BAB II A. Pembelajaran 1. Pengertian...
-
Upload
phungduong -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
Transcript of BAB II A. Pembelajaran 1. Pengertian...
13
BAB II
A. Pembelajaran
1. Pengertian Pembelajaran
Sebelum penulis menjelaskan pengertian pembelajaran kitab
Ta`lim al-Muta`allim, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan beberapa
pengertian belajar.
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atas ilmu-ilmu :
membaaca berubah tingkah laku atau tanggapan yang di sebabkan oleh
pengalaman.25
Belajar menurut Drs. Slameto adalah proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungannya26
Belajar menurut Skinner yang dikutip oleh Dr. Dimyati adalah
suatu perilaku pada saat orang belajar maka responnya menjadi lebih biak.
Sebaliknya, jika ia tidak belajar maka responnya menurun.27
Dari beberapa definisi diatas, secara sederhana dapat diambil
pengertian bahwa belajar adalah proses perubahan didalam diri manusia.
Apabila setelah belajar tidak menjadi perubahan, maka tidaklah dapat
dikatakan bahwa padanya telah berlangsung proses belajar. Selain itu
belajar juga selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan diri orang yang
belajar. Apabila itu mengarah yang lebih baik direncanakan atau tidak.
a. Pembelajaran
Pembelajaran menurut E. Mulyasa (KBK). Dlama interaksi
tersebut banyak sekali yang mempengaruhinya, baik faktor internal
25 Departemen P dan K, ,Hlm. 14 26 Drs. Salmeto, Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka Cipta,
1995), Cet-3. Hlm 2 27 Dr. Dimyati dam Dr. Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta : Rineka Cipta,
1999), Hlm 9
14
yang datang dari dalam diri individu, maupun yang datang dari
lingkungan.28
Lebih lanjut menurut Oemar Hamalik pembelajaran adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi,
motivasi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.29
Pembelajaran atau ungkapan yang lebih dikenal sebelumnya
“pengajaran” adalah upaya untuk membelajarkan siswa.
Sehingga berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik pengertian
bahwa pembelajaran adalah usaha orang dewasa yang disitematis
terarah, yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan dasar menuju perubahan tingkah laku dan kedewasaan
anak didik atau santri, baik diselenggarakan secara formal maupun non
formal.
b. Kitab Ta`lim al-Muta`allim
Kitab Ta`lim al-Muta`allim nama lengkapnya Ta`lim al-
Muta`allim Thoriq at-Ta`alum (metode belajar pada pelajar) adalah
karangan Imam al-Zarnuji. Kitab ini telah banyak diterjemahkan
kedalam Bahasa Arab maupun Bahasa Indonesia
Kitab tersebut dikaji dan dipelajari disetiap kependidikan
Islam, terutama lembaga pendidikan klasik tradisional seperti
pesantren.
Keistimewaan kitab Ta’lim al-Muta’allin adalah letak pada
materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dan dengan judul yang
seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun
sebenarnya membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategi
belajar dsb, yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius.30
28 Dr.E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetens’i (KBK) (Bandung:Remaja Rosda
Karya,2003)’ Cet.4, Hlm.10 29 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajarann, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2001), Cet
ke-34. Hlm. 57 30 H. Abudin Nata, Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), Cet.3, Hlm 108
15
Kitab tersebut dikatakan sangat ringkas dan padat, namun surat
dengan pesan-pesan moral dalam kehidupan terutama didunia
pendidikan kepadatan isi dapat dilihat dalam sub-sub bab (dalam pasal-
pasalnya). Meskipun padat dan ringkas namun pembahasan sangat
mudah dan di fahami dan dicerna oleh siapa saja. Maka dari itu tidak
berlebihan jika kitab ini banyak di kaji dalam berbagai kalangan dan
tidak kesulitan untuk mengambil makna-makna teks yang ada
didalamnya.
Kitab tersebut merupakan kitab yang mengkhususkan
penyajiannya pada pelajaran akhlaq yang harus dimiliki oleh seseorang
santri dalam menuntut ilmu. Uraianya terfokus pada sikap-sikap apa
saja yang mesti dilakukan oleh seorang santri dalam menuntut ilmu
baik dalam hubungannya dengan guru (Kyai) dengan sesama santri
maupun bagaimana seharusnya memberlakukan buku-buku (kitab)
yang dipelajarinya itu. Dengan kata lain kitab ini merupakan pedoman
atau kode etik santri agar kegiatan belajarnya berhasil dengan baik
sesuai dengan yang di gariskan oleh Islam.31
Akhlaq merupakan watak atau kebiasaan/sikap yang mendalam
dijiwai, bekerja sama dalam pembentukannya berbagai-bagai faktor
warisan yang merupakan kecerdasan, naluri, temperament dan lain-lain
lagi, dan faktor alam sekitar tergambar dalam pendidikan pengajaran,
bimbingan dan latihan.32
Dalam hal ini kitab Ta`lim al-Muta`allim berisi petunjuk bagi
penuntut ilmu sejak niatnya, sampai selama dalam masa belajar itu
berlangsung, ilmu disini adalah ilmu yang bermanfaat.
31 Dr.Muhaimin.et.el, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan PAI Di
Sekolah, (Bandung : Remeja Rosda Karya,2001), Hlm.183 32 Prof. Dr. Oemar Muhammad Al-Toumy al- Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Hlm. 319
16
Pembelajaran Kitab Ta`lim al-Muta`allim
Pembelajaran kitab Ta`lim al-Muta`allim merupakan usaha
rama mashayikh (Rama Kiyai) yang sistematis terarah, yang bertujuan
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar menuju
perubahan tingkah laku dan pedewasaan para santri.
Di sisi lain pengajaran kitab Ta`lim al-Muta`allim di pesantren
adalah upaya membekali kepribadian atau tingkah laku para penuntut
ilmu (santri) dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan.
Kitab Ta`lim al-Mua`allim diajarkan di Pondok Pesanten
karena dilihat dari segi isinya sangat langka, dan juga kitab tersebut
termasuk kitab klasik dan dalam penyusunannya sudah berabad-abad
masanya. Oleh karena itu setiap Pondok Pesantren pasti mengkaji dan
mempelajarinya.
2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan
suatu kegiatan.33
Suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai
arti apa-apa, ibarat seseorang bepergian tidak tentu arah, maka hasilnya
pun tak lebih pengalaman selama perjalanan. Seperti pendidikan yang
merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan jelas memiliki tujuan,
sehingga diharapkan dalam penerapannya ia tidak kehilangan arah dan
pijakan34. Dalam pembelajaran termasuk pendidikan, tujuan diartikan
sebagai usaha tidak memberi hasil rumusan yang diharapkan dari santri /
subyek belajar setelah mengalami proses belajar.
Tujuan pembelajaran seyogyanya memiliki kriteria sebagai
berikut:35
33 Dr. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta :
Rineka Cipta, 2002), Cet ke-2. Hl. 48 34 Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, ( Jakarta : Ciputat
Press, 2002), Hlm. 15 35 Oemar Hamalik, Op.Cit. Hlm. 77
17
a. Tujuan itu menyediakan situasi atau kondisi untuk belajar, misalnya
dalam situasi belajar peran.
b. Tujuan mendevinisikan tingkah laku dalam bentuk dapat diukur dan
dapat diamati.
c. Tujuan menyatakan tingkat minimal tingkah laku yang dikehendaki,
misalnya pada peta pulau Jawa, siswa dapat mewarnai dan memberi
tabel pada sekurang-kurangnya tiga gunung utama.
Tujuan pembelajaran kitab Ta`lim al-Muta`allim, pengarang
(Syaikh al-Zarnuji) sendiri telah menjelaskan bahwa, “Setelah saya
melihat dimasa kini banyak sekali penuntut ilmu yaitu mengamalkan dan
menyiarkannya, lantaran mereka salah jalan dan meninggalkannya
persaratan keharusannya, padahal setiap yang salah jalan itu akan tersesat
dan gagal tujuannya baik kecil maupun besar, maka dengan senang hati
kami bermaksud menjelaskan kepada mereka tentang jalan mempelajari
ilmu sesuai dengan apa yang dapat kami ketahui dari kitab-kitab dan dari
para guru kami yang Alim dan Arif, dengan mengharapkan bantuan do`a
dari para pecinta ilmu yang Mukhlish. Semoga kami memperoleh
kebahagiaan dan sentausa di hari kemudian”36
Dengan demikian tujuan pembelajaran mengarahkan siswa kepada
sasaran yang akan dicapai, sebaliknya tujuan pembelajaran yang menjadi
pedoman bagi pengajar untuk menentukan sasaran pembelajaran siswa,
sehingga setelah siswa mempelajari pokok bahasan yang diajarkan,
mereka telah memiliki kemampuan yang telah ditentukan sebelumnya
kompetisi yang harus dimiliki.37 Siswa tersebut berupa tujuan yang bersifat
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Menurut Bloom, Kratwohl da Anita Harrow mengemukakan ada
tiga tipe hasil belajar, yakni (a) Kognitif, (b) Afektif, dan (c) Psikomotor.
36 Syaikh Ibrahim bin Ismail, Syarah Ta'lim al-Muta'lim, (Semarang : Pustaka al-
A'lawiyah), Hlm. 3-4 37 Muhammad Busyairuddin, Metodologi Pembelajran Agama Islam, (Jakarta : Ciputat
Perss, 2002), Hlm. 119
18
Ketiga tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan
merupakan hubungan hirarki.38
Dari tujuan tersebut dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak di
tingkatkan dan dituju oleh kegiatan pembelajaran, yaitu :39
1. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran-ajaran Islam;
2. Dimensi pemahaman/penalaran (intelektual) serta keilmuan peserta
didik dalam menjalankan ajaran Islam;
3. Dimensi penghayatan atau pengalaman bathin yang dirasakan peserta
didik dalam menjalankan ajaran Islam; dan
4. Dimensi pengalamannya. bagaimana ajaran Islam yang telah di imani di
fahami dan dihayati atau diinternalisasi olehpeserta didik itu mampu
menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk menggerakan,
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pembelajaran akhlaq (Kitab Ta’lim al-Muta’allim) adalah
membentuk santri agar memeiliki kepribadian muslim yang
berakhlaqul karimah baik dalam hubungannya dengan Allah (Hablum
Minallah) maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia
(Hablum Minannas) serta dalam hubungannya dengan alam sekitar
atau makhluq lainnya.40
Jadi tujuan pembelajaran kitab Ta'lim al-Muta'lim di pesantren
adalah tidak lain untuk mencetak manusia yang baik, baik segala-
segalanya termasuk ilmu dan penggunaannya juga yang baik biar
kemanfaatannya benar-benar baik.
3. Materi Pembelajaran
Materi adalah menyangkut apa saja yang harus diberikan kepada
para peserta didik dalam suatu pembelajaran. Materi bukanlah suatu tujuan
dari pembelajaran tersebut, tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan atau
38 Dr. Nana Sudjana, Op. Cit, Hlm. 55 39 Drs. Muhaimin. DKK, Op. Cit. Hlm. 78 40 Departemen Agama Islam RI Pola Pembelajaran Di Pesantren, (Ditpekapentren,
Dirjen Kelembagaan Islam, 2003), Hlm. 44
19
bisa dikatakan bahwa materi/bahan isi berfungsi memberi isi dan makna
tujuan pembelajaran.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, maka
materi yang akan disampaikan harus sesuai dengan tuntutan tersebut. Oleh
karena itu penentuan materi pembelajaran harus didasarkan pada tujuan,
baik segi cakupan, tingkat kesulitan maupun organisasinya.
Dengan demikian, materi harus dapat mengantarkan peserta didik
untuk bisa mewujudkan sosok individu sebagaimana yang digambarkan
dalam tujuan.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim menghususkan penyajiannya pada
pelajaran akhlaq yang harus dimiliki oleh seorang santri dalam menuntut
ilmu. Uraiannya terpokus pada sikap-sikap apa saja yang mesti dilakukan
oleh seorang santri dalam menutut ilmu baik dalam hubungannya dengan
guru (Kiyai), dengan sesame santri, maupun bagaimana seharusnya
memberlakukan buku-buku (Kitab) yang dipelajarinya itu.41
Adapun materi isi kitab Ta`lim al-Muta`allim memuat beberapa
fashal/bab, seperti yang telah digambarkan oleh Imam al-Zarnuji dalam
kitab Ta`lim al-Muta`allim itu sendiri, yaitu :42
عليم المتعلم طريقة التعلم وجعلته فصوالوسميته ت
فصل قي ما هية العلم والفقه فصل في النية وفي حال التعلم فصل في
اختيار العلم واالستاذ والشريك والثبات فصل في تعظيم العلم واهله
فصل في الجد والمواظبة والهمة فصل في بداية السبق وقدره وتربيته
صيل فصل في الشفقة والنصيحة فصل في التوآل فصل في وقت التح
فصل في اال ستفادة فصل في الورع وحال التعلم فصل فيما يورث
41 Ibid, Hlm. 45 42 Syaikh al-Zarnuji, Ta'lim al-Muta'lim, (Semarang : Maktabah al-'Alawiyah), Hlm. 4
20
الحفظ والنسيان فصل فيما يجلب الرزق وما يمنعه وما يريد في العمر
وما ينقص وما توفيق اال باهللا عليه توآلت واليه انيب
Kitab ini saya beri nama “Kitab Ta`lim al-Muta`allim at-Thoriktut
Ta’lum” (mengajarkan metode belajar pada pelajar) yang terdiri dari tiga
belas pasal :
Pertama : Menerangkan hakekat ilmu, hukum mencari ilmu, dan
keutamaannya ;
Kedua : Niat dalam mencari ilmu;
Ketiga : Cara memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan;
Keempat : Cara menghormati ilmu dan guru;
Kelima : Kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqomah, dan
bercita cita luhur ;
Keenam : Permulaan, ukuran dan tata tertib belajar;
Ketujuh : Tawakal;
Kedelapan : Masa pendapatan buah hasil ilmu.;
Kesempilan : Kasih sayang dan nasehat.;
Kesepuluh : Mencari tambahan ilmu pengetahuan.;
Kesebelas : Bersikap wara’ ketika menuntut ilmu;
Kedua belas : Hal-hal yang menguatkan hafalan dan yang melemahkan
hafalan.dan
Ketiga belas : Hal-hal yang mempermudah datangnya rizqi, hal-hal yang
menghambat datangnya rizqi, hal-hal yang dapat
memperpanjang, dan mengurangi umur. Tidak ada
pertolongan kecuali Allah, hanya kepada-Nya saya
berserah diri, dan kehadirat-Nya aku akan kembali.
21
4. Metode Pembelajaran
Metode adalah jalan atau cara yang harus di tempuh untuk
mencapai suatu tujuan.43 Sedangkan pembelajaran berarti kegiatan belajar
mengajar yang interaktif yang terdiri antara santri sebagai peserta didik
(muta`allim) dan Kiayi atau Ustadz di pesantren sebagai pendidik
(Learner, Mu`allim) yang diatur berdasar kurikulum yang telah disusun
dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.44
Dalam metode pembelajaran yang tepat sangat membantu terhadap
keberhasilan materi yang akan disampaikan. Oleh karena itu penerapan
metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses
belajar mengajar.
Pentingnya metode di dasarkan pada firman Allah SWT dalam al-
Qur`an surat al-Maidah ayat 35 yang berbunyi:45
يا يها الذين امنوا اتقوااهللا وابتغوااليه الوسيلة وجا هدوا فى سبيله لعلكم
تفلحون “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Surat al-Maidah ayat: 35)
Dari firman Allah SWT diatas mengandung isyarat bahwa untuk
mendekatkan diri kepada Allah memerlukan metode (jalan). Maka dalam
pendidikan tidak akan berjalan efektif tanpa adanya metode, metode salah
satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan, disamping komponen
lainnya seperti pendidik, anak didik, materi, tujuan dan lain-lain. Masing-
masing diatas tidak dapat berdiri sendiri namun secara bersama saling
mempengaruhi dalam proses pendidikan. Dari pendidikan itu sendiri
metode berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyajikan materi
pendidikan dalam rangka pencapai tujuan yang telah ditetapkan, walaupun
43 Moerlichalaen R, Metode Pengajaran di TK, (Jakarta : Rineka Cipta, 1998), Hlm. 9 44 Departemen Agama, Op. Cit, Hlm. 71 45 Depag P&K, Op.Cii, Hlm. 165
22
disini banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan dan
penggunaan suatu metode.
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah
sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam
pesantren kadang-kadang diberikan juga sistem sorogan, tetapi hanya
diberikan kepada santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan
individual.46
Dalam metode pembelajaran kitab Ta`lim al-Muta`allim di
pesantren juga melalui sistem bandongan (wetonan) dan sistem sorogan.
Kedua sistem tersebut merupakan metode pengajaran yang sudah sangat
lama masanya di setiap pesantren.
Dan ada pula metode pembelajaran yang bersifat baru (Modern,
Tajdid) yaitu menggunakan sistem sekolah klasikal. Metode tersebut
merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren
dengan mengintrodusir metode-metode yang berkembang dimasyarakat
modern.47
Di bawah ini metode-metode pembelajaran yang bersifat
tradisional menjadi trade mark pesantren, yaitu :
1. Metode Sorogan
Metode sorogan adalah aktivitas pengajaran secara individual,
dimana setiap santri menghadap secara bergiliran kepada ustadz/kyai,
untuk membaca, menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan
sebelumnya.48
Metode tersebut merupakan kegiatan pembelajaran bagi para
santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan
perorangan (individu), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai.
Bila santri di anggap menguasai maka sang ustadz/kyai akan
menambahkan dengan materi baru, biasanya dengan membacakan,
46 Zamakhsyri Dhofir, Op.Cit, Hlm. 26 47 Departemen Agama, Op. Cit, Hlm. 74 48 Drs. Imam Bawani MA, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : al-
ikhlas, 1993), Hlm. 97
23
mengartikan, memberi penjelasan dan lain-lain, lalu santri itu
meninggalkan tempat tersebut untuk pergi ketempat lain. Sementara
telah menghadap santri lainnya kepada ustadz/kyai untuk melakukan
dan mendapat perlakuan yang sama.
Sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama
bagi seorang santri yang bercita-cita menjadi orang alim. Ilustrasi
berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana
metode ini dilaksanakaan dalam praktek :49
الحمدهللا الذى فصل بنى ادم با لعلم والعمل على جميع العا لم وا لصالة
والسالم على محمد سيح العرب والعجموعلى اله واصحا به ينا بيع
)وبعد(العلوم والحكم
“ Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah melebihkan manusia
dengan ilmu dan amalatas semesta alam; Sholawat semoga melimpah buat Nabi Muhammad, penghulu/tokoh Arab dan “Ajam lalu keluaraga dan sahabat-sahabat beliau yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dan hikmah. ( kemudian dari dari pada itu ).
2. Metode Bandongan
Metode weton/bandongan adalah kegiatan pengajaran dimana
seorang ustadz/kyai, membaca, menerjemahkan dan mengupas
pengertian kitab tertentu sementara para santri dalam jumlah yang
terkadang cukup banyak.50
Menurut Abuddin Nata metode Bandongan (wetonan) adalah
metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
49 Syaikh al-Zarnuji, Op.Cit, Hlm.4 50 Drs. Imam Bawani MA, Op.Cit, Hl. 97
24
sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab
masing-masing dan mencatat jika perlu.51 Istilah weton diambil dikata
waktu (Jawa) yang berarti waktu, karena pengajian tersebut diberikan
pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan
sholat 5 waktu.52
Dalam hal ini seorang kyai/ustadz membaca menerjemahkan,
menerangkan, dan sering kali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab
tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab
yang sama, masing-masing melakukan pendhobithan harakat dan
keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu
dalam memahami teks.53 Posisi para santri pada pembelajaran dengan
menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi
kyai/ustadz sehingga membentuk halaqoh (lingkaran). Dalam
penterjemahannya kyai/ustadz dapat menggunakan berbagai bahasa
yang menjadi bahasa utama santrinya, misalnya : kedalam bahasa Jawa,
Sunda/Bahasa Indonesia.
Adapun proses pembelajaran Kitab Ta’lim al-Muta’allim yang
diterapkan dalam Pesantren yaitu menggunakan metode klasik atau
traditional (bandongan dan wetonan). Dalam hal ini ada beberapa
metode yang akan diterapkan sebelum pengajaran berlangsung,
diantaranya yaitu:54
a. Seorang Guru dimembawa kitab atau absensi kelas,hal ini dilakukan
untuk menata tingkat aktifitas dan perkembangan kemampuan santri
untuk waktu berikutnya.
b. Guru membeca dan menterjemahkan teks arab serta menjelaskannya
secara jelas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh
santrinya.
51 Abuddin Nata, Op. Cit, Hlm. 107 52 Ibid, Hlm. 108 53 Mastuhu, Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: INIS,1994), Hlm. 144
54 Depag, RI, Op. Cit, Hlm. 75
25
c. Setelah Guru selesai menyampaikan pelajarannya salah satu santri
diminta untuk membacakan teks kitab yang di kajinya.
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab.55 Kata akhlak merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun ( خلق ( yang berarti tabi`at, budi
pekerti.56 Berdasarkan analisis semantik dari Mc. Donough, kata khuluq
memiliki akar kata yang sama dengan khalaqa ( خلق( yang berarti
menciptakan (to creat) dan membentuk (to shape) atau memberi bentuk
(to give from).57
Dalam bukunya Ahmad Amin ditemukan bahwa pengertian akhlak
adalah “Menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan
langsung berturut-turut”.58 Menurut Imam al-Ghozali, akhlak adalah:
ألخلق عبا رة عن هيئة فىالنفس راسخة عنها تصدر أألفعال بسهولة
59 غير حا جة الى فكر ورويةويسر من “Keadaan sifat atau cara yang tetap (teguh, berakar) dalam jiwa
yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.”
Lebih lanjut dijelaskan jika yang keluar tersebut berupa perbuatan-
perbuatan bagus dan terpuji maka dinamakan dengan akhlak yang bagus,
dan jika yang keluar tersebut sebagai perbuatan-perbuatan yang jelek,
55 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir atas pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet. 2, hlm. 253. 56 A.N. Munawwar, Kamus Al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002), Cet. 25, hlm. 364. 57 Tafsir, at. al., Moralitas Al-qur`an Dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama
Media, 2003) Cet. 1, hlm. 14. 58 Ahmad Amin, Etika (ilmu Akhlak), terj. Farid Ma`ruf, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), hlm. 63. 59 Imam Al-Ghozali, Ihya` ulumuddin, Juz III, (Beirut: Darul Fikr, 2002), hlm. 57.
26
maka dinamakan dengan akhlak tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut
berakar, tetap, teguh atau tertanam dalam jiwa dan tidak terjadi secara
kumat-kumatan atau jarang (kadang dilakukan kadang tidak) atau terjadi
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu (serius). Jika perbuatan-
perbuatan tersebut terjadi secara jarang (kadang dilakukan kadang tidak)
serta karena pertimbangan-pertimbangan tertentu(serius)., maka tidak
dinamakan akhlak.60
Akhlak sebagaimana pengertian tersebut, baik akhlak yang baik
maupun yang buruk, semuanya didasarkan pada ajaran Islam. Abudin Nata
dalam Akhlak Tasawuf, menuliskan bahwa akhlak Islami berwujud
perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan
kebenarannya didasarkan pada ajaran Islam.61
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan
suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan yang mudah tanpa
harus direnungkan dan disengaja, kemantapan jiwa yang telah menjadi
sedemikian rupa akan menghasilkan perbuatan-perbuatan, jika perbuatan
tercela yang muncul maka dinakan akhlak yabg busuk dan jiwa perbuatan
baik yang baik maka dinamakan akhlak mulai.
2. Dasar-dasar dan tujuan pendidikan akhlak
a. Dasar-dasar pendidikan akhlak
Pendidikan akhlak sebagai usaha yang harus dilakukan oleh
orang tua maupun guru memliki rujukan yang menjadi dasar
kehidupan manusia yang hakiki. Islam mempunyai dua pedoman yang
bersumber dari Allah dan Rosul-Nya yaiyu al-Qur’an dan al-Hadits.
Al-Qur’aan sebagai pedoman hidup manusia yang di
dalamnya memuat berbagai masalah kehidupan manusia. Diantaranya
bagaimana cara mendidik, membina, membimbing manusia agar
berakhlak mulia. Sebagaimana firman Allah Surat al-Qolam, ayat.4:
60 Ibid. 61 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, hlm.
145.
27
Sedangakn Hadits sebagai sumber pedoman umat islam
setelah al-Qur’an. Hadits membahas tentang ajaran membina akhlak.
Hal ini dapat diketahui dari risalah Nabi Muhammad saw bahwa
rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak umatnya.dan
memperbaiki budi pekerti agar hidup bahagia di dunia maupun di
akhirat.
Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan kepada umatnya
untuk mendidik anak (santri) dengan dengan akhlak yang mulia. Sabda
Nabi Muhammad saw: 62
“Sesungguhnya hadits telah dating kepada Malik,
sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik ”
Dari hadits tersebut dapat difahami bahwa rosulullah saw
begitu memperhatika masa depan memerintahkan orang tua atau guru
untuk meminimalisir akhlak yang jelek bagi anak-anaknya, oleh Karen
ituhadits dapat dijadikan dasar pembinaan akhlak pada Anak (santri).
b. Tujuan pendidikan akhlak
Pada dasarnya pendidikan akhlak merupakan bagian dari
pendidikan Islam, diantara tujuan dari pendidikan Islam yaitu
mendidik dan membina manusia agar mempunyai akhl;ak yanmg
mulia.
Menurut M. Ali Hasan tujuan pokok pendidikan akhlak
adalah: “agar orang berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku
62 Imam Malik, Al-Muattho, (Baerut: Darul Fikri), Hlm. 150
28
(bertabiat), berperangai atau beradab yang baik, yang sesuai dengan
ajaran Islam.”63
Menurut Muhammad Aliy at-Tauny as-Syaibany tujuan
pendidikan akhlak adalah: “ menciptakan kebahagiaan dunia akhirat,
kesempurnaan jiwa bagi individu kekuatan dan ketangguihan bagi
masyarakat..”64
Adapun tujuan pendidikan akhlak meliputi:
1. memperkenalkan manusia akan tanggung jawabnya terhadap
sesamanya, sesame manusia, termasuk dirinya dan lingkungannya.
Melalui pendidikan akhlak ini dharapkan santri mempunyai
pengetahuan memenuhi terhadap tanggung jawab baik kepada
Allah, sesame manusia atau makhluk yang lainnya. Bagaimana
juga manusia yang beriman tidak dapat melepaskan hubungan
dengan Allah selaku sang Khaliq serta hubungannya sesame
makhluq.
2. Membohongi hati dari sifat tercela
Jiwa yang suci dan bersih akan mampu memancarkan sifat-
sifat kebaikandari pelakunya atau pemiliknya.Oleh karena itu
penting bagi seorang oaring tua (guru) untuk mendidik sejak dini
melalui lingkungan keluarga.
3. Menanamkan membutuhkan kesadaran terhadap pentingnya akhlak
mulai.
Untuk mewujudkan serta membentuk akhlak yang mulia,
perlu diperkenalkan nilai-nilai luhur pada anak atau generasi muda.
Langkah ini sangat penting mengingat ucapan sikap, tingkah laku
manusia pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.
4. Membimbing manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup
Tujuan dari pendidikan akhlak agar tercapainya
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini bisa
63 M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hlm. 11 64 M. At-Tauniy as-Syaibaniy, Op Cit, Hlm. 346
29
tercapai apabila manusia selalu taat dan bertakwa kepada Allah.
Bentuk kebahagiaan intersebut merupakan tujuan dan pendidikan
akhlak.
Menurut Barnawy Umary “Tujuan pendidikan akhlak agar
manusia dengan manusia dapat terpelihara selalu berjalan dengan
baik selalu serta harmonis.” 65 Sedangkan menurut Zakiyah Drajat
“Pendidikan akhlak merupakan tujuan dekat yaitu harga diri
sedangkan tujuan jauh yakni ridlo Allah dengan melalui amal
shaleh akan mendapat kebahagiaan dunia akhirat.”66
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pendidikan akhlak
yaitu tecipta, terpelihara dengan baik kesempurnaan akhlak, baik
akhlak kepada Allah, sesame makhluknya, serta mencapai
kebahagiaan dari akhirat.
3. Metode Pendidikan Akhlak bagi santri
Pembentukan akhlak itu berlangsung secara berangsur-angsur
secara berangsur-angsur oleh karena itu. Pembentukan akhlak adalah suatu
proses yang akan menghasilkan suatu hasil yang baik kalau perkembangan
itu berlangsung dengan baik demikian juga sebaliknya.
Pembentukan akhlak hendaknya dimulai sejak anak masih kecil
atau tahap awal dalam belajar ilmu-ilmu agama dengan menanamkan
nilai-nilai akhlak misalkan santri dididik dengan tingkah laku Perbuatan
yang baik (beradab).misalnya tata cara Shalat yang sempurna dan
bertatakrama kepada siapapun.
Pendidikan moral atau akhlak akan tercapai jika terciptanya
pendidikan iman, maksudnya bahwa pendidikan iman itu merupakan
factor yang meluruskan tabiat yang banyak dan memperbaiki jiwa
kemanusiaan. Tanpa perbaikan iman maka pembentukan akhlak tidak akan
tercapai.
65 Barnawy Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadani,1995), Hlm. 2 66 Zakiyah Drajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Bandung: Rosda
Karya, 1995), Hlm. 11
30
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari bahwa metode pendidikan akhlak
santri ada enam metode yang diterapkan di pesantren yaitu, Metode
Keteladanan (Uswatun Hasanah), Latihan dan Pembiasaan Mengambil
Pelajaran (Ibrah), Nasehat (Mauidloh), Kedisioplinan, Ujian dan
Hukuman (Targhib wa Tahzib).67
1. Meode Keteladanan
Secara psikologis manusia manusia mememerlukan
keteladanan utuk mengembangkan sifat-sifa dan potensinya.
Pendidikan lewat keteladanan adalah pendidikan dengan cara memberi
contoh-contoh kongkrit pada para santri. Kiyai atau ustad harus
senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam
ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain,68 karena
nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap apa yang
disampaikan.
2. Metode ltihan dan pembiasaan
Mendidik dengan latihan dan pembiasaan adalh mendidik
dengan cara memberika latihan-latihan terhadap suatu norma
kemudian membiasakan untuk melakukannya. Dalam pendidikan di
pesantren, metode ini biasanya diterapkan pada ibadah-ibadah amaliah,
sepeti jamaah shalat, kesopanan kepada ustadz atau kiyai, pergaulan
dengan sesama santri dan sejenisnya.
Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi
akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Al-Ghozali menyatakan:
“Sesungguhnya akhlak menjadi kuat dengan seringya
dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan
keyakinan bahwa apa yang dilakukan adalah baik dan diridlai”69
67 K.H. Hasyim Asy’ari, Akhlak Pesantren Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta: Bayu Indra, Grafika, 2001), Hlm. 55 68 K.H. Ali Maksum, Perjuangan Dan Pemikirannya, (Yogyakarta: Tnp, 1989), Hlm
xi 69 Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, Juz.III, (Baerut Dar al-Fikr,tt), Hlm.61
31
3. Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)
Secara sederhan,brah berarti merenungkan dan memikirkan
dalam arti umum biasanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran
dari setiap peristiwa. Menurut Abdul Rahman An-Nawai,70 Seorang
tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefinisikan ibrah dengan
suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui
intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, didiskusikan,
ditimbang-timbang, diukur dan di putuskan secara nalar, sehingga
kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk kepadanya, lalu
mendorongnya kepada perilaku berfikir sosial yang sesuai.
4. Mendidik melalui mauidloh (nasihat)
Mauidlah berarti nasehat.71 Menurut Rasyid Ridla
mengartikan mauidloh Mauidlah adalah nasehat peringatan atas
kebaikan dan kebenaran, dengan jalan apa saja yang dapat menyentuh
hati dan membangkitkan untuk mengamalkan.72
Metode mauidlah, harus mengandung tiga unsur, yakni:
a. Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh
seseorang, dalam hal ini santri, misalnya tentang sofan santun,
keharusan berjamaah maupun kerjianan dalam beramal.
b. Motivasi melakukan kebaikan
c. Peringatan tenang dosa atau bahwa yang bakal muncul dari adanya
larangan, bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
5. Mendidik melalui kedisiplinan
Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenala sebagai cara
menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan
pemberian hukuman atau sangsi. Tujuannya untuk menumbuhkan
70 Al-Nahlawi, Prinsif-Prinsif Metode Pendidikan Islam,Trj. Dahlan Dan Sulaiman
(Bandung: CV.Dipenogoro,1992), Hlm. 390 71 Ahmad Warson Almunawir, Kamus Almunawir kamus Arab Indonesia (Surabaya
Pustaka progresif 1997), Hlm. 364 72 Rasyid Ridlo, Tafsir al-Manar Juz.II (Mesir: Maktabah aAl-Qohirot, tt), Hlm. 404
32
kesadaran siswa apa yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga ia
tidak mengulanginya lagi.73
6. Mendidik melalui targhib wa tahdzib
Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan
satu sama lain; al-Targhib dan al- Tahdzib. Targhib adalah janji-jani
disertai bujukan agar seseorang senang melakukan kebaikan dan
menjauhi kejahatan. Tahdzib adalah ancaman untuk menembuhkan
rasa taaaakut berbuat tidak benar.74 Tekanan metode targhib terletak
paada harapan untukmelakukan kebajikan sementara metode tahzib
terletak pada upaya kejahatan atau dosa.
K.H. Hasyim Asy’ari mengelompokkan tiga pokok penjelasan
tentang Akhlak yang harus ada pada santri yaitu, Akhlak santri terhadap
ustadz, akhlak santri dalam belajar.75
1. Akhlak santri.
Santri hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran,
agar ilmu mudah masuk pada dirinya;
a. Memfokuskan niathanya semat-mata karena Allah dan beramal
dengan ilmunya;
b. Berusaha semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu;
c. Qona’ah dan sabar terhadap makanan dan pakaaian yang sederhana
agar segera memperoleh kedalaman ilmu dan sumber hikmah;
d. Pandai mengatur waktu;
e. Menyediditkan tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri;
f. Meninggalkan hal yang bisa menaraik pada kesia-siaan dan kelainan
dari belajar dan ibadah.
2. Akhlak santri terhadap ustadz
a. santri hendaknya meneliti dan memohon petunjuk kepada Allah
sebelum belajar kepada seseorang,ia harus memilih ustadz yanga
ahli dalam bidangnya dan terbukti kasih sayangnya, terpancar sifat
73 Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ihlas), Hlm. 234 74 Al-Nahlawi, Op.Cit, Hlm. 412 75 K.H. Hasyim Asy’ari, Op.Cit, Hlm. 75
33
muru’ahnya (menjaga diri dari hal-hal yang tidak terpuji) dan diakui
tanggung jawabnya;
b. Mengikuti pemkiran dan jejak ustadznya serta tidak menerjang
nasehat-nasehatnya; santri hendaknya meminta ridla ustadz dan ridla
kiyai dalam setiap kegiatannya, menjunjung tinggi ustadznya dan
berniat taqarub kepada Allah;
c. Memandang ustadznya dengan penuh ketulusan dan keta’dziman
serta meyakini ustadz bahwa dalam diri ustadz terdapat derajat
kesempurnaan;
d. Memperhatikan apa yang menjadi haknya dan tidak melupakan segi
keutamaan dan kebaikannya;
e. Bersabar terhadap sikap keras ustadznya dan tidak menjadikan
alasan untuk keluar dari lingkungan pendidikannya;
f. Duduk dan beriskap dengan sofan ketika berhadapan dengan
ustadznya, hususnya disaat kegiatan belajar mengajar;
g. Berbicara dengan suara dengan bahasa yang baik;
h. Mendengarkan semua pelajaran dan penjelasan ustadzdengan penuh
kesungguhan dan tanpa bosan;
i. Tidak mendahului memberikan penjelasan masalah dan tidak pula
menyela pembicaraan ustadz kecuali atas idzinnya;
j. Membantu dan berbuat sebaik mungkin untuk keperluan ustadznya.
3. Akhlak santri terhadap pelajaran
a. Akhlak santri terhadap pelajaran dan proses belajar mengajar:
Santri hendaknya memulai belajar dengan ilmu-ilmu yang
bersifat fardlu ‘ain seperti, Ilmu Zat (Ilmu yang menjelaskan tentang
ketuhanan), Ilmu Sifat (Ilmu yang membahas tentang sifat-sifat
Allah), Ilmu Fiqh (Ilmu yang membahas tentang syari’at), Ilmu
Ahwal, Maqomad (Ilmu yang membahas tentang tipuan-tipuan hati
serta segala yaang berhubungan dengan masalah tersebut)
b. Mengiringi ilmu yang bersifat fardlu ‘ain dengan mempelajari al-
Qur’an dan berbagai cabang keilmuannya;
34
c. Berhati-hati terhadap hal-hal yang menyebabkan untuk mempelajari
perdebatan pendapat antar ulama dan antar umat disaat awal
belajarnya;
d. Mengujikan kebenaran keilmuan dan hafalannya kepada ustadz;
e. Bergegas berangkat awal untuk mempelajari ilmu;
f. Senantiasa berada di majlis ustadznya ketika kegiatan belajar
mengajar tengah berlangsung, sebab hal itu akan menambah
kebaikan, kesuksesan, kesofanan dan keagungan (dirinya);
g. Membiasakan alam ketika datang dan pulang dari majlis guru, serta
berlaku sopan;
h. Menekuni pelajaran secara seksama dan tidak pindah pada disiplin
pelajaran yang lain sebelum mantap pelajaran yang pertama;
i. Bersemangat mencapai kesuksesan dengan diwujudkan dengan
kesibukan pada hal-hal yang positif dan bermanfaatserta berpaling
pada keresahan yang menggannggu.
Dari beberapa akhlak santri yang telah disebutkan diatas
merupakan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan seperti yang telah
disebutkan oleh Fraenkel: “Value is an idea a concep about what some
one thinks is important in life”.76 Nilai adalah suatu ide konsep tentang
apa yang menurut pemikiran seseorang penting dalam kehidupan.
C. Pembelajaran Implikasinya Dalam Pembentukan Akhlak
Kitab Ta`lim al-Muta`allim adalah berisikan tentang petunjuk bagi
penuntut ilmu. Sejak niatnya sampai selama dalam masa belajar itu
berlangsung. Ilmu disini adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan pondok
pesantren sendiri adalah merupakan lembaga pendidikan yang dipimpin
langsung oleh kyai hitam putih dan maju mundurnya terlatak ditangan beliau.
Maka wajarlah bila pesantren selaku lembaga keilmuan mengenal kitab ini.
Berdasarkan fakta tersebut bisa diketahui bahwa kitab ini telah disepakati
76 J.R. Fraenkel, How to Teach About Values: An Analitic Approach, (New Jersey:
Prenteice Hall, Inc. 1975), P.6.
35
oleh para kyai pemangku pesantren sebagai salah satu kitab yang cocok
untuk mendasari jiwa kesantriannya, jiwa pelajar penuntut ilmu pengetahuan.
Sikap kyai seperti ini tidak perlu dipertanyakan tidak berarti
mengesampingkan buku-buku dalam negeri sendiri. Buku-buku berbahasa
Indonesia yang ada sampai hari ini masih jarang sekali yang menampilkan
uraian (lebih-lebih untuk buku pelajaran di sekolah) tentang pembinaan
mental keilmuan atau dengan kata lain tata adab dalam menuntut ilmu.
Pelajaran-pelajaran yang specifik disitupun tidak didapati pada sekolah SD.
Maupun PGAN lebih-lebih pada sekolah-sekolah umum yang ada hanyalah
di pesantren dan madrasah-madrasah yang timbul bersejajaran dengan
kehidupan pesantren.
Kitab Ta`lim al-Muta`allim Thoriq al Ta`alum, diajarkan bahwa
“ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rizal (guru/kyai) karena
mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar
dan menyampaikan bagian yang paling baik dari mereka-mereka yang pernah
hafal.77
Dalam kalangan pesantren memang diakui adanya “cara lain” untuk
memperoleh ilmu. Jadi tidak hanya dengan cara transmisi, seperti itu. Namun
demikian “cara lain” yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional
(nalar), melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung
“manusia” dengan “yang Maha Berilmu”, identik dengan proses pewahyuan.
Kalangan pesantren menyebutnya sebagai ilmu ladunni.78
Menurut Drs. H. Aliy As’ad Dalam Mukodimah Tarjamah kitab
Ta’lim al-Muta’allim mengatakan bahwa pentingnya pembelajaran kitab
Ta’li al-Muta’allim dapat dipandang dari beberapa segi antara lain :79
1. Sekilas Mengenai Pesantren
Pesantren berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain
yang bukan pesantren, produknya berbeda. Diantara ciri khususnya
77 DR. Affandi Mochtar, Membedah Diskussus Pendidikan Islam, (Ciputat: Kamilah,
2001), hlm 51. 78 Dr. Affandi Mochtar, Ibid. 79 Drs. H. Aliy As’ad, Op. Cit, Hlm. I-X
36
yaitu sederhana. Sederhana tempat dan gedungnya, sederhana
kehidupan santrinya, gerak langkahnya pun lugu. Tujuannya tidak
muluk-nuluk cukup sederhana dan hanya satu, yaitu mencetak manusia
yang baik. Baik segala-galanya, termasuk ilmu dan penggunaannya juga
yang baik biar kemanfaatannya benar-benar baik. Jadi, pesantren ingin
mewujudkan “kebaikan” lewat kesederhanaan, bukan kesederhanaan
yang baik, bukan pula kebaikan yang sederhana, tetapi kebaikan di
segala bidang. Kebaikan pada kemewahan kebaikan pembangunan,
kebaikan pada cara berfikir, dan sebagainya. Kebaikan-kebaikan
tersebut oleh pesantren akan diciptakan lewat jalan kesederhanaan.
Oleh karena itu, pesantren membekali santrinya dengan “nilai
dasar kebaikan” yaitu “keikhlasan”. Ikhlas adalah “tanpa pamrih” jiwa
keikhlasan santri tampak lebih menonjol dari pada sikap-sikap kejiwaan
yang lain. Semakin tebal jiwa keikhlasan tertanam pada pesantren,
makin pesatlah perkembangan kemajuan pesantren itu. Keikhlasan akan
mempertebal keyakinan, membuat orang semakin optimis dan semakin
maju. Semangat keikhlasan membuat orang sedia memulai usahanya
dari nol kembali, membuat orang sedia berkorban demi Agama, Nusa
dan Bangsa. Dengan keikhlasan yang tinggi kyai yang tadinya tidak
dikerumuni oleh beratus-ratus santri, menjadi rumahnya terjepit di
tengah-tengah kamar santri.
Santri ikhlas belajar, ia belajar dengan tanpa pamrih, ia
mengabdi tanpa pamrih, menolong tanpa pamrih itulah ajaran sang kyai.
Karena benar-benar tanpa pamrih, maka kyai selalu mendapat
perkenan dihati setiap orang, mendapat penuh kepercayaan menjadi
tempat mengadu dan dijadikan pemutus kata.
Jelekkah mental “tanpa pamrih” itu? Baik sekali! Dalilnya
selain slogan yang sering didengung-dengungkan Bapak-bapak, yaitu :
37
“SEPI ING PAMRIH RAME ING GAWE,” juga firman Allah SWT,
sebagai berikut:80
(87) ٍ فا عبد اهللا محلصا له الد ين
“ ………. Maka menyembahlah kepada Allah dengan tulus ikhlash beragama kepada-NyaS” (surat Az-Zumar ayat: 2)
Pembelajaran kitab Ta`lim al-Muta`allim di pesantren adalah
suatu pembelajaran kitab akhlaq untuk para pelajar/santri, sebagai salah
satu kitab yang cocok untuk mendasari jiwa kesantriannya, jiwa pelajar
penuntut pengetahuan, adalah kyai ulama`, beliau-beliaulah pemangku
pesantren.
2. Gambaran Isi
Kitab Talim al-Muta`allim di sepakati oleh para kyai, ulama`,
pemangku pesantren, maka paling tidak akan melahirkan tiga sikap
orang :
Pertama : Ingin tahu isinya, lantaran ingin mengaji dan meneliti isinya,
biasanya sampai disepakati lalu cepat apa tidak
kesepakatan di situ.
Kedua : Ingin tahu isinya setelah tahu, maka diamalkanlah
Ketiga : Ingin tahu isinya lalu diuji, dinilai dan dianalisa. Setelah
cocok buat dia, lalu ikut-ikut menyepakati juga. Kalau
kebetulan dapat hidayah, mau juga ia mengamalkan dan
mempedomani isinya.Yang ketiga inilah, biasanya
kalangan cendikiawan, sarjana, dan juga mahasiswa.
Pada dasarnya ketiga-tiganya itu ingin tahu isinya.
a. Penampilan materi
Penampilan materinya dari segi proses logika bisa di
katakan baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan urutannya sebagai
berikut :
80 Al-Qur’an al-Karim, Depag , Op.Cit, Hlm. 658
38
Setelah Basmalah, hamdalah dan shalawat secukupnya lalu
menyebutkan judul kitab, yang sesuai dengan isinya yang di
abstraksikan sebelumnya. Sebelum itu pula dkemukakan dasar
penyusunannya. Baru setelah itu menampilkan keutamaan dan
pengertian ilmu, hukum mempelajarinya, kemudian niat dan
motivasi belajar. Setelah itu semua, bagaimana guru yang dipilih
itu, ilmu apa yang harus dipelajarinya, dan siapa yang boleh
ditemani dalam belajar, sampai sini, berarti orang yang sudah siap
akan belajar, sebab sudah tahu bidang ilmunya, gurunya, temannya
dan niat serta motivasinya. Lalu diingatkan, pelajar itu harus
berhati dan tabah.
Dalam kondisi seperti ini, pelajar biasanya terus punya
anggapan berhasil dalam belajarnya.
Untuk itu, di ingatkan sekali lagi. Anda adalah sedang
belajar, belum pandai benar, kalau anda nanti jadi orang pandai,
derajat anda akan agung, karena ilmu itu agung. Karena itu,
agungkanlah ilmu yang sedang kau tuntut itu. Disini kemudian
Imam al-Zarnuji mengemukakan bagaimana caranya
mengagungkan ilmu.
Dengan peringatan seperti itu, pelajar jadi sadar kembali
lalu mengagungkan ilmu. Tapi, biasanya hal ini mereka lakukan
beberapa saat saja. Karena itu dalam fasal berikutnya dikedepankan
mengenai kesungguhan hati, cita-cita luhur, kontinuitas dan juga
sebab-sebab kemalasan.
Fasal berikutnya lagi, membahas khusus mengenai tata
tertib belajar, sikap mental yang harus dipersiapkan dalam
menghadapi segala peristiwa selama belajar. Bagaimana dalam
hubungannya dengan biaya, ukuran pelajaran, berdo`a, diskusi, dan
sebagainya.
Kemudian baru dikemukakan secara khusus, beberapa hal
extern yang sangat sering dihadapi setiap pelajar. Itulah tawakal,
39
saat belajar, nasehat orang, “ambil pelajaran” sesepuh, wara`,
penyebab lupa, penyebab ingatan menjadi, kuat, sumber rizqi,
pelebur rizqi dan tentang usia.
b. Segi Kebenaran Isinya
Kitab ini adalah kitab adab, bukan kitab hukum ialah adab
dalam menuntut ilmu, yaitu adab-adab yang membawa kesuksesan
orang yang menuntut ilmu. Kepentingannya adalah untuk
menjabarkan tata-tata bagaimana agar sukses dalam menuntut
ilmu. Tujuannya adalah kesuksesannya, bukan adab itu sendiri.
Lebih baik sukses walaupun adabnya kurang sempurna, dari pada
adabnya sempurna tapi tidak sukses. Jadi adab disini ibarat jalan.
Tapi tidaklah mutlak begitu, tidak mungkin orang bisa sampai
ditempat tujuan, bila tidak melewati jalan.
Adab ibarat jalan, sedangkan ilmu itu tujuannya. Adab apa,
jalan apa, yang tahu hanyalah ahli ilmu sebab dialah yang sudah
sampai disana. Jalan mana saja boleh, asal saja bisa sampai. Jalan
tidak harus “benar” yang diharuskan adalah “tepat”. Contoh, Ibu
berkata kepada anaknya berumur tiga tahun : “Nak, kamu jangan
main-main ditengah pintu, awas ada syaitan lewat, kau bisa
ditelan.” Anakpun takut, dan tak pernah lagi berani duduk-duduk
disitu. Ini baik, berhasil tujuannya, jalannya tepat, tapi “tidak
benar” sebab tidak ada syetan menelan manusia.
Walaupun demikian, jalan atau adab itu harus tidak
bertentangan dengan syari`at Islam. Begitu juga halnya adab dalam
menuntut ilmu dan bahkan disini lebih penting. Untuk membentuk
akhlak santri dalam menuntut ilmu maupun dalam mengamalkan
ilmu.
Dari pandangan tersebut pembelajaran kitab Ta’lim al-
Muta’allim sangat besar pengaruhnya untuk kalangan para santri (para
penuntut ilmu), juga sangat ditekankan oleh para pemangku pesantren
untuk membekali jiwa kesantriannya agar memiliki semangat belajar
40
agama dan memiliki budi pekerti yang baik dengan segala metode yang
telah diterapkan dalam lingkungan pendidikan. Dari itulah santri akan
terbentuk akhlakul karimah seperi yang telah digariskan oleh ajaran
Islam serta tidak menyimpang dari pedoman al-qur’an dan al-Hadits