsu mutmainah = alam malakut

Setelah hilangnya empat cahaya tersebut, muncul lima cahaya yakni:

a. Istana hitam = istana bangsa binatang

b. Istana merah = istana bangsa jin, setan, dan sebagainya

Page 80: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

120

c. Istana kuning = istana bangsa burung

d. Istana putih = istana bangsa ikan

e. Istana hijau = istana bangsa tumbuhan (hal.8-hal.12)

5. Bagian kelima menjabarkan tentang tujuh alam yakni: mulai dari ahadiyat,

wahdat,wahidiyat, arwah, misal,ajsam, insan kamil. (hal.12-hal.13)

6. Bagian keenam menjelaskan tentang makna singkat tujuh alam di bagian

sebelumnya yakni:

Ahadiyat = mulainya sesuatu

Wahdat = beradanya sesuatu

Wahidiyat = akhirnya satu

Arwah = roh

Misal = seperti

Ajsam = jisim

insan kamil = sempurna, serta dijelaskan arti pramana, nyawa, suksma.

(hal.13-hal.14)

7. Bagian ketujuh menjelaskan tentang macam hati atau bayangan roh ada 7

(tujuh), yakni:

a. Hati sir (rahsa) = bayangannya roh jasmani = kehendak

b. Hati suksma = bayangannya rohani = rasa

c. Hati jinȇm = bayangannya roh hewani = kemauan

d. Hati fu’ad = bayangannya roh nabati = perkiraan dan pikiran

Page 81: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

121

e. Hati budi = bayangannya roh rahmani = angan-angan dan akal

f. Hati maknawi = bayangannya roh nurani = gagasan

g. Hati sanubari = bayangannya roh idlafi = keinginan (hal.14-hal.15)

8. Bagian kedelapan menjelaskan tentang 7 (tujuh) roh pada bagian

sebelumnya,yakni:

a. Roh jasmani = jisim

b. Roh rohani = Pangeran

c. Roh hewani = hidup

d. Roh nabati = hidup rahsanya

e. Roh rahmani = murah hati/penyayang

f. Roh nurani = cahaya

g. Roh idlafi = bersih tanpa bayangan (hal.15-hal.16)

9. Bagian kesembilan menerangkan tentang empat alam beserta arti, seperti:

a. Alam nasut = lupa

b. Alam lahut = berpisah

c. Alam jabarut = hilang

d. Alam malakut = istana (hal.16)

10. Bagian kesepuluh menjelaskan tentang anasir hak (hal.16-hal.17)

11. Bagian kesebelas menjabarkan anasir roh (hal.17)

Page 82: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

122

12. Bagian kedua belas menerangkan tentang anasir jagad (dunia). (hal.17-

hal.18)

13. Bagian ketiga belas menerangkan tentang anasir sifat (hal.18-hal.19)

14. Bagian keempat belas ini pembukaan maksud dari ilmu gaib yang berada

di manusia. (hal.19)

15. Bagian kelima belas menerangkan tentang siapa kawula, siapa Gusti dan

cara manusia dapat bersatu dengan Tuhan. (hal.19-hal.38)

Penggambaran bagian di atas cukup jelas isi naskah SDR. Tidak

sepenuhnya isi di setiap bagian saling berkaitan antara bagian pertama dengan

bagian kedua dan selanjutnya, akan tetapi masih satu kesatuan pembahasannya.

Dalam naskah SDR ini lebih cenderung pada ajaran suluk/tasawuf/mistik Jawa

yang mana dapat pula jika diterapkan pada kehidupan manusia sesungguhnya.

Untuk mengetahui ajaran suluk/tasawuf yang terkandung pada naskah, maka

kandungan isi SDR dibahas secara berurutan.

1. Perjalanan Bratasena

Suluk Dewaruci dimulai dari perjalanan Bratasena yang mencari Tirta

Pawitrasari (air kehidupan) berisi tentang petunjuk ilmu yang menerangkan

tentang beradanya Dzat. Yang akan dibedah isinya dari Tanazultarki, yaitu

asal dan tujuan Dzat sejati. Tokoh Bratasena di sini dapat diartikan lambang

tiap manusia ketika berguru pada Dhanghyang Druna (guru sejati) selalu

menjalani nasihatnya. Tidak memandang resiko yang akan dihadapi oleh

Bratasena. Manusiapun sebaiknya memiliki sikap seperti Bratasena yang

tidak ragu dalam menjalankan nasihat dari sang guru, sayangnya dalam

Page 83: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

123

kehidupan sekarang sulit dijumpai manusia yang seperti Bratasena, penuh

ragu-ragu dan was-was.

Perjalanan Bratasena ini diawali pergi ke gunung Reksamuka, yang

artinya mulai memasuki alam makrifat pada tahapan kedua yakni tarikat. Di

gunung Reksamuka Bratasena dapat membunuh raksasa Rukmaka dan

Rukmakala, yang mana matinya Rukmaka menjadi Bathara Endra. Endra

artinya gunung ibarat semua tubuh yang tepatnya di dalam Baitul Makmur,

sedangkan Rukmakala terbunuh menjadi Bathara Bayu, yang artinya angin,

tepatnya di Baitul Muqadas. Selanjutnya Bratasena disuruh datang ke sumur

Sigrangga, artinya ibarat keperkasaan atau kesentosaan badan. Dalam sumur

Sigrangga Bratasena diserang oleh naga betina, akan tetapi akhirnya

Bratasena dapat membunuh naga betina yang artinya dapat mengendalikan

empat nafsu. Lalu Bratasena pulang ke Amarta, untuk berpamitan dengan

saudara-saudaranya karena dia akan masuk di tengah samudra. Akan tetapi

saudara-saudaranya tidak setuju jika Bratasena pergi ke tengah samudra. Oleh

karena itu saudara-saudaranya sama-sama memegang erat-erat. Hanya saja

Bratasena tetap pada pendiriannya untuk meninggalkan saudara-saudaranya

untuk pergi ke tengah samudra sesuai perintah dari sang guru, artinya yang

menyingkirkan atau menghilangkan perasaan khawatir, sebagai bentuk

pengendalian rasa kasih sayang. Lalu sesampai samudra, Bratasena memasuki

lautan atau samudra Jinem, artinya Jinem yaitu hakikat atau sejatinya Tuhan.

Keenam, dalam perjalanan memasuki samudra tersebut, Bratasena diserang

Naga Nemburnawa, dan Bratasena dapat membunuh Naga Nemburnawa,

artinya ibarat Bratasena dapat membunuh pikiran dan perasaan. Selanjutnya

Page 84: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

124

datanglah Sang Dewaruci, ibaratnya Dzat Sejati (Tuhan) yang datang. Lalu

bercakap-cakap Dewaruci dengan Bratasena, ibaratnya menandakan berada

pada alam sunyi sendirian. Lalu Bratasena masuk di dalam perut, dan di

situlah bertemu dengan Dewaruci tepatnya di alam Kabir yang tandanya tidak

dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna, yaitu menandakan

kesempurnaan. Yang ketujuh, Bratasena ketika berada di dalam perut, melihat

samudra tanpa batas, yaitu menerangkan perjalanan hati. Kemudian Bratasena

melihat cahaya Pancamaya, yaitu menerangkan jantung, yang meliputi

hakikat atau sejatinya hati. Kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat

warna yang menerangkan tentang sikap, yang sama-sama menjadi halangan

atau godaannya hati yaitu:

a. Warna hitam, menyebabkan rasa lapar, terasa mengantuk dan

sejenisnya.

b. Warna merah, menyebabkan angkara murka, sperti amarah,

memarahi dan sejenisnya.

c. Warna kuning, menyebabkan hawa kemurkaan, seperti keinginan,

yang disukai, yang disenangi sejenisnya.

d. Warna putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan kemurkaan/

keserakahan terhadap keutamaan/ajaran, seperti : do’a kepada-NYA, dan

sejenisnya.

Setelah hilangnya empat cahaya Bratasena melihat satu barang yang

menyala berkilauan delapan warna, yaitu: hitam, merah, kuning, putih, hijau,

ungu, biru, merah muda yaitu menerangkan Tuhan. Selanjutnya Bratasena

Page 85: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

125

lalu melihat cahaya berkilat terang memancar, itulah namanya pramana (ruh,

kewaspadaan). Yang kedua belas, Bratasena melihat seperti mutiara,

cahayanya berkilauan, inilah pramananya rahsa, yang berkuasa menciptakan

segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan dari Dzat atma. Yang ketiga

belas, Bratasena melihat sifat Esa, tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak

terarah tidak ditempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),

cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang berkuasa

memerintahkan ke semua alam, hidup tidak ada yang menghidupi, semua

tergantung pada hidup kita sendiri.

2. Ajaran Suluk/Tasawuf/Mistik Jawa

Dalam naskah SDR ini lebih banyak ajaran suluk daripada cerita

perjalanan Bratasena secara lengkap. Terbukti secara tersurat naskah ini

berisi tentang Tuhan, manusia dan bersatunya manusia dengan Tuhan, yang

mana secara tersirat banyak makna dibalik itu semua. Untuk itu, di bawah ini

dapat diulas dan dijelaskan sebagai berikut oleh peneliti.

a. Konsepsi Tuhan

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Disini mengajarkan jika

manusia harus berusaha untuk bersatu dengan Tuhan. Usaha untuk bersatu

dengan Tuhan dapat dicapai melalui penghayatan mistik. Di dalam diri

setiap manusia ada Tuhan, dan manusiapun sebaiknya sadar akan diri

sendiri artinya sadar bahwa manusia adalah ciptaan-Nya. Hanya kepada

Tuhan, manusia mendekatkan pada-Nya, karna hanya Tuhan yang paling

Page 86: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

126

sempurna, yang kekal abadi. Seperti kutipan teks SDR (halaman 19 dan

20) di bawah ini:

“….ingaranan ingsun iku, kahanan kang tunggal kang mahasuci,

kang ora kawoworan. Utawi ingsun iku ; ȇnggon kang langgȇng

ora paran-paran iya ingsun iki ratu kang mulya tur kang

sampurna; tȇgȇse ananingsun iki, kang ora wiwitan suwung; ya

ingsun iki kang tȇrtamtu ing eling-eling sadurunge ana. Sawise

ana tȇgȇse eling kang dumȇling; kang eling sangkaning ora. Yaiku

kang jumȇnȇng ingsun.”

Terjemahan :

“….yang dinamakan Aku itu, hanya satu yang Mahasuci, yang

tidak tercampur.Atau Aku itu; tempat yang abadi tidak bertujuan,

Aku ini ratu yang mulia dan yang sempurna; artinya Aku ini ada,

tidak dimulai dengan kekosongan, Aku ini yang tentunya diingat-

ingat sebelum ada. Setelah ada artinya ingat apa yang harus

diingat; yang diingat tidak asalnya. Yaitu yang berada di Aku.”

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya satu, tidak jamak

atau lebih. Hanya Tuhan yang sempurna, tidak yang lain. Keberadaan

Tuhan tidak berawal dan tidak berakhir, Dialah Dzat yang kekal/abadi.

Tuhan ada sejak alam dan seisinya belum terbentuk. Tuhan hanya

sendirian di alam yang kosong. Maka dari itu, Tuhan sebaiknya diingat

selalu oleh manusia meskipun Tuhan tidak dapat dilihat secara langsung.

Hal tersebut dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini:

“….sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn arah botȇn ȇnggèn,

tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang tanpa

wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa nitahakȇn

saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang anggȇsangi,

inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.”

Terjemahan:

“…sifat Esa, bukan laki-laki, bukan perempuan, tidak berarah tidak

bertempat, tanpa rupa, tanpa warna (tak jelas raut wajahnya),

cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu Dzat atma, yang

berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak ada yang

menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita sendiri.”

Page 87: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

127

Penjelasan kutipan di atas yakni Tuhan itu tidak laki-laki, tidak

perempuan. Tuhan tidak pula mempunyai arah, tidak memiliki tempat,

tidak berwujud. Hanya Tuhan yang mempunyai kuasa untuk

memerintahkan ke semua alam. Manusia hanya menjalani dan berusaha,

untuk hasilnya tergantung pada manusia itu sendiri. Contoh dalam

kehidupan sehari-hari, keinginan manusia ingin bekerja sebagai manajer

utama di perusahaan ternama. Untuk mendapat kursi manajer, tidak

mungkin langsung didapat dengan mudah. Hal ini akan melewati tahapan-

tahapan yang mungkin berawal menjadi satpam, lalu staff dan seterusnya.

Dalam hal ini pula yang akan dinilai adalah keuletan seseorang. Keuletan

merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk mencapai apa yang

diinginkannya.

Ungkapan tentang Tuhan dalam naskah SDR ini juga dijelaskan

seperti kutipan berikut:

“Utawi yèn ora ana, esuk, sore, rina, wȇngi, kadim lan anyar,

Gusti lan kawula, tȇgȇse dhewe-dhewe. Ora ana kawula dadi

Gusti, Gusti dadi kawula. Ananging ana kalane limput-linimputan.

Anyar anglimputi kadim, kadim anglimputi anyar, Gusti

kalimputan ing kawula, kawula kalimputan ing Gusti.Utawi karone

iku padha kanyataan kabèh, kadim aningali anyar, anane anyar

tȇka kadim, kang nganakakȇn. Nyatane Gusti, ananing kawula, lan

ananing kawula kanyataaning Gusti.”

Terjemahan:

“Atau jika tidak ada pagi, sore, siang, malam, abadi dan baru, Allah

dan hamba, artinya sendiri-sendiri. Tidak ada hamba jadi Allah,

Allah jadi hamba. Tetapi ada kalanya saling meliputi. Baru

meliputi abadi, abadi meliputi baru, Allah meliputi di hamba,

hamba meliputi di Allah. Atau dua-duanya itu semua,

kenyataannya saling berkaitan. Abadi melihat yang baru, adanya

yang baru sampai pada keabadian, yang mengadakan. Nyatanya

Allah, adanya hamba, dan adanya hamba itu adanya Allah.”

Page 88: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

128

Uraian di atas menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini maupun yang

kita lihat dalam kehidupan di bumi ini saling terkait atau meliputi. Tidak

sendiri-sendiri. Adanya hamba (manusia) itu karena Allah, Allah juga

berada di dalam setiap manusia. Keduanya saling meliputi ataupun

berkaitan. Ibaratnya dalam kehidupan perlu adanya kegotong-royongan

antarmasyarakat, tidak berjalan sendiri-sendiri.

Dalam naskah SDR ini juga disebutkan sifat yang dimiliki Allah.

Seperti pada kutipan berikut:

“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir sipat, inggih

sipat ingkang mahasuci, ing mangke kawȇdharakȇn satunggil -

tunggilipun, kasȇbut kados ing ngandhap punika:

Sipat jalal, tȇgȇsipun agung, ingkang agung datipun, mila

dipuntȇmbungakȇn agung, amargi tanpa wȇwangȇnan, awit botȇn

lukak, botȇn wuwuh, kawasa nglimputi ing jagad sadaya, inggih

punika wontȇnipun amung langgȇng.”

Terjemahan:

“Maka ketahuilah, yang bernama anasir sifat, yaitu sifat yang

Mahasuci, yang nantinya dijelaskan susunannya, yang disebut

seperti di bawah ini:

Sifat jalal, artinya agung, Dzat yang agung, maka disebut agung,

karena tanpa batas, mulai tidak berbelok, tidak tumbuh, berkuasa

meliputi semua dunia, yaitu hanya keberadaannya yang abadi.”

Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa sifat yang Mahasuci (Allah) yakni

memiliki sifat jalal, yang artinya agung. Allah Mahabesar. Di dunia ini

hanya Allah yang berkuasa dan hanya Dia yang abadi. Selain itu Allah

juga memiliki sifat jamal. Seperti kutipan berikut:

“Sipat jamal, tȇgȇsipun elok, ingkang elok sipatipun, mila

sipatipun katȇmbungakȇn elok, amargi dede jalȇr, dede estri, botȇn

rupa, botȇn warna, botȇn arah, botȇn ȇnggèn, dumunung wontȇn

ngalam baka, tȇgȇsing baka langgȇng.”

Page 89: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

129

Terjemahan:

“Sifat jamal, artinya indah, yang indah itu sifatnya, maka dari itu

disebut indah, karena tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak

berupa/berwujud, tidak berwarna, tidak berarah, tidak bertempat,

berada di alam baka, artinya baka abadi.”

Uraian tersebut menjabarkan bahwa Allah memiliki sifat jamal

yang artinya indah, sebab Allah tidak laki-laki, tidak pula perempuan.

Tidak berwujud. Tempatnya Allah hanya di alam baka/gaib. Tidak dapat

dapat dilihat secara langsung. Dialah Sang Penguasa atas segalanya, yang

mampu membolak-balikkan takdir seperti hanya membalikkan telapak

tangan. Oleh sebab itu, Tuhan memiliki sifat yang disebut sifat khahar.

“Sipat khahar, tȇgȇsipun wisesa, ingkang wisesa asmanipun, mila

asma dipunbasakakȇn wisesa. Inggih punika ingkang nama

amurba, amisesa kang kawasa.”

Terjemahan:

“Sifat khahar, artinya kuasa, yang kuasa namanya, maka dari itu

diberi nama kuasa, [19] yaitu yang bernama Pencipta, Kuasa yang

berkuasa segalanya.”

Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah yang berkuasa atas segalanya.

Dialah pencipta adanya bumi dan seisinya. Hanya Allah yang sempurna.

Jika manusia, baik laki-laki dan perempuan yang sempurna wujudnya

maupun sikapnya, kesempurnaan itu hanya milik Sang Khaliq. Seperti

kutipan berikut sifat Allah:

“Sipat kamal, tȇgȇsipun sampurna, ingkang sampurna apngalipun,

tȇgȇsipun sampurna mulih, mila katȇmbungakȇn sampurna, awit

sampun botȇn bȇbadhe malih, inggih punika karsa Hyang Wisesa

jumȇnȇng kalawan sibadènipun.”

Terjemahan:

“Sifat kamal, artinya sempurna, yang sempurna perbuatannya,

artinya pulang/kembali dengan sempurna, sudah mulai tidak akan

lagi, yaitu keinginan Mahakuasa berkuasa dengan keinginannya.”

Page 90: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

130

b. Konsepsi Manusia

Penggambaran penciptaaan manusia dalam naskah SDR ini sama

halnya penciptaan dunia. Kalau dunia adalah jagad besar dan manusia

merupakan jagad kecilnya.

“Punika kawikanana, ingkang winastanan nganansir jagad, kados

ing ngandhap punika:

Ingkang tumitah rumiyin, punika banyu, tȇgȇsipun rah kaliyan

riwe. Kaping kalih latu, tȇgȇsipun inggih punika nȇpsu kaliyan

cahya. Kaping tiga angin, tȇgȇsipun punika napas. Kaping

sakawan bumi, tȇgȇsipun punika dados jasad, utawi kulit daging.

Benjang ingkang rinacut rumiyin banyu, nuntȇn,: gȇni, nuntȇn,:

angin, nuntȇn,: bumi.”

Terjemahan:

“Maka inilah, yang dinamakan anasir jagad/dunia, seperti di

bawah ini:

Yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu air, artinya darah dan

keringat. Yang kedua api, artinya yaitu nafsu dan cahaya. Yang

ketiga udara, artinya nafas.Yang keempat bumi, artinya menjadi

jasad, atau kulit daging. Besok yang dicabut terlebih dahulu air,

lalu,: api, lalu,: udara, lalu,: bumi.”

Uraian di atas memperjelas bahwa, anasir yang ada di jagad besar

merupakan perwujudan di jagad kecil. Anasir ataupun unsur dalam jagad

besar yakni adanya air, api, udara, bumi. Masing-masing anasir tersebut

merupakan suatu wujud anasir yang ada pada jagad kecil. Seperti, air jika

di jagad besar, akan tetapi dalam jagad kecil (manusia) menjadi

perwujudan darah dan keringat. Di jagad besar ada api, dalam jagad kecil

api menjadi dua perwujudan. Yakni perwujudan yang baik dan

perwujudan buruk. Perwujudan buruk dalam bentuk nafsu (marah, rasa

keinginan, murka), sedangkan perwujudan baik akan memunculkan cahaya

atau kepribadian baik pula (usaha, sabar, ikhlas, selalu menerima).

Selanjutnya ada anasir udara, dalam jagad kecil udara menjadi perwujudan

Page 91: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

131

dari nafas. Tanpa nafas manusia tak mungkin hidup. Anasir yang terakhir

yakni bumi. Bumi menjadi perwujudan jasad atau kulit daging. Anasir

bumi yang merupakan perwujudan jasad atau kulit daging ini berhubungan

dengan tȇdhak siten. Tȇdhak siten adalah salah satu prosesi upacara adat

Jawa untuk bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan dalam penanggalan Jawa.

Tȇdhak artinya menapakan/memijak/turun, sedangkan siten yang berarti

siti artinya tanah. Dimana bayi yang berumur 7 (tujuh) bulan harus dapat

menapakan/memijak/menurunkan kakinya ke tanah. Hal ini dilaksanakan

sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu sebagai

penghormatan kepada bumi, dimana tempat seorang anak tinggal dan

pertama kalinya menginjakkan kaki ke tanah. Sebagai lambang

permohonan do’a kepada Tuhan agar si anak kelak siap menghadapi

halangan, rintangan, cobaan, dapat membahagiakan kedua orang tuanya

serta diberi kemudahan/kelancaran, keselamatan, kesehatan, dan rejeki di

dunia. Ini wajar dilaksanakan bagi masyarakat Jawa yang masih

menjunjung tinggi nilai budaya, karena memang manusia hidup di dunia

sudah ada yang mengatur, dan setiap manusiapun berbeda-beda jalan

nasibnya.

Setiap manusia yang diciptakan-Nya memiliki empat (4) unsur

cahaya dalam dirinya. Dimana cahaya tersebut akan menimbulkan nafsu

pada manusia. Semua tergantung manusia dalam mengendalikan ataupun

menyikapinya. Kutipan dalam SDR sebagai berikut:

“….wahananing nȇpsu kawan prakawis, ingkang sami dados

durgamaning manah.

Page 92: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

132

Ingkang cȇmȇng, pandamȇlipun murugakȇn hawaning luwe arip

sapanunggilanipun.

Ingkang abrit, pandamȇlipun murugakȇn hawaning angkara,

kadosta: panasten, dȇduka sapanunggilanipun.

Ingkang jȇne, pandamȇlipun murugakȇn hawaning murka, kadosta,

pȇpenginan, pakarȇman, kabingahan sapanunggilanipun.

Ingkang pȇthak, punika tanpa hawa amung murugakȇn, lobaning

kautaman, kadosta: puja brata, sapanunggilanipun.”

Terjemahan:

“….keberadaan nafsu empat perkara, yang bersama-sama menjadi

halangan, godaan atau bahayanya hati.

Yang hitam, pekerjaannya menyebabkan rasa lapar, terasa

mengantuk dan sejenisnya.

Yang merah, pekerjaannya menyebabkan angkara murka, seperti:

iri hati, pemarah dan sejenisnya.

Yang kuning, pekerjaannya menyebabkan hawa kemurkaan,

seperti: banyak keinginan, yang disukai bersuka ria dan sejenisnya.

Yang putih, tanpa hawa nafsu hanya menyebabkan, murka atau

serakah terhadap keutamaan/ kebaikan, seperti: bertapa, selalu

berdo’a kepada-NYA, dan sejenisnya.”

Empat unsur cahaya di atas adalah godaan dalam kehidupan

manusia di dunia. Jika tak ada empat cahaya yang saling bertolak belakang

seperti di atas, perjalanan hidup manusia akan datar-datar saja. Oleh

karena itu, Tuhan menciptakan manusia dengan adanya unsur tiga cahaya

(hitam, merah, kuning) yang akan mengakibatkan manusia untuk berbuat

keburukan, dan hanya ada satu cahaya (putih) agar manusia untuk berbuat

kebaikan. Hal ini sebagai bentuk penilaian Tuhan terhadap hamba-Nya

seberapa jauh hamba-Nya itu dapat mengendalikan nafsu buruk, untuk

berjalan mendekat kepada-Nya dalam hal kebaikan. Empat cahaya tersebut

memiliki nama nafsu sendiri, seperti kutipan berikut:

“Nȇpsu luamah, ȇmpanipun murugakȇn ngangsa-angsa, ing

dȇlahan dados cahya cȇmȇng, dipunwastani ngalam nasut,

tȇgȇsipun lali, ing ngriku panggènaning supe, poma dipunèngȇt.

Page 93: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

133

Nȇpsu amarah, inggih nȇpsu hawa, ȇmpanipun murugakȇn duka

lan murka, ing dȇlahan dados cahya abrit, dipunwastani ngalam

lahut, ing ngriku panggènaning rȇkaos, sabab punika awit

sangganging adon-adon sadaya, punika poma-poma dipunpoma.

Nȇpsu supiyah, ȇmpanipun murugakȇn supe kaliyan penginan, ing

delahan dados cahya jȇne, dipunwastani ngalam jabarut, ing

ngriku panggènaning gingsir, poma dipunsantosa.

Nȇpsu mutmainah, ȇmpanipun murugakȇn emut, ing dȇlahan dados

cahya pȇthak, dipunwastani ngalam malakut, ing ngriku

panggènaning sumȇrȇp karaton, poma dipunwaspada, karana ing

ngriku cahyaning pramana dhatȇng katingal sasi : cȇmȇng, abrit,

jȇne, pȇthak, ijȇm, sami anglimputi dating karaton, ananging

punika dede sajatosing karaton kang rinakit mahasuci.”

Terjemahan:

“Nafsu luamah, yang menyebabkan serakah, di akhirat nantinya

menjadi cahaya hitam, yang dinamakan alam nasut, artinya lupa, di

situ tempatnya kelalaian, oleh karena itu harus diingat.

Nafsu amarah, yaitu nafsu panas, yang menyebabkan marah dan

keserakahan, yang nantinya menjadi cahaya merah, yang

dinamakan alam lahut, di situ tempat yang sulit, sebab itu

datangnya dari sikap, oleh karena itu harus waspada.

Nafsu supiyah, yang menyebabkan lupa dan keinginan, yang

nantinya jadi cahaya kuning, yang dinamakan alam jabarut, di situ

tempat yang harus disingkirkan, agar sentosa.

Nafsu mutmainah yang menyebabkan ingat, yang nantinya menjadi

cahaya putih, yang dinamakan alam malakut, di situ tempatnya

mengetahui istana, harap tenang dan hati-hati, karena di situ cahaya

pramana yang datang terlihat: hitam, merah, kuning, putih, hijau

meliputi Dzat istana, tetapi itu bukan sejatinya istana yang diatur

oleh yang Mahamulia.”

Uraian di atas semakin memperjelas, berbagai perwujudan nafsu

dari berbagai macam cahaya yang kelak di alam gaib akan berbeda pula

alamnya. Semua tergantung manusia yang menjalaninya sewaktu di dunia.

Manusia yang sempurna sebaiknya manusia yang dapat mengendalikan

nafsu luamah, amarah, supiyah, mutmainah.

Page 94: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

134

Pemahaman tentang manusia dalam naskah ini juga menjelaskan

bahwa ada tujuh nama hati atau bayangan roh, akan tetapi pada hakikatnya

hanya satu. Seperti berikut kutipannya:

“Ati sir, wȇwayanganing roh jasmani, pandamȇlanipun dados

andarbeni karsa.

Ati suksma, wȇwayanganing rokhani, inggih roh rabani,

pandamȇlanipun dados andarbeni pangrasa.

Ati jinȇm, wȇwayanganing roh khewani, pandamȇlanipun dados

andarbèni panȇdya kaliyan pangrasa.

Ati puad, wȇwayanganing roh nabati, pandamȇlipun dados

andarbèni panyana lawan pangesthi.

Ati budi, wȇwayanganing roh rahmani, pandamȇlanipun dados

andarbeni panggraita lan akal.

Ati maknawi, wȇwayanganing roh nurani, pandamȇlipun dados

andarbeni cipta.

Ati sanubari, wȇwayanganing roh ilapi, pandamȇlanipun dados

andarbeni karȇp kaanan sadaya.”

Terjemahan:

“Hati sir, merupakan bayangan roh jasmani, pekerjaanya menjadi

memiliki kehendak.

Hati suksma, bayangannya rohani, yaitu roh rabani, pekerjaanya

memiliki perasaan.

Hati jinem, bayangannya roh hewani, pekerjaanya memiliki banyak

mau/berkehendak/keinginan dan rasa.

Hati puad, bayangannya roh nabati, pekerjaanya memiliki

sangkaan/perkiraan dan pikiran beribadah.

Hati budi, bayangannya roh rahmani, pekerjaanya memiliki angan-

angan dan akal.

Hati maknawi, bayangan roh nurani, pekerjaanya memiliki

gagasan/ pikiran.

Hati sanubari, merupakan bayangan roh idlafi, pekerjaanya

memiliki semua keinginan.”

Page 95: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

135

c. Konsep Manunggaling Kawula Gusti

Pada intinya dalam naskah SDR ini mengajarkan tentang

manunggaling kawula Gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan).

Maksudnya cara hidup yang seperti apa untuk mencapai atau mendapatkan

penghayatan kesatuan antara manusia dengan Sang Khaliq atau Tuhannya.

Untuk mencapai penghayatan tersebut dibutuhkan beberapa tahapan-

tahapan/tingkatan-tingkatan layaknya seperti apa yang telah diketahui

ataupun dijalani oleh para wali. Seperti pada kutipan SDR (halaman 6 dan

7) berikut:

“Sarengat dunungipun wontȇn ing tutuk, pandamȇlipun dhatȇng

pangalȇm tuwin panacad, lampahipun trima, tȇgȇsipun sabar.

Tarekat dunungipun wontȇn ing grana, pandamȇlipun dhatȇnging

karsa, lawan panampik, lampahipun lila.

Hakekat dunungipun wontȇn ing karna pandamȇlipun dhatȇng

kasuran, kaliyan kaajrihan lampahipun tȇmȇn.

Makripat dunungipun wontȇn ing netra, pandamȇlipun dhatȇng

katrȇsnan kalawan dhatȇng kasȇngitan, lampahipun utami.”

Terjemahan:

“Syariat yang bertempat di mulut, yang pekerjaannya sebagai

pemberi simpati/ucapan yang baik dan pemberi cacat/ ucapan yang

menyakitkan, jalannya menerima, artinya sabar.

Tarikat yang bertempat di hidung, yang pekerjaannya berkehendak

dan menerima, jalannya ikhlas.

Hakikat yang tempatnya di telinga yang pekerjaannya berani dan

ketakutan yang jalannya kejujuran.

Makrifat yang tempatnya di mata, yang kerjanya mencintai dan iri

hati, yang jalannya utama.”

Kutipan di atas menjelaskan untuk mencapai penghayatan kesatuan

antara manusia dengan Tuhan. Yakni setiap manusia sebaiknya memiliki

sifat sabar. Sabar artinya sabar dalam menghadapi perjalanan hidup di

dunia. Mulai dari permasalahan ringan sampai permasalahan berat,

Page 96: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

136

manusia diharapkan untuk sabar dalam menyikapinya. Selanjutnya

manusia sebaiknya mempunyai rasa ikhlas terhadap segala hal, mulai dari

menjalani, ditinggalkan maupun meninggalkan. Jika manusia sudah bisa

menjalani kehidupan dengan sabar, ikhlas, lalu diikuti kejujuran. Manusia

sebaiknya memiliki perbuatan jujur terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

Terlebih jujur kepada Sang Khaliq. Karena dengan adanya kejujuran,

dengan begitu manusia akan mematuhi semua perintah-Nya dan menjauhi

segala larangan-Nya. Dan inilah jalan utama untuk mencapai penghayatan

manusia kepada Tuhan.

Hal ini serupa pula dengan cerita Dewaruci. Perjalanan Bratasena

untuk mencari Tirta Pawitrasari (Air Kehidupan) tidak mudah.

Diperlukannya niat yang sungguh-sungguh dan banyaknya godaan di

setiap langkahnya. Langkah perjalanan Bratasena ini berurutan dan

langkah tersebut merupakan perjalanan mistis dengan (4) empat tahapan,

yakni: syariat, tarikat, hakikat, makrifat. Berikut pemaparannya:

Pada kutipan teks SDR (halaman 1) di bawah ini:

“…Bratasena nalika puruhita dhatȇng Dhanghyang Druna. Lajȇng

anglampahi sapitȇdahipun…”

Terjemahan:

“…Bratasena ketika berguru kepada Dhanghyang Druna selalu

menjalani nasihatnya…”

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Bratasena mempunyai guru yang

bernama Druna. Druna adalah guru yang dipercaya oleh Bratasena. Oleh

karena itu semua yang dikatakan/diperintahkan, pasti dilaksanakan

Bratasena. Ini merupakan tahapan/tingkatan syariat pada perjalanan

Bratasena. Kemudian tahapan tarikat dalam perjalanan Bratasena ini

Page 97: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

137

dilambangkan Bratasena mematuhi semua perintah dari Druna, seperti

pada kutipan (halaman 1 dan 2) berikut:

“Ingkang rumiyin tinȇdah dhatȇng ardi Rȇksamuka, tȇgȇsipun

sampun ngambah ing makripat. Lajȇng amȇjahi dȇnawa: Rukmaka,

Rukmakala. Rukmaka pȇjahipun dados Bathara Endra. Tȇgȇsipun

Endra gunung inggih punika ngibarat badan sakojur, utawi dados

wȇwȇnganing betalmakmur. Rukmakala pȇjahipun dados Bathara

Bayu, tȇgȇsipun Bayu, betal mukadas. Ingkang kaping tiga,

Bratasena dhatȇng sumur sigrangga, tȇgȇsipun, punika ngibarat

kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt

nȇpsu kawan prakawis…”

Terjemahan:

“Yang pertama ditunjukkan ke gunung Reksamuka, artinya mulai

memasuki alam makrifat. Lalu membunuh raksasa: Rukmaka,

Rukmakala, matinya Rukmaka menjadi/berubah Bathara Endra.

Artinya Endra gunung, yaitu ibaratnya semua tubuh, atau jadi

cahayanya Baitul Makmur. Rukmakala terbunuh menjadi Bathara

Bayu, artinya angin, Baitul Muqadas. Yang ketiga, Bratasena

datang ke sumur Sigrangga, artinya itu ibarat kesentosaan atau

keperkasaan badan. Bratasena lalu membunuh naga betina yang

artinya: mengendalikan empat nafsu perkara.”

Uraian tersebut membuktikan jika Bratasena seorang murid yang patuh

terhadap perintah dari gurunya yakni Druna. Sang Guru memerintahkan

Bratasena untuk pergi ke gunung Reksamuka untuk mencari Tirta

Pawitrasari. Akan tetapi di sana Bratasena tidak menemukan air

kehidupan, hanya dua raksasa yang menghadang Bratasena. Dua raksasa

tersebut yakni Rukmaka dan Rukmakala. Rukma artinya emas, sedangkan

muka artinya wajah. Dua raksasa ini dapat disimbolkan wanita dan harta.

Rukmaka merupakan perwujudan simbol dari wanita, sedangkan

Rukmakala disimbolkan dengan emas (harta). Wanita dan harta merupakan

godaan duniawi bagi seseorang yang ingin mencari jati dirinya. Dapat

mengalahkannya dua raksasa tersebut merupakan simbol bahwa Bratasena

setidaknya sudah dapat mengendalikan hawa nafsu. Setelah dua raksasa itu

Page 98: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

138

dibunuh Bratasena, dua raksasa ini adalah hilang dan berubah menjadi

Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua raksasa tadi merupakan penjelmaan

dari Bathara Endra dan Bathara Bayu. Dua Sang Dewa ini kemudian

menyuruh Bratasena untuk kembali ke Druna dan menanyakan yang

sesungguhnya keberadaan Tirta Pawitrasari. Tanpa berpikir panjang,

Bratasena bergegas meninggalkan tempat tersebut dan kembali pulang

untuk menemui Druna. Setelah sampai dan menemui Druna, lalu

ditunjukkannya sumur Sigrangga. Seperti pada kutipan naskah SDR

(halaman 2)

“Ingkang kaping tiga, Bratasena dhatȇng sumur sigrangga,

tȇgȇsipun, punika ngibarat kasing badan. Bratasena lajȇng mȇjahi

naga estri tȇgȇsipun: mȇpȇt nȇpsu kawan prakawis,

Nuntȇn Bratasena kundur dhatȇng Amarta, pamit para kadang

badhe anggȇbyur dhatȇng tȇlȇnging samodra. Para kadang sami

anggèndholi, tȇgȇsipun: angipatakȇn was-wasing panggalih,

angungkurakȇn ing sih katrȇsnan.

Kaping gangsal Bratasena anggȇbyur ing sagara Jinȇm, tȇgȇsipun

sagara Jinȇm, sajatining Pangeran.

Kaping nȇm,lajȇng mȇjahi naga Nȇmburnawa, tȇgȇsipun : ngibarat

amȇjahi cipta kaliyan pangrasa.”

Terjemahan:

“Yang ketiga, Bratasena datang ke sumur Sigrangga, artinya itu

ibarat kesentosaan atau keperkasaan badan.

Bratasena lalu membunuh naga betina yang artinya: mengendalikan

empat nafsu perkara. Lalu Bratasena pulang ke Amarta, berpamitan

dengan saudara karena dia akan masuk di tengah samudra.

Saudara-saudaranya tersebut tidak setuju dan sama-sama

memegang erat-erat, artinya yang menyingkirkan atau

menghilangkan perasaan khawatir, sebagai bentuk pengendalian

rasa kasih sayang.

Yang kelima Bratasena masuk ke dalam samudra Jinem, artinya

segara Jinem, yaitu hakikat atau sejatinya Pangeran.”

Yang keenam, lalu membunuh Naga Nemburnawa, artinya ibarat

Bratasena dapat membunuh pikiran dan perasaan.

Page 99: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

139

Uraian di atas menjabarkan perjalanan Bratasena mencari Tirta

Pawitrasari yang masih pada tahapan/ tingkatan tarikat, yakni mematuhi

apa yang diperintahkan oleh Druna untuk pergi ke sumur Sigrangga.

Tanpa keraguan, Bratasena pergi ke sumur Sigrangga. Di sumur Sigrangga

Bratasena bertemu dengan naga betina yang menyerangnya, akan tetapi

Bratasena dapat mengalahkan naga betina tersebut. Dapat diibaratkan

Bratasena dapat mengendalikan empat nafsu. Terbunuhnya naga betina ini

merupakan penjelmaan dari Dewi Maheswari, dan menyuruh Bratasena

untuk pulang, karena sesungguhnya di sumur Sigrangga tidak ada Tirta

Pawitrasari. Itu hanya tipuan dari Druna. Kemudian Bratasenapun pulang

dan menemui sang guru yakni Druna. Bratasena menceritakan semua apa

yang telah dialaminya tadi, dan Bratasena meminta petunjuk yang

sesungguhnya di mana dapat ditemukannya Tirta Pawitrasari (Air

Kehidupan). Lalu Druna menunjukkan keberadaan Tirta Pawitrasari ada

di tengah samudra. Sebelum Bratasena berangkat ke tengah samudra,

Bratasena pulang ke Amarta untuk berpamitan kepada saudara-saudaranya.

Saat berpamitan kepada saudara-saudaranya, mereka tidak ingin/tidak

setuju Bratasena pergi ke tengah samudra tersebut karena akan beresiko

besar nantinya. Hal ini tetap tidak dihiraukan oleh Bratasena. Tekadnya

untuk pergi ke tengah samudra sudah bulat untuk mencari air kehidupan.

Kemudian Bratasena pergi ke samudra Jinem. Samudra Jinem artinya yaitu

hakikat atau sejatinya Pangeran. Sampai di samudra ini, Bratasena

memandangi lautan luas. Jika Bratasena ingin ke tengah samudra, berarti

Bratasena harus masuk ke dalam samudra tersebut, sama saja

Page 100: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

140

menenggelamkan di samudra yang luas dan dalam itu dapat membunuh

dirinya sendiri, akan tetapi jika Bratasena tidak masuk dia hanya

membawa pulang malu. Akhirnya Bratasena berpasrah kepada Tuhan,

kematian dan hidupnya hanya diserahkan kepada Tuhan. Kemudian

Bratasena masuk ke samudra. Di tengah samudra Bratasena dihalangi oleh

Naga Nemburnawa. Pada akhirnya Bratasena dapat mengalahkan Naga

Nemburnawa ibarat dapat membunuh pikiran dan perasaan. Naga

Nemburnawa merupakan simbol nafsu yakni harus dapat mematikan

pikiran untuk tidak makan dan minum semaunya/ sepuasnya dan juga

perasaan yang hanya ingin menuruti ego. Contohnya hanya demi

perempuan yang ingin dinikahinya dia rela bertarung untuk

memperebutkan.

Selesainya Bratasena membunuh Naga Nemburnawa, Bratasena

melihat sosok seperti perwujudannya, hanya saja tubuhnya kecil. Dia

adalah Dewaruci. Di sinilah merupakan tahapan/ tingkatan hakikat dalam

perjalanan Bratasena. Seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 2-4) di

bawah ini:

“Nuntȇn Sang Dewaruci dhatȇng, inggih punika ngibaratipun

dhatȇnging dad sajati. Nuntȇn jȇjagongan kaliyan Dewaruci malih,

punika ngibaratipun amratandhakakȇn wontȇn ing ngalam sahir

tunggil dad sipat asma apngal. Nuntȇn manjing ing guwa garba.

Kapanggih kaliyan Dewaruci punika wontȇn ing ngalam kabir,

tandha bilih botȇn kenging pisah. Guwa garba ngibarating ngalam

insan kamil, inggih punika mratandhakakȇn yèn sampurna.

Kaping pitu, Bratasena nalika wontȇn guwa garba, aningali

samodra tanpa tȇpi, inggih punika wahananipun manah.

Kaping wolu, Bratasena aningali cahya gumawang pancamaya

namanipun inggih punika wahananing jantung, anglimputi jatining

manah, dados pangarsaning sarira. Mila dipunwastani muka sipat,

Page 101: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

141

dene kuwasa nuntun sajatining sipat kang linuwih ȇmpanipun

wontȇn ing cipta, papanipun wontȇn ing paningal pamiyarsa,

pangambȇt, pangraos, pamiraose botȇn kasamaran dènira nȇngȇri

sajatining rupa.

Kaping sanga, Bratasena ningali cahya kawan warni : cȇmȇng,

abrit, jȇne, pȇthak, inggih punika wahananing budi, mȇdalakȇn

wahananing nȇpsu kawan prakawis, ingkang sami dados

durgamaning manah.

“Lalu Sang Dewaruci datang, yaitu ibaratnya Dzat sejati datang.

Lalu bercakap-cakap dengan Dewaruci lagi, ibaratnya itu

menandakan di alam sunyi sendirian Dzatnya. Lalu masuk di dalam

perut. Bertemu dengan Dewaruci itu berada di alam Kabir, tanda

jika tidak dapat pisah. Perut ibarat alam manusia sempurna, yaitu

menandakan jika sempurna.

Yang ketujuh, Bratasena ketika berada perut, melihat samudra tiada

batas, yaitulah menerangkan perjalanan hati.

Yang kedelapan, Bratasena melihat cahaya bernama Pancamaya,

yaitu menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati,

yang menjadi pimpinan badan. Maka dari itu dinamakan sifat

awal(muka sifat), yang kuasanya menginginkan sifat sejati yang

lebih berada di pikiran, tempatnya di penglihatan, penciuman,

perasan, yang tidak samar itu menandakan sejatinya dia.

Yang kesembilan, Bratasena melihat cahaya empat warna: hitam,

merah, kuning, putih, yaitu yang menerangkan tentang sikap,

memberi keberadaan nafsu empat perkara, yang bersama-sama

menjadi halangan, godaan atau bahayanya hati.”

Uraian di atas menjabarkan sesampainya di dasar samudra,

Bratasena bertemu dengan Dewaruci. Dewaruci adalah Dewa atau Tuhan.

Di sini mereka bercakap-cakap. Bratasenapun juga menanyakan kepada

Dewaruci tentang keberadaan Titra Pawitrasari, akan tetapi jawaban yang

mengejutkan bagi Bratasena jika keberadaan air kehidupan tidak akan

pernah ada wujudnya. Hanya dapat dirasakan dalam kesadaran pada diri

seseorang. Kemudian Dewaruci menyuruh Bratasena masuk ke dalam

tubuh Sang Dewaruci. Di dalam perut Dewaruci inilah Bratasena merasa

sendiri, di tempat luas tiada batas yang sunyi, kosong. Peristiwa ini

merupakan tahapan/tingkatan makrifat. Yakni tingkat yang paling

Page 102: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

142

sempurna. Dengan bersatunya Bratasena masuk ke dalam tubuh Dewaruci

merupakan simbol bersatunya manusia dengan Tuhan. Di dalam perut

Dewaruci, Bratasena melihat cahaya yang bernama Pancamaya yang

menerangkan jantung, yang meliputi hakikat/sejatinya hati, yang menjadi

pimpinan badan. Kemudian Bratasena melihat empat warna cahaya yakni

hitam, merah, kuning, putih. Keempat warna tersebut memiliki fungsi

kerja yang berbeda-beda sebagai simbol nafsu yang menjadi godaan

duniawi seperti yang dijelaskan pada halaman 131. Oleh karena itu, empat

nafsu tersebut harus dikendalikan. Setelah melihat empat warna cahaya

tadi, Bratasena melihat sesuatu yang menyala berkilau delapan warna

seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 4 dan 5) berikut:

“Kaping sadasa, Bratasena ningali urup satunggal darbe sorot

wolung warni: cȇmȇng, abrit, jȇne, pȇthak, ijȇm, wungu, biru,

dadu: inggih punika wahananing Pangeran, kawimbuhan

cahyaning pramana, ing ngandhap punika tȇgȇsipun:

Ingkang cȇmȇng mȇlȇs mȇlȇng-mȇlȇng, kados musthikaning bumi,

inggih punika nisthaning cipta.

Ingkang abrit abra marakata, kados sȇsotya gȇniyara, inggih

punika anȇdahakȇn dusthaning cipta.

Ingkang jȇne sumunar, kados rȇtna dumilah, inggih punika

nȇdahakȇn doraning cipta.

Ingkang pȇthak maya-maya wȇnȇs, kados manikmaya, inggih

punika nȇdahakȇn sȇtyaning cipta.

Ingkang ijȇm ngȇnguwung, kados manik tejomaya, inggih punika

nȇdahakȇn santosaning cipta.

Ingkang biru muyȇg, kados nilapakaja, inggih punika nȇdahakȇn

sambawaning cipta.

Ingkang wungu mȇngȇs, kados manik pusparaga, inggih punika

nȇdahakȇn sambadaning cipta.

Ingkang dadu muncar, kados mirah dlima, inggih punika

nȇdahakȇn ewah gingsiring cipta.”

Page 103: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

143

Terjemahan:

“Yang kesepuluh, Bratasena melihat suatu cahaya yang nyala

berkilau delapan warna: hitam, merah, kuning, putih, hijau, ungu,

biru, merah muda: yaitu menerangkan Pangeran/Allah, ditambah

cahayanya terang/cerah, di bawah ini artinya:

Yang hitam sangat gilap, seperti mustika/kelebihannya bumi, yaitu

merendahkan pikirannya sendiri.

Yang merah sangat gemerlapan, seperti api yang membara, yaitu

menunjukkan kelicikan pikiran.

Yang kuning bersinar, seperti intan bercahaya, yaitu menunjukkan

jahatnya pikiran.

Yang putih bersih, seperti putihnya mata, yaitu tanda setianya

pikiran

Yang hijau berkilau, seperti cahaya manikmaya, yaitu menandakan

sentosa/tentramnya pikiran

Yang biru, seperti nilapakaja, yaitu menerangkan jalannya pikiran.

Yang ungu semu hitam gilap, seperti manik pusparaga, yaitu

menandakan pikiran yang sabar.

Yang merah muda, seperti merah delima, yaitu menandakan

perubahan pikiran.”

Uraian tersebut menjabarkan tentang delapan warna berkilauan yang

dilihat oleh Bratasena. Yang mana delapan warna tersebut mempunyai

pekerjaan masing-masing, itu semua adalah penggambaran yang ada di

dalam jagad kecil yakni manusia.

Sehilangnya delapan warna berkilauan tadi, Bratasena melihat

seperti tawon gumana yang cahayanya sangat cerah. Berikut kutipan pada

naskah SDR (halaman 5):

“Kaping sȇwȇlas, Bratasena lajȇng ningali rȇrupan kados tawon

gumana, awȇning cahyanipun, punika pramananing suksma,

ingkang mimbuhi warna sadaya, anglimputi jagad alit jagad

agȇng, sak isèn-isènipun sadaya, inggih punika gȇsangipun saking

pramananing rahsa.

Terjemahan:

“Yang kesebelas, Bratasena lalu melihat seperti tawon gumana

(anak tawon), cahayanya sangat cerah, ini pramananing suksma,

Page 104: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

144

yang menambahi semua warna dunia ini, yang meliputi jagad/dunia

kecil dunia besar, seisinya semua, yaitu makmurnya dari

pramananing rahsa.”

Kutipan ini menjabarkan jika yang dilihat Bratasena seperti tawon gumana

ini perwujudan pramananing suksma dan pramananing rahsa. Setelah

hilangnya cahaya cerah tadi, Bratasena melihat wajah seperti golèk

gadhing (boneka gading). Seperti pada kutipan naskah SDR (halaman 6):

“Kaping kalih wȇlas, Bratasena ningali rȇrupan kados golèk

gadhing ingkang kasawang kados pȇputran mutyara, mancur

mancorong cahyanipun, punika pramananing rahsa, kang amurba

amisesa ing ngalam sadaya. Inggih punika gȇsangipun saking

Atma.

Kaping tiga wȇlas, ningali sipat ȇsa, dede jalȇr dede estri, botȇn

arah botȇn ȇnggèn, tanpa rupa tanpa warna, cahyanipun gumilang

tanpa wȇwayangan, inggih punika dating Atma, kang kawasa

nitahakȇn saliring ngalam sadaya, gȇsang botȇn wontȇn kang

anggȇsangi, inggih punika dumunung wontȇn ing urip kita.”

Terjemahan:

“Yang kedua belas, Bratasena melihat wajah seperti golèk gadhing

(boneka gading) yang terlihat seperti mutiara, cahayanya

mencolok/sumorot, ini pramananing rahsa, yang berkuasa

menciptakan segala sesuatu semua di alam. Yaitu kehidupan dari

Dzat atma.

Yang ketiga belas, melihat sifat Esa, bukan laki-laki, bukan

perempuan, tidak berarah tidak bertempat, tanpa rupa, tanpa warna

(tak jelas raut wajahnya), cahayanya berkilau tanpa bayangan, yaitu

Dzat atma, yang berkuasa menciptakan ke semua alam, hidup tidak

ada yang menghidupi, yaitu semua berada di dalam pada hidup kita

sendiri.”

Uraian di atas menjabarkan bahwa yang dilihat Bratasena seperti boneka

gading itu perwujudan Dzat Sejati yang tidak akan pernah dilihat. Tidak

bertempat kedudukan, tidak berwujud, tidak berwarna, tidak perempuan

tidak pula laki-laki. Hanya orang-orang yang waspada. Inilah yang

berkuasa dalam kehidupan diri manusia, karena Dzat ini yang membawa

hidupnya manusia.

Page 105: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

145

Itulah wejangan/nasihat yang didapat Bratasena selama berada di

perut Sang Dewaruci. Sesungguhnya perwujudan Tirta Pawitrasari tidak

akan pernah ada, hanya dapat dirasakan dengan ketenangan hati.

Pemahaman atau konsep tentang manunggaling kawula Gusti

dalam naskah ini juga dijelaskan adanya tujuh tingkatan sebagai

perwujudan Tuhan. Seperti kutipan berikut:

“...wangsul dhatȇng asalipun saking cahya, dados nukat gaib,

benjing wontȇnipun ing ngalam insan kamil, inggih punika ingkang

badhe tumitah, dados jagad malih, tȇgȇsipun inggih wadhag

punika:

Tumurunipun punika awit ngambah akhadiyat.

Lajȇng ngambah wahdad.

Lajȇng ngambah wakidiyat.

Lajȇng ngambah ngalam arwah.

Lajȇng ngambah ngalam misal.

Lajȇng ngambah ngalam Ajȇsan.

Lajȇng ngambah ngalam insan kamil.

Dene panginggilipun awit ngambah ing ngalam Ajȇsan,

sapanginggilipun dumugi ing ngalam insan kamil malih.

Punika kawikanana, tȇgȇsipun ngalam pitung prakawis

wau, wijanging satunggal-tunggalipun kados ing ngandhap

punika:

Akhadiyat, tȇgȇsipun wiwitaning sawiji, ing ngriku wiwit tumitah,

ing dat sawiji.

Wahdad, tȇgȇsipun jumȇnȇng sawiji, ing ngriku wiwit jumȇnȇnging

dat sawiji, wontȇn ing nukat gaib, tȇgȇsipun nukat,: wiji, tȇgȇsipun

gaib,: samar, wontȇn dalȇm manungsa wau.

Wakidiyat, tȇgȇsipun wȇkasaning sawiji, inggih punika wȇkasaning

sipating dat sawiji.

Ajȇsan, tȇgȇsipun jisim, inggih punika sampun kanthi Allah,

tȇgȇsipun Allah badan.

Misal, tȇgȇsipun upama, inggih punika: kadamȇl sêsilih sipat

ingkang mahasuci, wontȇn ing jagad alit, kapurba saking jagad

alit:

Page 106: BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · Jawa yang sudah menggunakan aksara rekan (aksara rȇkan). 56 o. Pengarang/ Penyalin Tidak ada keterangan pengarang/ penyalin pada naskah

146

Arwah, tȇgȇsipun roh, tȇgȇsing roh urib, inggih punika sampun

kapanjingan gȇsang.

Insan kamil, tȇgȇsipun sampurna, inggih punika manungsa ingkang

sampurna.”

Terjemahan:

“…kembali ke asalnya dari cahaya, menjadi nukat gaib, yang

nantinya di alam insan kamil (manusia sempurna), yaitu yang akan

menciptakan menjadi dunia lagi, artinya seperti di bawah ini:

Turunnya ini dikarenakan menginjak/ memasuki ahadiyat

Lalu menuju/ menginjak wahdat

Lalu menuju wahidiyat

Lalu menuju/ menginjak alam arwah

Lalu menuju alam misal

Lalu menuju alam ajsam

Lalu menuju alam insan kamil (manusia sempurna)

Sedangkan yang paling atas mulai dari menuju di alam ajsam,

sampai di alam insan kamil lagi.

Maka ketahuilah, arti alam tujuh perkara tadi, satu persatunya

menerangkan seperti di bawah ini:

Ahadiyat, arti mulainya sesuatu, di situ beradanya Dzat pertama.

Wahdat, artinya keberadaan sesuatu, di situ awal mula keberadaan

suatu Dzat, ada di nukat gaib, artinya nukat,: satu, arti gaib,: samar,

ada di dalam manusia tadi.

Wahidiyat, arti akhirnya satu, yaitu akhir dari sifat sesuatu Dzat.

Ajsam, artinya jisim, yaitu sudah dengan Allah, arti Allah adalah

badan.

Misal, arti seperti, yaitu yang dinamai sifat yang Mahamulia, ada di

dunia kecil, yang sudah lama dari dunia kecil.

Arwah, artinya roh, arti roh hidup, yaitu sudah ditarik dari hidup.

Insan kamil, arti sempurna, yaitu manusia yang sempurna.”

Uraian di atas menjelaskan tentang tujuh tingkatan, yang nantinya

manusia sempurna hanya akan ada di alam baka, tempat-Nya, yaitu Alam

yang abadi.