BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jutaan tahun lalu, manusia hidup tanpa kekhawatiran akan terjadinya gangguan atau bahaya dari pencemaran udara, pencemaran air, atau pencemaran lingkungan yang dipermasalahkan pada saat ini. Manusia mendapatkan semua unsur unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari alam. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya yang di ambil dari alam, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungan. Barry Commoner berpendapat bahwa ketergantungan manusia kepada alam atau lebih tepat dikatakan saling bergantung manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan, keserasian, dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum hukum ekologi. 1 Kata ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli biologi pada pertengahan dasawarsa tahun 1860, dimana secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup. 2 Menurut Otto Soemarwoto, ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal 1 Barry Commoner dalam Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hlm. 7 2 Koesnadi Hardjasoemantri, 1926, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm.2

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jutaan tahun lalu, manusia hidup tanpa kekhawatiran akan

terjadinya gangguan atau bahaya dari pencemaran udara, pencemaran air,

atau pencemaran lingkungan yang dipermasalahkan pada saat ini. Manusia

mendapatkan semua unsur – unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari

alam. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam

kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya yang di

ambil dari alam, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap

lingkungan. Barry Commoner berpendapat bahwa ketergantungan

manusia kepada alam atau lebih tepat dikatakan saling bergantung

manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan,

keserasian, dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai

oleh hukum – hukum ekologi. 1

Kata ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli

biologi pada pertengahan dasawarsa tahun 1860, dimana secara harfiah

dapat diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup.2

Menurut Otto Soemarwoto, ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal

1 Barry Commoner dalam Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan

Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hlm. 7 2 Koesnadi Hardjasoemantri, 1926, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, hlm.2

2

balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya.3 Studi – studi ekologi

meliputi berbagai bidang, seperti:

1. Studi ekologi sosial, studi terhadap relasi sosial yang berada di

tempat tertentu dalam waktu tertentu dan yang terjadinya oleh

tenaga – tenaga lingkungan bersifat selektif dan distributif.

2. Studi ekologi manusia, studi tentang interaksi antara aktivitas

manusia dan kondisi alam.

3. Studi ekologi kebudayaan, studi tentang hubungan timbal balik

antara variabel habitat yang paling relevan dengan inti

kebudayaan. 4

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dilihat bersama, ketika

terjadi interaksi antara manusia dan kondisi alam, maka disebut dengan

studi ekologi manusia. Interaksi antara manusia dan lingkungan dapat

terjadi dalam bentuk pengambilan sumber daya alam (SDA) yang ada

untuk pemenuhan kebutuhan hidup. SDA dapat berupa bermacam –

macam yaitu : (1) Faktor Produksi dari alam yang digunakan untuk

menyediakan barang dan jasa; (2) Komponen dari ekosistem yang

menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia;

dan (3) Sumber daya yang disediakan/dibentuk oleh alam. Manusia

memanfaatkan segala sumber daya yang ada disekitarnya untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Perbuatan manusia memanfaatkan SDA secara terus-

menerus pada saat itu akhirnya mengakibatkan alam menjadi rusak.5

Lama-kelamaan, manusia pun mulai menyadari bahwa alam tidak

selamanya bisa memperbaiki dirinya sendiri dari kerusakan. Kesadaran

3 Ibid 4Koesnadi, Loc.Cit 5 Parta Setiawan, “10 Poin Pengertian dan Pengelompokkan Sumber Daya Alam Terlengkap”,

http://www.gurupendidikan.com/10-poin-pengertian-dan-pengelompokan-sumber-daya-alam-

terlengkap/, gurupendidikan.com, Senin, 20 Maret 2016 Pukul 22.00 Wib

3

bahwa alam tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri mulai menjadi

perhatian di dalam masyarakat pada awal masa industrialisasi. Ketika

gumpalan asap mulai mengotori udara, limbah mulai mengotori air

(sungai dan laut) dan sampah mulai dibuang ke atas tanah yang subur.

Manusia pun akhirnya sadar, bahwa dampak dari perilakunya terhadap

alam telah membuat alam menjadi rusak.

Anggapan akan alam yang memiliki kemampuan untuk

menanggulangi pencemaran secara alamiah semakin memudar ketika

berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960 – 1970). Pada rapat

PBB untuk merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke 2

(1970 – 1980), terdapat laporan Sekretaris Jenderal PBB yang diajukan

dalam sidang umum PBB, disahkan dengan resolusi PBB No. 2581

(XXIV) tanggal 15 Desember 1969.6 Dalam resolusi tersebut diputuskan

untuk membentuk panitia persiapan yang bernama Sekjen PBB untuk

menarik perhatian dunia dalam masalah – masalah lingkungan. Konferensi

PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on

Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal

5 sampai 16 Juni 19727, atau biasa disebut dengan deklarasi Stockholm.

Deklarasi Stockholm sebagai hasil perumusan tersebut adalah:

1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia (preamble dan

26 (dua puluh enam) asas disebut Stockholm Declaration)

didalamnya terdapat hal – hal yang memberikan arahan

6 Koesnadi, Op.Cit, hlm. 7 7 Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan Indonesia,Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.56

4

terhadap penanganan masalah lingkungan hidup termasuk di

dalamnya pengaturnya melalui undang – undang.

2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (action plan)

termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan

dan pengelolaan permukiman manusia.

3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang

menunjang pelaksanaan antara lain :

a) Dewan Pengurus (UN Environmental Program, UNEP)

b) Sekretariat UNEP berada di Nairobi

c) Dana Lingkungan Hidup

d) Badan Koordinasi Lingkungan Hidup

4. Bangsa – bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta

partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang

lingkungan meluas.

5. Bangsa – bangsa perlu memberlakukan undang – undan

tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang –

undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran

dan kerusakan lingkungan lainnnya.

6. Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran.

7. Bangsa – bangsa perlu kerja sama menegakkan sistem

ekonomi internasional terbuka untuk pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan berkelanjutan. 8

Setelah munculnya Deklarasi Stockholm, kepedulian negara –

negara di dunia dalam hal lingkungan hidup kembali dibuktikan dengan

adanya kesepakatan akan konsep pembangunan dan lingkungan yang

terangkum di dalam Deklarasi Rio de Janerio (1992) dengan jumlah negara

yang hadir sebanyak 192 (seratus sembilan puluh dua) negara.9 Mengenai

isi dari deklarasi Rio de Janerio itu sendiri adalah sebagai berikut:

1. Deklarasi Rio merupakan deklarasi tentang lingkungan hidup

dan pembangunan dengan 27 (dua puluh tujuh) asas yang

menetapkan dan tanggung jawa bangsa – bangsa dalam

memperjuangkan dan mensejahterakan manusia.

2. Agenda 21 rancangan tentang cara mengupayakan

pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi,

dan lingkungan hidup.

8 Ibid 9 Raihan, 2006, Lingkungan dan Hukum Lingkungan, Penerbit Universitas Islam Jakarta, Jakarta,

hlm. 81

5

3. Pernyataan tentang prinsip – prinsip yang menjadi pedoman

bagi pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan semua jenis

hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak bagi

pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk

kehidupan. 10

Dalam Deklarasi Rio juga tercantum bahwa manusia sebagai pusat

perhatian untuk pembangunan berkelanjutan, sehingga setiap individu

memiliki hak untuk hidup sehat dan produktif yang selaras dengan alam.

Negara dalam Deklarasi Rio, juga memiliki hak berdaulat untuk

memanfaatkan sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan

lingkungan dan pembangunan mereka, serta tanggung jawab untuk

memastikan bahwa kegiatan yurisdiksi atau kontrol mereka tidak

menyebabkan kerusakan lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas

yurisdiksi nasional.11

SDA di Indonesia sangat kaya terbentang dari Sabang hingga

Merauke, pemerintah pun memprioritaskan kekayaan tersebut sebagai

sumber untuk ikut meningkatkan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat,

salah satunya pada sektor minyak bumi dan gas (migas). Migas terpilih

menjadi sumber daya yang dirasa mampu meningkatkan kemakmuran

rakyat karena memiliki peranan sebagai:

1. Sumber energi dalam negeri

2. Sumber penerimaan negara dan devisa

3. Bahan baku industri nasional

4. Wahana alih teknologi

5. Pendukung pengembangan wilayah

6. Menciptakan lapangan pekerjaan, dan

10 Supriadi, Op.cit, hlm. 58 11 Principle 12 Rio Declaration 1992

6

7. Pendorong pertumbuhan sektor nonmigas. 12

Hal yang sangat wajar apabila Indonesia berusaha mengembangkan

kegiatan pengusahaan migas. Ini terbukti dengan telah aktifnya Indonesia

dalam sektor migas selama lebih 125 (seratus dua puluh lima) tahun

setelah penemuan minyak pertama kali di Sumatera Utara yaitu pada tahun

1885 dan dilanjutkan oleh para pengusaha internasional di industri

migas.13

Industri migas memang telah banyak membawa dampak yang

positif bagi Indonesia, namun selain dampak positif terdapat pula dampak

negatif dari industri migas. Industri migas tetap menghasilkan pencemaran

bagi lingkungan, walaupun pencemaran dalam kegiatan usaha migas tidak

sebesar di dalam kegiatan usaha pertambangan. Pencemaran lingkungan

dalam industri migas banyak terjadi dalam kegiatan usaha hulu. Dalam

kegiatan usaha hulu, terjadi proses eksplorasi dan eksploitasi migas yang

tidak hanya ada di daratan, tetapi juga di laut lepas. Hal ini yang seringkali

menjadi sumber dari pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan

yang dimaksud adalah apa yang dituangkan dalam Pasal 1 butir 14

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampui baku mutu lingkungan

12 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 71 13

Pricewaterhouse Coopers, 2012, Oil and Gas in Indonesia Investment and Taxation Guide, PwC

Article, Jakarta, hlm.17

7

hidup yang telah ditetapkan. Baku mutu lingkungan hidup menurut Pasal 1

butir 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah ukuran batas atau

kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada

dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu

sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Sesuai dengan pengertian Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009, maka unsur-unsur atau syarat mutlak untuk disebut suatu

lingkungan telah tercemar haruslah memenuhi unsur – unsur berikut :

1. Masuk atau dimasukkannya komponen – komponen (baik

makhluk hidup, zat, energi, dan lain-lain;

2. Ke dalam lingkungan atau ekosistem lingkungan;

3. Kegiatan manusia; dan

4. Menimbulkan perubahan pada baku mutu lingkungan yang

telah ditetapkan.

Dampak bagi lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan migas

yang telah terjadi di Indonesia adalah perubahan kondisi suhu dan cuaca.

Hal tersebut dirasakan secara langsung oleh masyarakat di sekitar area

pengeboran migas di Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Tengah. Masyarakat

mulai merasakan dampak tersebut semenjak proyek pengeboran migas

Banyu Urip dimulai. Penyebab dari drastisnya kondisi suhu dan cuaca

tersebut karena ketika proyek Banyu Urip dimulai, pohon – pohon yang

ada di desa terdekat dengan proyek Banyu Urip tersebut juga turut

ditebang. Dalam perkembangannya pula, muncul bau tidak sedap yang

menyebabkan warga yang tinggal disekitar lokasi proyek Banyu Urip

8

menderita mual dan pusing.14

Proyek Banyu Urip hanya salah satu contoh

pencemaran yang terjadi akibat kegiatan migas di Indonesia. Pencemaran

akibat kegiatan migas di Indonesia lainnya adalah pencemaran air laut

yang diakibatkan oleh pengeboran migas di Indonesia yang terdapat di

Kepulauan Seribu, di mana termasuk ke dalam Kawasan Taman Nasional

Laut.15

Contoh nyata pencemaran lingkungan yang wilayah cakupan

tercemarnya belum dapat ditanggulangi hingga saat ini adalah kasus

semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus semburan lumpur

Sidoarjo telah terjadi sejak 26 Mei 2006. Dari beberapa artikel yang

penulis baca, hal tersebut kemungkinan besar terjadi karena kesalahan

proses pertambangan minyak yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.16

Dugaan kesalahan proses yang terjadi didasari dengan bukti bahwa pusat

lokasi semburan lumpur tidak berada jauh dari sumur Banjar Panji – 1

milik PT. Lapindo. Rekomendasi untuk penyelesaian telah banyak

diberikan dan banyak metode juga telah dilakukan oleh para pihak, namun

hingga kini masih belum menemukan pemecahan yang solutif untuk

pengembalian kembali lingkungan.17

14 Muhammad Roqib, “Rekanan Exxon Diduga Cemari Lingkungan”, http://www.koran-

sindo.com/read/1001048/151/rekanan-exxon-diduga-cemari-lingkungan-1431570034,

sindonews.com, Kamis, 10 September 2015 pukul 22.00 WIB 15 Saji Fathurrohman, “Kepulauan Seribu Tak Lepas dari Pencemaran Minyak”,

http://www.kompasiana.com/sadji_21/kepulauan-seribu-tak-lepas-dari-pencemaran-

minyak_5509873c8133118e6ab1e1e1, kompasiana.com, Kamis, 10 September 2015 pukul 22.05

WIB 16 Anonim, “Banjir lumpur panas Sidoarjo”,

https://www.wikiwand.com/id/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo, wikiwand.com, Kamis, 10

September 2015 pukul 22.10 WIB 17 Lapindo, Loc.Cit

9

Kasus pencemaran yang menjadi contoh penulis sebagian besar

memang terjadi pada proses kegiatan usaha hulu. Dalam kegiatan usaha

migas, terbagi menjadi dua jenis kegiatan yaitu kegiatan usaha hulu dan

kegiatan usaha hilir. Pengertian mengenai kegiatan usaha hulu dan

kegiatan usaha hilir terdapat di dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada Pasal 1 butir 7, Pasal 8, Pasal 9,

dan Pasal 10, yang menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu merupakan

kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha

eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi dan eksploitasi sendiri merupakan

rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas

bumi di wilayah kerja yang telah ditentukan. Pengertian kegiatan usaha

hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan

usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.

Bentuk olahan migas yang kita rasakan saat ini merupakan hasil

dari rangkaian kegiatan usaha hulu dan hilir migas. Beberapa manfaat

migas diantaranya sebagai berikut:

a. Gas

Umumnya gas terdiri cari camuran metana, etana, propane atau

isobutana, campuran gas ini kemudian dicairkan pada tekanan

tinggi dan diperdagangkan dengan nama LPG (Liquified Petroleum

Gas). Gas yang terdapat dalam LPG umumnya campuran propane,

butana, dan isobutana. LPG biasanya dikemas dalam botol – botol

baja yang beratnya 15 kg, dan dipakai sebagai bahan bakar rumah

tangga.

b. Bensin

Bensin banyak digunakan sebagai bahan bakar mobil dan motor

c. Napta

Napta dikenal sebagai bensin berat. Napta digunakan sebagai bahan

dasar untuk pembuatan senyawa - senyawa kimia yang lain

10

misalnya etilena dan senyawa aromatik yang sering digunakan

untuk zat aditif pada bensin. Kerosin diperdagangkan dengan nama

minyak tanah.

d. Minyak Diesel

Minyak diesel digunakan sebagai bahan bakar pada motor – motor

diesel.

e. Fraksi yang menghasilkan minyak pelumas

Fraksi yang menghasilkan minyak pelumas terdapat dua bentuk,

yaitu paraffin cair dan padat. Paraffin dipergunakan sebagai bahan

bakar, dan biasanya banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera.

f. Residu

Residu yaitu zat – zat yang masih tertinggal dalam ketel.

Menghasilkan petroleumasfalt yang dipakai pada konstruksi

jalan.18

Dampak negatif migas paling utama terjadi ketika proses kegiatan

hulu migas, yaitu terdapatnya tumpahan minyak pada area sekitar tempat

kegiatan usaha tersebut. Tumpahan minyak ini biasanya lebih banyak

mencemari tanah yang ada di sekitar tempat kegiatan usaha. Maka,

berbagai metode mulai dilakukan ujicoba dan di teliti secara lebih

mendalam untuk menemukan penyelesaian yang efektif serta inovatif

dalam menanggulangi dampak yang ada, dengan satu tujuan bersama yaitu

pemulihan fungsi lingkungan. Pengertian mengenai pemulihan fungsi

lingkungan hidup di dalam Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor

101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun disebutkan adalah “Serangkaian kegiatan penanganan lahan

terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan,

evaluasi, dan pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup

18 Chy Anna, ”15 Manfaat Minyak Bumi bagi Manusia Sehari-hari”, http://manfaat.co.id/15-

manfaat-minyak-bumi-bagi-manusia-sehari-hari, manfaat.co.id, Selasa, 6 Januari 2016 pukul

20.00 WIB

11

yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan

lingkungan hidup.”

Area yang sudah terkontaminasi limbah minyak bumi biasanya

tidak dapat digunakan kembali. Minyak yang meresap ke dalam tanah

dapat menyebabkan tertutupnya suplai oksigen dan meracuni

mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian mikroorganisme

tersebut. Tumpahan minyak di lingkungan dapat mencemari tanah dan

perairan hingga ke daerah sub-surface atau dan lapisan aquifer air tanah.

Melihat bahwa dampak pencemaran minyak bumi baik dalam

konsentrasi rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus

berusaha untuk mencari teknologi yang paling mudah, murah, dan tidak

menimbulkan dampak lanjutan. Salah satu alternatif pengolahan limbah

minyak bumi adalah dengan memanfaatkan bioteknologi berupa teknik

bioremediasi. Bioremediasi telah umum diterapkan dalam berbagai

kegiatan industri, seperti petrokimia, pelayaran, dan kereta api.19

Contoh

penerapan limbah minyak bumi dengan metode bioremediasi telah

dilakukan oleh PT. Medco EP, PT. Chevron Pacific Indonesia, dan PT.

Kaltim Prima Coal.

Alasan penulis mengambil contoh ketiga perusahaan tersebut, yang

pertama adalah dengan maksud untuk mengetahui sudut pandang

19 Anonim, “Program Bioremediasi di PT. Chevron Pacific Indonesia”,

http://www.chevronindonesia.com/documents/Bioremediation_Project_id.pdf,

chevronindonesia.com, Jumat 11 September 2015 pukul 16.00 WIB

12

pelaksanaan metode bioremediasi yang baik dimana hal tersebut penulis

melihat terdapat dalam pelaksanaan metode bioremediasi yang dilakukan

oleh PT. Medco E&P, yang menjadi ukuran penulis sehingga

mengklasifikasikan PT. Medco E&P telah melaksanakan metode

bioremediasi secara baik adalah ditinjau dari PROPER yang diterima oleh

PT. MEDCO E&P. Alasan yang kedua adalah untuk mengetahui

pelaksanaan metode bioremediasi dari sudut pandang pelaksanaan

bioremediasi yang kurang baik atau sedang mengalami permasalahan

hukum dengan pemerintah, hal ini penulis melihat terdapat dalam

pelaksanaan di PT. Chevron Pacific Indonesia. Alasan yang ketiga yaitu

untuk mengetahui pelaksanaan metode bioremediasi di luar dari

perusahaan industri migas. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal

2 ayat (1) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128

Tahun 2003 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah

Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara

Biologis, yang berbunyi ”Setiap usaha dan atau kegiatan minyak dan gas

bumi serta kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib

melakukan pengolahan limbahnya.” Kegiatan lain yang dimaksudkan

dalam pasal tersebut adalah kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan limbah minyak bumi baik kegiatan di luar dari usaha

pengelolaan minyak dan gas bumi yang menghasilkan limbah minyak

bumi. Oleh karena hal itulah penulis merasa perlu untuk mencantumkan

contoh pelaksanaan metode bioremediasi dalam proses pengelolaan limbah

13

B3 yang dilakukan oleh kegiatan lain diluar dari usaha pengelolaan

minyak dan gas bumi. Penulis menemukan bahwa PT. Kaltim Prima Coal

merupakan satu-satunya perusahaan diluar perusahaan migas, yang

mengajukan permohonan perizinan pengelolaan limbah B3 hasil dari

kegiatannya sendiri dengan metode bioremediasi.

Mengenai pelaksanaan proses bioremediasi di PT. Medco E&P

telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Implementasi mengenai pengelolaan

limbah B3 dengan metode bioremediasi adalah dengan pembangunan

Pusat Pengelolaan Limbah Terpadu (Waste Treatment Center) yang di

dalamnya terdapat: Tempat Penyimpanan Sementara Terpadu (TPS)

Limbah B3 dengan dilengkapi Surat Keputusan Bupati Musi Banyuasin

No.62 Tahun 2011); Insinerator dengan dilengkapi Surat Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup No. 24 Tahun 2010; Unit Bioremediasi dengan

dilengkapi Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.54 Tahun

2010; dan Fitoremediasi.20

Keberhasilan akan pelaksanaan pengelolaan

lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Medco E&P Rimau Asset

dimana didalamnya turut termasuk pengolahan limbah B3 dengan metode

bioremediasi di PT. Medco E&P Indonesia – Rimu Asset ditandai dengan

berhasil diraihnya PROPER secara berturut –turut yaitu PROPER Hijau

(tahun 2009 dan 2010) dan Emas (Tahun 2011. 2012, 2014, dan 2015) dari

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Pada

penyelenggaraan PROPER tahun 2011 dan 2012, PT. MEDCO E&P

20 PT. Medco E&P Indonesia – Rimau Asset, 2013, Dokumen Ringkasan Pengelolaan

Lingkungan, PT. Medco E&P Indonesia, Jakarta, hlm.9

14

Rimau Asset menjadi satu-satunya perusahaan minyak dan gas bumi di

Indonesia yang mendapat penghargaan PROPER emas.21

Atensi masyarakat terhadap metode bioremediasi justriu bukan

disebabkan karena prestasi yang diraih oleh PT. Medco E&P Rimau Asset,

namun atensi masyarakat yang besar terhadap metode bioremediasi mulai

terjadi ketika muncul pemberitaan mengenai adanya dugaan korupsi

proyek fiktif bioremediasi atau pemulihan tanah bekas tambang milik PT.

Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Provinsi Riau. Kasus bioremediasi ini

telah bergulir cukup lama sejak tahun 2011 hingga pada akhir 2015.

Hingga Desember 2015 tercatat bahwa telah diajukan peninjauan kembali

oleh Bachtiar Abdul Fatah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.22

Salah

satu hal yang dipermasalahkan oleh penuntut umum adalah terkait proses

izin pemrosesan bioremediasi yang sempat habis, yaitu pada dua lokasi

pengolahan bioremediasi di areal kota Batak (pada tahun 2008) dan pada

areal Minas (pada tahun 2008).23

Mengenai permasalahan mengenai izin yang sempat habis, KLH

pun memberikan pernyataan bahwa perpanjangan izin telah dilakukan oleh

PT. Chevron Pacific Indonesia satu bulan sebelum izin berakhir kepada

KLH.24

Hanya saja pengajuan perpanjangan memang tidak langsung

21 Ibid 22 Anonim, 2014, Bioremediation Program: Kronologi, “http://infobioremediasi.com/analisis-

kasus/kronologi/”, diakses pada 29 Februari 2016, Pukul 14.00 Wib 23 Amir Sodikin, 2013, KLH Dicecar Soal Izin Bioremediasi Chevron,

“http://nasional.kompas.com/read/2013/03/27/21390827/KLH.Dicecar.Soal.Izin.Bioremediasi.Ch

evron”, diakses pada 14 Februari 2016, Pukul 13.00 WIB 24 Ibid

15

diberikan KLH karena pihak Chevron diminta untuk melengkapi dokumen

AMDAL.

Perihal mengenai perizinan pengolahan limbah dengan metode

bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia pun

akhirnya membuat salah satu dari terdakwa kasus bioremediasi yaitu

Bachtiar Abdul Fatah mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan

Hidup terutama pada pasal – pasal dibawah ini berikut disertai dengan

revisi pasal hasil dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XII/2014 :

1. Sebelum adanya Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014

a. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

yang berbunyi, “Setiap orang yang menghasilkan limbah

B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang

dihasilkannya.”

b. Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

yang berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat

izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai

dengan kewenangannya.”

c. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

yang berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap

pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan

penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri

16

sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi

Menteri.”

d. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang

berbunyi, ”Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan

tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah).”

2. Setelah adanya Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014

a. Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

menjadi berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat

izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai

dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3

yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam

proses harus dianggap telah memperoleh izin.”

b. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

menjadi berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk

tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran

undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu

17

antara penyidik pegawai negeri sipil, kepollisian, dan

kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.”

Selain kedua perusahaan diatas, berbeda dengan PT. Medco E&P

Rimau Asset dan PT. Chevron Pacific Indonesia, penulis akan meninjau

pelaksanaan metode bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima

Coal (PT. KPC). PT. KPC adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang

pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar

ekspor domestik. Terletak di Sanggata, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi

Kalimantan Timur.25

Dampak yang seringkali timbul dalam proses

kegiatan pertambangan batubara dalah tumpahan bahan bakar baik oli

maupun minyak yang pada akhirnya menyebabkan tanah diarea

penambangan terkontaminasi. Tanah terkontaminasi tersebut diolah secara

bioremediasi oleh PT. KPC dengan menggunakan bakteri petrophylic yang

dilakukan di area Biological Treatment Unit (BTU) yang terletak di

Sanggata North Dump sesuai dengan izin yang diperoleh yaitu Surat

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 184 tanggal 11

Agustus 2010.26

Melihat dari uraian singkat penjelasan mengenai pelaksanaan

bioremediasi di masing-masing perusahaan dan juga mengenai kasus yang

menimpa PT. Chevron Pacific Indonesia terkait dengan pelaksanaan

metode bioremediasi diatas, apabila kita menelaah dari sudut pandang

25 PT. Kaltim Prima Coal, 2015, Sekilas Tentang Kami,

http://www.kpc.co.id/about/overview?locale=id, diakses pada 20 Maret 2016 Pukul 10.00 WIB 26 Ibid

18

hukum lingkungan maka yang dapat kita soroti yaitu mengenai proses

perizinan pelaksanaan metode bioremediasi tersebut baik izin lingkungan

maupun izin pengelolaan limbah minyak bumi dan juga mengenai proses

pelaksanaan bioremediasi dalam kaitannya apakah nantinya akan sejalan

dengan prisip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menghubungkan permasalahan bioremediasi dengan upaya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut pendapat penulis

adalah dua hal yang cukup relevan. Ditinjau dari tujuan metode

bioremediasi, dimana tujuan utamanya adalah mengembalikan lahan yang

terkontaminasi limbah B3 agar dapat digunakan kembali, maka hal

tersebut selaras dengan tujuan dan fungsi hukum lingkungan, yaitu

mengatur manusia untuk merawat lingkungan demi generasi anak cucu di

masa yang akan datang.27

Dengan adanya satu tujuan yang sama yaitu

melestarikan lingkungan hidup, maka menurut hipotesa penulis metode

bioremediasi yang diikuti perizinan secara taat tentu akan mengacu kepada

implementasi konsep hukum lingkungan yang baik dan begitu pun

sebaliknya. Dengan melihat pengertian dari perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup itu sendiri, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut,

“Upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

27 Admin, 2014, Fungsi dan Tujuan Hukum Lingkungan,

http://www.ilmuhukum.net/2014/01/fungsi-dan-tujuan-hukum-lingkungan.html, ilmuhukum.net,

diakses pada 30 Maret 2016 pukul 16.39

19

kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,

pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”. Maka

dapat penulis asumsikan bahwa metode bioremediasi adalah pelaksanaan

dari makna upaya sistematis terpadu yang dilakukan dalam upaya

melestarikan lingkungan, dimana idealnya tidak hanya pihak penghasil

limbah B3 saja yang mengusahakan upaya sistematis tersebut, namun

perlu juga dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memberikan izin

dan mengawasi jalannya kegiatan.

Menuliskan berbagai uraian diatas, banyak menimbulkan

pertanyaan pada benak penulis, sebenarnya bagaimana mekanisme

pengelolaan limbah dengan menggunakan metode bioremediasi yang

dilakukan oleh perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia, selain itu

juga mengenai apakah benar dengan pengolahan limbah B3 secara

bioremediasi nantinya telah sesuai dengan upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup, kemudian bagaimana metode bioremediasi

ini dapat dikaitkan dengan upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, lalu berkaitan bagaimana proses perizinan pengolahan

limbah B3 yang menggunakan metode bioremediasi, dan yang terakhir

mengenai hal-hal apa saja yang menjadi persyaratan perizinan pengolahan

limbah B3 dengan metode bioremediasi.

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah hal yang melatar belakangi

penulis untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai upaya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan metode

20

bioremediasi yang ditinjau dari segi perizinannya. Mengingat selama ini

belum ada penulisan hukum yang membahas mengenai perizinan

pengelolaan limbah B3. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka

penulis melakukan penulisan hukum dengan judul “TINJAUAN

HUKUM TENTANG PERIZINAN PENGOLAHAN LIMBAH

MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOREMEDIASI DALAM

UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

HIDUP.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah tata pelaksanaan perizinan pengolahan limbah

minyak bumi dengan metode bioremediasi menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengolahan limbah minyak bumi dengan metode

bioremediasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian “TINJAUAN

HUKUM TENTANG PERIZINAN PENGOLAHAN LIMBAH

MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOREMEDIASI DALAM

UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

HIDUP”, dapat dikelompokkan sebagai tujuan subjektif dan tujuan

objektif sebagai berikut:

1. Tujuan Subjektif

21

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun mata kuliah

Penulisan Hukum guna melengkapi persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui, mengkaji serta memahami bagaimana

proses perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan

metode bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan

Indonesia.

b. Untuk mengetahui, mengkaji serta memahami bagaimana

proses perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan

metode bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan

Indonesia.

c. Untuk mengetahui proses pengolahan limbah minyak bumi

dengan metode bioremediasi sebagai upaya perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penulisan hukum ini dapat

penulis bagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:

a. Bagi Peneliti

22

Peneliti dapat memiliki pengetahuan lebih mengenai perizinan

pengolahan limbah dengan metode bioremediasi di Indonesia

selama ini dalam upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dan mengetahui pengolahan limbah minyak

bumi dengan metode bioremediasi.

b. Bagi Perguruan Tinggi

Adanya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa, merupakan

salah satu bentuk perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi,

yakni Dharma Penelitian.

c. Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya di bidang Hukum Lingkungan mengenai penerapan

pengolahan limbah minyak bumi dengan metode bioremediasi

dalam rangka upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup, dan dapat menambah pengetahuan mengenai tata

pelaksanaan perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan

metode bioremediasi.

d. Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk

memberikan masukan kepada instansi yang terkait, baik

instansi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup maupun di

bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam

23

menentukan kebijakan di bidang pertambangan khususnya

migas, dan juga dapat memberikan pertimbangan kepada

pemerintah agar lebih bijaksana dalam pembuatan kebijakan.

E. Keaslian Penelitian

Dalam penyusunan penelitian dan penulisan hukum ini, penulis

telah melakukan riset dan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil

penelitian, baik dari perpustakaan, media cetak, maupun media elektronik.

Dari penelusuran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian

hukum sejenis dan/atau berhubungan dengan judul, dan rumusan

permasalahan tersebut adalah baru. Dalam penelusuran lanjutan yang

dilakukan penulis terdapat 6 penulisan hukum dengan judul sebagai

berikut :

1. Skripsi yang ditulis oleh Pramudita Hardianto K, pada tahun

2014, “KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN

PENGELOLAAN LIMBAH DI KEBUN BINATANG

GEMBIRALOKA YOGYAKARTA”, Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, disusun oleh Pramudita Hardianto K

pada tanggal 24 Desember 2014 di Universitas Gadjah Mada28

.

Dalam pembahasan yang dilakukan oleh Pramudita, lebih

banyak membahas mengenai bagaimana pelaksanaan

28 Pramudita Hardianto K, 2014, Kajian Yuridis Pelaksanaan Pengelolaan Limbah di Kebun

Binatang Gembiraloka Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta

24

pengelolaan limbah yang diatur oleh kebun binatang

Gembiraloka, dampak positif dan negatif dari pengelolaan

limbah di sekitar kebun binatang Gembiraloka tersebut, dan

pembahasan mengenai hal – hal yang menjadi hambatan dari

pengelolaan limbah itu sendiri. Penulis dalam penulisan hukum

ini akan banyak membahas mengenai mekanisme pengolahan

limbah minyak bumi menggunakan metode bioremediasi dan

juga mengenai perizinan pengolahan limbah minyak bumi

yang menggunakan metode bioremediasi menurut peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

2. Skripsi yang ditulis oleh Akhmad Jarot Mahardika, pada tahun

2013, “PENANGANAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH

PASAR BERINGHARJO KOTA YOGYAKARTA DIY

DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENCEMARAN

LINGKUNGAN, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,29

disusun oleh Akhmad pada tanggal 4 Juli 2013 di Universitas

Gadjah Mada. Dalam pembahasan penelitian yang dilakukan

oleh Akhmad Jarot, membahas mengenai peranan dari

Pemerintah Kota Yogyakarta terkait penanganan limbah Pasar

Beringharjo. Berbeda halnya dengan apa yang ada dalam

penulisan hukum penulis. Penulis membahas mengenai

bagaimana pengolahan limbah minyak bumi dengan metode

29 Akmad Jarot Mahardika, 2013, Penanganan dan Pengelolaan Limbah Pasar Beringharjo Kota

Yogyakarta DIY dalam Rangka Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

25

bioremediasi, dan juga membahas mengenai mekanisme

perizinan pengolahan limbah minyak bumi yang menggunakan

metode bioremediasi tersebut. Hal lain yang cukup berbeda

yaitu, limbah yang penulis soroti pun bukan limbah

pasar/rumah tangga, melainkan limbah minyak bumi.

3. Skripsi yang ditulis oleh Gilang Wirananda, pada tahun 2014,

“KAJIAN IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004

TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH TERHADAP

SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH KABUPATEN SRAGEN”, Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada,30

disusun oleh Gilang

Wirananda pada tanggal 13 Oktober 2014 di Universitas

Gadjah Mada. Dalam pembahasan penelitian yang dilakukan

oleh Gilang, membahas mengenai sistem pengelolaan limbah

Rumah Sakit Umum di Kabupaten Sragen, telah sesuai dengan

peraturan yang ada atau belum, hambatan apa saja yang

dihadapi oleh pihak RSU Sragen, dan dampak apa yang terjadi

bagi pengelolaan limbah terhadap lingkungan sekitar. Berbeda

halnya dengan apa yang ada dalam penulisan hukum penulis.

30 Gilang Wirananda, 2014, Kajian Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Tengah Nomor 10 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah Terhadap Sistem

Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sragen, Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

26

Penulis banyak membahas mengengenai pengolahan limbah

minyak bumi dengan metode bioremediasi dan juga

mekanisme perizinan dari metode bioremediasi itu sendiri

dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

4. Tesis yang ditulis oleh Ai Siti Fatimah, pada tahun 2011

“BIOREMEDIASI SEBAGAI USAHA KONSERVASI

LINGKUNGAN PADA PENCEMARAN LIMBAH

PEMBORAN MINYAK DI JOB PERTAMINA –

PETROCHINA EAST JAVA TUBAN, JAWA TIMUR”,

Magister Pengelolaan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.31

Penelitian yang dilakukan oleh Ai Siti, secara

umum pembahasannya sama dengan penulis, mengenai

bioremediasi. Perbedaannya adalah saudara Siti lebih berfokus

pada pelaksanaan bioremediasi ditinjau dari segi ilmu biologi

dalam pelaksanaan metode bioremediasi sedangkan penulis

membahas mengenai bioremediasi spesifik dari segi ilmu

hukum serta mengenai mekanisme perizinan pengolahan

limbah minyak bumi yang menggunakan metode bioremediasi.

5. Penelitian hukum yang ditulis oleh Irsan pada tahun 2013,

KRIMINALISASI APARAT PENEGAK HUKUM PADA

KEGIATAN BIOREMEDIASI PERUSAHAAN HULU

MIGAS (STUDI KASUS PT. CHEVRON PACIFIC

31 Ai Siti Fatimah, 2011, Bioremediasi sebagai Usaha Konservasi Lingkungan Pada Pencemaran

Limbah Pemboran Minyak di JOB Pertamina – Petrochina East Java Tuban, Jawa Timur, Thesis

Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

27

INDONESIA), Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,

Palembang.32

Penelitian yang dilakukan oleh Irsan lebih

menitikberatkan kepada proses beracara dan evaluasi terhadap

kinerja aparat penegak hukum yang mengadili kasus

bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia. Berbeda halnya

dengan penulisan hukum penulis. Penulis lebih

menitikberatkan bagaimana pengolahan limbah menggunakan

bioremediasi secara umum dan juga mengenai tata mekanisme

perizinan pengolahan limbah minyak bumi yang menggunakan

metode bioremediasi.

6. Skripsi yang ditulis oleh Ayyida Sabila, pada tahun 2014,

MEKANISME TATA PELAKSANAAN BIOREMEDIASI

DALAM KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI

INDONESIA, Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Jakarta.33

Skripsi yang dilakukan oleh Ayyida lebih

menitikberatkan pada pelaksanaan bioremediasi di dalam

kegiatan hulu minyak bumi di Indonesia dan bioremediasi

secara umum. Sedangkan penulis, selain membahas mengenai

metode bioremediasi secara umum juga membahas mengenai

tata mekanisme perizinan dari metode bioremediasi itu sendiri

32 Irsan, 2013, Kriminalisasi Aparat Penegak Hukum Pada Kegiatan Bioremediasi Perusahaan

Hulu Migas (Studi Kasus PT. Chevron Pacific Indonesia), Penelitian Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya, Palembang. 33 Ayyida Sabila, 2014, Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu

Minyak Bumi di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

28

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia.