BAB II A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Dalam ...eprints.umm.ac.id/39107/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Dalam ...eprints.umm.ac.id/39107/3/BAB II.pdf ·...
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Hukum Dalam Perlindungan Satwa
Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat
dan/atau di air, dan/atau di udara, yang memiliki keanekaragaman jenisnya. Di
Indonesia sendiri secara geografis merupakan negara yang iklimnya mempuni
bagi keberlangsungan hidup satwa-satwa liar, sehingga tidak heran Indonesia
memiliki keberagaman sata diseluruh wilayahnya. Namun saat ini beberapa
satwa di Indonesia mengalami kondisi yang kritis dimana diantaranya terancam
bahaya kepunahan, bahkan beberapa jenis satwanya telah punah akibat ulah
manusia, yang diantaranya ialah maraknya perdagangan satwa secara ilegal.
Maraknya perdagangan satwa secara ilegal tersebut lambat-laun
mengakibatkan satwa-satwa di Indonesia akan mengalami kepunahan. Dengan
ini guna perlidungan serta pelestarisan satwa saat ini hingga masa mendatang,
diperlukan batasan-batasan dalam setiap tindakan atau perilaku dari individu
manusianya, melalui kebijakan hukum yang tegas dan berlaku secara tertib di
masyarakat. Sehingga setiap tindakan perdaganagan satwa oleh manusia dapat
terkontrol oleh petugas-petugas yang diberi wewenang dalam perlindungan dan
pengelolaan satwa, serta petugas-petugas yang di beri wewenang kiranya dapat
menjalankan tugasnya dengan benar, sehingga masyarakatnya sadar akan
pentingnya perlindungan terhadap satwa.11 Upaya Kebijakan Hukum dalam
11Opcit, Hal.3, Nyoman Wijana, Nopember, 2014, Ilmu Lingkungan, Yogyakrta, Graha Ilmu,Hal.8, 9, 190.
24
Perlindungan satwa dari perdagangan oleh manusia di Indonesia, berkembang
seiring waktu sesuai kondisinya, yang terbagi berikut ini:
1. Perlindungan Satwa Di Zaman Kolonial Belanda
Dalam rangka perlindungan terhadap satwa pada zaman Kolonial
Belanda dilakukan peraturan-peraturan berikut ini :
a. Parelvisscherij, Sponsenvisscherij ordonnantie (Stbl. 1926 No. 157),dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29Januari 1916. Ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangkamelakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang, dan bungakarang dalam jarak tidak lebih dari 3 mil-laut Inggris dari pantai-pantaiHindia Belanda (Indonesia). Maksudnya melakukan perikanan terhadaphasil laut ialah tiap usaha dengan alat apa pun juga untuk mengambilhasil laut dari laut tersebut. Pada tanggal 26 Mei 1920, dengan penetapanGubernur Jenderal No. 86, telah diterbitkan Visscherijordonnantie (Stbl.1920 No. 396), yaitu peraturan perikanan untuk melindungi keadaanikan. Adapun yang dimaksud dengan ikan meliputi pula telur ikan, benihikan, dan segala macam kerang-kerangan. Dalam Pasal 2 ditentukanbahwa menangkap ikan dengan bahan-bahan beracun, bius atau bahan-bahan peledak dilarang. Ordonansi lain di bidang perikanan adalahKustvischerijordonnantie (Stbl. 1927 No. 144), berlaku sejak tanggal 1September 1927. Ordonansi Perikanan telah dicabut dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan padatanggal 19 Juni 1985.
b. Hinder ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226, yang diubah/ditambah,terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan. Didalam Pasal 1 ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempatusaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut,meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pulaberbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telahdikeluarkan Berdrijfsreglementeringsordonnantie 1934 (Stbl. 193 8 No.86 jo. Stbl. 1948 No. 224).
c. Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalahDierenbechermings- ordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulaiberlaku pada tanggal I Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda(Indonesia). Berkenaan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentangperburuan, yaitu Jacht- ordonnantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) danJachtordonnantie Java en Madura sejak Tanggal 1 Juli 1940.
d. Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalahNatuurbeschermings ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansiini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en
25
Wildreservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) danmengantarkannya dengan Natuurbeschermingsordonantie 1941 tersebut.Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam diHindia Belanda (Indonesia).12
Tujuan dari ordonasi-ordonansi tersebut adalah menjaga sumberdaya
alam yang ada di Hindia-Belanda untuk tetap lestari, serta mencegah
tindakan-tindakan yang dapat merusak sumberdaya alam oleh manusia,
yang pada saat itu terkenal dengan sistem berburu.
2. Perlindungan Satwa Melalui Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES)
Indonesia menjadi peserta CITES pada tahun 1978, dengan disahkannya
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 Tentang
Mengesahkan "Convention On International Trade In Endangered Species
Of Wild Fauna And Flora", Yang telah Ditandatangani Di Washington
Pada Tanggal 3 Maret 1973, Sebagaimana Terlampir Pada Keputusan
Presiden. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES) adalah Konvensi Internasional mengenai
Perdagangan Flora dan Fauna yang Hampir Punah. Konvensi ini dilakukan
atas kekhawatiran dunia Internasional terhadap populasi satwa-satwa
diberbagai belahan negara yang mengalami penuruan akibat maraknya
perdagangan satwa.
12Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Badung, Alumni,Hal.184-185.
26
Yang di bahas didalam konvensi CITES ini diantaranya adalah
penggolongan jenis-jenis satwa terancam punah, spesies yang tidak
terancam punah, dan spesies terdaftar, sebagaiman yang dimuat didalam
lampiran CITES berikut ini :
a. Appendix ISekitar 1,200 spesies, dan merupakan spesies yang terancam punah
atau dapat menjadi terancam punah karena diperdagangkan. Perdagangankomsersil spesies liar yang ditangkap dari spesies dalam daftar ini adalahilegal (hanya diperbolahkan dalam keadaaan khusus untuk tujuan non-komersil). Perdagangan hewan penangkaran atau tanaman yangdikembangbiakan secara buatan yang ada dalam daftar Appendix Idianggap spesies yang termasuk dalam Appendix II, dengan adanyapersyaratan (lihat dibawah). Perdagangan dari spesies ini membutuhkanizin ekspor dan impor, yang diterbitkan oleh badan pengelolaan dimasing-masing negara. Badan pengelolaan dari negara eksportirdiharapkan untuk memeriksa bahwa izin impor telah ada dan negaraimportir diharapkan dapat menjaga spesies dengan baik. Sebagaitambahan, badan ilmiah negara eksportir harus membuat temuan yangmenyatakan tidak ada kerugian, yang menjamin bahwa ekspor spesiestidak akan berdampak buruk pada populasi satwa liar.
b. Appendix IISekitar 21,000 spesies, adalah spesies yang tidak terancam punah,
namun dapat terancam punah jika perdagangan spesies tersebut tidakdiatur dengan ketat untuk menghindari pengunaan yang bertentangandengan kelangsungan hidup spesies di alam liar. Sebagai tambahan,Appendix II dapat mencakup spesies yang secara fisik mirip denganspesies yang sudah terdaftar dalam lampiran ini. Perdaganganinternasional spesies Appendix II dapat disetujui dengan memberikanizin ekspor atau sertifikat re-ekspor oleh badan pengelolaan negaraeksportir. Tidak ada izin impor yang dibutuhkan walaupun beberapapihak menysaratkan hal ini sebagai bentuk peraturan domestik yang lebihketat. Sebelum izin ekspor diberikan, perusahaan ekspor harusmemastikan bahwa ekspor tidak akan berdampak buruk pada populasispesies di alam liar.
c. Appendix III170 spesies, adalah spesies yang terdaftar setelah satu negara meminta
CITES untuk membantu mengkontrol perdagangan spesies tersebut.Spesies tidak selalu terancam kepunahan global. Di semua negaraanggota, perdagangan spesies ini hanya diperbolehkan dengan izinekspor dan sertifikat asal dari negara anggota yang telah mendaftarkanspesies.
27
Dengan adanya Konvensi Internasional mengenai perdagangan flora dan
fauna yang hampir punah ini, setiap negara yang ikut serta didalamnya
wajib melakukan perlindungan terhadap satwa di negaranya masing-masing.
dengan memuat peraturan mengenai perlindunngan satwa serta
menginventarisasi jenis-jenis satwa liar yang ada di Indonesia untuk
menggolongkan jenis satwa yang terancam punah, satwa yang langka, satwa
endemik, serta satwa yang sudah mengalami kepunahan. Selain itu
pemerintah dan masyarakatnya diwajibkan bekerjasama dalam mengelola
satwa yang ada.13
3. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Serta Kebijakan Publik
Lain Mengenai Perlindungan Satwa
Atas dasar perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagaimana didalam Konvensi CITES, Lahirlah undang-undang nomor 5
tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.14
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya pengertian
satwa ialah : “semua jenis sumberdaya alam hewani yang hidup di darat
dan/atau di air, dan/atau di udara”. Kemudian didalam Pasal 4 Peraturan
13Andreas Pramudianto, 2014, Hukum Perjanjian Internasional, (Implementasi HukumPerjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup Di Indonesia), Malang, Setara Press, Hal.91.
14Op.cit, Hal.5, Hadi S Alikodra, September, 2012, Konservasi Sumberdaya Alam danLingkungan Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi (Rangkuman).
28
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan Dan Satwa, satwa ditetapkan atas dasar golongan yaitu satwa
yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi. Lalu didalam undang-undang
pengawetan satwa ini suatu jenis satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang
dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. Mempunyai populasi yang kecil;
b. Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. Daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
Kemudian satwa dilindungi tersebut digolongkan lagi menjadi dua yaitu
satwa yang dalam bahaya kepunahan dan satwa yang populasinya jarang. Jenis
satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis satwa yang dalam keadaan
bahaya nyaris punah dan menuju kepunahan. Sedangkan jenis yang terancam
punah adalah karena populasinya sudah sangat kecil serta mempunyai tingkat
perkembangbiakan yang sangat lambat, baik karena pengaruh habitat maupun
ekosistemnya. Sementara itu jenis satwa yang populasinya jarang atau langka
ialah satwa yang populasinya kecil atau jarang sehingga pembiakannya sangat
sulit atau yang biasa disebut satwa endemik yang hanya terdapat di daerah-
daerah tertentu.15 Dengan demikian hukum sangat dibutuhkan guna
perlindungan terhadap satwa-satwa yang tersebar seluruh wilayah Indonesia.
Namun bukan berarti satwa yang tidak tergolong kedalam satwa yang
dilindungi serta merta dibiarkan begitu saja, melainkan tetap dijaga
kalestariannya dengan pemanfaatan yang sesuai sebagaimana yang tertuang
15Mahrus Ali Dan Izza Elvany, Agustus 2014, Hukum Pidana Lingkungan hidup SistemPemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup, Yogyakarta, UII Press, Hal.31-33.
29
didalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya sebagai berikut “pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan
potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar”,
sementara peraturan lain mengenai satwa yang tidak dilindungi diantaranaya:
a. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 50/M-
DAG/PER/9 2013 Tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam Dan Satwa
Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang Dan Termasuk Dalam Daftar
CITES
b. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 01/M-
DAG/PER/1/2014 Tentang Penetapan Harga Patokan Tumbuhan Alam Dan
Satwa Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang
Selain itu masih ada lagi ketentuan umum lainnya yang mengatur
perlidungan satwa yang tidak dilindungi Undang-Undang. Intinya semua jenis
satwa yang ada baik yang dilindungi oleh udang-undang mapun tidak, masing-
masing mempunyai aturan tersendiri agar satwa yang dalam bahaya kepunahan
serta satwa yang populasinya jarang tidak punah, dan satwa yang poulasinya
masih lestari jangan sampai terancam bahaya kepunahan.16 Sebab jika satu
jenis satwa mengalami kepunahan, maka akan berdampak pada satwa yang
lainnya dimana sistem penyangga kehidupan di hutan menjadi tidak stabil dan
satwa-satwa lain ikut menjadi punah. Disisi lain Jenis-jenis satwa yang
dilindungi dimuat dalam lampiran undang-undang no 7 tahun 1999 tentang
16Ibid, Hal.28, Mahrus Ali Dan Izza Elvany, Agustus 2014, Hukum Pidana Lingkungan hidupSistem Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup, Hal.31-33.
30
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.17 Jenis satwa yang dilindungi
diantaranya monyet hitam Sulawesi (macaca nigra), kucing hutan (meong
congkak) dan babi rusa sebagaimana jenis satwa yang menjadi bahan penelitian
penulis dalam penulisan ini.
Peraturan mengenai perlidungan satwa ini selain diatas, dimuat dalam
ketentuan berikut ini :
1) Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 32 tahun 1990 tentang
pengelolaan kawasan lindung
2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 13 tahun 1994 tentang
perburuan satwa buru
3) Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1998, tentang kawasan suaka alam
dan kawasan pelestarian alam
4) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Tentang : Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar
5) Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 48 tahun 2011 tentang
sumber daya genetik hewan dan perbibitan ternak
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 95 tahun 2012 tentang
kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 108 tahun 2015 tentang
perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011 tentang
pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
17Ibid, Hal.28, Mahrus Ali Dan Izza Elvany, Agustus 2014, Hukum Pidana Lingkungan hidupSistem Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup, Hal.31-33.
31
8) Peraturan Menteri kehutanan nomor : P.48/MENHUT-II/2008 tentang
pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar
9) Peraturan Menteri kehutanan Republik Indonesia nomor P.40/MENHUT-
II/2012 tentang perubahan atas Peraturan Menteri kehutanan nomor
P.52/MENHUT-II/2006 tentang peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar
dilindungi
10) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
11) Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan
12) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 45 tahun 2004 tentang
perlindungan hutan. Dan peraturan lainnnya menyangkut perlindungan
satwa.
B. Tinjauan Umum Tentang Instrumen Hukum Pidana Dalam Perlindungan
Satwa Di Indonesia, Khususnya Mengenai Perdagangan Satwa
Isntrumen hukum pidana dalam perlindungan satwa merupakan penegakkan
hukum pidana linkungan dalam upaya mempertahaankan keberagaman satwa
yang ada agar tetap lestari untuk generasi saat ini sampai generasi yang akan
datang.18
18Op.Cit, Hal.10, Saifullah, Januari, 2007, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan KriminalDi Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Hal.125
32
1. Tindak Pidana Perdagangan Satwa Yang Dilindungi Merupakan
Bagian Dari Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan merupakan instrumen yuridis yang memuat kaidah-
kaidah mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk
sumberdaya alam, untuk mencegah terjadinya kerusakan pada lingkungan
hidup akibat ulah manusia serta pengendalian fungsi lingkungan akibat
bencana alam. Landasan pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup
ialah mengacu pada undang-undang dasar 1945 alinea ke 4 yang
mewajibkan pemerintah untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di
Indonesia untuk kesejahteraan raknyatnya.
Penyelesaian konflik didalam hukum lingkungan ini dilakukan melalui
upaya hukum administrasi, perdata dan Pidana. Sebagaimana penulisan
tugas akhir ini penulis mengfokuskan pada perspektif hukum pidana
lingkungan, namun bukan berarti mengabaikan hukum yang lain.
Didalam hukum pidana dikenal asas legalitas dimana suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidanan dalam perundang-
undangan. Jadi penjatuhan pidana dapat diterapkan apabila sudah ada
undang-undang yang mengatur sebelum perbuatan dilakukan (nullum
delictum, nulla poena sine praevia lage poenali).19 Selain itu didalam
penegakkan hukum pidana lingkungan dikenal asas subsidiaritas dan asas
ultimum remidium, dan asas primum remedium, sebagaimana menurut
Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan sebagai berikut :
19Deni Setyo bagus Yuherawan, Oktober, 2014, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana(Sejarah Asas Legalitas Dan Gagasan Pembeharuan Filosofis Hukum Pidana), Surabaya, SetaraPress, Hal.37.
33
Asas subsisdiaritas keberadaannya tetap diperlukan, hanya sajapenerapannya diperjelas. seperti untuk kasus-kasus yang dilakukan olehmasyarakat kecil, maka asas subsidiaritas ini dapat diterapkan, sedangkanuntuk kasus dimana pelakunya adalah perusahaan besar maka asassubsidiaritas tidak dipakai. Akan tetapi untuk tingkat kesalahan pelakurelatif berat dan/atau perbuatannya relatif besar, dan,atau perbuatannyamenimbulkan keresahan masyarakat, maka peran hukum pidana bukan lagiultimum remedium (upaya terakhir) akan tetapi sudah primum remedium(utama atau pokok).20
Berdasarkan uraian tersebut terhadap hukum lingkungan hukum pidana
dapat difungsikan, melihat dari seberapa besar pelanggaran terhadap hukum
lingkungan, serta apa dampak yang ditimbulkan atas pelanggaran yang
dilakukan.
2. Kejahatan Dan Pelanggaran Dalam Tindak Pidana Perdagangan Satwa
Didalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati ini tindak pidana Perdagangan satwa terbagi atas
dua yaitu kejahatan dan Pelanggaran. Kejahatan maksudnya disini adalah
tindakan yang dilakukan secara sengaja, yang dikehendaki oleh pelaku. Jadi
pelaku mengetahui perbuatannya itu melanggar hukum pidana, namun ia
tetap melakukan kejahatan tersebut. Berikut ini beberapa teori mengenai
kesengajaan (Dolus) :
a. Menurut Memorie van Toelchting (MvT) WvS BelandaPidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan pada barang siapa
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki (williens) dandiketahui (wetens).
b. MoeljatnoKesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang
mengetahui.21
c. Teori KehendakKesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan
perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah
20Syahrul Mcahmud, September, 2012, Problematika Penerapan Delik Formil DalamPersepektif Penegakkan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia (Fungsionalisasi Azas UltimumRemedium Sebagai Pengganti Asas Subsidiaritas, Bandung, CV Mnadar Maju, Hal.140.
21Adam Chazawi, Februari, 2010, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori PemidanaanDan Batas Berlakunya Hukum Pidana “Pelajaran Hukum Pidana”, Jakarta, Rajawali Pers,Hal.93, 94, 96, 97.
34
dikehendaki sebelum seseorang itu benar-benar berbuat. Jikadihubungkan pada rumusan tindak pidana yang mengandung unsurperbuatan yang merupakan akibat sebagai syarat penyelesaian tindakpidana yang mengandung unsur perbuatan yang merupkan akibat sebagaisyarat penyelesaian tindak pidana (tindak pidanan materiil) maka selainditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada timbulnyaakibat itu.
d. Teori PengetahuanKesengajaaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang
perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Jika dihubungkandengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah segala sesuatu yang iaketahui dan bayangkan sebelum seseoang melakukan perbuatan besertasegala sesuatu sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimanayang dirumuskan dalam undang-undang.
e. Dalam Doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu1) Kesengajaan sebagai maksud artinya dengan menghendaki untuk
mewujudkan sesuatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendakiuntuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidanapasif) dan atau juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu(tindak pidana materiil)
2) Kesengajaan Sebagai KepastianAdalah kesadaran seseorang terhadap suatu akibat menurut akal
orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatantertentu. Apabila perbuatan tertentu yang di sadarinya pastimenimbulkan akibat yang tidak dituju itu, dilakukan juga, maka disiniterdapat kesengajaan sebagai kepastian
3) Kesalahan Sebagai KemungkinanAdalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya
bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidakinginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untukmewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resikountuk melakukan perbuatan itu.22
Sementara Pelanggaran adalah tindak pidana yang dilakukan karena
kelalaian dari pelaku. Jadi disini pelaku dapat menduga ada resiko-resiko
pelanggaran yang akan terjadi, namun pelaku tetap melakukan pelanggaran
tersebut. Secara doktrinal terdapat 2 syaraat untuk terpenuhinya untuk
22Ibid, Hal.34, Adam Chazawi, Februari, 2010, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-TeoriPemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana “Pelajaran Hukum Pidana, Hal.93, 94, 96,97.
35
kelalaiaan yaitu Tidak adanya kehati-hatian atau ketelitian yang diperlukan
dan adanya akibat yang diduga sebelumnya.
Dengan demikian kejahatan dan pelanggaran adalah tergantung
sejauhmana terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku. Sehingga sanksi yang diberikan sesui dengan pelanggaran yang
dilakukan.
C. Tinjauan Umum Tentang Pengelola Satwa Dan Peran serta Masyarakat
1. Pengelola Satwa
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2008
Tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dan Satwa Liar
petugas-petugas perlindungan dan pengelola satwa adalah sebagai berikut :
Kelembagaan penanganan konflik manusia - satwa liar terdiri dari dua
struktur yang berhubungan secara hirarki. Struktur pertama berupa Tim
Koordinasi Penanggulangan Konflik antara manusia dan satwa liar yang
membawahi struktur kedua yaitu Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara
manusia dan satwa liar. Akan tetapi khusus untuk penanggulangan konflik
manusia – orangutan, karena fokus kegiatannya adalah penyelamatan (rescue)
orangutan, maka di daerah-daerah yang sering terjadi konflik, seperti di
Kalimantan, dibentuk Satuan Tugas Penyelamatan (Rescue) Orangutan.
Kelembagaan ini kemudian digolongkan menjadi berikut ini :
1. Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik Manusia – Satwa Liar adalah :
Ketua : Gubernur/ Wakil Gubernur/ Sekretaris Daerah
36
Wakil Ketua : Kepala Dinas Propinsi yang membidangi kehutanan
Sekretaris : Kepala Balai Besar/Kepala Balai Konservasi Sumber
Daya Alam
Anggota:
1. Bappeda Provinsi
2. DPRD Provinsi
3. Balai Besar/ Balai Konservasi Sumber Daya Alam
4. Balai Besar/ Balai Taman Nasional
5. Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan
6. Dinas Provinsi yang membidangi Perkebunan
7. Dinas Provinsi yang membidangi Pertanian
8. Dinas Provinsi yang membidangi Peternakan
9. Dinas Provinsi yang membidangi Kesehatan
10. Dinas Provinsi yang membidangi PU
11. Dinas Provinsi yang membidangi Nakertrans
12. Sektor Swasta/ Dunia Usaha
13. Lembaga Swadaya Masyarakat
Tugas pokok Tim Koordinasi Penanggulangan Konflik antara manusia
dengan satwa liar membantu Kepala Daerah dalam mengurangi konflik
satwa liar dan manusia di kabupaten, lintas kabupaten dan provinsi.
Sementara fungsi tim koordinasi penanggulangan konflik antara manusia
dengan satwa liar:
37
a. Mengkoordinasikan dan memfasilitasi penanganan konflik manusia-
satwa liar lintas provinsi dan lintas kabupaten.
b. Mengkoordinasikan perencanaan kegiatan penanganan konflik manusia-
satwa liar termasuk penganggaran sesuai dengan kewenangan provinsi.
c. Menyelaraskan/memaduserasikan kegiatan-kegiatan pembangunan
daerah dengan habitat satwa liar sehingga dapat menekan tingkat konflik
2. Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara manusia dan satwa liar
Satuan Tugas (SATGAS) Penanggulangan Konflik Antara Manusia
Dengan Satwa Liar, dengan struktur sebagai berikut :
Ketua :Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Wakil Ketua :Sub Dinas yang membidangi Kehutanan
Sekretaris :Kepala Bidang Teknis/ Kepala Tata Usaha Balai
Besar/Balai KSDA
Unit Penanganan Satwa, yang terdiri dari unsur-unsur :
a. Balai Besar/Balai KSDA
b. Balai Besar/Balai Taman Nasional
c. Dinas yang membidangi Kehutanan
d. Lembaga Swadaya Masyarakat
e. Tenaga Profesional Medis & Kesejahteraan Satwa
f. Tenaga Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Polhut
Unit Penanganan Masyarakat, yang terdiri dari unsur-unsur :
a. Dinas yang membidangi Kesehatan
b. Dinas yang membidangi Peternakan
38
c. Dinas yang membidangi Perkebunan
d. Dinas yang membidangi Pertanian
e. Kepolisian
Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dan Satwa Liar
mempunyai tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan
langkah-langkah kegiatan operasional penanggulangan konflik satwa liar –
manusia. Tugas-tugasnya adalah:
a. Menerima laporan/informasi konflik antara manusia dan satwa liar
b. Melakukan pemeriksaan ke tempat kejadian perkara (lokasi) terjadinya
konflik antara manusia dan satwa liar.
c. Mengumpulkan informasi serta menganalisa untuk menentukan dan
melaksanakan langkah-langkah penanganan konflik antara manusia
dengan satwa liar, baik penanganan pada tingkat masyarakat maupun
penanganan untuk satwa.
d. Melakukan verifikasi dalam rangka pemberian kompensasi kepada
korban konflik sesuai peraturan perundang-undangan.
e. Melaporkan kegiatan penanggulangan konflik antara manusia dengan
satwa liar yang telah dilaksanakan. Melakukan monitoring pasca konflik.
3. Satuan Tugas Penyelamatan (Rescue) Orangutan.
Khususnya di daerah-daerah yang sering terjadi konflik antara manusia
dan orangutan sehingga harus dilakukan upaya-upaya penyelamatan
(rescue) orangutan, Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya
39
Alam menetapkan Satuan Tugas Penyelamatan (Rescue) Orangutan dengan
struktur sebagai berikut:
Ketua/Penanggung Jawab :Kepala Balai Besar/Balai Konservasi
Sumber Daya Alam
Sekretaris :Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Besar/
Balai KSDA
Koordinator Lapangan :Dokter Hewan/ Paramedis Hewan (dari
Balai Besar/Balai KSDA atau dari instansi
lain/LSM)
Anggota:
a. 4 (empat) orang tenaga teknis (dari Balai Besar/Balai KSDA / instansi
lain/ LSM)
b. 1 (satu) orang Polisi Hutan Balai Besar/ Balai KSDA
Satuan Tugas Penyelamatan (Rescue) Orangutan mempunyai tugas
pokok membantu Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya ALam
dalam melaksanakan langkah-langkah/ kegiatan penyelamatan (rescue)
orangutan. Satuan Tugas Penyelamatan (Rescue) Orangutan mempunyai
tugas pokok :
a. Menerima laporan/informasi konflik
b. Melakukan pemeriksaan ke tempat kejadian perkara (lokasi) terjadinya
konflik manusia – orangutan
c. Mengumpulkan informasi serta menganalisanya untuk menentukan dan
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan orangutan.
40
d. Melaporkan kegiatan penyelamatan (rescue) orangutan yang telah
dilaksanakan.
e. Melakukan monitoring pasca penyelamatan.
Sementara Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : P.31/Menhut-II/2012 Tentang Lembaga Konservasi menjelaskan
sabagai berikut: Lembaga konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik
berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.
Lembaga konservasi ini terdiri atas dua yaitu sebagai berikut:
1) Lembaga Konservasi Untuk Kepentingan Umum
Adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau
satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah
maupun lembaga non-pemerintah yang dalam peruntukan dan
pengelolaannya mempunyai fungsi utama dan fungsi lain untuk kepentingan
umum. Lembaga koservasi ini meliputi:
a. Kebun binatang;
b. Taman safari;
c. Taman satwa;
d. Taman satwa khusus;
e. Museum zoologi;
41
f. Kebun botani;
g. Taman tumbuhan khusus; dan
h. Herbarium.
2) Lembaga Konservasi Untuk Kepentingan Khusus
Adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau
satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah
maupun lembaga non-pemerintah yang dalam peruntukan dan
pengelolaannya difokuskan pada fungsi penyelamatan atau rehabilitasi
satwa. Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus ini meliputi:
a. Pusat penyelamatan satwa;
b. Pusat latihan satwa khusus; dan
c. Pusat rehabilitasi satwa.
Pengelolaan lembaga konservasi untuk kepentingan khusus ini dilakukan
melalui kerjasama dengan mitra kerja yang merupakan badan hukum, yaitu:
a. Badan usaha milik negara;
b. Badan usaha milik swasta;
c. Lembaga swadaya masyarakat;
d. Lembaga penelitian yang kegiatannya meliputi penelitian tumbuhan dan
satwa;
42
e. Lembaga pendidikan formal; atau
f. Yayasan.
Di Kota Tomohon-Manado sendiri, dalam rangka perlindungan pelestarian
lingkungan hidup termasuk didalamnya perlindungan terhadap satwa ada
beberapa organisasi yang dibentuk yakni:
1. Dinas Lingkungan Hidup Kota Tomohon
Bekerjasama dengan :
- Balai Knservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Sulawesi
Utara
- Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (Wisma Tangkasi)
- Balai Pengamanan Dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Manado
2. Peran Serta Masyarakat Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Satwa
Peran serta masyarakat adalah unsur yang paling pokok didalam
Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup dan sumberdaya alam
Indonesia, seperti perlindungan terhadap keanekaragaman satwa. Sebab pola
lingkungan hidup yang terolah dan tertata adalah tergantung bagaimana peran
serta masyarakat didalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.23 Jika
sumberdaya alam disalah gunakan tentunya Lingkunga hidup menjadi rusak,
23Opcit, Hal.5, Hadi S Alikodra, September, 2012, Konservasi Sumberdaya Alam danLingkungan Pendekatan Ecosophy Bagi Penyelamatan Bumi (Rangkuman).
43
namun jika masyarakat mampu mengontrol pemanfaatannya sesuai aturan yang
dibuat tentu sumberdaya alam yang ada akan tetap lestari saat ini dan di masa
yang akan datang.
Peran serta masyarakat secara umum dimuat didalam ketentuan Pasal 70
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindngan dan pengelolaan
lingkungan hidup:
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. Pengawasan sosial;
b. Pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. Penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan
e. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
44
Dalam rangka perlindungan terhadap satwa peran serta masyarakat diatur
secara khusus didalam ketentuan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
Dan Kawasan Pelestarian yaitu Masyarakat berhak:
a. Mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;
b. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan KSA
dan KPA;
c. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA; dan
d. Menjaga dan memelihara KSA dan KPA.
Peran serta masyarakat juga diatur didalam pasal 37 ayat (1) dan Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosisemnya
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui
pendidikan dan penyuluhan.
Selain itu peran serta masyrakat berperan aktif menjaga sumberdaya alam
yang ada didalam hutan adat, hutan rakyat serta yang lainnya yang termasuk
kedalam perhutanan sosial dan perlu mendapatkan pendidikan dari petugas
yang berwenang dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana bunyi
45
Pasal 86 Undang-Undang Nomor 82 Tahun 2000 Tentang Karantina Hewan :
“Untuk meningkatkan kesadaran dan mengembangkan peran serta masyarakat
dalam bidang karantina hewan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan,
penyuluhan dan penyebarluasan informasi secara terencana dan berkelanjutan,
dengan melibatkan organisasi profesi, organisasi fungsional dan lembaga
swadaya masyarakat”.
Undang-undang tersebut bertujuan agar tercipta masyarakat yang sadar akan
lingkungannya, namun membangun kesadaran bukanlah perkara yang mudah
sebab masyarakat setiap individu mempunyai pemahaman yang berbeda-beda,
apa lagi terdapat beberapa faktor yang mepengaruhi kesadaran lingkungan
hidup sperti faktor ketidaktahuan, faktor kemiskinan, faktor kemanusiaan, dan
faktor gaya hidup.24
Sementara konservasi diartikan sebagai pengelolaan biosphere secara bijaksana
bagi keperluan manusia, sehingga menghasilkan manfaat secara berkelanjutan
yang sangat ditentukan oleh keberhasilan konservasi suaka alam bagi generasi
kini dan menetapkan potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi
mendatang. Kegiatannya mencakup perlindungan, pengawetan, dan pemanfatan
secara lestari, rehabilitasi dan peningkatan mutu lingkungan alam.25
Berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya “konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfatan
24Amos Neolaka, 2008, Kesadaran Lingkungan, (Rangkumana). Jakarta, Rineka Cipta.25 Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Jakarta, PT Indeks,
Hal.37
46
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Yang
bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi ini
merupakan tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat melalui kegiatan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.26
26Op.Cit, Hal.45, Amos Neolaka, 2008, Kesadaran Lingkungan, (Rangkumana).